JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-4
1
Studi Eksperimental Perpindahan Kalor Di Celah Sempit Anulus Selama Bottom Flooding Berdasarkan Variasi Temperatur Awal Batang Panas Choirul Muheimin, Mulya Juarsa*, Gunawan Nugroho** dan Roekmono** * Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir (PTRKN) – BATAN, Serpong ** Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected]
Abstrak—Aspek keselamatan dalam instalasi dan operasi suatu reaktor nuklir menjadi sangat penting mengingat kejadian kasus kecelakaan pada aplikasi energi nuklir di beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Contohnya yang terjadi pada reaktor daya Three Mile Island unit 2 (TMI-2) di Pensylvania USA, yang awal mulanya akibat kehilangan pendingin (Loss of Cooland Accident, LOCA) di mana kejadian akhirnya mengarah pada peristiwa kecelakaan parah (severe accident, SA). Meski hal tersebut dikategorikan kecelakaan parah, tetapi integritas bejana tekan reaktor (tipe PWR) tetap terjaga dan tidak ada produk bahan radioaktif yang keluar ke lingkungan. Keberlangsungan fenomena pendinginan tersebut perlu dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut sebagai upaya mitigasi kecelakaan. Adapun eksperimen yang dilakukan untuk mensimulasikan proses pendinginan pada kasus kecelakaan parah di TMI-2 dengan menggunakan bagian uji HeaTiNG-01 (Heat Transfer in Narrow Gap) batang anulus vertikal selama bottom flooding berdasarkan variasi temperatur awal, dengan ukuran celah 1.0 mm. Sehingga didapatkan hasil kurva saat pendinginan untuk tiga variasi temperatur awal adalah menunjukkan semakin tinggi temperatur awal maka rejim pendidihan film yang berlangsung lebih lama dan rejim pendidihan inti lebih cepat, terlihat nilai fluks kalor pada temperatur awal 600oC sebesar 2187.76 kW/m2 dengan wall superheat sebesar 588.84 K. Kata Kunci—HeaTiNG-01, rejim pendidihan, bottom flooding, severe accident , fluks kalor.
I. PENDAHULUAN
K
eselamatan memiliki peran utama dalam instalasi dan pengoperasian suatu reaktor nuklir, maka dari itu diperlukan manajemen keselamatan beberapa kasus kecelakaan di beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Dari aspek keselamatan tersebut, ternyata terdapat beberapa skenario kecelakaan yang diakibatkan oleh peningkatan suhu dalam reaktor nuklir di atas kondisi normal. Seperti yang terjadi pada reaktor daya Three Mile Island unit 2 (TMI-2) di Pensylvania USA, Maret 1979, yang mulanya akibat kehilangan pendingin (Loss of Coolant Accident, LOCA) sehingga teras kekurangan air akibat bocornya pipa pendingin primer. Akan tetapi kejadian akhir mengarah pada peristiwa kecelakaan parah (severe accident, SA), kerena terjadinya pelelehan teras reaktor yang bertemperatur tinggi [1]. Berdasarkan kasus tersebut, maka selayaknya dijadikan penelitian dan pengkajian tentang perpindahan kalor di
dalam celah sempit sebagai upaya untuk peningkatan unjuk kerja reaktor terutama aspek keselamatan berdasarkan intregitas bejana reaktor selama dan setelah kecelakaan. Penelitian yang terkait peristiwa kecelakaan parah dimulai sejak tahun 2007 di Laboratorium Termohidrolika, PTRKN Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Serpong [4]. Simulasi proses pendinginan pada kasus kecelakaan parah di TMI-2 dilakukan secara eksperimental menggunakan bagian uji HeaTiNG (Heat Transfer in Narrow Gap). Penelitian yang sudah dilakukan dari Uji HeaTiNG untuk kasus pendinginan (quenching) adalah dengan pengguyuran air dari atas, sedangkan dari tugas akhir ini akan meneliti fenomena perpindahan kalor di dalam celah sempit selama pendinginan dari bawah (bottom flooding) pada temperatur awal batang uji (heated rod) yang berbeda-beda. Batang anulus vertikal merupakan simulasi heated rod yang dinamakan sebagai Uji HeaTiNG-01 (Heat Transfer in Narrow Gap - 01). Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang akan dicari mengenai pengaruh temperatur awal heated rod terhadap karakteristik perpindahan kalor pendidihan di dalam celah sempit anulus vertikal selama bottom flooding. Karakteristik yang dimaksud adalah koefisien perpindahan kalor, Fluks kalor, dan Fluks kalor kritis (Critical Heat Flux, CHF), juga dianalisis tentang bagaimana fenomena hasil pendinginan bottom flooding. Diduga dengan metode penggenngan dari bawah ke atas ini tidak mengalami peristiwa counter current flow (CCF) karena aliran air pendingin (coolant) searah dengan aliran uap. Pengaruh peristiwa CCF pada penggenangan dari atas ke bawah (falling water film) bisa menghambat kecepatan aliran air pendingin (coolant) untuk menggenangi heated rod sehingga menghasilkan proses penggenangan tidak sempurna yang berdampak pada lamanya waktu penggenagan kembali (rewetting). Tujuan dari tugas akhir ini adalah menjawab dari perumusan masalah yang dimiliki dalam penelitian tersebut, antara lain: mengukur perpindahan kalor berdasarkan data pengukuran temperatur selama pendinginan bottom flooding, memperoleh hasil analisis perpindahan kalor di dalam celah sempit anulus vertikal variasi temperatur awal batang pemanas, dan menganalisis fenomena hasil pendinginan bottom flooding.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perpindahan Kalor Pendidihan perpindahan kalor pendidihan merupakan model perpindahan kalor yang terjadi dengan melibatkan perubahan fasa dari fasa cair menjadi fasa uap. Proses perpindahan kalor pendidihan terbagi menjadi dua jenis yaitu pendidihan kolam (pool boiling) dan pendidihan alir (flow boiling). Pendidihan kolam menggambarkan sebagai pendidihan di sekitar permukaan objek panas yang didinginkan pada media fluida tidak bergerak. Sedangkan, rejim pendidihan telah didefinisikan oleh Nukiyama berdasarkan eksperimen pada pendidihan kolam (pool boiling) [5]. Koefisien perpindahan kalor pada kurva didih dinyatakan sebagai: …………………… (1) dengan h adalah koefisien perpindahan kalor [W/m2K], q” adalah fluks kalor [W/m2] dan ∆Ts = (Tw - Tsat) adalah temperatur wall superheat [5].
2 jalur pada kurva di atas sampai mendekati titik C. Ketika ∆Texcess mencapai nilai yang tinggi (di titik C) suatu kejadian yang berarti terjadi pada permukaan pemanas yaitu seluruh permukaan pemanas akan dipenuhi oleh uap, situasi ini disebut sebagai titik kritis. - Transition Boiling Ketika temperatur excess naik, maka heat flux akan turun. Heat flux turun karena permukaan panas seluruhnya dipenuhi oleh uap dengan koefisien konduktivitas termal (h) sangat kecil, sehingga tak ubahnya uap yang menyelimuti pemanas bertindak sebagai isolator. - Film Boiling (Setelah titik D) Titik D disebut titik Leidenfrost. Fluks kalor di titik D bernilai minimum yang sering disebut titik fluks kalor minimum (Minimum Heat Flux, MHF) yang merupakan kebalikan dari CHF. Permukaan panas setelah titik D benarbenar sudah diselimuti oleh uap, dan jika temperatur dinaikkan lagi maka heat flux akan naik dan perpindahan panas terjadi antara pemanas dan liquid melalui proses radiasi, yang menjadi signifikan pada temperatur tinggi. B. Kecelakaan Parah di PLTN TMI-2
Gambar 2. Keadaan akhir bejana pada kecelakaan TMI-2 [3]
Gambar 1. Kurva Pendidihan Nukiyama untuk air pada tekanan 1 atm [6] Empat perbedaan regim pendidihan yang diamati adalah pendidihan konveksi bebas (natural convection boiling), pendidihan inti (nucleat boiling), pendidihan transisi (transition boiling), dan pendidihan film (film boiling). Regim-regim tersebut dijelaskan dalam kurva pendidihan. Dari kurva pendidihan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mempelajari karakteristik perpindahan kalor pada celah sempit dengan koefisien perpindahan kalor: - Natural Convection Boiling (dari titik 1 sampai titik A pada kurva di atas) Gerakan air pada pola pendidihan ini diakibatkan oleh arus konveksi alami sehingga air akan memutar naik turun. Pada daerah ini belum ada aktivitas pendidihan, gelembung uap air belum terbentuk. Dititik A baru terbentuk gelembung tetapi belum terlepas dari permukaan plat. - Nucleat Boiling (antara titik A dan C) Gelembung uap akan terbentuk pertama kali pada titik A ketika ∆Texcess sekitar 5oC dan heat flux sekitar 8000 W/m2. Awalnya gelembung uap hanya terbentuk pada tempattempat tertentu di permukaan pemanas, kemudian tempat terjadinya gelembung akan bertambah terus jika dilihat dari
Pemicu kecelakaan parah adalah hilangnya sebagian besar air pendingin di sistem primer, di mana kejadian ini dapat dipersamakan dengan peristiwa kecelakaan air pendingin untuk kebocoran skala kecil (small break LOCA). LOCA tidak terkendali akibat sistem air-umpan telah gagal mendinginkan teras dan menyebabkan lelehnya teras, dimana kejadian ini merupakan kecelakaan parah. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Peralatan Eksperimen Eksperimen ini menggunakan peralatan bagian Uji Heat Transfer in Narrow Gap-01 (HeaTING-01), sebagai berikut:
Gambar 3. Skematis Peralatan Eksperimen Utama
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-4
3
Pemasangan termokopel (TC) pada Uji HeaTiNG-01 ada 14 buah yang bertipe K,dipasang pada permukaan bagian dalam batang uji (anulus) yang digunakan untuk mengukur perubahan temperatur selama pendidihan berlangsung. Tabel 1. Penomoran dan posisi termokopel Posisi dari No.Termokopel Keterangan atas (mm) 0 50 100 200 300 400 500 600 700
B. Koefisien Heat Transfer Selama Quenching Melalui perhitungan fungsi korelasi untuk temperatur transien dengan metode kapasitas tergumpal, nilai konstanta bergantung terhadap waktu dimana semakin besar
1 titik di puncak 3 titik, radial 1 titik 1 titik 1 titik 1 titik 1 titik 1 titik 3 titik, radial
TC_10 900 * panjang total batang pemanas 1050 mm
nilainya maka semakin landai kurvanya yang menunjukan Perubahan nilai koefisien h secara vertikal metode lumped capacitance
10000
8000
1 titik
Bagian utama merupakan batang uji yang akan dipanaskan dengan heater, kemudian didinginkan dengan air pendingin. Bagian luar (tabung luar) berukuran panjang (p) = 1000 mm, diameter luar (OD) = 45 mm. Batang uji ini memiliki ukuran panjang (p) = 1050 mm, heated length = 800 mm dan semua terbuat dari bahan stainless steel SS316. B. Persamaan yang Digunakan Untuk melakukan analisis perpindahan kalor pendidihan selama proses bottom flooding ini, menggunakan korelasi fluks kalor sebagai berikut : ………………........ (2) dimana
pada
eksperimen dan
ini
;
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Transien Temperatur Selama Quenching Hasil pengukuran temperatur transien pendinginan quenching berdasarkan perubahan temperatur awal heated rod adalah 600 oC, 500 oC, dan 400oC. Temperatur Transien Pendinginan Quenching Ti=6000C 600
Awal quenching
Temperatur Batang Uji (0C)
500
TC-1 TC-2 TC-3 TC-4 TC-5 TC-6 TC-7 TC-8 TC-9 TC-10
Awal pembasahan TC3
400
300
200
100
0 0
100
200
300
400
Waktu Pendinginan (detik) Temperatur Transien Pendinginan Quenching Ti=5000C Awal quenching Awal pembasahan TC3
Temperatur Batang Uji (0C)
400
300
TC-1 TC-2 TC-3 TC-4 TC-5 TC-6 TC-7 TC-8 TC-9 TC-10
200
Akhir Pendidihan 100
Awal quenching
400
Awal pembasahan
350
Temperatur Batang Uji (0C)
500
Temperatur Transien Pendinginan Quenching Ti=4000C
450
300 250 200
Akhir Pendidihan
150
TC-1 TC-2 TC-3 TC-4 TC-5 TC-6 TC-7 TC-8 TC-9 TC-10
100 50 0
0 0
100
200
300
Waktu pendinginan (s)
400
0
100
200
300
Koefisien h pada Ti = 400oC Koefisien h pada Ti = 500oC Koefisien h pada Ti = 600oC
9000
Koefisien h (W/m2.K)
TC_1 TC_2, TC_11, TC_12 TC_3 TC_4 TC_5 TC_6 TC_7 TC_8 TC_9, TC_13, TC_14
Kurva transien temperatur yang ditunjukkan mulai Gambar 4 mengilustrasikan bahwa daerah transien didih film berlangsung dalam waktu yang semakin cepat berdasarkan pengurangan temperatur heated rod. Waktu rewetting yang tercepat terjadi untuk temperatur awal 400oC, yaitu sekitar 30 detik (dihitung mulai quenching di plenum bawah sampai mengenai plenum atas).
400
Waktu pendinginan (s)
Gambar 4. Kurva temperatur transien quenching Ti = 600 o C, 500 oC dan 400 oC
7000 6000 5000 4000 3000 2000 0
2
4
6
Posisi TC (mm)
8
10
Gambar 5. Kurva perbandingan nilai h dalam metode kapasitas tergumpal pada Ti = 400oC, 500oC dan 600oC bahwa nilai koefisien perpindahan kalor semakin besar, sehingga nilai koefisien perpindahan kalor terbesar berada pada bagian bawah heated rod. Nilai koefisien h terlihat semakin besar pada posisi termokopel yang semakin ke bawah, karena pada posisi tersebut (TC10) terkena air pendingin terlebih dahulu dari pada posisi termokopel yang lain (TC1 - TC9). Kenaikan nilai h bertambah seiring perkembangan didih transisi karena mulai bertemu muka antara permukaan batang panas dengan uap maupun air, pada didih transisi terjadi didih transisi film (tidak ada kontak dengan permukaan batang panas) dimana ditunjukan perubahan kemiri-ngan kenaikan nilai h dan selanjutnya menuju didih transisi inti dimana terjadi kontak antara muka uap, air dan batang uji. Selanjutnya nilai h mencapai keadaan stabil (stady state) yang mengindikasikan rejim ini adalah konveksi bebas. C. Hasil Perhitungan Fluks Kalor Selama Quenching Fluks kalor ditentukan dengan asumsi bahwa fluks kalor yang diukur adalah fluks kalor lokal yang didasarkan pada hasil transien temperatur, hasil pengukuran dari eksperimen yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa nilai fluks kalor umum tidak berbeda jauh dengan nilai fluks kalor lokal, sehingga hasil perhitungan bisa dilihat pada Gambar 6. Bentuk kurva menunjukan fluks kalor (heat flux) yang dipindahkan dari permukaan panas menuju pendingin versus panas lanjut (wall superheat) ke arah dinding dengan pembacaan kurva untuk keseluruhan rejim pendidihan. Dalam pembacaan kurva tersebut, dimulai terlebih dahulu dari sebelah kanan karena menyusuri arah pendinginan. Nilai fluks kalor (heat flux) terendah mengindikasikan pencapaian titik minimum didih film atau disebut minimum heat flux (Fluks Kalor Minimum = FKM). Pada didih film
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-4
4
(film boiling), fluks kalor mencapai suatu nilai minimum menunjukan batas keberadaan selimut uap pada seluruh permukaan. Akhir didih film di FKM berhubungan dengan fenomena rewetting. Kemudian semakin menurunnya panas lanjut ∆T maka memasuki rejim didih transisi dimana seiring naiknya kembali fluks kalor sampai mencapai fluks kalor maksimum/kritis (puncak) atau sering disebut juga sebagai CHF (Critical Heat Flux). Setelah mencapai CHF maka berakhirnya didih film lalu masuk ke rejim didih transisi yang ditandai adanya ketidak-stabilan lapisan uap akibat penetrasi antara muka uap, air dan permukaan batang panas (heated rod). 6.38
q" pada TC1 saat Tinitial = 6000C 6.36
log q" Critical Heat Flux Transition
qmax
Boiling
6.34 Film Boiling
log q" (W/m2)
Nucleate Boiling
6.32 Nature/free convection
2.6
log q"
2.8
log q"
Transition
Nucleate Boiling
Boiling
log q" (W/m2)
2.9
qmax
[3]
Film Boiling
Boiling
Minimum Heat Flux
2.7
[2]
q" pada TC1 saat Tinitial = 4000C
6.32
qmin
log (Tw-Tsat) (K)
2.9
6.34
Nature/free convection
6.30
2.8
Critical Heat Flux
qmax
Film Boiling
6.34
Transition
Nucleate Boiling
2.6
DAFTAR PUSTAKA [1]
6.36
Critical Heat Flux
6.36
log q" (W/m2)
2.7
log (Tw-Tsat) (K) 6.38
q" pada TC1 saat Tinitial = 5000C
2.5
Penulis C.M. mengucapkan terima kasih kepada Kepala PTRKN dan Kepala BOFa BATAN Gd. 80 Kawasan PUSPIPTEK yang telah memberikan izin tempat untuk melakukan penelitian. Kepada para pembimbing, baik pembimbing lapangan maupun dosen pembimbing yang senantiasa memberikan motivasi, kesabaran dan juga ilmu dalam membimbing dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada ITS Surabaya yang telah memberikan dukungan finansial melalui Beasiswa PPA tahun 2011-2012.
Minimum Heat Flux
2.5
6.32
UCAPAN TERIMA KASIH
qmin
6.30
6.38
dengan 2187.76 kW/m2 dan nilai temperatur log wall superheat sebesar 2,77 K yang setara dengan 588.84 K. Fenomena penggenangan air dari bawah ke atas (bottom flooding) memberikan dampak pada waktu saat rewetting, dikarenakan aliran uap air searah dengan air pendingin sehingga tidak terjadi peristiwa counter current flow.
Nature/free convection
qmin
6.30
[4]
Minimum Heat Flux
2.5
2.6
log (Tw-Tsat) (K)
2.7
2.8
Gambar 6. Kurva pendidihan proses quenching Ti = 600 oC, 500 oC dan 400 0C Eksperimen yang sudah dilakukan dari Uji HeaTiNG adalah dengan pengguyuran air dari atas ke bawah, atau yang disebut falling water. Metode falling water menggunakan prinsip gravitasi bumi, sehingga air yang digunakan untuk pendinginan heated rod seolah-olah tanpa ada bantuan gaya dari luar. Akan tetapi, metode ini bisa menghambat aliran coolant untuk menggenangi heated rod karena aliran uap air berlawanan dengan coolant sehingga berdampak pada waktu rewetting kurang maksimal. Sedangkan metode bottom flooding merupakan kebalikan dari falling water, yaitu penggenangan air dari bawah ke atas. Dari hasil eksperimen, metode bottom flooding menghasilkan waktu rewetting lebih cepat dikarenakan aliran uap air searah dengan coolant, sehingga tidak terjadi peristiwa counter current flow.
[5]
[6]
[7]
[8] [9]
[10]
[11]
[12]
V. KESIMPULAN/RINGKASAN Nilai koefisien h terlihat semakin besar pada posisi termokopel yang semakin ke bawah karena pada posisi tersebut terlebih dahulu terkena air pendingin, dan kenaikan nilai h bertambah seiring perkembangan didih transisi karena mulai bertemu muka antara permukaan batang panas dengan uap maupun air. Semakin tinggi temperatur awal, maka rejim pendidihan film yang berlangsung lebih lama dan rejim pendidihan inti pada lebih cepat dan sebaliknya. Didapatkan nilai temperatur awal 600 oC adalah 6,34 W/m2 yang setara
[13] [14] [15] [16]
[17]
Broughton, J.M. et al., 1989, ”A Scenario on The Three Mile Island Unit 2 Accident”, Nuclear Technology 87 (1). How the Safety of NPP is Secured in Policy Terms. 2001. “Hopes to Make Safe More Secured”. Serial Publication, NPP Safety Demonstration/Analysis, ANRE & MITI Japan. U.S. NRC, The Accident At Three Mile Island. 2007. http://www.nrc.gov/reading-rm/doc-collections/fact-sheets/3mileisle.pdf, USA. Juarsa, M., Kiswanta, Edy, Ismu, dan Puradwi, Feb 2010. “Fenomena Perpindahan Panas Pendidihan Peristiwa LOCA dan Kecelakaan Parah”. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Vol XI, 1-12. Juarsa, M., Antariksawan, AR., dan Khalisa, R., Oktober 2010. “Perhitungan Fluks Kalor untuk Kurva Didih Selama Ekperimen Quenching Menggunakan Silinder Berongga Dipanaskan”. Jurnal Teknologi Reaktor Nuklir Tri Dasa Mega Vol 12, No. 3, 7-25. Incropera, Dewitt, Bregman and Lavine. 2002. ”Fundamental of Heat and Mass Transfer, sixth edition”. United States of America: John Wiley & Sons, Inc. Juarsa, M., Antariksa, AR., Joko, Edy, dan Kiswanta, 2004. “Analisis Perpindahan Panas Pendidihan pada Eksperimen Reflooding Menggunkan Bagian Uji QUEEN”. Proceeding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Reaktor. Yogyakarta. Carbajo, J.J.. 1984. “A Study On The Rewetting Temperature”, Nuclear Engineering and Design, Vol 84 page 21 – 52. Huang, XC., Bartsch, G, and Schroeder-Richer, D., 1994, “Quenching experiments with a circular test section of medium thermal capacity under forced convection of water”, Int. Jurnal of Heat Mass Transefer, Vol 37, No.5, 803-818. Juarsa, M., Juli 2007. “Simulasi Eksperimental Kecelakaan Parah pada Pemahaman Aspek Manajemen Kecelakaan”. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah Vol 10, 58-65. Ruliandini R.. 1990. “Studi Fenomena Rewetting Selama Proses Quenching Melalui Simulasi Eksperimental Pada Untai Uji BETA”. Skripsi S1, Universitas Padjadjaran. Todreas N.E. and Kazimi M.S., 1990. “Nuclear System I: Thermal Hydraulic Fundamentals”. Hemisphere Publishing, 1st ed.. Lienhard IV, JH. and Lienhard V, JH. 2002. “A Heat Transfer Text Book, Third Edition.” Cambridge Massachusetts: Phlogiston Press. Frank, Kreith. 1991. “Prinsip-Prinsip Perpindahan Panas”, diterjemahkan oleh: Arko Prijino. Erlangga: Jakarta. Lamarsh, JR. and Baratta, AJ.. 2001.“Nuclear Engineering, Third Edition”. Upper Saddle River New Jersey: Prentice Hall. Juarsa, M., Umar, E., dan Harto AW.. Desember 2007. “Penelitian Eksperimental Perpindahan Panas pada Celah Sempit Anulus: Konstruksi dan Pengujian Alat”. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah Vol 10, 36-46. Ridwan, dkk. 1978. “Pengantar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir”. Badan Tenaga Atom Nasional: Jakarta.