TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL SANTRI MAHASISWA

Download kehidupan, moral menjadi semacam rambu atau aturan yang berfungsi untuk mengontrol dan mengarahkan perjalanan seluruh umat manusia untuk ...

0 downloads 452 Views 100KB Size
TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL SANTRI MAHASISWA MENURUT LAWRENCE KOHLBERG

Anata Ikrommullah SMA Negeri 1 Lumajang Jl. Jendral A. Yani No. 7 Lumajang email:[email protected]

Abstrak: this research was conducted with the aim to describe: (1) the stages of moral development of students grade students Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, (2) the analysis of the stages of moral development of santri mahasiswa Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.In this descriptive study, researchers sought to describe how the results of the stages of moral development santri mahasiswa of class IV. Through this type of research data that has been collected in the form of the results of the questionnaire moral dilemmas (DIT) Jamest Rest systematically arranged, accurate and factual.Research findings indicate that (1) the highest level of students are students in Law And Order level of 62.5%, (2) as much as 22.2% in stage Nice Girl and Good Boy, (3) the third largest stages are stages Social Contract which amounted to 12.5%, (4) Stages of Jamest Rest which serves as an internal check that Meaningless much as 2.5%. Keywords: stages of moral development, santri mahasiswa, Lawrence Kohlberg. Abstrak: tujuan penelitian adalah: (1) mendeskripsikan langkah perkembangan moral santri pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang, (2) analisis tingkat perkembangan moral santri mahasiswa pesantren Al-Hikam Malang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, peneliti mendeskripsikan hasil tahap perkembangan moral santri mahasiswa tingkat IV. Penelitian menggunakan data yang dikumpulkan melalui kuesioner dilema moral (DIT) yang dikemukakan James Rest yang akurat dan faktual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) level tertinggi adalah law and order yaitu sebesar 62,5%, (2) sebanyak 22.2% berada pada tahapan nice girl and nice boy, (3) tahap ketiga terluas adalah tahap social contract yang berjumlah 12.5%, (3) pentahapan James Rest pada tahap cek internal meaningless sebanyak 2.5%. Kata kunci: tahap perkembangan moral, santri mahasiswa, Lawrence Kohlberg

Tak bisa dipungkiri agama memiliki hubungan yang erat dengan moral, dalam kehidupan sehari-hari seringkali motivasi kita yang terpenting terkait moral yakni agama (Bertens,1993:37). Dengan demikian maka lembaga pesantren yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan tentu saja juga mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan moral. Pesantren memberikan porsi yang lebih kepada para peserta didiknya dalam mempelajari moral, Adapun moral itu sendiri menjadi sesuatu yang benar-benar ada dan tak bisa dipungkiri di kehidupan kita. Dalam menjalani kehidupan, moral menjadi semacam rambu atau aturan yang berfungsi untuk mengontrol dan mengarahkan perjalanan seluruh umat manusia untuk mencapai tujuannya. Moral berkaitan

dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan salah, maka moral merupakan kendali dengan tingkah laku. Menurut Purwadarminto dalam (Anshoriy, 2008: 29) moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya. Sehingga menurut Purwadarminto definisi paling dasar dari moral adalah suatu ajaran tentang baik dan buruk yang kemudian akan menjadi dasar pengambilan keputusan bagi tindakan manusia. Ajaran tentang moral diajarkan kepada seluruh umat manusia tanpa peduli tentang umur, jenis kelamin, agama,dan etnis. Ajaran moral secara sama menyentuh semua lapisan masyarakat dan jika ada yang berbeda mungkin hanya frekuensi pengajarannya.Salah satu 77

78 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 lembaga pengajaran formal yang secara intens memberikan penekanan terhadap pengajaran moral yaitu pesantren, pesantren selalu memberikan nilai porsi yang tinggi terhadap pengajaran moral hal ini disebabkan oleh identiknya moral dengan akhlak dalam lingkup pengertian pesantren, hal ini berbeda dengan akal yang berhubungan dengan kecerdasan dan pengertian, moral atau akhlak dalam lingkup pengertian pesantren yaitu suatu kata kerja yang berbentuk suatu perilaku atau tindakan baik maupun sopan santun dll. Namun dalam perkembanganya terdapat banyak hambatan yang ditemukan dalam pengajaran moral tersebut salah satunya yaitu tentang definisi maupun ukuran dari moral itu sendiri. Untuk mengetahui tingkatan moral seseorang selalu diperlukan suatu alat ukur yang sesuai guna mengukur moral orang tersebut, dan jenis alat ukur tersebut tentunya haruslah berhubungan dengan definisi moral yang dipahami oleh si pengukur. Maka jika lembaga pesantren ingin mengetahui tingkatan moral seseorang dengan pengertian moral mereka yakni moral sebagai suatu bentuk tindakan atau perilaku pastilah sulit untuk dapat menemukan alat ukur yang sesuai. Hal ini dikarenakan perilaku seseorang sangat luas dan sulit dikategorikan dan dirumuskan sehingga sangatlah sulit untuk menyimpulkan suatu perilaku seseorang. Di samping itu perilaku moral yang dipahami oleh pesantren yakni suatu perilaku yang baik disertai motif yang baik juga, dan apabila suatu perilaku dapat dikatakan baik akan tetapi memiliki motif yang buruk dan manipulatif tentu perilaku tersebut dalam pemahaman pesantren dapat dikategorikan sebagai perilaku yang buruk, berangkat dari sinilah timbul permasalahan yang lain yakni suatu tindakan moral yang ditentukan oleh motif. Perilaku moral yang ditentukan oleh motif merupakan suatu hal yang tidak bisa diukur, dikarenakan motif merupakan sesuatu yang bersifat sangat pribadi ataupun internal. Berawal dari sinilah timbul berbagai macam problem dan permasalahan dalam mengukur moral santri khususnya di lingkungan pesantren, sehingga problem tersebut terus menerus berlanjut tanpa ada penyelesaian yang sesuai, dan hal ini membuat pesantren tidak mempunya data acuan yang jelas mengenai moral dari peserta didiknya, yang kemudian membuat pesantren lemah dalam

memonitor peserta didiknya dalam perilaku moral mereka. Jika lemahnya control pesantren terhadap peserta didiknya dikarenakan kurangnya data tentang tingkatan moral peserta didiknya maka dengan kurangnya data tersebut tentu juga membuat tidak jelasnya evaluasi hasil pengajaran moral yang dilangsungkan oleh pesantren tersebut, Hasil output dari sistem pengajaran moral di pesantren dipertanyakan dikarenakan tidak adanya data yang jelas terkait hasil pengajaran moral tersebut. Jika masalah tersebut diselidiki lebih mendalam sebernarnya akar permasalahannya terletak dalam perbedaan definisi tingkat keberhasilan dari pengajaran moral yang dianut oleh pesantren. Selama tingkat keberhasilan pengajaran moral didefinisikan dengan tindakan peserta didik yang baik disertai motif yang baik maka dapat dipastikan akan terjadi kesulitan dalam mengukur tingkatan moral tersebut, akan tetapi jika pesantren memang ingin mengukur tingkatan moral peserta didiknya, sebenarnya hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat ukur tahapan moral dari peserta didik atau individu. Alat ukur tersebut adalah Teori psikoanalisa, kognitif dan social learning. Ketiga alat ukur tersebut memiliki corak penekanan yang berbeda dalam mendefinisikan moral, Psikoanalisa misalnya menekankan tindakan moral terjadi berdasarkan dorongan-dorongan psikoseksual yang bersifat irrasional. Sigmund Freud telah dianggap sebagai orang pertama yang mampu menunjukkan secara sistematis dorongandorongan psikoseksual yang irrasional sebagai faktor utama yang menentukan terjadinya keputusan-keputusan moral (Cheepy,1986: 36). Akan tetapi masih akan terdapat kesulitan yang besar jika psikoanalisa ini dijadikan acuan untuk menganalisa tahapan moral seseorang dikarenakan teori psikoanalisa Freud dalam banyak hal menggunakan konstruk emosi dan motivasi yang dalam metode penelitiannya kurang terperinci dan penjabaran akan 3 tahapan moral (id,ego,super ego) cenderung sangat luas dan sangatlah sulit untuk didefinisikan secara khusus. Pendekatan kedua ialah pendekatan Reinforcement atau Social learning lebih menekankan kepada hal-hal lain diluar variable-variable yang terkait dalam perkembangan moral, pada umumnya mereka lebih tertarik untuk mengkaji aspek-aspek yang spesifik dari tingkah laku moral secara langsung, Para peneliti seperti Bandura dan

Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg

Walters atau Aron Freed telah mencoba menentukan tipe-tipe lingkungan yang bisa menyebabkan adanya perbedaan dalam perubahan tingkah laku (Cheepy, 1986: 26). Sehingga penekanan pendekatan social learning terletak pada lingkungan sosial dari individu sendiri, Akan tetapi jika pendekatan ini diterapkan dalam pesantren maka yang terjadi adalah hasil pengukuran moral seluruh peserta didik adalah baik, hal ini dikarenakan pesantren merupakan lingkungan yang baik dan berbasis moral, sehingga tidaklah tepat jika pendekatan social learning ini dijadikan alat ukur tahapan moral peserta didik di pesantren. Dan yang terakhir ialah pendekatan perkembangan moral melalui teori kognitif sebagaimana yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg. Berbeda dengan psikoanalisa dan social learning, pendekatan kognitif ini lebih menekankan pada aspek kognisi, sehingga mengesampingkan peran emosi dan lingkungan dalam perkembangan moral suatu individu, pendekatan kognitif ini sangat cocok diterapkan dilingkungan pesantren yang notabene sebagai lembaga pendidikan dikarenakan pendekatan kognitif memiliki format yang terperinci dalam penelitiannya dan tahapan moral yang dibuat oleh Kohlberg yang berjumlah 6 tahapan perkembangan moral sangatlah rinci dan khusus sehingga akan memudahkan bagi para tenaga pengajar di pesantren untuk memetakan tahapan atau tingkatan moral para peserta dididknya yang kemudian akan membuat pesantren tetap memiliki control terhadap moral peserta didiknya dan dapat juga dapat menjadi data awal tentang evaluasi tingkat keberhasilan pengajaran moral di pesantren. Teori Perkembangan Moral Kognitif Berawal dari Piaget (1932) adalah peneliti pertama yang mempublikasikan konsep perkembangan moral (moral development) dalam monografnya, The Moral Judgment of a Child. Dalam perkembangannya menurut Kohlberg (dalam id.wikipedia.org) teori perkembangan moral berubah atau berkembang menjadi teori perkembangan moral kognitif (cognitive moral development–CMD) modern yang dilahirkan oleh seorang peneliti berkebangsaan Amerika yang bernama Lawrence Kohlberg pada tahun1950an. Penemuan tersebut merupakan hasil dari turunan ide dan gagasan Piaget yang tentunya telah

79

mengalami perluasan dan perluasan tersebut mampu mencangkup remaja hingga orang dewasa. Dalam seluruh karyanya Kohlberg mengakui ketergantungannya kepada psikolog Swiss, Jean Piaget (1896-1980). Sepanjang karirnya sebagai Psikolog, Piaget mempelajari perkembangan pengetahuan manusia, yang disebutnya “Epistemologi Genetis” (Bertens,1993:84). Teori perkembangan moral berusaha untuk menjelaskan kerangka yang mendasari pengambilan keputusan individu dalam konteks dilema etika. Tujuan teori ini adalah memahami proses penalaran kognitif seorang individu dalam mengatasi dilema etika, bukan untuk menilai benar atau salah. Kohlberg bermaksud untuk menemukan secara empiris bagaimana orang-orang memperoleh moralitasnya dan diyakini cara terbaik melakukannya adalah dengan menguji bagaimana orang-orang mengatasi masalahnya. Metode Kohlberg adalah sebagai berikut, ia (bersama para pembantunya) mengemukakan sejumlah dilema moral khayalan kepada subjeksubjek penelitian. “Khayalan” dalam arti : kasuskasus itu tidaklah terjadi secara kongkret , tetapi pada prinsipnya bisa terjadi. Untuk dilema-dilema itu tidak tersedia pemecahan dalam lingkungan anak-anak itu, sehingga mereka harus mencari pemecahan sendiri. Jadi tidak mungkin mereka melaporkan saja apa yang mereka saksikan di sekitarnya, mereka harus menyampaikan keputusan moral mereka sendiri (Bertens, 1993:85). Oleh karena itu, Kohlberg memberikan cerita kepada orang-orang yang memiliki umur berbeda dan budaya yang menempatkan seseorang dalam posisi dan situasi tertentu dikonfrontasi dengan masalah moral standar tertentu. Kohlberg kemudian menanyai orang-orang ini bagaimana mereka akan mengatasi masalah ini dan memberikan alasan atas solusinya. Pertanyaan pertama menyangkut isi keputusan moral, sedangkan kedua menyangkut struktur dan bentuknya. Bisa saja bahwa dua subjek yang dihadapkan dengan suatu dilema moral mereka mungkin saja menjawab sama akan pertanyaan pertama, akan tetapi memiliki jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan ke dua (Bertens ,1993 :85). Temuannya yang paling mengejutkan adalah bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang disajikan, orang-orang menggunakan tiga pola, metode atau sistem yang jelas yang disebutnya sebagai struktur, tiap struktur dapat

80 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 dibagi ke dalam dua sub struktur yang berbeda dan ketiga (keenam) struktur ini dapat dikarakterisasi sebagai tiga tingkat (level) atau enam tahap (stages), yang dapat disamakan dengan tiga tingkat (enam tahap) perkembangan kedewasaan moral individu atau masyarakat. Terdapat tiga aspek yang membedakan pertimbangan etis dengan semua proses mental lainnya. Aspek-aspek tersebut adalah : (1) kognisi (cognition) berdasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang tidak nyata, (2) penilaian didasarkan atas beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang lain, dan (3) penilaian disusun sekitar isu “seharusnya” daripada berdasarkan kesukaan biasa atau urutan pilihan. Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral individu didasarkan pada penalaran moral dan perkembangannya secara bertahap. Kesimpulan tersebut Kohlberg dapatkan setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak diberi serangkaian cerita di mana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Berdasarkan penalaranpenalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons dilema moral, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang setiap tingkatnya ditandai oleh dua tahap, konsep kunci untuk memahami perkembangan moral. Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pasca konvensional. Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak berlangsung menurut enam tahap atau fase. Akan tetapi tidaklah setiap anak mengalami perkembangan yang cepat, sehingga tahap-tahapan ini tidak dengan pasti untuk dikaitkan dengan umur-umur tertentu, bisa jadi seorang anak akan mengalami fiksasi dalam suatu tahap dan tidak akan berkembang lagi (Bertens,1993: 85).

Dari hasil penelitian Kohlberg mengemukakan enam tahapan perkembangan moral yang berlangsung secara universal dan dalam urutan tertentu (Sunarto, 2008: 172), Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap). Tingkat Prakonvensional Dimana Pada tingkat yang pertama ini seorang individu akan sangat responsif terhadap norma-norma budaya ataupun simbol-simbol kebudayaan lainnya, seperti halnya yang berkaitan dengan baik, buruk, benar, salah dan lain sebagainya. Walupun demikian biasanya individu akan mempresentasikan norma-norma tersebut sesuai konsekuensi atau hasil akhir dari tindakannya hal ini dapat berupa hukuman dan berbagai balasan lainnya. Selain daripada itu pada tahap ini individu juga cenderung untuk menginterpretasikan norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari mereka yang menerapkan norma tersebut. Sehingga dapat dikatakan dalam kondisi ini berlaku prinsip “Might means right” ( Cheppy,1986:38) Dalam tingkat pra konvensional ini terdapat 2 tahapan, yaitu Orientasi hukuman kepatuhan dan Orientasi relativis instrumental. Tahap pertama Orientasi hukuman dan kepatuhan, yang pada umumnya pada tahap ini Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas, segala keputusan dari otoritas dipandang sebagai refleksi dari tertib moral. Sehingga kalimat yang paling pas untuk mencerminkan tindakan ini adalah “You do what you’re told” (Rest,1979:24). Tahap kedua adalah Orientasi relativis-instrumental. Dalam tahapan ini tindakan yang benar dibatasi sebagai tindakan yang mampu mempu memberikan berbagai macam kepuasan kepada diri sendiri (Cheppy,1986:38) sehingga tidaklah mengherankan jika tahapan ini juga biasa disebut Hedonistic Orientation. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang- kadang juga kebutuhan orang lain.

Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg

Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar dimana unsur-unsur terusterang dan rasa timbal balik memiliki kedudukan yang penting. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal “Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.Tahapan ini dapat dicerminkan melalui kalimat “Let’s make a deal” (Rest,1979 :26) atau orientasi pada tahapan ini dapat pula dimengerti dengan ungkapan “You Scratch my back and i’ll scratch yours” (Cheppy,1986:38). Tingkat Konvensional Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengahtengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan seseorang tanpa harus terikat dengan akibat-akibat yang mungkin muncul, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Sikap seseorang bukanlah satu-satunya yang harus disesuaikan dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku, akan tetapi hal yang sama dituntut pula dari loyalitas seseorang (Cheppy,1986:39) Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturanaturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Biasanya tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap yakni tahap Orientasi “Anak Manis” dan tahap Orientasi hukum dan ketertiban. Tahap pertama dalam tingkatan ialah Orientasi kesepakatan antara pribadi/ orientasi “Anak Manis” dimana perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama

81

kalinya menjadi penting. Dalam tingkatan ini yang dimaksud dengan tindakan ataupun prilaku bermoral adalah setiap prilaku ataupun tindakan yang dapat diterima dan diakui oleh orang lain (Cheppy,1986:40). Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”tergantung penilaian dari teman, keluarga dan masyarakat. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih haruslah digunakan. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikata-kan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.tahapan ini dapat tercermin dalam kalimat “Be conciderate, nice and kind, and you’ll get along with people” (Rest,1979:27). Tahap kedua ialah Orientasi hukum dan ketertiban dimana pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan demikian tingkah laku yang dianggap bermoral sebagian dibatasi sebagai tingkah laku yang dibatasi sebagai tingkahlaku yang diarahkan untuk pemenuhan kewajiban seseorang, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada (Cheepy,1986:40). Tahapan ini dapat tercermin dalam kalimat “Everyone in society is obligated and protected by the law” (Rest,1979:29) Tingkat Pasca-konvensional Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Biasanya tahap ini

82 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Pada tahap ini sudah ada sudah ada suatu usaha yang jelas bagi seorang anak untuk kemudian menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas dan diwujudkan tanpa harus dikaitkan dengan kelompok-kelompok yang disebutkan di atas (Cheppy,1986:40) Ada dua tahap pada tingkat ini yakni Orientasi kontrak sosial legalistis dan Orientasi prinsip etika universal. Tahap pertama yakni Orientasi kontrak sosial legalistis, Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Pada tahap kelima ini dalam skema Kohlberg boleh dikatakan sudah merupakan tingkataan moral yang tinggi (Cheppy,1986:41). Sehingga dengan kesadaran yang sedemikian tinggi individu mempertimbangkan aturan –aturan proseduril yang memungkinkan tercapainya konsesus. Selain itu terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Dalam tahap ini tercakup pula apa yang biasa disebut “Utilitarian” Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Tahap kelima dalam skema Kohlberg ini dapat tercermin dalam kalimat “You are obligated by whatever arrangement are agreed to by due procedd procedure” (Rest,1979: 32). Tahap kedua Orientasi prinsip etika universal dimana hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip- prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Dibanding aturan-aturan moral yang kongkrit, prinsip-prinsip ini dipandang lebih baik, lebih luas, dan lebih abstrak dan bisa pula mencangkup prinsip-prinsip umum tentang keadilan, resiproritas, persamaan hak-hak manusia dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai individu. (Cheppy,1986:42). Untuk sekedar contoh misalnya penerimaan orang terhadap aborsi bisa menunjukkan prinsip-prinsip hidup yang dianutnya

sekitar kesucian hidup manusia atau bahkan tentang hak-hak manusia sebagai individu untuk mengendalikan dirinya sendiri. Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995) tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.Pada tahap ke enam ini dapat tercermin dalam berbagai sifat yang menurut kalimat “How rational and impartial people would organize cooperation is moral” (Rest ,1979:35). Mengingat pentingnya perkembangan moral dan praktisnya teori moral kognitif Kohlberg, hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk mengadakan suatu analisa tentang tahapan perkembangan moral di pesantren, dengan harapan hasil dari penelitian ini kelak dapat berguna dan bermanfaat bagi para tenaga pengajar di pesantren. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) tahapan perkembangan moral santri mahasiswa di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang menurut Lawrence Kohlberg, dan (2) tahapan perkembangan moral santri mahasiswa di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. METODE Penelitian ini dilaksanakan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang yang beralamat di Jalan Cengger Ayam no 25. Penelitian mengenai tahapan perkembangan moral santri mahasiswa di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang menurut Lawrence Kohlberg ini menggunakan pendekatan pendekatan kuantitatif deskriptif. Pendekatan kuantitatif deskriptif digunakan untuk memperoleh profil tahapan perkembangan moral Santri Mahasisiwa, sedangkan untuk menganalisa datanya digunakan perhitungan-perhitungan secara analisis statistik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan tujuan besaran angka hasil perhitungan statistik yang telah dianalisis mampu memaparkan tingkat penalaran moral santri mahasiswa, perhitungan statistik yang digunakan adalah dengan cara menghitung skor tahapan tertinggi, yang kemudian menunjukkan penalaran santri mahasiswa. Metode pengumpulan data dalam penelitiaan ini secara umum menggunakan kuesioner yang kemudian dalam teknisnya menggunakan aturan kuesioner cerita dilema moral DIT melalui

Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg

kuesioner dan DIT (Defining Issue Test). Kuesioner adalah pertanyaan terstruktur yang diisi sendiri oleh responden atau diisi oleh pewawancara dalam bentuk tulisan. Pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner ini adalah pertanyaan yang menyangkut fakta dan pendapat responden, dan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner tertutup, dimana responden akan diminta menuliskan jawaban dengan memilih dari sejumlah alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah diselesaikan, mudah dianalisis, dan mudah memberikan jangkauan jawaban. DIT meupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur tahapan moral seseorang, Alat ukur yang digunakan dalam mengukur tahap moral seseorang dalam penelitian ini ialah alat ukur yang dibuat oleh James Rest (1979) yang disusun berdasarkan teori perkembangan Penalaran Moral dari Lawrence Kohlberg. Alat ukur ini sering disebut sebagai DIT (Defining Issue Test). Yang merupakan suatu tes objektif yang biasa digunakan untuk mengukur penalaran moral dan prinsip moral yang dimiliki saat itu. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data masing-masing variable diolah dengan tehnik statistik deskriptif, seperti distribusi frekuensi yang disertai dengan grafik berupa histogram, nilai rata-rata, simpangan baku atau yang lainnya. Temuan penelitian disajikan dalam bentuk angka-angka statistik, tabel, atau grafik. Hasil penelitian dapat dilihat dalam tabel 1 dan 1.1.

Moral Stage Development Meaningless 2,5% Stage 5a 10% Stage 3 22,5%

Stage 4 62,5%

Tabel 1 Moral stage development Pie diagram

83

Moral Stage Development 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%

Stage Moral Development

i n n n n m es io io io io or io pl at at at at at eg ci nt nt nt nt nt at in e e e e r i i i i e C i P or or or or s or al y er b) a) es t ic ic gl is rd (5 (5 Bo th in O on d ct ct E n d o d a a l e o tr tr a ea an H G rs M on on w ve lc lc La ni cia cia U o o S S

Tabel 1.1 Moral stage development column diagram Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Adapun deskripsi tahapan perkembangan moral santri mahasiswa kelas IV sebagai berikut, Pertama, tahapan perkembangan moral santri mahasiswa terbesar berada dalam tahapan empat yakni tahap Law and Order yakni sebesar 62,5%. Dimana dalam tahapan tersebut, tingkah laku yang dianggap bermoral yakni suatu tingkah laku yang ditujukan dan diarahkan kepada pelaksanaan lewajiban seseorang, penghormatan terhadap suatu otoritas dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada (Cheepy, 1986:40). Jika dikorelasikan dalam kehidupan santri mahasiswa di dalam berkehidupan baik di dalam lingkungan pesantren maupun di lingkungan perguruan tinggi, Maka santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini dalam berkehidupan akan selalu berfikir bahwa bermoral baik berarti menselaraskan tingkah lakunya dengan peraturanperaturan yang diwajibkan kepadanya , baik dalam lingkungan pesantren, perguruan tinggi maupun masyarakat. Cara berfikir moral seperti ini dapat diwujudkan dalam tingkah laku seperti menjunjung tinggi hukum atau aturan yang berlaku di lingkungan dimanapun ia berada dan selalu berusaha untuk tidak melanggar hukum atau aturan tersebut. Kedua, sebanyak 9 orang (22,2%) berada pada tahapan ke tiga yakni tahap Good Boy and Nice Girl. Dalam tahapan yang berada dalam level Conventional ini santri mahasiswa akan berfikiran bahwa tindakan yang bermoral adalah suatu tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan-tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain (Cheepy, 1986:40). Dalam tahapan ini santri mahasiswa akan melakukan tindakan

84 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 bermoral hanya jika tindakan tersebut dapat diterima oleh orang lain sehingga dengan demikian maka santri mahasiswa akan diterima pula oleh masyarakat atau orang lain. Dalam penerapannya di kehidupan sosial biasanya santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini akan selalu menyesuaikan pendiriannya dengan tindakantindakan yang sudah dinggap wajar oleh masyarakat. Pandangan masyarakat merupakan hal yang sangatlah penting bagi Santri mahasiswa dalam melakukan tindakan moral, sehingga bisa dibilang tindakan moral yang dilakukan santri mahasiswa haruslah bertujuan untuk mendapatkan penilaian baik dari masyarakat. Ketiga, tahapan terbanyak selanjutnya ialah tahapan ke lima, yaitu sebanyak 5 orang (12,5%). Tahapan ini biasa disebut dengan tahapan Social Contract. Dalam DIT, James Rest membagi tahap Social Contract menjadi 2, Yakni tahap Social Contract A dan Social Contract B. Dalam Tahap Social Contract A santri mahasiswa meyakini bahwa mereka mematuhi peraturan bukanlah dikarenakan ingin mendapat penilaian baik dari masyarakat ataupun karena peraturan tersebut sebuah kewajiban yang harus dijalankan, Akan tetapi santri mahasiswa melihat peraturan harus ditaati semata-mata dikarenakan merupakan hasil dari kehendak dan komitmen dari masyarakat untuk tetap menjaga keharmonisan dalam hidup bersama Jadi dalam tahapan ini santri mahasiswa melakukan suatu tindakan moral berdasarkan suatu cara berfikir bahwa kewajiban moral menjadi suatu keharusan jika hal tersebut merupakan kesepakatan kesepakatan dari masyarakat secara umum. Jadi dapat dikatakan Konsesus memegang peran penting dalam tahapan ini. Keempat, tahap selanjutnya yakni tahap Meaningless, Dimana tahapan ini memiliki besaran 2,5% . James Rest memasukkan tahap Meaningless ini untuk mengukur tingkat kekonsistenan jawaban dalam angket Dilema Moral DIT. Dari 40 orang santri mahasiswa kelas IV dapat diketahui bahwa ada satu orang yang memiliki tingkat ketidak konsistenan jawaban yang tinggi, sehingga untuk tahapan perkembangan moral santri mahasiswa tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam tahapan manapun. Analisis Tahapan perkembangan moral santri mahasiswa Dari keempat point hasil deskripsi tahapan perkembangan moral santri mahasiswa, dapatlah dianalisa sebagai berikut.

Pertama, melihat mayoritas santri mahasiswa berada dalam tahapan Law and Oder, maka dapat sekiranya dihubungkan dengan masifnya pengajaran ilmu Fikih dalam pendidikan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, pengajaran Fikih di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang sudah dimulai saat Santri mahasiswa berada dalam kelas 1, hal ini terus berlanjut hingga kelas ke empat, Adapun materi pengajaran fikih sangatlah beragam, hal ini tergantung pula dari sumber referensi yang dipakai dalam pengajarannya. Tahapan ke empat merupakan suatu tahapan yang berada dalam kategori konvensional, Pada tahapan ini cara berfikir yang menjunjung tinggi terhadap hukum atau aturan mutlak diperlukan, santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini menafsirkan bahwa hukum atau aturan merupakan syarat utama agar mampu terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Bagi santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini, kebenaran dipandang sebagai aturan (rules), yang memiliki sifat mengikat dan mampu menyelesaikan harapan dari masyarakat luas (Rest,1979: 29). Tidak ada suatu pertimbangan atau keadaan apapun yang dapat memaksa seseorang untuk melampaui hukum atau aturan (Rest,1979: 30), Hukum atau aturan merupakan sesuatu yang lebih dahulu ada sebelum yang lainnya ada, termasuk nilai. Sehingga nilai haruslah berada di bawah aturan sosial atau hukum atau aturan, dan menurut tahapan ini, aturanlah yang membuat sistem di dalam masyarakat. Santri mahasiswa pada tahapan ini akan berfikir untuk selalu menjunjung tinggi peraturan pesantren atau perguruan tinggi dan berusaha mentaatinya tanpa mempertanyakan akan aturan tersebut. Setiap nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam institusi pendidikan yang ia tempati, bisa dijalankan dengan cara menjalani aturan yang sudah ada, dikarenakan nilai memang seharusnya ada di bawah aturan. Penghormatan terhadap pihak-pihak yang berwenang (Rest,1979: 31) juga merupakan ciri-ciri dari tahapan ini, santri mahasiswa dalam tahap ini memandang bahwa penghormatan terhadap pihak yang berwenang merupakan bagian dari kewajiban terhadap masyarakat. Pihak yang berwenang dalam hal ini diartikan sebagai pihak yang memiliki suatu posisi di masyarakat dan posisi tersebut didapatkan dari hasil pengabdiaanya terhadap masyarakat untuk mewujudkan tujuan dari suatu lembaga ataupun kelompok masyarakat. Penghormatan terhadap orang yang melaksanakan tugas kemasyarakatan

Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg

ini harus dilakukan oleh siapapun tanpa peduli terhadap orang secara khusus, akan tetapi perlu perduli terhadap hak prerogatif, tugas khusus dan penghargaan terhadap kepantasan dia dalam tugas-tugasnya dalam masyarakat. Santri mahasiswa dalam tahapan ini akan selalu menghormati otoritas yang berwenang, dikarenakan dengan menghormati otoritas maka hal tersebut berarti juga menghormati aturan ataupun hukum atau aturan di masyarakat, sehingga sebagai kesimpulan secara umum, dalam tahap Law and Order merupakan bagaimana cara seseorang untuk menstabilkan sistem aturan yang sudah dan bekerja sama dengan masyarakat secara luas. Kedua, tahap selanjutnya dalam perkembangan moral Santri mahasiswa yakni tahap Good Boy and Nice Girl, Dalam tahapan ini santri mahasiswa akan berfikir bahwa pada dasarnya segala tindakan itu baik asalkan sesuai dengan keinginan orang-orang terdekatnya, orangorang terdekat yang dapat berupa keluarga ataupun sahabat dan teman dekat memegang peran sangat penting sebagai penentu prilaku moral, baik dan benar suatu tindakan merupakan hasil dari penilaian keluarga, sahabat dan teman, terlepas dari penilaian tersebut sesuai atau pun tidak sesuai dengan prinsip moral. Penilaian ataupun persetujuan orang-orang terdekat sedemikian penting sehingga rata-rata santri mahasiswa mendasari tindakan moralnya guna mendapatkan persetujuan dari orang-orang terdekatnya. Hubungan dengan orang lain merupakan tujuan tertinggi dalam tahapan ini dan inti dari hubungan ini yakni suatu hubungan yang memiliki sifat timbal balik dalam hal pemahaman, bukan hubungan win-win solution yang hanya mengandalkan kesenangan semata, akan tetapi hubungan ini lebih kepada sikap penghormatan, kerjasama dan kepahaman. Persahabatan dengan orang lain juga merupakan prioritas dalam tujuannya, sehingga tindakan moral seringkali diartikan sebagai bentuk tindakan yang dapat mempererat atau menjaga hubungan persahabatannya dengan orang lain. Secara umum konsep tahapan Good Boy and Nice Girl merupakan suatu tahapan yang sangat mempertimbangkan kesetabilan sistem personal relationship and friendship (Rest,1973:29). Santri mahasiswa akan sangat mempertimbangkan perasaan, kebutuhan dan harapan dari orang lain, sehingga dalam

85

pandangan mereka orang yang mengalami pengasingan ataupun kesulitan dalam melakukan hubungan persahabatan dan relasi personal maka ia merupakan orang yang gagal dalam melakukan tindakan moral Ketiga, tahapan selanjutnya yang memiliki besaran sekitar 12,5% yakni tahapan Social Contract 5a, Tahap Social Contract 5a memiliki perbedaan dengan tahapan Social Contract 5b dimana dalam Social Contract 5a memiliki karakteristik tentang pelaksanaan kewajiban moral yang berasal dari kerelaan masyarakat untuk bekerjasama. Hukum atau aturan disini dibentuk oleh masyarakat berdasarkan suatu alasan yakni agar setiap anggota masyarakat mampu untuk tetap hidup berdampingan dengan yang lain, oleh karena itu perlunya hukum atau aturan dijalankan. Sedangkan pada karakteristik Social Contract 5b, adalah suatu proses logika kritis terhadap seleksi hukum atau aturan, dengan kata lain hukum atau aturan tidaklah harus diterima secara utuh tanpa kritik atau pembenahan, akan tetapi hukum atau aturan tetap perlu pembenahan jika hukum atau aturan tersebut tidak sesuai dengan tujuan masyarakat secara luas. Dua karakteristik dari tahap 5a dan 5b adalah suatu adaptasi atau perkembangan dari teori Social Contract Kohlberg dan dua tahap ini hanyalah merupakan spesifikasi terhadap tahapan 5 yakni Social Contract. Jika harus ditempatkan dalam tahapan Kohlberg, maka santri mahasiswa yang berada dalam tahap 5a merupakan santri mahasiswa yang berada dalam tahapan 5 yakni Social Contract. Akan mulai melihat bahwa tindakan moral berupa konsensus dan tentunya juga merupakan kebaikan bagi masyarakat luas, didalam tahap ini santri mahasiswa mulai memahami mayoritas sebagai suatu kakuatan penting untuk mencetak dan memproduksi hukum atau aturan. Oleh karena itu hukum atau aturan haruslah dibuat oleh masyarakat guna menjaga keharmonisan kehidupan dalam masyarakat dan juga hukum atau aturan haruslah diseleksi dan dicari yang paling bisa mewakili kehendak masyarakat dan meminimalisir kerusakan dalam masyarakat. Ciri terakhir dari santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini ialah memandang bahwa hak dasar manusia sebagai suatu syarat pengandaian sebelum adanya kewajiban sosial (Rest,1979:34). Hak dasar manusia haruslah dilindungi dan dibebaskan terlebih dahulu sebelum individu bisa melakukan perannya dalam

86 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 menjalankan kewajiban-kewajiban sosial di masyarakat, hanya masyarakat yang telah dilindungi hak dasarnya yang dapat menjalankan perannya dalam upaya menyeleksi hukum atau aturan dan membuat hukum atau aturan. Keempat, tahap selanjutnya yakni tahap Meaningless, Dimana tahapan ini memiliki besaran 2,5% . James Rest memasukkan tahap Meaningless ini untuk mengukur tingkat kekonsistenan jawaban dalam angket Dilema Moral DIT. Meaningless bukanlah suatu tahap, akan tetapi hanyalah sebuah tes akan kekonsistenan jawaban bagi para partisipan penelitian, dalam penelitian ini terdapat satu santri mahasiswa yang memiliki jawaban yang tidak mencerminkan tahapan manapun, sehingga dalam penentuan tahapannya tidak mampu didefinisikan.

SIMPULAN Berdasarkan fokus penelitian, paparan data, temuan penelitian, dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:(1) tahapan perkembangan moral Santri Mahasiswa terbesar berada dalam tahapan empat yakni tahap Law and Order yakni sebesar 62,5%, (2) tahapan terbanyak kedua sebesar 22,2% adalah tahapan ke tiga Good Boy and Nice Girl. (3) Tahapan terbanyak berikutnya ialah tahapan ke lima atau Social Contract dengan prosentase sebesar 12,5%, (4) Tahap Terakhir ialah kelompok Meaningless sebesar 2,5 %, suatu kategori yang bukan merupakan tahapan dari Kohlberg, akan tetapi tahapan ini merupakan tahapan untuk cek ketidak konsistenan jawaban dari angket DIT Jamest Rest.

DAFTAR RUJUKAN Al-Hikam. 2004. Visi Misi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Malang: Al-Hikam. Arikunto, Suharsimi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta:Penerbit PT. Rineka Cipta.  Asina, Christina Rosito Pasaribu. 2012.Hubungan AntaraReligiusitasDengan Penalaran Moral Pada Remaja Akhir. Skripsi diterbitkan. Bandung: Universitas Padjadjaran. Dari akademik.nommensenid.org, (online), (http//akademik.nommensen-id.org), diakses pada tanggal 15 juli 2013. Bertens.1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cheepy, Hari Cahyono. 1986. Tahap- Tahap Perkembangan Moral. Malang: Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Malang. Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta. Dewi,Chayati Tresna. 2012.Program Bimbingan Pribadi Sosial Meningkatkan Penalaran Moral Siswa. Skripsi diterbitkan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia. Dari Repository Universitas Pendidikan Indonesia, (online), (http://a-research. upi.edu/skripsiview.php?start=2459.), diakses pada tanggal 15 juli 2013. Dwiyanti, Retno. 2013. Peran Orang Tua Dalam Perkembangan Moral Anak. Skripsi diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah surakarta. Dari publikasi-

ilmiah.ums.ac.id, (online), (http:// www.publikasiilmiah.ums.ac.id), diakses pada tanggal 15 juli 2013. Fatah, Rohadi Abdul. 2005. Rekonstruksi Pesantren Masa Depan. Jakarta: Pt. Listafariska Putra. Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik, Jilid 2. Penerbit ANDI, Yogyakarta Haribi. Kementerian Pendidikan Nasional UM. 2010. PPKI Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Malang: UM. Kusani, Afin. 2006. Demokratisasi Pendidikan Islam. Skripsi diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang. Dari lib.uinmalng.ac.id (Online),(http//lib.uinmalang.ac.id/files/thesis/fullchapter/ 97110468.pdf), diakses pada tanggal15 juli 2014 Poespoprodjo.1988. Filsafat Moral. Bandung: Remadja Karya. Rest, James.R. 1979. Development in Judging Moral Issues. Minnesotta: University Of Minnesotta Press. Rest, James.R. 1998. DIT-2 (Defining Issues Test). Minnesota: University Of Minnesotta Shodiq. 2011. Pesantren dan Perubahan Sosial. Jurnal Falasifah. Sudijono, Anas. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg

Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Sunarto, dan A. Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. Wiyono, Bambang Budi. 2008. Metodologi Penelitian. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

87

Kementrian Agama. (online), (http://www. Kemenag.co.id). Pesantren di Indonesia. diakses pada tanggal 21 maret 2014. Ali, M dan M. Ansori. 2008. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik Jakarta: PT Bumi Aksara. Dari Googlebooks, (online), (http://www.books.google.co.id), diakses pada tanggal 15 juli 2013.