TIPOLOGI KEMISKINAN MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI

Download Berdasarkan tipologinya, kemiskinan masyarakat di lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural da...

0 downloads 331 Views 368KB Size
TIPOLOGI KEMISKINAN MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN MAMASA

TIPOLOGI POORNESS OF SOCIETY WHICH LIVING IN AND AROUND AREA FOREST SUB-PROVINCE MAMASA

Leimena, Radi A. Gany, Muhammad Arsyad

Jurusan Perencanaan Dan Kebijakan Pembangunan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Alamat Koresponden: Leimena Perumahan Pemda Mamasa Hp. 081355517849 Email: [email protected]

Abstrak Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang masih menjadi masalah di tengah-tengah masyarakat khususnya di negara berkembang. Tujuan penelitian ini yaitu : 1) Mengidentifikasi hubungan faktor penyebab kemiskinan dengan tingkat kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa; 2) Menganalisis kekuatan hubungan masing-masing faktor penyebab kemiskinan dengan tingkat kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa; 3) Mengetahui tipologi kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan metode deskriptif analitis; menggunakan kuisioner untuk 63 responden dan hasilnya dianalisis dengan metode uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen serta uji Koefisien Kontingensi (KK) untuk mengetahui kekuatan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen serta analisis kualitatif untuk mengetahui tipologi kemiskinan masyarakat di lokasi penelitian dengan membandingkan kriteria kemiskinan teoritis dengan kondisi real di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu Intensitas Usaha, Pengetahuan, Keterampilan, Fisik dan Akses Kesehatan, Modal Usaha dan Sumberdaya Alam dan Akses Informasi. Keenam faktor tersebut memiliki kekuatan hubungan dengan kemiskinan, dengan kriteria sedang. Berdasarkan tipologinya, kemiskinan masyarakat di lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kata Kunci: Penyebab kemiskinan, Tingkat kemiskinan, Tipologi kemiskinan

Abstract Poverty represent social phenomenon which still become medial problem of society specially in developing countries. The aims of the research were to (1) investigate the relationship between the cause factors of poverty and the level of community poverty within and around forest area in Mamasa Regency, (2) analyzed the strength of relationship between each factor of the cause of poverty and the level of community poverty within and around forest area of Mamasa Regency, (3) find out the typology of community poverty within and around the forest area of Mamasa Regency. The research was a survey study using descriptive analysis. The data were obtained using questionnaire from 63 respondents and analyzed using chi-square test to find out the relationship between independent variable and dependent variable, coefficient contingency test to find out the strength relationship between independent variable and dependent variable, and qualitative analysis to find out the typology of community poverty in the research location by comparing theoretical poverty criteria and real condition in the real location. The result of the research indicate that poor community living within and around forest area of Mamasa Regency is related to some factors, i.e. business intensity, knowledge, skill, physic and health access, business capital, natural resources, and information access. The six factors have a strong correlation with poverty with moderate criteria. Based on ith typology, community poverty in the research location consists of three types, i.e. natural poverty, cultural poverty, and structural poverty. Keyword: Cause of poverty, Mount poverty, Tipologi poverty.

PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang masih menjadi masalah di tengah-tengah masyarakat khususnya di negara berkembang. Di Indonesia, kemiskinan bukanlah masalah yang baru melainkan masalah yang telah ada sejak negara ini ada. Kemiskinan hampir tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan umat manusia. Masalah ini ibarat bayang-bayang yang senantiasa mengiringi pergerakan manusia, kemanapun ia bergerak dan bagaimanapun bentuknya gerakannya. Gany (2008) menyatakan “kemiskinan selalu melekat dalam proses peradaban manusia. Ia selalu hadir, dan tidak mungkin dienyahkan dalam kehidupan masyarakat. Puluhan Nabi telah diturunkan kedalam dunia dan hasilnya ia tetap menjadi bahagian nyata dari kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu”. Kemiskinan telah membatasi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia untuk memperoleh akses kebutuhan hidup (pangan, sandang dan papan); karena kemiskinan, masyarakat kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan, keterbatasan akses atas kebutuhan kesehatan, keterbatasan kesempatan untuk mengambil kebijakan publik dan pemerintahan, keterbatasan untuk melakukan inovasi, bahkan keterbatasan hak untuk menjalankan hubungan spiritual dengan Tuhan. Kemiskinan mencakup dimensi yang sangat kompleks sehingga penanggulangannya pun membutuhkan cara yang kompleks, melibatkan banyak pihak dan jangka waktu yang tidak terbatas (tidak temporer). Sulit untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari kemiskinan jika kemiskinan itu hanya dipandang dari aspek ekonomi (kurang pendapatan),

sementara aspek lain yang juga menjadi dimensi dari kemiskinan,

diabaikan atau cenderung menjadi sub prioritas. Selama tiga dekade, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan prasarana, dan pendampingan. Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta (40,1%) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta (11,3%) pada tahun 1996. Krisis ekonomi yang terjadi sejak Juli 1997 membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu melemahnya kegiatan ekonomi, memburuknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, memburuknya kondisi prasarana dan sarana umum, menurunnya ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Krisis ekonomi juga mengakibatkan

bertambahnya jumlah penduduk miskin. Menurut perhitungan BPS, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) pada tahun 1998. Sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian yang diikuti oleh terkendalinya harga barang dan jasa, dan meningkatnya pendapatan masyarakat, jumlah penduduk miskin menurun secara bertahap menjadi 36,1 juta jiwa (16,6%) pada 2004. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, 11,5 juta jiwa (31,85%) berada di perkotaan dan 24,6 juta jiwa (68,15%) berada di perdesaan. Penurunan ini merupakan dampak dari hasil transfer pendapatan berbagai program pembangunan termasuk jaring pengaman sosial yang dirancang khusus untuk mengatasi dampak negatif krisis. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34.96 juta orang (15,42 persen). Dibanding dengan penduduk miskin pada maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun 2,43 juta. Angka yang ditunjukkan masih saja merupakan angka yang besar sehingga negara dan masyarakat tidak boleh jenuh untuk secara terus menerus melakukan perang terhadap fenomena sosial ini. Dilain sisi, negara kita merupakan negara yang kaya sumberdaya alam sebagai modal dasar pembangunan untuk mensejahterakan seluruh rakyat. Sumberdaya hutan misalnya, negara kita memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Pemanfaatannya dimasa lalu, khususnya melalui ekspor kayu gelondongan memberi kontribusi yang tidak kecil terhadap perekonomian negara. Sektor kehutanan tercatat sebagai penyumbang pendapatan devisa terbesar kedua pada era tahun 1970-an, setelah migas, walaupun pada akhirnya pemerintah harus menanggung dampak yang kurang menguntungkan berupa tingginya laju degradasi hutan yang belum tuntas penanggulangannya sampai sekarang. Selain kontribusi terhadap penerimaan devisa negara, sektor kehutanan memberi manfaat langsung bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dengan memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan, bahan bangunan dan bahan lain bagi penduduk di kawasan hutan. Hutan memungkinkan peladang mempertahankan kesuburan tanah dan pengendalian gulma yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hutan merupakan jaring pengaman ekonomi ketika panen gagal atau pekerjaan upahan tidak ada. Bagi banyak keluarga, berjualan hasil hutan dan hasil wanatani (agroforestry) merupakan sumber uang utama untuk dapat membiayai sarana produksi pertanian, sekolah dan kesehatan. Ada lebih dari 90 hasil hutan bukan kayu yang diperjualbelikan di Indonesia. Diperkirakan ada lebih dari 50.000 petani di Kalimantan yang menggantungkan penghidupan pada usaha rotan, 18.000 keluarga di Sumatera Utara pada benzoin (Styrax benzoin), hampir semua rumah tangga di Krui terlibat usaha damar (Shorea

javanica) dan ribuan keluarga di Kalimantan Timur terlibat dalam usaha gaharu (Aquilaria spp.). Fakta sosial sekarang ini menggambarkan kondisi kontradiktif dari kondisi ideal yang mestinya dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dengan sumberdaya melimpah. Komunitas masyarakat sekitar hutan di berbagai daerah justru menjadi bagian dari masalah sosial kemiskinan yang dirasakan banyak kalangan masyarakat dari waktu ke waktu. Kesenjangan antara apa yang seharusnya diperoleh penduduk di sekitar kawasan hutan maupun apa yang dipandang berdasarkan teori ekonomi sebagai sumber kesejahteraan mereka dari tersedianya sumberdaya alam di satu pihak dengan realitas yang dihadapi masyarakat, yaitu kemiskinan, dilain pihak, memang suatu kenyataan.

Masyarakat yang tinggal di hutan

merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia.

Di luar Jawa, kebanyakan

masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dianggap miskin. Selain itu ada 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat hutan dan 6 juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan. Penduduk miskin di pedesaan merupakan kelompok yang paling terkena imbas dari proses marjinaliasasi. Berdasarkan data SUSENAS tahun 1999, 76% penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan adalah pedesaan dan tergantung pada pertanian dan kehutanan sebagai sumber kehidupan mereka. Sumberdaya alam, termasuk hutan bagi masyarakat miskin di pedesaan merupakan sumber mata pencaharian untuk kehidupan mereka.

Kabupaten Mamasa merupakan salah satu contoh daerah dengan dukungan sumberdaya hutan yang besar namun termasuk pula daerah dengan penduduk miskin yang tidak sedikit. Kabupaten Mamasa terdiri dari kawasan hutan seluas 198.871 Ha atau 57,27% dari luas wilayah kabupaten. Meski demikian, luasnya kawasan hutan tidak menggambarkan hubungan positif terhadap penurunan jumlah keluarga/penduduk miskin di daerah ini.

Sebagai gambaran, pada

tahun 2008 BPS mempublikasikan data yang menggambarkan betapa daerah ini masih jauh tertinggal dibanding daerah lainnya di Indonesia.

Daerah ini tercatat sebagai satu-satunya

kabupaten di Sulbar yang masuk dalam kategori tertinggal bersama 50 kabupaten lainnya di seluruh Indonesia. Meski meningkat pada tahun 2010 menjadi termiskin keempat di Sulbar, angka kemiskinan masih cukup tinggi yaitu 16,25%. Penelitian ini bertujuan untuk Mengidentifikasi hubungan faktor penyebab kemiskinan dengan tingkat kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi dilakukan dengan menggunakan metode XY Scatter Plot. Kecamatan Mamasa dipilih sebagai lokasi karena kecamatan tersebut berada pada kuadran I yang menunjukkan bahwa Kecamatan Mamasa memiliki persentase rumah tangga miskin besar dan luas kawasan hutan yang juga besar. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai September-Desember 2012. Jenis Penelitian dan Sumber Data Jenis penelitian ini adalah survei dengan metode deskriptif analitis. Sumber data dalam penelitian ini adalah Data primer diperoleh dari responden, tokoh masyarakat dan pemerintah setempat. Data sekunder diperoleh dari buku/dokumen yang berkaitan dengan penelitian seperti buku statistik, laporan pemerintah daerah dan lain-lain. Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga miskin yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan di Desa Lamabanan Kecamatan Mamasa sebanyak 170 KK. Sampel diperoleh dari populasi rumah tangga miskin, diambil secara random sampling, menggunakan rumus dari Taro Yamane sebagai berikut: n = N/N.d2+1 dimana : n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = presisi yang ditetapkan (10%) Dengan menggunakan rumus diatas, diperoleh jumlah sampel sebanyak 63 kepala keluarga. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan skoring semua kategori respon untuk semua indikator masing-masing variabel, kemudian total skor dari dari tiap-tiap responden untuk semua indikator dikalkulasi melalui perhitungan skor total dengan menjumlahkan nilai dari masing-masing item. Analisis data dengan metode uji Chi-Square dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara: 1) Intensitas usaha dengan kemiskinan, 2) Pengetahuan dengan kemiskinan, 3) Keterampilan dengan kemiskinan, 4) Kelemahan fisik dan akses kesehatan dengan kemiskinan, 5) Modal usaha dengan kemiskinan 6) Akses SDA dan informasi dengan kemiskinan. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Santjaka A., 2011):

(Oi – Ei)2 X hitung = Ʃ Ei Keterangan : 2

X2hitung = Chi-Square Oi = frekuensi pengamatan Ei = frekuensi yang diharapkan Ʃ Xi E= N Keterangan: Xi = jumlah data N = total sampel Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dilakukan pembandingan antara besaran nilai X2hitung dengan X2tabel. Jika X2hitung > X2tabel berarti ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

HASIL Faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Kemiskinan yang terjadi karena faktor intensitas usaha dari penelitian ini disebabkan oleh kurangnya jam kerja efektif yang dimanfaatkan oleh responden untuk melaksanakan kegiatan usahataninya sebagai pekerjaan pokok. Responden dengan jumlah jam kerja paling sedikit dan intensitas kerja yang juga kurang menjadi kelompok yang juga paling miskin dan sangat miskin. Sebaliknya, dengan intensitas usaha yang tinggi, responden dapat berada pada kategori miskin, sedikit lebih baik dari kelompok paling miskin dan sangat miskin. Intensitas usaha di daerah penelitian juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat setempat untuk mengkontribusikan waktunya bagi acara-acara sosial seperti pesta pernikahan maupun acara kedukaan. Persiapan pesta pernikahan di daerah ini biasanya dilakukan dengan melibatkan banyak orang dan dilakukan dengan jangka waktu yang relatif panjang sehingga menyita waktu para tetangga untuk melaksanakan pekerjaan utamanya. Keterbatasan intensitas usaha dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari, dapat dianggap sebagai keterbatasan input produksi yang diberikan, sehingga dapat dibayangkan bahwa hasil yang akan didapatkan juga akan sedikit.

Rendahnya pendidikan responden berdampak pada kurangnya input butir-butir pengetahuan yang dapat diterima oleh responden sehingga terbatas referensi teoritis yang dapat digunakan untuk melaksanakan pekerjaan yang ditekuni dan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pekerjaan tersebut. Keterbatasan pengetahuan sebagai derivasi dari rendahnya pendidikan, membentuk mindset responden sebagai orang-orang yang terbatas untuk menemukan alternatif usaha yang dapat menolong mereka keluar dari kemiskinan. Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan yang dapat ditamatkan oleh hampir seluruh responden di daerah penelitian yaitu antara lain jauhnya jarak antara sekolah dengan tempat mereka tinggal. Keterampilan merupakan unsur kemampuan seseorang untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan secara lebih baik sehingga diperoleh hasil yang lebih baik pula. Kemampuan berupa keterampilan/kecakapan seseorang diperoleh karena bakat atau karena pengalaman dan kursuskursus/pelatihan-pelatihan

yang

memungkinkan

seseorang

dapat

menterjemahkan

pengetahuannya secara lebih mudah untuk melaksanakan suatu pekerjaan.

Terbatasnya

keterampilan masyarakat, membatasi mereka untuk menemukan jenis pekerjaan diluar pekerjaan yang telah mereka tekuni yang mungkin lebih menjanjikan pendapatan lebih besar. Keterbatasan keterampilan, memaksa masyarakat hanya dapat menekuni pekerjaan tanpa nilai tambah hasil kerja tersebut. Pertambahan umur seseorang merupakan kodrat alamiah yang tidak dapat dihindarkan sehingga pada saatnya seseorang akan mengalami penurunan kondisi fisiknya dan pada saatnya pula akan mengalami kelemahan jasmani. Kelemahan jasmani ini mendorong seseorang ke arah kemiskinan melalui beberapa cara: tingkat produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah; tidak mampu menggarap lahan yang luas, atau bekerja lebih lama; melalui upah yang rendah bagi kaum wanita atau orang-orang yang lemah; serta pengurangan atau kelemahan karena sakit. Tubuh yang lemah juga sering membuat orang tersisih karena tidak ada waktu atau tidak kuat mengikuti pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang bermanfaat, terutama bagi wanita yang berkewajiban mengurus anak-anak. Jasmani yang lemah memperpanjang kerentanan seseorang karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi krisis atau keadaan darurat, misalnya dengan bekerja lebih keras, mencari kegiatan baru atau mencari bantuan. Tubuh yang lemah menjadikan orang merasa tidak berdaya, karena kekurangan tenaga dan waktu untuk berorganisasi dan politik; orang yang kelaparan dan sakit-sakitan tidak akan berani berbuat macam-macam.

Peranan modal dalam pengembangan usahatani sangat penting, namun kondisi perekonomian petani yang terbatas menyulitkan mereka untuk mendapatkan modal usaha yang memadai. Bila hal ini terus-menerus terjadi, maka sulit untuk secepatnya mengangkat mereka dari jurang kemiskinan. Sangat sedikit modal kerja atau modal operasional yang mereka miliki khususnya berupa uang karena terbatasnya sumber modal yang dapat diakses. Mereka juga tidak memiliki modal kerja sendiri karena tidak memiliki tabungan yang dapat dimanfaatkan sebagai modal. Hasil produksi pertanian berupa kopi yang hanya satu kali dalam satu tahun atau padi, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) tanpa ada yang dapat disisihkan sebagai modal pengembangan usaha pertanian. Akibatnya, petani hanya dapat melaksanakan usahatani secara terbatas dan mengharapkan hasil yang juga terbatas.

Dalam hal ini,

keterbatasan modal sebagai input produksi pertanian maupun usaha lainnya membatasi penciptaan output bagi ekonomi keluarga. Sumberdaya alam di lokasi penelitian khususnya hutan, cukup besar sekiranya dapat diakses secara baik untuk kegiatan pertanian dan pemanfaatan hasil hutan. Namun masyarakat dihadapkan pada persoalan sulit karena status kawasan hutan di lokasi penelitian yaitu hutan negara yang berfungsi lindung. Undang-Undang Kehutanan mengatur bahwa kawasan hutan khususnya hutan lindung hanya dapat dimanfaatkan untuk memungut hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, sedangkan pemanfaatan untuk kegiatan pertanian/perkebunan, pemungutan kayu dan aktifitas lainnya yang dapat merusak fungsi kawasan hutan, tidak diperkenankan. Adapun pemukim yang ada di dalam kawasan hutan atau diluar kawasan hutan namun melakukan aktifitas pertanian dalam kawasan hutan, dengan tidak bermaksud melemahkan, mereka pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai perambah hutan yang setiap saat dapat terancam keberadaannya bila pada suatu saat dilakukan penertiban. hutan merupakan sumber daya penting bagi orang miskin. Hutan mutlak diperlukan sebagai sumber pangan, bahan bangunan dan bahan lain bagi rumah tangga termiskin di kawasan hutan. Hutan memungkinkan peladang mempertahankan kesuburan tanah dan pengendalian gulma yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hutan merupakan jaring pengaman ekonomi ketika panen gagal atau pekerjaan upahan tidak ada. Bagi banyak keluarga, berjual hasil hutan dan hasil wanatani (agroforest) merupakan sumber uang utama untuk dapat membiayai sarana produksi pertanian, sekolah dan kesehatan.

PEMBAHASAN Pada penelitian terlihat bahwa Kemiskinan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: 1) Intensitas Usaha, 2) Pengetahuan, 3) Keterampilan, 4) Fisik dan Akses Kesehatan, 5) Modal Usaha dan 6) Sumberdaya Alam dan Akses Informasi.

Menurut Poerwadarminta (1976), penyebab terjadinya kemiskinan adalah rendahnya taraf pendidikan dan tingkat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan keterisolasian, baik secara fisik karena faktor alam maupun ekonomi ataupun kultural. Sampai sekarang pun keempat hal itu baik berdiri sendiri, maupun saling terkait satu sama lain, masih merupakan faktor utama penyebab kemiskinan. Oleh karena itu upaya dan hasil yang ingin dicapai harus diukurkan kepada upayaupaya untuk mengatasi masalah itu. Chambers (1987) dianggapnya bahwa kemiskinan sebagai proses interaktif dari berbagai faktor yang muncul sebagai akibat dari situasi ketidakadilan, ketidakpastian, ketimpangan, ketergantungan dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, kemiskinan lebih tepat disebut sebagai deprivation trap atau perangkap kemiskinan yang terdiri dari 5 penyebab kemiskinan yang saling terkait, yaitu: ketidakberdayaan, ketenteraman, kelemahan fisik, kemiskinan dan isolasi. Penyebab kemiskinan dibedakan atas faktor internal (endogen) dan faktor eksternal (eksogen). Faktor internal adalah aktor (individu) itu sendirilah yang menyebabkan kemiskinan bagi dirinya sendiri (Ala; 1981). Menurut Alkostar (dalam Mulyo, S. A. 2005), Faktor internal yang menyebabkan kemiskinan adalah: sifat malas (tidak mau bekerja), lemah mental, cacat fisik dan cacat psikis (kejiwaan). Menurut Friedman (1979), secara internal masyarakat miskin adalah karena malas mengakumulasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kemiskinan yang disebabkan faktor eksternal (eksogen) adalah terjadinya kemiskinan disebabkan oleh-oleh faktorfaktor yang berada di luar diri si aktor tersebut. Faktor eksternal terdiri dari: faktor alamiah dan faktor buatan (struktural) (Ala, 1981). Ada beberapa faktor alamiah yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: keadaan alam yang miskin, bencana alam, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Kemiskinan alamiah dapat juga ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan kerja anggota keluarga karena usia bertambah dan sakit keras untuk waktu yang cukup lama. Faktor buatan yaitu terjadinya masyarakat miskin karena tidak mempunyai kemampuan untuk beradaptasi secara cepat (dalam arti yang menguntungkan) terhadap perubahan-perubahan teknologi maupun ekonomi, mengakibatkan kesempatan kerja yang

dimiliki mereka semakin tertutup. Mereka tidak mendapatkan hasil yang proporsional dari keuntungan-keuntungan akibat dari perubahan-perubahan itu. Menurut Seda (Ala, 1981), kemiskinan buatan (struktural) itu adalah buatan manusia, dari manusia dan terhadap manusia pula. Kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatan manusia), dapat mencakup baik struktur ekonomi, politik, sosial dan kultur. Strukturstruktur ini terdapat pada lingkup nasional maupun internasional.

Hal ini senada dengan

pendapat Soedjatmoko (1980, dalam Mubyarto. 2004), “pola ketergantungan, pola kelemahan dan eksploitasi golongan miskin berkaitan juga dengan pola organisasi institusional pada tingkat nasional dan internasional”. Menurut Alkostar (Mahasin, 1991), faktor eksternal penyebab terjadinya gelandangan (kaum miskin) adalah: (1) Faktor ekonomi, (2) Faktor geografi, (3) Faktor social, (4) Faktor Pendidikan, (5) Faktor cultural, (6) Faktor lingkungan keluarga dan sosialisasi, (7) Faktor kurangnya dasar-dasar ajaran agama. Proses reduksi kemiskinan memerlukan peran orang-orang yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih baik berupa sikap dan kesadaran untuk melihat penanggulangan kemiskinan sebagai tanggung jawab moral (moral obligator). Mungkin masih sulit dijumpai di lingkungan masyarakat khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia adanya orang-orang kaya yang bersedia secara rutin menyisihkan pendapatannya untuk membiayai (bukan dalam bentuk charity) suatu program penanggulangan kemiskinan.

Hitung-hitungan matematis

menunjukkan hasil rasional bahwa peran orang kaya bila diwujudkan dengan cara seperti diatas akan mampu mengurangi jumlah orang miskin paling tidak di sekitar orang kaya bersangkutan. Peran orang luar juga dapat diwujudkan dengan memberi ruang dan kesempatan secara adil bagi setiap warga untuk mengusahakan dan mendapatkan hak-hak hidup yang lebih baik. Studi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian 1995 yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan yaitu : (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesehatan, kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga; (2) rendahnya sumberdaya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah aset produksi serta modal kerja; (3) rendahnya penerapan teknologi, ditandai oleh rendahnya penggunaan input dan mekanisasi pertanian; (4) rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potenis fisik dan infrastruktur. Kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat

kesuburan, dan topografis wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi, transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditas pertanian, listrik dan fasilitas komunikasi; (5) kurang tepatnya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan, (6) kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi pemasaran, penyuluhan, perkreditan dan sosial. Syawal, (1998), menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat pedesaan di Asia. Faktor tersebut antara lain: (1) faktor ekonomi terdiri dari modal, tanah dan teknologi; (2) faktor sosial dan budaya terdiri dari pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja; (3) faktor geografis dan lingkungan; (4) faktor pribadi terdiri dari jenis kelamin, kesehatan dan usia.

Keempat faktor tersebut mempengaruhi tingkat aksesibilitas

masyarakat terhadap pasar, fasilitas umum dan kredit. Wignyosoebroto, S., (1995) berpendapat, kemiskinan yang begitu luas telah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga masyarakat yang miskin tidak memperoleh akses terhadap perolehan kredit. Masyarakat ini juga tidak dapat membiayai pendidikan anak-anaknya, dan akibat ketiadaan peluang investasi secara fisik maupun keuangan, mereka memilih banyak anak sebagai sumber jaminan keuangan dihari tua mereka. Dengan rendahnya faktor-faktor kemiskinan menyebabkan rendahnya aktifitas ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Dengan rendahnya aktifitas ekonomi yang dapat

dilakukan berakibat terhadap rendahnya produktifitas dan pendapatan yang diterima, pada gilirannya pendapatan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan. Menurut Zulaifah, S., (2006), sebab-sebab kemiskinan sangat beragam. Menurut Agussalim (2009), berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi: (1) kemiskinan alamiah. Kemiskinan alamiah terjadi karena kegagalan individu

atau lingkungan fisik sebagai objeknya hingga seseorang menjadi sulit dalam

melakukan usaha atau mendapatkan pekerjaan. Dilihat dari individu, kemiskinan terjadi karena kemalasan, kurangnya keterampilan, kelemahan fisik, dan rendahnya respons dalam melihat perubahan di sekitarnya. Sedangkan dilihat dari lingkungan, kemiskinan dapat merupakan akibat dari lingkungan atau alam yang tidak mendukung, kegagalan dalam mendapatkan sumberdaya, dan perkembangan teknologi yang sangat rendah; dan (2) kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural melihat kemiskinan sebagai bagian relatif, dimana terdapat sekelompok masyarakat yang miskin sementara kelompok lainnya tidak miskin. Sistem sosial ekonomi yang berlaku memungkinkan terkonsentrasinya kekuasaan dan sumberdaya pada pihak tertentu, yang

menghambat peluang pihak lain untuk mengakses dan menggunakan sarana ekonomi dan fasilitas yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

KESIMPULAN DAN SARAN Kemiskinan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mamasa, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: 1) Intensitas Usaha, 2) Pengetahuan, 3) Keterampilan, 4) Fisik dan Akses Kesehatan, 5) Modal Usaha dan 6) Sumberdaya Alam dan Akses Informasi. Penanggulangan kemiskinan masyarakat baik di lokasi penelitian maupun di tempat-tempat lain kiranya dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor 1) Intensitas Usaha, 2) Pengetahuan, 3) Keterampilan, 4) Fisik dan Akses Kesehatan, 5) Modal Usaha dan 6) Sumberdaya Alam dan Akses Informasi.

DAFTAR PUSTAKA Agussalim. (2009). Mereduksi Kemiskinan. Nala Cipta Litera bekerjasama Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Ala, Andre B. (1981). Strategi Anti Kemiskinan Lima Tahap. Analisa Tahun X, No. 9, September 1981. Chambers. (1987). Implementing Publik Policy. Washington DC: Coongressional Quarterly Press. Friedman, J. (1979). Urban Poverty in America Latin, Some Theoritical Considerations, dalam Dorodjatun Kuntjoro Jakti. 1986. Kemiskinan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Gany, R. A. (2008). Dalam Kata Pengantar Buku Mereduksi Kemiskinan (ditulis oleh Agussalim). Nala Cipta Litera bekerjasama Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Mubyarto. (2004). Teori Ekonomi dan Kemiskinan. Aditya Media Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Mulyo, S. A. (2005). Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan. Poerwadarminta. (1976). Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan. Santjaka, A. (2011). Statistik Untuk Penelitian Kesehatan (Deskriptif, Inferensial, Parametrik dan Non Parametrik). Nuha Medika. Yoyakarta. Syawal, (1998). Peranan Penelitian, Pendidikan dan Penyuluhan Pertanian Terhadap Peningkatan Nilai Marginal Pendapatan Bersih Produksi Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara Indonesia, Majalah Penyuluhan Pertanian Indonesia Vol. 2 Juli 1998. Wignyosoebroto, S., (1995). Analisa Tipologi Kemiskinan Perkotaan Tahun 2007. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Zulaifah, S., (2006). Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat untuk Pengembangan Kawasan Hutan Regaloh di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro. Semarang.