Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
REFORMASI SISTEM INOVASI PERTANIAN DI INDONESIA Sudi Mardianto
PENDAHULUAN Era revolusi hijau adalah era awal pembuktian peran inovasi teknologi terhadap peningkatan produksi bahan pangan, sehingga ramalan Malthus yang mengkhawatirkan terjadinya ketidakcukupan pangan akibat laju pertumbuhan penduduk yang melebihi laju pertumbuhan peroduksi bahan pangan tidak terbukti. Namun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang dibarengi dengan degradasi sumber daya lahan dan air serta peningkatan kompetisi penggunaan lahan dan air untuk kegiatan sektor non pertanian; ancaman terhadap ketidakcukupan pangan kembali muncul. FAO (2013) melaporkan bahwa tingkat ketersediaan dan akses pangan dunia saat ini mengalami peningkatan, namun distribusinya kurang merata. Artinya, ada wilayah yang kondisi ketahanan pangannya semakin membaik, namun ada juga yang mengalami stagnasi atau bahkan menurun. Peningkatan ketersediaan bahan pangan dunia tidak terlepas dari diadopsinya berbagai inovasi teknologi pertanian mutakhir dari mulai teknis budidaya hingga penanganan pascapanen. Dengan kata lain, untuk dapat mempertahankan penyediaan pangan yang cukup diperlukan kesinambungan inovasi teknologi yang diadopsi oleh pengguna. Untuk dapat mengkondisikan adopsi teknologi secara berkesinambungan, diperlukan keterpaduan antara lembaga riset, penyuluhan, dan penerima teknologi. Keterpaduan ketiga hal tersebut umum disebut sistem inovasi (apabila terkait dengan sektor pertanian disebut sistem inovasi pertanian). Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mencatat keberhasilan dalam membangun dan mengimplementasikan sistem inovasi pertanian pada subsektor tanaman pangan melalui program Bimbingan Massalnya (Bimas). Keberhasilan program tersebut utamanya ditentukan oleh terbangunnya jalinan yang harmonis antara lembaga penghasil teknologi (melalui penciptaan varietas unggul dan perbaikan teknis budidaya), lembaga penyuluhan yang terbangun hingga tingkat kecamatan, Koperasi Unit Desa yang memfasilitasi penyediaan sarana produksi dan permodalan, serta kelompok tani untuk mengkoordinasikan kebutuhan dan gerakan petani. Dari beberapa hasil kajian, salah satu kelemahan sistem inovasi pertanian seperti model Bimas adalah diperlukannya kedisiplinan dan kekuatan komando, peran pemerintah yang sangat besar, dan kebutuhan anggaran yang besar. Hal ini terbukti, manakala pemerintah pada awal 1990an mulai mengurangi subsidi dan merestrukturisasi kelembagaan penyuluhan, laju pertumbuhan produksi tanaman pangan, khususnya padi, menurun drastis. Selain itu, dominasi pemerintah yang relatif
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
515
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
besar mengakibatkan petani selaku pengguna, terkondisi menjadi pelaku yang pasif (menunggu inovasi yang ditawarkan/ditetapkan pemerintah). Sistem inovasi pertanian seperti program Bimas, selama kurun waktu 19701980 banyak diadopsi di banyak negara. Dan bukti kelemahan seperti halnya program Bimas juga dialami oleh banyak negara. Untuk itulah kemudian dikembangkan beberapa model sistem inovasi yang diarahkan pada terbangunnya interaksi antar pelaku dan lembaga yang intens serta respon yang cepat terhadap dinamika preferensi konsumen. Arnold dan Bell (2001) telah merumuskan model sistem inovasi yang sesuai dengan karakteristik tersebut (dikenal sebagai sistem inovasi modern) dan telah banyak diacu dalam banyak kajian mengenai sistem inovasi. Dalam satu dekade terakhir sistem inovasi pertanian di Indonesia sebenarnya sudah mengarah kepada sistem inovasi modern. Hal ini dipicu oleh semakin meningkatnya peran swasta dalam penyediaan sarana produksi pertanian (saprodi), yang sebelum era Reformasi didominasi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Meningkatnya peran swasta dalam penyediaan saprodi memberikan dampak positif terhadap petani, khususnya terkait dengan penyediaan sumber inovasi yang semakin banyak. Perubahan ini tentunya juga berpengaruh terhadap sistem penciptaan dan alih teknologi pertanian yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 3 Tahun 2005. Sistem penciptaan dan alih teknologi yang ditetapkan melalui Permentan tersebut dibangun dengan menggunakan konsep sistem inovasi linier yang mengkombinasikan kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan model. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, aspek terpenting dari sistem inovasi adalah upaya memadukan berbagai lembaga (pencipta, penyampai, dan penerima teknologi) dan mengkondisikan antar pelaku di dalamnya untuk berinteraksi dan berinovasi. Namun mengingat luasnya aspek dan pelaku yang terlibat dalam sistem inovasi, maka tulisan ini akan difokuskan untuk mengkaji reformasi pada sistem penciptaan teknologi.
DINAMIKA LINGKUNGAN STRATEGIS Dinamika lingkungan strategis yang akan diulas lebih merupakan tantangan terhadap pembangunan sektor pertanian yang salah satu kunci utama untuk mengatasinya akan bertumpu pada inovasi teknologi. Secara garis besar, dinamika lingkungan strategis yang akan diulas adalah lingkungan strategis global dan domestik. Berikut adalah uraian ringkasnya.
Lingkungan Strategis Global Perubahan Iklim Global Perubahan iklim global (global climate change) memberikan dampak yang buruk terhadap produksi pertanian. Penurunan produksi pertanian yang diakibatkan
516
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
oleh gangguan iklim jauh lebih berbahaya, karena dapat terjadi dalam skala yang luas (dialami oleh banyak negara); sehingga dapat mengancam ketahanan pangan di banyak negara, khususnya negara berkembang. Tubiello dan Fischer (2007) memprediksikan bahwa selama kurun waktu 1990-2080, produksi serealia dunia akan turun sekitar 0,6-0,9 persen sebagai dampak dari perubahan iklim global (Tabel 1). Penurunan produksi terbesar akan terjadi di kawasan Asia Selatan yang mencapai 18,2-22,1 persen; sementara kawasan negara maju dan Amerika Latin diprediksikan justru tumbuh postif. Hasil kajian yang lebih menarik dilakukan oleh Easterling et al. (2007) yang mengaitkan peningkatan suhu dengan harga komoditas pertanian. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa setiap peningkatan suhu lebih dari 3 derajat Celsius akan meningkatan harga komoditas pertanian hingga 40%. Terkait dengan perubahan iklim global ini, keberadaan inovasi teknologi untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi menjadi sangat diperlukan. Keterlambataan atau abai terhadap penyediaan inovasi teknologi, khususnya yang terkait dengan inovasi yang dapat digunakan untuk adaptasi perubahan iklim, akan dapat mengancam ketersediaan bahan pangan.
Perubahan Kebijakan Pangan Peningkatan harga bahan pangan yang terjadi akhir-akhir ini menyita perhatian masyarakat dan para pengambil kebijakan di hampir seluruh negara di dunia. Selama kurun waktu 2000-2008, harga gandum telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara harga jagung dan beras meningkat lebih dari dua kali lipat (von Braun, 2008). Hasil kajian terkini menunjukkan bahwa salah satu pemicu utama peningkatan harga komoditas pangan adalah adanya kebijakan di masing-masing negara yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan domestik. Kebijakan ini mengakibatkan ketersediaan pangan di pasar dunia menjadi berfluktuasi dan sangat tergantung pada hasil produksi pertanian di masing-masing negara (World Bank, 2011). Dampak peningkatan harga komoditas pertanian, khususnya bahan pangan, berbeda antar kelompok negara (maju vs berkembang) maupun antar kelompok pendapatan (miskin vs kaya). Bagi negara berkembang yang net importir, Tabel 1. Perkiraan Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Produksi Serealia, 1990-2080 Wilayah
Dampak Perubahan (%)
Dunia Negara Maju Negara Berkembang Asia Tenggara Asia Selatan Sub Saharan Africa Amerika Latin
-0,6 sampai -0,9 2,7 sampai 9,0 -3,3 sampai -7,2 -2,5 sampai -7,8 -18,2 sampai -22,1 -3,9 sampai -7,5 5,2 sampai 12,5
Sumber: Tubiello dan Fischer (2007)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
517
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
kenaikan harga bahan pangan semakin membebani devisa, sementara bagi rumah tangga miskin, kenaikan harga bahan pangan akan berakibat pada menurunnya akses pangan dan perubahan pola permintaan pangan, yang mengarah kepada jenis pangan bergizi rendah. Tingginya pangsa pendapatan untuk pangan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, kenaikan bahan pangan akan dapat menimbulkan dampak yang lebih dramatis, seperti berkurangnya kemampuan untuk memberikan pendidikan dan perlindungan kesehatan keluarga.
Masyarakat Ekonomi Asean 2015 Ada 4 pilar utama dalam kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean 2015, yaitu (1) Asean sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas, (2) Asean sebagai kawasan dengan dayasaing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce, (3) Asean sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi Asean untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam), dan (4) Asean sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dari 4 pilar tersebut, pilar pertama yang paling penting dan mendasar karena menyangkut aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja trampil, dan modal. Pada saat MEA diberlakukan, hampir semua hambatan perdagangan barang/produk pertanian (juga non-pertanian) seperti, tarif, batasan kuantitatif, lisensi, dan NTB (non tariff barrier) lainnya akan dihapus atau sangat dibatasi. Kondisi ini mengimplikasikan perlunya inovasi teknologi untuk meningkatkan dayasaing produk pertanian Indonesia. Salah satu diskusi yang selalu muncul pada saat kesepakatan ekonomi regional maupun multilateral yang melibatkan Indonesia adalah kemampuan dayasaing Indonesia terhadap negara pesaing.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Empat disiplin ilmu yang paling sering disebutkan menciptakan peluang baru bagi teknologi pertanian di masa yang akan datang adalah: genetika, informatika, robotika dan nano teknologi. Keempat iptek tersebut diprediksi akan memegang peranan penting dalam mendukung upaya peningkatan produktivitas. Sebagai contoh, teknologi rekayasa genetika yang sejak awal kemunculannya banyak menimbulkan pro-kontra, lambat laun sudah dapat diterima sebagai salah satu upaya terobosan untuk mendorong peningkatan produksi bahan pangan sekaligus mengurangi tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini diindikasikan oleh semakin luasnya lahan transgenik di seluruh dunia. Data yang dikeluarkan oleh James (2012) menunjukkan
518
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
selama kurun waktu 1996-2012, luas pertanaman transgenik meningkat 100 kali lipat dari sekitar 1,7 juta ha (1996) menjadi 170,3 juta ha (2012). James (2012) juga mencatat bahwa perkembangan luas pertanaman transgenik yang spektakuler ini telah melibatkan sekitar 17,3 juta petani dan lebih dari 90 persennya merupakan petani kecil. Di China dan India jumlah petani kecil yang terlibat penanam tanaman transgenik masing-masing sekitar 7,2 juta petani. Antusiasme petani kecil untuk mengusahakan tanaman transgenik karena Kapas Bt telah terbukti memberikan peningkatan tambahan pendapatan sekitar 250 US$ dan menghemat penggunaan insektisida hingga 50 persen; sehingga secara riil mengurangi biaya usahatani yang harus dikeluarkan petani. Meningkatnya keterlibatan petani kecil dalam budidaya tanaman transgenik tidak terlepas dari upaya berbagai kajian yang menyatakan bahwa tanaman transgenik menguntungkan secara ekonomi dan aman bagi lingkungan. Hasil kajian tahun 2011 di Eropa mengkonfirmasi bahwa tanaman transgenik aman untuk dibudidayakan.
Lingkungan Strategis Domestik Dukungan Politik Penyuluhan Sebagai ujung tombak pembangunan pertanian, kegiatan penyuluhan yang mengalami kemunduran sejak awal reformasi diupayakan untuk direvitalisasi kembali. Keseriusan pemerintah untuk merevitalisasi penyuluhan pertanian diwujudkan dengan penetapan Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Upaya penerbitan UU tersebut dengan maksud dan harapan kiranya kegiatan penyuluhan dapat diefektifkan seiring dengan berlangsungnya era Otonomi Daerah. Untuk mengoperasionalkan UU tersebut, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, perikanan, dan Kehutanan. Namun dari berbagai hasil kajian empiris menunjukkan kegiatan penyuluhan pertanian belum menunjukkan perubahan yang berarti. Kevakuman aktivitas penyuluhan pertanian yang berlangsung cukup lama, tanpa disadari secara lambat laun telah digantikan oleh tenaga pemasaran dari produsen saprodi, yang gencar memasarkan produknya dan melakukan pengawalan secara intensif. Kondisi ini sebenarnya sudah mencirikan sistem inovasi modern, dimana pengguna teknologi (petani) mempunyai banyak alternatif untuk mendapatkan informasi inovasi teknologi yang dibutuhkan, selain petugas penyuluh pertanian pemerintah.
Meningkatnya Peran Swasta Dalam Kegiatan Pertanian Krisis ekonomi 1997/1998 telah membawa dampak perubahan yang cukup besar terhadap keterlibatan swasta dalam kegiatan di sektor pertanian. Di awali dengan liberalisasi pemasaran pupuk pada akhir tahun 1998, peran swasta dalam kegiatan budidaya pertanian semakin meningkat, khususnya dalam penyediaan sarana produksi pertanian. Seperti telah disinggung sebelumnya, momentum peningkatan peran swasta dalam kegiatan budidaya pertanian semakin diperkuat oleh lambannya
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
519
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
upaya revitalisasi penyuluhan pertanian. Selain itu, pemerintah juga membuka kesempatan kepada investor swasta dan BUMN untuk memproduksi tanaman pangan dalam konsep food estate. Peluang ini telah ditindaklanjuti oleh beberapa investor swasta dan BUMN pertanian untuk mengembangkan food estate di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Apabila keterlibatan investor swasta dan BUMN dapat berlanjut dalam jangka panjang, maka dapat dijadikan sebagai salah satu peluang untuk mendorong diseminasi inovasi teknologi kepada petani yang berada di sekitar lokasi pengembangan food estate. Dalam konteks sistem inovasi modern, kondisi ini merupakan salah satu pemicu utama berkembangnya pemanfaatan inovasi teknologi, dimana antar pelaku usaha pertanian dapat saling belajar terkait inovasi teknologi yang digunakan.
Dinamika Politik Otonomi Daerah Otonomi daerah yang diharapkan dapat lebih mendorong dan mempercepat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di seluruh wilayah RI, hingga saat ini belum menunjukkan kematangan dan konsistensi dalam implementasinya. Makna otonomi masih dipahami sebagai “kewenangan mandiri” dan “kebebasan untuk menentukan arah kebijakan pembangunan” yang dalam implementasinya diwujudkan dalam sikap “tidak mau diatur”. Situasi ini diperburuk oleh euforia pemekaran wilayah yang dalam banyak kasus juga tidak menunjukkan indikasi pelayanan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Selain itu, keberadaan dinas/badan juga relatif beragam antar daerah dalam banyak kasus menyebabkan koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah menjadi tidak optimal. Terkait dengan inovasi teknologi pertanian, selain kelembagaan penyuluhan yang belum optimal di daerah, keberadaan dinas/badan yang diberi mandat untuk mengelola inovasi juga semakin banyak. Sebagai contoh, selain keberadaan Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Daerah (Balitbangda) saat ini juga mulai dibentuk sistem Inovasi Daerah (SIDA). Keberadaan beberapa lembaga yang mengelola inovasi ini apabila tidak dikoordinasikan dengan baik, justru akan menimbulkan kontra produktif terhadap upaya pengembangan dan implementasi inovasi di daerah.
Dinamika Regulasi Sektor Pertanian Salah satu dukungan pemerintah dalam pembangunan pertanian adalah melalui penetapan berbagai regulasi untuk mengatur dan menjamin implementasi kegiatan agribisnis berjalan dengan baik dan adil untuk semua pelaku agribisnis dan konsumen. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, telah ditetapkan berbagai regulasi yang terkait dengan sektor pertanian dan beberapa diantaranya terkait dengan sistem inovasi pertanian, seperti: (a) UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, (b) UU No. 18 Tahun 2008 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, (c) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura; (d) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pangan, (e) UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan
520
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Pemberdayaan Petani, dan (f) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Berbagai UU dan PP tersebut mengamanatkan pentingnya kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendorong peningkatan produktivitas, kualitas, dan keamanan komoditas pertanian dan pangan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli 2013 juga telah mengabulkan uji materi terhadap pasal 9 ayat 3 dan pasal 12 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Uji materi kedua pasal tersebut menjadikan petani kecil diperbolehkan untuk mengembangkan varietas unggul tanpa harus mendapat izin pemerintah. Redaksional lengkap pasal 9 ayat 3 setelah diterimanya uji materi menjadi berbunyi, “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin kecuali untuk perorangan petani kecil.” Sementara untuk pasal 12 ayat 1 bunyinya menjadi, “Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri.”
DINAMIKA KONSEP SISTEM INOVASI PERTANIAN Pengertian Sistem Inovasi Dalam dua dekade terakhir, konsep atau model sistem inovasi berkembang sangat pesat. Hal ini dipicu oleh semakin dinamisnya perubahan preferensi konsumen dan pasar, yang menghendaki kualitas dan bentuk produk tertentu dan relatif mudah dipengaruhi oleh isu sosial, ekonomi, dan politik; khususnya isu lingkungan dan perubahan iklim global. Sistem inovasi tradisional yang lebih mengandalkan penyediaan teknologi dari lembaga riset (khususnya lembaga riset publik) dinilai sudah tidak memadai untuk merespon dinamika preferensi konsumen dan pasar. Untuk dapat merespon keinginan pasar dan konsumen, sejak akhir 1980an mulai dikembangkan konsep sistem inovasi yang pada intinya adalah pelibatan banyak pelaku dan lembaga yang berinteraksi secara dinamis dan fleksibel (Taufik, 2005). Definisi sistem inovasi yang pertama dan banyak diacu oleh pemerhati pembangunan ekonomi adalah yang dikemukakan oleh Freeman (1987), yaitu jaringan kelembagaan antara sektor publik dan swasta yang berinteraksi untuk memprakarsai, mengimpor (mendatangkan), memodifikasi dan mendifusikan teknologi-teknologi baru. Lundvall (1992) kemudian menyempurnakan pengertian sistem inovasi sebagai elemen dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan baru yang bermanfaat secara ekonomi di dalam suatu batas negara. Pada bagian lain Lundvall (1992) juga menyatakan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem sosial dimana pembelajaran (learning), pencarian (searching), dan penggalian/eksplorasi (exploring) merupakan aktivitas sentral, yang melibatkan interaksi antara orang/masyarakat dan reproduksi dari pengetahuan individual ataupun kolektif melalui pengingatan (remembering).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
521
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
Selanjutnya menurut Nelson (1993) sistem inovasi merupakan sehimpunan aktor yang secara bersama memainkan peran penting dalam mempengaruhi kinerja inovatif (innovative performance). Metcalfe (1995) merumuskan sistem inovasi sebagai sistem yang menghimpun berbagai institusi yang berkontribusi (secara individu atau kolektif) dalam pengembangan dan difusi teknologi-teknologi baru dan menyediakan kerangka kerja (framework) dimana pemerintah membentuk dan mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi. Perkembangan pengertian sistem inovasi kemudian dikerucutkan oleh Organisasi Ekonomi Negara Maju (OECD, 1999) yang menyatakan bahwa sistem inovasi merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar dan non-pasar di suatu negara yang mempengaruhi arah dan kecepatan inovasi dan difusi teknologi. Dari berbagai pendapat para pakar seperti tersebut selanjutnya disintesis oleh Taufik (2005) yang menjelaskan sistem inovasi sebagai suatu kesatuan dari sekumpulan entitas pelaku (aktor), kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses pembelajaran.
Dinamika Sistem Inovasi Pertanian Berdasarkan pengertian sistem inovasi yang diuraikan sebelumnya maka pengertian sistem inovasi pertanian dapat dirumuskan sebagai sekumpulan agen (seperti organisasi petani; suplai input, pengolahan, dan pemasaran; lembaga penelitian dan pendidikan; lembaga perkreditan; unit penyuluhan dan informasi, perusahaan jasa konsultasi, lembaga pembangunan internasional, dan pemerintah) yang memberikan kontribusi secara bersama-sama dan/atau secara sendiri-sendiri terhadap pengembangan difusi dan penggunaan teknologi baru serta memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap proses perubahan teknologi pertanian (Temel, et.al., 2002). Ditinjau dari sisi kelembagaan, meningkatnya kontribusi inovasi teknologi pertanian terhadap peningkatan produktivitas komoditas pertanian terkait erat dengan perubahan sistem inovasi pertanian. Selama dua dekade terakhir, telah terjadi pergeseran dalam sistem inovasi dan strategi kebijakan pertanian, yaitu dari sistem inovasi linier yang berbasis penelitian pertanian nasional (National Agricultural Research System-NARS), ke sistem inovasi berbasis pengetahuan pertanian dan sistem informasi (Agricultural Knowledge and Information System- AKIS), dan yang terkini adalah sistem inovasi pertanian modern (Agricultural Innovation System- AIS) (World Bank, 2012). Salah satu penciri utama sistem inovasi pertanian modern adalah semakin meningkatnya peran pelaku bisnis selaku pengguna teknologi dalam proses inovasi dan mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain secara dinamis dan fleksibel (Mardianto, 2013). Sistem inovasi modern sebenarnya tercipta melalui proses akumulasi pengetahuan dari perkembangan sistem inovasi pertanian itu sendiri. Kelemahan NARS yang terfokus terhadap lembaga riset selaku pencipta teknologi dan pengetahuan,
522
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
diatasi dengan AKIS yang menambahkan perlunya pendidikan bagi penyuluh dan petani. AKIS ternyata juga dirasa kurang progresif dalam mendorong implementasi inovasi teknologi, sehingga muncullah AIS yang mensyaratkan adanya keterkaitan, dinamisasi, dan fleksibilitas di dalam maupun antar sub sistem inovasi. Ketiga konsep sistem inovasi pertanian secara ringkas disintesa oleh Bank Dunia seperti terlihat pada Tabel 2 (World Bank, 2012). Pada prinsipnya ada 5 (lima) aspek yang perlu ditekankan dalam sistem inovasi (Taufik, 2005), yaitu: 1.
Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusinya, seperti misalnya sistem inovasi nasional atau daerah; sistem inovasi sektor ekonomi tertentu; atau sistem inovasi komoditas tertentu.
2.
Pelaku dan/atau organisasi (lembaga) yang relevan dengan perkembangan inovasi (dan difusinya). Pelaku dan lembaga ini ada yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam rantai nilai proses inovasi, pemanfaatan, dan/atau difusinya.
3.
Kelembagaan, hubungan/keterkaitan, jaringan dan interaksi antarpihak yang mempengaruhi inovasi dan difusinya.
4.
Fungsionalitas, yaitu menyangkut kegunaan dan peran kunci dari elemen, interaksi dan proses inovasi dan difusi serta proses pembelajaran.
Tabel 2. Ciri dari NARS, AKIS dan AIS Penciri
NARS
AKIS
Aktor utama
Lembaga Riset (utamanya lembaga riset publik)
Lembaga Riset, Penyuluhan, dan Pendidikan
Hasil (output)
Penciptaan dan transfer teknologi
Prinsip organisasi
Menggunakan ilmu pengetahuan untuk menciptakan teknologi baru Transfer teknologi
Adopsi teknologi dan inovasi dalam proses produksi pertanian Mengakses pengetahuan pertanian
Mekanisme pemanfaatan inovasi Peran kebijakan
Sifat penguatan kapasitas
Alokasi dan prioritas sumber daya
Infrastruktur dan manusia
Pengetahuan dan pertukaran informasi Mengatur, menghubungkan penelitian, penyuluhan, dan pendidikan Pengembangan sumber daya dan komunikasi antar pelaku di pedesaan
AIS Semua aktor di sektor publik dan swasta terlibat dalam penciptaan, difusi, adaptasi, dan penggunaan pengetahuan pertanian Berbagai jenis inovasi - baik teknologi maupun kelembagaan Menggunakan pengetahuan baru untuk perubahan sosial dan ekonomi Interaksi dan proses pembelajaran inovasi antar pemangku kepentingan Mengkondisikan pemanfaatan dan penciptaan inovasi berkembang dinamis dan aktif Memperkuat interaksi antara semua aktor Menciptakan lingkungan yang kondusif
Sumber: World Bank (2012)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
523
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
5.
Aktivitas, yaitu menyangkut upaya/proses atau tindakan penting dari proses inovasi dan difusi.
Berdasarkan pengalaman negara maju yang berhasil mengembangkan model sistem inovasi, ada 3 (tiga) faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu negara dalam membangun sistem inovasi (Taufik, 2010). Pertama, kemampuan mengembangkan dan membangun keterkaitan 5 (lima) aspek penting yang telah diulas sebelumnya, sehingga selain memperkuat basis iptek, juga berdampak pada perbaikan ekonomi dan sosial budaya. Kemampuan tersebut memungkinkan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya dan kapabilitas secara efektif dan berkembangnya economic and knowledge spillover dalam masyarakat. Kedua, kemampuan menciptakan dan memperbaiki iklim bisnis dan inovasi yang kondusif. Upaya ini penting dilakukan untuk membangun persaingan yang sehat antar pelaku ekonomi, khususnya dalam berinovasi untuk menghasilkan produk barang dan jasa (atau sistem produksi) yang memenuhi kebutuhan pasar dan preferensi konsumen. Iklim usaha yang kondusif akan memicu perkembangan dan aliran pengetahuan, inovasi dan difusinya, serta meningkatkan proses pembelajaran dalam masyarakat. Ketiga, memperkuat kebijakan pendukung inovasi, karena perkembangan sistem inovasi selain ditentukan oleh interaksi para pelaku dan lembaga yang terlibat di dalamnya juga oleh ketersediaan infrastruktur dan kebijakan ekonomi negara atau wilayah yang bersangkutan.
Hasil Kajian Sistem Inovasi Pertanian di Indonesia Terkait dengan sistem inovasi pertanian, Fitria, et al. (2004), menunjukkan bahwa sistem inovasi pertanian di Indonesia belum terbentuk interaksi timbal balik yang seragam antara pelaku di dalam maupun antar sistem. Kajian yang mengambil kasus komoditas padi ini mencontohkan bahwa hubungan antara BBPadi selaku penghasil teknologi dengan PT Sang Hyang Seri (SHS) selaku pengganda teknologi telah terjalin dengan baik; sementara hubungan antara Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang juga mengembangkan varietas unggul padi dengan PT SHS masih perlu lebih ditingkatkan lagi. Selain itu, Fitria, et.al. (2004) juga menyimpulkan bahwa sistem inovasi padi masih memerlukan campur tangan pemerintah yang besar untuk mengoperasionalkannya. Temuan lain yang menarik adalah Jejaring kerja (networking) di dalam sistem penciptaan teknologi juga masih jauh dari optimal. Hubungan antara BBPadi dengan BATAN dan lembaga litbang perguruan tinggi masih terlihat berjalan sendiri-sendiri. Dalam konsep sistem inovasi modern, keterkaitan antar pelaku di dalam sistem penciptaan teknologi merupakan syarat utama untuk dapat menghasilkan teknologi yang benar-benar unggul dan dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Kajian terhadap sistem inovasi padi kemudian diperdalam oleh Mulatsih dan Fatony (2006) yang menfokuskan pada sistem penyaluran teknologi (delivery system). Beberapa kesimpulan menarik dari kajian ini antara lain: (a) hubungan antara lembaga
524
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
pencipta teknologi (BBPadi) dengan pengguna (petani padi) masih cenderung bersifat satu arah. Hal ini diindikasikan oleh masih relatif sulitnya petani untuk memberikan umpan balik terhadap BBPadi terkait dengan perubahan preferensi konsumen terhadap jenis dan kualitas beras; (b) fanatisme petani terhadap jenis varietas unggul padi tertentu (misalnya IR64) lebih disebabkan oleh masih besarnya permintaan pasar terhadap varietas tersebut. Kondisi ini mempersulit upaya untuk mengenalkan varietas unggul baru yang sebenarnya mempunyai keunggulan dan kualitas yang relatif berbeda; dan (c) kelembagaan penyaluran teknologi yang mengambil kasus lembaga penyuluhan saat ini kinerjanya kurang optimal. Salah satu penyebabnya adalah relatif terbatasnya anggaran operasional yang dapat digunakan oleh PPL. Kajian terbaru yang terkait dengan sistem inovasi pertanian dilakukan oleh Gijsbers (2009) dengan mengambil kasus di empat negara, yaitu Indonesia, Vietnam, Pakistan, dan Sri Lanka. Kajian yang dilakukan oleh Gijsbers (2004) mencakup sistem penciptaan, penyaluran, dan penggunaan teknologi hingga keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan jaringan supermarket dalam pengembangan sistem inovasi pertanian. Terkait dengan lembaga litbang pertanian pemerintah, salah satu kesimpulan yang menarik adalah keberadaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, telah menimbulkan problematik di internal Badan Litbang Pertanian. Ada tiga problematik keberadaan BPTP yang menarik untuk dikutip. Pertama, kemunculan BPTP telah menimbulkan masalah koordinasi dan keterkaitan fungsi antara Balai Penelitian komoditas yang mempunyai mandat nasional dengan BPTP yang mempunyai mandat pengembangan teknologi daerah (spesifik lokasi). Kedua, pembentukan BPTP secara massal dan dalam waktu yang relatif singkat membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi BPTP sebagai penyedia teknologi spesifik lokasi. Hal ini disebabkan karena dukungan sumberdaya manusia dan fasilitas pengkajian sangat beragam antar BPTP dengan kecenderungan banyak yang belum memadai untuk melakukan aktivitas pengkajian teknologi spesifik lokasi. Selain itu, keberadaan BPTP telah mengakibatkan hubungan atau komunikasi Balit komoditas dengan petani menjadi sulit dilakukan. Ketiga, pada awal pembentukannya, BPTP dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (saat ini Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) dan adanya tambahan tugas ini telah berdampak terhadap penurunan kinerja penelitian sosek pertanian. Untuk itu, sejak tahun 2006 BPTP dikoordinasikan oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Belum harmonisnya hubungan kerja antara Balit nasional dengan BPTP telah berdampak terhadap sulitnya menjalin hubungan kerja dengan pelaku di luar sistem penciptaan teknologi. Secara kebetulan kondisi ini diperparah oleh menurunnya kinerja lembaga penyuluhan pertaniain, sehingga menjadi valid untuk mengatakan bahwa salah satu pelambatan perkembangan inovasi pertanian disebabkan oleh buruknya jalinan kerja sama antara sistem penciptaan dengan sistem penyaluran teknologi.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
525
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
KONDISI KELEMBAGAAN SISTEM INOVASI SAAT INI Kinerja Lembaga Riset Pertanian Publik Lembaga penelitian dan pengembangan pertanian yang terbesar di Indonesia adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berada di bawah Kementerian Pertanian. Jumlah penelitinya sebanyak 1.812 orang dengan berbagai jenjang fungsionalnya (Tabel 3). LIPI sebagai lembaga riset pemerintah nonkementerian terbesar jumlah penelitinya “hanya” 1.575 orang. Total jumlah peneliti di Indonesia saat ini sebanyak 9.029 orang. Badan Litbang Pertanian sejak didirikan pada tahun 1974, telah mengalami berbagai perubahan struktur organisasi, namun mandat kegiatannya relatif tidak berubah. Dilihat dari alokasi anggaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, pada Gambar 1 terlihat bahwa secara nominal anggaran kegiatan penelitian selama kurun waktu 1974-2003 secara konsisten mengalami peningkatan. Namun secara riil dengan menggunakan paritas dolar Amerika Serikat tahun 1999, terlihat alokasi anggaran untuk kegiatan penelitian berfluktuasi dan selama kurun waktu 1983-2003 relatif konstan pada kisaran antara 200-250 juta dolar AS. Selama kurun waktu tersebut alokasi anggaran pemerintah untuk kegiatan penelitian pertanian tertinggi terjadi pada tahun 1997 yang mencapai 283,62 juta dolar AS, kemudian mengalami penurunan akibat krisis ekonomi, dan secara perlahan kembali meningkat mendekati periode sebelum krisis, dimana alokasi anggaran penelitian tahun 2003 sudah mencapai sebesar 269,84 juta dolar AS. Tabel 3. Jumlah Peneliti di Kementerian dan Lembaga Non-Kementerian, 2014 No
Kementerian/Lembaga
1
Kementerian Pertanian
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Badan Tenaga Nuklir Nasional Kementerian Kelautan & Perikanan Kementerian Kesehatan Kementerian Kehutanan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Kementerian Perindustrian Kementerian Esdm LAPAN BPPT Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Agama Kementerian Dalam Negeri Kementerian Perhubungan Kementerian Komunikasi & Informasi Kementerian/Lembaga lainnya
Total
Peneliti Pertama
Peneliti Muda
Peneliti Utama
Total
475 459 126 156 181 116 185 121 130 68 3 77 59 162 62 54 271
499 474 119 193 146 171 253 122 55 90 48 56 48 58 29 34 217
559 393 155 109 99 135 259 130 68 93 131 102 59 48 49 48 251
279 249 60 70 24 46 43 16 34 22 66 22 27 9 3 6 48
1812 1575 460 528 450 468 740 389 287 273 248 257 193 277 143 142 787
2705
2612
2688
1024
9029
Sumber: Pusbindiklat LIPI
526
Peneliti Madya
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Alokasi anggaran untuk kegiatan riset pertanian publik di Indonesia apabila diperbandingkan dengan negara lain, masih relatif tertinggal. Cina sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya; secara konsisten mengalokasikan anggaran untuk riset dalam jumlah yang cukup besar. Selama kurun waktu 1991-2006, anggaran riset pertanian publik Cina meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 1 174 juta dolar AS menjadi 2 574 juta dolar AS atau tumbuh sekitar 5,4 persen per tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah India yang secara konsisten meningkatkan alokasi anggaran riset publik di sektor pertanian. Malaysia yang secara geografis lebih kecil dari Indonesia alokasi riset publik untuk sektor pertanian jauh melampaui Indonesia. Pada tahun 2002, alokasi belanja riset pertanian Indonesia hanya 177 juta dolar AS, sementara Malaysia mencapai 424 juta dolar AS (Tabel 4). 800000
300
250 600000
200 400000
150 100
200000
50 0
Anggaran Riset dalam juta Rupiah
0
Anggaran Riset dalam juta PPP US$ 1999 Gambar 1.
Alokasi Anggaran Riset Publik, Tahun 1974-2003 (Fuglie and Piggott, 2006)
Tabel 4. Belanja Penelitian Pertanian di 12 Negara Asia Pasifik, Tahun 1991-2002 (dalam juta dolar Amerika Serikat 2005) Total Belanja 1991 1996 Cina 1 174 1 531 Bangladesh 81 82 India 746 861 Nepal na 15 Pakistan 223 188 Sri Lanka 39 42 Indonesia 220 255 Laos na Na Malaysia 227 267 Philipina 80 121 Vietnam 8 22 Papua Nugini 28 35 Sumber: Beintema and Stads (2008) Negara
2002 2 574 109 1 355 26 171 51 177 13 424 141 56 28
Laju Pertumbuhan (%) 1991-96 1996-02 1991-02 4,7 9 5,4 1,2 5,7 3,4 2,8 8,4 6,5 na 12,1 7 -2,6 -1,1 -2,6 1,1 5 3,5 3,6 -7,9 -4,4 na -5,1 0,4 2,6 6,9 4,4 9,2 0,7 4,4 18,8 19,6 19,1 4,6 -4,8 0,1
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
527
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
Penyuluhan dan Kelompok Tani Sejarah panjang keberadaan lembaga penyuluhan pertanian yang dimulai sejak jaman kolonial Hindia Belanda mencapai momentum peran pentingnya pada era pemerintahan Orde Baru. Peran kunci lembaga penyuluhan pertanian dalam implementasi program Bimbingan Massal (Bimas) untuk mendorong peningkatan produksi padi, telah menjadikan para penyuluh pertanian benar-benar sebagai “ujung tombak” pembangunan pertanian. Selama periode 1974-1993 pemerintah setiap tahun merekrut penyuluh pertanian lapangan (PPL) dalam jumlah yang cukup besar (Gambar 2). Pada saat itu pemerintah merekrut tenaga penyuluh pertanian lapangan dari lulusan Sekolah Menengah Pertanian Atas (SPMA) dan tenaga penyuluh pertanian spesialis (PPS) dari sarjana pertanian, peternakan, dan perikanan. Untuk mendukung pelaksanaan tugas penyuluh pertanian, pemerintah juga melakukan pembenahan sistem kelembagaan penyuluhan pertanian. Di pusat, pemerintah mendirikan Badan Pendidikan, Latihan, dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP) yang diantaranya bertugas mengkoordinasikan program penyuluhan serta membina dan melatih tenaga penyuluh. Di provinsi dibentuk Balai Informasi Pertanian (BIP) yang merupakan unit pelaksana teknis BPLPP di daerah. Di tingkat kecamatan, pemerintah membangun Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai unit yang menangani kegiatan penyuluhan di pedesaan. Pemerintah pada saat itu sangat memahami bahwa sistem penyuluhan mempunyai peran vital dalam mendiseminasikan paket teknologi yang ditetapkan pemerintah (Hermanto, 2001). Untuk itu, kegiatan penyuluhan diberikan alokasi anggaran dan fasilitas kerja yang memadai. Dominasi peran lembaga penyuluhan dalam menyampaikan paket teknologi yang harus diadopsi oleh petani menjadikan petani padi kurang mandiri dalam berinovasi (Hariadi, 2009). Penyuluhan pertanian mengalami degradasi baik dalam peran maupun fungsinya, dimulai sejak diterapkannya penyuluhan dengan pendekatan monovalen (sejak tahun 1986) dan puncaknya ketika pembinaan kelembagaan penyuluhan diserahkan ke Daerah, namun tidak diikuti dengan penyerahan anggarannya (sejak tahun 1991). Kondisi ini diperburuk oleh menurunnya pembinaan terhadap penyuluh, sehingga ketrampilan penyuluh mengalami stagnasi dan bahkan cenderung menurun (Slamet, 2006). Penurunan kinerja penyuluhan hingga saat ini masih belum teratasi dengan baik, meskipun sudah ada UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Untuk mempermudah dan mempercepat penyebaran informasi yang dilakukan penyuluh, maka kegiatan penyuluhan dalam pelaksanaannya dilakukan melalui kelompok tani. Cakupan wilayah kerja seorang PPL sekitar 7-10 kelompok tani, sehingga perkembangan jumlah kelompok tani sejalan dengan perkembangan jumlah PPL (Gambar 2). Secara konseptual, kelompok tani didefinisikan sebagai kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Dalam konteks usahatani padi, maka
528
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
50000
400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
40000
30000 20000
10000
PPL Gambar 2.
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
0
KLPTN
Perkembangan Jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan dan Kelompok Tani di Indonesia, 1974-2011.
keberadaan kelompok tani padi dimaksudkan sebagai wadah petani padi untuk bersatu dengan tujuan utama meningkatkan usahatani padi secara berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rumah tangga petani. Pada era Orde Baru, pembentukan kelompok tani padi lebih diarahkan untuk mempermudah dan mempercepat penyampaian informasi, bantuan dan pelaksanaan program, serta mengkoordinasikan kebutuhan petani. Melalui kelompok tani, program peningkatan produksi padi yang dikemas dalam paket intensifikasi khusus (insus) maupun supra insus dapat terlaksana serentak dan massal. Pola pemanfaatan kelompok tani sebagai sarana untuk menyampaikan inovasi baru harus diakui keberhasilannya dalam mendorong pertumbuhan produktivitas padi. Namun karena pendekatan dalam penyampaiannya lebih bersifat “top-down” dan sarat dengan nuansa “paksaan” maka dalam perkembangannya mengkondisikan petani padi menjadi tidak kreatif dan tergantung pada bantuan pemerintah (Nuryanti dan Swastika, 2011). Memasuki era reformasi keberadaan kelompok tani padi mengalami penurunan seiring dengan menurunnya kinerja penyuluhan. Selama periode 2005-2010 kelembagaan kelompok tani mengalami peningkatan kembali, namun mengalami pergeseran orientasi. Pembentukan kelompok tani akhir-akhir ini lebih dipicu oleh adanya persyaratan bahwa bantuan program pemerintah harus disalurkan melalui kelompok tani yang diverifikasi oleh pemerintah daerah setempat. Adanya verifikasi ini menjadikan kelompok tani sebagai lembaga formal yang difungsikan sebagai alat untuk mendistribusikan berbagai bentuk bantuan dan sebagai syarat untuk dilibatkan dalam berbagai program pembangunan pertanian (Syahyuti, 2007).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
529
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
Koperasi Unit Desa Koperasi Unit Desa (KUD) secara formal keberadaanya dimulai sejak tahun 1973 melalui Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1973 tentang pembentukan BUUD dan KUD. Sebagai salah satu lembaga pendukung program peningkatan produksi padi, keberadaan KUD selama kurun waktu 1974-1996 juga mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi (Gambar 3). Sebagai unit usaha ekonomi, keberadaan KUD dalam program Bimas difungsikan oleh pemerintah sebagai lembaga penyalur sarana produksi pertanian bersubsidi, kredit usahatani padi, dan mitra kerja Bulog dalam mengoperasionalkan harga dasar gabah. Fungsi KUD yang dalam sistem inovasi pertanian dikenal sebagai bagian dari sistem penyalur (delivery system), berjalan dengan sangat baik, dimana petani padi pada saat itu relatif mudah mendapatkan input pertanian, ketersediaan ongkos produksi melalui KUT, dan kemudahan untuk menjual hasil panen yang telah dijamin dengan harga dasar gabah. Keberhasilan KUD dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu pelaku dalam sistem penyaluran inovasi padi tidak terlepas dari dukungan pemerintah dalam skim pembiayaan KUD untuk pengadaan sarana produksi pertanian, kredit usahatani, dan pembelian gabah petani. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi 1997/1998, perlakuan khusus terhadap KUD mulai dihilangkan satu per satu. Pada bulan Desember 1998 pemerintah secara resmi menghapus subsidi pupuk dan menetapkan dimulainya era liberalisasi pasar pupuk. Monopoli distribusi pupuk oleh PT. Pusri melalui KUD berakhir dan swasta diperbolehkan terlibat dalam pemasaran pupuk (walaupun pemerintah akhirnya memberikan subsidi pupuk lagi mulai tahun 2001). Peran KUD dalam pengadaan gabah di tingkat petani juga dikurangi melalui penetapan Inpres No. 32 Tahun 1998 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah serta Harga Pembelian Gabah dan Beras; dimana pemerintah menetapkan bahwa pelaku pengadaan gabah/beras di dalam negeri adalah KUD dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (sebelumnya hanya KUD). Peran KUD untuk mengoperasionalkan
8000 6000 4000
KUD
2000 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
0
Gambar 3. Perkembangan Jumlah KUD di Indonesia, 1974-2011
530
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
HDG akhirnya berakhir sejak dikeluarkannya Inpres No. 8 Tahun 2000 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah serta Harga Pembelian Gabah dan Beras; dimana pemerintah hanya memberi kewenangan kepada Bulog untuk mengoperasionalkan HDG. Peran KUD semakin mengecil manakala melalui UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), BI tidak lagi menyalurkan kredit program (termasuk KUT) (Hermanto, 2001). Penghilangan peran khusus KUD benar-benar berdampak buruk terhadap eksistensi keberadaan KUD, sehingga banyak yang tidak beroperasi lagi (tutup).
BULOG serta BUMN Pupuk dan Benih Bulog diberi tugas oleh pemerintah untuk mengendalikan stabilitas harga dan penyediaan kebutuhan pokok, terutama di tingkat konsumen. Peran Bulog tersebut dikembangkan lagi dengan ditambah mengendalikan harga produsen melalui instrumen harga dasar untuk melindungi petani padi. Dalam perkembangan selanjutnya, peran Bulog tidak hanya terbatas pada beras saja, tetapi juga mengendalikan dan menyediakan komoditas pangan yang lain seperti gula pasir, tepung terigu, kedele, minyak goreng, telur, dan daging; termasuk juga bumbubumbuan dan pakan ternak, yang dilakukan secara insidentil, khususnya pada saat terjadi peningkatan harga (Saifullah, 2001). Sampai sebelum periode krisis ekonomi 1997/1998, Bulog dinilai berhasil menjalankan tugas mengatur logistik bahan pangan, khususnya beras. Keberhasilan Bulog tersebut tidak terlepas dari adanya dukungan paket kebijakan yang terintegrasi. Untuk setiap tujuan yang akan dicapai dalam kebijakan perberasan, pemerintah menyediakan satu atau beberapa instrumen kebijakan yang saling terkait. Sebagai contoh, pada saat pemerintah menugaskan Bulog untuk melakukan pembelian hasil panen petani; pemerintah juga menyediakan outlet untuk hasil pengadaan tersebut. Guna memeratakan stok antar daerah, Bulog juga membangun jaringan pergudangan di daerah produsen dan konsumen yang tersebar di sekitar 1 500 lokasi gudang dengan kapasitas sekitar 3,5 juta ton (Saifullah, 2001). Krisis ekonomi 1997/1998 berdampak sangat signifikan terhadap tugas dan fungsi Bulog selanjutnya. Salah satu syarat pemberian bantuan IMF untuk memulihkan ekonomi Indonesia pada saat itu adalah menghilangkan monopoli Bulog dalam pengendalian bahan pangan utama. Akibatnya kewenangan Bulog harus dikurangi, dan hanya diperbolehkan mengatur komoditas pangan yang dianggap sangat strategis. Terkait dengan komoditas beras, tugas utama Bulog adalah menjaga stabilitas pasokan dan harga beras/gabah di tingkat petani dan konsumen, melalui instrumen pengadaan pangan dan operasi pasar. Disamping itu, Bulog juga melaksanakan program pemerintah, berupa pemberian bantuan pangan (beras) kepada rumah tangga miskin. Sejak tahun 2003, Bulog telah menjadi Perum Bulog dan pelaksanaan tugas pengamanan harga gabah di tingkat petani, dilakukan melalui instrumen harga pembelian pemerintah (HPP). Terkait dengan kebijakan impor beras, Bulog ditetapkan sebagai pengimpor beras utama. Keberhasilan Bulog dalam mengendalikan logistik
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
531
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
beras tidak terlepas dari peran BUMN lain yang menunjang dari sisi penyediaan input pertanian, yaitu BUMN pupuk dan BUMN penyedia benih. Keberadaan kedua BUMN tersebut telah menjamin ketersediaan pupuk dan benih unggul padi.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dan Supermarket Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam sistem inovasi pertanian dalam satu dekade terakhir di Indonesia semakin meningkat. Kelembagaan LSM sangat bervariasi dari mulai level regional, nasional, hingga internasional. Peran mereka juga beragam dari mulai pendampingan langsung ke komunitas masyarakat tertentu, advokasi kebijakan di tingkat regional maupun nasional, hingga keterlibatan dalam program pembangunan nasional. Terkait dengan pembangunan sektor pertanian, peran LSM saat ini banyak yang terlibat dalam pendampingan petani, mengarahkan kebijakan pemerintah agar lebih berpihak kepada petani, pengawasan implementasi bioteknologi, dan mewakili petani dalam konsultasi kebijakan publik (Antlov et.al., 2005). Keterkaitan supermarket dalam sistem inovasi pertanian saat ini semakin penting, karena merupakan penghubung terdekat pemasaran produk pertanian dengan konsumen. Berbagai inovasi pertanian saat ini munculnya sebagian berasal dari supermarket yang mengamati secara langsung kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap produk pertanian, termasuk beras. Natawidjaja et al. (2008) menemukan bahwa kondisi pasar dan permintaan beras saat ini telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Di pasar ditemukan banyak beredar berbagai produk beras berkualitas premium dipasarkan melalui kios-kios khusus dan supermarket. Segmen pasar khusus ini juga mencakup beras organik dan bermacam beras yang disajikan di restoran-restoran wisata kuliner sehingga bisa dijual dengan harga tinggi. Namun indikasi tersebut belum jelas memperlihatkan sampai sejauh mana keterlibatan petani, utamanya petani kecil, pada perkembangan modernisasi pasar tersebut. Di Indonesia, supermarket lokal telah ada sejak 1970-an, meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Supermarket bermerek asing mulai masuk ke Indonesia pada akhir 1990-an semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka pada 1998. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan supermarket di kota-kota lebih kecil dalam rangka mencari pelanggan baru dan terjadinya perang harga. Akibatnya, bila supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas menengah-atas pada era 1980-an dan awal 1990-an (CPIS, 1994), penjamuran supermarket hingga ke kota-kota kecil dan adanya praktik “pemangsaan” melalui strategi pemangkasan harga memungkinkan konsumen kelas menengah-bawah untuk mengakses supermarket. Persoalan ini tentu juga dialami di negara berkembang lainnya (Reardon et.al., 2003; Collett and Wallace, 2006). Pertumbuhan supermarket dalam hal pangsa pasar juga mengesankan. Laporan World Bank (2007) menunjukkan bahwa pada 1999 pasar modern hanya meliputi 11 persen dari total pangsa pasar bahan pangan. Menjelang 2004, jumlah
532
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
tersebut meningkat tiga kali lipat menjadi 30 persen. Terkait dengan tingkat penjualan, studi tersebut menemukan bahwa jumlah penjualan di supermarket bertumbuh ratarata 15 persen, sementara penjualan di ritel tradisional menurun 2 persen pertahun. Pricewaterhouse Coopers (2004) memperkirakan bahwa penjualan di supermarket meningkat 50 persen antara 2004 dan 2007, dengan penjualan di hipermarket yang meningkat 70 persen pada periode yang sama. Menurut laporan AC Nielsen Asia Pacific Retail and Shopper Trend 2005, kecenderungan publik untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional telah mengalami penurunan rata-rata 2 persen pertahun. Praktik bisnis supermarket juga semakin berkembang (hal ini merupakan bagian dari inovasi). Barang yang dijual supermarket relatif merupakan barang-barang bermutu tinggi, dengan harga pasti, harga yang bersaing, dan kadang-kadang ditawarkan diskon borongan. Terlebih lagi, mereka menawarkan aneka pilihan pembayaran, mulai dari tunai dan kartu kredit hingga pendanaan untuk barang-barang yang lebih besar. Tempat pembelanjaan juga terang, bersih, dan memiliki fasilitas yang berfungsi dengan baik, seperti toilet dan tempat makan (Suryadarma, et.al., 2008).
REFORMASI SISTEM INOVASI PERTANIAN Konsep Umum Reformasi sistem inovasi pertanian menggunakan model sistem inovasi modern yang kembangkan oleh Arnold dan Bell (2001) seperti terlihat pada Gambar 4. Prinsip utama yang dijadikan dasar dalam sistem inovasi modern adalah terjadinya interaksi para pelaku di dalam dan/atau antar lembaga yang terlibat dalam sistem inovasi. Selain itu, model ini juga menghendaki semua pelaku yang terlibat didalamnya melakukan kegiatan inovasi, baik secara manajemen maupun dalam menciptakan dan/atau memanfaatkan hasil riset dari semua lembaga litbang yang ada. Melalui prinsip ini maka dinamika pasar dan preferensi konsumen dapat secara cepat dan tepat direspon oleh pelaku bisnis, termasuk petani padi. Berbeda dengan sistem inovasi padi terdahulu yang lebih mengandalkan “dorongan pengetahuan” (push science), model sistem inovasi padi modern memposisikan sistem pengguna teknologi sebagai penggerak utama dinamika inovasi. Dinamika inovasi akan terjadi di sistem pengguna karena pengguna teknologi diposisikan sebagai pelaku aktif (di model sebelumnya cenderung pasif) dalam berinovasi. Selain itu, di sistem pengguna inilah pengetahuan dan teknologi diterjemahkan dalam bentuk barang dan jasa. Interaksi antar pengguna teknologi menjadikan inovasi semakin berkembang, karena antar pelaku akan saling belajar (learning process).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
533
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
Permintaan x Konsumen produk final x Produsen pengolahan
Sistem Litbang x x x x
Balitbangtan IRRI PT Swasta
x Perbankan x HaKI
Perantara Teknologi x x x x x x
BPTP Penyuluhan KUD LSM Supermarket Produsen Teknologi
Sistem Pengguna x x x x
Petani Perusahaan swasta BUMN/BUMD Koperasi
Infrastruktur x Standarisasi x Sistem pendukung bisnis & inovasi pertanian
Kondisi Pemampu (enabling condition) Kebijakan Ekonomi Sosial Budaya x Kebijakan Moneter x Keterbukaan sikap mau belajar x Kebijakan fiskal x Sikap kewirausahaan x Kebijakan perdagangan x kepercayaan
Gambar 4. Sistem Inovasi Padi (diadaptasi dari Arnold dan Bell, 2001)
Dikaitkan dengan program peningkatan produksi padi yang ada saat ini, prospek interaksi dalam sistem pengguna teknologi padi akan semakin luas karena tidak hanya antar petani padi saja, namun petani padi juga dapat berinteraksi dengan perusahaan besar swasta, BUMN/BUMD, dan koperasi melalui program food estate dan GP3K. Proses ini apabila dapat terimplementasi dalam jangka panjang, akan sangat membantu pemerintah dalam aspek diseminasi teknologi.
534
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Perusahaan besar swasta dan BUMN/BUMD dengan kekuatan modal yang dimiliki akan lebih leluasa dalam mengakses teknologi dan dalam proses interaksinya dengan petani skala kecil di lapangan maka proses perembesan teknologi akan terjadi. Kondisi ini secara tidak langsung juga semakin memperluas jangkauan petani padi skala kecil terhadap berbagai sumber teknologi di luar lembaga litbang padi pemerintah. Dengan demikian, kebijakan sistem inovasi ke depan yang paling dibutuhkan adalah kebijakan yang mampu menarik pihak swasta dan usaha skala besar (termasuk BUMN/BUMD) untuk mengembangkan sektor pertanian, khususnya bahan pangan utama. Apabila hal ini dapat dilakukan maka akan dapat membantu keterbatasan anggaran pemerintah dalam meningkatan komoditas bahan pangan utama secara berkelanjutan. Seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, tuntutan terhadap kualitas produk yang dikonsumsi juga semakin meningkat. Tuntutan konsumen yang menghendaki kualitas dan standar produk yang tinggi berperan besar terhadap berkembangnya inovasi. Dalam konteks persaingan perusahaan situasi ini justru semakin menggairahkan perusahaan untuk bersaing mempertahankan atau bahkan merebut pangsa pasar dengan memenuhi standar dan preferensi konsumen, melalui inovasi teknologi. Tanpa dinamika dan tekanan pasar, inovasi akan cenderung stagnan. Interaksi antara sistem pengguna dengan konsumen akan mendorong berkembangnya inovasi termasuk kebutuhan teknologi baru. Kebutuhan teknologi baru dapat berupa teknologi yang sama sekali baru atau penyempurnaan teknologi yang sudah ada atau adaptasi spesifik lokasi. Untuk memenuhi kebutuhan teknologi baru ini maka sistem penelitian dan pengembangan akan mengambil peran yang utama. Terkait dengan efisiensi dan keterbatasan alokasi anggaran riset, pelaksanaan kegiatan riset yang digerakkan oleh kebutuhan pengguna dan dinamika perubahan preferensi konsumen sangat sesuai diterapkan, khususnya di negara berkembang. Pola seperti inilah yang perlu dikembangkan oleh sistem penciptaan teknologi padi di Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Peran lembaga riset yang berorientasi pengguna akan semakin optimal apabila mampu berinteraksi dengan baik dengan sistem perantara teknologi (technology broker). Keberadaan sistem perantara teknologi dalam sistem inovasi modern memegang peranan penting dalam menjembatani kebutuhan pengguna dengan lembaga riset. Selain itu, sistem perantara teknologi juga dapat difungsikan sebagai sumber teknologi alternatif termasuk membantu mengadaptasikan teknologi yang dubutuhkan pengguna. Sebagai contoh, keberadaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di masing-masing provinsi dapat membantu proses adapatasi teknologi yang dilakukan oleh Balai Besar/Balai Penelitian atau dari lembaga riset swasta. Selain itu, BPTP juga dapat secara aktif mencari teknologi dari lembaga riset non Badan Litbang Pertanian, yang apabila sudah dilakukan uji adaptasi dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber teknologi.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
535
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
Proses interaksi di dalam maupun antara sistem pengguna, penciptaan, dan perantara teknologi akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh ketersediaan infrastruktur dan kebijakan pemerintah yang sesuai dan memadai. Ketersediaan infrastruktur yang mendukung proses budidaya padi seperti irigasi dan jalan usahatani, terbukti telah mendorong petani padi untuk mengimplementasikan berbagai komponen teknologi. Demikian pula, ketersediaan infrastruktur riset yang semakin modern juga berkontribusi besar dalam meningkatkan kualitas hasil riset. Penyediaan infrastruktur untuk mendukung perkembangan inovasi juga sangat ditentukan oleh kebijakan makro ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan. Kondisi sosial budaya masyarakat juga berperan penting dalam mengkondisikan perilaku masyarakat, dalam menerima informasi dan teknologi baru. Sejak awal sudah disebutkan bahwa sistem inovasi modern mensyaratkan terjadinya interaksi antara pelaku di dalam maupun antar sistem. Interaksi antar pelaku di dalam sistem akan semakin memperkuat sistem yang bersangkutan. Sebagai contoh, sistem litbang pertanian akan semakin kokoh apabila terjalin jaringan kerja sama antar lembaga penelitian pertanian di dalam negeri maupun luar negeri (keduanya mencakup lembaga litbang pemerintah, perguruan tinggi, dan swasta). Jalinan kerja sama yang kuat akan dapat mengatasi keterbatasan alokasi anggaran riset di suatu negara, dengan melakukan adaptasi hasil riset dari lembaga litbang pertanian lain.
Reformasi Sistem Penciptaan Teknologi Upaya untuk memperbaiki atau menyempurnakan sistem penciptaan teknologi dalam sistem inovasi pertanian diawali dengan memberikan catatan kritis terhadap sistem penciptaan, penggandaan, dan penyampaian inovasi teknologi yang dilakukan oleh Balitbangtan selama ini (Gambar 5). Balitbangtan dijadikan contoh kasus karena merupakan lembaga riset pertanian pemerintah yang terbesar. Catatan kritis diawali pada aspek penciptaan inovasi dimana inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian mestinya harus benar-benar unggul, baik secara teknis dan ekonomi, serta kompetitif terhadap inovasi sejenis yang ada di pasar. Hal ini dapat dicapai apabila input, proses penciptaan, sistem seleksi dan standarisasi terhadap inovasi teknologi yang dihasilkan dilaksanakan dengan baik. Prasyarat pada aspek penciptaan inovasi teknologi perlu mendapat perhatian yang serius karena informasi dari beberapa kajian menunjukkan sebagian inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian kurang kompetitif pada saat akan digandakan lembaga pengganda teknologi. Sebagai lembaga riset publik, mekanisme penggandaan inovasi teknologi oleh lembaga pengganda teknologi perlu diatur antara sektor industri (swasta/BUMN) dengan sektor non-industri (BBI/BBU, UPBS, petani penangkar). Satu catatan penting agar inovasi teknologi yang sudah digandakan dikenal oleh pasar, maka proses penyalurannya harus melalui pasar dan tidak hanya mengandalkan program atau proyek pemerintah.
536
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Informasi: - Penyuluhan - Diseminasi
Input Proses & Seleksi Jaminan Kualitas umpan balik
PENCIPTAAN
PENGGANDAAN
PENYAMPAIAN
PENGGUNA
umpan balik
Industri/ Swasta Inovasi Unggul - Teknis - Ekonomi - Pasar
Non Industri - Pemerintah? - Unit usaha kecil?
Produk - Inovasi tersedia di dekat pengguna
Perlu integrasi ke dalam sistem pasar
Gambar 5. Sistem Penciptaan, Penggandaan, dan Penyampaian Inovasi
Terkait dengan aspek penyampaian inovasi teknologi kepada pengguna, model diseminasi inovasi teknologi yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian umumnya baru sebatas menyampaikan informasi dan mengenalkan teknologi baru ke pengguna. Upaya untuk menyediakan produk inovasi teknologi agar mudah diakses oleh petani sebenarnya sudah dilakukan namun belum optimal dilaksanakan. Untuk itu, pada aspek penyampaian inovasi teknologi perlu ada penajaman dalam menyusun model diseminasi, pengenalan dan penyediaan produk inovasi teknologi dapat terimplementasi dengan baik di lapangan. Dengan demikian, inovasi dalam kelembagaan, pemasaran dan kebijakan sangatlah diperlukan. Alur penyiapan dan penerapan teknologi pertanian yang diterapkan oleh Badan Litbang Pertanian mengikuti Permentan No. 03 Tahun 2005, dimana masih menggunakan paradigma sistem inovasi linier (tradisional). Sistem inovasi linier dicirikan oleh dua hal, yaitu peran sentral lembaga riset dan alur tahapan yang kaku (konservatif). Untuk mengoptimalkan sistem inovasi linier dibutuhkan kedisiplinan antar tahapan kegiatan dan alokasi anggaran publik yang cukup besar. Kemandekan pada salah satu tahapan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
537
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
akan mengakibatkan sistem tidak berjalan dan/atau kelambanan dalam proses diseminasi ke pengguna dan sebaliknya. Untuk itu, agar proses penciptaan teknologi dan penyalurannya dapat lebih berkembang dan banyak diadopsi oleh pengguna, maka mekanisme penyiapan dan penerapan teknologi pertanian diarahkan ke paradigma sistem inovasi modern (Gambar 6). Prinsip utama yang dijadikan dasar dalam sistem inovasi modern adalah terjadinya interaksi para pelaku di dalam dan/atau antar lembaga yang terlibat dalam sistem inovasi. Selain itu, model ini juga menghendaki semua pelaku yang terlibat didalamnya melakukan kegiatan inovasi, baik secara manajemen maupun dalam menciptakan dan/atau memanfaatkan hasil riset dari semua lembaga litbang yang ada. Melalui prinsip ini maka dinamika pasar dan preferensi konsumen dapat secara cepat dan tepat direspon oleh pelaku bisnis, termasuk petani. Alur umpan balik yang fleksibel juga akan menjamin pemutakhiran inovasi (inovasi-Reinovasi) dapat berjalan dengan baik.
I. TAHAP PENELITIAN
PENELITIAN
KOMPONEN TEKNOLOGI SIAP KAJI
II. TAHAP PENGKAJIAN TEKNOLOGI
PENGKAJIAN
TEKNOLGI SPESIFIK LOKASI
III. TAHAP PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
PENGEMBANGAN
MODEL PENGEMBANGAN
IV. TAHAP PENERAPAN DAN UMPAN BALIK
PENERAPAN TEKNOLOGI
PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS
PENGKAJIAN DAN DISEMINASI DALAM LABORATORIUM LAPANG
UMPAN BALIK
Gambar 6.
538
Mekanisme Penyiapan dan Penerapan Teknologi dengan Paradigma Sistem Inovasi Modern
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Riset Berbasis Komunitas Salah satu dinamika lingkungan strategis domestik yang perlu untuk ditindaklanjuti dan dikembangkan ke depan adalah amandemen UU No. 12/1992 yang memberi ruang yang luas bagi petani kecil untuk berkreasi mengembangkan varietas unggul dan memanfaatkannya bersama masyarakat sekitar. Dalam konteks sistem inovasi, diperbolehkannya petani kecil untuk melakukan kegiatan pemuliaan merupakan salah satu prakondisi yang sangat baik untuk membangun interaksi dan kreasi (inovasi) di dalam sistem pengguna teknologi. Dampak positif lain dari dikembangkannya riset berbasis komunitas (baca: petani kecil) adalah membantu terwujudnya mandiri benih unggul di tingkat desa, sehingga diharapkan upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat dicapai secara berkesinambungan. Konsep umum pengembangan riset berbasis komunitas diawali dengan membangun prakondisi bagi para petani kecil kreatif untuk semakin terdorong melakukan kegiatan riset yang ditujukan untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya setempat. Apabila prakondisi ini sudah tercipta, maka peran lembaga riset formal (pemerintah, perguruan tinggi, swasta) memberikan dukungan melalui berbagai pelatihan yang mengarahkan para petani kecil ini dapat menghasilkan teknologi spesifik lokasi yang terstandarisasi dan dapat dimanfaatkan oleh petani kecil di sekitarnya (Gambar 7). Balitbangtan mempunyai kesempatan yang paling besar untuk mendorong riset berbasis komunitas ini melalui BPTP.
Balitbangtan
Perguruan Tinggi
Petani
LSM
Swasta
Gambar 7. Dukungan dan Keterkaitan antar Pelaku Sistem Inovasi Pertanian terhadap Petani
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
539
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
PENUTUP Tantangan pembangunan pertanian ke depan akan semakin sulit dan kompleks. Untuk mengatasi tantangan tersebut inovasi teknologi pertanian yang berkembang secara berkesinambungan akan menjadi salah satu kunci utama. Dalam konteks politik, inovasi teknologi juga berperan penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Kedepan negara yang abai terhadap pengembangan riset pertanian akan menjadi negara yang sangat bergantung terhadap negara lain, baik dalam aspek kebutuhan teknologi maupun dalam penyediaan bahan pangan. Peran penting penyediaan bahan pangan yang cukup bagi suatu negara, telah mendorong negara maju untuk berupaya menjadi yang terdepan dalam mengembangkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas serta ramah lingkungan. Dan untuk menjadi yang terdepan, sistem inovasi pertanian mereka juga terus disempurnakan yang difokuskan pada melayani perubahan preferensi konsumen dan/atau menciptakan tren bahan pangan baru yang bermanfaat bagi kesehatan, aman dikonsumsi, dan ramah lingkungan. Terkait dengan Indonesia, keinginan pemerintahan baru untuk mewujudkan kedaulatan pangan, harus didukung dengan melakukan reformasi terhadap sistem inovasi pertanian; agar inovasi teknologi senantiasa berkembang sesuai dengan kebutuhan pengguna.
DAFTAR PUSTAKA Antlöv, H. et al. 2005. NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a newly democratizing country. Accessed August 2007 at: www.justassociates.org Arnold, E. and M. Bell. 2001. Some New Ideas About Research for Development. Technology Policy Research. United Kingdom. Beintema, N.M. and Gert-Jan Stads. 2008. Diversity in Agricultural Research Resources in the Asia-Pacific Region International Food Policy Research Institute and Asia-Pacific Association of Agricultural Research Institutions. Collett, P. and T. Wallace. 2006. Background Report: Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Small Retailers in the Urban Centers. Mimeo. The SMERU Research Institute. Jakarta. CPIS. 1994. Perdagangan Eceran di Indonesia: Skala Kecil vs Skala Besar. Jakarta: Center for Policy and Implementation Studies. Easterling,W.E., P.K. Aggarwal, P. Batima, K.M. Brander, L. Erda, S.M. Howden,A. Kirilenko, J. Morton, J.-F. Soussana, J. Schmidhuber, and F.N.Tubiello. 2007. Food, fibre and forest products. In Climate change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of working group II to the fourth assessment report of the intergovernmental Panel on Climate
540
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Change, ed. M.L. Parry,O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. FAO, IFAD and WFP. 2013. The State of Food Insecurity in the World 2013. The multiple dimensions of food security. FAO. Rome. Fitria, D.N. 2004. Kajian Aktualisasi Potensi Jejaring Institusi dalam Sistem Inovasi Nasional Sektor Tanaman Pangan: Kasus Komoditas Padi. Pappiptek.LIPI. Jakarta. Freeman, C. 1987. Technology Policy and Economic Performance: Lessons from Japan. Frances Pinter. London. Fuglie K.O. and R.R. Piggott. 2006. Indonesia: Coping with Economic and Political Instability. In, P.G. Pardey, J.M. Alston, and R.R. Piggott (eds). Agriculture in Developing World: Too Little, Too Late?. International Food Policy Research Institute, Washington, DC. Gijsbers, G.W. 2009. Agricultural Innovation in Asia: Drivers, Paradigms and Performance. Dissertation. Erasmus Research Institute of Management. Rotterdam. Hariadi, S.S. 2009. Penyuluhan Dialogis Untuk Menjadikan Petani Penyuluh dan Mandiri. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hermanto. 2001. Perkembangan Kelembagaan Pertanian. Dalam Suryana, A. dan S. Mardianto (ed). Bunga Rampai Ekonomi Beras. Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEMFEUI). Jakarta. James, C. 2012. Global Status of Commercialized Biotech/GM Crops: 2012. International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) Brief No. 44. ISAAA; Ithaca. NY. Lundvall, B. 1992. National Innovation Systems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning. Pinter Publishers. London. Mardianto, S. 2013. Dampak Perubahan Komponen Sistem Inovasi Padi Terhadap Sektor Pertanian dan Kemiskinan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Metcalfe, S. 1995. The Economic Foundations of Technology Policy: Equilibrium and Evolutionary Perspectives, in Stoneman, P. (ed.), Handbook of the Economics of Innovation and Technological Change. Oxford. Mulatsih, S. dan A. Fatony. 2006. Peran Delivering Subsistem Dalam Sistem Inovasi Pertanian: Difusi Varietas Unggul Padi. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). LIPI Press. Jakarta. Nelson, R. 1993. National Innovation Systems: A Comparative Analysis. Oxford University Press. New York.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
541
Reformasi Sistem Inovasi Pertanian Di Indonesia
Nuryanti, S. dan D.K.S. Swastika. 2011. Peran Kelompok Tani Dalam Penerapan Teknologi Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 29(2): 115-128. OECD. 1999. Managing National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). PricewaterhouseCoopers. 2004. Global Retail and Consumer Study from Beijing to Budapest [online] http://www.pwc.com/gx/eng/ about/ind/retail/growth/ indonesia.pdf Reardon, T., C.P. Timmer, C.B. Barrett, and J. Berdegué. 2003. The Rise of Supermarkets in Africa, Asia, and Latin America. American Journal of Agricultural Economics, 85(5): 1140-1146. Saifullah, Agus. 2001. Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Dalam Suryana, A. dan S. Mardianto (eds). Bunga Rampai Ekonomi Beras. Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI). Jakarta. Suryadarma, D., et.al. 2008. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Lembaga Penelitian SMERU. Jakarta. Syahyuti, 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai Kelembagaan Ekonomi di Perdesaan. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 5(1): 15-35. Taufik, T. A. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah : Perspektif Kebijakan. Jakarta: PPKTPUD-PKM Deputi Bidang PKT-BPPT dan Deputi Bidang Pengembangan Sipteknas KNRT. Jakarta. Temel, T., W Janssen, F. Karimov. 2002. The Agricultural Innovation System of Azerbaijan: An Assessment of Institutional Lingkages. Country Report No. 64. International Service of National Agricultural Research (ISNAR). Tubiello, F. N., and G. Fischer. 2007. Reducing climate change impacts on agriculture: Global and regional effects of mitigation, 2000–2080.Technological Forecasting and Social Change 74: 1030–56. von Braun, J. 2008. Agriculture for Sustainable Economic Development: A Global R&D Initiative to Avoid a Deep and Complex Crisis. World Bank. 2011. Perkembangan, Pemicu, dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia. Kantor World Bank Indonesia. Jakarta. ----------------. 2007. Horticultural Producers and Supermarket Development in Indonesia. World Bank. Jakarta. ------------. 2012. Agricultural innovation systems: an investment sourcebook. World Bank. Washington, DC.
542
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian