PROTEIN PAKAN TAHAN DEGRADASI RUMEN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI

Download Sapi perah laktasi dengan produksi tinggi memerlukan asupan protein yang memenuhi kebutuhan untuk berproduksi, baik dari segi kualitas maup...

0 downloads 462 Views 52KB Size
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

PROTEIN PAKAN TAHAN DEGRADASI RUMEN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU (Supplementation of Rumen Undegradable Protein to Increase Milk Production) WISRI PUASTUTI Balai Penelitian Ternak, Bogor ABSTRACT High producing dairy cows require good quality and appropriate amount of protein. The increase protein level in ration could increase the nutrient digestibility and milk production. However, the effect of increase crude protein level ration was not linier on milk production. Feeding high protein level in ration sometimes is followed by high ruminal N-NH3 concentration, nitrogen feces and urine. This indicates that high protein ration could not be used optimally by animal. Besides level protein in ration, strategy of protein feeding in ruminant must consider it fermentability and undegradability in the rumen. Microbial protein can only supply about 40-80% of the total protein requirement. Rumen undegradable protein with high digestibility in post ruminal could increase milk production. Therefore, for high producing dairy cows, besides microbial protein, they must be offered the rumen undegradable protein. Keywords: Rumen undegradable protein, production, milk ABSTRAK Sapi perah laktasi dengan produksi tinggi memerlukan asupan protein yang memenuhi kebutuhan untuk berproduksi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Meningkatkan kadar protein kasar (PK) ransum diharapkan akan meningkatkan kecernaan nutrien dan produksi susu. Walaupun demikian, pemberian ransum dengan kadar protein yang ditingkatkan tidak bersifat linier terhadap produksi susu. Meningkatnya kadar protein dalam ransum terkadang akan meningkatkan konsentrasi N-NH3 di dalam rumen, nitrogen dalam feses dan urin, yang berarti tingginya PK ransum tidak dimanfaatkan secara optimal oleh ternak yang mengkonsumsi. Oleh sebab itu, strategi pemberian protein pada ruminansia, harus memperhatikan aspek fermentabilitas dan ketahanan protein dalam rumen. Hal ini karena protein mikroba rumen hanya mampu mencukupi kebutuhan protein sebesar 40-80% dari seluruh kebutuhan. Protein tahan degradasi rumen dengan kecernaan pascarumen tinggi mampu meningkatkan produksi susu. Dengan demikian pada sapi perah laktasi dengan produksi tinggi selain asupan protein asal mikroba rumen, protein pakan tahan degradasi rumen wajib diberikan. Kata kunci: Protein tahan degradasi, produksi, susu

PENDAHULUAN Agar sapi perah dapat berproduksi tinggi sesuai potensi genetiknya, maka perlu didukung dengan pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan untuk berproduksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pemenuhan kebutuhan pakan yang utama adalah energi dan disusul protein. Secara umum pemenuhan kebutuhan energi mudah untuk dicapai. Lain halnya dengan pemberian protein pakan yang seringkali hanya didasarkan atas kadar (persentase) protein kasar (PK) saja. Pakan dengan kadar PK tinggi

46

diyakini sebagai pakan dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan pakan yang mengandung PK lebih rendah. Namun tidaklah selalu demikian yang dapat dimanfaatkan oleh ternak, terutama ruminansia. Pada ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk, selain memanfaatkan protein asal pakan, juga dapat mensintesis protein sendiri dengan bantuan mikroba di dalam rumennya. Ruminansia juga dapat memanfaatkan sumber nitrogen (N) yang bukan berasal dari protein (NPN), untuk sintesis protein tubuhnya, dimana protein mikroba mempunyai

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

nilai hayati yang sangat tinggi. Dengan demikian pasokan asam amino tubuhnya berasal dari protein pakan dan mikroba rumen. Adanya protein mikroba inilah yang menjadi kelebihan dari ternak ruminansia. Protein pakan dan NPN yang dikonsumsi ternak ruminansia sebagian akan mengalami degradasi di dalam rumen menjadi amonia dan sebagian protein lainnya tahan terhadap degradasi rumen dan dapat mencapai pascarumen. Protein tahan degradasi (PTD) rumen yang dapat dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen akan menyediakan asam amino untuk diserap di dalam usus dan dimanfaatkan oleh ternak. Protein tahan degradasi rumen dengan kecernaan pascarumen tinggi sangat diperlukan untuk mendukung produktivitas ternak, terlebih sapi perah laktasi. Untuk meningkatkan produksi susu, sapi perah laktasi memerlukan pasokan protein dalam jumlah besar. Protein asal mikroba rumen walaupun bernilai hayati tinggi namun jumlahnya tidak mampu untuk mencukupi seluruh kebutuhan protein untuk sapi dengan produksi susu tinggi, sehingga pasokan PTD rumen perlu diberikan. Sapi perah dengan produksi tinggi membutuhkan sejumlah protein pakan berkualitas baik yang mampu menyediakan asam amino esensial sampai saluran pascarumen untuk memenuhi kebutuhan laktasi dan fungsi metabolis (HENSON et al., 1997). Dinyatakan pula bahwa pakan dengan PTD rumen tinggi dapat meningkatkan jumlah protein dan asam amino yang dapat dicerna dan diserap oleh usus untuk mendukung produktivitas ternak. Meningkatnya pasokan PTD rumen pada taraf menengah dan tinggi dapat meningkatkan produksi dan kadar lemak susu (LEE et al., 2001). Pemberian protein tahan degradasi rumen dapat meningkatkan produksi susu telah direkomendasikan sebelumnya oleh NRC (1989). Secara umum ternak yang berproduksi tinggi kebutuhan proteinnya tidak cukup jika hanya dari protein mikroba saja, tetapi lebih banyak dari pasokan PTD rumen (SARCICEK, 2000). Berdasarkan pemahaman tersebut dalam tulisan ini diuraikan mengenai penggunaan PTD rumen untuk meningkatkan produksi susu.

PROTEIN PAKAN TAHAN DEGRADASI RUMEN DAN KECERNAANNYA Pemenuhan kebutuhan protein pada ruminansia perlu memperhitungkan jumlah protein pakan yang dapat didegradasi di dalam rumen dan jumlah PTD rumen. Derajat ketahanan protein pakan terhadap degradasi oleh mikroba di dalam rumen sangat beragam. MEDSEN dan HVELPLUN (1985) telah menguji sejumlah bahan pakan sumber protein pakan melaporkan bahwa degradasi protein bahan pakan bervariasi antara 12-90%. Jauh sebelumnya CHALUPA (1975) telah mengklasifikasi bahan pakan sumber protein berdasarkan ketahanan degradasi menjadi tiga kelompok: (1) bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan rendah (<40%) terhadap degradasi rumen adalah bungkil kedelai, kasein, bungkil biji matahari, dan bungkil kacang; (2) bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan sedang (40 60%) terhadap degradasi rumen adalah biji kapas, alfalfa, biji jagung dan biji-bijian pembuat bir; dan (3) bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan tinggi (>60%) terhadap degradasi rumen adalah tepung darah, tepung daging, corn gluten meal (CGM), tepung ikan dan beberapa bahan sumber protein yang diproteksi dengan formaldehida. Kecernaan protein bergantung pada sumber dan proses dari bahan sumber protein tersebut. Oleh karena itu terhadap bahan pakan sumber protein yang berkualitas namun memiliki tingkat degradasi rumen yang terlalu tinggi perlu dilakukan perlindungan. Seperti contohnya pada bungkil kedelai, melalui proses pemanasan dapat menurunkan kecernaan rumen dan meningkatkan jumlah protein tahan degradasi rumen. Bungkil kedelai pada umumnya memiliki kelarutan nitrogen sebesar 39,4% dari bahan keringnya. Melalui proses ekstrusi dengan suhu yang ditingkatkan dari 120 sampai 1400C dapat menurunkan kelarutan nitrogen bungkil kedelai dari 16,6% menjadi 11,0% atau turun sebesar 63% (LEE et al., 2006). Cara perlindungan protein lain dapat dilakukan dengan pemberian formalin (KANJANAPRUTHIPONG et al., 2002), pemberian tanin yang berasal dari batang pisang (PUASTUTI et al., 2006) dan encapsulation.

47

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Pada umumnya ransum dengan PTD rumen tingkat rendah mempunyai kecernaan protein yang tinggi namun tidak demikian dengan ransum yang mengandung PTD rumen tinggi. Oleh karena itu terhadap bahan pakan sumber protein yang tahan degragasi rumen perlu diperhatikan kecernaannya oleh enzim proteolitik di dalam pascarumen. Protein tahan degradasi rumen yang memiliki kecernaan pascarumen rendah atau bahkan tidak dapat dicerna tidak akan menyediakan asam amino untuk tubuh, sehingga menjadi kurang bermanfaat bagi ternak yang mengkonsumsi. Seperti yang dilaporkan oleh PUASTUTI (2005) bahwa ransum yang mengandung bungkil biji kapuk memiliki jumlah PTD rumen paling tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung bungkil kedelai maupun tepung ikan (23,6 vs 20,4; 19,9%), sebaliknya ransum yang mengandung bungkil biji kapuk memiliki kecernaan in vitro pascarumen oleh pepsin HCl paling rendah (63,1 vs 64,4; 67,8%). Hasil pengujian pada ternak domba menunjukkan bahwa nilai biologis ransum yang mengandung bungkil biji kapuk juga paling rendah (57,4 vs 61,0; 65,2%). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa PTD rumen yang baik harus memiliki kecernaan yang rendah di dalam rumen, sebaliknya memiliki kecernaan pascarumen yang tinggi untuk dapat mendukung produktivitas ternak. PENGARUH KADAR PROTEIN DAN PROTEIN TAHAN DEGRADASI RUMEN TERHADAP PRODUKSI SUSU Meningkatkan kadar PK ransum diharapkan akan diikuti meningkatnya kecernaan nutrien dan produksi susu. Seperti yang dilaporkan oleh BRODERICK (2003) bahwa pada ransum dengan kadar protein yang ditingkatkan biasanya mempunyai kecernaan PK yang lebih tinggi, sebagai akibat meningkatnya asupan protein yang dapat dicerna. Meningkatnya kecernaan memberi peluang adanya tambahan asupan nutrien yang akan digunakan untuk sintesis susu. Walaupun demikian, peningkatan produksi susu sebagai akibat dari meningkatnya kadar PK ransum tidak selamanya bersifat linier (WU dan SATTER, 2000). Ada kalanya peningkatan kadar protein ransum juga diikuti peningkatan

48

prosuksi susu sampai taraf tertentu dan selanjutnya menurun seiring meningkatnya taraf protein dalam ransum, atau bahkan tidak memberi respon sama sekali. Penelitian pemberian protein dengan taraf yang ditingkatkan telah dilakukan. WU dan SATER (2000) melaporkan bahwa produksi susu selama 308 hari pemerahan untuk ransum dengan kadar PK 16,0-17,4% (10,83 kg/hr) adalah 776 kg lebih tinggi dibandingkan dengan kadar PK 15,4-16,0% (10,06 kg/hr) dan serupa untuk kadar PK 17,4-17,9% dan 17,919,3%. Hal ini bisa dipahami karena konsumsi protein tidak meningkat lagi pada pemberian ransum dengan kadar protein kasar 17,919,3%, sehingga asupan nutrien untuk meningkatkan produksi menjadi tidak berbeda dengan ransum berkadar PK 17,4-17,9%. Peningkatan produksi susu juga tidak terjadi secara nyata pada pemberian PK dengan taraf yang ditingkatkan dari 10,5 menjadi 14,4% dari bahan kering (PROMKOT dan WANAPAT, 2005) karena meningkatnya kadar PK ransum tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum, namun secara linier meningkatkan kecernaan PK. Meningkatnya kadar protein dan degradasi protein ransum sering diikuti dengan meningkatnya konsentrasi N-NH3 di dalam rumen (DAVIDSON et al., 2003; OLMOS COLMENERO dan BRODERICK, 2003). Ditambahkan pula bahwa pemberian nitrogen tersedia dalam rumen yang tinggi menghasilkan kenaikan kadar N-NH3 rumen sebesar 25% dibandingkan dengan ransum berkadar nitrogen tersedia dalam rumen pada taraf sedang (HRISTOV et al., 2004). Kelebihan N-NH3 dalam rumen jika tidak digunakan untuk sintesis protein mikroba akan diabsorbsi melalui dinding rumen dan diubah menjadi urea di dalam hati (LOBLEY et al., 1995) dan sebagian lagi hilang melalui urin. Jadi tingginya kadar protein ransum tidak selalu dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak untuk meningkatkan produksi. Strategi pemberian protein pada ruminansia selain memperhatikan kadar atau tarafnya dalam ransum, harus pula memperhatikan aspek fermentabilitas dan ketahanan protein dalam rumen (PUASTUTI, 2005). Pada sapi perah periode laktasi dengan produksi tinggi selain asupan protein asal mikroba rumen, protein pakan tahan degradasi rumen wajib

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

diberikan. Hal ini karena protein mikroba rumen hanya mampu mencukupi kebutuhan protein sebesar 40-80% dari seluruh kebutuhan (SNIFFEN dan ROBINSON, 1987; CHUMPAWADEE et al., 2006). Beberapa penelitian pemberian PTD rumen telah dilakukan untuk meningkatkan produksi susu, dilaporkan memiliki respon yang berbeda-beda. Pemberian PTD rumen yang ditingkatkan dilaporkan tidak dapat meningkatkan produksi susu (KUMAR et al., 2005; IPHARRAGUERRE et al., 2005) dan pada penelitian lain dilaporkan dapat meningkatkan produksi susu secara nyata (MCCORMICK et al., 1999; LEE et al., 2001; KANJANAPRUTHIPONG dan BUATONG, 2002; LEE et al., 2006; KALSCHEUR et al., 2006; WANG et al., 2007). Pemberian ransum iso PK (20%) yang dibedakan atas dasar kadar PTD rumen tinggi (48:52) dan rendah (41:59) tidak mempengaruhi konsumsi dan kecernaan nutrien sehingga tidak berpengaruh terhadap produksi susu. Efek yang tidak nyata ini bisa jadi karena

perbedaan kadar PTD rumen yang terlalu kecil diantara keduanya. Demikian juga yang dilaporkan oleh IPHARRAGUERRE et al. (2005) karena perbedaan kadar PTD rumen dalam ransum yang mengandung bungkil kedelai dibandingkan dengan campuran protein ikan laut hanya 4,8 vs 5,2; 5,6 vs 6,4 dan 6,4 vs 7,6 masing-masing untuk ransum dengan kadar PK 14, 16 dan 18%. Pemberian PTD rumen yang tidak menghasilkan respon terhadap peningkatan produksi susu diduga karena PTD rumen yang sampai ke organ pascarumen tidak mampu dicerna oleh enzim proteolitik sehingga tidak dapat diabsorbsi oleh usus. Dengan kata lain PTD rumen yang memiliki kecernaan pascarumen rendah atau bahkan tidak mampu dicerna, akan dibuang lewat feses. Pemberian PTD rumen harus diperhatikan kecernaannya di dalam pascarumen (PUASTUTI, 2005). Beberapa penelitian pemberian PTD rumen untuk meningkatkan produksi susu disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh pemberian PTD rumen untuk meningkatkan produksi susu laktasi awal.

Perlakuan PTD sedang (5,0% BK) PTD tinggi (6,8% BK) PTD rendah (5,12% BK) PTD sedang (5,60% BK) PTD tinggi (6,08% BK) PTD 24,1% PK (3,8% BK) PTD 38,5%; PK (6,1% BK) Bungkil kedelai standar Ekstrusi 1200C Ekstrusi 1200C Ekstrusi 1200C PTTD 6,8% BK PTTD 8,2% BK PTTD 9,6% BK PTTD 11,0% BK PTD 4,5% BK PTD 5,4% BK PTD 6,6% BK PTD 7,9% BK

PK ransum (%) 17,7 17,2 16

15,9

Produksi susu Harian 4% FCM (kg/h) (kg/h) 35,3a Sapi Holstein 35,1a 41,1b 39,5b Kambing 2,59a Saanen 2,97b 3,17b Sapi persilangan 18,23a 17,57a Holstein 19,27b 18,57b Ternak

15,9

Sapi Holstein

12,3 13,9 15,5 17,1 11,9 13,0 14,2 15,4

Sapi FH

Sapi Holstein

32,8a 36,6b 35,8b 38,9b 31,7c 32,0bc 33,1ab 33,8a 27,2b 28,3ab 29,4a 29,8a

32,3 33,6 32,4 36,4 30,3c 30,8bc 32,2ab 33,1a 25,8b 27,7a 28,0a 27,1ab

Sumber MCCORMICK et al., 1999 LEE et al., 2001

KANJANAPRUTHIPONG dan BUATONG, 2002

LEE et al., 2006

KLASCHEUR et al., 2006

WANG et al., 2007

Keterangan: Huruf berbeda pada setiap kolom untuk satu hasil penelitian menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); PTD = Protein tahan degradasi; PTTD = Protein tidak tahan degradasi; BK = Bahan kering

49

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Secara umum meningkatnya kadar PTD rumen tidak mempengaruhi konsumsi BK (MCCORMICK et al., 1999; KANJANAPRUTHIPONG dan BUATONG, 2002; LEE et al., 2006; KALSCHEUR et al., 2006; WANG et al., 2007), namun meningkatkan penggunaan nutrien di dalam rumen. Meningkatnya penggunaan nutrien yang ditunjukkan dengan menurunnya N-urea plasma (MCCORMICK et al., 1999), menurunnya ekskresi N lewat feses dan urin (KALSCHEUR et al., 2006), menurunnya N-urea susu (Kanjanapruthipong dan Buatong, 2002), sebaliknya meningkatkan produksi susu dan kadar protein susu (KALSCHEUR et al., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan PTD rumen mampu meningkatkan efisiensi penggunaan protein dengan ditunjukkan oleh meningkatnya ketersediaan protein metabolisme dengan asam amino yang seimbang untuk mencukupi kebutuhan pada fase produksi tinggi. KESIMPULAN Pemberian ransum dengan kadar protein yang ditingkatkan tidak selalu meningkatkan produksi susu. Protein tahan degradasi rumen dengan kecernaan pascarumen tinggi mampu meningkatkan produksi susu. Strategi pemberian protein pada sapi perah perlu memperhatikan jumlah PTD rumen, tanpa mengabaikan ketersediaan protein untuk mikroba rumen. DAFTAR PUSTAKA BRODERICK, G.A. 2003. Effects of varying dietary protein and energy levels on the production of lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 86: 13701381. CHALUPA, W. 1975. Amino acids nutrition in growing cattle. In: Tracers Studies on NPN for Ruminant II. Int. Atomic Energy Agency. Vienna, Austria. Pp. 175-194. CHUMPAWADEE, S., K. SOMMART, T. VONGPRALUB and V. PATTARAJINDA. 2006. Effects of synchronizing the rate of dietary energy and protin release on uminal fermentation, microbial protein synthesis, blood urea nitrogen and nutrient digestibility in beef cattle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19: 181:188.

50

DAVIDSON, S., B.A. HOPKINS, D.E. DIAZ, S.M. BOLT, C. BROWNIE, V. FELLER and L.W. WHITLOW. 2003. Effects of amounts and degradability of dietary protein on lactation, nitrogen utilization and excretion in early lactation Holstein cows. J. Dairy Sci. 86: 1681-1689. HENSON, J.E., D.J. SCHINGOETHE and H.A. MAIGA. 1997. Lactational evaluation of protein supplements of varying ruminal degradabilities. J. Dairy Sci. 80:385-392. HRISTOV, A.N., R. P. ETTER, J.K. ROPP and K.L. GRANDEEN. 2004. Effect of dietarycrude protein level and degradability on ruminal fermentation and nitrogen utilization in lactating dairy cows. J. Anim. Sci. 82: 32193229. HVELPLUND, T. and J. MADSEN. 1985. Amino acid passageto the small intestine in dairy cows compared with estimates of microbial protein and undegraded dietary protein from analysis on the feed. Acta. Agric. Scand. Suppl. 25: 2136. IPHARRAGUERRE, I.R., J.H. CLARK and D.E. FREEMAN. 2005. Varying protein and strach in the diet of dairy cows: Effects on ruminal fermentation and intestinal supply of nutrients. J. Dairy Sci. 88: 2537-2555. KALSCHEUR, K.F., R.L. BALDWINVI, B.P. GLENN and R.A. KOHN. 2006. Milk production of dairy cows differing concentrations of rumendegraded protein. J. Dairy Sci. 89: 249-259. KANJANAPRUTHIPONG J., C.VAJRABUKKA and S. SINDHUVANICH. 2002. Effect of formalin treated soy bean as a source of rumen undegradable protein on rumen functions of non lactating dairy cows on concentrate based diets. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15:1439-1444. KANJANAPRUTHIPONG, J. and N. BUATONG. 2002. Effect of rumen undegradable protein and mineral proteinate on early lactation performance and ovarian function of dairy cows in the tropics. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15: 806-811. KUMAR, R.M., D.P. TIWARI and A. KUMAR. 2005. Effect of undegradable dietary protein level and plane of nutrition on lactation performance in crossbreed cattle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18: 1407-1413.` LEE, M.C., S.Y. HWANG, and P.W.S. CHIOU. 2001. Application of rumen undegradable protein on early lactating dairy goats. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14:1549-1554.

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

LEE, S.W., J.S. YANG, Y. CHOUINARD and B. NGUYEN VAN. 2006. Effect of dietary soybeans extruded at different temperatures on dairy cow milk composition. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19: 541-548.

WANG, C., J.X. LIU, Z.P YUAN, Y.M. MU, S.W. ZHAI dan H.W. YE. 2006. Effect of level of metabolizable protein on milk production and nitrogen utilization in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 90: 2960-2965.

LOBLEY, G.E., A. CONNEL, M.A. LOMAX, D.S. BROWN, E. MILNE, A.G. CALDER and D. A. H. FARMINGHAM. 1995. Hepatic detoxification of ammonia in the ovine liver: Possible consequences for amino acid catablism. Br. J. Nutr. 73: 667-685.

WU, Z. AND L.D. SATTER. 2000. Milk production during the complete lactation of dairy cows fed diets containing different amount of protein. J. Dairy Sci. 83: 1042-1051.

MCCORMICK, M.E., D.D. FRENCH, T.F. BROWN, G.J. CUOMO, A.M. CHAPA, J.M. FERNANDEZ, J.F BEATTY and D.C BLOUIN. 1999. Crude protein and rumen undegradable protein effect on reproduction and lactation performance of Holstein cows. J. Dairy Sci. 82: 2697-2708.

DISKUSI Pertanyaan: 1.

NRC. 1989. Nutrien requirement of dairy cattle. 6th revised edit. National Academy Press, Washington D.C. OLMOS COLMENERO, J.J. and G.A. BRODERICK. 2003. Effect of level of dietary crude protein on milk yield and ruminal metabolism in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 86 (Suppl. 1): 273. PROMKOT, C. and M. WANAPAT. 2005. Effect of level of crude protein and use of cottonseed meal in diets containing cassava chips and rice straw for lactating dairy cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18: 502-511.

2.

Jawaban: 1.

PUASTUTI, W. 2005. Tolok ukur mutu protein ransum dan relevansinya dengan retensi nitrogen serta pertumbuhan domba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. PUASTUTI, W., I-W. MATHIUS dan D. YULISTIANI. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai pakan imbuhan ternak domba: In sacco dan in vivo. JITV.11: 106115. SARICICEK, B. 2000. Protected (by-pass) protein and feed value of hazelnut kernel oil meal. AsianAust. J. Anim. Sci. 1:317-322. SNIFFEN CJ, ROBINSON PH. 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulations. J. Dairy Sci. 70: 425-442.

Dari paparan dapat dilihat seolah-olah kalau pakan tahan degradasi (PTD) diterapkan, diharapkan produksi susu meningkat, namun setelah dibuktikan ternyata tidak. Apakah tidak bisa bisa dilihat dari kualitas susu? Data kualitas susu mohon diinformasikan.

2.

Yang ditampilkan dalam Tabel ada yang tidak meningkatkan produksi susu, karena kualitas PTD diduga tidak tercerna di pascarumen, sebagian besar data menunjukkan kenaikan produksi susu. Jadi PTD penting diberikan tetapi tidak mengabaikan ketersediaan protein untuk sintesis protein mikroba rumen. Kualitas susu tidak ditampilkan karena dibatasi hanya sampai produksi susu. Kualitas susu akan dilaksanakan pada makalah lain. Protein tahan degradasi rumen telah dilaporkan meningkatkan kadar protein susu. Dengan pemberian PTD, juga akan menyumbang amonia N dalam bentuk urea di dalam susu.

51