Gambaran Rumah Potong Hewan ..................... (Intan Tolistiawaty, et. al)
Gambaran Rumah Potong Hewan/Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah Discription of Slaughterhouse in Sigi District, Central Sulawesi Intan Tolistiawaty*, Junus Widjaja, Rina Isnawati, Leonardo Taruk Lobo Balai Litbang P2B2 Donggala, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Jl. Masitudju No.58 Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia
INFO ARTIKEL
ABSTRACT/ABSTRAK
Article History: Received: 8 Oct. 2015 Revised: 18 Dec. 2015 Accepted: 21 Dec. 2015
Slaughterhouse is a public service unit that works to supply safe, healthy, whole and halal meat, also for monitoring and surveilance animal disease and zoonosis. The condition of a slaughterhouse is very affecting in the supply of healthy meat for people. This study aimed to find out the eligible condition of slaughter house at Sigi District. The research included analytical survey with cross sectional design, which done by observation and interview. The research was conducted at Biromaru slaughter house and three pig slaughter house at Jono Oge Village from April to November 2014. The results of the study showed that the condition of slaughter house at Sigi does not meet the standards set by the government, so it is necessary to do some improvement including the management, advice, and the infrastructure.
Keywords: slaughterhouse, meat, worthiness Kata kunci: Rumah Potong Hewan, Tempat Potong Hewan, daging, kelayakan
Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH), tempat pemantauan dan survailans penyakit hewan serta zoonosis. Kondisi RPH yang baik sangat mendukung dalam penyediaan kebutuhan daging yang sehat bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kelayakan RPH atau Tempat Pemotongan Hewan (TPH) di Kabupaten Sigi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi di RPH Biromaru dan tiga TPH Babi yang ada di Desa Jono Oge dari bulan April– November 2014 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi RPH/TPH di Kabupaten Sigi tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga disarankan perlu adanya perbaikan infrastruktur meliputi manajemen, saran, dan prasarana yang ada. © 2015 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved
*Alamat Korespondensi : email :
[email protected]
PENDAHULUAN Pangan asal hewan perlu diawasi untuk menjamin masyarakat agar memperoleh daging yang layak untuk dikonsumsi. Daging merupakan bahan pangan yang memiliki potensi bahaya biologi, fisik, dan kimia yang dapat terjadi selama proses penyediaannya dari pemotongan hingga tersaji di meja makan. Untuk menanggulangi hal tersebut maka diperlukan perhatian khusus dalam penerapan kebersihan dan sanitasi selama proses penanganan hewan. Tahapan yang penting dalam penyediaan bahan pangan asal hewan terutama daging yang berkualitas dan aman adalah tahap di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). RPH adalah suatu kompleks
bangunan yang mempunyai disain dan kontruksi khusus yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan. Ketentuan mengenai RPH diatur dalam SK Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986 dan ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang rumah pemotongan hewan. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal, sebagai tempat pemotongan hewan yang benar, sebagai tempat pemantauan dan survailans penyakit 1 hewan serta zoonosis. Penanganan yang baik pada hewan diharapkan akan menghasilkan produk daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal 45
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 2, 2015 : 45–52
(ASUH). Aman dimaksudkan agar daging yang dikonsumsi bebas dari bibit penyakit, Sehat dimaksudkan daging mempunyai zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan, Utuh adalah daging tidak dicampurkan dengan bagian lain dari hewan tersebut atau hewan lain, dan Halal adalah hewan dipotong sesuai dengan syariat agama Islam.2 Jaminan atas produk yang dihasilkan dapat dilakukan mulai dari penerapan praktek beternak yang baik (Good Farming Practice), praktek penanganan pascapanen yang baik (Good Handling Practice) meliputi kebersihan peralatan atau mesin yang digunakan untuk penanganan, dan penerapan Good Manufacuring Practice (GMP) atau Good Slaughtering Practice (GSP) pada tahap pengolahan sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat untuk dikonsumsi. Selain itu dapat juga menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HCCP) yang sudah diakui dan diterapkan secara internasional.3 RPH yang baik harus berada jauh dari pemukiman penduduk dan memiliki saluran pembuangan serta pengelolaan limbah yang sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). RPH bisa menjadi sumber kontaminasi penyakit karena kemungkinan ternak yang dibawa untuk dipotong berasal dari suatu daerah yang sedang ada dalam keadaan infeksi subklinis suatu penyakit. Kegiatan yang dilakukan di RPH meliputi pemeriksaan sebelum pemotongan (antemortem) dan sesudah pemotongan (postmortem). Pemeriksaan antemortem dilakukan untuk mengidentifikasi dan mencegah penyembelihan ternak yang terserang penyakit terutama yang dapat menular pada manusia yang mengkonsumsinya. Pemeriksaan postmortem dilakukan untuk m e m a s t i ka n ke l aya ka n d a g i n g ya n g dihasilkan aman dan layak diedarkan untuk dikonsumsi masyarakat. Pemeriksaan postmortem juga dilakukan melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan daging atau karkas yang tidak sehat dan melindungi konsumen 4 dari pemalsuan daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kelayakan RPH/TPH di Kabupaten Sigi sehingga daging yang beredar 46
di masyarakat sehat untuk dikonsumsi dan bebas dari mikroba. METODE Disain penelitian adalah potong lintang dan dilakukan dari bulan April–November 2015 di RPH Biromaru dan tiga TPH babi yang ada di Desa Jono Oge. Untuk sampel wawancara dilakukan pada pekerja yang bersentuhan langsung dengan hewan atau karkas yang ada di RPH/TPH. Bahan yang digunakan adalah form kuisioner, form observasi lingkungan RPH, dan pensil. Kegiatan yang dilakukan yaitu: 1. Wawancara dilakukan pada responden yang bekerja di TPH terutama pada responden yang menangani karkas baik sebelum ataupun sesudah dipotong. 2. Observasi dilakukan untuk melihat lingkungan sekitar tempat pemotongan dan bagaimana tata cara penanganan karkas di RPH/TPH.
HASIL Pada hasil wawancara mengenai pengetahuan responden mengenai RPH atau TPH (Tabel 1) didapatkan 6,7 % responden pernah mendapatkan penyuluhan atau pelatihan mengenai rumah potong. Sebanyak 96,7 % responden mengatakan adanya kunjungan dokter hewan atau petugas poskeswan di RPH atau TPH. Penggunaan sabun untuk cuci tangan setelah atau sebelum menangani hewan dan karkas sebesar 70 % responden mengatakan tidak pernah melakukannya. Pada Tabel 2 terlihat hasil observasi pada RPH/TPH, variabel ketersediaan tempat penampungan hewan sebanyak 75 % baik dan sesuai dengan fungsi sedangkan 25 % tidak baik. Variabel tempat penyembelihan 100 % tidak baik, begitu pula dengan variable penampungan pembuangan darah, penggunaan alat pelindung diri, pengerjaan karkas, pengeluaran jeroan, dan pengemasan daging jeroan. Sumber air dan ketersediaan air untuk cucitangan pada RPH/TPH 100 % baik. Pada Gambar 1 dan 2 juga terlihat bagaimana kondisi dan situasi RPH sapi yang ada di Biromaru dan TPH Babi yang ada di
Gambaran Rumah Potong Hewan ..................... (Intan Tolistiawaty, et. al)
Desa Jono Oge yang masih belum sesuai standar yang ada. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang RPH/TPH di Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2014 No 1
2
3
Variabel
Status Responden n
%
- Ya
2
6,7
- Tidak
28
93,3
- Ya
29
96,7
- Tidak
1
3,3
- Ya
9
30
- Tidak
21
70
Penyuluhan dan Pelatihan
Kunjungan Petugas Keswan
Cuci tangan dengan sabun
Gambar 1. Situasi RPH Biromaru Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2014
Gambar 2. Kondisi Pemotongan di TPH Babi Desa Jonooge Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2014
47
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 2, 2015 : 45–52
Tabel 2. Hasil Observasi Terhadap RPH Sapi dan TPH Babi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah Tahun 2014 No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tempat Penampungan Hewan - Tidak Baik - Baik Tempat Penyembelihan - Tidak Baik - Baik Penampungan Pembuangan Darah - Tidak Baik - Baik Penggunaan Alat Pelindung Diri - Tidak Baik - Baik Pengerjaan Karkas - Tidak Baik - Baik Pengeluaran Jeroan - Tidak Baik - Baik Pengemasan Daging dan Jeroan - Tidak Baik - Baik Sumber Air - Tidak Baik - Baik Ketersedian air untuk cuci tangan - Tidak Baik - Baik
PEMBAHASAN Hasil observasi pada RPH/TPH menunjukkan tempat penyembelihan, penampungan darah, penggunaan alat pelindung diri, pengerjaan karkas, pengeluaran jeroan, dan pengemasan daging dan jeroan dalam kondisi yang tidak baik atau tidak sesuai dengan persyaratan yang ada. Hal tesebut dapat menyebabkan tingginya angka kejadian penyakit parasit usus pada hewan ternak. Penyuluhan dan pelatihan yang kurang diberikan kepada para pekerja membuat mereka tidak memahami tugas yang akan dilakukan di RPH dan bekerja berdasarkan pengetahuan mereka saja. Selain itu akibat tidak adanya penyuluhan, para pekerja tidak mengetahui standar yang harus dikerjakan agar mendapatkan produk karkas yang ASUH. Petugas kesehatan hewan
48
Status RPH/TPH n %
Variabel
1 3
25 75
4 0
100 0
4 0
100 0
4 0
100 0
4 0
100 0
4 0
100 0
4 0
100 0
0 4
0 100
0 4
0 100
terutama dokter hewan sangat diperlukan di RPH. Dokter Hewan atau tenaga paramedis sangat diperlukan untuk memeriksa hewan sebelum atau sesudah dilakukan penyembelihan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hewan yang disembelih dalam keadaan sehat dan layak. Begitu pula dengan produk karkas yang dihasilkan seharusnya harus diperiksa dan dinyatakan sehat oleh petugas kesehatan di RPH sebelum 5 dipasarkan. Pada penelitian ini terlihat adanya kunjungan dari dokter hewan ataupun petugas kesehatan hewan tetapi kinerjanya kurang. Karena berdasarkan observasi di RPH tidak dilakukan pemeriksaan hewan baik sebelum atau sesudah pemotongan. Hewan yang akan dipotong langsung diturunkan dari mobil pengangkut untuk disembelih dan
Gambaran Rumah Potong Hewan ..................... (Intan Tolistiawaty, et. al)
ketika sudah berupa karkas langsung dibawa ke pasar untuk dijual, bahkan didapatkan adanya pemotongan sapi betina bunting. Padahal dokter hewan atau petugas kesehatan hewan di RPH bertugas untuk melakukan pemeriksaan pada hewan sebelum dilakukan penyembelihan (antemortem) dan pada daging dan karkas yang akan dijual ke pasar ( p o s t m o r te m ) s e h i n g ga a m a n u n t u k dikonsumsi oleh masyarakat. Pemotongan sapi betina bunting tidak dibenarkan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2009, akan tetapi di beberapa RPH di Jawa dan Nusa Tenggara terlihat adanya pemotongan sapi betina produktif. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pasokan sapi lokal jantan dan lemahnya pengawasan dan pengendalian 6 terhadap pemotongan sapi betina produktif. Menurut tenaga kesehatan hewan di RPH Biromaru, pelaksanaan pengawasan memang tidak berjalan, karena kurangnya anggaran untuk biaya pengganti sapi sehingga bila ditemukan adanya penyembelihan sapi betina bunting dibiarkan saja. Kinerja petugas kesehatan di RPH masih kurang karena rendahnya pemahaman akan tugasnya ataupun karena keterbatasan sarana yang dimiliki. Di RPH Biromaru, petugas kesehatan tidak dapat bertindak ketika mendapati peternak memotong sapi betina bunting atau malah membiarkannya karena dinas tidak mempunyai anggaran untuk biaya pengganti sapi tersebut . Dalam hal pemotongan pun tidak ada pemeriksaan kesehatan pada sapi yang akan dipotong karena sapi yang datang ke RPH langsung dibawa untuk dipotong, padahal menurut pengamatan, sapi tersebut sakit (pincang) yang semestinya ditunda untuk dipotong. Pe m o to n g a n d i T P H b a b i , t i d a k didampingi oleh dokter hewan ataupun petugas kesehatan hewan. Hal ini terjadi karena pemotongan dilakukan secara mandiri oleh masyarakat sehingga dokter hewan kesulitan untuk mengawasi. RPH khusus untuk pemotongan babi sudah dibuatkan disekitar peternakan babi yang ada di Desa Jono Oge untuk memudahkan pengawasan dari dinas pertanian dan peternakan akan tetapi tidak digunakan. Alasan para peternak belum menggunakan karena prasarana yang disediakan masih belum memadai sehingga
peternak lebih memilih untuk memotong di tempatnya sendiri dan juga mengenai nominal re t r i b u s i u n t u k p e m o t o n g a n b e l u m menghasilkan kata sepakat antara pemerintah dan peternak . Observasi di sekitar RPH/TPH menunjukkan bahwa hampir semua tempat tidak memenuhi syarat sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang rumah pemotongan hewan. Produk karkas yang sehat bisa diperoleh jika RPH tersebut menerapkan praktek kebersihan dan sanitasi yang baik meliputi kebersihan personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan, dan distribusi serta ditambahkan kehalalan dan kesejahteraan hewan. Bangunan RPH sapi yang ada merupakan gedung tua dan fasilitas yang ada juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut Buku Statistik Peternakan tahun 2003 terdapat 777 RPH sapi/kerbau yang merupakan warisan zaman Belanda sehingga tidak memenuhi syarat baik lingkungan, higiene, dan sanitasi. Terlihat gedung banyak kerusakan, lantai yang berlubang-lubang, dinding yang kotor, tidak ada tempat penggantung hewan, dan proses penyembelihan yang dilakukan secara tradisional. Secara umum hal tersebut tidak memenuhi syarat higiene daging sehingga ada kecenderungan untuk terkontaminasi 7 mikroorganisme. Letak RPH/TPH juga dekat dengan pemukiman penduduk atau berada dalam pemukiman penduduk. Hal ini tidak sesuai dengan persyaratan RPH yang harus jauh dari pemukiman penduduk agar tidak menimbulkan ancaman biologis bagi masyarakat. RPH/TPH bisa menjadi sumber kontaminasi mikroorganisme patogen ternak yang berasal dari suatu daerah endemis penyakit atau dalam keadaan infeksi sub klinis sehingga kemungkinan akan terjadi 8 penularan. Hewan yang akan dipotong sebaiknya ditempatkan terlebih dahulu di tempat penampungan hewan selama kurang lebih 12 jam. Hal ini dimaksudkan agar hewan bisa diistirahatkan dan tidak stres. Pengistirahatan ini penting karena ternak yang habis bekerja jika langsung disembelih tanpa 49
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 2, 2015 : 45–52
pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap, keras, dan kering (dark cutting meat) serta dapat menurunkan keawetannya. Pengistirahatan ini berguna untuk menentukan rekomendasi penilaian kelayakan ternak untuk disembelih, 5 disembelih bersyarat atau tidak disembelih. Pada RPH Sapi Biromaru, sapi yang akan dipotong tidak ditempatkan di kandang penampungan melainkan langsung digiring untuk dipotong. Adapun kandang penampungan digunakan hanya untuk tempat sementara sapi yang antri untuk dipotong. Pada TPH babi sedikit lebih baik karena babibabi yang dipotong berasal dari peternakan sendiri yang dikandangkan. Dari kedua RPH sapi dan TPH babi tidak terlihat adanya pemeriksaan antemortem pada hewan sebelum dipotong. Kondisi TPH babi yang tidak memiliki kandang isolasi dan juga surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter hewan membuat produk hasil yang dikeluarkan dari TPH tidak terjamin keamanannya.9 Penyembelihan di RPH terdapat empat titik kendali kritis yaitu pelepasan kulit, pengeluaran jeroan, pemisahan tulang dan pendinginan. Titik-titik ini harus dapat dikendalikan agar pencemaran mikroba pada daging dapat ditekan sehingga daging yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Selama proses penyembelihan di RPH disarankan para pekerja menggunakan dua pisau dengan cara bergantian. Salah satu pisau direndam o dalam air panas >82 C untuk menghindari pencemaran silang. Hal ini juga telah diatur dalam SK Menteri Pertanian No. 413 tahun 1992 tentang pemotongan hewan dan pengamanan daging serta hasil ikutannya. Ruangan tempat penyembelihan harus mempunyai penerangan yang cukup, lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, mudah dibersihkan dan disucihamakan dan landai ke arah saluran pembuangan. Permukaan lantai harus rata, tidak ada celah atau lubang. Untuk penyembelihan dibagi menjadi dua bagian yakni pertama, daerah kotor untuk tempat pemingsanan, pemotongan, dan tempat pengeluaran darah. Kedua, daerah bersih untuk tempat penimbangan karkas dan tempat keluar karkas.10 Pada RPH/TPH di 50
Kabupaten Sigi, masing-masing karyawan menggunakan satu pisau, tanpa melakukan penggantian dan perendaman dalam air panas > 820 C. Pembagian daerah kotor dan daerah bersih pun tidak ada. Penyembelihan hingga pembagian karkas dilakukan pada satu tempat. Terlihat juga lantai RPH Biromaru yang sudah berlubang dan tidak kedap air. Untuk TPH babi, sedikit lebih baik karena lantai TPH rata dan tidak berlubang, tetapi tidak ditemukan adanya pembagian daerah bersih dan kotor.11 Pembuangan limbah berupa darah dan isi rumen dari hewan yang dipotong di RPH sapi atau di TPH babi, kebanyakan langsung ke saluran air yang mengalir ke sawah atau sungai. Hal tersebut tidak sesuai dengan SNI 1999, dimana ada kecenderungan untuk menularkan mikroorgansime yang berbahaya bagi manusia sangat tinggi. Seharusnya pembuangan limbah didesain agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dirawat, dijaga agar tidak menjadi sarang tikus. Pembuangan limbah yang ada di RPH/TPH juga tidak sesuai dengan prosedur yang menyatakan RPH/TPH harus mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju sungai atau selokan sehingga limbah cairan yang keluar 12 dari RPH/TPH aman bagi lingkungan. Dari keempat TPH/RPH yang ada hanya satu TPH babi yang mempunyai bak pengendap untuk limbahnya sebelum dialirkan ke sungai. TPH babi yang lain, langsung membuang limbah ke saluran air yang menuju ke sungai begitu pula dengan RPH sapi. Akan tetapi pada RPH sapi, limbah rumen disimpan terlebih dahulu di ruangan tersendiri, pembuangan limbah tersebut akan dilakukan seminggu sekali. Salah satu syarat teknis RPH/TPH adalah kecukupan ketersediaan air dimana dibutuhkan 200 galon per hari per ekor sapi dewasa. Air yang digunakan adalah air yang dapat diminum (potable) dan memenuhi standar baku internasional untuk air minum (air berkaporit, tidak mengandung bakteri coliform atau E. coli dalam 100 ml). Pada kedua tempat RPH/TPH hal ini sudah terpenuhi karena terlihat cukupnya air yang digunakan pada saat pemotongan hewan. Untuk sarana mencuci tangan tidak terpenuhi,
Gambaran Rumah Potong Hewan ..................... (Intan Tolistiawaty, et. al)
karena pada kedua tempat tidak ditemukan walaupun hanya sederhana misalnya disediakan sabun pencuci tangan disamping kran air. Menurut SNI 1999, sarana untuk mencuci tangan harus ada dan didisain sedemikian rupa agar tangan tidak menyentuh kran air setelah selesai mencuci tangan, dilengkapi dengan sabun dan pengering tangan seperti lap yang senantiasa diganti, kertas tissue atau pengering mekanik. Jika menggunakan kertas tisu, maka disediakan pula tempat sampah tertutup yang dioperasikan dengan menggunakan kaki. KESIMPULAN RPH/TPH yang ada di Kabupaten Sigi baik milik pemerintah maupun perseorangan belum memenuh syarat dan layak sesuai dengan SNI 01-6159-1999. SARAN Perlu adanya perbaikan infrastruktur meliputi manajemen, sarana dan prasarana yang ada di RPH/TPH sesuai syarat yang berlaku. Perlu adanya penyuluhan bagi karyawan yang bekerja di RPH/TPH mengenai alur kerja dan pembagian tugas kerja. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sigi dan Kepala UPTRPH Kabupaten Sigi serta temanteman dari Balai Llitbang P2B2 Donggala yang membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1.
Tawaf R, Peternakan F, Padjadjaran U. Kelayakan Fisik dan Teknis Prosedure Pemotongan di RPH Pemerintah Jawa Barat Abstract Physical and Technical Feasibility
Procedure slaughter at the Government Abattoir in West Java. In: Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke 5 Fapet Unpad.; 2013. 2. Zulfanita, Arifin H, Priyono. Keamanan Dan Pengamanan Pangan Produk Daging Sapi Bermutu Dan Halal Di Indonesia. SURYA AGRITAMA-Fakultas Pertan. 2013;2:63–75. 3. Gustiani E. Pengendalian Cemaran Mikroba pada Bahan Pangan Asal Ternak (Daging dan Susu) Mulai dari Peternakan Sampai Dihidangkan. J Litbang Pertan. 2009;28(80):96–100. 4. Kartasudjana R. Proses Pemotongan Ternak Di RPH. Modul Budi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional; 2011. 5. Prastowo Y. Pedoman Memperoleh Daging Segar. 2014. 6. Tawaf R, Rachmawan O, Firmansyah C. Pemotongan Sapi Betina Umur Produktif Dan Kondisi RPH Di Pulau Jawa Dan Nusa Tenggara. In: Workshop Nasional:Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal.; 2013:1–14.. 7. Peternakan DBP. Statistik Peternakan Tahun 2003. Jakarta: Dinas Pertanian; 2003. 8. BSN. SNI tentang Rumah Potong Hewan No 016159-1999.; 1999:1–23. 9. Lawu MR, Yuliawati S, Saraswati LD. Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi ( Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang ). J Kesehat Masy. 2014;2:127–131. 10. Hellyward K, Yuni A. Kondisi Tempat Pemotongan Hewan Bandar Buat Sebagai Penyangga Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Padang. J Peternak Indones. 2 0 1 2 ; 5 3 ( 2 ) : 1 6 0 . doi:10.1017/CBO9781107415324.004. 11. BSN. Standar Nasional Indonesia 3932:2008 Mutu karkas dan daging sapi.; 2008:1–14. 12. Suardana IW. Karakterisasi limbah cair rumah potong hewan pesanggaran. J Anim Prod. 2007;9(2):116–122.
51
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 2, 2015 : 45–52
52