RELASI ANTARA ISLAM DAN NEGARA (STUDI KRITIS ATAS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM AHMAD SYAFII MAARIF DALAM PERSPEKTIF ULAMA AL‐SALAF AL‐SHALIH) PUBLIKASI ILMIAH Diajukan Kepada Program Studi Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam (Pemikiran dan Peradaban Islam)
oleh : Hery Huzaery NIM: O 000 100 037
PROGRAM STUDI MAGISTER PEMIKIRAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012 1
2
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah swt, yang telah memberikan taufiq, hidayah‐Nya dan inayah‐Nya kepada kita sehingga kita tetap istiqomah memegang teguh dienul Islam. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw., keluarga, para sahabat, dan kepada pengikutnya yang tetap menjalankan sunnahsunnahnya hingga akhir zaman. Dengan izin Allah swt. pula penulisan Tesis dengan judul Relasi Antara Islam dan Negara: Studi Kritis Atas Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dapat terselesaikan walau pun terlambat dari yang direncanakan Berikut ini adalah ringkasan dari tesis yang penulis susun sebagai persyaratan untuk mengikuti ujuan tesis. Akhirnya, semoga tesis ini membawa manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan pemikiran islam kita yang shahih. Amin. Penyusun, Hery Huzaery 3
Abstrak
HERY HUZAERY. 2012. O.000.100.037. THE RELATION BETWEEN ISLAM AND STATE: CRITICAL STUDY IN THE THOUGHT OF ISLAMIC POLITICS OF AHMAD SYAFII MAARIF IN PERSPECTIVE OF ULAMA AL‐SALAF AL‐SHALIH. Thesis. Masters in Islamic Thought. Graduate University of Muhammadyah Surakarta. 173 pages + xii page Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian dengan tingkat kompleksitas yang tinggi karena kekayaan sumber bahasan baik secara literatur maupun fakta-fakta sejarah. Kesulitan dalam memahami masalah politik dalam Islam, berimplikasi pada belum adanya kesepakatan pendapat mengenai bagaimana relasi antara Islam dan Negara. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA adalah seorang cendekiawan yang berada dalam posisi otoritatif untuk berbicara tentang politik Islam terutama dalam kaitannya dengan masalah Islam dan kenegaraan. Fokus penelitian ini adalah pertama; untuk mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan antara Islam dan negara, kedua; untuk menganalisis dan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang relasi antara Islam dan negara dalam perspektif pemahaman para Ulama al-salaf alshalih. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode library research. Untuk sumber data utama adalah berasal dari buku-buku karya Ahmad Syafii Maarif tentang politik Islam, terutama buku hasil disertasinya tentang Islam dan masalah kenegaraan. Sebagai analisinya, digunakan buku-buku para ulama yang membahas tentang politik Islam. Adapun metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitik. Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan, pertama; Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa konsep khilafah atau imamah dan daulah Islamiyah (negara Islam) tidak memiliki landasan yang kuat baik dari al-Quran maupun Sunnah Nabi. Oleh karena itu, ia sangat tidak setuju kepada kelompok umat Islam yang ingin mendirikan negara Islam. Menurutnya, yang penting adalah umat Islam dapat melaksankan nila-nilai etik al-Quran dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakat; kedua: Para Ulama al-salaf al-shalih ternyata berpendapat bahwa konsep khilafah atau imamah dan daulah Islamiyah (negara Islam) memiliki landasan yang kuat dari al-Quran dan Sunnah Nabi, terutama dari hasil ijma’ para sahabat dan fakta-fakta sejarah Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, para ulama al-salaf al-shalih mempunyai prinsip yang kuat bahwa Islam membutuhkan kekuasaan politis dalam wujud negara atau pemerintahan yang berdiri di atas landasan syariat Islam untuk menjaga Agama dan mengatur urusan dunia. Kata kunci: relasi, Islam,negara 4
Abstrac HERY HUZAERY. 2012. O.000.100.037. THE RELATION BETWEEN ISLAM AND STATE: CRITICAL STUDY IN THE THOUGHT OF ISLAMIC POLITICS OF AHMAD SYAFII MAARIF IN PERSPECTIVE OF ULAMA AL‐SALAF AL‐SHALIH. Thesis. Masters in Islamic Thought. Graduate University of Muhammadyah Surakarta. 173 pages + xii page
A study about the relationship between Islam and politics is a study with high complexity level because of the richness references both literature and historical evidence. The difficulty to understand the political problems in Islam influences the inexistence of thought convention about the relationship between Islam and the state. Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Maarif, MA is an intellectual who has an authority to talk about Islamic politics, especially in relationship with Islam and state’s affairs. The purposes of this research are, first : to describe Ahmad Syafi’i Maarif thought about the relationship between Islam and the state. Second : To analyze and criticize the thought of Ahmad Syafi’i Maarif about the relationship between Islam and the state in perspective of Ulama Al‐Salafu Al‐Sholih thought. The type of this research is qualitative research with a library research methods. The main data source is derived from books by Ahmad Syafii Maarif about Islamic politics, especially his dissertation books about Islam and affairs of state. To analyze the research, the researcher used books of the scholars which discuss about Islamic politics. The data processing method used in this research is descriptive‐analytic method. In this research, the author concludes that, first; Ahmad Syafii Maarif argues that the concept of Imamate and Caliphate or Daulah Islamiyah (Islamic state) does not have a good solid foundation from al‐Quran and the Sunnah of the Prophet. Therefore, he strongly disagreed to the group of Muslims who want to establish an Islamic state. In his opinion, the most important thing is to implement the Islamic ethical values of the Al‐Qur’an in political life and society; second: Ulama al‐Salaf al‐Salih argued that the concept of Imamate and Caliphate or Daulah Islamiyah (Islamic state) has a strong foundation based on al‐ Quran and the Sunnah of the Prophet, especially from the consensus of the companions and the historical evidence of the Prophet Muhammad SAW. Therefore, the Ulama al‐Salaf al‐Salih has strong principles that Islam requires the power of Islamic politics in the form of a state or government that stands on the foundation of Islamic law to maintain and manage the religion and regulate the affairs of world. Key words: relation, Islam, and state
5
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i KATA PENGANTAR .………………………………………………………………………………………….. ii ABSTRAK …............…………………………………………………………………………………………… iii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………….. v A. B. C. D. E.
PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………………… 1 METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………………………………………. 2 RELASI ISLAM DAN NEGARA MENURUT AHMAD SYAFII MAARIF ……………….. 4 RELASI ISLAM DAN NEGARA MENURUT ULAMA AL‐SALAF AL‐SHALIH …….. 11 KESIMPULAN………….………………………………………………………………………………... 17
6
PUBLIKASI ILMIAH RELASI ANTARA ISLAM DAN NEGARA (STUDI KRITIS ATAS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM AHMAD SYAFII MAARIF DALAM PERSPEKTIF ULAMA AL‐SALAF AL‐SHALIH) A. Pendahuluan Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian yang dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat. Beratus pemikir dan beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi sejumlah perpustakaan di dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang membahas politik Islam telah memberikan kontribusi pengayaan pemikiran politik Islan. Perbedaan pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau bahkan antara kalangan Barat sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kajian politik Islam merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan menantang untuk dikaji. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal dengan Buya Syafii Maarif, adalah seorang cendekiawan muslim yang concern dalam bidang politik Islam. Ia berlatar belakang pendidikan formal Muallimin Jogjakarta yang kemudian melanjutkan kesarjanaannya dalam bidang sejarah. Karya disertasinya yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante”, adalah sebuah refleksi dari pemikirannya tentang politik Islam. Penelitian ini akan mengerucutkan pemikiran
7
politik Islam Syafii Maarif secara utuh yang masih berserakan di berbagai makalah dan buku‐bukunya. Sementara dari hasil kajian penulis terhadap pemikiran politik Islam Buya Syafii Maarif nampaknya kering dari konsep syar’i. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini yang kemudian ditinjau dari perspektif ulama al‐salaf al‐shalih. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan‐ pertanyaan yang telah diajukan dalam perumusan masalah. Lebih rinci, peneltian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan negara. 2. Menganalisis dan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tetang hubungan Islam dan negara dalam timbangan al‐salaf al‐shaleh. B. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan data kepustakaan berupa buku‐buku yang terkait dengan focus kajian sebagai sumber data (library research).1 Data‐data yang dikumpulkan adalah berupa jurnal‐jurnal ilmiah, buku‐buku, dan karya tulis baik berupa skripsi ataupun tesis yang berkaitan dengan tema penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan historis‐ filosofis. Pendekatan historis adalah penyelidikan kritis terhadap keadaan‐ keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang 1
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1990), h. 9
8
secara cukup teliti dan hati‐hati terhadap bukti validitas dari sumber sejarah serta iterpretasi dari sumber keterangan tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan kenyataan‐kenyataan sejarah yang berkaitan dengan pemikiran Ahmad Syafii Maarif, sehingga dapat dipelajari faktor lingkungan yang mempengaruhi pemikirannya. Adapun pendekatan filosofis digunakan untuk mengkaji dan menganalisis keseluruhan data yang diperoleh dari pendekatan historis. Pendekatan filosofis yang digunakan adalah perspektif ulama al‐salaf al‐ shalih. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengumpulan data yang dilakukan dengan cara dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh kemudian dikelompokan menjadi data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh akan dianalisis secara berurutan dan interaksionis yang terdiri dari tiga tahap, yaitu sebagai berikut: Pertama, setelah pengumpulan data selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah reduksi data, yaitu menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengoraganisasikan sehingga data terpilah‐ pilah. Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk narasi. Ketiga, penarikan simpulan dari data yang telah disajikan pada tahap kedua dengan mengambil simpulan. Setelah dilakukan analisis dengan metode di atas, kemudian data dianalisis kembali dengan menggunakan perspektif ulama al‐salaf al‐shalih, yakni
9
melakukan deskriptis analitis berdasarkan metodologi yang digunakan oleh para ulama al‐salaf al‐shalih. Pada tahap ini, peminjaman metode yang dibangun oleh perkembangan ilmu pengetahuan perlu dilakukan secara kriris‐selektif, dengan menjadikan Islam sebagai basic of knowledge. C. Relasi Islam dan Negara Menurut Ahmad Syafii Maarif Nama lengkapnya adalah Ahmad Syafii Maarif yang dikemudian lebih dikenal dengan nama Buya Syafii. Dilahirkan di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan ke‐Islam‐an yang kental. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat dan tamat pada tahun1947.2 Sembari belajar di Sekolah Rakyat, pada sore harinya belajar agama pada Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus. Di madrasah inilah Pak Syafii kecil mulai mengenal Muhammadiyah. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Muallimin Balai Tangkah, Sumatera Barat, dan lulus pada tahun 1953.3 Kemudian ia pindah ke Yogyakarta, dan menempuh pendidikan menengahnya di Madrasah Muallimin Jogjakarta dan tamat pada tahun 1956. Menamatkan gelar sarjana mudanya pada FKIP Cokroaiminoto Surakarta tahun 1964. Mulai menikah tahun 1965 dengan gadis minang yang bernama Nurkhalifah.4 Kemudian menyelesaikan S1 pada FKIS IKIP Yogyakarta pada tahun 1968. Kecintaanya pada ilmu, terutama sejarah, telah mengantarkan Pak Syafii melanjutkan studinya ke Northen Illinois University pada tahun 1973 dan 2
Ahmad Syafii Maarif, Titik‐Titik Kisar Perjalananku:Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, (Jakarta: Penerbit Ombak, 2006) hal. 14 3 Ibid, hal.82 4 Ibid, hal.166
10
memperoleh gelar MA dan juga pada Departemen Sejarah Iniversitas Ohio, Amerika Serikat, pada tahun 1980. Gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam diperolehnya dari The University of Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1982 dengan disertasi berjudul Islam as the Basis of state: AStudy of Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Pada tahun 1997 Pak Syafii didaulat menjadi Guru Besar Filsafat Sejarah dari IKIP Jogjakarta dalam usia 62 tahun.5 Buya Syafii mulai aktif di Muhammadiyah pada tahun 1985 sebagai anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah atas permintaan Pak Amien Rais.6 Pada Muktamar Muhammadiyah ke‐42 tahun 1990 di Jogjakarta, Pak Syafii masuk dalam nominasi anggota PP Muhammadiyah dan diberi tugas sebagai Bendahara PP. Selanjutnya pada Muktamar ke‐43 tahun 1995 di Aceh mendapat amanah sebagai salah seorang Wakil Ketua PP. Pada tahun 1997, Pak Amien sebagai Ketua Umum PP mengundurkan diri dari PP untuk memimpin PAN. Sebagai gantinya, ditunjuklah Pak Syafii sebagai Ketua Umum dari tahun 1998‐ 2005. Ketika Muktamar ke‐45 di Malang, Pak Syafii tidak siap untuk dipilih sebagai Ketua Umum. Pemikiran Buya Syafii tentang relasi Islam dan negara bertitik tolak dari corak pemikiran neo‐modernis sebagaimana yang dikenalkan pertama kalinya oleh gurunya, Fazlur Rahman. Ketergantungan Buya Syafii, dalam metodologi memahami ajaran Islam, kepada Fazlur Rahman begitu kuatnya. Bagaimana 5 6
Ibid, hal. ix Ibid, hal. 255
11
pengaruh Fazlur Rahman terhadap pemikiran Buya Syafii dinyatakannya:”Di kampus orientalis inilah otakku “dicuci” melalui kajian al‐Quran dari Fazlur Rahman.”7 Fazlur Rahman, tokoh pemikir yang berasal dari Pakistan, dikenal sebagai orang yang memperkenalkan istilah neo modernisme. Secara sederhana neo modernisme dapat diartikan dengan “paham modernisme baru”. Istilah ini dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang merupakan usaha sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme.8 Pola pemikiran neo‐modernis, seperti dikatakan Fachry Ali, berusaha menggabungkan dua faktor penting, yaitu modernisme dan tradisionalisme. Modernisme Islam cenderung menampilkan sebagai pemikiran yang tegar dan kaku, sedangkan tradisionalisme Islam cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, sehingga pemikiran ini sangat berorientasi pada masa lampau, dan sangat selektif menerima gagasan‐gagasan modernisasi.9 Dalam teori politiknya, Buya Syafii mengenalkan istilah “Islam sejarah” dan “Islam cita‐cita”. “Islam sejarah” adalah Islam sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah umat Islam Indonesia dalam menjawab tantangan sosio‐politik dan kutural yang dihadapkan kepada mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Adapun “Islam cita‐cita” adalah Islam sebagaimana yang dikandung dan dilukiskan oleh al‐Quran dan Sunnah otentik dari Nabi 7
Maarif, Titik‐Titik Kisar…, h. 195 Ahmad Amir Aziz, Neo‐Modernisme Islam di Indonesia, (Rineka Cipta, 1999), h. 15 9 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 170 8
12
Muhammad, tetapi yang belum tentu senantiasa terefleksi dalam relitas sosio‐ historis umat sepanjang abad. Islam cita‐cita ini menggambarkan suatu totalitas pandangan hidup muslim dan merupakan kekuatan pendorong bagi berbagai gerakan sosio‐politik Islami sepanjang sejarah.10 Islam sejarah dan Islam cita‐cita, sebagaimana dikutip Buya Syafii dari Fazlur Rahman, harus ada kaitan yang positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin, dan juga menjadi sama pentingnya bagi gerak yang demikian itu agar yang ideal (cita‐cita) selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. Islam cita‐cita ini, menurut Buya Syafii, sebagaimana yang telah diterjemahkan ke dalam realitas sejarah pada masa Nabi dan beberapa tahun sesudah itu, tetap merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis bagi umat Islam sejak saat itu.11 Berkenaan dengan teori khilafah dan imamah yang ada pada periode abad pertengahan atau kesultanan Turki Usmani, Buya Syafii berpendapat bahwa keduanya, khilafah dan imamah, “hanya punya pertalian sedikit atau bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan al‐Quran dan Sunnah otentik dari Nabi.” Hal itu karena teori atau pemikiran politik itu, mengutip pandangan Qamaruddin Khan, “bukan berasal dari al‐Quran atau pun mendapat sokongan pembenar dari kitab suci ini.”12 Karena itu, Buya Syafii mengkritik doktrin‐doktrin politik yang dirumuskan oleh para yuris Islam seperti al‐Baqillani (wafat 1013 M) dan al‐ 10
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 4‐5 11 Ibid., h. 5 12 Ibid, h. 45
13
Mawardi (wafat 1058 M) yang disebutnya “tidak Quranik”. Jika al‐Baqillani menekankan hak keturunan Quraisy dalam pemilihan imam, al‐Mawardi menggunakan ayat Quran untuk melegitimasi imperium Abbasiyah. Keduanya dikecam oleh Buya Syafii sebagai, “telah mengorbankan cita‐cita al‐Quran demi menjawab tantangan sejarah kontemporer.”13 Tak hanya Baqillani, Mawardi, atau Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridla juga dikecam oleh Buya Syafii. Ridla, menurut Buya Syafii, terjebak dalam membela hak Quraisy akan posisi kekhalifahan, sehingga dikatakannya bahwa pandangan politiknya itu koservatif dan tidak Quranik. Pemikir lain yang mendapat kecaman keras dari Buya Syafii adalah al‐Maududi, pendiri dan tokoh utama Jama’at Islami dari Pakistan. Ia dikecam terutama karena teorinya tentang “Kedaulatan Tuhan”, yang disebut oleh Buya Syafii sebagai, “sangat tidak masuk akal dan menimbulkan kebingungan.”14 Buya Syafii lebih setuju dengan pemikiran dan pandangan politik dari pemikir‐pemikir seperti Mohammad Iqbal, Fazlur Rahman, atau Qamaruddin Khan yang menurutnya telah melakukan ijtihad yang, “sesuai dengan cita‐cita politik dan etik Qurani, khususnya dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan kenegaraan serta prinsip syura dan hubungannya dengan demokrasi. Dengan kerangka teoretik dari ketiga pemikir dari Pakistan itu, Buya Syafii selanjutnya merumuskan pemikiran politiknya sendiri. Menurutnya, dalam soal posisi al‐Quran terhadap teori tentang negara, ditegaskan bahwa al‐Quran tidak 13 14
Ibid, h. 40 Maarif, Islam, Politik, dan Demokrasi di Indonesia…, h. 54
14
tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti umat Islam. Perhatian utama al‐Quran ialah agar masyarakat dan negara ditegakkan atas tonggak‐ tonggak keadilan dan moralitas. “Di atas tata‐nilai etik al‐Quran inilah suatu bangunan politik Islam harus didirikan,” tandasnya.15 Untuk menerangkan baimana posisi Nabi sesungguhnya menurut al‐ Quran, Buya Syafii menyitir al‐Quran Surat Ali Imran: 164, yang artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang‐orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat‐ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al‐kitab dan al‐ himah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar‐ benar dalam kesesatan yang nyata.” Ayat al‐Quran yang disitir Buya Syafii bermaksud menjelaskan bahwa posisi Nabi tidak lebih hanya sebagai Rasul yang membimbing umatnya ke jalan yang benar. Posisinya sebagai Rasul Allah tetap tidak berubah sampai wafatnya, sebagaimana dikuatkan dalam al‐Quran 3: 144, yang artinya “Muhammad hanyalah seorang Rasul”. Berbeda dengan kedudukan Nabi Daud yang pada waktu yang sama juga berfungsi sebagai raja (QS 2: 251), Nabi Muhammad tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa apalagi sebagai raja.16 Dengan demikian, pernyataan umum “Islam adalah agama dan negara”, menurut Buya
15 16
Maarif, Islam, Politik, dan Demokrasi di Indonesia…, h. 42 Ibid., h. 14
15
Syafii, telah mengaburkan hakekat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad.17 Meskipun demikian, Buya Syafii sangat meyakini akan pentingnya negara sebagai mesin kekuasaan sebagaimana banyak dibicarakan al‐Quran. Mesin kekuasaan atau negara berfungsi sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi undang‐undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Yang menjadi persoalan menurut Buya Syafii adalah: Apakah mesin kekuasaan itu merupakan perpanjangan tangan dari agama atau semata‐mata sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan pesan‐pesan moral agama. Ternyata di antara sarjana Muslim tidak ada kata sepakat untuk menjawab pertanyaan ini. Ia menyebutkan dua sarjana Muslim yang berpendapat tentang hal ini. Di antaranya Amien Rais dan Dr. Muhammad Yusuf Musa, yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah.18 Menanggapi pendapat tersebut di atas, Buya Syafii menulis: “Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari al‐Quran dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu. Tapi bahwa Islam itu memerlukan “pedang penolong” yang mendukungnya, maka Islam dengan sarwa ajarannya yang sempurna dan komprehensif tidak akan mungkin ditancapkan pada realitas sosial. Yang kita gagal memahaminya ialah bahwa daulah ditempatkan sejajar dengan din yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar telah menyamakan alat dengan risalah?”19 17 18
h. 205
19
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan, h. 15 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), Ibid., h. 206
16
Menurut Buya Syafii, siapapun tidak akan menemukan konsep tentang negara dalam al‐Quran baik secara terurai maupun tidak terurai. Dengan kata lain, al‐Quran tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Dalam hal ini, ia memberikan alasan kenapa al‐Quran tidak berbicara tentang masalah kenegaraan. Pertama, al‐Quran pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi‐ institusi sosio‐politik dan organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa. Tujuan yang terpenting al‐Quran adalah agar nilai‐nilai ini dan perintah‐perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan‐kegiatan sosio‐ politik umat manusia. Nilai‐nilai ini bertalian secara organik dengan prinsip‐ prinsip keadilan, persamaan, dan kemerdekaan yang juga menempati posisi sentral dalam ajaran moral al‐Quran. Dari perspektif ini, menurut Buya Syafii, suatu negara hanyalah dapat dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain‐lainnya itu benar‐benar terwujud dan terasa di dalamnya dan mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat.20 D. Relasi Islam dan Negara Menurut Ulama Al‐Salaf Al‐Shalih Istilah al‐salaf al‐shalih berkonotasi dengan istilah‐istilah lainnya seperti: ahl al‐sunnah wa al‐jama’ah, ahl al‐hadits, al‐firqah al‐najiyah, al‐thaifah al‐
20
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 16
17
manshurah.21 Syaikh Muhammad ibn Shalih al‐‘Utsaimin menjelaskan secara detail bahwa, al‐salaf al‐shalih adalah orang‐orang yang berpegang teguh terhadap sunnah Rasulullah SAW, yaitu golongan para sahabat dan tabi’in, para imam yang mendapat petunjuk dan mengikuti mereka, serta siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka baik dalam masalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan sampai hari kiamat di setiap tempat dan masa, dengan syarat mereka terhindar dari segala macam bid’ah.22 Jadi, sebenarnya istilah al‐salaf al‐shalih tidak hanya dibatasi oleh tiga generasi saja, akan tetapi merupakan golongan yang mengikuti manhaj mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan benar. Secara ringkas, teori politik Islam dibangun atas dua sumber, yaitu: Pertama, nash‐nash wahyu dari al‐Quran dan Sunnah. Keduanya ini merupakan referensi dasar teori politik Islam. Dalam menetapkan teori politik tidak membuat sesuatu yang baru, tetapi menguatkannya sebagaimana dilakukan oleh para ulama terdahulu. Namun, dalam mengeluarkan kaidah‐kaidah politik dari sumber nash‐nash wahyu ini harus mengikuti kaidah‐kaidah umum dalam memahami nash‐nash tersebut. Misalnya, pemilihan nash‐nash yang berhubungan dengan tema atau istilah‐istilah politik, seperti: والية اال‘مر, االءمامة, memahami makna umum dan khusus dari nash sesuai dengan kaidah‐kaidah bahasa Arab, memahami asbab al‐nuzul nash. 21
Nashir ibn Abd al‐Karim al‐‘Aql, Mabahits Fi Aqidah Ahl Al‐Sunnah Wa Al‐Jama’ah, (Riyadl, Daar Al‐Wathn Li al‐Nasyr), h. 15 22 Ibid, h. 14
18
Kedua, pengalaman sejarah. Sumber sejarah ini menjadi pelengkap atas sumber wahyu, yang merupakan sumber dasar. Pengetahuan sejarah politik Islam sangat membantu dalam memahami pelaksanaan dari teori yang bersumber dari wahyu. Karena itu, al‐Quran juga menerangkan kisah‐kisah para Nabi dalam perjuangan mereka menghadapi musuh‐musuh mereka. Misalnya, sejarah tentang pergantian kekhilafahan para Khulafa al‐Rasyidin yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, melahirkan konsep pemilihan Imamah, ahl al‐ hall wa al‐‘aqd, syarat‐syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya.23 Untuk memahami politik Islam diperlukan pemahaman konsep‐konsep dasar yang berlandaskan pada sumber hukum Islam, yaitu al‐Quran, al‐Sunnah, dan ijma para shahabat. Konsep‐konsep dasar yang harus dipahami terlebih dahulu adalah konsep tentang Ummah, Syura, dan Imamah atau Khilafah. Konsep‐konsep ini tidak terdapat dalam konsep politik modern Barat. Ummah, menurut pengarang Lisan al‐Arab,dalam pengertian bahasa artinya adalah sekelompok dan kaum di kalangan manusia. Raghib al‐Ashfahani dalam al‐mufradat fi gharib al‐Quran secara lebih jelas mendefinisikan ummat adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh sesuatu hal; satu agama, satu zaman, atau satu tempat. Baik faktor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan atas pilihan.24
23
Disarikan dari Lu’ay Shafi, Al‐Aqidah Wa Al‐Siyasah: Ma’alim Nazhriyah ‘Amah Li Al‐ Daulah Al‐Islamiyah, ( Virginia: Al‐Ma’had Al‐‘Alimy Li al‐Fikri al‐Islamy, 1996), h. 36‐45. 24 Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem jama’ah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1991), h. 43‐44
19
Konsep yang kedua adalah konsep imamah dan khilafah. Istilah imam, khalifah atau amir al‐mu’minin ditujukan kepada satu pengertian, yaitu kepemimpinan tertinggi umat Islam, tetapi masing‐masing dari istilah tersebut mempunyai latar belakang historis dan politis tersendiri. Al‐Mawardi mendefinisikan imam dengan mengatakan, “Imamah dibentuk untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”25 Adapun penyebutan khalifah berawal dari pemilihan Abu Bakar r.a pada peristiwa saqifah untuk menggantikan Rasulullah SAW dalam memimpin umat Islam dan memelihara kemaslahatan mereka.26 Adapun gelar amir al‐Mu’minin diberikan pertama kali kepada khlaifah yang kedua, Umar ibn al‐Khaththab.27 Konsep yang ketiga adalah konsep Syura. Dari pemaparan sebelumnya, telah dinyatakan bahwa tanggungjawab penagakkan khilafah sebagai pengganti kenabian dalam menjalankan risalahnya dibebankan kepada ummah secara keseluruhan tidak kepada individu tertentu. Syura merupakan konsep dasar politik Islam dalam menetapkan ketentuan‐ketentuan penegakkan khilafah.28 Konsep negara dalam politik Islam adalah suatu konsep yang datang belakangan, jauh sebelum peletakan dasar‐dasar teori politik Islam dimulai. Dalam bahasa Arab, kata negara artinya adalah al‐daulah ( الدولة ). Para ulama terdahulu, ulama al‐salaf al‐shalih, menggunakan istilah imamah ( امامة ) 25
Al‐Mawardi, Al‐Ahkam Al‐Sulthaniyah, (Beirut: Daar al‐Kutub al‐‘Ilmiyah), h. 5 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 78 27 Ibid, h. 82 28 Lu’ay Shafi, Al‐Aqidah Wa Al‐Siyasah: Ma’alim Nazhriyah ‘Amah Li Al‐Daulah Al‐ Islamiyah, ( Virginia: Al‐Ma’had Al‐‘Alimy Li al‐Fikri al‐Islamy, 1996), h. 173 26
20
khilafah ( خالفة ) untuk menunjukkan kekuasaan politik Islam. Karena itu, dalam literatur klasik tidak pernah didapatkan istilah al‐daulah. Istilah al‐daulah dalam makna politis baru digunakan setelah kekhilafahan melemah sehingga kekuasaan politik dunia umat Islam terpecah menjadi bagian‐bagian dalam konsep nation‐ state (negara bangsa) yang bersumber dari peradaban Barat modern. Jadi, dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kata دولة sudah digunakan pada abad ke‐7 Hijriyah dengan dua makna. Makna yang pertama, al‐ dulah, sebagaimana yang terdapat dalm ayat al‐Quran, digunakan untuk menunjukkan penguasaan atau dominasi ekonomi dari satu golongan terhadap golongan lain. Adapun makna yang kedua, al‐daulah, digunakan untuk menunjukkan penguasaan atau dominasi politik dari satu golongan ke golongan yang lain. 29 Muhammad ibn Sa’id al‐Qahthani mendefinisikan negara Islam yang disebutnya daar al‐Islam adalah negeri yang dikuasai orang‐orang Muslim, di dalamnya berlaku hukum‐hukum Islam, serta pengaruh yang dominan ada di tangan orang‐orang Muslim, sekalipun kebanyakan penduduknya adalah orang‐ orang kafir.30 Dari defenisi tersebut diketahui bahwa negara Islam menurut Al‐Qahthani memiliki tiga variable, yaitu (1) para penguasanya Muslim, (2) hukum yang
29
Ibid, h. 116 Muhammad ibn Sa’id al‐Qahthani, Al‐Wala’ Wa Al‐Bara’: Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, 2009), cetakan II, h. 288 30
21
digunakan hukum Islam, dan (3) pengaruh yang dominan ada di tangan umat Islam. Teori politik Islam yang dibangun oleh Al‐Mawardi, paling tidak, terdiri dari lima hal yang mendasar: Pertama, memilih imam hukumnya adalah wajib kifayah. Umat Islam dibebani oleh syari’at untuk menegakkan imamah. Akan tetapi kewajibannya bersifat wajib kifayah, jika ada orang yang menjalankannya maka kewajiban itu gugur atas orang lain.31 Kedua, al‐Mawardi membagi umat Islam menjadi dua kelompok: (1) pemilih (ahl al‐ikhtiyar), (2) yang dipilih (ahl al‐imamah). Ahl al‐Ikhtiyar adalah orang‐orang yang mempunyai wewenang memilih kepala negara (imam), sedangkan ahl al‐imamah adalah orang‐orang yang memiliki kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu.32 Ketiga, ahl al‐ikhtiyar haruslah punya tiga kualifikas khas; rasa adil pada umumnya (al‐‘adalah al‐jami’ah), pengetahuan cukup tentang kandidat yang dipilih, dan pikiran sehat dan kebijakan yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan imam (kepala negara) dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.33 31
Al‐Mawardi, Al‐Ahkam Al‐Sulthaniyah, (Beirut: Daar al‐Kutub al‐‘Ilmiyah, ), h. 5‐6 Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan…, h. 6 33 Ibid, h. 6 32
22
Keempat, untuk calon yang dipilih (ahl al‐imamah), kualifikasinya ada tujuh: punya rasa adil pada umumnya, pengetahuan yang cukup untuk memutuskan berbagai kasus menurut ijtihadnya, sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraannya, punya integritas organ fisiknya, punya rasa pertimbangan sehat yang perlu baginya untuk mengurus persoalan orang banyak dan menangani urusan mereka, punya keberanian melindungi teritorial melaksanakan jihad terhadap musuh, dan punya garis keturunan dari suku Quraisy.34 Kelima, imam dapat diangkat baik melalui pemilihan oleh ahl al‐hall wa al‐‘aqd atau boleh juga melalui penetapan imam yang masih memerintah. Al‐ Mawardi dengan tegas menolak pendapat yang membolehkan adanya dua imam atau lebih pada waktu yang bersamaan.35 E.
Kesimpulan Dari hasil deskripsi dan analisa pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
relasi antara Islam dan negara, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pandangan Buya Syafii, dalam kaitannya dengan relasi Islam dan negara, lebih mengutamakan aspek‐aspek substantif dan mengenyampingkan aspek legal‐formal. Pandangan seperti ini karena dipengaruhi oleh corak pemikiran neo‐modernisme yang lebih mengutamakan aplikasi dari ideal moral al‐Quran daripada ketentuan legal spesifiknya. Karena itu, dalam hal ini ia berpendapat sebagai berikut: (a) ia sangat tidak setuju dengan 34 35
Ibid, h. 6 Ibid, h. 7‐9
23
pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah Din (Agama) dan Daulah (negara). Menurutnya, kedudukan Nabi tidak lebih hanya sebagai Rasul yang membimbing umatnya ke jalan yang benar, bukan sebagai kepala pemerintahan atau raja. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat baik dari al‐Quran dan Sunnah maupun dari Piagam Madinah. Demikian juga, Buya Syafii berpendapat bahwa Sementara konsep khilafah atau imamah tidak memiliki dasar yang pasti sebagai perintah baik dari al‐Quran maupun Sunnah Nabi; (b) Buya Syafii juga berpendapat bahwa al‐Quran tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam. Menurutnya, al‐Quran hanya memberikan perintah‐perintah etiknya agar dilaksanakan dalam kehidupan sosio‐politik umat manusia. Nilai‐nilai etik ini berupa prinsip‐prinsip keadilan, persamaan, dan kemerdekaan . Karena itu, ia sangat tidak setuju dengan pendirian negara Islam termasuk juga formalisasi syari’at Islam. Negara bercorak Islam, menurutnya, adalah manakala prinsip‐prinsip keadilan dan lain‐lainnya itu terwujud dan mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat. Menurutnya, konsep syura inilah yang merupakan gagasan utama politik dalam al‐Quran dan sistem demokrasi lah yang lebih dekat kepada cita‐cita politik al‐Quran. 2. Para ulama al‐salaf al‐shalih dalam beberapa hal memiliki memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Menurut mereka, kaitannya dengan masalah kenegaraan, Islam tidak
24
hanya menekankan pada aspek‐aspek substantif saja, namun juga perlu melaksanakan aspek‐aspek legal‐formal sebagai perwujudan kekuasaan politik umat Islam. Karena itu, ulama al‐salaf al‐shalih berpendapat bahwa: (a) penetapan khilafah atau imamah adalah bersumber dari ijma’sahabat dan didukung oleh ayat‐ayat al‐Quran dan hadits‐hadits Nabi. Khilafah ditegakkan merpakan perwujudan pengganti Nabi Muhammad SAW dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Karena itu, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tidak ada yang yang dilakukan selain bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Nabi. Peristiwa yang terjadi di saqifah Bani Sa’idah, pemilihan Abu Bakar al‐Siddiq sebagai khalifah, merupakan bukti adanya ijma’ shahabat dalam hal kewajiban penegakkan khilafah atau imamah. Adapun tentang kedudukan Nabi sebagai kepala pemerintahan sudah terbukti dalam fakta‐fata sejarah ketika keberadaan Nabi di Madinah dalam wujud kegiatan‐kegiatan politis baik secara internal maupun eksternal. Di antaranya: melakukan surat menyurat dengan penguasa negara lain di antaranya kepada Heraklius penguasa Rumawi, Kisra penguasa parsi, dan Najasyi penguasa Etiophia; (b) Islam memiliki konsep kenegaraan yang terperinci sebagaimana yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu. Para ulama dan imam mujtahid telah menentukan syarat‐syarat, menerangkan batas‐batas hak dan kewajiban bagi pemangku kekuasaan. Sebagai contoh adalah: ahl al‐imamah dan ahl al‐ikhtiyar yang terwujud dalam
25
konsep ahl al‐hall wa al‐‘aqd beserta syarat‐syaratnya. Demikian juga dalam literatur‐literatur hasil karya mereka terdapat pembahasan secara khusus tentang kenegaraan. Di antaranya: kitab al‐imarah yang terdapat dalam Shahih Muslim dan kitab al‐ahkam yang terdapat dalam Shahih Bukhari.
26
DAFTAR PUSTAKA Ali, Fachry dan Effendi, Bachtiar. 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru, (Bandung: Mizan) Al‐Mawardi, Al‐Ahkam Al‐Sulthaniyah, (Beirut: Daar al‐Kutub al‐‘Ilmiyah) Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo‐Modernisme Islam di Indonesia, (Rineka Cipta) Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset) Jabir, Hussain bin Muhammad bin Ali. 1991. Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem jama’ah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Rabbani Press) Maarif, Ahmad Syafii. 1993. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan) Maarif, Ahmad Syafii. 1997. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES) Maarif, Ahmad Syafii. 1999. Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban, (Cirebon: Pustaka Dinamika) Maarif, Ahmad Syafii. 2006. Titik‐Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, (Jogjakarta: Ombak) Qahthani, Muhammad ibn Sa’id. 2009. Al‐Wala’ Wa Al‐Bara’: Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam, (Solo: Era Intermedia)
27
Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press) Shafi, Lu’ay. 1996. Al‐Aqidah Wa Al‐Siyasah: Ma’alim Nazhriyah ‘Amah Li Al‐ Daulah Al‐Islamiyah, ( Virginia: Al‐Ma’had Al‐‘Alimy Li al‐Fikri al‐Islamy)
28