TINJAUAN PUSTAKA Usaha Kecil Industri Agro Pengertian

Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan ... keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, ... Industri Pengolahan Makanan...

28 downloads 476 Views 515KB Size
15

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Kecil Industri Agro Pengertian Usaha Kecil Konsep Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat berbeda dari suatu negara dengan negara lain. UKM menjadi pembahasan berbagai pihak bahkan UKM dianggap sebagai penyelamat perekonomian Indonesia di masa krisis pada periode 1998-2000, UKM mempunyai ciri khas yaitu modal yang kecil, resiko yang relatif kecil dan mendorong masyarakat mengembangkan semangat wirausaha (Manurung, 2006). UKM di Indonesia telah mendapat perhatian dan dibina Pemerintah dengan dibuatnya sebuah Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Peraturan perundang-undangan tentang usaha kecil telah dilakukan perubahan yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil diganti dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Undang-undang tersebut mengelompokkan usaha menjadi empat kelompok berdasarkan total aset dan total penjualan tahunan dengan kriteria sebagai berikut: (1) Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dam/atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00. (2) Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasasi, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar, dengan kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00. (3) Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 sampai dengan

16

paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00. (4) Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tidak memberikan kriteria yang terlalu luas pada kelompok usaha kecil, seperti halnya pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995. Kelompok-kelompok usaha tersebut memberikan gambaran bahwa suatu kegiatan bisnis dapat berpindah kelompok sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan usahanya. Terkait dengan usaha kecil, maka Badan Pusat Statistik (Tambunan, 2002), menyebutkan bahwa ada industri kecil (IK) yang merupakan unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha, sedangkan industri rumah tangga (IRT) merupakan unit usaha dengan jumlah pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha. Unit-unit usaha tanpa pekerja (self-employment unit) termasuk dalam kategori ini. Pentingnya IK dan IRT di Indonesia terefleksi antara lain dari jumlah unit usahanya yang sangat banyak jauh melebihi jumlah unit usaha dari kelompok industri menengah besar (IMB). IK dan IRT di Indonesia secara tradisional memiliki spesialisasi dalam jenis-jenis industri yang membuat produk sederhana dengan kandungan teknologi rendah dan sebagian besar pengusaha IK dan IRT hanya berpendidikan SD ke bawah.

Kebijakan Usaha Kecil Kebijakan usaha kecil tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara sinergi dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah: (1) penumbuhan kemandirian, kebersamaan dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri; (2) perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel dan berkeadilan; (3)

17

pengembanagn usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; (4) peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; dan (5) penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian secara terpadu. Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah: (1) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang dan berkeadilan; (2) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan (3) meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Iklim usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Pemerintah dan Pemerintah Daerah Menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundangan-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: (1) pendanaan; (2) sarana dan prasarana; (3) informasi usaha; (4) perizinan usaha; (5) kesempatan berusaha; (6) promosi dagang; dan (7) dukungan kelembagaan. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui pemberian fasilitas, bimbingan, pendampingan, dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang: (1) produksi dan pengolahan; (2) pemasaran; (3) sumberdaya manusia; dan (4) desain dan teknologi. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Penjaminan adalah pemberian jaminan pinjaman Usaha Mikro, Kecil dan Menengah oleh lembaga penjamin kredit sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh pinjaman dalam rangka memperkuat permodalannya.

18

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil. Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Usaha besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Kemitraan merupakan kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar. Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan antar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. Menteri dan Menteri Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Jadi kebijakan usaha kecil merupakan keputusan dan ketentuan yang dibuat oleh pemerintah baik Pusat maupun Daerah yang ditujukan pada upaya pemberdayaan usaha kecil sehingga mampu menumbuhkan dan menguatkan dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Bentuk kebijakan pemberdayaan usaha kecil tersebut meliputi: penumbuhan iklim usaha yang kondusif, pengembangan,

19

pembiayaan, penjaminan, kemitraan, inovasi produk, desain teknologi, pemasaran, dan dukungan kelembagaan. Pemerintah juga mendorong keterlibatan usaha besar nasional, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta dan pihak asing untuk membantu usaha kecil dalam pengembangan produk dengan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, pemasaran yang beoriantasi ekspor dan peningkatan modal kerja serta investasi. Bagi usaha besar dan pihak asing yang membantu usaha kecil akan mendapat insentif dalam bentuk kemudahan perizinan dan keringanan tarif. Berhubungan dengan kebijakan usaha kecil, maka Iwantono (2003) berpendapat bahwa pengembangan industri pedesaan merupakan suatu keharusan. Dengan pengembangan ini diharapkan dapat mengoreksi ketimpangan dalam struktur ekonomi di Indonesia. Beberapa pertimbangan mengapa industri pedesaan menjadi pilihan? yaitu karena (1) secara geografis wilayah Indonesia didominasi oleh desa. Desa menyimpan aneka potensi kekayaan alam dan berbagai sumber hayati; (2) penawaran tenaga kerja yang cukup melimpah. Penawaran tenaga kerja di pedesaan sangat elastis, artinya walaupun terjadi lonjakan permintaan, tidak akan diikuti oleh kenaikan upah; dan (3) berbagai kelembagaan desa relatif sudah cukup berkembang, antara lain: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, Kelompok Usaha Bersama dan lembaga keuangan seperti BRI, BPR dan bank swasta telah sampai di desa, semua ini dapat menjadi infrastruktur yang akan menunjang pengembangan industri pedesaan. Hal lain yang lebih penting yaitu bagaimana sifat dari industri yang akan dikembangkan dan faktor apa yang menentukan sukses atau tidaknya pengembangan industri pedesaan. Kondisi Individu Pengusaha Kecil Terdapat berbagai studi yang menelaah faktor individu usaha kecil seperti status sosial ekonomi usaha kecil, pengalaman usaha, dan kekosmopolitan yang dikaitkan dengan persepsi terhadap pendidikan, hingga mengaitkan faktor individu usaha kecil dengan partisipasi dalam kegiatan kelompok, dan kemiskinan di antaranya dilakukan oleh Mubyarto dkk. (1984). Berdasarkan studi tersebut, faktor internal usaha kecil seperti status sosial ekonomi usaha kecil, pendidikan (formal dan informal yang pernah diikuti), teknologi yang digunakan, wawasan lingkungan, pengalaman berusaha dan kekosmopolitan memiliki hubungan positif dengan pendapatan, dan kesejahteraan rumah tangga. Terdapat hubungan antara tingkat

20

pendidikan dengan kinerja usaha kecil, serta pengalaman dalam memprediksi usaha yang tajam untuk memperhitungkan resiko dan kesuksesan. Faktor-faktor individu yang umum biasanya meliputi: gender, suku, tingkat pendidikan, pengalaman dan keterampilan. Banyak kajian bahwa faktor-faktor ini ada kaitannya dengan keberhasilan kegiatan kewirausahaan. Dalam konsteks wirausaha, menurut Bird (1996), faktor individu wirausaha merupakan individu yang menjalankan usaha, faktor-faktor yang ada pada individu tersebut adalah: (1) karakteristik biologis meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan; (2) latar belakang wirausaha yaitu: pengalaman usaha, alasan berusaha, pekerjaan orang tua dan keluarga; dan (3) motivasi, sebagai dorongan kuat untuk melakukan suatu usaha, seperti: ketekunan, kegigihan dan kemauan keras untuk berhasil. Menurut pemikiran para ahli tersebut, keragaan individu pengusaha kecil merupakan kondisi yang ada, melekat dan dimiliki oleh para pengusaha kecil, seperti tingkat pendidikan, status social, tingkat ekonomi yang dicapai usaha kecil, latar belakang wirausaha pengalaman berusaha, pekerjaan orang tua dan keluarga, keaktifan dalam kelompok, kekosmopolitan dan teknologi yang digunakan serta tingkat motivasi/kegigihan para pengusaha kecil dalam menjalankan usahanya. Industri Agro Industri agro merupakan satu subsistem dalam sistem agribisnis. Secara garis besar terdapat empat subsistem produksi/usaha tani (farming), yaitu: (1) penyediaan sarana produksi seperti pupuk, bibit (benih), obat-obatan, mesin pertanian dan sebagainya; (2) pengolahan; (3) pemasaran (tata niaga); dan (4) subsistem pendukung seperti pembiayaan dan asuransi. Dalam hal ini yang disebut agro industri adalah subsistem yang menangani pengolahan hasil produksi usaha tani (Iwantono, 2003). Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), industri agro adalah industri di lapangan pertanian. Pertanian dalam arti luas menurut Firdaus (2008) mencakup: (1) pertanian rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit; (2) perkebunan, termasuk di dalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar; (3) kehutanan; (4) peternakan, dan (5) perikanan. Hal ini sejalan dengan pendapat Jumin (2008) bahwa obyek agronomi selain tanaman juga tumbuhan pengganggu, bahkan ternak, ikan dan kodok. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa industri agro adalah proses pengolahan bahan mentah dari hasil pertanian dalam arti luas, mencakup

21

pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan menjadi barang-barang yang siap digunakan. Dilihat dari Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), maka industri agro termasuk dalam industri pengolahan khususnya industri makanan dan minuman. Adapun pengkategorian tersebut menurut KBLI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Berdasarkan KBLI 2005 KATEGORI JUDUL-DESKRIPSI DAN KODE D Industri Pengolahan 15 15122

Industri Makanan dan Minuman Industri penggaraman/Pengeringan ikan dan Biota Perairan Lainnya. Kelompok ini mencakup usaha pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya melalui proses penggaraman/pengeringan, seperti: ikan tembang asin, ikan teri asin, udang asin dan cumi-cumi asin. Kegiatan penggaraman/pengeringan ikan atau biota perairan lainnya yang

tidak

dapat

dipisahkan

dari

usaha

penangkapan/budidaya dimasukkan dalam golongan 050 (Perikanan) 15143

Industri Minyak Goreng dari Minyak Kelapa. Kelompok ini mencakup usaha pengolahan lebih lanjut (pemurnian, pemucatan dan penghilangan bau yang tidak dikehendaki) dan minyak mentah kelapa menjadi minyak goreng.

15322

Industri Berbagai Macam Tepung dari Padi-padian, Bijibijian, Kacang-kacangan, Umbi-umbian, dan sejenisnya. Kelompok ini mencakup usaha pembuatan tepung dari padipadian, biji-bijian , kacang-kacangan, umbi-umbian, buah palm dan sejenisnya melalui proses penggilingan, seperti: tepung beras, tepung jagung, tepung sorghum, tepung kacang hijau, tepung kacang kedelai, tepung gaplek dan tepung kelapa.

22

Tabel 1 (Lanjutan) 15410

Industri Roti dan sejenisnya. Kelompok ini mencakup usaha pembuatan segala macam roti, kue kering dan sejenisnya.

15422

Industri Gula Merah Kelompok ini mencakup usaha pembuatan gula yang tidak berbentuk kristal, dengan bahan utamanya tebu maupun nira (aren, kelapa dan sejenisnya). Kegiatan pembuatan gula merah yang tidak dapat dipisahkan dari usaha pertaniannya dimasukkan dalam kelompok 01113 dan 01133.

15494

Industri Tempe dan Tahu. Kelompok ini mencakup usaha pembuatan tempe dari kedelai/kacang-kacangan lainnya termasuk juga pembuatan tahu, kembang tahu dan oncom (dari kacang tanah/kacangkacangan lainnya). Usaha pembuatan tempe yang bahan bakunya selain kedelai/kacang-kacangan lainnya, seperti: tempe bongkrek, dimasukkan dalam kelompok 15499.

15496

Industri Kerupuk, Keripik, Peyek dan sejenisnya. Kelompok ini mencakup usaha industri berbagai macam kerupuk, seperti: kerupuk udang, kerupuk ikan dan kerupuk pati (kerupuk terung). Dan usaha pembuatan berbagai macam makanan sejenis kerupuk, seperti

macam-macam

emping, kecimpring, karak, gendar, opak, keripik paru, keripik bekicot dan keripik kulit, peyek teri, peyek udang. Kegiatan/usaha pembuatan keripik/peyek dari kacangkacangan dimasukkan dalam kelompok 15495. 15498

Industri Kue-Kue Basah. Kelompok ini mencakup usaha pembuatan macam-macam makanan sejenis kue yang relatif tidak tahan lama, seperti: wajik, lemper, kue lapis dan martabak. (termasuk pembuatan tape dan dodol).

Sumber: BPS Jakarta, 2006

23

Menurut Iwantono (2003), dilihat dari pembangunan nasional memiliki alasan mendasar untuk mengembangkan industri agro secara sungguh-sungguh, yaitu: (1) selama era orde baru menganggap telah berhasil dalam produksi di banyak komoditas. Tetapi sebenarnya belum berhasil meningkatkan nilai tambah pertanian, karena terbatasnya proses pengolahan; (2) agroindustri merupakan bidang usaha yang mampu menciptakan kesempatan kerja sekitar 41% dari total lapangan kerja pada industri pengolahan atau manufakturing; (3) agroindustri merupakan sumber pertumbuhan, pangsa agroindustri terhadap total output industri pengolahan mencapai 65,38%; (4) sebagai penghasil devisa, agroindustri menyumbang sekitar 68,91% dari ekspor produk industri olahan nonminyak dan gas bumi;(5) agroindustri merupakan jenis industri yang memiliki keterkaitan ke bawah (downward linkage) maupun keterkaitan ke atas (forward linkage); dan (6) umumnya agroindustri berlokasi di pedesaan, karena itu kandungan lokalnya sangat tinggi, serta memiliki social effect yang positif bagi sebagian besar rakyat kecil. Bahan baku industri agro dapat digolongkan ke dalam kelompok bahan makanan, tanaman perkebunan rakyat, tanaman perkebunan besar, peternakan dan hasilnya, perikanan, kehutanan. Dari keenam subsektor penyedia bahan baku tersebut, subsektor mana yang dapat menjadi basis pertumbuhan agroindustri ? Jika dilihat dari pangsanya terhadap pembentukkan produk domestik bruto (PDB) sector pertanian, menurut Iwantono (2003) urutannya pada tahun 2000 adalah: tanaman pangan 59,8%; tanaman perkebunan rakyat 14,9%, peternakan dan hasilnya 11,6%; perikanan 12,5%; kehutanan 1,1%; dan tanaman perkebunan besar 3,6%. Industri pangan dan kertas berorientasi pada pasar dalam negeri, yakni dengan rasio ekspor masing-masing hanya 6% dan 8%. Sedangkan kayu, terutama kayu lapis, cenderung berorientasi ekspor dengan rasio ekspor 48%. Berdasarkan analisis penawaran bahan baku dan perkembangan permintaan, dapat diambil kesimpulan bahwa agroindustri yang memproduksi bahan pangan memiliki prospek cerah di masa mendatang. Industri kayu dan kertas, walaupu pasarnya baik, kondisi bahan bakunya kurang mendukung. Sementara itu, dilihat dari level pengolahannya, produk pangan dapat digolongkan atas produk primer, produk sekunder, dan produk tersier. Produk primer adalah produk tanpa pengolahan seperti beras, jagung, singkong, ikan segar, sayur segar dan lainnya. Produk sekunder adalah produk setengah jadi seperti tepung, susu, tempe, tahu, minyak sayur, dan lainnya. Produk

24

tersier adalah produk jadi seperti roti, biskuit, makanan dalam kaleng dan makanan jadi restoran. Hasil Susenas 1980 dan 1987 dapat diketahui pola pergeseran permintaan produk tersebut. Pada 1980, dari total pengeluaran masyarakat untuk konsumsi pangan, pangsa produk primer adalah 62%, pangsa produk sekunder 27%, dan pangsa produk tersier 11%. Pada tahun 1987 pangsa produk primer turun menjadi 57%, produk sekunder turun menjadi 23%, dan produk tersier meningkat menjadi 20%. Dilihat dari level pengolahannya, maka “makanan jadi” menunjukkan perkembangan permintaan yang pesat. Berdasarkan data empiris di atas dapat disimpulkan bahwa industri agro yang berbasis pangan adalah yang memiliki prospek cerah di masa mendatang. Namun, tidak semua produk pangan manunjukkan pertumbuhan tinggi. Produk pangan yang seyogyanya dikembangkan adalah produk pangan yang permintaannya elastis terhadap perubahan pendapatan. Kemudian, dilihat dari tingkat pengolahannya, produk “makanan jadi” akan tumbuh pesat.

Pembangunan Industri Agro Sejalan dengan perubahan preferensi konsumen yang semakin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap, maka motor penggerak sektor agribisnis harus berubah dari usahatani kepada industri pengolahan (industri agro). Artinya untuk mengembangkan sektor agribisnis yang modern dan berdaya saing, industri agro menjadi penentu kegiatan pada subsistem usahatani dan selanjutnya akan menentukan subsistem agribisnis hulu. Pengembangan industri agro diarahkan pada struktur industri agro yang lebih mengarah ke hilir untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri, melakukan diversifikasi untuk memenuhi perubahan selera konsumen dan memanfaatkan peluang pasar domestik maupun internasional (Saragih, 2001). Tujuan pembangunan industri agro menurut Simatupang dan Purwoto (Sudaryanto dkk, 2002) tidak dapat dilepaskan dari peran industri agro itu sendiri bagi Indonesia. Peran industri agro bagi Indonesia yang saat ini sedang menghadapi masalah pertanian yaitu menciptakan nilai tambah hasil pertanian di dalam negeri, penyediaan lapangan kerja khususnya dapat menarik tenaga kerja sector pertanian ke sector industri dalam hal ini industri agro, meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor hasil industri agro, memperbaiki pembagian pendapatan, dan menarik

25

pembangunan sektor pertanian. Orientasi pembangunan industri agro menurut Arsyad (Sudaryanto dkk, 2002) hendaknya tidak dilepaskan dari usaha meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan kemampuannya dalam memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hal ini berarti pembangunan industri agro merupakan usaha untuk meluaskan ruang lingkup kegiatan manusia. Dengan demikian dapat diusahakan secara vertikal semakin besarnya nilai tambah pada kegiatan ekonomi dan sekaligus secara horizontal semakin luasnya lapangan kerja produktif bagi penduduk yang jumlahnya semakin bertambah. Kebijaksanaan pembangunan industri agro paling tidak mempunyai dua simpul utama. Pertama, industri agro diharapkan mampu menggerakkan perekonomian

masyarakat di wilayah produksi pertanian, dan kedua, mampu

mendorong pertumbuhan suplai hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan industri agro. Keberhasilan membangun kedua simpul ini dengan sendirinya akan menjawab beberapa permasalahan antara lain peningkatan pendapatan sektor industri asal pertanian, kesempatan kerja yang luas dan akan mempercepat transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri. Pembangunan sektor industri sebaiknya untuk tahap awal didominasi oleh pembangunan industri agro dan hal ini disertai dengan pembangunan pertanian yang tangguh. Sudah merasakan pengalaman yang pahit bagaimana sebagian industri agro di Indonesia, mengalami kemunduran besar akibat krisis moneter, karena industri agro mengandalkan bahan baku dari impor sebagai akibat ketidak-mampuan sektor pertanian memberikan dukungan yang efektif. Berdasarkan pertimbangan di atas dapat dirumuskan beberapa sasaran pengembangan industri agro yakni menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa dan meningkatkan pembagian pendapatan. Melihat peran industri agro sebagaimana telah dibahas di atas, maka pembangunan industri agro merupakan suatu alternatif dalam menjawab berbagai masalah ekonomi yang sedang dihadapi oleh bangsa. Artinya, pemerintah harus memberikan dukungan dan pelayanan yang kuat bagi pembangunan industri agro di Indonesia. Pengalaman telah memperlihatkan bahwa, industri agro dalam negeri yang menggantungkan diri pada bahan baku impor akan sulit mempertahankan diri bila terjadi krisis ekonomi.

26

Masalah besar yang dihadapi terutama adalah mutu sumberdaya manusia yang umumnya tingkat pendidikan dan pengalaman masih rendah, investasi rendah dan belum ada keterkaitan antara sector pertanian dan industri. Sementara sektor pertanian sendiri belum stabil, masih mencari arah dan bentuk perkembangan. Masalah mutu dan kontuinitas produksi pada suatu wilayah masih dipengaruhi oleh masalah krisis yang seharunya bisa diatasi. Peran pemerintah di masa mendatang lebih banyak dalam memberikan pelayanan untuk mendorong pertumbuhan usaha industri agro melalui beberapa kebijakan penting antara lain: (1) Pelayanan tinggi bagi penyediaan dana investasi bagi industri agro baik skala kecil, menengah, maupun skala besar yang disesuaikan dengan segmen pasar yang akan diraih dan kebutuhan bahan baku. (2) Membuat blue print pembangunan industri agro yang memperhatikan lokasi sumber bahan baku, dan investasi yang dibutuhkan, skala agroindustri yang disesuaikan dengan segmen pasar dan kebutuhan bahan baku, keadaan tenaga kerja manusia dan mempertimbangkan sosial budaya dan lingkungan. (3) Menyediakan suatu kebijaksanaan ekonomi makro yang mapu mendorong pertumbuha pertanian dan industri agro. Kebijaksanaan itu antara lain pengendalian inflasi melalui peredaran uang, tingkat bunga, nilai tukar dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri yang mendukung. (4) Pemerintah harus dapat memilah-milah pada bagian mana dalam pembangunan industri agro ikut langsung memberikan pembinaan dan pengarahan (Sudaryanto dkk, 2002).

Pembangunan suatu industri agro haruslah mempertimbangkan paling tidak lima hal yakni: kelayakan sisi teknis dan biaya investasi, kelayakan sisi ekonomi, kondisi pasar dan pasokan bahan baku, kelayakan lingkungan fisik dan pertimbangan sosial budaya. Aspek teknis dan biaya investasi mencakup

kondisi lokasi, sarana

transportasi dan prasarana yang ada. Semakin rumit masalah teknis yang dihadapi akan semakin tinggi biaya investasi yang dibutuhkan dan semakin baik masalah teknis yang dihadapi akan semakin rendah biaya investasi yang dibutuhkan. Investasi adalah suatu yang langka oleh karena itu, pemilihan lokasi harus dikaji dari suatu lokasi ke lokasi yang lain dengan mempertimbangkan kelancaran

27

mendapatkan bahan baku, kelancaran dalam mendistribusikan produksi industri agro dan kemudahan-kemudahan memperoleh air bagi proses produksi dan sebagainya. Aspek ekonomi mencakup kelayakan finansial dan kelayakan sosial. Pertanyaannya adalah apakah suatu investasi agroindustri di suatu lokasi spesifik mempunyai tingkat keuntungan finansial yang baik dan apakah pembangunan agroindustri memberikan keuntungan bagi masyarakat khususnya pada lokasi setempat ? Keuntungan finansial dipengaruhi oleh besarnya investasi, besarnya dana pinjaman dan tingkat bunga, lamanya investasi dan biaya produksi yang dikeluarkan. Kelayakan sosial antara lain adalah pengkajian apakah pembangunan agroindustri memberikan keuntungan dalam menampung tenaga pengangguran, pendapatan bagi wilayah bersangkutan, adanya kemungkinan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar antara lain membantu peningkatan petani yang menyediakan bahan baku dan sebagainya ? Bahan baku dan sumber daya manusia. Pertanyaan kunci adalah bagaimana memperoleh bahan baku apakah akan dihasilkan sendiri, membeli dari petani atau impor ? Pertanyaan kedua adalah bagaimana tingkat mutu bahan baku yang diinginkannya, berapa jumlahnya, apakah perlu masa tanam diatur sehingga kesulitan bahan baku karena musiman dapat ditanggulangi? Pertimbangan lingkungan fisik, pembangunan industri agro tidak bertujuan untuk merusak lingkungan yang pada akhirnya menyengsarakan rakyat. Ini merupakan salah satu pertimbangan lingkungan fisik dalam membangun suatu kawasan industri agro. Pertimbangan lingkungan yang patut diperhatikan adalah dalam penggunaan air yang bersumberkan pada sumber air masyarakat dan pembuangan sampah sisa proses produksi. Pembuangan sampah atau sisa produksi industri agro pada dasarnya dapat dikembalikan pada tanah, tetapi harus dikaji benar ke mana sampah-sampah itu dimanfaatkan ? Selama ini, sering kali kita menemukan suatu industri agro yang bersahabat dengan alam, sehingga harus dibongkar. Pertimbangan lingkungan yang lain adalah daerah pegunungan, bebatuan dan sebagainya. Penetapan lokasi dan jenis kualitas produk menurut Arsyad (Sudaryanto dkk, 2002) merupakan suatu hal yang sangat penting, karena lokasi kawasan industri agro

dapat

mempengaruhi

pertumbuhan.

Perusahaan

cenderung

untuk

meminimumkan biaya dengan memilih lokasi yang memaksimumkan peluangnya untuk pasar. Dalam pemilihan lokasi peran pemerintah sangat besar khususnya

28

dalam memberikan ijin perusahaan dan ijin lokasi. Pemerintah dapat menggunakan kedua fasilitasnya ini sebaik-baiknya sehingga pembangunan industri agro sangat efektif dalam mencapai sasarannya.

Penyuluhan Pembangunan Pengertian Penyuluhan hakekatnya sebagai proses komunikasi dan pendidikan terhadap orang dewasa guna mengubah sikap dan pola pikir mereka. Menurut Asngari (2001), “penyuluhan adalah sistem pendidikan non-formal untuk mengubah perilaku SDM-klien sesuai dengan yang dikehendaki atau direncanakan.” Selanjutnya dikemukakan bahwa “kegiatan penyuluhan adalah kegiatan mendidik, bukannya memaksa terjadinya perubahan perilaku SDM-klien.” Hakekat pembangunan sebagai perubahan yang direncanakan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik tentu menuntut kesediaan dan ketulusan semua pihak, baik yang merencanakan dan yang melaksanakan perubahan maupun yang menjadi sasaran dari perubahan tersebut serta hal-hal yang akan diubah dan target yang ingin dicapai. Hal yang terakhir ini Misra (1981) berpendapat bahwa pembangunan adalah meningkatnya pencapaian sasaran akan nilai budayanya yang menghasilkan kehidupan lebih bermutu. Lebih rinci Misra (1981) menyatakan bahwa kehidupan yang lebih bermutu ditandai oleh empat kondisi yaitu: (1) terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup yang berkesinambungan bagi semua orang dalam kondisi yang lebih baik, (2) Penghargaan dan pengakuan bagi semua orang (sesuai posisi dan perannya) serta harga diri, (3) bebas dari tirani dalam bentuk apapun, dan (4) kehidupan bermasyarakat yang dirasakan dan dimiliki setiap orang. Proses pembangunan akan berhasil dan berdampak positif bagi masyarakat jika didukung oleh berbagai modal. Secara sederhana Thomas et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga asset yang mereka golongkan sebagai modal, yakni: modal manusia, fisik dan alam. Fukuyama (2002) dan Senge et al. (1999) menambahkan bahwa modal pembangunan tidak hanya ketiga modal tersebut, tetapi perlu juga modal social dan modal finansial. Penyuluhan pembangunan merupakan kajian tentang bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya

29

dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik (Slamet, 2003)?. Secara internal manusia cenderung mempertahankan pola perilaku, kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat yang telah dimiliki. Kalaupun manusia ternyata berubah dari zaman ke zaman, itu terutama karena pengaruh lingkungan, baik lingkungan alam dan fisik maupun lingkungan sosial. Penyuluhan pembangunan berusaha mengendalikan atau memanipulasi lingkungan tersebut sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi orang-orang tertentu untuk mau mengubah pola perilakunya yang akan memperbaiki mutu kehidupan mereka. Penyuluhan pembangunan selalu menitikberatkan pada berbagai upaya untuk mewujudkan perbaikan kualitas kehidupan manusia, baik secara moril maupun materiil, melalui peningkatan motivasi, keberdayaan, kepemimpinan dan kualitas perilaku

SDM.

Pendekatan

pembangunan

menurut

konsep

penyuluhan

pembangunan adalah pengembangan SDM (people centered development) dalam rangka pembangunan sosial, yaitu pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat menghargai harkat dan martabat manusia (humanisasi) seiring dengan pembangunan ekonomi. Berdasarkan perkembangan pandangan dan persepsi para pakar tentang pembangunan terdapat kesepakatan bahwa manusia adalah subyek, pelaku dan sekaligus sasaran pembangunan. Dengan kata lain pembangunan terfokus pada manusia guna meningkatkan kesejahteraan, martabat dan kualitas sumber daya manusia, sedangkan pembangunan ekonomi masih tetap menjadi andalan yakni pertumbuhan yang diperoleh harus diperuntukkan bagi pembangunan sosial yang lebih adil dan lebih merata. Berdasarkan pembahasan di atas, fokus penyuluhan pembangunan terhadap para pengusaha kecil adalah diharapkan dapat terjadinya proses pembelajaran dan perubahan yang bersifat positif, yaitu: meningkatnya keberdayaan, kemandirian, kepercayaan diri, kreatifitas, produktivitas, kemampuan kewirausahaan, dorongan hidup hemat dan seimbang, hidup jujur serta dapat dipercaya, daya pikir prospektif, daya saing dan keberanian berkompetisi dari para pengusaha usaha kecil. Perencanaan Program Program adalah produk yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perencanaan, program dapat juga diartikan sebagai pernyataan tertulis mengenai: (a) situasi

30

wilayah, (b) masalah yang dihadapi, (c) tujuan yang angin dicapai, dan (d) cara mencapai tujuan, yaitu perencanaan kerja yang berisi pernyataan tentang hal-hal yang dilakukan, siapa yang melakukan, kapan dilakukan, bagaimana cara melakukan, mengapa dilakukan, dan dimana hal itu dilakukan (Setiana, 2005). Secara filosofis, pengembangan program perlu didasarkan pada kepercayaan akan tujuan pendidikan dan kelanjutan pendidikan, kepercayaan tentang belajar dan orang yang belajar, kepercayaan tentang pengajaran dan penyuluhan sebagai orang yang

membuat

rencana

pembelajaran

dan

kepercayaan

tentang

proses

pengembangan program (Boyle, 1981). Program hanya akan berhasil mencapai tujuan, jika benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat (Chambers, 1999). Terdapat berbagai model perencanaan program penyuluhan, seperti yang dikemukakan oleh Leagen, Kelsey dan Hearne, Pesson, Raudabaugh, dan KOK, namun pada prinsipnya program tersebut mencakup lima hal yaitu: (l) pendekatan pada masyarakat saat masuk ke dalam sistem sosial masyarakat, (2) tinjauan umum tentang potensi dan keadaan fisik dan sosial ekonomi masyarakat, (3) pelibatan masyarakat dalam perencanaan program terutama dalam menyadarkan akan perlunya perubahan,

perencanaan

pelaksanaan, perencanaan

evaluasi, dan

penganggaran, (4) pelaksanaan program, dan (5) evaluasi dan tindak lanjut. Menurut Martinez (Mardikanto, 1993): (a) Perencanaan program merupakan upaya perumusan, pengembangan dan pelaksanaan program-program; dan (b) Perencanaan program merupakan proses berkelanjutan, melalui mana warga masyarakat merumuskan kegiatan-kegiatan yang berupa serangkaian aktivitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan masyarakat setempat. Jadi perencanaan program adalah suatu proses berkelanjutan, melalui seluruh warga masyarakat secara bersama-sama mempertimbangkan upaya pembangunan masyarakatnya dengan menggunakan segala sumberdaya yang mungkin dapat dimanfaatkan. Setiana (2005) berpendapat bahwa perencanaan program penyuluhan adalah sesuatu yang harus dilakukan, karena untuk mencapai keberhasilan dari program maka fakta-fakta di lapangan perlu diketahui, dihubung-hubungkan dan ditarik asumsi-asumsi. Perencanaan program adalah perumusan, pengembangan, dan pelaksanaan program itu sendiri. Perencanaan program harus merupakan perencanaan tertulis tentang kegiatan yang akan dikembangkan secara bersama-

31

sama oleh masyarakat, penyuluh, pembina, spesialis, dan para petugas lapangan lainnya. Tipe program dalam pembangunan digunakan untuk menentukan ukuran keberhasilan yang akan dicapai suatu program. Boyle (1981) mengemukakan ada tiga tipe program dalam pembangunan, yaitu: (1) Tipe program development: Tipe program ini mengidentifikasi masalah-masalah pokok kelayan, masyarakat atau segmen masyarakat. Program pendidikan yang mampu menolong orang lain dapat dikembangkan, menyangkut: pengetahuan, keterampilan dan sikap yang merupakan alat pendukung pemecahan masalah, semuanya diprogramkan dan kesuksesan program diukur dari keberhasilan memecahkan masalah. (2) Tipe program institusional: Tipe program ini berfokus pada pengembangan dan peningkatan

kemampuan

dasar

seseorang.

Kemampuan

ini

meliputi

pengetahuan, keterampilan dan sikap. Adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap merupakan kriteria utama keberhasilan program. (3) Tipe program informasional: Tipe program ini berupa pertukaran informasi antara

pendidik

atau

perencana

dan

warga

belajar.

Fokusnya

pada

pengidentifikasian infornasi baru yang harus disebarkan. Jadi keberhasilan program dapat diukur dari adanya pertambahan informasi baru berkenaan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap dari warga belajar. Perencanaan program dibuat untuk mendapatkan arah pedoman dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jadi apa sebenarnya manfaat dari perencanaan program tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Mardikanto (1993), bahwa ada beberapa manfaat perencanaan program, yaitu: (1) Memberi acuan dalam mempertimbangkan secara seksama tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Dengan acuan yang sudah dipilih, memudahkan semua pihak untuk mengambil keputusan yang sebaikbaiknya. (2) Menyediakan acuan tertulis yang dapat digunakan oleh masyarakat. Adanya acuan tertulis mencegah terjadinya salah pengertian dan dapat dievaluasi setiap saat, sejak sebelum, selama dan sesudah program tersebut dilaksanakan. (3) Memberi pedoman pengambilan keputusan terhhadap adanya usul/saran penyempurnaan. Adanya pedoman tertulis dapat dikaji seberapa jauh saran

32

penyempurnaan dapat diterima atau ditolak agar tujuan yang diinginkan tetap tercapai. (4) Memantapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, yang perkembangannya dapat diukur dan dievaluasi. (5) Memberi pengertian yang jelas terhadap pemilihan tentang: (a) kepentingan dari masalah-masalah insidental; dan (b) pemantapan dari perubahan-perubahan sementara. (6) Mencegah salah pengertian tentang tujuan akhir dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan. (7) Memberikan kelangsungan dalam diri personal, artinya setiap personal yang terlibat dalam pelaksanaan dan evaluasi program selalu merasakan perlunya kesinambungan program hinggga tercapainya tujuan. (8) Membantu mengembangkan kepemimpinan, yaitu menggerakkan semua pihak yang terlibat dan mengunakan sumberdaya yang tersedia serta dapat digunakan untuk tercapainya tujuan yang dikehendaki. (9) Menghindarkan pemborosan sumberdaya, baik tenaga, biaya maupun waktu dan mendorong efisiensi. (10)Menjamin kelayakan kegiatan yang dilakukan dalam masyarakat dan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat.

Program Penyuluhan bagi Usaha Kecil Memperhatikan kajian dan pemikiran di atas dapat dikemukakan bahwa program penyuluhan bagi usaha kecil merupakan suatu pernyataan tertulis tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan setelah disepakati antara penyuluh/fasilitator dari instansi terkait dengan para pengusaha kecil, yang terlebih dahulu memperhatikan kebutuhan, permasalahan dan karakteristik lingkungan usaha kecil setempat. Dengan program tersebut diharapkan semua pihak, baik aparatur pembina maupun para pengusaha kecil memiliki pedoman dalam menjalankan setiap kegiatannya, sehingga tujuan bersama diharapkan dapat terwujud. Program penyuluhan bisa bertujuan untuk menambah informasi baru, meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan untuk memecahkan masalah yang dihadapi para pengusaha kecil. Berbagai aspek dari peran penyuluh (agen pembaharu) menurut Lippitt et al. (1958) meliputi:

33

(1) Mendiagnosis kejelasan permasalahan. Mendiagnosis masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang benar-benar diperlukan (real needs) masyarakat sasaran. Menunjukkan kepada masyarakat sasaran tentang pentingnya perubahan-perubahan yang harus dilakukan, dengan menunjukkan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang belum dirasakan oleh masyarakat sasarannya. (2) Menilai motivasi dan kemampuan berubah suatu masyarakat sasaran. Analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan mudah diterima

dan

dapat

dilaksanakan

sesuai

dengan

sumberdaya

(dana,

pengetahuan/ketrampilan, dan kelembagaan) yang telah dimiliki masyarakat sasaran. (3) Menilai motivasi dan sumber usaha penyuluh (agen pembaharu). Menganalisis motif kerja para penyuluh dan sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh penyuluh untuk mencapai perubahan sebagaimana yang direncanakan. (4) Menseleksi sasaran perubahan yang sesuai. Pemilihan sasaran perubahan yang tepat, dengan kegiatan awal yang benar-benar diyakini akan berhasil dan memiliki arti yang sangat strategis bagi berlangsungnya perubahan-perubahan lanjutan di masa-masa mendatang. (5) Memilih peran bantuan yang sesuai. Pemilihan peran bantuan paling tepat yang akan dilakukan oleh penyuluh, baik berupa bantuan keahlian, dorongan dan dukungan untuk melakukan perubahan, pembentukan kelembagaan, memperkuat kerjasama masyarakat atau menciptakan suasana tertentu bagi terciptanya perubahan. (6) Memantapkan dan menjaga hubungan dengan masyarakat sasaran. Memantapkan

hubungan

melalui

upaya

terus-menerus

menjalin

kerjasama dan hubungan baik dengan masyarakat sasaran, terutama tokohtokohnya, baik tokoh formal maupun tokoh informal. (7) Mengarahkan tahap-tahap perubahan. Bersama-sama

masyarakat

sasaran

memantapkan

upaya-upaya

perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu dilaksanakan untuk jangka panjang. Terus-menerus memberikan sumbangan terhadap

34

perubahan yang profesional melalui kegiatan penelitian dan rumusan-rumusan konseptual. (8) Memilih teknik yang sesuai dengan perilaku kelayan. Bersama-sama masyarakat, menentukan prioritas kegiatan, memobilisasi sumberdaya, mengambil inisiatif, mengarahkan, dan membimbing perubahhan yang direncanakan sesuai dengan pola tindak masyarakat sasaran.

Kegiatan penyuluhan akan berhasil apabila penyuluh terlebih dahulu mempersiapkan dirinya secara memadai. Menurut Mardikanto (1993) setiap penyuluh perlu mempersiapkan dirinya dengan berbagai persiapan sehingga dapat melaksanakan tugas dengan baik dan mencapai tujuannya. Persiapan penyuluh itu meliputi: (1) Persiapan kepribadian Persiapan ini meliputi: (a) penampilan, sikap berbicara dan tingkah laku yang menarik; (b) kesediaan untuk bergaul, menjalin kerjasama dan bersedia tinggal dengan masyarakat sasarannya; (c) mudah bergaul dan menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya; (d) meyakinkan masyarakat sasarannya sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas; dan (e) kesiapan dan kesediaannya untuk membantu masyarakat sasarannya dalam memecahkan masalah yang dihadapi. (2) Persiapan kajian lapang. Setiap penyuluh terlebih dahulu melakukan kajian lapang mengenai wilayah kerjanya, maupun terhadap wilayah lain yang memiliki kesamaan karakteristik. Hal ini sebagai upaya pengenalan karakteristik wilayah kerja, baik yang berkaitan dengan masalah teknis maupun sosial ekonomi, dan inventarisasi hasil penelitian atau kajian yang pernah dilakukan di wilayah tersebut. Kajian lapang dapat dilakukan dengan mempelajari data skunder yang tersedia dari lembaga yang berkompeten maupun dengan melakukan pengumpulan data primer melalui pengamatan atau wawancara dengan tokoh masyarakat setempat. (3) Persiapan untuk belajar. Setiap penyuluh mempersiapkan diri untuk mau belajar secara terusmenerus, persiapan ini perlu dimiliki dan dihayati oleh mereka. Oleh karena itu seorang penyuluh harus rajin: (a) berkomunikasi dengan lembaga penelitian dan

35

sumber-sumber inovasi yang lain; (b) mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai publikasi; (c) mengikuti berbagai pertemuan ilmiah; (d) mengikuti pelatihan dan penataran; dan (e) melakukan karya wisata, widya wisata, maupun anjangsana kepada kelayan yang telah berhasil. (4) Persiapan perlengkapan menyuluh. Untuk

mencapai kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh perlu

menyediakan dan menggunakan perlengkapan menyuluh, baik alat bantu maupun alat peraga. Dalam menyediakan perlengkapan tersebut seringkali penyuluh menghadapi kendala biaya dan waktu. Karena itu sejak dini harus belajar membuat alat bantu dan alat peraga penyuluhannya sendiri. Selain itu perlu kemampuan memilih alat-alat tersebut yang mudah didapat dan relatif murah harganya. Tidak semua peralatan yang canggih merupakan perlengkapan penyuluh yang efektif, hal ini karena karakteristik masyarakat sasaran, sifat inovasinya maupun pertimbangan teknis lainnya. Memperhatikan pokok-pokok pikiran tentang kegiatan penyuluhan pembangunan di atas, maka penyuluhan terhadap para pengusaha kecil hendaknya didasarkan atas : -

Prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, bahwasanya penyuluhan adalah proses pendidikan orang dewasa maka harus memperhatikan karakteristik orang dewasa yang kembali belajar dalam hal ini para pengusaha kecil. Hal tersebut akan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan orang dewasa.

-

Intervensi komunitas terencana, bahwasanya pemberdayaan pengusaha kecil adalah salah satu bentuk pengembangan kelompok masyarakat, sehingga proses perubahan yang dibutuhkan untuk menuju keberdayaan usaha kecil diperlukan pendekatan intervensi komunitas.

-

Partisipatif, proses penyuluhan dilakukan secara partisipatif yang memerlukan keterlibatan para pengusaha kecil secara interaktif dan maksimal dalam kegiatan perencanaan,

pelaksanaan,

pemanfaatan

dan

panilaian

dengan

tetap

memperhatikan prinsip lokalitas dan kemampuan para pengusaha kecil tersebut. -

Berorientasi pada kebutuhan para pengusaha usaha kecil. Kebutuhan para pengusaha kecil merupakan fokus kegiatan penyuluhan (bukan kebutuhan program

atau

penyuluh),

sehingga

kelemahan-kelemahan

program

36

pemberdayaan masa lalu yang berorientasi pada kebutuhan nasional bisa dikaji kembali untuk diarahkan pada kebutuhan usaha kecil. -

Pendekatan kelompok, penyuluhan dilakukan dengan pendekatan kelompok bukan hanya karena prinsip efisiensi, tetapi agar terjadi interaksi antar pengusaha kecil yang sekaligus menjadi forum belajar dan forum pengambilan keputusan di antara mereka. Selain itu proses difusi inovasi juga lebih mudah terjadi dengan pendekatan kelompok. Memperhatikan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kemampuan

penyuluh/aparatur pembina merupakan syarat mutlak keberhasilan kegiatan penyuluhan terhadap usaha kecil, karena itu dituntut memahami peran yang harus dijalankannya dan memiliki kehandalan dalam bidang tugas yang menyangkut prospek pengembangan usaha kecil industri agro. Peran yang harus dijalankan meliputi: mengembangkan kebutuhan dan memahami permasalahan yang dihadapi para pengusaha kecil industri agro, menggerakkan perubahan yang lebih baik dan memantapkan hubungan dengan para pengusaha kecil industri agro. Kualitas yang harus dimiliki menyangkut: kemampuan berkomunikasi, sikap menghayati profesi penyuluhan terhadap usaha kecil, menyukai dan dekat dengan kelompok usaha kecil industri agro, tingkat pengetahuan yang memadai di bidang penyuluhan kewirausahaan bagi usaha kecil industri agro, mampu menerapkan proses belajar mengajar orang dewasa dan mampu melakukan pengembangan kegiatan kelompok wirausaha industri agro.

Teori Perilaku Teori Psikoanalitik Teori ini dikemukakan oleh Freud (Salkind, 1985) bahwa setiap orang memiliki tiga unsur kumpulan energi di dalam kepribadiannya, yaitu: Id (naluri/insting), ego dan superego. Id mencari kepuasan pada dirinya sendiri dan juga superego yang merupakan bagian dari jiwa manusia yang mengandung unsur ideal dan pikiran yang baik. Tindakan atau perilaku manusia merupakan hasil konflik antar Id dan superego. Konflik antara kedua faktor ini selalu berhasil didamaikan oleh ego. Pola perilaku manusia selalu bersifat defensif dan selalu dapat diperkirakan berdasarkan pengamatan atas bagaimana kompromi yang terjadi antara Id dan superego.

37

Ketiga unsur kepribadian ini kadar kekuatannya beragam antar individu. Bahkan pada diri masing-masing individu kadar kekuatan dari ketiga unsur itu dapat berubah antar waktu, sehingga kualitas kepribadian seseorang tidak senantiasa konsisten, melainkan dapat berfluktuasi antar waktu.

Teori Sifat dan Perangai Teori ini dikemukakan oleh Cattell (Indrawijaya, 1986). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa menurut teori ini kepribadian seseorang selalu tetap dan tidak berubah atau sulit berubah. Oleh sebab itu mudah sekali untuk memperkirakan perilaku seseorang. Sifat dan perangai seseoranglah yang membedakannya dengan orang lain. Selanjutnya menurut teori ini, sifat seseorang sudah ada sejak lahir, dibagikan secara unik, tidak berubah sepanjang masa, dapat diukur secara kuantitatif, dan dapat digunakan untuk menduga bagaimana ia akan bertindak. Sifat atau perangai seseorang dapat diteliti dengan berbagai cara. Ada yang berpendapat bahwa sifat seseorang dapat diketahui melalui pendekatan biologis; maksudnya sifat manusia ditentukan oleh faktor genetisnya masing-masing. Warna mata, rambut dan bentuk tubuh dapat menunjukkan sifat atau perangai seseorang. Sebagian lagi berpendapat bahwa kepribadian seseorang ditentukan oleh sifat kejiwaan, seperti ketenangan, kehangatan dan sebagainya. Sifat-sifat kejiwaan ini menjelma dalam cara ia bertindak.

Teori Kebutuhan dan Motivasi Teori ini dianggap dapat memberikan bantuan untuk lebih mengerti kepribadian seseorang. Tokoh-tokoh teori ini antara lain: Maslow dan Mc. Clelland, (Thoha,1998). Di bawah ini dikemukakan teori hirarkhi kebutuhan dan teori motif berprestasi. Teori hirarkhi kebutuhan memberi perhatian pada manusia yang psikologi sehat. Menurut teori ini manusia selalu dituntut oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekali terpenuhi kebutuhan, ia tidak lagi menjadi faktor pendorong. Hirarkhi kebutuhan ini menyangkut: kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk diterima dan dihormati orang lain, kebutuhan untuk mempunyai citra baik, dan kebutuhan untuk menunjukkan prestasi yang terbaik. Walupun teori ini paling sering dikutip tetapi banyak dikritik. Kritik itu ada yang bersifat mempertanyakan kebenaran teori itu sendiri, yang tidak berdasarkan hasil

38

penelitian; ada pula yang mengkritik karena tingkat kebutuhan manusia sebenarnya tidak dapat dipisah-pisahkan secara berjenjang. Seseorang mungkin saja masuk organisasi bukan dengan alasan kebutuhan biologis, tetapi misalnya langsung karena kebutuhan akan rasa aman. Teori motif berprestasi berbeda dengan konsepsi Maslow, teori yang dikemukakan Mc. Clelland ini terpusat pada satu macam kebutuhan, yaitu yang disebut dengan motif berprestasi. Teori ini berasumsi bahwa semua kebutuhan adalah karena dipelajari, sehingga kepribadian juga akan berubah kalau seseorang belajar. Teori ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara buku yang dibaca oleh seseorang dengan tingkat motivasinya. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat pula hubungan yang sangat erat antara tingkat motivasi berprestasi suatu masyarakat dengan tingkat kemajuan perekonomiannya.

Perilaku suatu Pandangan Kesisteman Perilaku manusia adalah sesuatu yang rumit. Padahal mengerti perilaku manusia justru merupakan panhkal tolak untuk dapat mengerti perilakunya dalam organisasi. Pandangan kesisteman adalah jalan yang paling mudah untuk mengerti perilaku manusia. Dalam pandangan ini perilaku manusia ditentukan oleh proses input dan output. Artinya harus menganggap bahwa manusia adalah suatu sistem yang terbuka, bukan sesuatu yang dapat diisolasi, dan bahwa manusia berintegrasi dengan lingkungan serta hidup dalam lingkungan. Pandangan ini dikemukakan oleh Vinacke (Indrawijaya, 1986), bahwa seseorang mendapatkan input dari lingkungannya, kemudian melakukan proses transformasi dan melakukan suatu tindakan atau berperilaku tertentu. Tindakan dan perilakunya merupakan masukan bagi lingkungannya. Selanjutnya kombinasi antara lingkungan seseorang dengan sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir akan menyebabkan timbulnya kebutuhan dan dorongan untuk berkembang. Tindakan manusia selalu ada penyebab atau pendorongnya dan mempunyai maksud tertentu. Kurt Lewin (Indrawijaya, 1986) seorang ahli ilmu jiwa terkenal mengemukakan rumus: Personality = f (heredity, experience), artinya kepribadian adalah fungsi dari pembawaan sejak lahir dan lingkungan (pengalaman). Menurut Skinner (Salkind, 1985), perilaku adalah fungsi dari konsekuensi. Perilaku timbul karena ada stimulus, kualitas dan karakteristik stimulus yang mengikuti perilaku adalah sangat penting. Konsekuensi perilaku akan menyebabkan

39

peningkatan, penurunan atau tidak adanya perubahan dalam probabilitas timbulnya perilaku yang terjadi kemudian. Berdasarkan pada studi dan analisis konsekuensi Skinner ini, maka pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku sangat penting.

Aspek Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Perilaku manusia hakekatnya menyangkut aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Sementara itu menurut Duncan dalam Indrawijaya (1986) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, kebutuhan, harapan dan pengalamannya. Menurut Gibson et al. (1995), terdapat beberapa faktor penting yang menyebabkan perbedaan individu dalam perilaku. Model Dasar Perilaku disajikan sebagai titik pangkal untuk memahami perilaku individu. Hal penting yang dapat dipetik dari model tersebut adalah: (l) proses perilaku adalah serupa bagi semua orang; (2) perilaku yang sebenarnya dapat berbeda karena peubah fisiologis, lingkungan dan psikologis, dan karena faktor-faktor seperti frustasi, konflik dan kegelisahan; dan (3) banyak peubah yang mempengaruhi perilaku terbentuk sebelum orang memasuki organisasi pekerjaan. Proses yang mendasari perilaku seseorang adalah sama, dengan empat asumsi penting mengenai perilaku manusia yaitu: (l) perilaku timbul karena sesuatu sebab, (2) perilaku diarahkan kepada tujuan, (3) perilaku yang terarah pada tujuan dapat diganggu oleh frustasi, konflik dan kegelisahan, dan (4) perilaku timbul karena motivasi. Berdasarkan empat asumsi tersebut, maka dapat diketahui bahwa seseorang berperilaku tidak dapat secara spontan dan tanpa tujuan, tetapi harus ada sasaran secara eksplisit maupun implisit dan timbul sebagai reaksi atas sasaran. Pola perilaku dapat berbeda tetapi proses terjadinya adalah hal yang mendasar bagi semua individu, yakni terjadi disebabkan, digerakkan dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig, 1995). Berdasarkan teori perilaku dan asumsi di atas, perilaku itu tidak dapat spontan dan tanpa tujuan, sehingga harus ada sasaran baik eksplisit maupun implisit. Perilaku kearah sasaran timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan (penyebab) yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dan kondisi baru yang diharapkan, dan perilaku yang timbul adalah untuk menutup jarak tersebut. Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti

40

keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action). Gabungan dari atribut biologis, psikologis dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character) yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat mental, nilai-nilai, sikap kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan, dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu diri yang unik (unique self) (Kast dan Rosenzweig, 1995). Untuk mengetahui proses perilaku ini terbentuk dan berkembang, komponen kognitif, afektif dan psikomotorik, menurut Mar’at (1982), dikaitkan dengan hal-hal berikut: (l) Kognisi berhubungan dengan belief, ide dan konsep. Kepercayaan datang dari apa yang pernah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Setelah kepercayaan terbentuk, ia dapat memprediksi masa datang, termasuk didalamnya pengalaman pribadi yang cenderung membentuk stereotip. Ranah/domain, kognisi akan menjawab pertanyaan sesuatu yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. (2) Afeksi, menyangkut kehidupan emosional seseorang. Secara umum disamakan dengan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Reaksi emosional ditentukan oleh kepercayaan. (3) Konasi/Psikomotor, merupakan kecenderungan bertingkah laku, berkaitan dengan obyek yang dihadapi. Kecenderungan berperilaku secara konsisten. Selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang membentuk perilaku individu.

Menurut Kast dan Rosenzweig (1995), terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku individual dalam suatu situasi kerja. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga konteks yaitu: konteks individual yang berhubungan dengan konteks organisasi kerja dan konteks umum yang berada di luar konteks individual dan konteks organisasi kerja.

Proses Belajar Menentukan Perilaku Belajar merupakan salah satu proses fundamental yang mendasari perilaku. Gibson et al. (1995) mendefinisikan belajar sebagai proses terjadinya perubahan yang relatif tetap dalam perilaku sebagai akibat dari praktek. Menurut Robbins (1996), terdapat tiga hal yang perlu mendapat penjelasan mengenai perubahan perilaku dan belajar yaitu: (1) belajar melibatkan perubahan, (2) perubahan itu harus relatif permanen, dan (3) belajar berlangsung dimana ada sesuatu perubaahan

41

tindakan. Suatu perubahan proses berpikir atau sikap seseorang individu jika tidak diiringi dengan perubahan perilaku, itu bukan pembelajaran. Menurut Robbins (2001), terdapat tiga teori untuk menjelaskan proses pembelajaran yang mendasari pola perilaku, yaitu: (1) Teori pengkondisian klasik (Classical Conditioning) dari Pavlov lebih bersifat pasif, sesuatu terjadi dan seseorang bereaksi dengan cara yang khusus. Jadi hanya menjelaskan perilaku reflektif yang sederhana, padahal perilaku rumit dari individu lebih bersifat dipancarkan bukan diperoleh, jadi perilaku individu bersifat sukarela bukan refleks; (2) Teori pengkondisian operan (Operant Conditioning) dari Skinner berpandangan bahwa dengan menciptakan konsekwensi-konsekwensi yang menyenangkan, maka frekuensi dari perilakunya akan meningkat; dan (3) Teori pembelajaran sosial (Social Learning) dari Bandura (1977) bahwa orang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung. Teori ini menekankan permainan peran utama, melalui pengalaman sendiri, secara simbolik dan proses pengaturan diri sendiri dalam fungsi psikologikal. Pendekatan teori pembelajaran sosial menjelaskan perilaku manusia dalam suatu pola interaksi timbal balik secara terus-menerusantara kognitif, keperilakuan dan faktor penentu lingkungan. Dalam proses timbal balik berpeluang bagi orang untuk mempengaruhi kehendaknya dan juga membatasi diri sendiri secara langsung. Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dirumuskan empat metode pembentukan perilaku yaitu: lewat penguatan positif, penguatan negatif, hukuman dan pemunahan. Aliran behavioristik merujuk pada sebuah set teori tentang proses perkembangan pada diri manusia. Atribut teori-teori ini adalah bahwa individu berkembang karena lebih dipengaruhi oleh faktor biologi. Asumsi-asumsi dasar paham perilaku ini adalah: (l) Perkembangan adalah suatu fungsi pembelajaran. Gagne (Salkind, 1985) mendefinisikan perkembangan sebagai kumpulan efek pembelajaraan. Pembelajaran merupakan perubahan perilaku jangka pendek dan jika perubahan ini digabung dan diorganisir secara hirarkis akan menghasilkan perkembangan. Jadi perkembangan adalah hasil akumulasi pengalaman yang terkait satu sama lain . Perkembangan berasal dari pembelajaran dan pembelajaran bukan hasil perkembangan. Bijou (Salkind, 1985) juga berpendapat sama tentang perkembangan. Dia mendefinisikan pembelajaran sebagai hubungan antara penguatan dan pelemahan fungsi

42

stimulus dan respon. Dalam paradigma ini reinforcement dan punishment oleh perilaku. (2) Perkembangan adalah hasil dari tipe-tipe belajar yang berbeda. Mempelajari tipe-tipe belajar yang mengatur perkembangan adalah penting. Tipe-tipe pembelajaran ini diasosiasikan dengan teori-teori lain. (3)

Perbedaan-perbedaan

individu

dalam

perkembangan

menggambarkan

perbedaan-perbedaan dalam sejarah dan pengalaman sebelumnya. Perbedaan dalam perkembangan individu dihasilkan dari pengalaman masa lalu yang berbeda-beda. Pengalaman dan sejarah masa lalu menjadi dasar perkembangan. Cara pengalaman-pengalaman tersebut disimpan, diambil dan kemudian ditransfer ke dalam situasi baru merupakan elemen penting dalam perspektif perilaku. (4) Perkembangan adalah hasil dari pengorganisasian perilaku-perilaku. Perkembangan

adalah

proses

pengorganisasian

perilaku-perilaku

sederhana yang terpisah-pisah (yang dihasilkan dari pengalaman sebelumnya) menjadi perilaku yang lebih kompleks. (5) Faktor-faktor biologis membentuk batasan-batasan umum pada jenis perilaku yang dikembangkan, tetapi lingkungan menentukan perilaku-perilaku dimana organisme berada. Meskipun proses biologis menghasilkan framework perilaku, faktor lingkungan akan menentukan jenis-jenis yang dihasilkan. Lingkungan menentukan perilaku-perilaku yang diperoleh. Kesehatan kandungan, kematian ibu, merokok, minum

alkohol,

dapat

mempengaruhi

perkembangan,

input

lingkungan

mempengaruhi perkembangan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perubahan perilaku pada individu tidak terlepas dari proses pembelajaran yang terjadi. Dengan dukungan dari lingkungan pembelajaran yang terjadi secara formal maupun informal maka akan terjadi perubahan perilaku. Perilaku sebagai cara bertindak yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan hasil kombinasi antara pengembangan pengetahuan anatomis, fisiologis dan psikologis dan pola perilaku dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatankegiatannya. Model dasar perilaku disajikan sebagai titik pangkal untuk memahami perilaku individu. Perubahan perilaku dapat terjadi melalui proses pembelajaran, adanya stimulus atau bahkan karena tekanan/paksaan.

43

Konsep Wirausaha Pengertian Wirausaha Banyak orang melakukan warausaha karena tuntutan kebutuhan, kemudian melalui proses yang panjang sehingga perilaku wirausaha sudah menjadi bagian dari kehidupannya, artinya perilaku wirausaha sebenarnya dapat dipelajari dan diimplementasikan oleh setiap orang, jika orang tersebut ada kemauan dan dorongan, walaupun awalnya disebabkan oleh adanya tekanan untuk menjaga eksistensi kehidupannya. Menurut Meredith et al. (1996), para wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan yang ada; mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Wirausaha akan berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Hal senada dikemukakan oleh Zimmerer dan Scarborough (2005), adalah sebagai berikut: wirausahawan adalah orang yang menciptakan bisnis baru yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian, bertujuan mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang-peluang yang signifikan serta menyusun sumber-sumber usaha yang penting bagi permodalan usahanya. Pemikiran di atas juga didukung oleh Kuratko dan Hodgetts (Manurung, 2006), bahwa wirausahawan adalah orang yang melakukan pengorganisasian, mengelola dan membuat asumsi resiko suatu bisnis. Wijandi dan Sarma (2002) berpendapat bahwa inti kewirausahaan adalah kemandirian. Kemandirian seseorang banyak ditentukan oleh tingkat kepercayaan dirinya atas apa yang harus dihadapi. Kemandirian untuk mampu bekerja mandiri akan sulit dilakukan jika tidak terbiasa belajar, berlatih dan kerja mandiri yang memberikan pengalaman sukses. Kepercayaan diri sangat menentukan keberanian seseorang untuk bertindak atau mengambil resiko, karena faktor keyakinan atas kemampuan diri sangat bergantung pada seberapa tinggi kepercayaan dirinya untuk berhasil. Winardi (2003) mendefinisikan kewirausahaan sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan atau pelayanan yang lebih baik pada pelanggan/masyarakat. Caranya dengan selalu berusaha mencari dan melayani

44

langganan lebih banyak dan lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien, melalui keberanian mengambil resiko, kreatifitas dan inovasi serta kemampuan manajemen. Definisi di atas mengandung asumsi bahwa

setiap orang yang mempunyai

kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan berusaha. Memperhatikan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan bahwa wirausaha merupakan tindakan seseorang yang berani mengambil resiko sebuah bisnis, mempunyai asumsi adanya pertumbuhan bisnis dan hasil-hasilnya yang dapat meningkatkan kapitalisasi perusahaan. Memiliki kemampuan berusaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain dan tangguh menghadapi cobaan. Tindakan yang dilakukannya untuk mengelola sebuah bisnis dengan karakteristik inovasi yang tinggi. Wirausaha bukanlah sekedar pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsip-prinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha. Apabila hal tersebut dimiliki oleh pengusaha kecil dengan kualitas yang tinggi, maka kesejahteraan pengusaha dan tenagakerja serta keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha tersebut akan dapat ditingkatkan.

Perilaku Wirausaha Menurut Bird (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang: mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif. Gagasan-gagasannya disesuaikan dengan format dimulainya bisnis, pertumbuhan usaha atau transformasi bisnis. Perry (1995) menyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aktivitas wirausahawan dalam mengelola usahanya dengan inovasi radikal, strategi proaktif dan pengambilan resiko yang dimanifestasikan dalam dukungan proyek dan dengan hasil yang tidak pasti. Profil wirausaha menurut Meredith et al. (1996) adalah memiliki ciri: (l) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) pengambil resiko, (4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi masa depan/visioner. Wirausaha menurut Manurung (2006) mempunyai empat karakteristik yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

45

(1) Menjalankan sebuah bisnis yang mempunyai kemungkinan menghasilkan keuntungan; (2) Berani menanggung resiko bisnis tersebut di masa mendatang; (3) Bisnis yang sedang ditekuni akan mempunyai kesempatan bertumbuh; (4) Perusahaan akan membuat inovasi dan terjadi kapitalisasi bisnis tersebut. Profil wirausaha menurut Zimmerer dan Scarborough (2005), antara lain meenyangkut: (1) Menyukai tanggung jawab; (2) Lebih menyukai resiko menengah; (3) Keuletan dan keyakinan untuk meraih keberhasilan; (4) Hasrat untuk langsung mendapatkan umpan balik; (5) Tingkat energi yang tinggi dan mengutamakan efisiensi (6) Orientasi ke depan terhadap peluang pasar ; (7) Keterampilan mengorganisasi dan menjalin hubungan; (8) Menilai prestasi lebih tinggi dari pada uang. Menurut Sukardi (1991), terdapat sembilan ciri psikologis wirausaha yang berhasil: (l) selalu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan peluang kinerjanya; (2) selalu berusaha memperbaiki prestasi, menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan dan berupaya agar kinerjanya lebih baik dari sebelumnya; (3) selalu bergaul dengan siapa saja, membina kenalan, mencari kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi; (4) dalam berusaha selalu terlibat dalam situasi kerja, tidak mudah menyerah sebelum pekerjaan selesai; (5) optimis bahwa usahanya akan berhasil, percaya diri dan bergairah, tidak ragu-ragu; (6) tidak khawatir menghadapi situasi yang tidak pasti, berarti mengambil antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan kegagalan, segala tindakan diperhatikan secara cermat; (7) benar-benar memperhitungkan apa yang harus dilakukan dan bertanggungjawab pada dirinya sendiri; (8) selalu bekerja keras mencari cara-cara baru yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerjanya; dan (9) hal yang dilakukannya merupakan tanggung jawabnya, kegagalan dan keberhasilan dikaitkan dengan tindakan pribadinya. Berdasarkan hasil penelitian Perry (1995), pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Ditemukan bahwa keberhasilan usaha kecil menengah eceran di Thailand meningkat karena

46

dipengaruhi faktor: orientasi kewirausahaan, pengalaman bisnis wirausahanya, strategi peningkatan penjualan,dan pembangunan intangible asset. Kajian yang dilakukan berbagai pihak membuktikan ternyata tidak terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dan kapasitas berusaha. Sebaliknya, justru waktu berwirausaha (entrepreneurial age) merupakan variabel yang dominan. Sehubungan dengan hal itu, kenyataan memang menunjukkan hanya wirausaha kecil yang memiliki pengalaman panjang dalam jenis usaha tertentu yang dapat berhasil sedangkan orang-orang yang baru masuk ke dalam usaha atau selalu berganti-ganti usaha lebih sulit berkembang. Berpijak pada kajian tentang perilaku wirausaha di atas, dan mengacu pada definisi perilaku wirausaha dari Bird (1996) dan Meredith et al. (1996) dapat dinyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengusaha kecil yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan keterampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. Menurut Bird (1996), terdapat empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu: (1) faktor individu merupakan kondidi orang-orang yang ada dalam organisasi, (2) faktor organisasi menyangkut kondisi internal, keberadaan serta daya tahan lembaga tersebut, (3) faktor lingkungan merupakan faktor yang berada di luar organisasi dan dapat mempengaruhi keberadaan organisasi, dan (4) faktor proses, sebagai aktivitas kerja yang terjadi dalam organisasi termasuk terjadinya interaksi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Faktor individu yang menjalankan usaha adalah karakteristik biologis, latar belakang wirausaha, dan motivasi. Faktor organizational outcomes, adalah unit usaha, kekayaan, produk dan sebagainya. Faktor lingkungan mencakup kekuatan yang lebih besar yaitu: faktor sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung atau menghambat wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal, keyakinan dan nilai-nilai dalam usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, temamn sesama pengusaha, mitra dan dukungan keluarga. Faktor perilaku adalah proses yang dijalankan oleh wirausaha

dalam kegiatan usahanya meliputi: pemahaman usaha (conceiving),

kreasi (creating), pengelolaan (organizing), dan promosi (promoting). Berdasarkan uraian di atas, maka setidak-tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku wirausaha dapat digolongkan menjadi dua yaitu: faktor

47

internal yang merupakan faktor yang ada dalam diri pribadi dan faktor eksternal yang terdiri dari lingkungan dan faktor pendukung kegiatan usaha. Menyimak pemikiran di atas dapat dikemukakan bahwa perilaku wirausaha dalam konteks pengembangan usaha kecil adalah perilaku yang dimiliki pengusaha kecil dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian dalam mengambil resiko, keinovatifan dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Berarti pengusaha kecil yang memiliki pola perilaku wirausaha adalah mereka yang secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko.

Konsep Pemberdayaan dan Keberdayaan Usaha Kecil Pengertian Pemberdayaan Konsep pemberdayaan terus berkembang dan terus mendapat revisi baik dari kalangan birokrat maupun kalangan ilmuwan. Perubahan struktur masyarakat, kebutuhan masyarakat dan berkembangnya pemikiran kritis masyarakat menuntut perubahan makna, visi, misi dan strategi pembangunan. Konsep pemberdayaan muncul pada 1970-an, pada masa itu masyarakat mulai berkembang pemikirannya dan bereaksi untuk mengembangkan kapasitasnya. Mereka melakukan gerakan populis, antistruktur, antisistem dan antideterminisme yang diaplikasikan dalam kekuasaan. Oxaal dan Baden (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan bukan sekedar membuka akses untuk mengambil keputusan tetapi harus memproses masyarakat agar mereka merasa mampu dan berhak menduduki ruang pengambilan keputusan. Upaya perberdayaan ditujukan untuk menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kelompok masyarakat, negara, regional maupun internasional. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu: (l) proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan (2) proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan

48

atau keberdayaan, menentukan hal-hal yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses belajar. Hubeis (2000) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P: Pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, Penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat dan Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. Esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan

kesempatan

untuk

membicarakan

hal-hal

yang

penting

untuk

perubahan yang mereka butuhkan. Berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan berupa meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia (Syahyuti, 2006). Pemikiran pemberdayaan di atas, menunjukkan bahwa kebutuhan peningkatan kapasitas manusia sangat mendesak untuk dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia menjadi semakin penting untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Dalam konteks usaha kecil makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat agar: (l) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkreasi dalam usaha kecilnya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan keterampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang lebih baik (Syahyuti, 2006). Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan sistematis

49

sehingga masyarakat usaha kecil lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan partisipatif. Keberdayaan Usaha Kecil Dikatakan

berdaya

apabila

seseorang

telah

mampu

meningkatkan

kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),

peningkatan

kemampuan

permodalan,

pengembangan

usaha,

dan

pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan, dan partisipasi (Ismawan, 2001). Lebih lanjut Friedmann (Ismawan, 2001) menekankan bahwa keberdayaan ditandai adanya kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu, misalnya informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumbersumber keuangan. Keberdayaan juga ditunjukkan adanya kemampuan membangun daya saing dengan menumbuhkan kesadaran pengusaha-pengusaha kecil akan mutu, jasa, lingkungan, organisasi, kerukunan, kerjasama, kejujuran, dan hal-hal lain yang berpengaruh dalam pemasaran produk dengan jangkauan pasar yang lebih luas. Terjadinya proses perubahan kerangka berpikir, dari orientasi ke dalam menuju orientasi ke luar, agar kelompok usaha kecil bisa mengantisipasi perubahan iklim bisnis secara akurat, khususnya perubahan pola persaingan Friedmann (Ismawan, 2001). Keberdayaan ditunjukkan dengan adanya kemampuan mengakses pasar secara luas. Melalui strategi marketing mix secara tepat, usaha kecil akan lebih kompetitif di pasar. Marketing mix bisa optimal kalau pelaku usaha kecil memiliki kesadaran untuk berorganisasi sehingga dapat menembus wilayah pemasaran yang lebih luas. Sebab biasanya menembus pasar secara kolektif relatif lebih mudah dibandingkan dengan pola single fighter (berjuang individual). Bagi usaha kecil, efektivitas dan efisiensi adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan atau didikte, tetapi hanya bisa distimulasi. Efisiensi dalam proses produksi dan pemasaran adalah buah upaya pengembangan yang terus-menerus (Ismawan, 2001). Selama ini, pelaku ekonomi rakyat memang selalu tak berdaya ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga finansial. Upaya pemerintah mengembangkan kredit bagi usaha kecil bukan tidak pernah dilakukan, tetapi sudah banyak dilakukan dengan berbagai paket bantuan kredit pada usaha kecil. Namun demikian pihak perbankan sebetulnya memiliki berbagai kendala dalam melayani pengusaha kecil.

50

Biaya transaksi masih relaif tinggi, sebab lokasi nasabah pada umumnya sulit dijangkau akibat kurangnya jaringan kerja perbankan. Kendala lainnya, banyak kredit berskala kecil yang digunakan untuk kepentingan konsumtif. Salah satu kelemahan kredit usaha kecil (KUK) adalah tidak adanya pembedaan secara tegas antara kredit untuk keperluan konsumtif dan kredit usaha produktif. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa keberdayaan menunjukkan tingkat ketahanan para usaha kecil dalam menjalankan usahanya, yang diperlihatkan dengan kemampuan mengakses pasar, kemampuan bersaing, kemampuan mengakses permodalan, mampu mengakses informasi bisnis, mampu menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, mampu mengembangkan kelembagaan usaha

kecil,

mampu

mengakses

bahan

baku/barang

jadi

lainnya

untuk

diperdagangkan, mampu menjalin jaringan dengan pelaku-pelaku bisnis serta pihak pengambil kebijakan. Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang. Menurut Steiner (Rangkuti, 2001) mengemukakan bahwa strategi merupakan respon secara terus-menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Porter (1985) memaknai strategi sebagai alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Hamel dan Prahalad (1995) berpendapat bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan masyarakat di masa depan. McNicholas (1977) menyatakan bahwa strategi sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumberdaya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Secara lebih rinci dikemukakan oleh Hax dan Majluf (Salusu, 1996) bahwa strategi menyangkut: (1) pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral; (2) menentukan dan menampilkan tujuan jangka panjang, program aksi dan prioritas sumber daya; (3) menseleksi bidang yang akan digeluti; (4) mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal serta kekuatan dan kelemahannya; dan (5) melibatkan semua tingkatan hirarkhi dari organisasi.

51

Tipe strategi menurut Kooten (1991) meliputi: (1) corporate strategi (strategi organisasi), (2) program strategy (strategi program), (3) resource support strategy (strategi pendukung sumberdaya), dan (4) institutional strategy (strategi kelembagaan). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu kelembagaan dengan mendayagunakan serta mengalokasikan semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut dengan merespon secara tepat terhadap perkembangan lingkungan eksternal. Hanna dan Robinson (1994) berpendapat bahwa ada tiga strategi pemberdayaan masyarakat, yaitu: (1) strategi traditional yang menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan, (2) strategi direct action yang membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang akan terjadi, dan (3) strategi transformatif yang menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka panjang. Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Ife (1995) dapat ditempuh melalui tiga strategi, yaitu: (1) kebijakan dan perencanaan; Para elitis memiliki kekuasaan yang kuat untuk memberdayakan masyarakat melalui berbagai kebijakan dari perencanaan. Jika elit politik tidak memiliki kemauan politik untuk mengubah kebijakan yang cenderung melanggengkan ketidakberdayaan masyarakat, maka masyarakat dapat melakukan upaya advokasi untuk menekan elit politik sehingga mereka dapat mengubah kebijakannya. (2) aksi sosial dan politik; Aksi sosial secara partisipatif yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menikmati hasil. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yaitu membentuk aliansi antar kelompok swadaya masyarakat. (3) pendidikan dan pembangkitan kesadaran. Dilihat dari perspektif post-strukturalis, faktor yang paling esensial dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah faktor pendidikan. Terjadi proses pembelajaran secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

52

kekuatan religi, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang diperlukan bagi dirinya. Ismawan (2001) mengemukakan bahwa substansi pemberdayaan yang mengacu kepada kemampuan masyarakat, yaitu: (a) pengembangan sumber daya manusia, merupakan pembentukan aspek pengakuan diri, percaya diri, kemandirian, kemampuan kerjasama, toleransi terhadap sesamanya dengan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) peningkatan kemampuan permodalan, banyak hasil penelitian menganggap permodalan menempati urgensi tersendiri karena menentukan ekspansi, tetapi permodalan hanya satu di antara titik-titik keberdayaan usaha kecil, sebenarnya fokus pemberdayaan usaha kecil hanya pada segi permodalan mengesankan sebagai sebuah upaya simplifikasi; (c) pengembangan usaha produktif, terkait dengan peluang dan kebutuhan pasar yang sedang diminati para konsumen; (d) pengembangan kelembagaan usaha bersama, dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi; dan (e) kemampuan akses informasi, berhubungan dengan kesempatan usaha kecil memperoleh informasi dan pengetahuan manajerial, inovasi, info pasar, kebijakan pemerintah dan kemitraan. Berdasarkan kajian para ahli di atas dapat dikemukakan strategi pemberdayaan usaha kecil sebagai berikut: (1)

Mencari kiat-kiat yang tepat dalam peningkatan pengetahuan, semangat dan kemampuan masyarakat

dalam berwirausaha dengan cara membudayakan

kebiasaan-kebiasaan berwirausaha pada masyarakat dalam mencari nafkah sehari-harinya. (2)

Dilakukan

pelatihan

untuk

peningkatan

keterampilan

teknis

dalam

memproduksi, pemasaran serta manajerial. (3)

Memfasilitasi kerjasama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi dan himpunan kelompok usaha kecil guna memperkuat posisi tawar usaha kecil.

(4)

Berusaha melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah/instansi terkait guna mendapatkan penyediaan prasarana umum yang dapat mendorong pertumbuhan usaha kecil seperti: lokasi pasar, ruang pertokoan yang terjangkau, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat serta lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima.

(5)

Memberi bantuan dan memfasilitasi terbentuknya bank data jaringan informasi bisnis yang mampu menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi, desain dan mutu.

53

(6)

Merekrut dan menyeleksi tenaga penyuluh usaha kecil yang handal, gigih, ulet, dekat dengan masyarakat, profesional dan kompeten.

(7)

Menyediakan bantuan konsultasi usaha kecil yang melibatkan dinas-dinas terkait, tenaga ahli dari perguruan tinggi, pelaku bisnis serta konsultal usaha kecil lainnya.

(8)

Melakukan pendekatan agar tersusun kebijakan yang memberikan kemudahan dalam tata cara perizinan usaha kecil serta kemudahan persyaratannya.

(9)

Memfasilitasi guna terwujudnya kemitraan usaha kecil dengan usaha menengah dan besar serta mencegah hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam transakasi bisnis melalui kemitraan tersebut.

(10) Melakukan pendekatan dengan pimpinan pemerintah daerah agar terusmuskan suatu kebijakan yang mencegah terbentuknya struktur pasar yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak wajar seperti monopoli, oligopoli yang merugikan usaha kecil. (11) Terus melakukan komunikasi dan kedekatan sehingga tersusun kebijakan pendanaan, baik dalam bentuk penjaminan kredit dari lembaga keuangan maupun dari penyisihan 5 % keuntungan BUMN serta program bantuan pembuatan sertifikasi kepemilikan tanah dan bangunan para usaha kecil untuk jaminan kredit. (12) Diupayakan dengan menjalin kerjasama guna memperoleh bantuan modal dari pihak swasta. (13) Merumuskan dan memberikan bimbingan bagi pengembangan usaha yang benar-benar sedang produktif; (14) Memfasilitasi tersedianya informasi yang tepat guna bagi usaha kecil, baik informasi perluasan pasar, bahan baku, kerjasama kemitraan, perkembangan teknologi

maupun

infomasi

kebijakan

pemerintah

dan

perubahan

perekonomian lainnya.

Keberhasilan Usaha Kecil Keberhasilan usaha kecil terutama sangat ditentukan oleh individu pengusaha itu sendiri selain lingkungan eksternal. Artinya sampai sejauhmana pengusaha kecil itu mampu mengelola, membenahi secara tepat dan optimal potensi internalnya di samping memiliki kehandalan dalam membaca pelung, beradaptasi dan mampu mengantisipasi secara cermat terhadap fluktuasi lingkungan eksternal

54

seperti perubahan pasar, selera konsumen, perubahan harga bahan baku, perkembangan teknologi, perubahan kebijakan pemerintah maupun iklim ekonomi dan kondisi politik lainnya. Menurut Day (1990), performance outcomes (keberhasilan) perusahaan meliputi: (1) satisfaction (kepuasan) artinya semakin banyak pihak-pihak yang merasa terpuaskan oleh keberadaan perusahaan itu, seperti pelanggan, pemilik saham, karyawan, pemberi pijaman, pemasok dan pemerintah; (2) loyality (loyalitas), menyangkut kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga mereka tidak berpindah dalam pembelian pada produk perusahaan lain; (3) market share (pangsa pasar), dalam hal ini sejauh mana perusahaan tersebut mampu untuk terus meningkatkan dan memperluas pangsa pasarnya bahkan mampu menjadi pemimpin pasar; dan (4) profitability (peningkatan pendapatan), suatu perusahaan dikatakan berhasil dalam usahanya dan menunjukkan kinerja yang baik jika secara bertahap terus memperlihatkan peningkatan profit yang signifikan. Selanjutnya Day menyebutkan bahwa performance outcomes yang menunjukkan tercapainya pertumbuhan dan keuntungan dipengaruhi oleh positions of advantage yang meliputi: nilai pelanggan yang superior dan biaya yang relatif rendah. Selain itu positions of advantage juga menentukan sources of advantage yang meliputi: keahlian yang superior, sumber-sumber yang superior dan sistem kendali yang superior. Namun demikian sources of advantage akan terwujud bila ada investasi terus-menerus yang diambil dari performance outcomes. Perusahaan yang berkembang dan mampu merencanakan suksesi menurut Zimmerer dan Scarborough (2005) ditentukan oleh (1) kepemimpinan dalam perekonomian baru, artinya wirausahawan harus mampu mempengaruhi dan memberikan semangat pada orang lain untuk bekerja dalam mencapai tujuan perusahaan dan kemudian memberikan mereka kekuasaan dan kebebasan dalam mencapainya. Di samping wirausahawan harus mampu bertindak tepat dalam menghadapi segala kemungkinan perubahan perekonomian; (2) mempekerjakan karyawan yang tepat, dalam hal ini menerima karyawan baru merupakan hal yang penting.

Untuk

menghindari

kesalahan

penerimaan

wirausahawan

harus

mengembangkan deskripsi pekerjaan dan spesifikasi yang berarti, merencanakan dan melaksanakan wawancara yang efektif dan memeriksa referensi sebelum menerima karyawan manapun; (3) membentuk budaya dan struktur organisasi secara tepat. Budaya perusahaan adalah kode pelaksanaan khusus dan tak tertulis yang

55

mengatur tingkah laku, sikap, hubungan, dan gaya organisasi. Budaya timbul dari pencarian tatanan nilai inti yang konsisten oleh wirausahawan yang dipercaya semua orang dalam perusahaan tersebut; dan (4) mengatasi tantangan dalam memotivasi pekerja. Ada empat alat penting motivasi meliputi: (1) pemberian wewenang melibatkan pemberian kekuasaan, kebebasan, dan tanggung jawab kepada pekerja pada setiap tingkat organisasi untuk mengendalikan kerja mereka, membuat keputusan dan mengambil langkah untuk mencapai tujuan perusahaan; (2) rancangan pekerjaan untuk mendorong motivasi karyawan meliputi perluasan jabatan, rotasi jabatan, pengkayaan jabatan dan berbagi pekerjaan; (3) penghargaan dan imbalan, uang merupakan motivator penting bagi banyak karyawan, tetapi bukan satu-satunya. Kunci penggunaan penghargaan seperti pengenalan dan pujian untuk memotivasi melibatkan penyesuaian mereka pada kebutuhan dan karakteristik pekerja; dan (4) umpan balik, memberikan secara dini kepada karyawan umpan balik yang relevan dengan kinerja pekerjaan mereka melalui sistem penilaian kinerja dapat juga merupakan motivator yang kuat. Kriteria keberhasilan usaha skala kecil menurut hasil penelitian Ghost et al. (Riyanti, 2003) tentang wirausaha kecil di Singapura menunjukkan hasil bahwa dari 85% responden yang menjawab, 70% wirausaha menggunakan net profit growth untuk mengukur keberhasilan usaha, disusul oleh laba penjualan(sales revenue growth) (61%), laba setelah pajak (return on investment) (50%), dan pangsa pasar (market share) (48%). Riyanti (2003) mengemukakan kriteria keberhasilan usaha kecil menunjukkan peningkatan dalam akumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan, perluasan usaha, dan perbaikan sarana fisik. Di samping itu kepuasan kerja juga dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan karena kepuasan kerja merupakan prakondisi bagi tingkat produktivitas, tanggung jawab, kualitas dan customer service. Kunci keberhasilan usaha skala kecil menurut Plotkin, Duncan serta Wilkin & Sons (Riyanti, 2003) menyimpulkan bahwa usaha kecil berhasil karena wirausaha memiliki otak yang cerdas yaitu kreatif, memiliki rasa ingin tahu, mengikuti perkembangan teknologi kemudian menerapkannya secara produktif, keterampilan wirausaha untuk mengenali pasar khusus dan mengembangkan usahanya di pasar tersebut serta mengenali trend produk di pasar lebih cepat dari pesaing, di samping kualitas dan relasi dengan pelanggan.

56

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa ukuran keberhasilan usaha kecil adalah: (1) terciptanya kepuasan berbagai pihak yang berkepentingan dengan usaha kecil. (2) meningkatnya kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan. (3) mampu meningkatkan dan memperluas pangsa pasar. (4) memiliki kemampuan bersaing di bidang usahanya. (5) terjadi peningkatan pendapatan.

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir menggambarkan alur berpikir seorang peneliti dalam menjelaskan model konseptual tentang hubungan berbagai peubah yang telah didefinisikan sebagai masalah yang penting untuk diteliti. Kerangka berpikir dalam penelitian ini dimulai dari pemikiran Freud (Salkind, 1985) tentang teori psikoanalitik bahwa setiap orang memiliki tiga unsur kumpulan energi di dalam kepribadiannya, yaitu: Id (naluri/insting), ego dan superego. Perilaku manusia sebagai hasil konflik antara Id dan superego. Konflik ini selalu berhasil didamaikan oleh ego. Pola perilaku manusia selalu bersifat defensif dan dapat diperkirakan berdasarkan pengamatan atas kompromi yang terjadi antara Id dan superego. Ketiga unsur kepribadian ini kadar kekuatannya beragam antar individu dan dapat berubah antar waktu, sehingga kualitas kepribadian seseorang tidak senantiasa konsisten, melainkan dapat berfluktuasi antar waktu. Cattell (Indrawijaya, 1986) mengemukakan bahwa sifat dan perangai seseorang sudah ada sejak lahir, dapat diukur secara kuantitatif, dan dapat digunakan untuk menduga bagaimana seseorang akan bertindak. Teori ini menekankan bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek pembawaan dari lahir sebagai sifat dari keturunan. Selanjutnya para tokoh teori kebutuhan dan motivasi seperti Maslow (Thoha,1998) berpendapat bahwa manusia selalu dituntut oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekali terpenuhi kebutuhan, ia tidak lagi menjadi faktor pendorong. Menurut Mc. Clelland (Thoha,1998) bahwa semua kebutuhan adalah karena dipelajari, sehingga kepribadian juga akan berubah kalau seseorang belajar. Terdapat pula hubungan yang sangat erat antara tingkat motivasi berprestasi suatu

masyarakat

dengan

tingkat

kemajuan

perekonomiannya.

Vinacke

(Indrawijaya, 1986), mengemukakan bahwa seseorang mendapatkan input dari

57

lingkungannya, kemudian melakukan proses transformasi dan melakukan suatu tindakan atau berperilaku tertentu. Kombinasi antara lingkungan seseorang dengan sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir akan menyebabkan timbulnya kebutuhan dan dorongan untuk berkembang. Lewin (Indrawijaya, 1986) seorang ahli ilmu jiwa terkenal mengemukakan rumus: Personality = f (heredity, experience), artinya kepribadian adalah fungsi dari pembawaan sejak lahir dan lingkungan (pengalaman). Skinner (Salkind, 1989), perilaku adalah fungsi dari konsekuensi. Perilaku timbul karena ada stimulus, kualitas dan karakteristik stimulus yang mengikuti perilaku. Analisis konsekuensi dari Skinner ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku sangat penting. Duncan dalam Indrawijaya (1989) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, kebutuhan, harapan dan pengalamannya. Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action) (Kast dan Rosenzweig, 1995). Menurut Robbins (2001), terdapat tiga teori untuk menjelaskan proses pembelajaran yang mendasari pola perilaku, yaitu: (1) Teori pengkondisian klasik (Classical Coditioning) dari Pavlov lebih bersifat pasif, sesuatu terjadi dan seseorang bereaksi dengan cara yang khusus. Jadi hanya menjelaskan perilaku reflektif yang sederhana, padahal perilaku rumit dari individu lebih bersifat dipancarkan bukan diperoleh, jadi perilaku individu bersifat sukarela bukan refleks; (2) Teori pengkondisian operan (Operant Conditioning) dari Skinner berpandangan bahwa dengan menciptakan konsekwensi-konsekwensi yang menyenangkan, maka frekuensi dari perilakunya akan meningkat; dan (3) Teori pembelajaran sosial (Social Learning) dari Bandura bahwa orang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa perubahan perilaku pada individu tidak terlepas dari proses pembelajaran yang terjadi. Melalui dukungan dari lingkungan pembelajaran, baik secara formal maupun informal akan terjadi perubahan perilaku. Perubahan perilaku dapat terjadi melalui proses pembelajaran, adanya stimulus atau bahkan karena tekanan/paksaan. Selanjutnya mengenai konsep wirausaha diawali dari pendapat Meredith et al. (1996) bahwa para wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan

58

melihat dan menilai kesempatan yang ada, mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Winardi (2003) mendefinisikan kewirausahaan sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan memberikan tanggapan positif terhadap peluang memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Caranya dengan melayani langganan lebih baik, menyediakan produk yang lebih bermanfaat, menerapkan cara kerja yang efisien, berani mengambil resiko, kreatifitas dan inovasi serta kemampuan manajemen. Menurut Bird (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang: mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif. Berdasarkan pemikiran Freud, Cattell, Maslow, Mc. Clelland, Vinacke, Kurt Lewin, Skinner, Duncan dan Bandura menunjukkan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku wirausaha yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu: faktor internal yang merupakan faktor yang ada dalam diri pribadi dan faktor eksternal yang meliputi lingkungan serta faktor pendukung kegiatan usaha. Selain itu bahwa setiap orang yang mempunyai kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan berusaha. Perilaku wirausaha dalam konteks pengembangan usaha kecil adalah perilaku yang diperlihatkan para pengusaha kecil dalam menjalankan aktivitas usahanya, menyangkut kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian mengambil resiko, inovatif dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Konsep pemberdayaan menurut Oxaal dan Baden (1997) sebagai upaya untuk menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu: (l) pemberdayaan yang menekankan pada proses mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan (2) proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan, menentukan hal-hal yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses belajar. Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Ife (1995) dapat ditempuh melalui tiga strategi, yaitu: (1) Kebijakan dari para eliti yang berkuasa. Kebijakan tentang usaha kecil baik yang didasarkan pada Unsang-undang No. 20 Tahun 2008 maupun yang di keluarkan oleh Pemerintah Daerah, seperti bantuan modal dan

59

peralatan serta pengaturan iklim usaha; (2) Aksi sosial secara partisipatif. Dilihat dari kebijakan tentang usaha kecil, maka hal ini bentuknya dapat berupa kemitraan dengan usaha menengah maupun besar; dan (3) Pendidikan, kegiatan ini dapat berupa pelatihan kewirausahaan, seperti: pelatihan proses produksi, pemasaran, keuangan maupun manajerial serta pemagangan ke usaha kecil sejenis yang telah berhasil. Adanya kebijakan ini akan menunjang tingkat keberdayaan usaha kecil yang ada di daerah tersebut. Dalam konteks usaha kecil, pemberdayaan berarti proses pembelajaran yang berkesinambungan ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada para pengusaha kecil industri agro, agar: (l) memiliki kesadaran dan rasa percaya diri; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkreasi dalam usaha kecilnya; (3) mampu bekerjasama dengan lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan keterampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang lebih baik. Proses pembelajaran sebagai upaya meningkatkan keberdayaan usaha kecil dapat dilakukan melalui usaha kegiatan penyuluhan. Menurut Asngari (2001), penyuluhan sebagai sistem pendidikan non-formal untuk mengubah perilaku kelayan sesuai dengan yang dikehendaki, baik untuk memberikan informasi maupun untuk mendorong adanya kebutuhan kelayan akan informasi. Menurut Boyle (1981), pengembangan program perlu didasarkan pada kepercayaan terhadap tujuan pendidikan, kepercayaan tentang belajar, kepercayaan tentang pengajaran dan penyuluhan serta kepercayaan tentang proses pengembangan program. Selanjutnya Chambers (1999) berpendapat bahwa program hanya akan berhasil mencapai tujuan, jika benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan peran penyuluh menurut Lippitt et al. (1956) adalah untuk: (l) pengembangan kebutuhan guna melakukan perubahan, (2) menggerakkan masyarakat agar melakukan perubahan, dan (3) memantapkan hubungan antara penyuluh dengan masyarakat sasaran. Friedmann (Ismawan, 2001) menekankan bahwa keberdayaan ditandai adanya kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu, misalnya informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumber-sumber keuangan. Keberdayaan juga ditunjukkan adanya kemampuan membangun daya saing dengan menumbuhkan kesadaran pengusaha-

60

pengusaha kecil akan mutu, kerjasama, kejujuran dan kemampuan mengakses pasar secara luas. Berdaya menurut Ismawan (2001) apabila telah mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),

peningkatan

kemampuan

permodalan,

pengembangan

usaha,

dan

pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan, dan partisipasi. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa keberdayaan menunjukkan tingkat ketahanan para usaha kecil dalam menjalankan usahanya, yang diperlihatkan dengan kemampuan mengakses pasar, kemampuan bersaing, kemampuan mengakses permodalan, mampu mengakses informasi bisnis, mampu menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, mampu mengembangkan kelembagaan usaha

kecil,

mampu

mengakses

bahan

baku/barang

jadi

lainnya

untuk

diperdagangkan, mampu menjalin jaringan dengan pelaku-pelaku bisnis serta pihak pengambil kebijakan. Keberhasilan usaha (performance outcomes) menurut Day (1990) meliputi: (1) satisfaction (kepusan) terkait dengan semakin banyak pihak merasa terpuaskan oleh keberadaan perusahaan, (2) loyality (loyalitas) menyangkut kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) market share (pangsa pasar) berhubungan dengan kemampuan memperluas pangsa pasar, dan (4) profitability (peningkatan pendapatan), ditandai adanya peningkatan profit yang signifikan. Riyanti (2003) mengemukakan bahwa kriteria keberhasilan usaha kecil menunjukkan peningkatan dalam akumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan, perluasan usaha, dan perbaikan sarana fisik. Keberhasilan usaha kecil menurut Duncan (Riyanti, 2003) yaitu bahwa unsur terpenting di balik keberhasilan usaha adalah ketrampilan wirausaha untuk mengenali pasar khusus dan mengembangkan usahanya di pasar tersebut serta mengenali trend produk di pasar lebih cepat dari pesaing, di samping kualitas dan relasi dengan pelanggan. Berdasarkan pendapat para ahli sebagaimana di uraian di atas, menunjukkan bahwa perilaku wirausaha yang meliputi kemampuan mencermati dan tanggapan positif terhadap peluang, mengumpulkan serta mengelola sumberdaya secara tepat, mempertimbangkan nilai-nilai dalam lingkungan usahanya, bersemangat dalam berusaha, berkemampuan manajerial, siap menerima resiko dan kreatif, akan berpengaruh terhadap keberdayaan usaha kecil dan tingkat keberhasilan usahanya,

61

Memperhatikan pendapat para ahli yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa pengusaha kecil yang memiliki keberdayaan (memiliki kemampuan mengakses pasar secara luas, mampu membangun daya saing melalui mutu produk, akses ke sumber-sumber keuangan, akses informasi, dan akses jaringan/kerjasama dalam berusaha) akan mempunyai peluang besar untuk berhasil dalam menjalankan usahanya, dalam hal ini mampu meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan, tercipta pangsa pasar yang luas, mampu bersaing dan mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan keluarganya. Mengkaji kerangka berpikir di atas, maka konsep penelitian ini adalah perilaku wirausaha dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal pengusaha kecil industri agro, sedangkan keberdayaan pengusaha kecil industri agro dipengaruhi oleh faktor eksternal dan gabungan kegiatan penyuluhan dengan kebijakan pemerintah tentang usaha kecil serta perilaku wirausaha. Keberhasilan pengusaha kecil industri agro dipengaruhi oleh perilaku wirausaha dan keberdayaan usaha kecil serta peubah-peubah lainnya. Adapun model konseptual dalam penelitian ini tertuang dalam Gambar 1 tentang hubungan antar peubah penelitian.

Hipotesis Penelitian Hipotesis

adalah

dugaan

tentang

hubungan

antar

peubah

yang

dikemukakan dalam bentuk pernyataan dan dugaan tersebut perlu diuji dengan data empirik. Berdasarkan latar belakang, tinjauan pustaka, dan kerangka berpikir, dapat ditarik deduksi menjadi suatu rumusan hipotesis sebagai berikut: (1) Perilaku wirausaha pengusaha kecil industri agro dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal dan faktor eksternal pengusaha kecil industri agro. (2) Keberdayaan pengusaha kecil industri agro dipengaruhi secara nyata oleh faktor eksternal, gabungan kegiatan penyuluhan dan kebijakan usaha kecil serta oleh perilaku wirausaha. (3) Keberhasilan pengusaha kecil industri agro dipengaruhi secara nyata oleh perilaku wirausaha dan keberdayaan usaha kecil industri agro. (4) Keberhasilan pengusaha kecil dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal, faktor eksternal serta gabungan kegiatan penyuluhan dan kebijakan usaha kecil.

62

X1 Faktor Internal Pengusaha Kecil

X2 Faktor Eksternal Pengusaha Kecil

X1.1 Ketekunan

X2.1 Pandangan masyarakat ttg wirausaha X2.2 Kekompakan antar pengusaha kecil X2.3 Berfungsinya forum usaha kecil X2.4 Nilai/kebiasaan masyarakat

X1.2 Kepemilikan sumbar usaha X1.3 Kosmopolitan X1.4 Penggunaan modal usaha X1.5 Kontribusi bagi keluarga

X3 Kegiatan Penyuluhan X3.1 Kemampuan penyuluh X3.2 Kesesuaian materi X3.3 Ketepatan metode X3.4 Frekuensi penyuluhan X3.5 Kedekatan dengan para pengusaha kecil X3.6 Dukungan sarana

X5 Perilaku wirausaha pengusaha kecil X5.1 Kognitif: pengetahuan manajerial dan memahami peluang pasar X5.2 Afektif: komitmen, disiplin, kejujuran, semangat, kesadaran ttg kualitas X5.3 Motorik: kemampuan teknis, kreatif, inovatif, berani ambil resiko.

X4 Kebijakan usaha kecil (Pemda/Dinas/ Intansi) X4.1 Frekuensi pemberian bantuan modal & peralatan. X4.2 Kemitraan usaha. X4.3 Pemberian pelatihan. X4.4 Pengaturan iklim usaha kecil.

X6 Keberdayaan usaha kecil X6.1 Akses pasar. X6.2 Akses permodalan. X6.3 Akses informasi bisnis. X6.4 Akses bahan baku. X6.5 Akses jaringan bisnis.

Y1 Keberhasilan Pengusaha Kecil Y1.1 Peningkatan jumlah pelanggan Y1.2 Kecenderungan loyalitas pelanggan Y1.3 Perluasan pangsa pasar Y1.4 Kemampuan bersaing Y1 5 Peningkatan keuntungan

Keterangan: : Diamati : Tidak diamati

Gambar 1: Model konseptual pengaruh antar peubah penelitian

Kesejahteraan keluarga pengusaha kecil industri agro