TEOLOGI SYI’AH
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan kita anugrah dan kesempatan untuk lebih dekat mengenal-Nya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah limpahan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Yang telah berjasa mengantarkan kita ke dalam instansi Tuhan yang insya Allah senantiasa mendapatkan ridha dan rahmat, yaitu agama Islam. Makalah tentang teologi Syi’ah ini kami persembahkan untuk memenuhi tugas makalah yang diberikan oleh dosen kami, Ahmad Subhandy. Merupakan harapan yang besar agar makalah ini kelak dapat menjadi sebuah referensi yang sekiranya dapat membantu pihak-pihak yang memerlukannya. Terakhir, kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah mendukung kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dan kepada pihak-pihak yang telah membantu kami baik yang secara langsung dan secara tidak langsung. Wassalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunanketurunannya. Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolak ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan. Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman bin Affan, ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi yang kemudian terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum masuk jauh ke dalam pembagian Syi’ah, maka ada baiknya kita usut terlebih dahulu asal-muasal lahirnya madzhab terbesar kedua di dunia setelah Ahlus Sunnah ini. Ada cukup banyak literatur yang secara subjektiv menuduh bahwa Syi’ah berasal dari tokoh Abdullah bin Saba’ yang membawa teologi atau pengaruh Yahudi ke dalam tubuh Syi’ah sendiri. Hal ini tentu akan sangat riskan terhadap pemahaman tentang ajaran ini ke depannya. Sebab, banyak kalangan yang menilai bahwa Syi’ah adalah bagian dari Yahudi.
B. Rumusan Masalah Dari penjelasan singkat diatas, kami akan mengemukakan bahan pertanyaan yang akan menjadi sebuah acuan dan tujuan utama kami dalam pembuatan makalah ini 1. Apa itu Syi’ah? 2. Apa saja aliran yang terdapat di dalam tubuh Syi’ah dan ajaran-ajarannya? C. Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan se-objektive mungkin tentang Syi’ah, agar tidak terjadi penafsiran yang salah diantara kehidupan bermasyarakat, yang secara otomatis akan mempengaruhi tatanan kehidupan yang harmonis. D. Manfaat Pribadi yang memiliki kesadaran keberagamaan dan kemadzhaban merupakan satu aset yang sangat penting dewasa ini. Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk membantu dan mengembangkan pribadi-pribadi tersebut. Agar wahyu dan teks-teks agama tidak hanya sekedar berbicara pada saat kekerasa saja, namun mampu mengharmoniskan masyarakat yang majemuk. BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Analisis Sejarah Ada dua pendapat yang cukup populer dan diakui tentang awal kemunculan madzhab Syi’ah. Pertama, adalah sumber yang menyebutkan bahwa Syi’ah berasal dari Abdullah bin Saba’ yang notabene adalah tokoh Yahudi. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Syi’ah sudah ada sejak zaman Nabi SAW. Peneliti menyebutkan bahwa kaum Syi’ah adalah orang-orang yang membantu Ali pada zaman Nabi SAW, dan Nabi SAW adalah orang pertama yang menerapkan sebutan ini untuk kaum pendukung dan pengikut Ali. Dalam bukunya, Al Furaq walmaqalat Abu Muhammad al-Hasan bin an-Nubakhti menyebutkan bahwa kaum Syi’ah adalah kelompok Ali ibn Abi Thalib, dan disebut Syi’ah-nya Ali pada zaman Nabi SAW dan sesudah Nabi SAW[1]. Ibnu atsir meriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ali: “Kamu beserta pengikut dan pendukung setiamu akan datang dihadaan Allah dalam keadaan ridha dan diridhai, sedangkan musuh-musuhmu akan berang dalam kondisi terbelenggu.” Dan kemudian Rasulullah melingkarkan tangannya ke lehernya untuk memperlihatkan bagaimana kejadiannya kelak.2 Keberadaan Syi’ah sendiri sebenarnya bukan merupakan hal yang baru sama sekali, itulah yang setidaknya coba dijelaskan oleh Ash-Shadar yang mengatakan bahwa, terdapat dua pandangan yang memiliki basis yang sama kuat pada zaman Nabi. Pandangan yang pertama menyebutkan bahwa Alquran dan Sunnah Nabi SAW harus diikuti dan tidak ada yang berhak atas simpulan logis yang berkenaan dengan topik-topik yang diindikasikan dalam Alquran. Pandangan yang kedua mengklaim bahwa diperbolehkan untuk membuat kesimpulan yang berkenaan dengan topik-topik yang telah disebutkan baik itu di dalam Alquran maupun sunnah Nabi SAW.
Implikasi dari dua pandangan ini menjadi sebuah titik tolak pengakuan ke-imamah-an atas Ali ibn Abi Thalib yang disampaikan Nabi sebelum beliau wafat. Pandangan yang pertama menerima dengan baik pernyataan Nabi SAW tentang hal ini, dan pandangan kedua membuat kesimpulan yang berbeda. Oleh karena itulah kemudian lahir kelompok pendukung Ali ibn Abi Thalib. Golongan Syi’ah semakin terlihat pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan, dan kemudian semakin tumbuh pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib. ‘Ali sendiri tidak pernah berusaha untuk mengembangkannya, akan tetapi bakan-bakat yang dimilikinya telah mendorong perkembangan itu sendiri. Ketika sayyidina ‘Ali wafat, pemikiran-pemikiran keSyi’ah-an berkembang menjadi madzhab-madzhab. Sebagiannya ada yang menyimpang dan sebagian lainnya tetap lurus. Namun secara garis besar keduanya sama-sama fanatik terhadap keluarga Nabi.[2] Masa pemerintahan Mu’awiyah merupakan masa yang kondusif bagi pengkultusan ‘Ali karena Mu’awiyah telah menciptakan tradisi buruk pada masanya yang berlanjut pada masa anaknya, Yazid dan para penggantinya sampai masa khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz. Segala tindaktanduk yang kejam dan biadab Mu’awiyah serta anak keturunannya terhadap keluarga Nabi, secara otomatis menghasilkan rasa simpati dan empati masyarakat yang berlebihan terhadap ‘Ali dan keluarganya. Dan dari sinilah kemudian muncul fanatisme-fanatisme terhadapnya. B. Sumber Tekstual Ada sebuah riwayat terkenal yang menjadi dasar atas ke-imamah-an Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, yaitu hadits Ghadir Khum. Hadits ini juga menjadi hal fundamen dalam pembentukan atau munculnya kaum Syi’ah. Pada waktu itu, Nabi telah menyelesaikan upacara haji wada’ atau haji perpisahan. Nabi memutuskan untuk meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Ketika kafilah itu memasuki wilayah Rabigh[3], yang jauhnya 5 km dari Juhfah[4], Malaikat Jibril turun ke tempat bernama Ghadir Khum dan menyampaikan ayat ْ ب ْ ََلغ َما أنز َل إليْكَ ِم ْن ربكَ ِو ُسالتهُ َوللا َ ب لغتَ ِر َ إن ل ْم تَ ْفعَ ْل ف َما َ أي َها الرسُو ُل ُّ يا َّ الناس َي ْهدِي القَوْ َم الكَافِرين َي ْع ِص ُمكَ ِمن ِ َ َََ إن للاَ ل َ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhamnu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah akan melindungimu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah:67) Setelah ayat itu turun, maka Nabi shalat jama’ah terlebih dahulu lalu kemudian berkhotbah ditengah-tengah kafilah yang mengelilinginya. Setelah Rasul memberikan beberapa intisari tentang Islam, akhirnya beliau mengangkat tangan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib di depan semua kafilah tersebut, dan berkata من كنت مولَه فعلى مولَه اللهم وال من والَه وعاد من عاداه Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya, maka ‘Ali ini adalah maula-nya juga.[5] Ketika itu juga, Malaikat jibril datang membawakan ayat terakhir
ُ رض ُ ت ل ُك ْم دِين ُك ْم َوأت َم ْم ُ الي وْ َم أ ْك َم ْل ْ َْ َْ يت لَ ُك ُم ا ِل سلَََ َم ِد يناا ِ ت عَل ْي ُك ْم ن ْع َمتِي َو َ Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kutuntaskan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. C. Aliran-Aliran Syi’ah a. Syi’ah Zaidiyah 1. Sejarah Syi’ah Zaidiyah Az-Zaidiyah adalah aliran syiah yang dinisbatkan kepada Zaid ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (putra Imam Ali Zainal Abidin). Menurut kepercayaan Zaidiyah bahwa imamah hanya boleh dari keturunan Fatimah saja. Akan tetapi menurut mereka apabila ada seseorang bukan dari keturunan Fatimah yang berperang untuk membela kebenaran, memiliki pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, pemberani, murah hati, alim, dan telah menyatakan dirinya sebagai imam, maka ia adalah imam yang sah yang wajib ditaati. [6] Orang-orang yang menganut aliran Zaidiyah menganggap Zaid ibn Ali adalah imam setelah ayah handanya imam Ali zainal abidin, mazhab ini bisa kita temukan di daerah Yaman mereka yakin bahwa diri mereka adalah alawi dan fathimi, mereka bersikap alim, zuhud, pemberani dan selalu membawa pedang. Mereka berperilaku seperti itu karena untuk meniru Zaid bin Ali sebagai imam mereka yang harus diteladani. Zaid bin ali tidak pernah meminta dan menyatakan dirinya sebagai imam, namun semasa hidupnya Zaid bin Ali terkenal dengan kepribadiannya yang mulia dan sangat pemberani. yang mana karena kepribadian beliaulah yang menyebabkan diangkatnya menjadi imam oleh para pengikut aliran Zaidiyah, para pengikut Zaidiyah menganggapnya sebagai imam kelima dari Ahlul Bait.[7] Setelah ayah handanya meninggal (Imam Ali Zainal Abidin) yaitu imam syiah ke-4, terjadi percekcokan di dalam kubu syiah tentang siapa yang akan menjadi imam ke-5 setelahnya, yang pada akhirnya mengakibatkan terpecahnya sekte syiah imamiyah kedalam dua golongan pertama yaitu golongan yang berasumsi bahwa penerus imam ke-lima adalah Zaid ibn Ali, yang golongan ini disebut sebagai sekte Zaidiyah, sementara golongan yang ke-2 menganggap bahwa yang seharusnya menduduki keimamahan setelah imam Ali Zainal Abidin adalah Muhammad AlBaqir bin Ali Zainal Abidin yang kita sebut golongan ini adalah sekte Imamiyah. Adapun urutan imam-imam sekte zaidiyah adalah Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Ali Zainal Abidin dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Yahya bin Zaid, dan imam imam yang menjadi penerus setelahnya. Syiah Zaidiyah merupakan salah satu sekte syiah yang paling moderat dibanding sekte syiah yang lain, dan erat kaitannya dengan sunni karena dalam masalah ke khalifahan mereka menerima Abu Bakar, Umar dan Utsman dan mereka tidak mengimani dogma nash dan wasiat. Adapun perbedaan syiah Zaidiyah dengan sekte Syiah yang lain salah satunya adalah faham Zaidiyah tidak menganggap keimamahan hannya menjadi hak Ahlul Bait dan tidak membatasi jumlah imam sampai dua belas, dan juga tidak mengikuti fiqih Ahlul Bait.
Pemikiran-pemikiran Zaidiyah terpengaruhi oleh mazhab Mu’tazilah karena Zaid bin Ali pernah belajar banyak kepada Washil bin Atha, begitu pula dikatakan sekte yang kesuni-sunian karena Zaid pernah belajar kepada imam Abu Hanifah. Salah satu alasan kenapa Zaid berguru kepada Washil, karena pendapat Washil yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib yang terlibat perang Jamal dan perang Shiffin berada dipihak yang benar sementara pihak yang memberontak kepada Ali dikatakan tersalah. Menurut Zaid bin Ali adalah sahabat yang paling utama dibandingkan sahabat-sahabat yang lain, meskipun demikian Zaid tidak pernah memperselisihkan masalah kekhalifahan Abu Bakar, Umar. karena menurut Zaid boleh saja mengangkat imam yang belum memenuhi syarat maksimal sekalipun ada orang yang memenuhi syarat maksimal. Orang-orang syiah dari kufah menolaknya ketika mendengar pernyataan Zaid bin Ali ini tersebut, yang kemudian muncullah golongan syiah yang dinamakan AlRafidah yaitu “kelompok yang menolak”. Zaid bin Ali mati terbunuh di kufah oleh Hisyam bin Abd Malik, kemudian kepemimpinannya beralih ketangan anaknya Yahya bin Zaid, namun nasibnya yang sama dengan ayahnya, Yahya mati terbunuh oleh gubernurnya di daerah jurjan setelah sempat melarikan diri ke Khurasan. Kemudian keimamahan beliau dilanjutkan oleh Muhammad dan Ibrahim, kedua orang ini telah menyatakan diri mereka sebagai imam di Madinah. Ibrahim mendakwahkan ajrannya ke Bashrah sementara Muhammad menetap di Madinah. Nasib mereka tidak jauh dari ayah mereka, Ibrahim dibunuh di Basrah atas perintah khalifah AlMansur dan Muhammad dibunuh di Madinah oleh Isa bin Mahan. Serang beberapa waktu kelompok Zaidiyah mengalami kegoncangan, hingga munculnya Nazir Al-Athrusy salah seorang dari putra saudara Zaid di Khurasan. Karena ia dikejar-kejar oleh penguasa maka ia melarikan diri ke Mazandaran (Tibrisan) yang penduduknya belum beragama islam. Setelah 13 tahun berdakwah ia berhasil membawa sebagian besar penduduknya memeluk agama islam yang beraliran syiah Zaidiyah. Kemudian seiring berjalannya waktu pada tahun 310 H dengan dukungan para pengikutnya ia berhasil menaklukan daerah Mazandaran dan mengangkat dirinya sebagai imam. Di daerah inilah sekte Zaidiyah berkembang dan terbagi menjadi beberapa kelompok kecil yang ajarannya sangat berbeda dengan ajaran para pendahulu mereka. Diantara kelompokkelompok Zaiidiyah itu adalah: (1).Al-Jarudiyah, (2)As-Sulaimaniyah, (3) Batriyyah dan AsShalihiyyah. 2. Aliran-Aliran Syi’ah Zaidiyah
Al-Jarudiyah[8]
Al-Jarudiyah adalah para pengikut Abu Jarud Zayad ibn Abi Zayad. Pendapat mereka tentang keimamahan bahwa Nabi Saw hanya menyebutkan sifat keimamahan saja, tanpa menunjuk siapa yang menjadi imam setelahnya. Karena ketidak tahuan ini, akibatnya yang dipilih adalah Abu Bakar, maka mereka menjadi kafir. Kelompok jarudiyah ini tidak menerima keimamahan yang kurang syarat. Dan mereka menganggap bahwa sahabat yang tidak membaiat Ali bin Abi Thalib dianggap kafir.
As-Sulaimaniyah
As-Sulaiman adalah para pengikut Sulaiman ibn Jarir. Menurut sulaiman bahwa keimamahan itu dibentuk atas kesepakatan umat muslim atau dua orang yang dianggap baik dikalangan
umat, dapat terjadi pada orang yang belum cukup syarat meskipun ada yang memenuhi syarat. Seperti yang diyakini oleh Zaid bin Ali. Mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar krena keduanya dipilih oleh umat melalui jalan ijtihad. Mereka juga mengkafirkan orang yang pernah memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib seperti Aisyah, Zubair dan Thalhah.dan mengkafirkan Utsman karena sebagai pemicu kerusuhan dimasanya.
As-Shalihiyyah dan Al-Batriyyah
As-Shalihiyyah adalah pengikut Al-Hasan ibn Shalih ibn Hay (169 H) dan Al-Batriyyah adalah pengikut Katsir An-Nawa Al-Abtsar. Mereka memiliki pandangan yang serupa dengan Sulaiman ibn Jarir. Namun terkait masalah Utsman, mereka tidak mengutarakan pendapat, apakah Utsman itu termasuk orang yang beriman atau kafir, menurut mereka semua urusan ini terserah Allah. Mereka mengikuti Ali bin Abi Thalib, mereka rela atas ke khalifahan Abu Bakar, apabila yang lebih afdol rela. Menurut mereka siapapun dari keturunan Hasan atau Husain yang zuhud, berani mengangkat senjatanya, maka ia adalah imam yang sah. Kelompok ini lebih condok pada mazhab Mu’tazilah dan lebih menghargai mazhab Mu’tazilah dibandingkan Ahlul Bait sendiri, begitu pula dalam masalah fiqih mereka mengikuti mazhab Abu Hanifah, dan sebagian kecil mengikuti Mazhab Syafi’i. b. Imamah dan Pokok-Pokok Ajaran Zaidiyah[9] Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya, meyakini seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan pemberontakan dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat menjadi imam, bisa lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan imam dapat dikukuhkan berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat juga berdasarkan latar belakang pendidikan. Ajaran Syi’ah Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun Ali bin Abi thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan ini, terdapat konsep Syi’ah Zaidiyah yang berbunyi : جواز امامة المفضول مع وجود األفضل. Yang dimaksud dengan المفضول adalah Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Sedangkan yang dimaksud dengan األفضلialah Ali bin Abi Thalib. Dalam ajaran Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa para imam dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga menolak paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati), paham mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk mengambangkan keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap kehati-hatian dengan menyembunyikan identitas di depan lawan). Dari segi ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti jalan yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi furu’ atau masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi (salah satu mazhab fikih
dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah mut’ah mereka mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah dibolehkan namun telah dibatalkan. Tokoh-tokoh mazhab Zaidiyah adalah Abu-Khalid al-Washity, Mashur ibn Aswad, Harun ibn Saad Al-Ajali dan Jarudiyah, Waqi ibn Al-Jarah, Yahya ibn Adam, Ubaidullah ibn Musa, Ali ibn Saleh, Al-Fadh ibn Dakin, Abu Harifah dan Batriyyah, yang memberontak Muhammad ibn Ajlan, Imam Muhammad, Ibrahim ibn Saad, Ubad ibn Awam, Yazid ibn Harun, Al-Ala ibn Rasyid, Husain ibn Basyir, Al-Awam ibn Khusyib, Mustalim ibn Said dan Imam Ibrahim. c. Syi’ah[10] Ismailiyyah Syiah ismailiyah bisa dikatakan syiah Sab’iah “Syiah Tujuh” istilah itu memberikan pengertian bahwa kelompok syiah Imamiyah ini hanya mengakui tujuh imam. urutan keimamahannya di awali dari Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-Shadiq dan yang terakhir yaitu Ismail bin Ja’far. Syiah Itsna Asyariah membatalkan Ismail bin Ja’far sebagai imam ketujuh, penyebabnya karena kebiasaan Ismail yang kurang terpuji serta dia meninggal mendahului ayahnya. Maka keimamahan digantikan oleh Musa Kadzim adik dari Ismail. Namun syiah Ismailiyah tetap kukuh dan menolak atas pembatalan tersebut berdasarkan sistem pengangkatan imam dalam syiah, dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh.
Imamah dan Pokok-Pokok Ajaran Ismailiyah
Para pengikut syiah Ismailiyah mengimani bahwa islam terdiri dari tujuh pondasi yang terdiri dari: iman, thaharah, shalat, zakat, puasa, menunaikan haji dan jihad. Terkait dengan pilar yang pertama yaitu iman, yang keimana disini salah satun diantaranya percaya kepada imam, dan percaya kepada imam zaman. Syarat-syarat keimamahan menurut keyakinan syiah Ismailiyah adalah: imam harus dari keturunan Ali atau Ahlul Bait, imam harus berdasarkan penunjukan atau nash. Dan syiah Ismailiyah meyakini Bahwa Ali telah ditunjuk oleh Nabi sebagai penerus keimamahan, keimamahan harus jatuh pada anak yang tertua, imam harus maksum terlepas dari kesalahan dan dosa, menurut keyakinan Ismailiyah sekalipun imam melakukan kesalahan maka tidak dianggap salah karena mereka ma’sum. Imam harus dijabat oleh seseorang yang paling baik, dan Ismailiyah menolak imam yang mafdul tidak seperti sekte syiah Zaidiyah. Seorang imam harus memiliki pengetahuan (ilmu) dan pengetahuan walayah. Ismailiyah meyakini bahwa dibumi akan selalu ada imam, hanya adakalanya imam itu zahir dan adakalanya imam itu bathin, serta meyakini bilangan tujuh dan meyakini bahwa setiap Nabi mempunyai tujuh pelaksana. Ajaran-ajarannya yang lain pada dasarnya memiliki kesamaan dengan sekte syiah yang lain, perbedaannya terletak pada konsep kemak’suman imam. dan Ismailiyah menolak terhadap kemunculan Al-Mahdi Al-Munthadzor. Ismailiyah sangat ekstrim dalam konsep kemaksuman yang mengatakan tidak tersalahnya imam apabila melakukan kesalahan. d. Syi’ah Imamiyah 1. Pokok Ajarannya
a. Keesaan Allah Setelah pemikiran Islam dipengaruhi oleh filsafat, sehingga memunculkan sejumlah madzhab, sikap harfiah dalam menafsirkan Alquran dan diskusi-diskusi sengit tentang sifat-sifat Allah, para imam Ahlulbait Nabi SAW memproklamasikan ajaran-ajaran dan kedekatan doktrinal mereka serta menggarisbawahi perlunya mendukung keesaan Allah seperti yang disebutkan jelas dan pasti di dalam Alquran. Aspek-aspeknya sebagai berikut[11]
Keesaan Ilahiah dalam Allah Sendiri
Aspek ini dijelaskan sebagaimana imam Ali berkata : Keesaan ilahiah berkonsekuensi logis tidak boleh mengenal Allah berdasarkan dugaan dan tidak pantas serta tidak adil menuduhNya. Imam Ali Musa Ar Ridha juga menegaskan bahwa tidak boleh memakai analogi/qiyas dalam mengenal Allah, karena manusia banyak dipengaruhi konsep materi. Barangsiapa yang melukiskan Tuhan dengan menggunakan analogi, maka dia akan terusmenerus kebingungan, menyimpang dari jalan yang benar, dan benaknya dipenuhi oleh fikiranfikiran yang menyimpang. Tuhan harus didefinisikan sebagaimana dia mendefinisikan diriNya sendiri dan menggambarkan ia sebagaimana ia menggambarkan diri-Nya sendiri. Allah tak mungkin dilihat dengan indra dan fikiran rasional. Namun Allah dapat dikenal dengan tanpa menyamakannya dengan apa pun. Karena para imam Ahlulbait Nabi SAW percaya bahwa Allah adalah sebuah fakta yang unik, tunggal dan tak terpada yang berada di luar jangkauan pemahaman atau penglihatan terbatas fikiran manusia, maka para imam mengingatkan kita untuk tidak merenungkan zat atau esensi Allah SWT. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Ja’far Ash Shodiq, Jangan merenungkan Allah itu sendiri. Namun jika ingin menyaksikan kebesaran-Nya, perhatikanlah kehebatan ciptaanNya. Diskusikanlah makhluk Allah, tapi jangan diskusikan Dia. Mendiskusikan Allah hanya akan menambah kebingungan.
Keesaan Ilahiah dalam Sifat-Sifat Allah
Beberapa firqoh besar seperti Mu’tazilah, Asyariyah dan Syi’ah Imamiyah saling menyuarakan pendapat berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Beberapa pertanyaan yang muncul adalah; Apakah sifat-sifat Allah seperti tahu dan kuat merupakan karakter yang tak terelakkan yang melekat pada diri-Nya atau bukan bagian dari diri-Nya? Dengan kata lain, apakah Dia Maha Mengetahui karena Maha Mengetahui, Mahakuasa karena Mahakuasa, hidup melalui kehidupan dan seterusnya? Jawaban Syi’ah Imamiyah atas masalah ini adalah: Sifat-sifat Allah seperti Mengetahui, Mahakuat dan Mahahidup adalah karakter tak terelakkan yang melekat pada diri-Nya, dan sifat-sifat ini eksis dan tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk-Nya. Dalam kata-kata Imam Ja’far Ash Shadiq, “Prinsip, ide atau keyakinan yang benar berkenaan dengan keesaan ilahiah adalah sepoerti yang terungkap dalam Alquran. Karena itu tolaklah bila Allah dianggap tidak bersifat dan bila Allah disamakan dengan makhluk-Nya.
Keesaan Ilahiah dalam Perbuatan Allah
Sifat-sifat Allah digolongkan menjadi dua ragam. Ragam pertama meliputi sifat-sifat seperti Mahakuasa, Maha Arif dan seterusnya yang senantiasa dicirikan oleh sifat atau mencirikan sifat-Nya. Ragam kedua disebut sifat perbuatan yang meliputi sifat-sifat seperti pencipta, penolong, murka, penyayang, yang menghidupkan, dan seterusnya. Semua sifat yang disebutkan terkahir ini sesungguhnya berbasis sifat pertama. Mengakui keesaan Allah dalam perbuatanNya berarti yakin bahwa Dia saja yang mampu melakukan perbuatan seperti menciptakan, mematikan dan menghidupkan kembali, dan bahwa alam semesta dan apapun yang di alam semesta ini lahir, mati dan kejadian-kejadian lain, merupakan perbuatan-Nya, dan tiada yang berbuat seperti itu, mencegah maupun mempengaruhi-Nya ini juga berarti semua kekuatan alam dan kekuatan sebabmusabab di sekeliling kita diciptakan oleh Allah. Dengan demikian, mengimani hukum hubungan sebab-akibat selaras dengan keesaan Tuhan, karena keimanan sepeerti ini berarti menegaskan bahwa semua sebab yang melahirkan atau mempengaruhi kejadian-kejadian natural dan prilaku manusia, diwujudkan oleh Allah untuk tujuan ini b. Keadilan Ilahi Hal-hal yang menyangkut tentang keadilan ilahi adalah sejauh mana intervensi Allah dalam perbuatan manusia. Apakah dia yang menentukan segala perbuatan manusia baik itu baik maupun buruk sebagaimana yang diyakini oleh golongan Asy ‘Ariyah, atau manusia memiliki sedikit kehendak untuk menentukan perbuatannya. Imam Ja’far menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia, dan Dia tahu nasib mereka. Dia juga memrintahkan manusia untuk berbuat sesuatu dan melarang manusia berbuat seuatu. Bila Dia memerintahkan manusia untuk berbuat sesuatu, Dia menjadikan mungkin bagi manusia untuk berbuat demikian, dan bila Dia melarang manusia berbuat sesuatu, Dia juga membuat manusia mungkin tidak berbuat hal demikian[12]. c. Kenabian Madzhab Imamiyah meyakini urgensi diutusnya Nabi adalah sebagai syarat penting bagi kesejahteraan dan keselamatan manusia. Selain itu manusia tidak mungkin menemukan jalan lurus, memperoleh ridha Allah SWT tanpa adanya misi kenabian dan Nabi. Berkenaan dengan klaim terhadap seorang Nabi pun, Imamiyah memegang prinsip logis dan terdapatnya bukti yang faktual. Menurut para imam Ahlulbait SAW, barang siapa yang mengaku Nabi dan mendapat dukungan mukjizat, maka harus diakui bahwa dia Nabi dan pesannya dapat diterima dan diimani. Kemaksuman para Nabi yang dipegang oleh kalangan Syi’ah Imamiyah adalah bahwa semua Nabi Allah terlindung dari dosa besar, baik sebelum maupun sesudah mengemban misi kenabian. Mereka juga terjaga dari berbuat dosa kecil yang bisa menghinakan mereka. Nabi Muhammad tak pernah durhaka kepada Allah sejak dia dilahirkan sampai ia wafat. Dia juga tak pernah membantah Allah atau berbuat dosa dengan sengaja atau lalai. d. Imamah (Kepemimpinan) Syi’ah Imamiyah memahami imamah islamiyah sebagai sebuah fungsi intelektual dan politis yang diberikan kepada person imam yang adalah anggota keluara Nabi SAW. Mereka juga
menegaskan bahwa dia haruslah paling luas ilmu dan pengetahuannya diantara orang-orang sezamannya, dan dengan demikian menolak kepemimpinan mafdhul, yaitu orang yang tidak memenuhi syarat, karena mereka berargumen bahwa imam adalah pelidung hukum agama yang mendorong orang untuk beribadah kepada Allah dan menjelaskan kepada mereka Alquran dan Sunnah. Maka dari itu, para imam Ahlulbait Nabi SAW diakui sebagai pemimpinpemimpin intelektual tertinggi. Implikasi dari hal ini adalah, imam mengemban dua hal yang besar: tanggung jawab wilayah atau kepemimpinan politis, dan berfungsi sebagai contoh yang mesti diikuti. 2. Aliran-aliran Syi’ah Imamiyah[13] Syi’ah, sebagaimana aliran-aliran teologi lainnya, juga terbagi dalam beberapa kelompok. Hal ini bermula ketika tidak adanya keterangan yang jelas tentang imamah setelah syahidnya imam Ali bin Husein. Anaknya, Zaid yang mengadakan perlawanan terhadap Mua’awiyah, dijadikan oleh pengikutnya sebagai imam, meskipun beliau tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai imam. Pada tahap ini, Syi’ah mulai terpecah menjadi dua bagian. Yaitu Syi’ah yang berasal dari pendukung Ali secara otentik dan Syi’ah Zaidiyah yang mengakui bahwa imam setelah Imam Ali ibn Husein adalah anaknya, Zaid. Perbedaan pendapat tentang keimamahan setelah wafatnya Imam Ja’far Shodiq, membuat syi’ah pun kembali terpecah menjadi 2 firqoh. Kelompok yang meyakini bahwa yang menjadi imam keenam setelah imam Ja’far Ash Shadiq adalah anaknya, Ismail ibn Ja’far memisahkan diri dan menjadi Syi’ah Ismailiyah. Dan sisanya yang meyakini bahwa imam ketujuh adalah Imam Musa Al Kadzim inilah yang menjadi Syi’ah Imamiyah. Dinamika yang terjadi di kalangan Syi’ah Imamiyah seiring berjalannya waktu, memecah firqoh ini menjadi beberapa firqoh. Hal tersebut tidak lepas dari pemahaman terhadap teks-teks agama yang berkembang di masa itu. Belum lagi firqoh-firqoh besar lain yang menyebarkan pengaruhnya di kalangan Syi’ah, sehingga membuat sebagian kelompok Syi’ah mengikuti ajaran madzhab Mu’tazilah, Wa’idiyah, Tafshiliyah, dan sebagian lagi mengikuti ajaran Ikhbariyyah; baik Musyabahah maupun Shalafiyyah.
Al Baqiriyah dan Al-Ja’fariyyah al-Waqifah
Golongan ini adalah pengikut Muhammad ibn Al-Baqir ibn Zain al-Abidin dan putranya Ja’far Ash-Shadiq. Mereka berpendapat bahwa Muhammad ibn Al-Baqir dan Ja’far adalah imam serta ayahnya Zainal Abidin. Akan tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa imamah terhenti pada salah seorang dari keduanya, dan tidak berlanjut sampai ke keturunan anak-anaknya. Sebagian lagi mengakui imamah turun sampai anaknya. Sebaian kelompok yang mengakui keimamahan terhenti tadi berpendapat bahwa ia terhenti pada Al-baqir dan akan muncul sebagai imam Mahdi, seperti halnya mereka (kelompok lain) juga mengakui bahwa keimamahan terhenti pada Abu Abdillah ibn Muhammad Ash Shadiq. Abu Abdillah ibn Muhammad Ash Shadiq mengajarkan tentang ilmu ma’rifat kepada pengikutnya. Ia tidak pernah mengajarkan tentang keimamahan dan tidak pernah berhasrat merebut kekhalifahan, karena baginya orang yang tenggelam dalam ilmu ma’rifat, ia tidak menginginkan perpecahan dan siapa yang naik ke puncak ma’rifat maka ia tidak takut kepada yang dibawah.
An Nawusiyyah
Kelompok an-Nawusiyyah adalah pengikut seorang yang bernama Nawus. Menurut sebagian orang, dia berasal dari sebuah desa yang bernama Nawus. Menurut kelompok ini, ash-Shodiq masih hidup dan tidak mati sampai dia muncul sebagai imam Mahdi. Abu Hamid az-Zuzani meriwayatkan bahwa kelompok an-Nawusiyyah menganggap ‘Ali masih hidup dan akan keluar pada hari kiamat dari dalam tanah dan membawa keadilan ke muka bumi.
Al-Afthaniyyah
Kelompok ini meyakini bahwa imamah berpindah dari Ash Shadiq kepada putranya yang bernama ‘Abdullah al-Afthah. Ia adalah kakak kandung dari Ismail dan ibunya adalah Fathimah ibn al Husein ibn al Hasan ibn ‘Ali, dan ia juga merupakan putra tertua ash-Shadiq. Ash-Shadiq mengatakan bahwa: Imam adalah orang yang duduk di tempat dudukku, sedangkan di tempat dudukku ini adalah ‘Abdullah. Tidak ada penjelasan yang lebih terperinci dari firqoh ini mengenai ajaran-ajarannya. 1. Asy-Syumaithiyyah Kelompok ini mengikuti ajaran Yahya ibn Abu Syumaith. Menurut mereka Ja’far berkata: Teman kamu yang namanya seperti nama Nabi kamu. Sesungguhnya telah berkata ayahnya kepadanya: sesungguhnya anak kamu yang lelaki kunamai dengan namaku ia adalah imam dan imam sesudah aku adalah Muhammad
Al Ismailiyyah Al Waqifah
Kelompok ini meyakini bahwa Ismail adalah imam sesudah imam Ja’far melalui nash yang telah disepakati oleh putra-putranya, namun mereka berbeda pendapat tentang kematian ayahnya. Sebagian mereka berpendapat bahwa saat ayahnya meninggal ia masih hidup, dan kematiannya hanya taqiyah terhadap ancaman yang datang dari khalifah Bani Abbasiyah. Sebenarnya karena kurangnya refrensi yang penulis dapatkan, maka penjelasan kelompok ini hanya ada pada buku Al Milal wa An Nihal karya Syahrastani. Hal yang membuat penjelasan tentang kelompok ini tabu adalah, definisi tentang kelompok ini kami kira sudah bukan dalam ranah Imamiyah lagi, akan tetapi sudah tergolong Ismailiyah, akan tetapi Syahrastani memasukkannya dalam golongan Imamiyah. Wallahu A’lam.
Al Musawiyyah dan Al Mufadhaiyyah
Kelompok ini mengakui bahwa Musa ibn Ja’far ash Shadiq sebagai imam setelah Imam Ja’far. Sebagaimana yang diketahui bahwa orang-orang Syi’ah berbeda pendapat tentang keturunan Ja’far Ash Shadiq. Karena ada diantara putranya yang meninggal, sedangkan Ja’far masih hidup dan tidak mempunyai keturunan. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Ja’far Ash Shadiq tidak meninggal dan akan hidup kembali sekalipun hanya sebentar.
Al-Itsna Asyariyah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah bersepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad seperti yang ditunjukkan nash. Adapun penerima imamah setelahnya menjadi miliki keturunan garis Fatimah, yaitu hasan bin Ali kemudian Husein bin Ali sebagaimana yang disepakati. Setelah
husein adalah Ali Zaenal Abidin, kemudian secara berurutan; Muhammad Al Baqir, Abdullah Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al Kadzhim, Ali Ar-Ridha, Muhammad al-Jawwad, Ali Al Hadi, Hasan Askari dan yang terakhir Imam Mahdi yang masih ghaib sampai sekarang[14]. Doktrinisasi yang berkembang di dalam ajaran Syi’ah Imamiyah adalah sebagai berikut;
Tauhid (The Devine Unity)
Di dalam buku ilmu kalam karangan Abdul Razaq dan Rosihon Anwar disebutkan bahwa Tuhan adalah Esa baik esensi maupun Eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya Tuhan bereksistensi dengan sendirinya sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Mahatahu, Maha Mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar dan berkendak bebas. Keesaan Tuhan tidak tersusun atau murakkab. Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya.
Keadilan Nubuwwah Ma’ad Imamah[15] Bada’[16]
e. Tokoh-Tokoh Syi’ah Tokoh madzhab zaidiyah adalah Abu Khalid al-Washity, Manshur ibn Aswad, Harun ibn Sa’ad al-Ajali dan Jarudiyyah, Waqi’ ibn al-Jarrah, Yahya ibn Adam, ‘Ubaidullah ibn Musa, ‘Ali ibn Shaleh, Al fadhal ibn Dakin, Abu Harifah dan Batriyyah. Sedangkan tokoh Syi’ah Imamiyah dan semua golongan Syi’ah adalah:
Salim ibn Abi al-Ja’di, Salim ibn Abi Hafsah, Salma ibn Kuhail, Tsuwair ibn Abi Fakhatah, Habib ibn Abi Tsabit, Abu al-Muqaddam, Syu’bah, al-‘Amasy, Jabir alJa’di, Abu Abdullah al-Jidali, Abu Isyraq al-Sabi’I, Al mughirah, Thaus, asySya’bi, Alqamah. Penulis Syi’ah yang terkenal adalah Hisyam ibn al-Hakim, ‘Ali ibn Manshur, Yunus ibn Abdurrahman, Abu ja’far At-Thusi, dll BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Syi’ah terbagi atas tiga kelompok yang besar saat ini. Yaitu Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyyah, dan Syi’ah Imamiyah. Dari beberapa pembagian tersebut, hanya Syi’ah Imamiyah lah yang memiliki pengikut sampai saat ini yang terbanyak dibandingkan dengan Zaidiyah dan Ismailiyyah. Secara umum, aliran Syi’ah lebih mementingkan nilai rasional suatu hal, atau rasionalisasi. Hal ini merupakan implikasi dari filter atau pengembangan lebih lanjut dari madzhab kalam Mu’tazilah. B. Saran
Makalah ini mungkin masih jauh dari sempurna. Dan isinya masih belum lengkap, selengkap ajaran sebenaranya. Oleh karena itu, kami menyarankan anda untuk membaca refrensi yang terkait dengan hal ini lebih banyak. [1] Hashim al-musawi, The Shia Jakarta: Lentera 2008 hal 21 2 Ibid hal 22 [2] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Ciputat:Logos Publishing House, hal 36 [3] Antara Mekkah dan Madinah [4] Juhfah adalah salah satu Miqat, dimana tempat busana ihram harus dikenakan. Dari sini terdapat simpang ke Madinah, Mesir , dan Iraq [5] Hadits ini diriwayatkan di dalam musnad Imam Ahmad. [6] Mazhab pecinta hal: 90 [7] Islam syiah hal: 81 [8] Al-Milal wa An-Nihal, hal:134 [9] Google.com [10] Ilmu Kalam, hal: 118 [11] Hashim al-musawi, The Shia Jakarta: Lentera 2008 hal 59 [12] Hashim al-musawi, The Shia Jakarta: Lentera 2008 hal 114 [13] Syahrastani, Al Milal wa An Nihal, Surabaya: PT Bina Ilmu Hal 138 [14] Abdul Razaq & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia Hal 93 [15] Ibid hal 94-95 [16] Hashim al-musawi, The Shia Jakarta: Lentera 2008 hal 80 DAFTAR PUSTAKA Syahrastani. Al Milal Wa An Nihal. Jakarta: Lentera Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia Al Musawi, Hasyim. 2008. The Shia. Jakarta: Lentera Abu Zahrah, Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Subhani, Ja’far. 2002. Ar Risalah. Jakarta: Lentera
Al Musawi, Muhammad. 2009. Madzhab Pecinta Nabi. Bandung: MPress Maktabah Syamilah Software
Referensi: https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/ilmu-kalam/teologi-syiah/