RESUME USHUL FIQH DAN QAWAIDH FIQQIYAH PERTEMUAN 1 7

Hukum Taklifi Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat), tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah)...

251 downloads 544 Views 2MB Size
RESUME USHUL FIQH DAN QAWAIDH FIQQIYAH PERTEMUAN 1 –7 PERTEMUAN 1 USHUL FIQH DAN QAWA’ID FIQHIYYAH Definisi Ushul Fiqh Ushul fiqih (‫ )أصول الفقه‬tersusun dari dua kata, yaitu ushul (‫ )أصول‬dan fiqih (‫)الفقه‬.  Pengertian ushul (‫ )أصول‬secara bahasa: Ushul (‫ )أصول‬merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl (‫ )أصل‬yang berarti dasar, pondasi atau akar.  Pengertian fiqih (‫ )الفقه‬secara bahasa: Fiqih (‫ )الفقه‬secara bahasa berarti pemahaman (‫)الفهم‬. Pengertian fiqih (‫ )الفقه‬secara istilah: Fiqih (‫ )الفقه‬menurut istilah mutasyarri’in (ahli syari’ah) adalah ilmu tentang hukumhukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci( ‫العلم‬ ‫)باألحكام الشرعية العملية المستنبطة من األدلة التفصيلية‬. Ruang lingkup fiqih terbatas pada hukumhukum yang bersifat aplikatif dan furu’iy (cabang) dan tidak membahas perkaraperkara i’tiqad (keyakinan). Pengertian ushul fiqih (‫)أصول الفقه‬: Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah: kaidah-kaidah yang dengannya seorang mujtahid bisa mencapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terperinci. Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh Ushul Fiqh Objek

metodologi penetapan hukum fiqh sedangkan objek kajian fiqh

Fiqh hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalildalilnya yang terperinci

Konsentrasi

metode yang digunakan dalam deduksi beberapa peraturan yang terdapat di dalam sumber

pengetahuan dari peraturan detail hukum Islam dalam berbagai cabangnya

Objek dan Pokok Pembahasan Ushul Fiqh Adapun yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah : 1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah. 2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya. 3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. 4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya. Jadi yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari sagi dapat diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat kully dari segi dapat ditarik daripadanya hukum yang bersifat kully (umum) pula,sedangkan yang menjadi pokok pembahasannya adalah : 1. Hukum,yang didalamnya meliputi wajib,sunnat,makruh,mubah,haram,hasan,qabih,’ada,qada,shahih,fasid,dan lainlain. 2. Adillah ,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas. 3. Jalan-jalan serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath). 4. Mustambith,yaitu mujthid dengan syarat-syaratnya. Ushul Fiqh berfokus pada sumber hukum Islam, metode yang diturunkan dari sumber materi Syariah dan juga mengatur praktek dari ijtihad. Sumber dari syariah ada dua: wahyu (revelation) dan bukan wahyu (non revelation). Dimana wahyu menghasilkan fakta dasar dan indikasi yang dapat diturunkan peraturan mendetail darinya. Sedangkan yang bukan wahyu menghasilkan metodologi dan petunjuk prosedural untuk meyakinkan pemenuhan yang benar dari sumber wahyu. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh Menurut Prof Dr. Amir Syarifuddin, tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.

Dua maksud mengetahui ushul fiqh: (1) Bila kita telah mengetahui metode ushul fiqh, maka bila suatu ketika kita menghadap suatu masalah baru yang tidak mungkin ditemukan dalam kitab fiqh terdahulu, maka kita akan mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu (2) Bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya, kita bisa merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Pendekatan Ilmu Ushul Fiqh Ada tiga pendekatan ilmu ushul fiqh yaitu: (1) teoritis (ushul al-shafiiyah atau tariqah al-mutakallimin); berfokus pada tampilan prinsip. (2) deduktif (ushul al-hanafiyyah atau tariqah al-fuqaha); lebih cenderung mengembangkan sebuah sintesis diantara prinsip dan persyaratan dari kasus parsial. (3) gabungan dari teoritis dan deduktif Adillah shar’iyyah dan ahkam Adillah shar’iyyah dan ahkam adalah hukum atau nilai yang mengatur hal yang dilakukan oleh mukallaf. Ahkam diturunkan dari adillah. Ahkam memiliki arti membuktikan atau menetapkan satu hal dalam menghargai yang lainnya dimana bisa berbentuk afirmatif atau negatif. Jadi, ketika kita mengatakan bahwa air itu tidak dingin atau matahari itu tidak terbit, ada hukum di dalam kasus ini. (Kamali) Hukum adalah arti juridis yang digunakan untuk menetapkan sesuatu nilai seperti sebuah kewajiban (wujub), rekomendasi (nadb), atau perintah atau larangan dalam menghormati keberlakuan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Sedangkan secara terminologis, menurut jumhur ushuliyyin, hukum yaitu: “Khitab (Kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan) atau wadhi’ (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’ (penghalang)).

Menurut fuqaha, pengertian hukum adalah “tuntutan dari khitab (firman) Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan seorang mukallaf.” Sedangkan kata syara’ secara harfiyah artinya membuat peraturan undang-undang, membuka, memulai, menjelaskan, menerangkan, jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai, atau peraturan, sesuai dengan firman Allah dalam Qur-an surat al-Jatsiyah ayat 18. Pembagian Hukum Syara 1. Hukum Taklifi Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah (anjuran untuk melakukan), larangan (anjuran untuk tidak melakukan) atau dalam bentuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat. 2. Hukum Wadh’i Khitabullah yang Ia menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, syarat, dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi), sah dan fasad (rusak). Hukum Taklifi Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).  Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” Pembagian wajib berdasarkan orang yang dibebani kewajiban hukum : 1. Wajib ‘Aini (fardhu ‘Ain). Yaitu kewajiban yang disebabkan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur, kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya kewajiban melaksanakan shalat lima kali sehari semalam 2. Wajib Kifa’i (Fardhu Kifayah). Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan untuk melaksanakannya. Misalnya pelaksanaan shalat jenazah. 3. Wajib muayyan. Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya seperti kewajiban puasa Ramadhan, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.

4. Wajib mukhayyar. Yaitu suatu kewajiban dimana objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat yang telah dijelaskan dalam Qur-an surat al-Maidah ayat 89. Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang melanggar sumpah, dikenakan kafarat. Jenis kafaratnya boleh memilih antara beberapa macam kafarat tersebut. Pembagian wajib berdasarkan waktu pelaksannanya : 1. Wajib mutlaq. Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melaksanakannya. Misalnya mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena uzur. Ia wajib melakukannya, dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan. 2. Wajib Muwaqqat. Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi oleh waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu. Contohnya puasa Ramadhan, dilaksanakan bulan Ramadhan dan ibadah haji dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu saja. Pembagian wajib berdasarkan jumlah atau kadar yang ditentukan : 1. Wajib Muhaddad. Yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya, misalnya kadar zakat fitrah, kadar (nishab) zakat maal. 2. Wajib Ghairu Muhaddad. Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya yang tidak ditentukan ukurannya, misalnya, nafkah untuk keluarga tidak ditentukan kadarnya, tergantung kemampuan suami.  Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.” Pembagian sunnah dari selalu atau tidak Nabi melakukannya : 1. Sunnah Muakkad. Yaitu sunnah-sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad, di samping ada keterangan bahwa perbuatan itu, bukan perbuatan fardhu, contohnya shalat witir. 2. Sunnah Ghairu Muakkad. Yaitu sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad tetapi tidak terus menerus dilakukan, contohnya memberi sedekah kepada fakir miskin Pembagian sunnah berdasarkan kemungkinan meninggalkan perbuatan :

1. Sunnah Huda yaitu: pelaksanaannya dimaksudkan sebagai penyempurna atau pelengkap kewajiban agama, seperti adzan dan sholat berjama’ah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggap sesat dan berdosa, sehingga apabila penduduk suatu daerah sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka boleh diperangi. 2. Sunnah Zaidah (sunnah tambahan), yaitu hal-hal yang dikerjakan nabi saw., berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak; seperti etika makan, minum, tidur dan memakai pakaian. Apabila mukallaf melakukannya adalah lebih baik, sedang bila ia meninggalkannya, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa yaitu tidak berkaitan dengan makruh dan keburukan. 3. Nafal, yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardlu, wajib dan sunnah, seperti shalat tathawwu’ (sunnah yang dilakukan secara individu). Contohnya seorang melakukan sholat sunnah empat rakaat sebelum dzuhur. Seseorang yang melakukannya akan mendapatkan pahala dan tak ada hukuman dan teguran bagi yang meninggalkannya.  Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.” Pembagian haram : 1. Haram li-dzatihi. Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri, seperti haramnya makan bangkai, minum khamr, berzina dan mencuri. Bahaya perbuatan tersebut berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga (adh-daruriyat al-khamas) yaitu badan, keturunan, harta benda, akal dan agama. 2. Haram li-ghairihi. Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan itu dapat menimbulkan haram lidzatihi, contohnya jual beli barang-barang secara riba diharamkan, karena dapat menimbulkan riba, yang diharamkan dzatiah-nya.  Makruh adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101: “Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.”  Mubah dalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”

Hukum Wadh’i a. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, b. syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 c. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.” Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan. d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani. e. Bathal, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. f. Pengertian ‘Azimah secara bahasa berarti kemauan yang kuat. Menurut istilah adalah Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang disyari’atkan Allah sejak semula, tidak berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh : Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum asal, itu disebut ‘azimah. Hukum makan bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu adalah ‘azimah. g. Pengertian Rukhshah menurut bahasa berarti mudah dan gampang. Menurut istilah rukhshah berarti suatu nama bagi hukum yang disyari’atkan karena adanya peristiwa baru yang keluar dari hukum asal karena ada udzur. Contoh : menjama’ dua shalat karena ada udzur safar (perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini keluar dari hukum asal, dan yang mempengaruhinya adalah karena ada udzur. Mahkum fiih, Mahkum Alaih dan ahliyah  

Definisi mahkum fih menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu: “perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya hukum syar’i.” Menurut Syaikh Muhammad Khudari Biek, Mahkum ‘alaih yaitu mukallaf (orang yang dibebani hukum atau subjek hukum). Sedangkan definisi Mahkum ‘alaih menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu: “Seorang mukallaf yang berhubungan dengan kemampuan mengerjakan hukum syari’.



Pengertian Ahliyyah =>> Secara etimologi ahliyyah berarti“kecakapan menangani suatu urusan” =>> Secara terminologi, para ahli ushul fiqh mendefenisikan ahliyyah dengan suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’ Pembagian Ahliyyah 1. Ahliyyah Al-wujub adalah kecakapan seseorang menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajibannya. Para ulama ushul membagi lagi Ahliyyah Al-wujub kepada dua bagian: =>> Ahliyyah Al-wujub An-Naqishah yaitu ketika seseorang masih berada dalam kandunga ibunya(janin). =>> Ahliyyah Al-wujub Al-Kamilah yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir, sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila. 2.Ahliyyah Al-Ada’ adalah kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya , baik yang bersifat positif maupun negatif. Para ulama ushul membagi lagi Ahliyyah Al-ada’ kepada dua bagian: =>>Adimul ahliyah li al-ada’ (tidak memiliki kecakapan untuk bertindak) yaitu manusia sejak lahir sampai mencapai tamyiz sekitar umur 7 tahun. =>>Ahliyah al-ada al-Naqishah (kecakapan bertindak tidak sempurna) yaitu cakap berbuat hukum secara lemah yaitu manusia yang telah mencapai usia tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. =>>Ahliyah al-Ada’ al-Kamilah, yaitu kecakapan bertindak secara sempurna yaitu seseorang yang telah mencapai usia dewasa (usia baligh).



Awaridh al-Ahliyah

Awaridh Samawiyah. Yaitu penghalang yang datangnya bukan dari diri manusia, dan bukan pula dari kemauannya tetapi memang datangnya dari Allah Ta’ala. Diantaranya : • Al-Junun (gila) • Al-Ikrah (dipaksa) • Usia Kanak-Kanak • Al-Ighma (pingsan) • An-Naum (tidur) • Al-Maradh (sakit) • Al-’Ittah (lemah akalnya) • Haidh dan Nifas • An-Nisyan (lupa) • Al-Maut (Mati) • Al-Khata (kesalahan)

Awaridh Muktasabah. Yaitu penghalang yang terjadi dengan kehendak manusia, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Diantaranya : • • • •

As-Sakr (mabuk) Al-Hazl (bergurau) As-Safah (Bodoh) As-Safar (Perjalanan)

PERTEMUAN 2 SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM : AL QUR’AN DAN SUNNAH Pengertian Al-Qur’an dan Hadist  Secara etimologis, kata Al Qur’an merupakan ‘isim mashdar dari fi’il madli “ ‫ “ قرأ‬yang artinya membaca, menelaah, mempelajari.

Pengertian Al Qur’an secara terminologis Menurut Istilah Ahli Usul Fiqh Dan Ahli Fiqh adalah kalam Allah, yang menjadi mukjizat, yang diturunkan kepada nabi SAW, yang dituliskan di mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, dan dipandang sebagai ibadah bagi yang membacanya.  Sunnah secara etimologis yaitu perjalanan hidup, jalan/cara, tabiat, syariah, yang jamaknya adalah al-sunnan.  Pengertian hadist secara etimologis memiliki arti kabar, kejadian, sesuatu yang baru, perkataan, hikayat dan cerita. Pengertian hadist secara terminologis adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah SW, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi Nabi.

Pembagian sunnah dilihat dari materi dan isinya, terbagi kepada : 1. Sunnah Qauliyah (ucapan), yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikan kepada orang lain. 2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan), yaitu perbutan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya. 3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya. Pembagian hadits dilihat dari jumlah perawi terbagi kepada :

1. Hadist Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak perawi yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta sejak tingkat awal sanad sampai akhir sanad. Hadist mutawatir terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : i.

Mutawatir lafdzi, yaitu hadist yang disepakati oleh para perawi, bahwa ia mutawatir dari segi lafal dan makna.

ii.

Mutawatir maknawi, yaitu hadist yang disepakati para perawi dari segi maknanya, tidak lafalnya, sehingga maknanya menjadi terputus, meskipun lafalnya tidak sampai ke derajat putus. Contohnya hadist tentang mengusap sepatu (khuf).

2. Hadist Masyhur, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi tidak sebanyak orang yang meriwayatkan hadist mutawatir, kemudian menyamai tingkatan mutawatir pada masa-masa sahabat dan pada masa-masa sesudahnya. 3. Hadist ‘Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih, yang tidak terpenuhinya syarat masyhur dan mutawatir.

Pembagian hadits dilihat dari penerimaan dan penolakan : 1. Hadist shahih, yaitu hadist yang sanadnya muttasshil (bersambung) sampai kepada Nabi Muhammad SAW., melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektual yang mumpuni, tanpa ada kejanggalan dan cacat, baik dalam matan maupun sanadnya. 2. Hadist hasan, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi tidak begitu kuat hafalannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illah, serta kejanggalan dalam matannya. Hadist hasan termasuk hadist maqbul. Biasanya hadist ini dijadikan hujjah untuk hal-hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting. 3. Hadist dha’if, ialah hadist yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. Menurut Imam Nawawi, yaitu hadist yang tidak memenuhi kualifikasi hadist shahih maupun hadist hasan.



Dilihat dari gugurnya perawi, maka hadist dibagi menjadi : Hadist yang terputus sanadnya

Mu’allaq

Mursal Mudallas Munqathi Mu’dhal



: hadist yang dari permulaan sanadnya gugur seorang rowi atau lebih, dengan berturut-turut : Hadits yang gugur pada akhir sanadnya setelah tabi’in. : Hadits yang menyembunyikan cacat dalam sanad, : satu hadist yang di tengah sanadnya gugur seorang rowi atau beberapa rowi, tetapi tidak berturut-turut. : hadist yang ditengah sanadnya gugur dua rowi atau lebih dengan berturutturut.

Hadist yang cacat perawinya

Maudhu’ Matruk

Mungkar Mu’allal

Mudhthorib

Munqalib/maqlub Mudraj

Syadz

: hadits dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada rasulullah(perawi berdusta) : hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh sebagai pendusta. : hadits yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadits lain yang lebih kuat. : hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau aib yang menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir terlihat selamat dari cacat tersebut. : hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam yang mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak memungkinkan untuk digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan tidak memungkinkan pula ditarjih (dipilih) salah satu dari keduanya. : hadis yang diriwayatkan dengan cara menganti kata-kata lain baik pada sanad maupun muatannya : hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau dua kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah. : hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh namun bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat dan perawinya lebih tsiqoh

Nasikh dan Mansukh  Secara etimologis, nasakh berarti membatalkan, dan menghapus, sedangkan menurut AlBarizi, nasakh secara etimologis berarti mengganti.  Secara terminologis, nasakh yaitu pembatalan mengamalkan hukum syara’ oleh dalil yang datang kemudian. 2 pendapat ulama tentang nasakh, yaitu: Pendapat yang menerima  Karena ada nash Al-Qur’an yang menjelaskan adanya nasakh, yaitu dalam surat Al Baqarah ayat 106 : “Ayat mana saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Karena terkadang ada dua dalil yang seakan-akan bertentangan dan keduanya tidak bisa digabung dan/atau dikompromikan.

 Allahlah yang membuat syariat, maka Allah pulalah yang berhak menghapus, membatalkan, atau menggantinya. Hal ini dijelaskan dalam surat An-Nahl ayat 101 : “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata : sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-adakan saja, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” Pendapat yang menolak  Surat Al-Kahfi ayat 27 : “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kepada kitab Tuhanmu (Al Qur’an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada nya.”  Kalau ada nasakh dalam Al-Qur’an akan mengakibatkan hilangnya sifat kemukjizatan Allah.  Sesungguhnya dua ayat yang bertentangan dapat dikompromikan, karena yang demikian itu hanya berbeda di dalam lafalnya saja, tetapi intinya (makna) sama.  Tidak ada hikmah dan manfaatnya dalam nasakh.

Macam-Macam Nasakh A. Abdul Wahab Khallaf membagi nasakh kepada :

 Nasakh sharih (nasakh yang jelas), yaitu nasakh yang telah diterangkan dengan jelas dalam nash.Contoh dalam surat Al Anfal ayat 65-66 :  Nasakh Al Dhamani, yaitu Allah tidak menerangkan dengan jelas, bahwa ayat itu telah dihapus secara zahir seakan-akan bertentangan, dan tidak mungkin dikompromikan kedua dalil tersebut, maka solusinya ayat yang datang belakangan dihapus (di nasakh) dengan ayat yang datang kemudian. Contoh yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 180 B. Berdasarkan Muhammad bin Sholeh al Utsaimin :  Yang di nasakh adalah hukumnya, lafalnya tetap. Contoh nya terdapat dalam surat Al Anfal ayat 65-66:  Lafalnya telah di nasakh, tetapi hukumnya tetap berlaku.Contohnya adalah ayat tentang hukuman rajam. Lafal ayat tersebut telah di-nasakh, akan tetapi hukumnya tetap berlaku  Yang di nasakh hukumnya dan lafalnya.Contohnya, perkataan Aisyah tentang persusuan :Menurut Aisyah r.a., “dahulu tatkala Al Qur’an diturunkan, sepuluh kali susuan itu menyebabkan mahram, kemudian dihapus menjadi lima kali susuan” C. Dalam pembagian lain, nasakh dibagi lagi menjadi :

 Al Qur’an me-nasakh Al Qur’an. Contohnya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 187  Sunnah me-nasakh Al Qur’an  Al Qur’an me-nasakh Sunnah Syarat-syarat terjadinya nasakh, yaitu :  Nash yang seakan-akan bertentangan tidak bisa digabungkan atau dikompromikan.  Harus diketahui mana nash yang datang lebih dahulu, dan mana nash yang datang kemudian. Nash yang datang lebih dahulu disebut mansukh dan ayat yang datang kemudian disebut nasikh.  Nash nya harus shahih, karena menurut jumhur ulama, nasikh harus lebih kuat dari mansukh atau semisal/sederajat dengannya. Sehingga menurut mereka dalil mutawatir tidak bisa di-nasakh dengan dalil ahad, walaupun dalil ahad itu shahih. Yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi. Secara temionologis,difinisi sanad ialah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”. Ta’arudh  Secara etimologis, ta’arudh berarti bertentangan.  Secara terminologis, ta’arudh berarti pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda/bertentangan dengan dalil lainnya.  Unsur-unsur Ta’arudh: 



Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat Al Qur’an, samasama hadist mutawatir, atau sama-sama hadis ahad.  Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.  Dalil yang bertentangan tersebut memiliki kesamaan dari segi waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya dalil.  Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir. Cara menyelesaikan Ta’arudh : Terjadi perbedaan pendapat mengenai urutan metode penyelesaian dalil ta’arudh. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah : Nash wa Mansukh

Tarjih

al jam’u wal tarjih

Tasaqut ad Dalalain

Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Malikiyyah, yang juga terdapat dalam kitab Wahbah az Zuhaili : al jam’u wal tarjih

Tarjih

Nash wa Mansukh

Tasaqut ad Dalalain

Contoh dalil Al Qur’an yang bertentangan (ta’arudh) adalah; ْ ‫ع‬ ْ َ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َواجًا يَت َ َربَّصْنَ ِبأَنفُس ِِه َّن أَرْ بَعَةَ أ‬ َ‫علَ ْي ُك ْم ِفي َما فَعَ ْلن‬ َ ‫ش ًرا فَ ِإذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَه َُّن فَالَ ُجنَا َح‬ َ ‫شه ٍُر َو‬ }234{ ُُ‫ير‬ ُ ‫وف َوهللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬ ِ ‫ِفي أَنفُس ِِه َّن ِب ْال َمع ُْر‬ "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. ..." (Al-Baqarah: 234) Dan firman Allah swt. Lainnya ْ ‫شه ٍُر َوالالئِي لَ ْم يَ ِح‬ ْ َ‫سائِ ُك ْم ِإ ِن ارْ ت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّتُه َُّن ثَالثَةُ أ‬ ُ ُ ‫ضنَ َوأ‬ َ‫ضعْن‬ َ َ‫والت األحْ َما ِل أ َ َجلُه َُّن أَ ْن ي‬ َ ِ‫يض ِم ْن ن‬ ِ ‫َوالالئِي يَئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬ َّ ‫ق‬ }4{ ‫اَّللَ يَجْ عَ ْل لَهُ ِم ْن أَمْ ِر ِه يُس ًْرا‬ ِ َّ ‫حَمْ لَه َُّن َو َم ْن يَت‬ ….. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. …" (At Thalaq: 4) 1. Dengan menggabungkan dan mengkompromikan (al jam’u wal al taufiq) Ayat pertama bersifat umum, yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya, baik hamil atau tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Ayat kedua juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil yang ditinggal mati suaminya atau bercerai hidup wajib beriddah sampai melahirkan kandungannya. Dengan demikian, sepintas terbaca dari kedua ayat tersebut saling bertentangan. Namun pertentangan itu, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, ahli usul fiqh dari irak, dapat dikompromikan sehingga keduanya berfungsi. Keduanya dikompromikan dengan menyatakan bahwa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah yang disebut oleh kedua ayat di atas, yaitu sampai melahirkan atau 4 bulan 10 hari. Artinya jika perempuan itu melahirkan sebelum samapai 4 bulan 10 hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu 4 bulan 10 hari, dan jika sampai 4 bulan 10 hari, perempuan itu belum juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirklan.

2. Mentarjih : adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Contoh dalil yang perlu ditarjih

ُ ‫ع‬ َّ ‫ع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوأَقِي ُموا ال‬ ‫ظ بِ ِه َم ْن‬ َ ‫ش َهادَة َ ِ ََّلِلِ ذَ ِل ُك ْم يُو‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ارقُوه َُّن بِ َم ْع ُروفٍ َوأ َ ْش ِهدُوا ذَ َو‬ ِ َ‫فَإِذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَأ َ ْم ِس ُكوه َُّن بِ َم ْع ُروفٍ أَ ْو ف‬ َّ ‫ق‬ َّ ِ‫َكانَ يُؤْ ِمنُ ب‬ ‫اَلِلَ يَجْ عَ ْل لَهُ َم ْخ َر ًجا‬ ِ ‫اَلِلِ َو ْاليَ ْو ِم‬ ِ َّ ‫اآلخ ِر َو َم ْن يَت‬

“…dan persaksikanlah dengan dua saksi yang adil diantara kamu…”(At Thalaq :2) Dan firman Allah swt. Lainnya ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأ َ ْربَعَ ِة‬ َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْلدَة ً َوال ت َ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ َ‫ش َهادَة ً أَبَدًا َوأُولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬ ِ ‫صنَا‬ َ ْ‫َوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ ْال ُمح‬ “….dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamany....”(An Nur : 4) Ayat pertama adalah nash yang mufassar, mengandung kemungkinan bahwa kesaksian orang yang menuduh orang lain bebuat zina tanpa bukti, apabila telah bertaubat. Karena setelah bertaubat, orang tersebut termasuk kategori orang adil. Sedangkan ayat kedua merupakan nash yang muhkam, karena ada penegasan kata “selama-lamanya”. Konsekuansinya kesaksian penuduh zina tetap tidak dapat diterima selama-lamanya. Meskipun ia telah bertaubat dan diakui keadilan sikapnya. Dengan demikian keduanya saling bertentangan. Akan tetapi mengingat ayat pertama termasuk mufassar dan ayat kedua termasuk muhkam, maka yang pertama dikalahkan oleh yang kedua. Berdasarkan pentarjihan itu, kesaksian orang tersebut tetap ditolak. 3. Dengan metode al nasakh : Meneliti mana diantara kedua dalil itu yang lebih dahulu turun atau di tetapkan, jika tidak ada peluang untuk mentarjih. Jika diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang kemudian. 4. Tasaaqut ad-Dalalain. Jika tidak mungkin diketahui mana yang terdahulu, maka kedua dalil itu tidak dapat digunakan. Dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujuk kepada dalil lain yang lebih rendah bobotnya seperti hadits, qiyas atau ijma’ ulma’. PERTEMUAN 3

ATURAN INTERPRETASI TEKS: MENURUNKAN HUKUM DARI SUMBER-NYA Pengertian Tafsir dan Ta’wil  





Secara bahasa tafsir berasal dari kata Al-Fasru yaitu menyingkap sesuatu yang ditutup. Menurut Az-Zarkasyi, Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya. Secara bahasa ta’wil berasal dari kata “a-u-l” yang berarti kembali ke asal. Atas dasar ini maka ta’wil al-kalam (penakwilan terhadap suatu kalimat), Dan menurut istilah adalah suatu makna yang menjadi tempat kembali perkataan pembicara, atau suatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Tafsir memiliki arti “penjelasan” sedangkan Ta’wil memiliki arti “interpretasi yang mengandung kiasan”. Tafsir pada bertujuan untuk menjelaskan arti dari teks tertentu dan menurunkan hukum darinya dalam batasan-batasan kata dan kalimat di dalamnya(eksplisit). Sedangkan Ta’wil, memiliki arti harfiah dalam kata-kata dan



kalimat yang dibaca sebuah arti tersembunyi dimana selalu berdasarkan alasan yang spekulatif dan ijtihad(implisit). tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam Sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama

Metode Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa Metode istinbath hukum melalui pendekatan bahasa, meliputi pokok bahasan sebagai berikut:  Lafal dari segi shighat taklif Terbagi atas 1. Amr( Perintah) Amr / perintah yaitu lafadz yang menunjukan permintaan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Shighat-shigat yang menunjukan amr adalah sebagai berikut : a) Fi’il amr, seperti dalam ayat al-qur’an : ‫ياأيها الذين أمنوا هللا اتقوا هللا حق تقاته وال تموتن إال وأنتم مسلمون‬ Lafadz ‫ اتقوا‬adalah fi’il amr yang berarti bertakwalah, yang berarti perintah atau kewajiban bertakwa kepada allah b) Sighat mudhari' yang disertai lam amr seperti dalam ayat al-Qur’an : ‫لينفق ذو سعة من سعته‬ Lafadz ‫لينفق‬adalah fi’il mudhari' yang disertai lam amr yang berarti perintah atau kewajiban orang kaya untuk menginfakan sebagian hartanya. c) Sighat jumlah khobariyah yang bermakna permintaan (thalab), seperti dalam ayat al-Qur’an : ‫والوالدات يرضعن أوالدهن حولين كاملين‬ Lafadz ‫ يرضعن‬adalah sighat jumlah khobariyah yang berarti perintah atau kewajiban bagi setiap keluarga atau ibu (menyusui) untuk menyusui anak selama 2 tahun. Dilalah Amr (makna setiap ungkapan perintah) Menurut mayoritas ulama, kaidah ushul / ketentuan yang berlaku adalah: Setiap amr (ungkapan perintah) menunjukan makna wajib, selama tidak ada dalil yang menunjukan makna selain wajib. 2. Nahi(Larangan) Nahyi / larangan yaitu lafadz yang menunjukan larangan untuk dikerjakan.

Shigat-shigat yang menunjukan nahyi adalah sebagai berikut :

a. Fi’il nahyi (la taf'al), seperti dalam ayat al-Qur’an : ‫وال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل‬ Lafadz ‫وال تأكلوا‬adalah fi’il nahyi yang berarti larangan memakan harta dengan cara bathil. b. Lafadz tahrim, seperti dalam ayat al-Qur’an : ... ‫حرمت عليكم الميتة والدم‬ Lafadz ‫حرمت‬berarti larangan untuk memakan bangkai, darah... c. Nafyu al Hal (tidak halal untuk dilakukan), seperti dalam ayat al-Qur’an: ‫ياأيها الذين أمنوا ال يحل لكم أن ترثوا النساء كرها‬ Lafadz ‫ال يحل‬itu berarti maknanya larangan. d. Perintah untuk meninggalkan suatu pekerjaan, seperti dalam ayat alQur’an : ‫فاجتنبوا الرجس من األوثان واجتنبوا قول الزور‬ Lafadz ‫ فاجتنبوا‬itu berarti larangan berkata kotor. Dilalah Nahi (makna setiap ungkapan perintah) : Menurut mayoritas ulama, kaidah ushul yang beraku adalah setiap Nahyi menunjukan makna haram dan larangan melakukan hal dilarang selama tidak ada dalil yang menunjukan makna lain 

Lafal dari segi kandungan pengertian 1. Am Secara etimologis, ‘am berarti mencakup dan meliputi. Sedangkan secara terminologis (istilah) ushul fiqig, yaitu: “Lafal yang meliputi semua pengertian yang patut baginya pada satu kata.” Shighat-shigatnya adalah sebagai berikut : • Lafadz-lafadz Jama' seperti ‫ معاشر‬،‫ معشر‬،‫ جميع‬،‫كل‬: ،‫ كافة‬،‫ عامة‬، seperti: ‫كل‬ ‫امرئ بما كسب رهين‬ • Lafadz Jama' dengan alif lam atau idhafah, seperti:‫قد أفلح المؤمنون‬ • Lafadz mufrad dengan alif lam atau idhafah, seperti: ‫والسارق والسارقة‬ ‫فاقطعوا أيديهما‬ • Lafaz Nakirah dalam siyaq nafi atau nahi atau syart, seperti: ‫ال وصية‬ ‫لوارث‬ • Asma Mausuhulah seperti, ma, man, alladzi, seperti:‫وأحل لكم ما وراء ذلكم‬ • Asma Syarth seperti, Ai, Aina, seperti dalam:‫فمن شهد منكم الشهر فليصمه‬ • Asma istifham seperti, mata, madza, seperti‫أين ما كنتم تدعون من دون هللا‬ 2. Khas dan Takhshish

Secara etimologis, khas (khusus) yaitu lawan dari umum. Sedangkan secara terminologis yaitu: “Lafal yang menunjukkan atas sesuatu yang terbatas dengan orang tertentu atau bilangan tertentu, seperti nama-nama, istilah dan bilangan.” Secara etimologis, takhshish yaitu lawan dari ta’mim. Sedangkan secara terminologis, takhshish yaitu: “Mengeluarkan bagian dari anggota (satuan) yang umum.” 

Dalil takhshish terbagi kepada dua macam, yaitu: Muttashil (bersambung) yaitu yang tidak berdiri sendiri Munfashil (terpisah) yaitu yang berdiri sendiri Kaidah ushul yang berlakua untuk lafadz jama’ adalah Lafadz menunjukan makna umum selama belum ada pengkhususan (takhshih). Jika ada nash yang mentakhsisnya, maka makna yang jadi rujukan adalah nash yang mentakhsisnya.

3. Mutlaq Lafadz Muthlaq yaitu lafadz yang menunjukan makna umum (yang tidak tertentu dan tidak disifati). 4. Muqayyad Lafadz Muqayyad yaitu lafadz yang menunjukan makna tertentu dan disifati. Seperti ‫( طالب مجد‬pelajar yang sugguh-sungguh). Dilalah muthlak dan muqayyad “Lafadz mutlak bermakna muthlaq (umum) sebelum ada yang membatasinya.” “Lafadz muqayad bermakna khusus sebelum ada penghapusan batasan tersebut.”  Lafal dari segi kejelasan artinya 1. Nash : Lafal yang menunjukkan artinya sebagai dalil yang tidak ada kemungkinan untuk ditakwil. 2. Zahir : Lafal yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu di antara keduanya lebih jelas. 3. Mujmal : Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain. Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya atau kadarnya. 4. Mubayyan: Lafal yang dapat dipahami maksudnya, terkadang dengan makna aslinya atau setelah dijelaskan maknanya. 5. Mufassar : Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci, yang tidak mungkin ditakwil. 6. Muhkam : Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin menerima pembatalan, pergantian dan takwil, karena dalilnya telah jelas dengan sendirinya  Lafal dari segi tidak terang artinya

1. Khafi : Lafal yang menunjukkan maknanya sebagai dalil yang jelas, tetapi dalam praktik maknanya atas sebagian satuan mengandung kesamaran yang membutuhkan kepada analisa dan pemiki 2. Musykil : Bentuk lafal yang tidak menunjukkan kepada maksudnya, tetapi dapat diketahui melalui Qarinah (indikasi) luar yang menjelaskan maksudnya. 3. Mutasyabih : Lafal yang tidak ditunjukkan oleh lafalnya itu sendiri kepada maksudnya itu dan tidak terdapat indikasi luar yang menerangkannya, hanya Allah yang mengetahuinya dan lafal tersebut tidak bisa diinterpretasikan. 4. Musytarak : Lafal yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan penggunaan yang bermacam-macam PERTEMUAN 4

ATURAN INTERPRETASI TEKS: al-Dalalat (Implikasi Tekstual) Dengan referensi dari aturan Al Qur’an dan Sunnah, ulama ushul fiqh membedakan beberapa bentuk dari arti/makna yang mungkin disampaikan oleh suatu nash. Hanafi membedakan 4 level arti/makna, yaitu ibarah al-nass, isharah al-nass, dalalah alnass, iqtida' al ‘Ibarah al-Nashs dikenal juga dengan mantuq sharih dalam kalangan Hanafiyah.Mantuq sharih, yaitu sesuatu yang diucapkan secara tegas. Contohnya dalam surat An-Nisa ayat 3  Dalalah al-isyarah yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.Contohnya dalam surat Al-Ahqaf ayat 15  Dalalat al nashsh berasal dari analogi dan identifikasi dari ‘illah yang biasa terjadi di antara makna yang eksplisit dan makna yang berasal dari indikasi. Beberapa ulama menyebutkan bahwa Dalalat al nashsh sama dengan qiyas jali.  Dalalah al-Iqtidha, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Dalalah al-Iqtidha terbagi kepada tiga macam, yaitu : 1) Suatu lafal yang mengungkapkan tunjukan maknanya yang tersembunyi bersifat wajib agar makna lafal tersebut menjadi benar. Contohnya hadist Rasulullah SAW : “Tidak ada wasiat kepada ahli waris” (HR. Bukhari) lafal tersebut penunjukkan maknanya tidak jelas. Oleh karena itu, agar penunjukkan makna lafal itu menjadi sempurna, harus ditunjukkan maknanya yang tersembunyi, yaitu “sah”, sehingga berbunyi :

“Tidak sah wasiat kepada ahli waris” 2) Suatu lafal yang tunjukan maknanya yang tersembunyi wajib dikemukakan berdasarkan konsekuensi pertimbangn logis. Contohnya dalam surat Yusuf ayat 82: “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.” Dalam ayat di atas, diperintahkan untuk bertanya kepada negeri, padahal negeri itu tidak bisa ditanya karena benda mati. Agar tunjukan makna lafal ini dapat dipahami dengan benar, harus dimunculkan makna yang tidak terungkap pada lahirnya, yaitu kata “penduduk negeri” sehingga berbunyi “tanyalah penduduk negeri” 3) Suatu lafal yang tunjukan maknanya wajib ditakdirkan berdasarkan konsekuensi syara’ Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 178

Logika terbalik (Mafhum al-Mukhalafah) Mafhum al-Mukhalafah yaitu pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan. Ulama ushul membagi Mafhum al-Mukhalafah kepada: •

Mafhum ash-shifah (Implication of the Attribute) Contohnya : Zakat binatang ternak, apabila telah mencapai 40 ekor kambing” (HR. Malik dan Abu Daud) Hadist di atas menggunakan lafal (yang diternak di padang rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya), jika dipahami secara mafhum mukhalafah, maka binatang ternak (yang diambilkan makanannya), maka tidak ada kewajiban menzakatkan ternak kambing yang ma’lunah*. hadist di atas menurut jumhur ulama menunjukkan dua hukum. Pertama, hukum yang ditarik melalui mantuq, yaitu berupa kewajiban membayar zakat ternak kambing assimah. Kedua, hukum yang ditarik melalui mafhum mukhalafahnya, yaitu tidak ada kewajiban menzakatkan ternak yang ma’lufah (yang diambilkan makanannya). Hukum yang disebut kedua ini, yaitu tidak wajib menzakatkan kambing yang ma’lunah, disepakati sebagian ulama Hanafiah.



Mafhum al-ghayah (Implication of the Extent) Contohnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 187 : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” Contoh lainnya, yaitu : “Tidak wajib mengeluarkan zakat sampai mencapai setahun”



Mafhum asy syarat (Implication of the Condition)

Contohnya dalam surat Ath-Thalaq ayat 6 •

Mafhum al-’adad (Implication of the Stated Number) Contohnya yaitu surat An Nur ayat 2: “Perempuan yang berzina dal laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” Berdasarkan mafhum al-adad yang terdapat pada ayat di atas, maka tidak sah deraan yang kurang atau lebih dari 100 kali.

 Mafhum laqab Contohnya hadist berikut : “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama-sama jenisnya” (HR Muslim) Secara mafhum laqab, boleh jual beli sejenis, bila bukan emas.

PERTEMUAN 5 QIYAS Pegertian Qiyas Qiyas memiliki arti mengukur panjang dan lebar atau kualitas dari sesuatu. Qiyas adalah perluasan dari nilai syariah dari kasus asli (asl) kepada kasus baru disebabkan kasus baru memiliki penyebab efektif yang sama dengan kasus asli. Rukun-Rukun Qiyas •

Kasus asli (asl) : Dimana sebuat peraturan diberikan dalam teks yang dicari oleh analogi untuk memperluas kepada sebuah kasus baru Asl mempunyai dua arti. Pertama merujuk kepada sumber (Quran dan sunnah). Kedua arti dari Asl itu subjek sesuatu yang diberi peraturan



Kasus baru (far’) : Dimana sebuah peraturan dibutuhkan Kasus baru harus memenuhi 3 kondisi ini:

1. Kasus baru tidak boleh teratasi oleh Quran dan sunnah ataupun Ijma’.

2. Penyebab efektif dari analogi harus dapat diaplikasikan kepada kasus baru dengan jalan yang sama yang dilakukan pada kasus asli. 3. Aplikasi qiyas kepada kasus baru harus tidak menghasilkan perubahan dalam hukum yang ada di Quran dan sunnah (qiyas tidak boleh melawan aturan yang ada di Quran dan sunnah) •

Penyebab efektif (illah): Dimana sebuah atribut (wasf) dari asl dan ditemukan sebagai hal yang umum untuk kasus asal dan kasus baru Kondisi penyebab efektif harus mengikuti 5 hal:

1. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, ‘illah harus sebuah atribut yang konstan (mundabit) yang dapat diaplikasikan ke semua kasus tanpa dipengaruhi oleh perbedaan orang, waktu, tempat dan keterbatasan. 2. Penyebab efektif harus jelas (zahir), bukan sesuatu yang tidak jelas seperti kesengajaan, goodwill, dan lain-lain. 3. ‘Illah harus merupakan atribut yang tepat dan mempunyai hubungan yang beralasan kepada hukum dari Quran dan sunnah. 4. ‘Illah harus sesuatu yang membutuhkan objek (muta’addi) 5. Harus bukan sebuah atribut yang melawan Quran dan sunnah. •

Peraturan (hukm) : Mengatur kasus asli yang diperluas menjadi kasus baru Hukm harus memenuhi 4 kondisi ini:

1. Hukm harus merupakan sebuah peraturan syariah yang bersifat praktis 2. Hukm harus rasional atau dapat dimengerti alasan atau penyebab diberlakukannya 3. Hukm harus tidak terbatas pada situasi pengecualian atau pernyataan parsial dari suatu urusan. 4. Hukum dari teks harus merepresentasikan asal dari peraturan umum dari qiyas pada tempat pertama.

Ilustrasi Qiyas

 Ayat tersebut secara eksplisit melarang meminum khamr. Apabila pelarangan ini diperluas dengan analogi kepada obat-obatan terlarang, empat pilar analogi dalam contoh ini akan menjadi: Asl :Minum Khamr Far’ :Konsumsi obat-obatan terlarang ‘Illah :Efek memabukkan Hukm :Pelarangan

Jenis-Jenis Qiyas 1. Analogi yang superior (Qiyas al-Awla) .Contoh dalam QS: al-Isra ayat 23 2. Analogi persamaan (Qiyas al-Musawi). Contoh dalam QS: an-Nisa’ ayat 2 yang melarang manusia untuk memakan harta anak yatim. 3. Analogi yang inferior (Qiyas al-Adna). Contoh dalam QS: al-Maidah ayat 90 tentang larangan minum kahamr dengan ‘illat memabukkan. 4. Analogi yang jelas (Qiyas Jali). Contoh dalam QS : an-Nisa’ ayat 101 tentang diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian baik untuk laki-laki maupun perempuan. 5. Analogi yang tersembunyi (Qiyas Khafi).

Bukti (Hujjiyyah) Qiyas Ayat yang mendukung adanya qiyas, salah satunya QS: an-Nisa ayat 150 Sebuah penilaian yang diberikan harus berdasarkan oetunjuk yang Allah jelaskan. Quran selalu mengindikasikan rasionalisasi dari hukum itu sendiri. Contohnya zakat mengurangi konsentrasi kekayaan di orang-orang tertentu. Ada dua jenis indikasi dalam sunnah:  Pandangan Pertama: Qiyas adalah sebuah bentuk ijtihad yang tervalidasi dalam hadits Muadz bin Jabal. Sunnah menghasilkan fakta bahwa Rasulullah terpaksa menggunakan penalaran analogis ketika beliau tidak menemukan wahyu pada kasus tertentu.

Qiyas hanya digunakan apabila tidak ada peraturan eksplisit yang ditemukan di dalam sumber, sehingga pertanyaan bagaimana jika ada konflik yang timbul antara nash dan qiyas, bukan sebuah pertanyaan yang relevan.  Pandangan kedua : Dimana dipegang oleh Imam Malik, juga mengeluarkan kemungkinan adanya konflik diantara qiyas dan nash tapi tidak menolak bahwa ada kemungkinan teks yang spekulatif dengan qiyas. Berdasarkan pandangan ini, analogi menjadi konflik dengan keumuman dari Quran. Hanafi berpendapat bahwa keumuman adalah implikasi definitif (qat’I al-dalalah) dimana qiyas bersifat spekulatif. Ijtihad Secara etimologis menurut Loweis Ma’luf, ijtihad adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal, usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang kelilmuan disebut faqih, produk atau usaha yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan kuat tentang hukum yang bersifat amaliah, ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath. Para ahli ushul fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Quran dan sunnah yang masuk ke dalam kategori zhanni al-dalalat. Syarat-Syarat Berijtihad Menurut Prof. Satria Efendi M. Zein, syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:  Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam Quran baik secara bahasa maupun secara istilah  Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’  Mengetahui ayat atau hadits mana yang tidak berlaku lagi  Mempunyai pengetahuan masalah yang menjadi ijma  Mengetahui seluk beluk qiyas  Menguasai bahasa Arab serta ilmu yang berhubungan  Menguasai ushul fiqih  Mengetahui maqashid syariah Tingkatan Ijtihad

Menurut Abu Zahrah, mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:  Mujtahid mustaqil (independen). Mujtahid ini adalah tingkatan tertinggi, seseorang harus memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh orang dalam tingkatan ini adalah imam mujtahid yang empat orang.  Mujtahid muntashib fi al-mazhab. Mujtahid tingkat ini mampu merumuskan sendiri akan tetapi berpegang pada mazhab tertentu. Contoh: Qadhi Abu Yusuf  Mujtahid fi al-mazhab. Tingkatan mujtahid yang bertaqlid pada imam mujtahid tertentu. Mujtahid fi al-tarjih (ijtihad intiaq’i). Mujtahid yang kegiatannya memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan mentarjih salah satu pendapat terkuat dengan metode tarjih. Pembagian Ijtihad dari Proses Kerja Menurut al-Syatibi, ijtihad dilihat dari segi proses kerjanya dapat dibagi menjadi dua bentuk:  Ijtihadi istinbathi yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.  Ijtihad tatbiqi yaitu upaya untuk meneliti suatu masalah dimana hukum hendak diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nash. Ijtihad yang kedua ini disebut tahqiq al-manat, berfokus pada mengaitkan kasus-kasus yang muncul dengan kandungan makna yang ada di dalam nash

Pembagian Ijtihad dari Mujtahid dalam melakukan Ijtihad\  Pertama, kelompok tradisional yaitu usaha menggali hukum yang lebih berorientasi pada ungkapan-ungkapan yang tersurat dalam Quran dan Sunnah. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl al-hadits.  Kedua, kelompok rasional, yaitu upaya menggali dan menetapkan hukum yang lebih berorientasi kepada akal. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hukum merupakan sesuatu yang kepentingannya dapat ditelaah dengan memerhatikan aspekaspek kemaslahatan. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl ar-ra’yi

Metode Ijtihad  Ijtihad Bayani. Yaitu metode analisis kebahasaan untuk memberikan penjelasanpenjelasan terhadap makna teks Quran dan Sunnah.

 Ijtihad Ta’lili/Qiyasi. Yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh suatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’i, nash dzanni dan tidak ada pula ijma.  Ijtihad Istishlahi. Yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah. Hukum Melakukan Ijtihad dan Fatwa  Orang yang mampu melakukan ijtihad maka ia berkewajiban berijtihad (berfatwa). Karena itu mufti berkewajiban, ketika ia satu-satunya yang ada di lokasi tertentu, untuk mengeluarkan fatwa dan mengajar kapan saja ia diminta untuk melakukan itu. Berdasarkan keterangan diatas maka hukum berfatwa adalah fardhu kifayah.

Produk Ijtihad •

Fiqih



Qanun (Undang-Undang)



Qadha’i (Putusan Pengadilan)



Fatwa (Pendapat Hukum)

Taqlid Secara etimologis taqlid yaitu meletakkan sesuatu di lehernya dengan mengitarinya seperti kalung. Secara terminologis yaitu “Mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya bukan hujjah.” Dalam masalah taqlid dalam bidang furu’iyah, Ibnu Subki mengelompokkan umat kepada 4 kelompok:  Orang awam yang tidak mempunyai keahlian sama sekali  Orang alim namun belum mencapai tingkat mujtahid  Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhann)  Mujtahid

PERTEMUAN 6 METODE PENETAPAN HUKUM LAINNYA

Istihsan Istihsan memiliki arti “untuk menerima atau menggantikan sesuatu yang lebih baik”. Istihsan merupakan turunan dari hasuna dimana menjadi baik atau cantik. Dalam istilah fiqih, istihsan adalah sebuah metode untuk melakukan opini personal dalam rangka untuk menghindari kekakuan dan ketidakadilan yang mungkin dihasilkan dari penegakan literal hukum yang ada. Dalam beberapa kasus, istihsan bermaksud menghindari kesulitan dan memberikan sebuah solusi yang harmonis dengan sumber yang lebih tinggi dari Syariah. Istihsan pada dasarnya mengutamakan maslahah atas keputusan qiyas dalam hal konflik yang timbul diantara mereka. Menurut Imam Malik, esensi dari istihsan adalah mengutamakan maslahah apabila qiyas melanggar maslahah. Istihsan sebagai metode dalam pencarian fasilitas dan memudahkan dalam perintah yang legal. Menurutnya prinsip utama dari agama sesuai dengan yang dituliskan dalam Quran QS: Al-Baqarah ayat 185. Dan juga dalam hadits yang berbunyi “Hal yang paling baik dari agamamu adalah yang membawa kemudahan bagi orang-orang. Komponen rasional yang terkandung dalam qiyas sebagian besar merupakan opini personal (ra’y). Ini membenarkan bahwa istihsan lebih mengandung ra’y yang lebih besar Bagaimanapun juga, karena identitasnya yang dekat dengan Quran dan Sunnah, qiyas lebih diterima secara luas sebagai prinsip dari fiqih. Namun qiyas dan istihsan keduanya harus diekspresikan dari kecenderungan rasional dalam sebuah sistem yang tetap menjaga kedekatan identitasnya dengan Quran dan Sunnah. Qiyas jali atau analogi yang jelas berbeda dengan Qiyas khafi atau analogi yang tersembunyi. Qiyas khafi biasa disebut dengan istihsan atau qiyas mustahsan (qiyas yang lebih baik) lebih kuat dan lebih efektif dibandingkan dengan qiyas jali, hal ini disebabkan oleh refleksi dan analisis yang lebih dalam. Istihsan bisa berasal dari qiyas jali maupun qiyas khafi, menurut jumhur ulama. Maslahah Mursalah (Pertimbangan Kepentingan Publik) Maslahah memiliki arti “manfaat”. Persamaan maslahah adalah istislah. Al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah mengandung beberapa pertimbangan dimana melindungi manfaat atau mengurangi bahaya namun secara simultan harmonis dengan tujuan (maqashid) syariah. Maslahah mursalah didefinisikan sebagai pertimbangan yang menyesuaikan dan mengharmoniskan dengan tujuan dari Pemberi Hukum, dimana melindungi manfaat atau mencegah bahaya. Contohnya adalah sahabat Rasulullah memilih untuk menerbitkan mata uang, membangun penjara dan mengenakan pajak kepada tanah pertanian yang berada dalam teritorinya dan hal ini tidak terdapat dalam hukum tekstual.

Jenis-jenis Maslahah (secara umum) •

Daruriyyat (Essential) Sesuatu yang menjadi ketergantungan orang-orang yang apabila tidak adanya dia akan mengakibatkan kerusakan. Ia termasuk lima hal esensial (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta).



Hajiyyat (Complementary) Sesuatu yang menjadi pelengkap dari lima nilai esensial yang apabila diabaikan dapat menyebabkan kesulitan namun tidak sampai mengakibatkan kerusakan. Contohnya keringanan puasa dan shalat untuk orang yang sedang bersafar.



Tahsiniyyat (Embellishment) Sesuatu yang realisasinya dapat meningkatkan dan mencapai apa yang diinginkan

Jenis-jenis Maslahah(berdasarkan otoritas tekstual) •

Al-Maslahah Al-Mu’tabarah •



Maslahah Mursalah •



Maslahah yang tegas ditegakkan dan diberlakukan hukum untuk realisasinya. Contohnya adalah qisas untuk melindungi kehidupan, membela kepemilikan barang dengan menghukum pencuri.

Maslahah yang berlaku setelah wahyu Allah diturunkan. Contohnya diperlukan adanya dokumen untuk pembuktian atas kepemilikan barang (misalnya rumah)

Maslahah Mulgha •

Maslahah yang dibatalkan secara eksplisit atau indikasinya dapat ditemukan dalam Syariah. Contohnya adalah pembagian waris kepada anak laki-laki dan anak perempuan yang sama nilainya telah dibatalkan oleh QS An-Nisa ayat 11.

Kondisi dari Maslahah Mursalah •

Maslahah harus asli (haqiqi) •



Maslahah bertujuan untuk melindungi lima hal yang esensial yang telah dijelaskan sebelumnya.

Maslahah harus umum (kulliyah) •

Yang akan melindungi manfaat atau melindungi bahaya. Bukan sebuah maslahah apabila hanya melindungi sedikit individu.



Maslahah tidak boleh bertentangan dengan nash atau ijma

Perbedaan Istislah, Analogi dan Istihsan  Dalam menentukan aturan syariah pada sebagian isu, ulama harus berpedoman kepada Quran, Sunnah dan Ijma’. Apabila tidak ada aturan dari sumber ini, maka mereka harus menggunakan qiyas dengan mengidentifikasi illah yang umum diantara aturan teks dan menghasilkan sebuah solusi yang dipersyaratkan. Apabila solusi yang dihasilkan melaui qiyas memberikan kesulitan atau hasil yang tidak adil walaupun ia berasal dari qiyas yang jelas maka sebaiknya digunakan istihsan.  Apabila tidak ada analogi yang bisa digunakan maka ulama dapat menggunakan maslahah mursalah. ‘Urf (Adat/Kebiasaan) Urf adalah sebuah kata yang diturunkan dari akar bahasa arabnya yaitu ‘arafa (untuk mengetahui), ‘urf secara abahasa berarti “yang diketahui”. Beberapa pengamat mengatakan bahwa ‘adah berarti praktek pengulangan dan dapat digunakan kepada individu maupun grup Kondisi ‘Urf yang Berlaku (Valid)    

Harus merepresentasikan sebuah keumuman dan fenomena yang terjadi Harus ada dalam waktu sebuah transaksi terjadi Harus tidak bertentangan dengan ketentuan yang jelas Tidak boleh melanggar nass yang definit dan prinsip dalam hukum

Istishab (Anggapan keberlanjutan)  Secara bahasa, istishab memiliki arti “menemani atau “mengawal. Secara terminologi (istilah) menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah: “mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.”

Jenis-jenis Istishab •

Istishab al-adam al-asli •



Istishab al-wujud al-asli •



Fakta atau aturan dari hukum yang tidak ada dalam masa lalu yang dianggap tidak ada sampai dengan pembuktiannya.

Istishab yang diterima begitu saja atas kehadirannya atau eksistensinya dimana diindikasikan oleh hukum atau alasan

Istishab al-hukm

• •

Keberlanjutan dari hukum umum dan prinsip dari sebuah hukum

Istishab al-wasf •

Keberlanjutan dari atribut seperti sebuah atribut)

menganggap air bersih (bersih menjadi

Beberapa Kaidah Fiqih dalam Istishab •

Keyakinan tidak dapat dibantah dengan keraguan



Praduga umum sampai umum dikenakan kepada pembatasan



Praduga dari kebebasan asli dari hutang dimana kebebasan dari hutang sampai dengan kontraknya diterima



Asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan

Sadd al-Dhara’I (Menghalangi cara menuju hasil yang tidak diharapkan) Dhara’iah adalah sebuah kata yang memiliki sinonim dengan wasilah dimana secara bahasa shadd artinya memblokir atau menutup. Secara bahasa al-dzari’ah artinya jalan yang membawa kepada sesuatu , secara hissi atau ma’nawi baik atau buruk. Menurut Ibnu Qayyim, al-dzari’ah: apa apa yang menjadi perantara dari jalan kepada sesuatu.  Dengan memandang pada natijahnya, perbuatan itu ada dua bentuk:  Natijahnya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya.  Natijahnya buruk. Maka segala sesatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk dan karenanya dilarang. Ijma’ (Kesepakatan Ulama’) Secara etimologis Ijma’ berasal dari kata ajma’a yujmi’u Ijma'an memiliki 2 arti; =>> "ajma’a fulan 'ala safar"  tekat yang kuat =>> "ajma' muslimun 'ala kadza”  kesepakatan Secara terminology Ijma’ berarti kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama. Hakikat Ijma’ sebagai Sumber Hukum  tidak ada yang berwenang memutuskan suatu hukum yang tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadits setelah Rasulullah wafat

 dalam hadits Rasulullah SAW bersabda “tidak mungkin umatku bersepakat dalam hal kesesatan”  bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut Rukun dan Syarat Ijma’ Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan 5 rukun Ijma’  Setiap ulama’ yang mengikuti pembahasan sebuah masalah harus menyatakan persetujuannya.  Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.  Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.  Hukum yang disepakati adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dantidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur‟an.  Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Qur‟an dan atau hadis Rasulullah. Syarat ijma’ diantaranya :  Yang melakukan ijma ‟ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad  Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil(berpendirian kuat terhadap agamnya)  Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri ucapan atau perbuatan bid‟ah.

PERTEMUAN 7 METODE IJTIHAD DAN PENETAPAN FATWA Pengertian Ijtihad  Secara etimologis menurut Loweis Ma’luf, ijtihad adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha  Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal, usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang kelilmuan disebut faqih, produk atau usaha yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan kuat tentang hukum yang bersifat amaliah, ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.  Para ahli ushul fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Quran dan sunnah yang masuk ke dalam kategori zhanni al-dalalat. Syarat-Syarat Ber-ijtihad

Menurut Prof. Satria Efendi M. Zein, syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:  Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam Quran baik secara bahasa maupun secara istilah  Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’  Mengetahui ayat atau hadits mana yang tidak berlaku lagi  Mempunyai pengetahuan masalah yang menjadi ijma  Mengetahui seluk beluk qiyas  Menguasai bahasa Arab serta ilmu yang berhubungan  Menguasai ushul fiqih  Mengetahui maqashid syariah

Tingkatan Ijtihad Menurut Abu Zahrah, mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:  Mujtahid mustaqil (independen). Mujtahid ini adalah tingkatan tertinggi, seseorang harus memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh orang dalam tingkatan ini adalah imam mujtahid yang empat orang.  Mujtahid muntashib fi al-mazhab. Mujtahid tingkat ini mampu merumuskan sendiri akan tetapi berpegang pada mazhab tertentu. Contoh: Qadhi Abu Yusuf  Mujtahid fi al-mazhab. Tingkatan mujtahid yang bertaqlid pada imam mujtahid tertentu.  Mujtahid fi al-tarjih (ijtihad intiaq’i). Mujtahid yang kegiatannya memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan mentarjih salah satu pendapat terkuat dengan metode tarjih. Ijtihad Fardhi : Ini merupakan ijtihad yang dilakukan pleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid Ijtihad Kolektif : Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini ijtihad bisa dilakukan oleh kelompok para ahli di bidangnya. Banyak lembaga ijtihad kolektif yang bersifat nasional, regional bahkan internasional. Pembagian Ijtihad dari Proses Kerja Menurut al-Syatibi, ijtihad dilihat dari segi proses kerjanya dapat dibagi menjadi dua bentuk:

 Ijtihadi istinbathi yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.  Ijtihad tatbiqi yaitu upaya untuk meneliti suatu masalah dimana hukum hendak diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nash. Ijtihad yang kedua ini disebut tahqiq al-manat, berfokus pada mengaitkan kasus-kasus yang muncul dengan kandungan makna yang ada di dalam nash Pembagian Ijtihad dari Mujtahid dalam melakukan Ijtihad  Pertama, kelompok tradisional yaitu usaha menggali hukum yang lebih berorientasi pada ungkapan-ungkapan yang tersurat dalam Quran dan Sunnah. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl al-hadits.  Kedua, kelompok rasional, yaitu upaya menggali dan menetapkan hukum yang lebih berorientasi kepada akal. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hukum merupakan sesuatu yang kepentingannya dapat ditelaah dengan memerhatikan aspekaspek kemaslahatan. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl ar-ra’yi.

Metode Ijtihad  Ijtihad Bayani. Yaitu metode analisis kebahasaan untuk memberikan penjelasanpenjelasan terhadap makna teks Quran dan Sunnah.  Ijtihad Ta’lili/Qiyasi. Yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh suatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’i, nash dzanni dan tidak ada pula ijma.  Ijtihad Istishlahi. Yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.

Hukum Melakukan Ijtihad dan Fatwa  Orang yang mampu melakukan ijtihad maka ia berkewajiban berijtihad (berfatwa). Karena itu mufti berkewajiban, ketika ia satu-satunya yang ada di lokasi tertentu, untuk mengeluarkan fatwa dan mengajar kapan saja ia diminta untuk melakukan itu. Hanya ketika ada mujtahid lain, mufti tersebut bebas dari kewajiban. Karena hanya ketika permintaan itu dipenuhi maka kewajiban itu hilang, dan masyarakat secara keseluruhan dianggap telah memenuhi kewajiban itu.  Berdasarkan keterangan diatas maka hukum berfatwa adalah fardhu kifayah. Produk Ijtihad •

Fiqih



Qanun (Undang-Undang)



Qadha’i (Putusan Pengadilan)



Fatwa (Pendapat Hukum) Secara literal, al-fatwa berarti “jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit. Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.

Perbedaan Mujtahid Dan Mufti Para ahli ushul fiqih menyamakan antara mujtahid dengan mufti, orang yang diminta pendapatnya. Disemua karya-karya mereka, kedua istilah ini dipakai secara sinonim. Mandat kesarjanaan apapun yang dimiliki oleh mujtahid, mufti juga harus memilikinya, tapi dengan satu perbedaan : Mufti, menurut sebagian ulama ushul fiqh, tidak hanya harus bersifat adil dan dapat dipercaya, tapi juga harus diketahui bahwa ia menjadikan agama dan persoalan-persoalan agama dengan sangat serius. Syarat Mufti Syarat seorang mufti adalah sebagai berikut :  Seorang yang sudah mukallaf, yaitu Muslim, dewasa, dan sempurna akalnya  Seorang yang ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad, misalnya mengetahui dalil-dalil sama’i dan dalil-dalil aqli  Seorang yang adil dan dapat dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang mufti karena ia seorang panutan.  Bersikap tenang (sakinah) dan berkecukupan, mempunyai niat dan iktikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal di tengah umat. Metode Penetapan Fatwa Metode yang digunakan oleh komisi fatwa MUI dalam proses menetapkan fatwa melalui tiga pendekatan, yaitu : •

Nash qath’i: Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang dengan nash AlQur’an dan Hadist untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash Al-Qur’an ataupun Hadist secara jelas.



Qauli : Pendekatan qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).



Manhaji : Pendekatan manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa yang mempergunakan kaidah-kaidah pokok dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif dengan menggunakan metode : •

Mempertemukan pendapat yang berbeda



Memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya (tarjihi)



Menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi)



istinbathi

Produk Fatwa MUI •

Ibadah Shalat jumat musafir di kapal, kepeloporan pejabat dalam melaksanakan ibadah, istitha’ah dalam melaksanakan ibadah haji, ibadah haji hanya sekali dalam seumur hidup, dll.



Sosial kemasyarakatan Penyalahgunaan narkotika, film the message, talak tiga sekaligus, panti pijat, daging kelinci, adopsi, nyanyian dengan menggunakan ayat Al-Qur’an, Natal bersama, dll



Paham keagamaan Islam jama’ah, ahmadiyah qadiyan, faham syi’ah, jama’ah, khalifah, bai’at 145, darul arqam, dll.



IPTEK Pemyembelihan hewan secara mekanis, tubektomi, wasiat menghibahkan kornea mata, penyakit kusta, dll.