STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA

Download Catch), serta merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan biji nangka. Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (...

0 downloads 572 Views 3MB Size
STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) DI PERAIRAN UTARA JAWA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, KABUPATEN LAMONGAN, PROVINSI JAWA TIMUR

NIRA NUR SYAMSIYAH

SKRIPSI

 

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2010

Nira Nur Syamsiyah C24063435

RINGKASAN Nira Nur Syamsiyah. C24063435. Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Zairion. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) merupakan ikan demersal yang dominan ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Brondong dan produksinya selalu mengalami peningkatan pertahunnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu studi dinamika stok yang bertujuan untuk menduga pertumbuhan, laju mortalitas, dan laju eksploitasi, menentukan upaya (effort) optimum, tangkapan maksimum lestari atau MSY, jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau TAC (Total Allowable Catch), serta merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan biji nangka. Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 7 Februari 2010 sampai 27 Maret 2010. Pengumpulan data primer mencakup pengukuran panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu 8 hari selama 2 bulan. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan regresi linier sederhana untuk menduga pola pertumbuhan ikan. Metode NORMSEP untuk mengidentifikasi kelompok umur, metode Ford Walford dengan program ELEFAN I digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi dari persamaan von Bertalanffy, dan untuk analisis pendugaan mortalitas total (Z) didapatkan dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang, mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly, mortalitas penangkapan (F) diperoleh dari hasil Z – M, dan laju eksploitasi diperoleh dari F/Z. Analisis data sekunder berupa data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dari PPN Brondong melalui metode produksi surplus, yaitu perbandingan antara model Schaefer dan Fox. Hubungan panjang bobot ikan biji nangka diperoleh persamaan W = 0.0001 L 2.47 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 93 %. Dan hasil uji t (uji parsial) terhadap nilai b yang dilakukan, pola pertumbuhan ikan biji nangka adalah allometrik negatif. Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka, yaitu koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.28 per tahun, dan panjang infinitif (L∞) sebesar 313.43 mm, serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t0) sebesar 0.55 tahun. Diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertallanfy ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Lt = 313.43 [1 – e (-0.28(t+0.55)) ]. Dugaan laju mortalitas total (Z) ikan biji nangka adalah 2.18 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) adalah 0.32 per tahun, dan laju mortalitas penangkapan (F) yang didapatkan sebesar 1.85 per tahun serta laju eksploitasi (E) ikan biji nangka yang diperoleh sebesar 0.85 per tahun. Model stok ikan biji nangka mengikuti model Schaefer yaitu upaya penangkapan tidak lebih dari 1 274 unit alat tangkap dogol per tahun dengan jumlah maksimum tangkapan lestari sebesar 12 012.40 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 8 648.93 ton per tahun. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terdapat 2 garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur, yaitu pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dan pengontrolan jumlah penangkapan.

Ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur memilki pola pertumbuhan allometrik negatif dengan bentuk tubuh yang cenderung kurus. Penyebab mortalitas ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sebagian besar akibat penangkapan dengan laju eksploitasinya 0.85 per tahun. Model stok ikan biji nangka mengikuti model Schaefer. Alternatif pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa melalui pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dengan dua pendekatan, yaitu pengaturan ukuran mata jaring bagian kantong pada alat tangkap dogol dan tidak melakukan kegiatan penangkapan pada musim pemijahan. Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitan dan kajian mengenai dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa dengan pendekatan bioekonomi, diperlukan adanya kajian yang sama pada musim yang berbeda yaitu mewakili musim timur. Kata kunci :

Ikan biji nangka, Upeneus sulphureus, pertumbuhan, mortalitas, model produksi surplus

STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) DI PERAIRAN UTARA JAWA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, KABUPATEN LAMONGAN, PROVINSI JAWA TIMUR

NIRA NUR SYAMSIYAH

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

 

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul

: Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur

Nama

: Nira Nur Syamsiyah

NIM

: C24063435

Program Studi

: Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui : Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA NIP. 19570928 198103 1 006

Ir. Zairion, M.Sc NIP. 19640703 199103 1 003

Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP. 19660728 199103 1 002

Tanggal Lulus : 28 Juni 2010

PRAKATA Syukur Alhamdullillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi dinamika stok ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2010 di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dan bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan dan lingkungan perairan khususnya bagi upaya pengelolaan kawasan Perairan Utara Jawa yang berkelanjutan.

Bogor, Juli 2010

Penulis

 

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Ir. Zairion, M.Sc, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi dan Yonvitner, S.pi, M.Si selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. 4. Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. 5. My shining family ; Ibu (Nuril Hilaliyah), Ayah (Samsul Huda), Mas Nuha dan Dek Bety, serta semua keluarga besar Hj. Ma’rifah atas kasih sayang, doa, dukungan dan semangatnya kepada penulis. 6. Mba’ Widar dan seluruh staf Tata Usaha, MOSI crew, serta seluruh sivitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 7. Via as my partner yang telah menemani dalam suka dan duka. Danto, Friska, dan Genny atas masukan dan dukungan selama penyusunan skripsi. 8. GZBers (Siti, Intan, Via, Ria, Yani, Yesti) for the most beutifull moment when we passed together, ikhwah FKMC, Tim Asisten FHA dan SDPi, serta temanteman MSP 43 lainnya atas kebersamaan dan dukungan selama masa perkuliahan. 9. Starers as my second family (Mbo’nya as my roommate, Nenek, Merry, Ary, Mb’Hanum, Mb’Rei, Mb’Vidri, Mb’Jane, Mb’Vika, Novi, and others) atas cinta, semangat, dan dukungannya. 10. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama ini.

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan (Jawa Timur), 7 April 1988. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan suami isteri Samsul Huda dan Nuril Hilaliyah. Pada tingkat dasar, penulis bersekolah di SDN Sedayulawas II. Melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Paciran. Kemudian melanjutkan ke SMA Unggulan BPPT Al-Fattah Lamongan. Setelah lulus dari SMA Unggulan BPPT Al-Fattah Lamongan, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis mengambil Mayor Manajemen Sumberdaya Perairan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti berbagai keorganisasian dan kepanitiaan diantaranya anggota UKM FORCES, pengurus HIMASPER (Himpunan mahasiswa manajemen sumberdaya perairan), pengurus FKMC (Forum Keluarga Muslim FPIK), serta berbagai kepanitiaan pada acara PIMPIKNAS, PORIKAN, dan The Coastal and Marine Symposium yang diadakan oleh BEM C. Selain itu, penulis juga sempat menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air dan Mata Kuliah Sumberdaya Perikanan. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur”.

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xiv

1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1. Latar Belakang................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3. Tujuan .............................................................................................. 1.4. Manfaat............................................................................................

1 1 3 4 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1. Ikan Biji Nangka ............................................................................. 2.1.1. Klasifikasi .......................................................................... 2.1.2. Karakter morfologi ............................................................. 2.1.3. Biologi dan habitat.............................................................. 2.1.4. Sebaran dan musim pemijahan ........................................... 2.2. Alat Tangkap Ikan Biji Nangka....................................................... 2.3. Sebaran Frekuensi Panjang.............................................................. 2.4. Pertumbuhan .................................................................................... 2.5. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ....................................................... 2.6. Pengkajian Stok Ikan ....................................................................... 2.7. Model Produksi Surplus .................................................................. 2.8. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan ......................................... 2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan................................................

5 5 5 6 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14

3. METODE PENELITIAN ........................................................................ 3.1. Lokasi dan Waktu ............................................................................ 3.2. Bahan dan Alat ................................................................................ 3.3. Pengumpulan Data .......................................................................... 3.4. Analisis Data ................................................................................... 3.4.1. Hubungan panjang-bobot ................................................... 3.4.2. Sebaran frekuensi panjang .................................................. 3.4.3. Identifikasi kelompok umur................................................ 3.4.4. Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ............ 3.4.5. Mortalitas dan laju eksploitasi ............................................ 3.4.6. Model produksi surplus ......................................................

16 17 17 17 18 19 21 21 22 23 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 4.1. Hasil................................................................................................. 4.1.1. Kondisi umum Perairan Utara Jawa ................................... 4.1.2. Kondisi perikanan biji nangka di PPN Brondong .............. 4.1.3. Hubungan panjang bobot .................................................... 4.1.4. Sebaran frekuensi panjang .................................................. 4.1.5. Parameter pertumbuhan ...................................................... 4.1.6. Mortalitas dan laju eksploitasi ............................................ 4.1.7. Model stok ikan biji nangka ...............................................

28 28 28 29 31 31 36 37 38

4.

x  

xi 4.2. Pembahasan ..................................................................................... 4.2.1. Hubungan panjang bobot .................................................... 4.2.3. Sebaran frekuensi panjang................................................... 4.2.4. Parameter pertumbuhan ...................................................... 4.2.5. Mortalitas dan laju eksploitasi ............................................ 4.4.6. Model stok ikan biji nangka ............................................... 4.4.6. Alternatif pengelolaan perikanan biji nangka .....................

40 40 41 42 43 44 46

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 5.2. Saran ................................................................................................

49 49 49

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

50

LAMPIRAN....................................................................................................

54

5.

DAFTAR TABEL Halaman 1.

Hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (f) ikan biji nangka di PPN Brondong (2003-2009)....................................................................

3

Hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di Perairan Utara Jawa ................................................................

31

3.

Sebaran kelompok ukuran ikan biji nangka ...........................................

34

4.

Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanfy (L∞, K dan t0) ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Februari-Maret 2010) ......

35

Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa ........................................................................................................

37

6.

Hasil tangkapan (C), upaya penangkapan (f), dan CPUE ......................

38

7.

Parameter pertumbuhan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian

42

8.

Laju mortalitas dan laju penangkapan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian ........................................................................................

44

2.

5.

xii  

DAFTAR GAMBAR Halaman 1.

Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) ...........................

5

2.

Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia .............................................

7

3.

Alat tangkap dogol (Danish seine) ........................................................

9

4.

Peta lokasi penangkapan ikan biji nangka .............................................

16

5.

Skema pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN Brondong ..........

18

6.

Diagram komposisi hasil tangkapan dogol di PPN Brondong tahun 2008.........................................................................................................

30

7.

Sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka ...........................................

32

8.

Kelompok ukuran panjang ikan biji nangka ...........................................

33

9.

Kurva pertumbuhan ikan biji nangka ......................................................

35

10. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang .............

36

11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer ...........

38

12. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Fox ...................

38

13. Hubungan upaya penangkapan dengan hasil tangkapan .........................

39

14. Grafik hubungan panjang bobot total ikan biji nangka ...........................

40

15. Tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong ...........

45

xiii  

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.

Alat-alat dan bahan yang digunakan .........................................................

55

2.

Teladan kuesioner nelayan ikan biji nangka yang telah diisi ...................

56

3.

Data panjang total dan bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh ......................................... ..............................................................

57

Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh I ....................................................

63

Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh II ...................................................

64

Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh III..................................................

65

Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh IV .................................................

66

Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh V ...................................................

67

Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VI .................................................

68

10. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VII ................................................

69

11. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh I.........

70

12. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh II........

72

13. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh III.......

74

14. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh IV......

76

15. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh V........

78

16. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VI......

80

4. 5. 6. 7. 8. 9.

xiv  

xv 17. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VII.....

82

18. Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K, dan t0 ) dengan metode Ford walford menggunakan program ELEFAN I dalam software FiSAT II.................................................................................................................

84

19. Pendugaaan laju mortalitas dan laju eksploitasi........................................

85

20. Model produksi surplus.............................................................................

87

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perairan Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai penghasil ikan yang cukup tinggi. Ekspor ikan laut dan hasil laut lainnya dari Jawa Timur mencapai sekitar 25% dari ekspor ikan Indonesia pada tahun 2002 (Bambang 2004 in Setiawan 2005). Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong merupakan pangkalan pendaratan terbesar yang produksinya rata-rata mencapai 100 ton/hari dibandingkan dengan pangkalan pendaratan ikan lain di Kabupaten Lamongan yaitu Weru, Kranji, Labuhan, dan Loghung yang rata-rata mencapai 10 ton/hari. Hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Brondong didominasi oleh ikan-ikan demersal, diantaranya ikan biji nangka (kuniran), ikan swanggi, dan ikan kapasan (BAPEDA Kabupaten Lamongan dan LPM UNIBRAW 2003 in Setiawan 2005). Lokasi Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong terletak di Kelurahan Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur (JICA 2009a). Pelabuhan perikanan ini sebagai basis utama perikanan laut di wilayah utara Jawa Timur karena daerah tangkapan (fishing ground) adalah Laut Utara Jawa yang menjangkau perairan laut lepas pantai yang sangat potensial dengan beragam jenis ikan baik pelagis maupun demersal. Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalembu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Bawean. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) merupakan ikan demersal yang dominan ditangkap nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya. Hal ini dibuktikan statistik perikanan PPN Brondong yang menunjukkan bahwa produksi penangkapan ikan biji nangka mencapai angka tertinggi dibandingkan jenis ikan lainnya yang didaratkan di PPN tersebut (JICA 2009a). Para nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya menggunakan alat tangkap dogol atau cantrang dengan kapal motor untuk menangkap ikan biji nangka (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Penangkapan ikan biji nangka oleh nelayan Brondong dan sekitarnya dilakukan sepanjang tahun dengan musim puncak penangkapan pada bulan Maret dan Oktober (Sumiono & Nuraini 2007).

2 Pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut harus dilakukan secara rasional agar sumberdaya ikan biji nangka tetap lestari. Sesuai dengan Undang-Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya keleestarian sumberdaya ikan. Jika dilakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan secara tepat, maka akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama, juga memilki konstribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya yang kemudian akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Dalam hal ini terdapat makna tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan (JICA 2009b). Dalam rangka pengelolaan perikanan biji nangka yang berkelanjutan diperlukan informasi baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat matematis. Menurut Widodo & Suadi (2006), langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan mencakup kegiatan pengumpulan data dasar mengenai biologi, ekonomi, dan sosial perikanan. Kemudian data yang diperoleh diolah kedalam bentuk informasi yang berguna untuk membuat keputusan pengelolaan dan menetapkan, melaksanaan serta memantau pelaksanaan pelaksanaan keputusan pengelolaan tersebut. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai sumberdaya ikan biji nangka di perairan Indonesia adalah “Beberapa aspek biologi ikan biji nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Banten” (Sjafei & Susilawati

2001) dan “Beberapa parameter biologi ikan kuniran (Upeneus

sulphureus) hasil tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong Jawa Timur (Sumiono & Nuraini 2007).

1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan laporan Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan Kabupaten Lamongan diketahui bahwa sampai dengan tahun 2003 usaha penangkapan ikan Lamongan terpusat di Perairan Utara Jawa pada wilayah Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran. Hasil tangkapan ikan biji nangka di PPN Brondong (Tabel 1)

3 cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2003 hingga 2009 (Ditjen-Tangkap DKP 2009).

Tabel 1. Hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (f) ikan biji nangka di PPN Brondong (2003-2009) Tahun C (ton) 2003 6 576 2004 9 063 2005 8 182 2006 7 446 2007 11 318 2008 12 555 2009 15 917 Sumber : Ditjen-Tangkap DKP (2009)

f (unit) 453 453 836 961 965 1 393 1 386

Mengingat tingginya intensitas penangkapan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada beberapa tahun terakhir ini, dikhawatirkan pemanfaatannya akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan biji nangka. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut dan agar pemanfaatannya berada dalam keadaan yang rasional, maka diperlukan data dan informasi dari hasil penelitian terutama mengenai dinamika stok untuk mendasari pengelolaannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam rangka pengelolaan perikanan biji nangka yang berkelanjutan. Yang dalam penelitian ini difokuskan pada studi dinamika stok ikan biji nangka dengan batasan daerah penangkapan yang berpangkalan di PPN Brondong yaitu : 1)

Bagaimana dinamika stok ikan biji nangka yang mencakup pertumbuhan dan mortalitas?

2)

Bagaimana tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dan upaya (effort) optimum dari kegiatan penangkapan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong?

3)

Berapa jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) ?

4 1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1)

Menduga pertumbuhan, laju mortalitas, dan laju eksploitasi ikan biji nangka.

2)

Menentukan upaya (effort) optimum dan tangkapan maksimum lestari atau Maximum

Sustainable

Yield

(MSY)

serta

jumlah

tangkapan

yang

diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) 3)

Merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa.

1.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi biologi berupa laju pertumbuhan, kisaran ukuran panjang ikan biji nangka yang tertangkap, hubungan panjang bobot, mortalitas serta status stok ikan biji nangka yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pengelolaan perikanan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan biji nangka (Gambar 1) diklasifikasikan sebagai berikut: Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Pisces

Subkelas

: Actinopterygii

Ordo

: Perciformes

Famili

: Mullidae

Genus

: Upeneus

Spesies

: Upeneus sulphureus (Cuvier, 1829)

Nama Umum

: Beach goatfish, yellow goatfish, sulphur goatfish

Nama Lokal

: Ikan kuniran atau kuningan (Jawa), ikan biji nangka (Jakarta), ikan jenggot (Sulawesi Tengah) (Genisa 2003)

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 1. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829)

6 2.1.2. Karakter morfologi Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009), pada sirip dorsal ikan biji nangka terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral terdapat 15-16 jari-jari lemah. Jumlah sisik pada lateral line sebanyak 34-37 buah sisik (hingga pada pangkal ekor). Tubuh tertutup oleh sisik stenoid. Tinggi badan pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih 29-30 % dari panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga peduncle sekitar 11-12 % dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah 23-35 % dari panjang standarnya. Panjang maksimum ikan biji nangka yang tertangkap di alam adalah 230 mm, sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa panjang maksimum ikan tersebut di alam adalah 300 mm (Munro 1967 in Fahmi 2002). Randall & Kulbicki (2005) menyatakan bahwa ikan biji nangka memiliki bentuk tubuh yang memanjang dengan ukuran kepala yang relatif kecil serta mulut ramping yang moncong dan terdapat sepasang sungut pada dagunya. Pada sirip dorsal berwarna coklat tua pada ujungnya. Pada tulang punggung kedua sampai keempat kira-kira setengah dari panjang tubuh berwarna merah muda, warna putih pada perut, dan terdapat dua garis kuning mengkilat pada kedua sisi tubuh. Sirip anus (anal) dan sirip dada berwarna pucat. Warna sirip ekor (caudal) kuning dan berbentuk cagak (Sumiono & Nuraini 2007).

2.1.3. Biologi dan habitat Ikan biji nangka termasuk ikan demersal yang bersifat berkelompok (schooling), hidup di perairan payau dan laut pada kedalaman rata-rata 10-90 m. Banyak ditemukan di perairan pantai hingga wilayah estuari (www.fishbase.org 2009). Kebanyakan ikan biji nangka hidup di dasar perairan dengan jenis substrat berlumpur dengan pasir, namun ditemukan pula adanya ikan biji nangka yang mencari makan sampai di daerah karang (Burhanuddin et al. 1984 in Sjafei & Susilawati 2001). Helfman (1986) in Sjafei & Susilawatei (2001) menyatakan bahwa ikan biji nangka dapat menjadi bottom feeder (pemakan biota yang berada di dasar perairan) yang baik dengan jenis substrat berpasir (white sand) atau bahkan sampai di sekitar gugusan karang.

7 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Phraba & Manjulatha (2008), komposisi makanan ikan biji nangka diantaranya adalah udang, kepiting, dan bivalvia yang ukurannya relatif lebih kecil. Makanan yang paling pokok dan penting bagi ikan ini adalah udang, kepiting menjadi dominan selama bulan Oktober, sedangkan bivalvia menjadi makanan utama pada bulan Januari, Februari, Desember. Dilihat dari komposisi jenis makanannya, ikan biji nangka adalah karnivor (Sjafei & Susilawati 2001). Menurut Herianti & Subani (1993), di Perairan Utara Jawa ukuran pertama kali matang gonad Upeneus sulphureus jantan pada ukuran panjang 115 mm, sedangkan ikan betina pada ukuran panjang 120 mm.

2.1.4. Sebaran dan musim pemijahan Daerah penyebaran ikan biji nangka di seluruh perairan pantai dan karangkarang. Ikan ini menyebar hampir di seluruh perairan pantai di Indonesia, sedangkan di perairan manca negara meliputi Indo-Pasifik Barat : dari Afrika Timur sampai Asia Tenggara, utara sampai ke China, selatan sampai ke Australia Utara dan Fiji (www.fishbase.org 2009). Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia disajikan pada Gambar 2.

Sumber : http://www.aquamaps.org (2009)

Gambar 2. Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia ( : Konsentrasi daerah penyebaran ikan biji nangka)

8 Menurut Sabrah & Al-Ganainy (2009), ikan biji nangka memijah satu kali dalam setahun tepatnya pada musim semi di Terusan Suez, Mesir. Ikan biji nangka mempunyai sifat pemijahan total (total spawner), butir-butir telurnya yang sudah matang akan dikeluarkan sekaligus dalam jangka waktu singkat pada saat pemijahan berlangsung (Sjafei & Susilawati 2001). Musim pemijahannya terjadi pada bulan Januari hingga Februari (Sumiono & Nuraini 2007).

2.2. Alat Tangkap Ikan Biji Nangka Ikan biji nangka banyak ditangkap dengan menggunakan alat tangkap trawl, bottom trawl, cantrang, dan sero (Genisa 2003). Bottom trawl banyak digunakan oleh para nelayan di Pantai Visakhapatnam (India) untuk menangkap ikan jenis ini (Phraba & Manjulatha 2008). Sedangkan nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya lebih dominan menggunakan alat tangkap dogol dengan kapal motor untuk menangkap ikan tersebut (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Menurut Sudirman & Mallawa (2004), dogol termasuk kategori pukat kantong dan merupakan alat tangkap ikan demersal. Di Indonesia seine net biasa juga disebut pukat kantong, yaitu jaring yang mempunyai kantong dan dua buah sayap. Pada prinsipnya, alat tangkap ini terdiri dari bagian kantong yang berbentuk empat persegi panjang, bagian badan berbentuk seperti trapesium memanjang. Selanjutnya pada bagian-bagian tersebut ditautkan tali penguat dan dihubungkan pula dengan tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (foot rope) serta dilengkapi dengan pelampung dan pembobot. Spesifikasi alat tangkap dogol adalah tali selambar sepanjang 1200 m, jenis tali marlon dan jaring dengan ukuran panjang 36 m, lebar 8 m. Bagian kantong memilki diameter benang 1.20 mm dan diameter mata jaring 1.25 inchi. Bagian sayap memiliki diameter benang 1.20 inchi dan diameter mata jaring 20 cm. Jenis kapal motor yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 10-20 GT serta 20-30 GT. Kekuatan daya dorong mesin ini cukup besar karena penggunaannya sebagai penarik serta penahan pada waktu menarik (hauling) jaring. Berdasarkan pendataan PPN Brondong, jumlah kapal motor yang berdomisili dan masih aktife mendaratkan ikan di PPN Brondong sebanyak 353

9 kapal motor yang masih aktif menggunakan alat tangkap dogol ini (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Gambar alat tangkap dogol disajikan pada Gambar 3.

Sumber : JICA 2009 c Gambar 3. Alat tangkap dogol (Danish seine)

Penangkapan ikan biji nangka yang dilakukan nelayan di PPN Brondong terjadi sepanjang tahun dan hasilnya berfluktuasi naik turun berdasarkan musim penangkapan. Di daerah Brondong musim penangkapan selalu berubah–ubah karena adanya produksi ikan yang tidak menentu. Musim penangkapan ikan biasanya terjadi ikan biasanya terjadi pada awal, puncak, dan akhir musim. Puncak musim penangkapan ikan biji nangka berlangsung pada bulan Maret dan Oktober (Sumiono & Nuraini 2007).

2.3. Sebaran Frekuensi Panjang Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Pada perairan beriklim sub-tropis, data komposisi umur biasanya dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena

10 adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi perairan dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999). Busacker et al. (1990) menyatakan bahwa umur ikan bisa ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut bisa diketahui kelompok umur ikan. Untuk menghitung pertumbuhan atau laju pertumbuhan dapat digunakan hasil identifikasi kelompok umur. Penggunaan analisis frekuensi panjang dalam bidang perikanan, untuk memperoleh dugaan parameter pertumbuhan yaitu panjang teoritis, koefisien pertumbuhan, dan umur ikan (Boer 1996). Sparre & Venema (1999) juga menyebutkan bahwa analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu, sehingga analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran.

2.4. Pertumbuhan Pertumbuhan suatu individu merupakan penambahan bobot atau panjang, sedangkan pertumbuhan populasi merupakan penambahan jumlah. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, antara lain keturunan sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan (Effendie 2002). Menurut Ricker (1970) in Effendie (2002) menyatakan bahwasannya dalam studi pertumbuhan ikan, sering digunakan analisis hubungan panjang bobot untuk menjelaskan sifat dan pola pertumbuhannya. Bobot dianggap sebagai salah satu fungsi panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, dimana bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hasil analisis tersebut menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang merupakan harga pangkat yang dapat menjelaskan pola pertumbuhan. Suatu pertumbuhan, dimana pertambahan panjang

11 ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (b = 3), maka pertumbuhan yang demikian itu disebut juga pertumbuhan isometrik. Sedangkan, jika pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot (b ≠ 3), maka pertumbuhan yang demikian itu disebut juga pertumbuhan alometrik. Dikatakan pertumbuhan alometrik positif jika nilai b > 3, menunjukkan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambeahan panjang. Sebaliknya, jika pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot, maka dikatakan pertumbuhan alometrik negatif (b < 3). Pitter (1920) in Sparre & Venema (1999) telah mengembangkan suatu model pertumbuhan yang dapat dianggap sebagai dasar dari sebagian model pertumbuhan lainnya termasuk salah satu yang dikembangkan sebagai suatu model matematik bagi pertumbuhan individu oleh Von Bertalanfy (1914), dan ternyata cukup memadai untuk pertumbuhan yang telah diobservasi pada sebagian besar spesies ikan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995).

2.5. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas suatu kelompok ikan yang kesemuanya mempunyai umur yang kira-kira sama dan berasal dari stok yang sama atau yang sering disebut kohort terdiri atas mortalitas karena penangkapan dan mortalitas karena sebab-sebab lain yang disebut sebagai kematian alamiah (natural mortality) yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena predasi, penyakit dan umur (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup, sehingga laju eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor penangkapan. Stok yang dieksploitasi

optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju

mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0.5 (Pauly 1984). Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).

12 Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil (Beverton & Holt 1957). Pauly (1984) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan.

2.6. Pengkajian Stok Ikan Widodo & Suadi (2006) menyatakan bahwa pengkajian stok meliputi penggunaan berbagai perhitungan statistik dan matematik untuk membuat dugaan kuantitatif mengenai reaksi dari berbagai populasi ikan terhadap beberapa alternatif pengelolaan. Orientasi utama dari pengkajian stok adalah untuk melangkah lebih jauh dari berbagai prediksi kuantitatif dan harus mampu memprediksi produksi beserta kisaran nilainya, berbagai risiko yang mungkin ditimbulkan dari adanya penangkapan yang berlebihan terhadap berbagai populasi induk yang sedang memijah (spawning population), dan perlunya membiarkan ikan tumbuh sampai ukuran tertentu sebelum ditangkap. Menurut Wiyono (2005) bahwa pendugaan stok ikan di Indonesia dilakukan dengan beberapa metode pendekatan, seperti yang dijelaskan berikut ini : 1) Metode sensus atau transek digunakan untuk mengkaji stok ikan yang sifatnya tidak bergerak dengan cepat, seperti ikan hias dan ikan karang. 2) Metode swept area digunakan untuk menduga stok ikan dasar (demersal). Metode ini dilakukan dengan prinsip menyapu area perikanan dengan menggunakan alat tangkap trawl. 3) Metode akustik digunakan untuk menduga ikan pelagis maupun demersal. Prinsip kerja metode ini adalah menghitung potensi ikan dengan menggunakan alat yang dinamakan echosounder. 4) Metode produksi surplusdigunakan untuk menduga ikan dengan memanfaatkan data time series hasil tangkapan dan upaya penagkapan ikan di tempat pendaratan ikan.

13 Pengkajian stok dapat berperan penting dalam berbagai hal untuk perkembangan perikanan, diantaranya

menyelaraskan (fine tunning) sistem

perikanan dengan produksi yang lebih tinggi, mengembangkan berbagai rencana untuk rehabilitasi stok terutama bila tahap perkembangan awal menghasilkan penangkapan berlebihan, dan mengembangkan berbagai strategi untuk pengelolaan selama terjadi transisi teknologi kearah metode penangkapan yang lebih efisien (Widodo & Suadi 2006).

2.7. Model Produksi Surplus Model produksi surplus merupakan model holistik yang menganggap suatu stok sebagai satu unit yang besar dari biomassa, dimana dalam model ini tidak perlu menentukan kelas umur seperti dalam model analitik. Metode ini menggunakan data hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan hasil tangkapan per satuan upaya per spesies atau CPUE (Catch per Unit Effort) sebagai masukan. Data yang digunakan tersebut merupakan data runtun waktu (time series data) tahunan dan berasal dari hasil sampling terhadap perikanan komersil (Sparre & Venema 1999). Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa metode produksi surplus yang dikembangkan Schaefer & Fox bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok jangka panjang. Metode produksi surplus yang digunakan untuk menentukan MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang seragam dan tidak berhubungan dan tidak berhubungan dengan komposisi dari proporsi ikan tua atau besar. Konsep dasar dari metode produksi surplus adalah meneningkatkan populasi ikan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedangkan penurunan dari populasi tersebut meruapakan akibat dari mortalitas. Mortalitas tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor baik kematian alamiah (natural mortality) diantaranya predasi dan penyakit maupun karena penangkapan ( fishing mortality) yang merupakan aktifitas penangkapan oleh manusia (Widodo & Suadi 2006).

14 2.8. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Peluang pengembangan perikanan di Indonesia ditunjukkan oleh sejumlah kelompok sumberdaya baik secara nasional maupun di tingkat wilayah pengelolaan perikanan tertentu. Namun demikian, dalam melakukan estimasi potensi serta tingkat pemanfaatannya mengandung banyak unsur ketidakpastian, maka setiap usaha pengembangannya harus dilakukan secara gradual, dengan berlandaskan pendekatan yang bersifat hati-hati (precautionary approach) untuk memenuhi azas perikanan yang bertanggung jawab bagi terwujudnya pembangunan perikanan yang berkesinambungan ( Boer & Azis 1995). Analisis produksi surplus juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer & Azis 1995).

2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan sama seperti sumber daya pertambangan yaitu samasama mempunyai batasan, namun berbeda dengan sumber daya produk pertambangan seperti minyak bumi, sumberdaya perikanan memiliki daya reproduksi atau bersifat dapat diperbaharui, sehingga apabila dikelola dengan baik maka akan dapat digunakan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, apabila dilakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan secara tepat, maka akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama, juga memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. yang jelas akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Di sini terdapat makna tentang pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan (JICA 2009c). JICA (2009c) juga menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY : Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan

15 pecegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Untuk menghadapi penipisan sumberdaya perikanan dan untuk merumuskan progam pengelolaan yang berhasil diperlukan beberapa informasi. Beberapa informasi tersebut diantaranya, proses-proses biologi dan ekonomi dari setiap perikanan (JICA 2009c).

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur dengan posisi koordinat secara geografis pada 060 53’ 30.81” LS dan 1120 17’ 01.22” BT (JICA 2009b). Pengumpulan data primer dilakukan pada tanggal 7 Februari 2010 sampai 27 Maret 2010. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilaksanakan pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Februari 2010. Peta lokasi daerah penangkapan ikan biji nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong, Lamongan, Jawa Timur disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penangkapan ikan biji nangka

17 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah ikan biji nangka yang didaratkan di PPN Brondong, statistik hasil tangkapan maupun upaya tangkapan yang didaratkan dari PPN Brondong serta kuesioner hasil wawancara dengan nelayan yang menangkap ikan biji nangka. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital dengan ketelitian 0.1 gram untuk mengukur bobot ikan, meteran dengan ketelitian 1 milimeter untuk mengukur panjang total ikan, alat tulis dan alat dokumentasi.

3.3. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer yang dilakukan mencakup pengukuran panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu 8 hari selama 2 bulan, contoh ikan biji nangka yang digunakan sebanyak 1 050 ekor. Ikan biji nangka diperoleh dari beberapa nelayan yang mendaratkan ikan tersebut di PPN Brondong. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada saat pengambilan contoh, ikan biji nangka yang ditangkap di daerah Bawean. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara acak dari beberapa nelayan yang ada. Panjang ikan biji nangka yang diukur adalah panjang total menggunakan meteran dengan ketelitian 1 mm. Sedangkan bobot ikan biji nangka ditimbang dengan timbangan dengan ketelitian 0.1 gram. Pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN Brondong disajikan pada Gambar 5. Pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara observasi dan wawancara terhadap nelayan ikan biji nangka. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara berupa data unit penangkapan ikan biji nangka (pemilik, mesin, kapal, nelayan atau anak buah kapal dan alat tangkap), kegiatan operasi, penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Informasi ini kemudian akan digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan perikanan biji nangka di Pantai Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong.

18

PPN Brondong

Kapal dan Alat Tangkap Ikan Biji Nangka

Kapal A

Kapal B

Kapal C

Kapal D

3 Keranjang

3 Keranjang

3 Keranjang

3 Keranjang

150 ekor contoh ikan biji nangka

Pengukuran panjang dan bobot

Analisis data

Gambar 5. Skema pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN Brondong

3.4. Analisis Data Analisis data yang akan dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis data primer dan sekunder. Analisis data primer antara lain untuk menduga pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka. Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode NORMSEP untuk menganalisis data frekuensi panjang, metode Plot Ford walford digunakan untuk menduga pertumbuhan polpulasi melaui persamaan von Bertallanfy berdasarkan data yang telah dipisahkan menurut kelompok ukuran ikan, dan untuk analisis pendugaan mortalitas serta laju eksploitasi didapatkan dari kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data

19 komposisi panjang. Kemudian analisis panjang bobot digunakan untuk menduga pola pertumbuhan ikan. Analisis data sekunder melalui metode produksi surplus, yaitu perbandingan antara model Schaefer dan Fox. Berdasarkan hasil analisis regresi linier kedua model, kemudian dibandingkan nilai koefisien determinasi yang lebih mewakili dan dapat ditentukan tangkapan maksimum lestari dan upaya optimal. Selanjutnya analisis penetuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan diperoleh dari tangkapan maksimum lestari.

3.4.1. Hubungan panjang-bobot Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga. Namun sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbedabeda sehingga untuk menganalisis hubungan panjang-bobot masing-masing spesies ikan biji nangka digunakan rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002) : W

aL

(1)

dengan W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah konstanta dan b adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila ditranformasikan ke dalam logaritma, akan diperoleh persamaan Log W = Log a + b Log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis lurus. Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi sederhana dengan Log W sebagai y dan Log L sebagai x, demikian sehingga diperoleh pesamaan regresi : yi = β0 + β1 xi +εi atau y

b0 + b1

(2)

konstanta b diduga dengan b1 dan konstanta a diduga dengan 10b0. Sedangkan b1 dan b0 masing-masing dihitung dengan (Dowdy et al. 2004):

b1

1 N ∑ x ∑N y n i i i i 2 2 1 N ∑N i xi n ∑i xi

∑N i xi yi

(3)

20 dan b

(4)

Untuk menguji nilai β1 = 3 atau β1 ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial) (Sukimin et al. 2006), dengan hipotesis : H0 : β1 = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik. H1 : β1 ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik Hubungan allometrik terdapat dua macam, yaitu : •

Allometrik positif, jika b>3 (pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang) dan,



Allometrik negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot). Adapun statistik uji yang digunakan adalah : t

(5) S

S

adalah simpangan baku dugaan b1 atau b yang dihitung dengan : S

s ∑

(6)



sedangkan s2 adalah kuadrat tengah sisa sebagai penduga 2, yang dapat dihitung dengan: s





b ∑N

∑N

∑N

(7)

n

Selanjutnya, nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil yaitu : jika thitung > t

tabel

maka tolak hipotesis nol (H0) dan

jika thitung < t tabel maka gagal tolak hipotesis nol (H0) (Dowdy et al. 2004).

21 3.4.2.Sebaran frekuensi panjang Penentuan sebaran frekuensi panjang menggunakan data panjang total dari ikan biji nangka yang ditangkap di Perairan Utara Jawa dan di daratkan di PPN Brondong. Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Berdasarkan grafik tersebut dapat terlihat pergeseran sebaran kelas panjang setiap pengambilan contoh, yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.

3.4.3.Identifikasi kelompok ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis data frekuensi panjang. Data frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) dalam paket program FiSAT II. Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan kedalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Menurut Boer (1996) jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ..., N), μj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, j adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, ..., G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µj, j,

j}

adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function): N

L=

sedangkan

(8)

G

log

=

√2π

yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal

dengan nilai tengah μj dan simpangan baku j. xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masingmasing terhadap μj, j, dan pj sehingga diperoleh dugaan ̂ j, digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

j,

dan ̂ j yang akan

22 3.4.4. Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 Nilai L∞ dan K diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode Ford Walford menggunakan program ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Análisis) yang terintegrasi dalam software FiSAT II. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre & Venema 1999): L

L

1

e

K

(9)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu),

L∞ adalah panjang

maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sana dengan nol. Untuk t0 sama dengan nol, maka persamaannya dapat ditulis menjadi : L

L

L

L

1

e

K

(10)

atau L

e

K

(11)

jika persamaan (10) disubstisusikan ke persamaan (9) diperoleh L

L

L e

K

1

e

K

(12)

jika persamaan (11) disubstisusikan ke persamaan (12) diperoleh L

L

L

L

1

e

K

(13)

sehingga L

L

L

1

e

K

Le

K

(14)

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1= tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (7) dapat diduga dengan persamaan regresi linier dan jika Lt sebagai absis diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat maka garis lurus yang dibentuk

23 akan memiliki kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L

1

K

e

. Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh dengan

cara sebagai berikut : K

ln b

(15)

dan L

(16)

Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) sebagai berikut. Log

t

0.3922

0.2752 Log L∞

1.0380 Log K

(17)

3.4.5.Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkahlangkah sebagai berikut. a) Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy. t L

ln 1

t

L

(18)

L

b) Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 ∆t

t L

t L

c) Menghitung ( t

t

L

L

t

ln ∆

K

L

L

L

L

(19)

)

ln 1

L

L L

(20)

24 d) Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan yang dikonversikan ke panjang ln

C L ,L

c

∆ L ,L

z

t

L

L

(21)

Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1984) sebagai berikut. Ln M

0.0152

0.2790

Ln L

0.6543

Ln K

0.4630

Ln T

(22)

Pauly (1984) menyarankan untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan biji nangka nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah. M

0.8 e

,

,

L L

,

L K

,

L T

(23)

M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F

Z

M

(24)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : E

F

F

F M

Z

(25)

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah : Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5

(26)

25 3.4.6.Model produksi surplus Pendugaan potensi sumberdaya ikan biji nangka dilakukan dengan cara analisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre & Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in Boer & Azis (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut : C

Hubungan antara hasil tangkapan per satuan upaya (

dengan upaya penangkapan

(f) pada waktu ke-t adalah : C

a

C

af

bf

(21)

atau bf

(22)

Hubungan linear ini yang digunakan secara luas untuk menghitung dugaan MSY melalui penentuan turunan pertama C terhadap f dalam rangka menemukan solusi optimanl, baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama C terhadap f adalah : C

a

2bf

0

sehingga diperoleh dugaan f f

(23) (upaya tangkap optimum) : (24)

26 dan tangkapan maksimum lestari atau Maximum sustainable yield (MSY) diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan (22), sehingga : MSY

(25)

Dari berbagai penelitian terlihat bahwa tidak semua populasi ikan memilki laju pertumbuhan intrisik yang mengikuti model liniear seperti model Schaefer. Karena itu, Garrod (1969) & Fox (1970) in Boer & Azis (1995) mengajukan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhan instrisiknya mengikuti model logaritmik. Selanjutnya, model ini dikenal sebagai Model Fox yang menghasilkan C

hubungan tangkapan per satuan upaya (

dengan upaya penangkapan (f) yang

berbeda, yaitu : ln

C

a

bf

(26)

sehingga C

e

(27)

atau C

fe

(28)

fmsy dapat dihitung pada saat

C

e

f e

sehingga diperoleh dugaan f f

C

= 0 sehingga :

b

0

(29)

(upaya tangkap optimum) : (30)

27 untuk mendapatkan MSY, maka persamaan (30) disubstitusikan ke persamaan (28), yaitu : C

e

(31)

sehingga MSY

e

(32)

Kedua model tersebut kemudian dibandingkan nilai koefisien determinasinya (R2) dari hasil regresi masing-masing. Model yang mempunyai nilai R2 lebih besar menunjukkan model tersebut mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Koefisien determinasi merupakan bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah x melalui hubungan linier tersebut (Dowdy et al. 2004). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus (FAO 1995). Hal ini berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pendugaan stok sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terus lestari. PL

90%

MSY

(33)

sehingga untuk menentukan TAC

80%

PL

(34)

PL adalah potensi lestari, MSY adalah jumlah tangkapan maksimum lestari (ton), dan TAC adalah Jumlah tangkapan yang di perbolehkan.

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang garis Pantai Utara Jawa sekitar 1 100 km, perairan ini dikenal memilki sumberdaya ikan pelagis yang melimpah, terutama kelompok ikan pelagis kecil (Wijopriono & Genisa 2003). Namun hasil tangkapan utama yang didaratkan di PPN Brondong didominasi oleh ikan demersal. Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalimbu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Bawean (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Menurut Durand & Petit (1994) beberapa daerah tersebut merupakan area kepulauan dan terumbu karang yang menjadi habitat ikan bii nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829). Oleh karena itu, ikan biji nangka banyak ditangkap di daerah-daerah tersebut. Durand & Petit (1994) juga menyatakan bahwa kedalaman

rata-rata

perairan Laut Jawa kurang lebih 40 m, kedalaman maksimal terdapat di sebelah utara Pulau Madura. Secara ekologis, perairan Pantai Utara Jawa kaya akan zooplankton. Jumlah zooplankton yang teridentifikasi pada tahun 2001 mencapai 35 taksa yang sebagian besar didominasi oleh Copepoda terutama genus Calanoida dengan kisaran antara 1 000 – 3 000 ind m-3 dari 2 100 – 9 000 ind m-3 total zooplankton yang ada. Suhu perairan relatif cukup tinggi karena termasuk dalam ekuator yaitu berkisar antara 27.1-29.7°C dengan dua nilai maksimum dan dua nilai minimum dalam setahun. Nilai maksimum pertama berkisar antara 29.1-29.7°C pada bulan April sampai Mei sedangkan nilai maksimum kedua antara 28.8-29.2°C. pada bulan Oktober sampai November. Nilai minimum pertama berkisar antara 27.4-28.3°C pada bulan Desember sampai Januari sedangkan nilai minimum kedua berkisar antara 27.528.5°C pada bulan Agustus (Ilahalude 1979 in BRKP-DKP 2001). Salinitas perairan Laut Jawa juga memiliki dua nilai maksimum dan dua nilai minimum dalam setahun. Nilai maksimum pertama berkisar antara 32.5-33.0 ‰

29 pada bulan November, sedangkan nilai maksimum kedua berkisar antara 31.732.0‰ pada bulan Mei. Nilai maksimum juga dipengaruhi oleh adanya musim kemarau. Nilai minimum pertama berkisar antara 30.6-31.0 ‰ sedangkan nilai minimun kedua sebesar 31.0-31.4 ‰ pada Bulan Juli (Suriaatmadja 1956 & Ilahude 1975 in BRKP-DKP 2001). Tertdapat dua pola musim di Perairan Utara Jawa tepatnya di wilayah Kecamatan Brondong yang berpengaruh terhadap aktifitas penangkapan ikan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur berlangsung Juni hingga September, musim timur adalah ketika angin bertiup dari selatan ke tenggara dan terjadi pada musim kemarau. Kondisi perairan pada musim timur relatif tenang, angin serta gelombang tidak begitu besar sehingga aktifitas penangkapan ikan cukup tinggi pada musim ini. Pada musim barat, angin bertiup dari utara ke arah barat terjadi pada bulan November hingga Mei. Angin dan gelombang cukup tinggi pada musim ini, sehingga aktifitas penangkapan ikan menurun. Bulan Oktober merupakan musim peralihan

(Widayanti 2006).

Menurut Hanan (2006)

musim penangkapan di

Perairan Pantai Utara Jawa bagian timur yaitu di PPN Brondong terdapat dua musim penangkapan yaitu musim sedang pada bulan November sampai Juni dan musim puncak pada bulan Juli hingga Oktober.

4.1.2. Kondisi perikanan biji nangka di PPN Brondong Terdapat dua jenis nelayan di PPN Brondong, yaitu musiman dan penuh. Sebagian besar nelayan dogol termasuk jenis nelayan penuh, dengan lama melaut 5 sampai 15 hari. Nelayan jenis ini melakukan aktifitas penangkapan sepanjang tahun, dengan musim puncak penangkapan pada bulan Maret dan Oktober untuk ikan biji nangka (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Di PPN Brondong alat tangkap yang paling dominan dipakai nelayan untuk menangkap ikan yaitu alat tangkap dogol. Ikan biji nangka sendiri ditangkap dengan alat tangkap dogol baik besar maupun kecil dengan kapal motor berukuran 10-20 GT untuk dogol besar dan < 10 GT untuk dogol kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan ukuran mata jaring dogol yang digunakan adalah 1.25 inchi, 2 inchi, 2.5 inchi, 3 inchi sampai 4 inchi. Alat tangkap ini dioperasikan pada kedalaman perairan 40-50 m (Ditjen-Tangkap DKP 2008).

30 Alat tangkap dogol merupakan alat tangkap ikan demersal, ikan-ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan-ikan demersal. Diantaranya ikan biji nangka, swanggi, kakap merah, beloso, manyung, serta terdapat jenis ikan pelagis seperti ikan layang dan layur. Komposisi hasil tangkapan dengan alat tangkap dogol di PPN Brondong disajikan pada Gambar 6.

Sumber : Ditjen-Tangkap DKP (2009)

Gambar 6. Diagram komposisi hasil tangkapan dogol di PPN Brondong tahun 2008 Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalimbu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Madura. Namun, menurut nelayan Brondong, mereka hanya mampu menempuh daerah penangkapan Masalembu, Bawean, dan Madura karena keterbatasan daya tempuh kapal. Sedangkan daerah Matasiri dan Kramean jarang dijangkau oleh nelayan-nelayan yang kekuatan kapalnya >10 GT. Pemasaran ikan biji nangka tidak hanya dijual di pasar lokal saja. Bentuk produk yang dipasarkan selain dalam kondisi segar, serta sudah berupa produk olahan yaitu asap dan asin. Hal ini bertujuan agar ikan tetap awet dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Harga jual ikan biji nangka segar bervariasi menurut ukurannya, ikan yang berukuran kecil dijual dengan harga sangat murah bahkan seringkali dibuang lagi ke laut karena tidak memberikan keuntungan. Berdasarkan

31 Ditjen-Tangkap DKP (2008) rata-rata harga jual ikan biji nangka per kg adalah Rp 8 600,00.

4.1.3.Hubungan panjang bobot Hubungan panjang bobot ikan sangat penting artinya dalam ilmu dinamika populasi, antara lain : memberikan pernyataan secara matematis hubungan antara panjang dan bobot ikan, mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu sebagai suatu petunjuk kegemukan, dan untuk mengetahui faktor koefisien kondisi ikan yang menunjukkan kegemukan relatif (Sumiono & Nuraini 2007). Berikut ini adalah hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di PPN Brondong yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di Perairan Utara Jawa. Pengambilan contoh ke1 2 3 4 5 6 7

Waktu

b



Pola pertumbuhan

07 Februari 2010 15 Februari 2010 23 Februari 2010 03 Maret 2010 11 Maret 2010 19 Maret 2010 27 Maret 2010

2.52 2.68 2.73 2.51 2.64 2.39 2.40

0.89 0.96 0.93 0.90 0.96 0.93 0.89

allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif allometrik negatif

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh pola pertumbuhan ikan biji nangka pada pengambilan contoh I hingga VII adalah allometrik negatif yang menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan bobot.

4.1.4. Sebaran frekuensi panjang Ikan biji nangka yang diamati selama penelitian berjumlah 1 050 ekor. Hasil sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 7.

32

Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka

33 4.1.5. Parameter pertumbuhan Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka menggunakan metode NORMSEP disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Kelompok ukuran panjang ikan biji nangka ( : Pertumbuhan populasi )

34 Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa pada setiap waktu pengambilan contoh menghasilkan kelompok ukuran panjang ikan contoh yang berbeda-beda. Pengambilan contoh I diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Pengambilan contoh II, III, dan IV diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Pengambilan contoh V dan VI diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Dan pada pengambilan contoh VII diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka yaitu panjang ratarata, jumlah populasi dan indeks separasi

masing-masing kelompok ukuran

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran kelompok ukuran ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Tanggal 07 Februari 2010

15 Februari 2010

23 Februari 2010

03 Maret 2010 11 Maret 2010 19 Maret 2010

27 Maret 2010

Kelompok Ukuran 1 2 3 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 4

Nilai Tengah 124.50 ± 10.81 147.45 ± 5.28 167.22 ± 7.48 145.50 ± 3.91 173.49 ± 6.54 201.36 ± 6.01 230.85 ± 6.80 142.91 ± 9.64 178.66 ± 8.17 213.98 ± 6.76 259.50 ± 8.33 169.99 ± 9.77 201.48 ± 7.16 233.67 ± 6.03 164.62 ± 9.93 211.96 ± 7.05 233.69 ± 2.93 163.81 ± 15.15 234.67 ± 6.87 264.35 ± 5.50 148.70 ± 11.76 175.53 ± 5.12 206.31 ± 5.12 260.82 ± 7.63

Indeks Sparasi 2.85 3.10 5.36 4.44 4.60 4.01 4.73 6.03 3.72 4.88 5.58 4.35 6.44 4.35 3.18 4.35 6.54

35 Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinitif (L∞,) serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t0) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanfy (L∞, K) dan t0 ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Februari-Maret 2010) Parameter K (per tahun) L ∞ (mm) to (tahun)

Nilai 0.28 313.43 -0.55

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertallanfy ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur sebagai berikut. Lt

313.43 1

0.28 t 0.55

e

Kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur (Gambar 9) diperoleh dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan (mm) sampai ikan berumur 30 bulan.

350

L∞

Panjang total (mm)

300

Lt

250

313.43 1

e

0.28 t 0.55

200 150 100 50 0 0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

Umur (bulan)

Gambar 9. Kurva pertumbuhan ikan biji nangka

26

28

30

36 4.1.6. Mortalitas dan laju eksploitasi Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Pendugaan mortalitas total (Z) ikan biji nangka dilakukan dengan kurva hasil penangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang (length converted catch curve), seperti yang disajikan pada Gambar 10.

7

y = -2.17 x + 11.19 R² = 0.72

Ln [C(L1,L2)/delta t]

6 5 4 3 2 1 0 0

2

4

6

8

10

12

t (L1/L2)/2

Gambar 10. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z) Berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang diperoleh dugaan laju mortalitas total (Z) = -b. Dugaan mortalitas alami (M) ikan biji nangka dihitung menggunakan persamaan Pauly (1984) dengan nilai T yaitu rata-rata suhu perairan Pantai Utara Jawa Timur sebesar 28.4 0C (BRKP-DKP 2001). Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka disajikan pada Tabel 5.

37 Tabel 5. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka di Peariran Utara Jawa Laju

Nilai (per tahun)

Mortalitas Total (Z)

2.18

Mortalitas Alami (M)

0.32

Mortalitas Penangkapan (F)

1.86

Eksploitasi (E)

0.85

4.1.7. Model stok ikan biji nangka Di PPN Brondong, ikan biji nangka merupakan ikan yang dominan ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Menurut hasil wawancara dengan nelayan-nelayan di PPN Brondong, ikan biji nangka juga ditangkap dengan alat tangkap selain dogol yaitu payang. Alat tangkap payang merupakan alat tangkap ikan-ikan pelagis, oleh karena itu hasil tangkapannya lebih didominasi ikan-ikan pelagis seperti ikan layang, layur, tongkol, sedangkan ikan biji nangka sangat sedikit tertangkap, bahkan sering kali tidak tertangkap sama sekali. Pada penelitian ini, dikhususkan untuk sumberdaya ikan biji nangka yang ditangkap dengan alat tangkap dogol. Karena selain ikan ini lebih dominan ditangkap dengan alat tangkap tersebut, di PPN Brondong sendiri hanya menyediakan data hasil tangkapan ikan biji nangka dengan alat tangkap dogol, dengan asumsi ikan biji nangka sangat sedikit tertangkap dengan alat tangkap payang. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan standarisasi upaya penangkapan. Data hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort), dan CPUE (Catch per Unit Effort) di Perairan Utara Jawa dan didaratkan di PPN Brondong yang menggunakan alat tangkap dogol dengan perahu motor berukuran 10 GT dan 10-20 GT berdasarkan Statistik Perikanan PPN Brondong dari tahun 2003-2009 disajikan pada Tabel 6.

38 Tabel 6. Hasil tangkapan (C), upaya penangkapan (f), dan CPUE Tahun

C (ton)

f (unit)

CPUE (ton/unit)

2003

6 576

453

14.52

2004

9 063

453

20.00

2005 2006 2007 2008 2009

8 182 7 446 11 318 12 555 15 917

836 961 965 1 393 1 386

9.79 7.75 11.73 9.01 11.48

Sumber : Ditjen Tangkap-DKP PPN Brondong (2003-2009)

Hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12, sedangkan hubungan upaya penangkapan denagn hasil tangkapan disajikan pada Gambar 13. CPUE = -0.0071 Effort + 18.85 R² = 0.50

25 CPUE (ton/unit)

20 15 10 5 0 0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Effort (unit)

Ln CPUE (ton/unit)

Gambar 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer 3.5

ln CPUE = -0.0001 effort + 2.95 R² = 0.44

3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Effort (unit)

Gambar 12. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Fox

39

18000

Hasil tangkapan (ton)

16000 14000

MSY

12000 10000 8000 6000 4000 2000

fmsy

0 0

400

800

1200 Effort (unit)

1600

2000

2400 Schaefer

Gambar 13. Hubungan upaya penangkapan dengan hasil tangkapan

4.2. Pembahasan 4.2.1. Hubungan panjang bobot Berdasarkan grafik hubungan panjang bobot ikan biji nangka (Gambar 14) diperoleh persamaan W = 0.0001 L

2.47

dengan koefisien determinasi (R2) sebesar

93 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 93 % (Dowdy et al. 2004). Dan hasil uji t (uji parsial) terhadap nilai b yang dilakukan, pola pertumbuhan ikan biji nangka yang di tangkap di Pantai Utara Jawa Timur adalah allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot menurut Ricker (1970) in Effendie (2002). Pertumbuhan allometrik merupakan perubahan yang bersifat sementara misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad (Effendie 2002). Sedangkan pola pertumbuhan allometrik negatif menunjukkan bentuk tubuh ikan yang cenderung kurus, hal ini diduga pada bulan Februari hingga Maret ikan biji nangka berada pada akhir siklus pemijahannya. Karena menurut Sumiono & Nuraini (2007) musim pemijahan ikan biji nangka terjadi pada bulan Januari hingga Februari. Hal tersebut juga dapat dilihat pada Tabel 2, nilai b yang diperoleh cenderung semakin menurun pada pengambilan contoh I hingga VII. Selain itu, faktor lain yang diduga mempengaruhi pola pertumbuhan ikan biji nangka di

40 Perairan Utara Jawa adalah perubahan kondisi lingkungan perairan terutama ketersediaan makanan ikan biji nangka yang semakin menurun dan perubahan suhu yang mempengaruhi tingkat konsumsi suatu biota air (Effendie 2002). Akan tetapi, untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan suatu penelitian lanjutan tentang kualitas Perairan Utara Jawa dan aspek biologi kebiasaan makan ikan biji nangka.

350

W = 0.0001 L 2.47 R² = 0.93 n = 1050 ekor

300

Bobot (g)

250 200 150 100 50 0 0

50

100

150

200

250

300

350

Panjang total (mm)

Gambar 14. Grafik hubungan panjang bobot total contoh ikan biji nangka Suatu penelitian mengenai pertumbuhan ikan biji nangka pernah dilakukan oleh Sumiono & Nuraini (2007) di lokasi yang sama menghasilkan persamaan W = 0.14 L

2.22

dengan pola pertumbuhan allometrik negatif setelah dilakukan uji t

terhadap nilai b. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan pada pola pertumbuhan ikan ini pada tahun 2007 hingga 2010. Penelitian lain pernah dilakukan oleh Sjafei & Susilawati

(2001) di perairan Teluk Labuan, Banten

dengan spesies Upeneus moluccensis Blkr. menyebutkan bahwa hasil dari regresi panjang dan bobot untuk ikan ini adalah W = -4.78 L 2.93 dengan pola pertumbuhan isometrik. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut diduga karena faktor internal berupa perbedaan spesies atau genetik dan faktor eksternal berupa kondisi perairan baik suhu, ketersediaan makanan, waktu penangkapan, kapal penangkapan, dan ketersediaan makanan di perairan tersebut (Osman 2004 in Lelono 2007). Menurut Moutopoulos & Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menyatakan bahwa

41 perbedaan pola pertumbuhan juga dapat disebabkan adanya perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati.

4.2.2. Sebaran frekuensi panjang Menurut Boer (1996), penggunaan histogram frekuensi panjang sering dianggap teknik yang paling sederhana diterapkan untuk mengetahui tingkatan stok ikan, tetapi yang perlu dicatat bahwa struktur data panjang sangat bervariasi tergantung letaknya baik secara geografis, habitat, maupun tingkah laku.

Pada

Gambar 7 terdapat pergeseran modus kelas panjang dari pengambilan contoh I hingga pengambilan contoh VII. Pergeseran yang terjadi cenderung ke arah kanan dan membentuk kelompok ukuran baru pada setiap pengambilan contoh yang dilakukan. Pergeseran tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan

pada setiap

pengambilan contoh. Pada pengambilan contoh V hingga VII terlihat munculnya kelompok-kelompok ukuran baru di bagian kiri, hal ini diduga adanya individuindividu baru yang masuk (rekruitment) sehingga membentuk kelompok ukuran panjang yang baru. Karena menurut Sumiono & Nuraini (2007) bulan JanuariFebruari merupakan musim pemijahan ikan biji nangka sehingga diduga pada bulan Maret sudah terbentuk individu-individu baru yang berupa ikan-ikan biji nangka berukuran kecil. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sekitar 55 % dari jumlah total contoh ikan yang diambil berukuran 80 mm hingga 120 mm banyak tertangkap dan didaratkan di PPN Brondong, sedangkan ikan baru pertama kali matang gonad berukuran 115-120 mm (Herianti & Subani 1993). Hal ini diduga karena masih ada nelayan yang menggunakan jaring dogol dengan mesh size 1.25 inchi hingga 1.50 inchi, sehingga diduga banyak ikan yang belum sempat memijah ikut tertangkap. Pada pengambilan contoh I hingga VII, panjang ikan yang dominan tertangkap berkisar 170-175 mm dan 200-205 mm, sedangkan panjang ikan yang paling sedikit tertangkap berkisar 80-85 mm. Panjang maksimum ikan yang diamati berdasarkan pengambilan contoh di PPN Brondong adalah 300 mm, hal ini sesuai dengan Munro (1967) in Fahmi (2002) yang menyebutkan bahwa ikan biji nangka dapat mencapai panjang maksimum 300 mm.

42 4.2.3.Parameter pertumbuhan Dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan metode Bhattacharya sangat penting untuk memperhatikan nilai indeks separasi yang diperoleh. Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, bila indeks separasi kurang dari dua maka tidak mungkin dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut ( Hasseblad 1996, McNew & Summerfelt 1978 serta Clark 1981 in Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran (Tabel 3) terlihat nilai indeks separasi yang lebih dari dua (I > 2), hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya. Panjang total maksimum ikan biji nangka yang yang ditangkap di Perairan Utara Jawa dan didaratkan di PPN Brondong adalah 300 mm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan biji nangka yaitu 313.43 mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan biji nangka tersebut adalah 0.28 per tahun. Hasil analisis serupa dari beberapa penelitian tentang ikan biji nangka disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Parameter pertumbuhan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Sumber

Lokasi

Ingles & Pauly (1984)

Perairan Utara Jawa

Koefisien pertumbuhan (K) per tahun 1.74

Syamsiyah (2010)

Perairan Utara Jawa

0.28

L∞ (mm) 158.00 313.43

Penelitian lain menyebutkan bahwa nilai K ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada tahun 2010 menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada tahun 1984. Dapat diinterpretasikan bahwa pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada tahun 2010 lebih rendah dari pada tahun 1984. Semakin cepat laju pertumbuhannya maka akan semakin cepat pula ikan tersebut mencapai panjang teoritis (L∞). Meskipun dua penelitian di atas menggunakan spesies ikan biji nangka yang sama, akan tetapi menghasilkan K dan L∞ yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi

43 oleh adanya perbedaan panjang maksimum ikan yang diperoleh ketika melakukan pengambilan contoh. Selain itu, perbedaan waktu pengamatan serta perubahan kondisi perairan menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan biji nangka di perairan tersebut. Berdasarkan kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Gambar 9) ketika ikan berumur 30 bulan, secara teoritis panjang total ikan adalah 313.43 mm. Pada kurva terlihat bahwa laju pertumbuhan ikan biji nangka tidak sama selama rentang hidupnya. Ikan berumur muda memilki laju pertumbuhan yang lebih cepat dari pada ikan yang berumur tua. Cepatnya pertumbuhan dan pendeknya umur ikan biji nangka menunjukkan laju kematian yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola sumberdaya perikanan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan agar memperhatikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (Suman et al. 2006).

4.2.4. Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) ikan biji nangka adalah 2.18 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) adalah 0.32 per tahun. Mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, kelaparan, dan usia. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Ketika suhu rata-rata perairan meningkat nilai M juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya. Namun semakin panjang L∞ maka nilai M akan menurun, karena semakin lama ikan tersebut mencapai panjang maksimum diduga penyebab kematiannya yang paling dominan adalah penangkapan bukan mati secara alami. Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Laju mortalitas penangkapan (F) yang didapatkan sebesar 1.86 per tahun, dimana nilai F jika dibandingkan nilai M, maka nilainya jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kematian ikan biji nangka lebih besar disebabkan karena kegiatan penangkapan. Menurut Sparre & Venema (1999), mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stress, pemijahan, kelaparan, dan usia tua.

44 Selanjutnya laju eksploitasi (E) ikan biji nangka yang diperoleh dari perbandingan mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas total (Z) sebesar 0.85 artinya 85 % kematian ikan biji nangka di perairan Perairan Utara Jawa akibat penangkapan. Nilai laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah melebihi nilai optimum. Laju eksploitasi optimum suatu sumberdaya adalah 0.5 (Gulland 1971 in Pauly 1984).

Tabel 8. Laju mortalitas dan laju penangkapan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Sumber Dwiponggo et al. (1979) Syamsiyah (2010)

Lokasi Perairan Utara Jawa Tengah Perairan Utara Jawa Timur

M (tahun-1)

F (tahun-1)

E (tahun-1)

1.80

0.91

0.34

0.32

1.85

0.85

Penelitian yang dilakukan oleh Dwiponggo et al. (1979) menunjukkan mortalitas ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Tengah sebagian besar diakibatkan faktor alami seperti umur, penyakit, dan predator. Penelitian tersebut juga menunjukkan pada tahun 1979 aktivitas penangkapan ikan biji nangka tidak terlalu tinggi, hal tersebut ditunjukkan pula nilai laju eksploitasinya sebesar 0.34 per tahun, jauh di bawah nilai laju eksploitasi optimum yaitu E= 0.5 (Gulland 1971 in Pauly 1984). Berdasarkan kedua hasil penelitian di atas, diduga jumlah upaya penangkapan (effort) di Perairan Utara Jawa Timur pada tahun 2010 lebih banyak dibandingkan jumlah upaya penangkapan di Perairan Utara Jawa Tengah pada tahun 1979. Selain itu, seiring dengan berkembangnya teknologi penangkapan ikan maka teknologi alat tangkap yang digunakan oleh nelayanpun semakin berkembang dan jumlah unit atau trip upaya penangkapannya juga semakin bertambah.

4.4.5. Model stok ikan biji nangka Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan biji nangka dan upaya penangkapan berupa alat tangkap dogol dari tahun 2003-2009 cenderung mengalami peningkatan, jika dilihat dari hasil tangkapan per upayanya cenderung mengalami

45 penuruanan seperti yang disajikan pada Gambar 15. Peningkatan jumlah upaya penangkapan ini dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa khususnya wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendugaan lebih lanjut mengenai jumlah upaya penangkapan optimum sehingga dihasilkan penangkapan maksimum lestari atau disebut dengan istilah MSY. Berdasarkan grafik regresi linier antara effort per tahun dengan CPUE menggunakan model Schaefer dan Fox (Gambar 11 dan Gambar 12) didapatkan koefisien determinasi (R2) sebesar 50 % dan 44 %. Koefisien determinasi model Fox lebih kecil dari pada koefisien determinasi model Schaefer. Hal ini menunjukkan model Schaefer lebih cocok digunakan untuk menggambarkan dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada periode 2003-2009.

25

CPUE (ton/unit)

20 15 10 5 0 2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Tahun

Gambar 15. Tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong Potensi lestari merupakan suatu parameter pengelolaan yang dihasilkan dalam pengkajian stok sumber daya perikanan dan merupakan suatu unsur penunjang bagi peluang pengembangan di suatu wilayah (Badrudin 1992 in Suman 2006). Hasil analisis model stok ikan biji nangka yang mengikuti model Schaefer memperoleh nilai upaya penangkapan optimum (fmsy) sebesar 1 274 unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 12 012.40 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 8 648.93 ton per tahun.

46 Berdasarkan Gambar 13 secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur di bawah potensi lestarinya (MSY) kecuali pada tahun 2008-2009, sedangkan

pada tahun 2007

hingga tahun 2009 jumlah tangkapan di PPN Brondong melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 8 648.93 ton per tahun. Jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun jumlah tersebut belum melebihi jumlah upaya optimum kecuali pada tahun 2008 dan 2009. Menurut Widodo & Suadi (2006) beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil yang kemudian diikuti penurunan produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya). Berdasarkan tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong (Gambar 15) menunjukkan adanya trend (kecenderungan) yang menurun. Menurut Sukamto (2010), analisis hasil tangkapan yang telah dilaksanakan di PPN Brondong terhadap sumberdaya ikan mata besar (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) diperoleh model stok dengan pendekatan Fox. Dari model tersebut, upaya penangkapan optimum yang diperoleh sebesar 1 055 unit lebih kecil dari upaya penangkapan optimum dengan pendekatan Schaefer. Oleh karena itu, untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan alat tangkap yang sama digunakan pendekatan Fox. Pertimbangannya, jika dalam pelaksanaannya digunakan upaya penangkapan optimum dengan model Schaefer maka kelestarian sumberdaya ikan mata besar akan terancam.

4.4.6.Alternatif pengelolaan perikanan biji nangka JICA (2009c) menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY : Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan pecegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat

47 berlangsung secara berkesinambungan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terdapat dua garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur, yaitu pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dan pengontrolan jumlah penangkapan. a.

Pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengontrol ukuran ikan biji nangka yang tertangkap. Pertama, memodifikasi alat tangkap yang digunakan agar lebih selektif sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil dan ukuran pertama kali matang gonad tidak ikut tertangkap, penentuan mesh size mata jaring pada bagian kantong yang disarankan

minimal 2.0 inchi.

Penentuan ini berdasarkan kondisi di lapangan pada saat pengamatan, ikan biji nangka berukuran 110 mm hingga 120 mm banyak tertangkap dan didaratkan di PPN Brondong, secara ekonomi ikan yang berukuran tersebut tidak bernilai ekonomis bahkan sering kali para bakul dan nelayan membuangnya kembali ke laut. Selain secara ekonomis tidak memberikan keuntungan, secara ekologis ikan biji nangka berukuran 115-120 mm merupakan ukuran pertama kali memijah sehingga ikan yang berukuran tersebut

tidak sepatutnya ikut

tertangkap menurut (Herianti & Subani 1993). Sekitar 55 % dari jumlah total contoh ikan yang diambil merupakan ukuran pertama kali matang gonad. Hal ini diduga karena masih terdapat nelayan yang menggunakan jaring dogol dengan mesh size 1.25 inchi hingga 1.50 inchi pada bagian kantong, sehingga banyak ikan berukuran kecil dan belum sempat memijah ikut tertangkap. Kedua,

pemberlakuan

waktu

penangkapan

dengan

tidak

melakukan

penangkapan pada bulan Januari hingga Februari karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim pemijahan ikan biji nangka (Sumiono & Nuraini 2007). Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, sehubungan dengan umur dan laju pertumbuhan serta kematian yang perlu diperhatikan adalah kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan biji nangka, baik ditinjau dari sumberdayanya maupun dari segi ekonominya. Jika terlambat melakukan penangkapan sumberdaya ikan biji nangka akan mati percuma, sedangkan jika terlalu cepat menangkap secara ekonomi dan kelestarian sumberdaya juga kurang menguntungkan (Suman et al. 2006).

48 b.

Pengontrolan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka Laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah mengindikasikan adanya over eksploitasi. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil tangkapan per unit effort yang menunjukkan trend menurun sejak tahun 20032009. Jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka cenderung meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 dan 2009 jumlah upaya penangkapan sudah melebihi jumlah optimumnya. Peningkatan upaya penangkapan diikuti dengan jumlah tangkapan yang melebihi nilai MSY pada tahun 2009. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka yang berlebihan dan bersifat destruktif perlu dilakukan suatu pengelolaan sehingga menjamin produktivitas serta pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan biji nangka tetap lestari dan berkelanjutan. Untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan satu jenis alat tangkap, pendekatan Fox akan lebih sesuai diterapkan dengan memberlakukan jumlah upaya penangkapan tidak lebih dari 1 055 unit. Dengan demikian, selain ikan biji nangka sumberdaya ikan lainnya akan tetap terjaga kelestariannya. Dari dua garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji

nangka di atas, maka yang dapat diaplikasikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka secara berkelanjutan di Perairan Utara Jawa adalah pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap. Pengontrolan atau pembatasan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka sulit untuk dilaksanakan, karena akan timbul beberapa dampak terutama dari segi sosial ekonomi bagi kehidupan nelayan Brondong.

di PPN

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan : 1.

Ikan biji nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa memilki pola pertumbuhan allometrik negatif yang menunjukkan bentuk tubuh yang cenderung kurus karena pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan biji nangka adalah Lt = 313.43 [1 – e

2.

(-0.28(t+0.55))

].

Laju mortalitas ikan biji nangka sebagian besar disebabkan aktifitas penangkapan dengan laju eskploitasinya sebesar 0.85 per tahun yang menunjukkan adanya overeksploitasi.

3.

Model stok ikan biji nangka mengikuti model Schaefer yaitu upaya penangkapan tidak lebih dari 1 274 unit alat tangkap dogol per tahun dengan harapan jumlah maksimum tangkapan lestari sebesar 12 012.40 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 8 648.93 ton per tahun.

4.

Alternatif pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa melalui pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dengan dua pendekatan, yaitu pengaturan ukuran mata jaring bagian kantong pada alat tangkap dogol dan tidak melakukan kegiatan penangkapan pada musim pemijahan.

5.2. Saran Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitan dan kajian mengenai dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa dengan pendekatan bioekonomi, diperlukan juga kajian yang sama pada musim berbeda yaitu mewakili musim timur.

DAFTAR PUSTAKA

Beverton RJH & Holt SJ. 1957. On the dynamics of exploited fish population. Her Majessty’s Statinery Office. London. 533 p. [BRKP-DKP] Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2001. Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Puasat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPPI. Jakarta. 124 hlm. Boer M. 1996. Pendugaaan koefisien pertumbuhan (L∞, K, t0) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia IV (1): 75-84. Boer M & Azis KAA. 1995. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumberdaya perikanan melalui pendekatan bio ekonomi. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia III (2): 109-119. Busacker GP, Adelman IR, & Goolish EM. 1990. Growth. p.363-382 in Schreck, C. B and P. B. Moyle (editor), Methods for Fish Biology. American Fisheries Society, Maryland. USA. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2008. Laporan kegiatan pemantauan produktivitas alat tangkap tahun 2007. PPN Brondong. Lamongan. 103 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Laporan kegiatan pemantauan produktivitas alat tangkap tahun 2008. PPN Brondong. Lamongan. 103 hlm. Dowdy S, Weardon S, & Chiko D. 2004. Statistics for reasearch third edition. A John Willey & Sons Inc. Hoboken, New Jersey. 627 p. Durand JR & Petit D. 1994. The Java Sea environment . P.14-37. In : Potier M & Nurhakim S. Biology, dynamics, exploitation of the small pelagic fishes in the Java Sea. 256 p. Dwiponggo A, Hariati T, Banon S, Palomares ML, & Pauly D. 1979. Growth, mortality, and recruitment of commercially important fishes and Penaeid shrimps in Indonesian waters. ICLARM, Manila, Philippines. 1-76 p. Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of conduct for responsible fisheries. FAO. Rome, Italy. 41p. Fahmi. 2002. Fauna ikan demersal di Teluk Kwandang, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 26 hlm. Genisa AS. 2003. Komunitas ikan di Perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia X (8) : 197-206.

51 Gulland JA. 1983. Fish stock assessment: a manual of basic methods, volume 1. John Willey & Sons, inc. New York, USA . xii + 223 p. Hanan FA. 2006. Kajian awal peningkatan status Pelabuhan Perikanan Nusantara (tipe B) di Brondong Lamongan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (tipe A) ditinjau dari teknis operasional [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hlm. Herianti I & Subani W. 1993. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad beberapa jenis ikan demersal di Perairan Utara Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (78) : 46-58. Ingles J & Pauly D. 1984. An atlas of the growth, mortality and recruitment of Philippines fishes. ICLARM, Manila, Philippines. 127 p. [terhubung berkala]. http://fishbase.org/references/FBRefSummary.php?id=1263 [7 April 2010]. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2009a. Indonesian fishing ports 2009. JICA, MMAF, DGCF. Jakarta. 209 hlm. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2009b. Indonesian fisheries book 2009. JICA, MMAF. Jakarta. 83 hlm. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2009c. Pengelolaan sumberdaya perikanan. JICA, DKP. Jakarta. 70 hlm. Kharat SS, Khillare YK & Dahanukar N. 2008. Allometric scallingin growth and reproduction of a freshwater loach Nemacheilus mooreh (Sykes 1839). Electric Journal of Ichtiology, Volume1: April, 2008. p.8-17. [terhubung berkala]. http://ichtiology.tau.ac.il/ [7 April 2010]. King M. 1995. Fishery biology, assessment, and management. Fishing News Books. London. 341p. Koeshendrajana S. 2007. Tipologi sumberdaya kelautan dan perikanan : isu dan permasalahan. Dinamika pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, Bunga Rampai Hasil-Hasil Riset. BRKP, DKP. Jakarta. 78 hlm. Lelono TD. 2007. Dinamika populasi dan biologi ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang tertangkap dengan purse seine di Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Trenggalek, p.1-11. In:Isnansetyo A, Soeparno, Murwantoko, Yusuf IBL, Djumanto, Saksono H, Dewi IP, Setyobudi E, Prabasunu N, Budhiyanti SA, Ekantari N, Ptiyono SB (editor). Prosiding: Seminar nasional tahunan IV hasil penelitian perikanan dan kelautan 28 Juli 2007. Departemen Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pauly D. 1984. Fish population dynamic in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM Manila. 325p. Phraba YS & Manjulatha C. 2008. Food and feeding habits of Upeneus vittatus (Forskall 1755) from Visakhapatnam coast (Andhra Pradesh) of India. International Journal of Zoological Research 4 (1) : 59-63.

52 Randall JE & Kulbicki M. 2005. A review of the goatfishes of the genus Upeneus (perciformes: mullidae) from New Caledonia and the Chesterfield Bank, with a new species and four new records. [terhubung berkala]. http://www.sinica.edu.tw/zool/zoolstud/45.3OnlineFirst/MS940729.pdf. [3 Desember 2009]. Satria H & Kartamihardja ES (2002). Sebaran panjang total dan kebiasaan makan yuwana ikan payangka (Ophiocara porocephala). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan VIII (1) : 41-46. Setiawan I. 2005. Studi pemanfaatan sumberdaya ikan dan analisa pendapatan nelayan Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya. Malang. 70 hlm. Sjafei DS & Susilawati R. 2001. Beberapa aspek biologi ikan biji nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Iktiologi Indonesia I (1) : 35-39. Sparre P & Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku- i manual [Terjemahan dari Introduction to tropical fish stock assesment part I). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penalitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Sudirman & Mallawa A. 2004. Teknik penangkapan ikan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 167 hlm. Sukamto O. 2010. Studi dinamika stok ikan mata besar (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Pantai Utara Jawa yang didaratkan di Pelabuahan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi ; dalam proses]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80 hlm. Sukimin S, Andi IS, Vitner Y, Ernawati Y. 2006. Modul praktikum biologi perikanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hlm. Suman A, Monintja DR, Haluan J, & Boer M. 2006. Pola pemanfaatan sumberdaya udang dogol (Metapenaeus ensis de haan) secara berkelanjutan di perairan Cilacap dan sekitarnnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, edisi Sumberdaya dan Penangkapan XII (1) : 41-46. Sumiono B & Nuraini S. 2007. Beberapa parameter biologi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) hasil tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong Jawa. Jurnal Iktiologi Indonesia VII (2) : 83-88. Widayanti NR. 2006. Implementasi pengawasan keamanan pangan hasil perikanan terhadap usaha ikan asin di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Departemen Sosial Ekonomi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hlm.

53 Widodo J & Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Wijopriono & Genisa AS. 2003. Perikanan pelagis di Perairan Pantai Utara Pekalongan, Jawa Tengah. Pesisir dan Pantai Indonesia X (8) : 158-163. Wiyono ES. 2005. Optimalisasi manajemen perikanan skala kecil di Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hlm. www.fishbase.org. Upeneus sulphureus. [terhubung berkala]. http:// www .fishbase. com/ Summary/ species Summary. php? ID=4445& genusname= Upeneus& speciesname = sulphureus&lang =. [3 Desember 2009]. www.aquamaps.org. Upeneus sulphureus. [terhubung berkala]. http://www. aquamaps. org/ receive. php. [13 Desember 2009].

LAMPIRAN

55  

Lampiran 11. Alat-alat dan d bahan yang y digunaakan

Meeteran

Tiimbangan

Kamera digital d

Ikan biji nangka n

56  

Lampiran 2. Teladan kuesioner nelayan ikan biji nangka yang telah diisi

Hari/Tanggal wawancara

: 7 Februari 2010

Nama nelayan

: M. Nursalim

Usia

: 35 tahun

Alamat

: Brondong

*(pemilik kapal / pekerja)

Jumlah tanggungan : Jenis nelayan

: Penuh / musiman

Jenis alat tangkap

: Dogol

Spesifikasi panjang : Lebar

: 15 m

Tinggi

: 50 m

Ukuran mata jaring : 1.5 inchi – 4 inchi Jenis perahu

: Kapal motor

Bobot perahu

: 15 GT

Jumlah ABK

: 15 orang

Daerah penangkapan : Masalimbu Biaya operasional

: ± Rp 12 000 000,- per trip

Jenis ikan yang paling banyak ditangkap

: ikan biji nangka, swanggi, cumicumi, kakap, layur.

Info lain

:-

Nama kapal

: Raja Jasa

Musim penangkapan : Sepanjang tahun

Keterangan : *Coret yang tidak perlu

57  

Lampiran 3. Data panjang dan bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh Minggu 7 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 21 161 22 158 25 220 21 141 26 294 20 125 27 285 21 135 22 145 22 172 18 110 28 266 28 267 17 69 18 111 15 59 16.5 86 13.5 46 14 34 18 90 16.5 85 16 93 17 95

 

Senin 15 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 15 45 15 45 20 100 19 96 16 71 16.5 79 16 56 16 62 18.5 87 14 31 16 49 15 39 15 56 16,5 79 15 56 15.5 45 17.5 89 20 100 15 48 15 52 18.5 87 18.5 87 20 120

Selasa 23 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 14.5 48 125 30 13 40 13,5 35 13 34 13 35 15 48 15 43 16 55 15 49 16.5 64 15 42 14 35 16 55 16.5 64 15 54 14 39 19 102 21 139 25 144 23 113 23 181 20.5 121

Rabu 03 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 27 264 27 216 25.5 165 19 84 24 145 18 90 29 240 26.5 220.5 21 118 18 74 20 75 21 101 22 126 22.5 116 17 67 24.5 163 17 64 18.5 82 19 81 18 73 18 82 19 103 22 126

Kamis 11 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 28 218 24 241 28 243 24 221 24 241 27 207 28 250 27 216 23 126 18.5 81 18.5 81 18.5 81 18.5 81 23 138 21 101 28 214 21 110 30 290 21 108 21 101 25 161 23 144 21 123

Jum’at 19 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 13 36 25 162 15 41 15 45 145 45 22.5 120 25.5 162 22.5 120 12.5 39 22.5 120 22.5 120 22.5 120 13.5 31 26 230 14.5 42 13 36 15.5 49 22.5 120 19.5 87 12.5 39 18 68 18.5 72 22.5 120

Sabtu 27 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 27 224 27 224 25.5 196 15.5 65 25.5 196 25.5 196 22 160 25.5 196 29 288 29 288 17 76 17 75 13.5 54 16 61 25.5 196 15 52 23 150 14.5 52 15 52 24 198 25 220 15 52 25.5 196

58  

Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu 07 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 13 36 13 47 19 115 16 72 16 68 14 59 13 47 15.5 71 17 83 16 66 16 47 14 44 13 42 16.5 76 14.5 54 18.5 80 17.5 72 13 35 12 30 12 29 14 45 11 24 13 38 14 44 13.5 40

 

Senin 15 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 16 62 15 52 15 54 16.5 65 15 50 15.5 45 16 58 17 51 16 55 17 51 16 48 17.5 89 15 47 16 59 20 100 16 41 15 48 15 42 14.5 44 13 31 16 41 15 54 16 48 15 37 15.5 41

Selasa 23 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 19 103 21 128 20 120 20.5 124 20 103 17 87 14 39 18 86 16.5 63 21 126 17 76 21 140 20 113 19.5 90 18.5 80 22 144 19.5 114 16.5 64 18 86 14 39 25 144 18 84 18 87 20 94 22.5 166

Rabu 03 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 18 70 23 130 18.5 67 15.5 49 23 130 15 50 22 106 20 105 18 75 18.5 82 20 106 16 73 16 83 16 75 16 61 17 93 16 54 15.5 52 23.5 135 15 54 15 66 23.5 135 16 61 15.5 51 23 130

Kamis 11 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 27 247 23 134 23 136 21 108 24 181 23 125 18 64 20 74 21 110 17 77 22 120 21 110 22 120 28 226 22 103 23 140 23 136 21 110 23 130 21 96 23 134 23 145 16,5 58 22 120 13 34

Jum’at 19 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 20 98 12.5 39 25 162 24 173 22.5 120 24 180 16 54 24 180 25.5 162 24 156 20 100 15.5 47 16 56 20 98 27.5 231 28 248 25 162 30 278 24 163 23 136 22 120 24.5 171 21 112 25.5 162 23 124

Sabtu 27 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 28 252 25.5 196 23.5 159 28 252 23 145 21.5 133 21 138 23 155 22 117 21 128 24 198 24 143 23 197 21 140 30 158 18.5 95 22.5 157 16.5 64 30 300 29 288 26 196 29 288 26 176 29 288 25 176

59  

Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu 07 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 12.5 43 13.5 47 13 38 17.5 66 15 56 16 64 15 56 16 59 16 66 13.5 37 17.5 62 15.5 50 16 49 16.5 61 15 54 16 57 15 52 14.5 51 16.5 76 17.5 81 11.5 29 14 50 14 47 15 56 17.5 68

 

Senin 15 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 14 30 13 35 14 32 15 32 14.5 24 13 32 15 40 14.5 47 15 40 15 38 20.5 198 21 104 16.5 65 15 46 16 43 15 43 10 20 9 16 12 26 16 53 18 68 17 57 18 61 18 68 20.5 79

Selasa 23 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 16.5 64 17 63 17.5 69 18 79 24 192 26 194 29.5 294 27 229 27 248 23.5 165 24 254 27 255 25 217 25 180 24 160 23 150 22 119 23 132 14 36 18.5 92 21 126 18 95 21.5 109 18 82 19 78

Rabu 03 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 21.5 105 19 90 20 93 20.5 89 21 104 19 75 19 77 21 100 21 74 19 73 19.5 75 19 82 18 75 19 79 22 171 21 143 20 139 22 160 20 116 21 121 25 187 21 130 20.5 116 21 140 20 116

Kamis 11 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 23 151 21 127 22 130 20 99 21 143 20 98 22 120 22 130 19 91 20 105 19.5 105 20 114 17 66 18 64 22.5 140 20 108 20 97 19.5 100 21 104 22 114 22 130 16.5 58 16.5 58 17 77 16.5 58

Jumat 19 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 24 133 21 112 23.5 139 25.5 162 21 106 25 162 23 132 23 132 25 162 24.5 170 25 162 24 151 27 133 26.5 198 27 133 28.5 238 28.5 239 27 231 27 226 26.5 207 27.5 225 28.5 262 24.5 149 27 149 27 198

Sabtu 27 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 26 196 26 196 29 288 17 75 25 176 22 117 24 198 17 75 17 75 20 186 20 186 22 117 24 198 18 84 18 84 20 186 20 186 18 84 22 117 24 198 17 75 22 117 22 117 22 117 25.5 196

60  

Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu 07 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 15.5 45 14 53 10 24 11 26 9 14 11 27 14.5 44 15.5 49 22 133 16 54 16 62 10 15 8.5 12 13 38 10 15 17 40 16.2 62 12 29 12 34 13.5 42 10 24 13 32 15 64 14.5 58 14 53 12 40

 

Senin 15 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 20.5 198 21 139 21 133 21 136 25 215 26.5 234 26 194 23 161 25 222 22 148 25 187 25.5 185 22 133 21 118 25 176 24.5 199 24 151 22 121 28 283 27 210 27.5 216 26 230 26 193 25 175 25.5 162 27 240

Selasa 23 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 16.5 66 17 63 19 79 21 108 19 98 18 68 19 91 12.5 23 20 89 19 86 19.5 94 20 108 20 97 18 67 19 86 19.5 94 25 170 24.5 211 25 170 23 137 22.5 150 21 114 20 97 22 136 24 161 21 122

Sampling 4 03 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 20 108 23 155 21 133 22.5 115 21.5 113 21 106 23 105 20 85 21 101 20 111 21 117 24 161 25.5 195 23 161 25 190 23 148 24 151 23 121 21 101 22.5 110 24 175 25 178 26 212 24 150 26 195 22.5 115

Rabu 11 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 16.5 58 22 130 22.5 140 19 89 15 49 16.5 57 15 48 16 51 17.5 72 16 53 23 136 22 114 17 68 22 114 18 80 12 21 16 63 17 54 18 80 23 136 16.5 60 16.5 58 22 130 16.5 58 16 63 13 33

Kamis 19 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 21 112 26.5 195 25 164 26 194 23.5 122 28.5 220 26 208 27 231 21 113 13 36 21.5 142 24 128 27 133 25 135 23 136 24 134 15 57 24 156 16 72 25 162 26 230 24.5 170 15.5 67 24.5 170 22 113 25 162

Jum’at 27 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 14 49 28 249 23.5 160 23 154 25.5 196 27 224 26 220 27 260 21.5 119 27 240 27.5 220 26 205 27.5 243 27 239 28 233 27 209 26 214 28 230 24 143 26 196 20.5 85 19 81 30 297 30 300 17 80 28 275

61  

Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu 07 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 14.5 43 12 28 14 47 12.5 27 14 45 15 54 17 74 16.5 62 14.5 46 14.5 51 11 32 10 20 18 84 13 42 15.5 67 15 55 12.5 96 13 36 13 47 19 115 16 72 16 68 14 59 13 47 15.5 71 17 83

 

Senin 15 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 16 65 21 103 16 63 29 284 25 192 26 204 18 80 17 72 20.5 104 18 81 17 51 16 58 19 90 20 100 20 100 19.5 77 19 84 16 62 15 52 15 54 16.5 65 15 50 15.5 45 16 58 17 51 16 55

Selasa 23 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 18.5 75 14 34 17 73 10 17 22.5 148 21 120 23 141 18 74 14 39 20 107 19 82 20 82 16 55 15.5 50 17.5 68 16 55 14 39 19 103 21 128 20 120 20.5 124 20 103 17 87 14 39 18 86 16.5 63

Rabu 03 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 22 124 22 115 23 150 24.5 164 22.5 149 15 47 18 83 12 27 19 92 11.5 22 14 33 15 42 17 56 19 76 14 41 17 55 20 104 18 70 23 130 18.5 67 15.5 49 23 130 15 50 22 106 20 105 18 75

Kamis 11 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 23 136 13.5 39 16 58 17.5 72 15 43 17 60 22 130 16.5 42 15 43 17.5 72 16 57 16 55 22 130 23 136 18 63 23 136 22 114 27 247 23 134 23 136 21 108 24 181 23 125 18 64 20 74 21 110

Jum’at 19 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 17 67 24.5 170 17 76 26 230 27 198 26 229 24 144 25 148 26.5 182 26.5 182 13 36 27 313 27 227 25 165 30 290 24 148 19.5 79 20 98 12.5 39 25 162 24 173 22.5 120 24 180 16 54 24 180 25.5 162

Sabtu 27 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 24 171 24 153 26 205 27.5 270 26 205 18.5 51 30 300 18 82 18 67 21 88 19 87 18 67 21 88 19 87 20.5 86 20 91 15.5 61 28 252 25.5 196 23.5 159 28 252 23 145 21.5 133 21 138 23 155 22 117

62   e

Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu 07 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 16 66 16 47 14 44 13 42 16.5 76 14.5 54 18.5 80 17.5 72 13 35 12 30 12 29 14 45 11 24 13 38 14 44 13.5 40 15.5 52 18 76 15.5 54 14 49 13 45 17.5 88 15.5 52 18 76 15.5 54 14 49

 

Senin 15 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 17 51 16 48 17.5 89 15 47 16 59 20 100 16 41 15 48 15 42 14.5 44 13 31 16 41 15 54 16 48 15 37 15.5 41 9 10 13.5 23 12.5 34 11 25 11 21 12 28 9 10 13.5 23 12.5 34 11 25

Selasa 23 Februari 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 21 126 17 76 21 140 20 113 19.5 90 18.5 80 22 144 19.5 114 16.5 64 18 86 14 39 25 144 18 84 18 87 20 94 22.5 166 20 102 19.5 84 30 277 14.5 37 13 35 14.5 42 20 102 19.5 84 30 277 14.5 37

Rabu 03 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 18.5 82 20 106 16 73 16 83 16 75 16 61 17 93 16 54 15.5 52 23.5 135 15 54 15 66 23.5 135 16 61 15.5 51 23 130 17 67 20.5 112 19 76 19 90 19.5 85 18 77 17 67 20.5 112 19 76 19 90

Kamis 11 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 17 77 22 120 21 110 22 120 28 226 22 103 23 140 23 136 21 110 23 130 21 96 23 134 23 145 16.5 58 22 120 13 34 22 120 21 117 21 110 20 101 23 124 18 81 22 120 21 117 21 110 20 101

Jum’at 19 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 24 156 20 100 15.5 47 16 56 20 98 27.5 231 28 248 25 162 30 278 24 163 23 136 22 120 24.5 171 21 112 25.5 162 23 124 23 120 24 144 23 131 23.5 131 23 126 24 142 23 120 24 144 23 131 23.5 131

Sabtu 27 Maret 2010 Panjang Bobot (cm) (g) 21 128 24 198 24 143 23 197 21 140 30 158 18.5 95 22.5 157 16.5 64 30 300 29 288 26 196 29 288 26 176 29 288 25 176 29 288 17 81 25 176 29 288 26 196 17 70 29 288 17 81 25 176 29 288

63  

Lampiran 4. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh I

Waktu pengambilan contoh : 7 Februari 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.52 Sb (standard eror nilai b) : 0.0477 350 300

yW= 0.0001L2.52 R² = 0.89

Bobot (g)

250 200 150 100 50 0 50

100

150

200

250

300

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh I : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 . 10. 7383 t .

ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

64  

Lampiran 5. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh II

Waktu pengambilan contoh : 15 Februari 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.68 Sb (standard eror nilai b) : 0.0449 350 300

W = 7E-05L2.68 R² = 0.96

Bobot (g)

250 200 150 100 50 0 75

125

175

225

275

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh II : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 2.68 3 7.0946 t 0.0449 ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

65  

Lampiran 6. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh III

Waktu pengambilan contoh : 23 Februari 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.73 Sb (standard eror nilai b) : 0.0610 300 W = 5E-05L2.73 R² = 0.93

250

Bobot (g)

200 150 100 50 0 75

125

175

225

275

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh III : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 2.73 3 4.4294 t 0.0610 ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

66  

Lampiran 7. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh IV

Waktu pengambilan contoh : 3 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.51 Sb (standard eror nilai b) : 0.0677 300 250

W = 0.0001L2.51 R² = 0.90

Bobot (g)

200 150 100 50 0 50

100

150

200

250

300

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh IV : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 2.51 3 t 7.2358 0.0677 ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

67  

Lampiran 8. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh V

Waktu pengambilan contoh : 11 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.64 Sb (standard eror nilai b) : 0.0449 350 W = 8E-05L2.64 R² = 0.95

300

Bobot (g)

250 200 150 100 50 0 100

150

200

250

300

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh V : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 2.64 3 t 7.9277 0.0449 ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

68  

Lampiran 9. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VI

Waktu pengambilan contoh : 19 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.39 Sb (standard eror nilai b) : 0.0525 350 W = 0.0001L2.39 R² = 0.93

300

Bobot (g)

250 200 150 100 50 0 100

150

200

250

300

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh VI : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 2.39 3 t 11.5698 0.0525 ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

69  

Lampiran 10. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VII

Waktu pengambilan contoh : 27 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui:

b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.40 Sb (standard eror nilai b) : 0.0682 350 300

W = 0.0001L2.40 R² = 0.89

Bobot (g)

250 200 150 100 50 0 100

150

200

250

300

Panjang total (mm)

Contoh perhitungan pengambilan contoh VII : H0: b = 3 H1: b ≠ 3 2.40 3 t 8.7432 0.0682 ttabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = 1.9761 oleh karena thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan terima (H1): b ≠ 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

70  

Lampiran 11. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh I a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 27.5 28.5 28.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 2 1 0 5 0 6 9 7 16 6 24 11 8 14 9 12 5 1 1 0 1 3 0 4 0 0 0 0 1 0 1 1 0 2 0 0 0

71  

Lampiran 11 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh I

72  

Lampiran 12. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh II a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 2 1 0 5 0 6 9 7 16 6 24 11 8 14 9 12 5 1 1 0 1 3 0 4 0 0 0 0 1 0 1 1 0 2 0 0 0

73  

Lampiran 12 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh II

74  

Lampiran 13. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh III a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 0 2 0 1 0 2 2 1 3 1 6 24 3 19 5 17 7 4 6 1 10 8 0 3 1 2 1 1 6 2 5 3 1 1 0 2 0

75  

Lampiran 13 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh III

76  

Lampiran 14. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh IV a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 6 3 7 0 6 12 3 16 2 20 16 3 9 5 12 6 2 6 2 4 5 0 0 0 1 0

77  

Lampiran 14 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh IV

78  

Lampiran 15. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh V a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 0 0 0 0 0 0 1 0 4 2 1 6 0 8 15 14 6 4 2 2 8 16 0 19 3 18 5 0 1 0 1 4 0 6 0 1 3

79  

Lampiran 15 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh V

80  

Lampiran 16. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VI a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 0 0 0 0 0 0 0 3 6 1 2 3 4 5 0 2 3 3 1 2 3 6 1 2 9 13 16 6 15 6 14 13 3 2 4 0 2

81  

Lampiran 16 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh VI

82  

Lampiran 17. Sebaran frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VII a.

Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

BB 79.5 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5

BA 85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5 133.5 139.5 145.5 151.5 157.5 163.5 169.5 175.5 181.5 187.5 193.5 199.5 205.5 211.5 217.5 223.5 229.5 235.5 241.5 247.5 253.5 259.5 265.5 271.5 277.5 283.5 289.5 295.5 301.5

xi 82.5 88.5 94.5 100.5 106.5 112.5 118.5 124.5 130.5 136.5 142.5 148.5 154.5 160.5 166.5 172.5 178.5 184.5 190.5 196.5 202.5 208.5 214.5 220.5 226.5 232.5 238.5 244.5 250.5 256.5 262.5 268.5 274.5 280.5 286.5 292.5 298.5

fi 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 3 3 3 2 3 9 7 2 3 0 9 5 2 9 1 8 10 0 6 14 15 8 3 7 0 9 5

83  

Lampiran 17 (Lanjutan)

b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh VII

84  

Lamppiran 18. Peendugaan parameter p peertumbuhan n (L∞, K, daan t0 ) denggan metode Ford w walford mennggunakan program p EL LEFAN I daalam software FiSAT III



L∞ = 313.43 mm



K = 0.28 per p tahun



Keterangan:

L∞ K t0

= Pannjang makssimal (milim meter) = Kooefisien perttumbuhan (per tahun) = Um mur hipotesis ikan padaapanjang nool (tahun)

85  

Lampiran 19. Pendugaaan laju mortalitas dan laju eksploitasi •

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang Selang kelas 80-85 86-91 92-97 98-103 104-109 110-115 116-121 122-127 128-133 134-139 140-145 146-151 152-157 158-163 164-169 170-175 176-181 182-187 188-193 194-199 200-205 206-211 212-217 218-223 224-229 230-235 236-241 242-247 248-253 254-259 260-265 266-271 272-277 278-283 284-289 290-295 296-301

xi 82.50 88.50 94.50 100.50 106.50 112.50 118.50 124.50 130.50 136.50 142.50 148.50 154.50 160.50 166.50 172.50 178.50 184.50 190.50 196.50 202.50 208.50 214.50 220.50 226.50 232.50 238.50 244.50 250.50 256.50 262.50 268.50 274.50 280.50 286.50 292.50 298.50

fi 2 3 0 7 0 9 13 14 34 13 52 61 22 62 39 68 51 21 41 15 68 64 8 50 22 62 42 10 41 24 41 37 7 18 4 14 11

t(L1) 2.56 2.78 3.01 3.24 3.48 3.72 3.97 4.22 4.48 4.74 5.02 5.29 5.58 5.87 6.17 6.48 6.80 7.12 7.46 7.81 8.17 8.54 8.92 9.32 9.73 10.16 10.60 11.06 11.55 12.05 12.58 13.13 13.72 14.34 14.99 15.68 16.42

dt 0.22 0.23 0.23 0.24 0.24 0.25 0.25 0.26 0.26 0.27 0.28 0.29 0.29 0.30 0.31 0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0.40 0.41 0.43 0.44 0.46 0.48 0.50 0.53 0.56 0.58 0.62 0.65 0.69 0.74 0.79

t(L1/L2)/2 = x

ln(fi/dt) = y

2.67 2.90 3.13 3.36 3.60 3.84 4.09 4.35 4.61 4.88 5.15 5.43 5.72 6.02 6.32 6.64 6.96 7.29 7.63 7.99 8.35 8.73 9.12 9.52 9.94 10.38 10.83 11.30 11.80 12.31 12.85 13.42 14.02 14.66 15.33 16.05 16.81

2.20 2.58 0.00 3.39 0.00 3.60 3.94 3.99 4.86 3.87 5.23 5.37 4.32 5.33 4.84 5.37 5.05 4.13 4.77 3.73 5.21 5.12 3.00 4.80 3.94 4.94 4.51 3.03 4.40 3.82 4.30 4.15 2.43 3.32 1.75 2.94 2.63

86  

Lampiran 19 (lanjutan) SUMMARY OUTPUT Regresi statistik 2 R r

0.85 0.77

Tabel Sidik Ragam Jumlah Kuadrat 1.38 0.53 1.91

df Regresi Sisa Total

1 3 4

Kuadrat tengah 1.38 0.18

Koefisien Intersep (a) Slope (b)

Z

b



M

0.8 e

M

0.32 per tahun



F



E

Standard deviasi 2.13 0.78

11.19 -2.18



2.18 , Z ,

,

L

2.18 per tahun .

,

L

Z – M = 2.18 – 0.32 = 1.86 per tahun F

.

Z

.

F hitung 7.77

0.85 per tahun

.

,

L

.

87  

Lampiran 20. Model produksi surplus •



Hasil tangkapan (ton), upaya penangkapan (unit), dan CPUE Tahun C (ton) f (unit) CPUE 2003 6 576 453 14.52 2004 9 063 453 20.01 2005 8 182 836 9.79 2006 7 446 961 7.75 2007 11 318 965 11.73 2008 12 555 13 93 9.01 2009 15 917 13 86 11.48

ln CPUE 2.67 2.99 2.28 2.04 2.46 2.19 2.44

Hasil regresi effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer diperoleh

SUMMARY OUTPUT Regresi statistik 2 R r

0.50 0.67

Tabel Sidik Ragam Jumlah Kuadrat 48.59 54.07 102.67

df Regresi Sisa Total

1 5 6

Kuadrat tengah 48.59 10.81

Koefisien Intersep (a) Slope (b)



fmsy



MSY



PL TAC

18.85 0.0074

a

18.85

2b

2 0.074

4b

4

Standard deviasi 3.45 0.0035

1 274.21 unit

18.822

a2

0.0074

12 012.40 ton

MSY

90%

10 811.16

PL

80%

10811.16

F hitung 4.49

8 648.93