studi kasus konflik memilih agama pada remaja dengan orangtua

Aku kan ga ngerti, kan. Jadi papaku bilang, 'Iya, kamu, sih ga tau…' gitu. Kayak… Maksudnya ..... Bapakmu pernah bilang kalauu seharusnya kamu bisa ng...

32 downloads 416 Views 389KB Size
STUDI KASUS KONFLIK MEMILIH AGAMA PADA REMAJA DENGAN ORANGTUA YANG BERBEDA AGAMA

OLEH: B. PRIMANDINI YUNANDA HARUMI ADIJANTI MARHENI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015 1

DAFTAR ISI

Judul ………………………………………………………………………………………

1

……………………………………………………………………………..

2

…………………………………………………………………….

3

BAB I PENDAHULUAN

……………………………………………………………

4

1.1

Paparan Kasus

………………………………………………….. ……….

4

1.2

Rumusan Kasus

……………………………………………………………

5

1.3

Tujuan dan Manfaat ……………………………………………………………

6

BAB II Metode Pengumpulan Data …………………………………………………...

7

…………………………………………………………………….

7

……………………………………………………………

8

Daftar Isi

Daftar Gambar

2.1

Wawancara

2.2

Hasil Wawancara

…………………………………………..

13

Analisa Teori ……………………………………………………………………..

13

………………………....

13

…………………………………………………………….

14

………………………………….

15

……………………………………………………………………..

16

BAB IV PENUTUP

……………………………………………………………………...

19

4.1

Kesimpulan

………………………………………………………………………

19

4.2

Saran ……………………………………………………………………………….

20

BAB III ANALISA TEORI DAN DISKUSI 3.1

3.2

3.1.1

Teori Perkembangan Remaja 21 Tahun

3.1.2

Teori Konflik

3.1.3

Teori Pengambilan Keputusan

Diskusi

Daftar Pustaka Lampiran

2

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1.2.1 Empat Macam Konflik ………………………………………………………… 14

3

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Paparan Kasus Agama adalah pegangan dalam hidup. Agama dengan dasar-dasarnya memiliki nilai-

nilai yang baik dan mampu mengarahkan individu untuk menjalani kehidupannya. Walau begitu, tidak jarang ditemukan permasalahan mendasar dari nilai-nilai agama yang tidak jarang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya, dalam keluarga salah satunya. Tidak dipungkiri pernikahan berbeda agama adalah hal yang tidak jarang ditemui. Ada yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ada pula ditemukan diantara mereka yang dapat menjalani kehidupan berkeluarga dengan baik serta dapat mempertahankan keluarga dan membesarkan anak-anaknya. Menerapkan nilai-nilai agama pada anak bagi orangtua yang memiliki agama berbeda mungkin saja menimbulkan konflik dalam keluarga yang tidak jarang disebabkan oleh keinginan orangtua pada anaknya untuk mengikuti agama salah satu dari orangtuanya. Pada anak yang terlahir dari keluarga yang memiliki dua nilai-nilai yang berbeda, perbedaan nilai tersebut tidak jarang memunculkan kebimbangan dalam diri, utamanya anak, dalam menentukan agama yang akan didalami dalam kehidupannya. Saat anak masih kecil, anak mulai menyadari perbedaan cara beribadah kedua orangtuanya dan belum begitu memikirkan perbedaan tersebut, namun beranjak dewasa, anak mulai memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi seiring berkembangnya proses kognitif, sehingga konflik perbedaan agama mungkin tidak lagi hanya dirasakan pada orangtua, melainkan anak pun turut merasakan. Para remaja pasti mengalami konflik dalam dirinya, baik dalam hal sosial maupun hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai dalam dirinya yang mana agama juga termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan konflik dalam diri (Day, 2010; Park dkk, 2012 dalam Santrock, 2014). Bentuk konflik yang ditemukan pada remaja yang terlahir dari kedua orangtua yang memiliki perbedaan agama umumnya berupa kebimbangan untuk memilih salah satu dari agama yang dianut kedua orangtua yang mana dalam pilihan tersebut masing-masing memiliki nilai-nilai yang berbeda serta konsekuensi pilihan. Studi kasus ini akan dibahas bagaimana konflik dalam menentukan agama dari seorang remaja yang terlahir dari orangtua yang memiliki agama yang serta faktor-faktor serta hal-hal yang mempengaruhi seorang remaja dengan orangtua yang berbeda agama 4

untuk memutuskan agama yang akan dianutnya. Dalam studi kasus ini, seorang remaja yang memiliki orangtua berbeda agama bersedia untuk menjadi responden berinisial KA. KA adalah seorang remaja yang berusia 21 tahun, merupakan anak kedua dari ayah yang beragama Hindu dan ibu yang beragama Islam. Terlahir dari kedua orangtua yang memiliki agama berbeda membuatnya merasakan konflik dan kebingungan yang muncul sejak KA masih kecil terkait agama. Sejak kecil, KA yang tinggal di Jakarta, diajarkan bagaimana beribadah secara Islam oleh ibunya dan ketika pindah ke Denpasar, KA mulai dibiasakan untuk beribadah secara Hindu oleh ayahnya. KA merasa bingung karena saat itu ia terbiasa untuk beribadah secara Islam dan kemudian mulai untuk membiasakan diri beribadah secara Hindu. KA yang pada waktu itu masih kecil pun mengikuti apa yang diajarkan padanya. KA mempunyai seorang kakak perempuan yang saat ini menganut agama Hindu dan seorang adik laki-laki yang dianggap KA memiliki pendalaman agama Islam yang lebih mendalam dibanding KA dan kakaknya. Terbiasa untuk hidup dalam keluarga yang memiliki perbedaan agama, KA mengakui bahwa ia dapat saja menjalankan masing-masing ibadah, namun tidak mendalam karena merasa tidak diajari secara menyeluruh mengenai agama-agama tersebut. Ibu memegang peran penting dalam penanaman nilai agama dalam keluarga KA. Terbukti dengan pengenalan agama utama yang dikenali oleh KA adalah agama yang dianut ibunya. Ibu KA sering mengingatkan KA untuk sholat, namun tidak jarang pula mengingatkan KA untuk sembahyang dan mebanten. Disisi lain, ayah KA mengajak KA untuk turut serta dalam sembahyang, namun menurut KA, ayahnya tidak mengajarinya secara mendalam mengenai agama.

1.2

Rumusan Kasus Rumusan dari paparan kasus di atas adalah: a. Bagaimanakah gambaran konflik KA terkait dengan perbedaan agama yang dianut kedua orangtua KA? b. Hal apa yang mempengaruhi KA dalam mengambil keputusan untuk menentukan agama yang akan dianutnya?

5

1.3

Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian a. Mengetahui gambaran konflik diri KA terkait dengan perbedaan agama yang dianut kedua orangtua KA. b. Mengetahui hal yang mempengaruhi KA dalam mengambil keputusan untuk menentukan agama yang akan dianut. Manfaat Penelitian a. Diharapkan penelitian ini dapat berkontribusi dalam keilmuan bidang psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi sosial. b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pasangan yang berbeda agama, baik yang akan menikah maupun yang sudah menikah agar dapat membina rumah tangga dan penanaman nilai-nilai agama dalam keluarga.

6

BAB II Metode Pengumpulan Data

2.1

Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan pewawancara (Moleong, 2014). 2.1.1 Teknik Wawancara Terdapat beberapa macam wawancara yang disebutkan Esterberg (dalam Sugiyono, 2014), yaitu: a. Wawancara terstuktur, yaitu wawancara yang memiliki seperangkat instrumen berupa pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan. b. Wawancara semi tersetruktur, yaitu wawancara yang bertujuan untuk menemukan permasalahan secara terbuka di mana responden penelitian diminta untuk memberikan pandangan atau ide-idenya pada suatu pembahasan. c. Wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang tidak menggunakan pedoman berupa instrumen berupa pertanyaan yang terstruktur, melainkan menggunakan garis besar dari permasalahan yang ditanyakan. Pada studi kasus ini, peneliti menggunakan wawancara tidak berstruktur dan hanya menggunakan garis besar dari permasalahan yang digali tanpa mempersiapkan pedoman wawancara yang sistematis (Sugiyono, 2014). 2.1.2

Proses Wawancara Proses wawancara dilakukan secara bertatap muka dan terbuka, KA mengetahui

bahwa sedang dilakukan proses wawancara dan mengetahui maksud dari proses wawancara. Pertanyaan yang diberikan berupa pertanyaan terbuka dan tertutup. Peneliti juga menggunakan probing agar dapat menggali data lebih mendalam. Wawancara dilakukan dalam tiga tahap, yaitu opening, body, dan closing. Tahap opening merupakan tahap membangun rapport dengan KA, di mana rapport yang terbentuk antara peneliti dan KA terbentuk dengan baik. Pada tahap rapport, KA sudah mulai menceritakan mengenai gambaran keluarga dan dirinya. Tahap body merupakan tahap saat peneliti menyiapkan garis besar permasalahan dan mulai melakukan proses wawancara. Wawancara tidak 7

hanya dilakukan secara verbal, melainkan memberikan respon beruba nonverbal. Perekaman audio digunakan untuk mencatat proses wawancara dan memudahkan peneliti untuk menginput data. Perekaman audio dilakukan dengan sepengetahuan KA. Pencatatan dengan menggunakan fieldnote juga digunakan dalam proses wawancara. Tahap terakhir closing merupakan tahap penutup dari proses wawancara. 2.1.3

Subyek Wawancara KA wawancara adalah seorang wanita berinisial KA berusia 21 tahun yang

dikategorikan dalam fase remaja.

2.2

Hasil Wawancara Wawancara dilakukan sebanyak tiga kali dan pencatatan digunakan fieldnote dan

verbatim. 2.2.1

Hasil Wawancara 1 Wawancara pertama pada KA dilakukan di kampus tempat KA kuliah. Wawacara

dilakukan di lobby sebuah gedung di tempat KA kuliah. Saat itu KA sedang menunggu orang yang menjemputnya dan di tempat tersebut terdapat beberapa teman KA. Pada wawancara pertama, pencatatan dilakukan dengan menggunakan fieldnote. KA menyebutkan bahwa keluarganya memiliki agama yang berbeda. Hal tersebut tercermin dari fieldnote berikut: “KA memiliki ayah yang beragama Hindu dan ibu yang beragama Islam.” “Kakak KA mengikuti agama calon suami, yaitu Hindu.” “KA memiliki adik laki-laki yang menurutnya lebih paham tentang agama Islam.” Memiliki keluarga dengan agama yang berbeda membuat keluarga KA memiliki toleransi dalam beribadah, namun perbedaan tersebut membuatnya bingung dan merasakan konflik karena sejak kecil, ia diajarkan agama Islam oleh ibunya dan tidak paham mengenai agama Hindu. “Ada toleransi dalam keluarga KA.” “KA mengatakan bahwa saat menjalankan ibadah, ia bisa untuk mengikuti ibadah umat Hindu dan Islam.” “Walaupun KA dapat menjalankan ibadah kedua agama tersebut, ia mengakui bahwa tidak begitu mendalami agama Hindu. Hal tersebut dirasakan karena KA kurang memahami.” 8

“Ibu KA mengajarkan KA mengenai agama Islam dan turut mengingatkan untuk sembahyang.” “Ibu KA pernah mengatakan bahwa beliau ingin anaknya mengikuti agama Islam karena kakak KA sudah memeluk agama Hindu agar dapat mendoakannya, namun KA mengatakan pada saat itu ia tidak memberikan respon.” 2.2.2

Hasil Wawancara 2 Wawancara dilakukan disiang hari seusai subyek mengikuti perkuliahan pada

Selasa, 13 Oktober 2015. Saat wawancara berlangsung, KA bercerita sambil mengerjakan tugas kuliahnya. Wawancara kedua didapatkan informasi mengenai latar belakang perbedaan keluarga yang terlihat dalam verbatim berikut. “Katanya sih dulu, papaku yang pindah agama Islam soalnya dulu katanya mamaku ga mau menikah kalau beda agama. Jadi, papaku pindah agama Islam tapi ga tau kenapa, pas aku masih kecil-kecil lima tahun gitu, dia pindah ke Hindu gitu. Nah dari situ juga aku bingung karena dari kecil aku taunya Islam aja kan, terus tiba-tiba ada ini.” Perbedaan agama dalam keluarga KA, membuat KA merasakan dilema dan konflik yang mulai dirasakan sejak kecil. Merasakan dilema dan konflik, KA tetap dapat merasakan toleransi yang terbentuk dalam keluarganya. “Semenjak SD kan aku udah Islam tuh, udah belajar segala macam, belajar sholat, belajar puasa, belajar semuanya loh, tapi kalau semisalnya ada acara Hindu gitu aku harus dah ikut juga. Disitu dah aku bingung jadinya. Aku bingung karena aku ga ngerti soalnya pakai kebaya, dipakaikan, terus ada hari raya Galungan, Kuningan, aku sembahyang. Aku itu ga ngerti. Maksudnya kalo sholat gitu kan aku ngerti harus pakai mukenah, baca ini dulu, itu dulu kan aku belajar di XX. Pas sembahyang itu aku ga ngerti. Ada gerak-gerakkannya cuma aku ga ngerti.” “Papaku ngasi taunya juga bukan benar-benar Hindu, gitu. Misalkan… kan ada tiga kali kan gini-gini (ritual sembahyang), doa pertama untuk alam, doa kedua untuk ibu pertiwi, kayak gitu-gitu. Bukan kayak Tuhannya siapa. Papaku juga ga pernah sih bilang kayak doa untuk Tuhan ini karena dia tau Tuhaku itu kan Allah, gitu.” “Ada sih pasti yang nanya, kan, ‘gimana sih Islam tapi kok ke Pura, gitu’. Trus aku jawabnya… Aku bingung, sih, jawabnya apa. Ya… Aku, sih, Islam tapi aku jawabnya buat menghormati aja karena misalnya aku tanya, ee papa-mamaku kan… Kamu Islam, ngapain kayak gini? Iya menghormati aja gitu”

9

“Aku pribadi sih sebenernya ga bagus gitu loh, Rim. Ga bagusnya itu karena…Ya karena gitu dah… Sembahyang juga… Sholat juga gitu loh. Karena sebenarnya tekanan juga lho.” “Tekanan karena mmm… ‘KA, ngebanten… ‘ aku ga bisa dong, ngapain ngebanten aku aja ga bisa, aku ga tau apa gitu kan. ‘Iya ga apa ngebanten aja’, jadi mamaku sendiri lho yang maksa malahan. Padahal mamaku sendiri Islam.” “Kayak menurutku mereka sendiri sih yang salah… Menurutku ya. Bukan aku nyalahin mereka, tapi mereka yang salah kok ngedidiknya. Ngedidik anaknya itu, gimana sih… Ga konsisten jadinya.” “Misalnya papaku nuntut, mamaku nuntut. Kan… Aku itu lho ga tau apa-apa, kecuali mereka itu ngajarin kayak gini-gini. Gimana… Sembahyang itu lho kayak gini caranya… Aku ga pernah… Papaku ga pernah ngasi tau sama sekali. Cara apa pun dia ga pernah ngasi tau.” “Berarti kalau semisalnya ada upacara besar gitu, ibu kamu ikut juga gitu? dah yang ga konsistennya. Ibuku itu yang ga konsisten sebenarnya.” “Jadi kalau di depan bapakku, ibuku bisa bilang “jangan dulu”, tapi kalau didepanku aku itu harus. Ibuku juga ikutan sibuk kalau semisalnya ada odalan atau apa itu dia ikut sibuk. Dia emang ngerti emang gitu-gitu.” Wawancara kedua mendapatkan gambaran keputusan yang dipilih KA saat ini terkait dengan agama yang akan dipilihnya nanti. Menurutnya, pasangannya nanti mempengaruhi agama yang akan dipilihnya nanti. “Sekarang sih intinya siapa aku dapat pasangan, itu lah yang ikutin.” “Kalau dia jodohku dan dia bisa buat aku lebih baik, aku ga apa kok kalau harus pindah ke Hindu, kayak gitu” “Tapi aku udah punya prinsip karena lihat keluargaku. Aku ga mau, lho, beda agama. Kalau semisalnya aku sama pacarku yang sekarang ini, aku ga mau beda agama…” “Intinya aku harus satu agama, entah itu Islam atau Hindu, gitu. Cuma kalau dilihat dari sejarah segala macamnya, mau ga mau, mungkin kalau aku sama dia, aku yang terpaksa pindah, karena dia itu… Dia itu yang Anak Agung, puri segala macem gitu.”

10

2.2.3

Hasil Wawancara 3 Wawancara ketiga dilakukan pada Selasa, 17 November 2015. Saat itu KA sedang

mengerjakan tugasnya bersama beberapa teman. Wawancara dilakukan di lobby sebuah gedung

perkuliahan.Proses

wawancara

membahas

mengenai

konflik-konflik

yang

mengarahakan KA pada keputusan mengenai pemilihan agamanya kelak. Gambaran konflik yang didapatkan dalam wawancara ketiga terlihat dari verbatim berikut ini. “Dia pernah nyuruh aku. Aku kan ga ngerti, kan. Jadi papaku bilang, ‘Iya, kamu, sih ga tau…’ gitu. Kayak… Maksudnya itu kayak harusnya tau, dong, gitu, tapi aku mikirnya gimana aku tau, aku aja ga diajarin kan.” “Jadi kadang-kadang mamaku itu suka nyuruh aku ngebanten, aku ga ngerti, terus mamaku itu bilang yang kayak ‘kamu itu orang Bali, jadi harus ngerti’. Pas mamaku bilang gitu… Dia itu ga nyadar ya orang aku itu Islam… Mamaku gitu lho yang ngajarin aku di Islam. Bingungnya aku ya gitu lho malahan.” “Negatifnya itu paling yang papaku. Papaku ngerasa yang kayak dia kan cowok, tapi kok anak-anaknya ga milih agama bapaknya, malah ibunya. Soalnya di luar sana kan kebanyakan keluarga yang beda agama itu… Milih agama bapaknya kan tetep, tapi kok ini milih ibunya. Negatifnya sih disitu aja sih” Konflik tersebut mengarahkan KA untuk mengambil keputusan atau berprinsip untuk memiliki agama yang sama dengan pasangannya nanti jika membangun keluarga agar tidak merasakan seperti yang keluarganya rasakan. “Cuma kalau buatku sekarang, sih, ga menutup kemungkinan aku bakal pindah atau gimana, tapi asalkan… Aku selalu mikir, apa pun agama yang aku pilih itu, misalnya aku pindah gitu aku harus ngelakuinnya dengan cara yang benar, gitu sih. Tapi kalau sekarang belum mau.” “Tapi ga menutup kemungkinan kalau nanti misalnya… Misalnya ya aku dapat jodoh yang beda agama gitu kan, aku pasti bakal ikutin dia, asalkan dia bisa ajarin aku, asalkan aku bisa jadi lebih baik gitu, soalnya aku ga mau yang sekedar pindah yang pindah aja, tapi bukan maksud aku yang mau gitu. Kalau emang harus gitu. Kalau semisalnya aku dapat jodoh yang Islam, ayo, aku seneng malahan, tapi kalau semisalnya ga ada, ya aku harus ikutin karena aku ga mau kalau aku itu bakal beda agama lagi. aku ga mau ngulangin orangtuaku, gitu lho.”

11

“Misalnya nih aku sama dia sampai nanti atau gimana, aku mau ikutin dia asalkan dia bisa ajarin aku semuanya, asalkan dia bisa bikin aku ngerti, gitu. Pokoknya aku mau asalkan aku ngerti aja. Aku tau apa yang harus aku lakuin, apa yang ngga harus aku lakuin.” “Aku harus bisa lebih baik. Sama juga kalau semisalnya aku dapat yang Islam. Gimana caranya dia bisa ngasi tau aku.”

12

BAB III ANALISA TEORI DAN DISKUSI

3.1

Analisa Teori

3.1.1 Teori Perkembangan Remaja Usia 21 Tahun Bedasarkan teori Erik Erikson, individu yang memasuki usia 21 tahun termasuk dalam kategori remaja, yang mana pencarian identitas mengenai diri adalah hal penting untuk menentukan bagaimana individu dimasa mendatang. Tidak jarang ditemui kebingungan mengenai identitas pada diri remaja, sehingga Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) menyebutkan bahwa krisis identitas adalah tugas utama dari remaja untuk menjadi orang dewasa dengan pemahamannya sendiri. Remaja yang dapat menemukan identitasnya tidak akan mengalami kekacauan identitas yang akan mempengaruhi kedewasaannya. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), identitas remaja akan terbentuk ketika menyelesaikan persoalan besar terkait identitas, yaitu pemilihan pekerjaan, pemilihan nilai-nilai yang akan diterapkan dalam hidup, dan identitas seksual. Perkembangan identitas dapat menentukan komitmen remaja yang akan menghasilkan kesetiaan berupa nilai-nilai, ideologi, agama, gerakan politik, pencarian kreatif atau kelompok etnik (Erikson, 1982, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Pencarian identitas remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti gabungan informasi dan pengalaman selama hidup individu (Erikson, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) serta kondisi dari perkembangan identitas (Marcia, dalam Santrock 2014). Menurut Marcia, perkembangan identitas dipengaruhi oleh ada atau tidaknya krisis dan komitmen individu. Krisis adalah masa indvidu mengeksplorasi alternatif

pilihan yang ada dan

komitmen adalah saat individu memutuskan pilihan yang akan dijalani (Santrock, 2011). Perkembangan tersebut digambarkan Marcia dalam empat status, yaitu: a. Identity achievement, yaitu krisis yang mengarahkan pada komitmen. Status ini ditandai dengan adanya komitmen untuk melakukan pilihan yang sudah dibuat setelah melalui krisis dan dijalani setelah mengeksplorasi berbagai pilihan yang tersedia. b. Moratorium, yaitu saat individu sudah mengalami krisis tapi belum berkomitmen terhadap alternatif pilihan yang ada. Walaupun belum berkomitmen pada alternatif pilihan yang ada, namun pada status ini mulai muncul keinginan dalam diri untuk berkomitmen pada satu pilihan (Marcia, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009).

13

c. Foreclosure, yaitu menjalani komitmen tanpa krisis. Status ini, individu menjalani pilihan yang dipilihnya tanpa mepertimbangkan alternatif lain yang dapat membuat dirinya mengalami krisis serta belum berkomitmen secara penuh atas pilihannya tersebut. d. Identity diffusion, yaitu saat individu belum merasakan krisis ataupun memiliki komitmen. Pada status ini, individu sadar bahwa terdapat pilihan-pilihan yang harus dipilih, namun tidak mempertimbangakan pilihan yang ada secara serius.

3.1.2 Teori Konflik Menurut McCollum (2009, dalam Lestari 2014) mengatakan bahwa konflik merupakan perilaku seseorang yang beroposisi dengan pikiran, perasaan dan tindakan orang lain. Coon dan Mitterer (2007) menyebutkan bahwa konflik adalah keadaan di mana individu harus memilih dari beberapa pilihan yang ada, termasuk pilihan yang bertentangan dengan diri individu tersebut. Menurut Teori Lapangan (Field Theory) yang dicetuskan oleh Kurt Lewin, konflik adalah suatu keadaan daya yang saling bertentangan arah, namun dalam kekuatan yang kira-kira sama (Sarwono, 2014). Terdapat empat macam konflik, yaitu: a. Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict), yaitu konflik yang terjadi ketika individu dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya memiliki nilai positif bagi individu. b. Konflik mejauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict), yaitu konflik yang terjadi saat individu dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya memiliki nilai negatif bagi individu, c. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict), yaitu konflik yang terjadi pada saat individu dihadapkan pada dua pilihan yang mana salah satu alternatif pilihan tersebut mengarahkan individu pada hal yang bernilai negatif bagi individu dan alternatif lainnya bermakna positif bagi individu. d. konflik mendekat-menjauh ganda (double approach-avoidance conflict), yaitu konflik yang terjadi saat individu dihadapkan pada dua pilihan yang mana masing-masing kedua pilihan tersebut bermakna postif dan negatif bagi individu. Konflik-konflik tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1.2.1 Empat Macam Konflik 14

Dalam menentukan pilihan yang memungkinkan munculnya konflik, terdapat beberapa hal yang dapat mengarahkan individu untuk bergerak dan memilih salah satu dari alternatif pilihan yang ada. Lewin menyebutkan hal tersebut sebagai daya (Sarwono, 2014). Daya-daya tersebut adalah sebagai berikut: a. Daya mendorong, yaitu daya yang mendorong untuk melakukan sesuatu. b. Daya yang menghambat, yaitu daya yang menghambat atau menahan untuk melakukan sesuatu. c. Daya yang berasal dari kebutuhan sendiri, yaitu motivasi untuk melakukan suatu hal. d. Daya yang berasal dari orang lain, yaitu daya yang berasal dari keinginan atau dorongan orang lain. e. Daya impersonal, yaitu daya yang berasal bukan dari dalam diri dan bergantung pada situasi tertentu. Konflik dapat terjadi dalam berbagai hal dan kepada siapa saja, bahkan pada orangorang terdekat seperti saudara dan orangtua. Semakin tinggi ketergantungan atau kelekatan hubungan yang terjalin, maka konflik yang terjadi cenderung tinggi (Lestari, 2014).

3.1.3 Teori Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan hal penting dalam kehidupan karena dengan mengambil keputusan, individu mampu untu berpikir tentang pilihan dalam kehidupan yang tersedia yang sedianya akan dipilih. Memilih suatu keputusan dapat menjadi hal yang sulit karena disetiap alternatif pilihan tersebut bisa memiliki atribut, serta menghasilkan dampak positif bahkan negatif. Masing-masing atribut memiliki aspek-aspek dan individu dalam mempertimbangkan aspek tersebut dapat menggunakan beberapa cara, diantaranya adalah eliminasi, yaitu mengambil keputusan dengan menghilangkan atau mengeliminasi aspek yang dirasa tidak memiliki dampak yang diharapkan individu. Pengambilan keputusan dilakukan dengan memperkirakan dua hal, yaitu subject utility yaitu pengambilan keputusan bedasarkan nilai-nilai yang terkandung didalam alternatif pilihan dan subjective probability yaitu pemilihan keputusan bedasarkan hal yang disukai. Pengambilan keputusan bekerja menggunakan kognitif dan secara rasional, namun tingkat rasional yang dimiliki individu memiliki batas (Simon, 1957 dalam Sternberg, 2009).

15

Proses pengambilan keputusan individu dilakukan bedasarkan bias atau heuristic dari pikiran mereka (Kahneman & Tversky, 1972, 1990; Stanovich, Sai & West, 2004; Tveresky & Kahneman 1971, 1993 dalam Sternberg, 2009). Beberapa bias atau heuristic tersebut yaitu: a. Representative heuristic: pengambilan keputusan bedasarkan penilaian individu terhadap probabilitas munculnya peristiwa yang tidak menentu bedasarkan kemiripan gambaran yang diperoleh dan merefleksikan atribut menonjol yang digeneralisasikan. b. Availability heuristic: pengambilan keputusan bedasarkan seberapa mudah individu memanggil apa yang didapatkan oleh pikirannya terhadap suatu peristiwa atau terdapat perkiraan terdapat persamaan kejadian yang akan dialami jika memilih satu alternatif. Pengambilan keputusan juga dapat dipengaruhi oleh konflik. Menurut Janis dan Mann (1977 dalam Roecklein, 2013), pengambilan keputusan bedasarkan konflik melibatkan emosi, perilaku untuk menangani konflik, hingga berbagai konsekuensi yang akan didapatkan dari pilihan yang dipilih.

3.2

Diskusi Bedasarkan hasil wawancara, kasus dalam penelitian ini dapat dijelaskan melaui teori

psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Jika dilihat dari status perkembangan identitas milik James Marcia, pencarian identitas KA terkait agama menggambarkan status foreclosure dan moratorium. Hal tersebut tergambar sejak KA masih kecil. KA yang sebelumnya tinggal di Jakarta dan diajarkan agama Islam oleh ibunya harus mulai membiasakan dirinya beribadah sebagaimana umat Hindu semenjak pindah ke Denpasar. Mulai saat itu, jika sedang ada upacara agama dan hari raya umat Hindu, KA diingatkan untuk ikut bersembahyang, namun di sisi lain, KA juga beribadah sebagaimana umat Islam. KA yang masih kecil pada waktu itu mengikuti apa yang orangtuanya arahkan, yaitu untuk beribadah sebagaimana umat Hindu dan Islam. Situasi yang dialami KA tersebut menggambarkan status

foreclosure, yaitu

menjalankan komitmen tanpa krisis berupa mengikuti ibadah agama Hindu dan Islam sesuai arahan kedua orangtua. Marcia (dalam Santrock, 2011) menyebutkan bahwa status foreclosure sering terjadi saat orangtua melimpahkan komitmen yang mereka miliki kepada anak-anaknya saat anak-anaknya belum berkesempatan mempelajari komitmen yang dilimpahkan kepadanya secara mendalam. Hal tersebut juga tergambar dalam kasus KA, yaitu ketika orangtua mengarahkan dan mengingatkan KA untuk mengikuti ibadah umat Hindu dan Islam sesuai komitmen agama yang mereka jalani, namun tanpa penjelasan lebih

16

mendalam mengapa harus menjalani hal tersebut hingga KA mengikuti arahan kedua orangtuanya. Menjadi seorang remaja yang beranjak menuju dewasa, keadaan keluarga yang memiliki perbedaan membuat KA berpikir untuk memilih agama yang akan ia pegang. Menurut pengakuannya, kedua orangtuanya pernah menuntutnya untuk mengikuti agama yang mereka anut, yaitu Hindu atau Islam, namun saat ini belum menentukan pilihannya karena masih bingung. Jika KA memilih untuk mengikuti agama Hindu, ia merasa belum memahami ajaran agama Hindu, sedangkan jika KA memilih untuk mengikuti agama Islam, ia dapat memahami namun belum dapat menjalankan seutuhnya. Saat ini, KA belum mengambil keputusan terkait agama, namun dimasa depan, ia memutuskan agama yang akan dipilihnya bergantung dari agama pasangannya kelak. KA berprinsip jika nanti ia berumah tangga, ia harus memiliki agama dan keyakinan yang sama dengan pasangannya agar tidak mengalami permasalahan terkait agama seperti yang ia rasakan. Hal tersebut menggambarkan status moratorium, terdapat krisis yang dirasakan terhadap pilihan yang ada, namun belum menentukan pilihan dari alternatif tersebut. Krisis yang dialami KA berupa kesadarannya untuk memilih agama sebagai pegangannya di masa depan, namun masih merasakan dilema untuk memilih satu dari kedua agama tersebut. Walaupun belum menentukan komitmen, dalam status ini mulai muncul untuk berkomitmen pada satu pilihan dimasa mendatang. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran KA saat ini dengan membentuk komitmen melalui prinsipnya untuk memiliki agama dan keyakinan yang sama dalam rumah tangganya kelak. Kebingungan KA saat ini dalam memilih agama tersebut memunculkan konflik dalam dirinya. Sang ayah menuntut KA untuk mendalami agama Hindu, sedangkan sang ibu juga menuntut KA untuk mendalami agama Islam. Gambaran konflik yang dialami oleh KA dapat dijelaskan melalui teori konflik mendekat-menjauh ganda (double approach-avoidance conflict). Pada teori teori konflik mendekat-menjauh ganda, disebutkan bahwa dua pilihan yang didalamnya masing-masing terdapat nilai positif dan negatif bagi individu dapat menimbulkan konflik ketika individu tersebut harus memilih. Dalam kasus yang dialami KA, pilihan yang dihadapinya adalah agama Hindu mengikuti agama ayah dan agama Hindu mengikuti agama ibu. Jika KA memilih untuk mengikuti agama Hindu, maka hal positif yang dirasakan KA yaitu tidak menimbulkan perasaan kecewa dalam diri ayahnya karena KA memilih untuk mendalami agama yang juga dianut ayahnya, namun hal negatif yang dirasakan jika mengikuti agama Hindu adalah ketidakpahaman KA terhadap agama Hindu dan keyakinannya yang lebih mengarah pada agama Islam. Di sisi lain jika KA memilih untuk mengikuti agama Islam, maka hal positif yang dirasakannya berupa kemudahan jika harus mempelajari agama Islam karena

17

semenjak kecil sudah diajarkan agama Islam oleh ibunya, namun hal negatif yang muncul adalah perasaan kecewa ayahnya karena anaknya tidak mengikuti keyakinannya. KA mengaku bisa jika harus beribadah sebagaimana umat Hindu dan Islam seperti arahan kedua orangtuanya sejak ia masih kecil. Saat sedang ada upacara atau hari raya umat Hindu, orangtuanya mengingatkannya untuk sembahyang begitupula pada saat waktu sholat dan KA menjalani hal tersebut. Walau diingatkan untuk menjalani ibadah masingmasing agama, kedua orangtua KA juga menuntut KA untuk memilih mendalami agama hindu atau Islam. Jika dilihat dari teori daya milik Lewin, keadaan KA yang

kemudian

menjalankan ibadah masing-masing agama tersebut dapat dijelaskan sebagai daya mendorong serta daya yang mendorong dan daya yang berasal dari orang lain. Peran kedua orangtua KA dapat menggambarkan sebagai daya mendorong KA untuk melakukan suatu hal, yaitu memilih untuk mendalami agama Hindu atau Islam. Peran orangtua KA juga menggambarkan daya yang berasal dari orang lain, yaitu daya yang mengarahkan KA untuk memilih atau menjalani sesuatu bedasarkan dorongan orang lain berupa dorongan yang diberikannya kepada KA untuk melakukan ibadah sehingga saat ini KA masih mengikuti arahan kedua orangtuanya tersebut. Bedasarkan konflik yang dialaminya, saat ini KA mengambil keputusan untuk menjalani ibadah dari kedua keyakinan orangtua walaupun ia mengakui kurang mendalami keyakinan tersebut dan saat ini lebih mengarah pada agama Islam. KA lebih mengarah ada agam Islam karena merasa bahwa ia dapat lebih memahami agama Islam jika dibandingkan dengan pemahamannya pada agama Hindu, namun ditanya masa depan, KA berprinsip untuk memiliki pasangan yang berpandangan sama mengenai nilai-nilai agama agar keluarganya tidak merasakan seperti apa yang dirasakannya saat ini. Hal tersebut menggambarkan subject utility yang dimiliki oleh KA, yaitu mengambil keputusan yang didasarkan nilai-nilai dari pilihan yang ada. Nilai-nilai yang termasuk dalam subject utility tersebut digambarkan sebagai nilai-nilai agama. Dimasa depan KA berprinsip untuk memiliki agama yang sama dengan pasangannya dalam membangun rumah tangga yang mampu mengajarkan nilai satu agama kepadanya secara mendalam.

18

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan Bedasarkan analisi kasus yang dialami KA, kesimpulan yang dapat ditarik sebagai

berikut: a.

KA yang memiliki orangtua berbeda agama mengalami konflik dalam dirinya dalam mengambil keputusan terkait agama yang akan dipilihnya, apakah itu agama yang dianut ayah atau ibunya. Saat ini KA masih mengikuti ibadah yang dijalankan umat Hindu dan Islam sebagai bentuk toleransi beragama dalam keluarga. KA tidak menutup kemungkinan jika nanti ia harus berpindah agama dan menjalankan agama tersebut.

b.

Keadaan KA dijelaskan sebagai pencarian identitas diri yang berasal dari nilainilai agama dan sedang berada dalam status moratorium menurut James Marcia, yaitu sudah mengalami krisis tapi belum berkomitmen terhadap alternatif pilihan yang ada karena KA belum menjalankan ibadah agama seutuhnya.

c.

Gambaran konflik yang dimiliki KA adalah konflik mendekat-menjauh ganda (double approach-avoidance conflict), yaitu jika ia memilih untuk mengikuti keyakinan ayah maupun ibu, masing-masing memiliki beban pikiran positif dan negatif bagi KA.

d.

Dalam menjalankan pilihan keyakinannya saat ini berupa menjalankan ibadah dari kedua keyakinan, terdapat hal-hal yang mendorong yang berasal dari orang lain, yaitu peran kedua orangtuanya dalam mengarahkan dan mengingatkan KA untuk beribadah, baik beribadah secara agama Hindu maupun Islam.

e.

Bedasarkan konflik tersebut, pemilihan agama bedasarkan nilai-nilai yang diajarkan padanya sebagai dasar untuk mendalami agamanya. Hal tersebut menggambarkan subject utility yang dijadikan pertimbangan untuk mendalami agama dan saat ini lebih condong pada agama Islam karena KA merasa lebih terbiasa dan paham.

19

4.2

Saran Terdapat beberapa saran terkait kasus perbedaan agama pada orangtua dan anak,

yaitu: a.

Kepada orangtua yang memiliki perbedaan keyakinan agar mendiskusikan mengenai keputusan beragama anak-anak secara cepat dan tepat untuk menghindari dilema dalam diri anak terkait nilai-nilai agama.

b.

Jika orangtua yang berbeda agama mengarahkan anak untuk mendalami satu agama, maka fokuskan pada satu agama tersebut agar anak tidak mengalami konflik dalam menjalankan ibadah.

c.

Jika

orangtua

yang

mengajarkan

nilai-nilai

agama

diharapkan

dapat

menyampaikan dan mengajarkan agama secara mendalam agar anak dapat mengerti dan menjalankan ibadah karena keinginannya untuk berkomunikasi dengan Tuhan, bukan karena dorongan orang lain karena kurang memahami nilai-nilai agama. d.

Kepada remaja yang mengalami dilema dalam menentukan agama agar berdiskusi dengan orang-orang yang paham mengenai nilai-nilai agama agar mendapatkan pengetahuan agama lebih mendalam.

20

DAFTAR PUSTAKA

Coon, D. & Mitterer, J. (2007). Psychology: A Journey. Dapat diakses pada https://books.google.co.id/books?isbn=049581170X Lestari, S. (2014). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana. Moleong, L. J. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Papalia, D. E., Olds, S. W. & Feldsman, R. D. (2009). Perkembangan Manusia Edisi 10 Buku 2

(terjemahan: Brian Marswendi). Jakarta: Salemba Humanika.

Rockelein, J. E. (2013). Kamus Psikologi: Teori, Hukum dan Konsep (terjemahan: Intan Irawati). Jakarta: Kencana. Santrock, J. (2011). Life-span Development 13th Edition. New York: McGraw-Hill. Santrock, J. W. (2014). Adolescence Fifteenth Edition. New York: McGraw-Hill. Sarwono, S. W. (2014). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Sternberg, R. J. (2009). Cognitive Psychology. Belmont: Wadsworth. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta.

21

Fieldnote (Pertemuan Pertama)

Interviewer

: Rima

Interviewer

: KA

Object observasi

: Proses wawancara

Tempat interview

: Universitas YY

Hari, tangal interview : Jum’at, 9 Oktober 2015 Waktu interview

: 11.30 – 11.40 WITA (10 menit)

Fakta:            

   

 

Wawancara dilaksanakan pada hari Jum’at, 9 Oktober 2015 di sebuah lobby gedung perkuliahan. Wawancara dilakukan seusai KA selesai mengikuti perkuliahan dan sedang menunggu orang yang menjemputnya. Saat itu KA memakai kacamata, berbaju kemeja kotak-kotak dan rambut yang tidak diikat. Terdapat beberapa teman KA di tempat wawancara. KA menyebutkan bahwa saat ini ia berusia 21 tahun. KA memiliki ayah yang beragama Hindu dan ibu yang beragama Islam. KA menceritakan hubungannya dengan keluarga yang berbeda agama baik-baik saja. Ada toleransi dalam keluarga KA. KA mengatakan bahwa saat menjalankan ibadah, ia bisa untuk mengikuti ibadah umat Hindu dan Islam. KA biasanya diingatkan untuk sembahyang oleh ibu, begitu pula saat waktu sholat. Ibu KA mengajarkan KA mengenai agama Islam dan turut mengingatkan untuk sembahyang. Walaupun KA dapat menjalankan ibadah kedua agama tersebut, ia mengakui bahwa tidak begitu mendalami agama Hindu. Hal tersebut dirasakan karena KA kurang memahami. KA memiliki seorang kakak perempuan. Kakak KA sudah bertunangan. Kakak KA mengikuti agama calon suami, yaitu Hindu. Ibu KA pernah mengatakan bahwa beliau ingin anaknya mengikuti agama Islam karena kakak KA sudah memeluk agama Hindu agar dapat mendoakannya, namun KA mengatakan pada saat itu ia tidak memberikan respon. KA memiliki adik laki-laki yang menurutnya lebih paham tentang agama Islam. KA melihat hand phone dan pamit karena sudah ada yang menjemput.

22

Interpretasi:   

KA memiliki ayah dan ibu yang berbeda agama dan muncul toleransi dalam keluarga. KA dapat mengikuti ibadah dari masing-masing agama, namun belum terlalu paham mengenai agama tersebut. KA disarankan oleh ibu untuk mendalami agama Islam karena kakak KA menganut agama Hindu mengikuti agam calon suami.

23

Wawancara (Pertemuan Kedua)

Interviewer

: Rima

Interviewee

: KA

Tempat

: Universitas YY

Hari / tanggal : Selasa / 13 Oktober 2015 Waktu

: 14.40 – 15.00 WITA (20 menit)

Verbatim Interviewer

: Kemarin, kan, kamu sudah cerita sedikit yang gambaran kamu yang bingung dengan keadaan keyakinan seperti itu. Bisa diceritakan waktu kecil pengalamanmu yang hidup ditengah keluarga yang memiliki perbedaan keyakinan?

Interviewee

: Pas kecil? Maksudnya pas kecil gimana, nih?

Interviewer

: Waktu masih kecil. Kan istilahnya belum memiliki tanggung jawab untuk memilih keyakinan begitu.

Interviewee

: Oh, iya iya. Jadi aku certain ya. Pas waktu aku kecil itu, aku juga ga tau sih kenapa tiba-tiba aku jadi Islam. Aku lupa kenapa tiba-tiba aja jadi Islam. Terus waktu kecil itu aku ga pernah sembahyang. Ga apa-apa kan. Sholat pernah. Aku kan tinggalnya di Bali, soalnya keluargaku di Bali kan Hindu, tapi secara pribadi, aku itu lebih dekat sama keluarga mamaku, yang Islam, jadi yang diajari yang Islam-islam gitu, kan. Habis itu aku di sekolahin lah di XX (nama sekolah swasta Islam) karena mamaku merasa karena keluargaku ga ada yang di Bali, jadi aku harus ngerti agama gitu. Ya gitu sih jadinya aku tau kalo aku Islam.

Interviewer

: Kalau boleh tau, ibu kamu dari mana asalnya?

Interviewee

: Ibuku dari Jakarta.

Interviewer

: Maaf ini mau tanya. Kamu kan Gusti ya. Kastanya termasuk tinggi kan itu. Dari awal orangtuamu menikah itu beda agama atau ikutin satu agama?

Interviewee

: Katanya sih dulu, papaku yang pindah agama Islam soalnya dulu katanya mamaku ga mau menikah kalau beda agama. Jadi, papaku pindah agama Islam tapi ga tau kenapa, pas aku masih kecil-kecil lima tahun gitu, dia pindah ke Hindu gitu. Nah dari situ juga aku bingung karena dari kecil aku taunya Islam aja kan, terus tiba-tiba ada ini. Terus yang Gusti itu juga, mmm, jadi aku pakai Gusti itu bukan pas aku dari lahir karena mungkin pada waktu itu masih bingung juga kan papa-mamaku kan. Mungkin juga bapakku mikir “ah kan udah Islam ngapain pake Gusti”. Nah aku pakai Gusti itu semenjak aku SD24

SMP gitu, tapi akteku belum diganti sampai sekarang, tapi di KTP udah pakai Gusti. Mau diganti Cuma agak ribet. Kemarin sempat diganti, cuma katanya kalau pakai kasta di pengadilan itu harus bawa raja ini, raja itu untuk dijadiin saksi. Interviewer

: Biar tahu silsilahnya gitu, kan?

Interviewee

: Iya. Kalau ganti nama biasa kan gampang, tapi kalau pakai kasta itu susah katanya.

Interviewer

: Waktu SD kan kamu pindahan itu, dari mana pindahnya?

Interviewee

: Oh, itu aku dari Jakarta.

Interviewer

: Berarti baru pindah ke sini langsung masuk ke XX gitu?

Interviewee

: Iya.

Interviewer

: Lalu mulai sejak kapan kamu merasa bingung?

Interviewee

: Bingung…

Interviewer

: Bingung karena keyakinan orangtuamu berbeda dan harus memilih ke yang mana.

Interviewee

: Mmm… Semenjak SD. Semenjak SD kan aku udah Islam tuh, udah belajar segala macam, belajar sholat, belajar puasa, belajar semuanya loh, tapi kalau semisalnya ada acara Hindu gitu aku harus dah ikut juga. Disitu dah aku bingung jadinya. Aku bingung karena aku ga ngerti soalnya pakai kebaya, dipakaikan, terus ada hari raya Galungan, Kuningan, aku sembahyang. Aku itu ga ngerti. Maksudnya kalo sholat gitu kan aku ngerti harus pakai mukenah, baca ini dulu, itu dulu kan aku belajar di XX. Pas sembahyang itu aku ga ngerti. Ada gerak-gerakkannya cuma aku ga ngerti. Papaku selalu bilang, “udah, ikutin aja” gitu. Terus aku “tapi doanya apa?” namanya anak kecil kan nanya doa gitu. Papaku bilangnya pakai bahasa Indonesia aja doain ini. Tapi tetep beda, lho. Papaku ngasi taunya juga bukan benar-benar Hindu, gitu. Misalkan… kan ada tiga kali kan gini-gini (ritual sembahyang), doa pertama untuk alam, doa kedua untuk ibu pertiwi, kayak gitu-gitu. Bukan kayak Tuhannya siapa. Papaku juga ga pernah sih bilang kayak doa untuk Tuhan ini karena dia tau Tuhaku itu kan Allah, gitu.

Interviewer

: Mungkin teman-temannya KA ada yang tau kalau… Keluarganya KA ada, mmm beragam keyakinannya. Ada ga sih pernah yang ananya kamu condongnya kemana?

Interviewee

: Oh iya… Ada sih pasti yang nanya, kan, “gimana sih Islam tapi kok ke Pura, gitu”. Trus aku jawabnya… Aku bingung, sih, jawabnya apa. Ya… Aku, sih, Islam tapi aku jawabnya buat menghormati aja karena misalnya aku tanya, ee papa-mamaku kan… Kamu Islam, ngapain kayak gini? Iya menghormati aja gitu. Jadinya aku jawab menghormati aja, soalnya papaku misalnya aku puasa pun, dia juga ikut kadang-kadang kan buang menghormati, gitu. 25

Interviewer

: Apa sih yang kamu rasakan dengan gambaran keluarga kamu yang seperti itu?

Interviewee

: Mmm… Rasain? Bingung aja, sih. Biasanya lebih ke bingung aja awalnya cuma lama-lama ya… Udahlah itu terserah mereka gitu. terus lama-lama aku mikir agama itu kan sama aja, tapi yang penting gimana caa kita melakukannya. Aku pribadi sih sebenernya ga bagus gitu loh, Rim. Ga bagusnya itu karena…Ya karena gitu dah… Sembahyang juga… Sholat juga gitu loh. Karena sebenarnya tekanan juga lho. Tekanan karena mmm… “KA, ngebanten… “ aku ga bisa dong, ngapain ngebanten aku aja ga bisa, aku ga tau apa gitu kan. “Iya ga apa ngebanten aja”, jadi mamaku sendiri lho yang maksa malahan. Padahal mamaku sendiri Islam. Kamu ngerti ga? Padahal mamaku sendiri yang Islam tapi dia sendiri yang nyuruh. “Itu lho ngebanten kayak gini”

Interviewer

: Mama kamu bisa?

Interviewee

: Mama aku bisa. Mungkin dia belajar aku ga tau juga. “Iya cuma gini-gini aja ga usah doa-doa” paling yang naruh canang gitu. Jadi kadang-kadang aku kayak… Gimana sih? Kayak menurutku mereka sendiri sih yang salah… Menurutku ya. Bukan aku nyalahin mereka, tapi mereka yang salah kok ngedidiknya. Ngedidik anaknya itu, gimana sih… Ga konsisten jadinya.

Interviewer

: Pernah ga sih yang kamu merasa… “Aduh… Kok kayak gini, sih?” yang benar-benar bingung gitu.

Interviewee

: Pernah…

Interviewer

: Pas lagi kapan?

Interviewee

: Biasanya sih pas kayak ada… Upacara-upacara gitu… Misalnya papaku nuntut, mamaku nuntut. Kan… Aku itu lho ga tau apa-apa, kecuali mereka itu ngajarin kayak gini-gini. Gimana… Sembahyang itu lho kayak gini caranya… Aku ga pernah… Papaku ga pernah ngasi tau sama sekali. Cara apa pun dia ga pernah ngasi tau.

Interviewer

: Kan kamu juga bilang kemarin itu… Yang kamu menjalani salah satu ibadah. Apa sih yang rasain soalnya kamu cerita kan, ibumu… kamu kadangkadang lebih mengikuti ke keyakinan bapakmu, sedangkan bapakmu merasa kamu lebih mengikuti keyakinan ibumu…

Interviewee

: Kalau masalah ibadahnya sih ga pernah kaya gitu.

Interviewer

: Tapi pernah merasa seperti itu?

Interviewee

: Mmm…ngerasain…

Interviewer

: Iya, mungkin kamu pernah ditanyain kalau nanti kamu kamu ikut yang mana

Interviewee

:. Oh… Pernah, sih, tapi itu kan kayak… Dari KTP itu kan sudah Islam, sekarang sih intinya siapa aku dapat pasangan, itu lah yang ikutin, yang bakal aku lakuin, gitu lho,tapi tetap aja mamaku bilang… Kan kakakku sudah dapat 26

yang cowok Hindu itu loh… “Nanti cari cowok Islam ya”, disitu kadang aku ga suka dong, karena… Kok kayak gini sih? Aku lho sudah pacaran lama sama pacarku yang sekarang, tapi aku ga mikir lho kesana karena aku mikir… ya sudahlah jalani aja, aku kan pacaran sama agama Hindu, ya udah jalani aja. Kalau dia jodohku dan dia bisa buat aku lebih baik, aku ga apa kok kalau harus pindah ke Hindu, kayak gitu. Cuma aku ga sukanya mamaku kayak lebih nuntut gitu, “pilih Islam” gitu. Dia ga mikir kayak misalnya… Aku itu udah punya pacar lama… Aku udah empat tahun kan… Dia itu ga mikir… Gampang banget “Ya udah pacar kamu pindah Islam”, gitu dan dia itu ga mikir… Aku itu menghormati dia sebagai cowok… Ya maksudnya siapa sih yang mau pindah agama, kan. Sebagai cewek juga… Ga mau pindah agama kan? Tapi aku udah punya prinsip karena lihat keluargaku. Aku ga mau, lho, beda agama. Kalau semisalna aku sama pacarku yang sekarang ini, aku ga mau beda agama… Dia juga punya pengalaman karena keluarganya beda agama. Interviewer

: Oh, gitu…

Interviewee

: Iya. Dia juga ga mau. Intinya aku harus satu agama, entah itu Islam atau Hindu, gitu. Cuma kalau dilihat dari sejarah segala macamnya, mau ga mau, mungkin kalau aku sama dia, aku yang terpaksa pindah, karena dia itu… Dia itu yang Anak Agung, puri segala macem gitu, lho, kayak rempong gitu, lho. Ga mungkin gitu lho.

Interviewer

: Untuk keluarga besarmu sendiri… Mereka tau kalau keluargamu ada yang Hindu ada yang Islam gitu?

Interviewee

: Keluarga besar? Tau sih…

Interviewer

: Seperti yang tadi, berarti kalau semisalnya ada upacara besar gitu, ibu kamu ikut juga gitu?

Interviewee

: Nah, itu dah yang ga konsistennya. Ibuku itu yang ga konsisten sebenarnya.

Interviewer

: Jadi kalau bisa bilang, yang bikin kamu bingung itu ibu kamu?

Interviewee

: Iya, he’e… Jadi kalau di depan bapakku, ibuku bisa bilang “jangan dulu”, tapi kalau didepanku aku itu harus. Ibuku juga ikutan sibuk kalau semisalnya ada odalan atau apa itu dia ikut sibuk. Dia emang ngerti emang gitu-gitu.

Interviewer

: Berarti bisa aku simpulkan, hal itu salah satu yang buat kamu bingung ya?

Interviewee

: He’e…

Interviewer

: Terus kamu sudah punya pacar dan sudah lama pacarannya, tapi dari pihak ibumu menyarankan untuk mencari pasangan yang Islam?

Interviewee

: Iya.

Interviewer

: Terus yang terakhir, kamu mulai bingung dari kecil sama saat kamu harus menjalankan ibadah karena kamu ga ngerti sama prosesinya gitu?

27

Interviewee

: Iya, itu juga…

Interviewer

: Oh ya sudah. Mungkin itu dulu buat hari ini. Makasi atas waktunya ya.

Interviewee

: Iya, sama-sama, Rim. Nanti kalau ada apa-apa hubungin lagi aja.

Interviewer

: Iya, makasi, ya.

28

Wawancara (Pertemuan Ketiga)

Interviewer

: Rima

Interviewee

: KA

Tempat

: Universitas YY

Hari / tanggal : Selasa / 17 November 2015 Waktu

: 12.02 – 12.13 WITA (11 menit)

Verbatim Interviewer

: Waktu kita terakhir ketemu waktu itu kan… Ga apa sambil kerjain aja.

Interviewee

: Iya… Pelan-pelan aja.

Interviewer

: Iya. Waktu itu kan kamu cerita kalau keluarga besar kamu tau kalau… Ayah sama ibu kamu itu berbeda agama gitu.

Interviewee

: Iya.

Interviewer

: Pernah ga sih suatu saat gitu kamu ditanya sama ayahmu, dalami aja Hindu, gitu. Trus suatu saat juga, ibumu nanya, dalami aja Islam.

Interviewee

: Nanya gimana?

Interviewer

: Nanya… Misalnya lagi ngobrol gitu, terus saranin kamu gitu tentang…

Interviewee

: Oh, saranin. Kalau papaku pernah, sih. Kalau pas semisalnya ada… Acaraacara Hindu gitu. Lagi ada upacara… Lagi ada acara-acara lain gitu, kan. Dia pernah nyuruh aku. Aku kan ga ngerti, kan. Jadi papaku bilang, “Iya, kamu, sih ga tau…” gitu. Kayak… Maksudnya itu kayak harusnya tau, dong, gitu, tapi aku mikirnya gimana aku tau, aku aja ga diajarin kan. Terus dari SD juga aku di SD Islam gitu kan. Malah kadang-kadang pun juga… Malah kadangkadang pun juga… (KA menghentikan pembicaraan)

Interviewer

: Berarti bisa dibilang bapakmu itu pernah bilang… (KA berbicara dengan temannya). Bapakmu pernah bilang kalauu seharusnya kamu bisa ngerti tentang agama Hindu.

Interviewee

: Kenapa?

Interviewer

: Bapakmu…

Interviewee

: Oh, iya… Pernah… Pernah dibilangin kayak gitu, tapi aku diem aja. Tapi kalau aku lagi kesel aku bilang aja kalau aku Islam, gitu. Disuruh gini-gitu ngapain? Orang aku Islam, aku gitu. Tapi kadang-kadang… Malahan mamaku yang bikin aku bingung gitu lho. Jadi kadang-kadang mamaku itu 29

suka nyuruh aku ngebanten, aku ga ngerti, terus mamaku itu bilang yang kayak “kamu itu orang Bali, jadi harus ngerti”. Pas mamaku bilang gitu… Dia itu ga nyadar ya orang aku itu Islam… Mamaku gitu lho yang ngajarin aku di Islam. Bingungnya aku ya gitu lho malahan. Interviewer

: Kalau boleh tau, barusan kamu sempet bilang yang pas bapakmu nyuruh itu kamu sempat bilang aku lho Islam itu respon bapakmu gimana?

Interviewee

:Ga ada sih soalnya aku ga pernah bilang kalo aku itu Islam. Paling aku bilang aku ga bisa soalnya kalau aku bilang kaya gitu, aku merasa dia bakal ngerasa aku ga ngehargai dia. Kalau ke mamaku baru aku masih bisa bilang. Kalau ke papaku paling beraninya bilang aku ga ngerti gitu.

Interviewer

: Terus kalau semisalnya suatu saat kamu harus memilih suatu keyakinan. Keyakinan dari bapakmu gitu misalnya. Kira-kira ada kendala ga sih kalau semisalnya kamu harus memilih agama itu?

Interviewee

: Kalau kendala itu pasti ada, namanya juga kita memiliki kepercayaan kan. Kan pasti susah kalau orang itu pindah kepercayaan, apa lagi kalau terpaksa, Cuma kalau buatku sekarang, sih, ga menutup kemungkinan aku bakal pindah atau gimana, tapi asalkan… Aku selalu mikir, apa pun agama yang au pilih itu, misalnya aku pindah gitu aku harus ngelakuinnya dengan cara yang benar, gitu sih. Tapi kalau sekarang belum mau.

Interviewer

: Kenapa?

Interviewee

: Iya soalnya untuk saat ini percaya keyakinanku itu sama Allah, aku percayanya sama Tuhan aku. Aku sudah belajar agama Islam. Walaupun sih sebenarnya belum semuanya, sih, aku jalani. Cuma tetap, faith-ku, kepercayaanku itu di Islam. Apa lagi aku bener-bener ga tau sama sekali tentang Hindu

Interviewer

: Trus kalau semisalnya kamu milih agama ibumu, kira-kira positif dan negatifnya itu gimana?

Interviewee

: Kalau positifnya sih sama aja, soalnya aku kan sudah sama-sama Islam sama kayak ibuku. Negatifnya itu paling yang papaku. Papaku ngerasa yang kayak dia kan cowok, tapi kok anak-anaknya ga milih agama bapaknya, malah ibunya. Soalnya di luar sana kan kebanyakan keluarga yang beda agama itu… Milih agama bapaknya kan tetep, tapi kok ini milih ibunya. Negatifnya sih disitu aja sih. Papaku nanti ngerasa kayak… Dial lho kepala rumah tangga, nanti dia merasa ga dihormati, kayak gitu sih. Cuma ya balik lagi soalnya aku ga bisa nyalahin siapa-siapa karena agama kan… Agamanya menyimpulkan pribadi kita. Dari kecil aku udah dibentuk seperti itu. Mungkin beda ceritanya kalau aku dari kecil dibentuk menjadi Hindu.

Interviewer

: Berarti bisa aku bilang kalau untuk saat ini kamu masih condong ke Islam, begitu?

Interviewee

: Iya.

30

Interviewer

: Terus kalau kamu ikut sama keyakinan papamu, kamu bebannya masih belum ngerti gitu?

Interviewee

: Iya, lebih ke situ, sih. Tapi ga menutup kemungkinan kalau nanti misalnya… Misalnya ya aku dapat jodoh yang beda agama gitu kan, aku pasti bakal ikutin dia, asalkan dia bisa ajarin aku, asalkan aku bisa jadi lebih baik gitu, soalnya aku ga mau yang sekedar pindah yang pindah aja, tapi bukan maksud aku yang mau gitu. Kalau emang harus gitu. Kalau semisalnya aku dapat jodoh yang Islam, ayo, aku seneng malahan, tapi kalau semisalnya ga ada, ya aku harus ikutin karena aku ga mau kalau aku itu bakal beda agama lagi. aku ga mau ngulangin orangtuaku, gitu lho. Kayak gitu aja, sih.

Interviewer

: Berarti kan kamu sekarang sama agama Hindu, berarti nanti kemungkinan kamu ke… Hindu, gitu?

Interviewee

: Mmm, iya, tapi sampai saat ini belum ada pembahasan ke arah situ. Cuma kalau misalnya, misalnya nih aku sama dia sampai nanti atau gimana, aku mau ikutin dia asalkan dia bisa ajarin aku semuanya, asalkan dia bisa bikin aku ngerti, gitu. Pokoknya aku mau asalkan aku ngerti aja. Aku tau apa yang harus aku lakuin, apa yang ngga harus aku lakuin. Soalnya aku ga mau aja nanti… Misalnya kayak sekarang aku Islam, aku tau kok apa yang aku harus lakuin, tapi sampai sekarang pun juga aku belum bisa jadi yang baik atau sempurna gitu kan belum. Aku mau kalau semisalnya aku pindah, hidupku ga semakin buruk, gitu, lho. Aku udah besar juga, kan. Aku harus bisa lebih baik. Sama juga kalau semisalnya aku dapat yang Islam. Gimana caranya dia bisa ngasi tau aku. Gitu.

Interviewer

: Terus kan keluarga besarmu tau lah keadaan keluargamu. Pernah ga sih ada intervensi dari keluarga besar, kenapa kamu ga ikut agama keluarga besar bapak atau kenapa ga ikut agama keluarga besar ibu, gitu.

Interviewee

: Kadang-kadang aja, sih. Mmm, kalau keluarga papaku, kan. Misalnya… Mmm, jadi adalah kayak beberapa tante atau siapa gitu, anggaplah dia tau kalau semisalnya agama pacara aku itu Hindu, gitu, iya da langsung bilang iya ga apa biar sekalian aja masuk Hindu, gitu. Kadang juga kalau semisalnya lagi makan… Kan kita kan ngga… Pas kita ada acara keluarga makan malam sama keluarga besar kan kita yang Islam itu kan ngga makan babi gitu kan. Nah, disitu itu ada yang kayak ngasi taunya itu kayak… kadang-kadang itu ada… ga semua sih ya… Ada lah tante yang mana… Ada lah yang kayak nyindir gitu gimana.

Interviewer

: Berarti intervensinya lebih ke ucapannya gitu?

Interviewee

: Iya, ucapa-ucapan yang kayak gitu kadang-kadang.

Interviewer

: Kalau dari keluarga ibumu?

Interviewee

: Kalau dari keluarga ibuku sih, fine-fine aja karena kan semuanya Islam, kan, dan mereka taunya aku Islam. Ga ada masalah, sih.

31

Interviewer

: Kamu waktu kemarin sempat cerita kalau punya adik cowok. Sama kayak kamu sekarang?

Interviewee

: Iya, adikku cowok. Bisa aku bilang dia emang yang Islamnya paling kuat diantara yang lain gitu. Dia lebih paham gitu sih dari pada aku.

Interviewer

: Mmm… Berarti bisa aku bilang kalau semisalnya kamu ikut agama bapakmu, kamu ga ngerti gitu, tapi saat kamu ikut, ada yang meneruskan gitu ya?

Interviewee

: Iya, cuma ya itu mungkin lebih diajarin lagi nanti biar ngerti.

Interviewer

: Kalau ikut ibumu kamu merasa ga ada masalah karena kamu sendiri sekarang Islam gitu?

Interviewee

: Iya.

Interviewer

: Tapi kalau semisalnya Islam gitu, kamu mikirin posisi bapakmu yang kepala rumah tangga yang tadi kamu bilang gitu ya?

Interviewee

: Iya sih, itu aja.

Interviewer

: Oke deh, mungkin cukup dulu di sini ya. Makasi udah mau diwawancara lagi.

Interviewee

: Iya sama-sama

32