UJI COBA PEMBUATAN TAHU DARI BIJI KECIPIR

Download 2.3 Prosedur Percobaan. Penelitian terbagi menjadi tiga tahap, yaitu percobaan pendahuluan, percobaan utama, dan percobaan lanjutan. Percob...

0 downloads 391 Views 110KB Size
Uji Coba Pembuatan Tahu dari Biji Kecipir Kelompok B.67.3.42 Felinia [13004058] dan Alfred Murni [13004088] Pembimbing Dr. Tatang H. Soerawidjaja Dr. Ronny Purwadi Program Studi Teknik Kimia - Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung Abstrak Telah dilakukan upaya penentuan metode perlakuan awal yang tepat bagi biji kecipir dan metode pembuatan susu kecipir yang menghasilkan susu yang dapat dikoagulasikan dan dicetak menjadi tahu yang berwarna putih, tidak berbau langu, serta memiliki rasa seperti tahu kedelai pada umumnya. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu percobaan pendahuluan, percobaan utama, dan percobaan lanjutan. Percobaan pendahuluan terdiri dari uji coba pembuatan tahu kedelai dan tahu kecipir dengan menggunakan metode tahu kedelai. Pada percobaan utama dilakukan modifikasi metode tahu kedelai serta variasi metode perlakuan awal dan metode pembuatan susu kecipir. Metode perlakuan awal yang diujicobakan adalah metode Rockland (1979), metode Martin, dan metode Adrianto (2004), sedangkan metode pembuatan susu kecipir yang diujicobakan adalah metode konvensional dan metode Sri Kantha dkk. (1983). Susu kecipir yang diperoleh pada percobaan utama dikoagulasikan dengan koagulan CaCl2 0,25 M. Pada percobaan lanjutan dilakukan modifikasi metode perlakuan awal terbaik berdasarkan hasil percobaan utama, yaitu metode Martin dan metode Sri Kantha dkk. (1983) serta pembuatan tahu menggunakan kombinasi kedelai dan kecipir. Hasil percobaan lanjutan menunjukkan bahwa modifikasi metode Martin dapat mempermudah pengelupasan kulit kecipir tanpa merubah warna dan kekerasan biji. Hasil lain dari percobaan lanjutan adalah kombinasi kedelai 50%-berat dan kecipir 50%-berat menghasilkan tahu dengan tekstur dan rasa terbaik. Kata kunci: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.), tahu, kedelai

1. PENGANTAR Protein adalah nutrien makro yang berfungsi sebagai blok-blok pembangun utama untuk perkembangan atau pertumbuhan, perawatan, dan pemulihan jaringan yang rusak (Soerawidjaja, 2005). Protein dapat bersumber dari protein hewani dan protein nabati. Oleh karena mahalnya harga protein hewani, masyarakat Indonesia cenderung memenuhi kebutuhan proteinnya dari protein nabati.

Salah satu bahan yang menjanjikan adalah kecipir. Kecipir sangat berpotensi untuk mensubstitusi kedelai karena merupakan tanaman asli daerah tropik sehingga memiliki produktifitas tinggi (bisa 5 ton/hektar/tahun). Selain itu, kecipir memiliki kandungan nutrien yang tidak jauh berbeda dengan kedelai. Kandungan nutrien yang dimiliki oleh kedelai dan kecipir ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Nilai Gizi Biji Kecipir dan Kedelai

Salah satu bahan pangan yang kaya akan kandungan protein nabati adalah tahu. Tahu diproduksi dari koagulasi protein susu kedelai. Kedelai sebagai bahan baku utama dalam produksi tahu adalah tanaman subtropik. Pada daerah tropik seperti Indonesia, kedelai memiliki produktifitas hanya sekitar 1,2 ton/ha/tahun. Produksi kedelai dalam negeri pada tahun 2006 sebesar 0,8 juta ton; jauh di bawah kebutuhan dalam negeri yang mencapai 2 juta ton, sehingga demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia merupakan importir besar kedelai. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk dapat mensubstitusi kedelai dengan bahan lain yang dapat dibudidayakan secara produktif di Indonesia dan dapat terjangkau oleh masyarakat Indonesia.

Nutrien Protein (gr) Energi (kal) Karbohidrat (gr) Lemak (gr) Serat (gr) Abu (gr) Air (gr)

Biji kecipir 29,8 – 37,4 375 – 410 25,2 – 38,4 15 – 18,3 3,7 – 9,4 3,3 – 4,3 8,7 – 24,6

Kedelai 35,1 400 32 17,7 4,2 5 4

Sumber : Haryoto (1995)

Namun, kecipir memiliki beberapa kekurangan dibandingkan kedelai, yaitu bijinya berwarna hitam dan berkulit keras serta berbau langu. Kekurangan tersebut

B.67.3.42/1

menimbulkan kendala pada upaya substitusi kedelai oleh kecipir.

2. PERCOBAAN 2.1

Pada dasarnya, pembuatan tahu dengan berbahan baku biji kecipir menggunakan metode yang sama dengan proses pembuatan tahu kedelai. Akan tetapi, modifikasi metode tersebut perlu dilakukan karena adanya perbedaan sifat biji kecipir dan kedelai. Agar biji kecipir dapat diolah, diperlukan perlakuan awal terlebih dahulu. Usaha pembuatan tahu dari kecipir telah dilakukan oleh Hermawan (2003) yang melakukan studi mengenai koagulasi protein pada kecipir. Hermawan (2003) menguji 2 metode perlakuan awal, yaitu metode Martin dan metode Rockland (1979); metode pembuatan susu kecipir, yaitu metode konvensional dan metode Sri Kantha (1983) serta menguji jenis dan konsentrasi koagulan. Hasil percobaan Hermawan (2003) menunjukkan bahwa metode perlakuan awal terbaik adalah metode Martin dan metode pembuatan susu kecipir terbaik adalah metode Sri Kantha (1983) serta koagulan terbaik adalah CaCl2 0,25 M. Pada metode Martin, kecipir direbus dalam larutan NaHCO3 selama 3 menit dengan rasio kacang:larutan = 1:5, direndam dalam larutan bekas perebusan selama 12 jam, dicuci, dan direbus menggunakan air demin selama 20 menit dengan rasio kacang:air = 1:5. Pada metode Sri Kantha (1983), kecipir yang telah dikupas digiling dengan air mendidih dengan rasio air:kecipir = 3:1 dan kemudian direbus selama 7 menit. Usaha pembuatan tahu dari kecipir juga telah dilakukan oleh Adrianto (2004). Adrianto menguji 3 metode perlakuan awal, yaitu metode Adrianto (2004), metode Martin, dan modifikasi metode Rockland (1979) dan 2 metode pembuatan susu, yaitu metode konvensional dan modifikasi metode Sri Kantha (1983). Hasil penelitian Adrianto (2004) menunjukkan bahwa metode perlakuan awal terbaik adalah metode Adrianto (2004) dan metode Martin karena dapat mempermudah pengupasan kulit kecipir, dapat menghilangkan bau langu dari biji kecipir, serta dapat menghasilkan tahu dengan kualitas yang baik, sedangkan metode pembuatan susu terbaik adalah modifikasi metode Sri Kantha (1983). Pada metode Adrianto (2004), kecipir direndam dalam larutan H2SO4 1% selama 12 jam, direbus dalam larutan NaHCO3 1% selama 3 menit, direndam dalam larutan NaHCO3 4% selama 24 jam, dan direbus menggunakan air demin selama 20 menit. Pada modifikasi metode Sri Kantha (1983), kecipir yang telah dikupas digiling dengan air mendidih dengan rasio air:kecipir = 2,5:1 dan kemudian direbus selama 7 menit Penelitian yang hasil-hasilnya dilaporkan di sini memiliki tujuan umum untuk mensubstitusi kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu dengan biji kecipir. Adapun, tujuan khususnya adalah menentukan metode perlakuan awal yang tepat bagi biji kecipir dan mendapatkan metode pembuatan susu kecipir yang dapat dikoagulasikan dan dicetak menjadi tahu yang berwarna putih, tidak berbau langu, dan memiliki rasa seperti tahu kedelai pada umumnya.

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji kecipir yang diperoleh dari Pasar Pagi Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, kedelai, H2SO4, NaCl, NaHCO3, Na5P3O10, Na2CO3, CH3COOH, CaCl2, CaSO4, NaOH. Semua bahan kimia yang digunakan memiliki grade teknis. 2.2

Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca, baskom, blender, panci, kompor gas, kain penyaring, gelas kimia, alat cetak tahu, gelas ukur, pipet tetes. 2.3

Prosedur Percobaan

Penelitian terbagi menjadi tiga tahap, yaitu percobaan pendahuluan, percobaan utama, dan percobaan lanjutan. Percobaan pendahuluan terdiri dari pembuatan tahu dari kedelai dan tahu dari kecipir dengan menggunakan metode tahu kedelai. Kendala-kendala yang ditemui pada percobaan pendahuluan coba diatasi pada percobaan utama. Pada percobaan utama, dilakukan modifikasi terhadap metode pembuatan tahu kedelai. Kemudian, pada percobaan utama juga dilakukan variasi metode perlakuan awal dan metode pembuatan susu kecipir. Percobaan lanjutan terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan modifikasi kombinasi metode perlakuan awal terbaik berdasarkan hasil dari percobaan utama, sedangkan pada tahap kedua dilakukan pembuatan tahu dengan mengkombinasikan kedelai dan kecipir pada berbagai perbandingan berat. 2.3.1 Percobaan Pendahuluan Pada metode tahu kedelai, kedelai atau kecipir dicuci, direndam dalam air demin selama 12 jam, dikupas kulitnya, digiling dengan menggunakan air panas dengan rasio kacang:air = 1:10, direbus selama 15 menit, dan kemudian disaring untuk memperoleh susu kacang. Setelah itu, susu dikoagulasikan dengan CH3COOH 5%. Dadih yang terbentuk diperas dengan kain belacu hingga menjadi tahu dan tahu tersebut kemudian digoreng. 2.3.2 Percobaan Utama Percobaan utama terbagi menjadi 2 tahap. Pada tahap pertama dilakukan modifikasi metode tahu kedelai. Modifikasi yang dilakukan adalah meningkatkan waktu perendaman menjadi 22 jam, menggiling biji kecipir yang telah terkupas secara kering terlebih dahulu baru kemudian digiling secara basah, dan mengganti koagulan yang digunakan dengan koagulan CaCl2 0,25 M. Kecipir yang telah dikupas kemudian dibuat susu dengan menggunakan metode konvensional dan metode Sri Kantha (1983).

B.67.3.42/2

Pada tahap kedua dilakukan uji coba variasi metode perlakuan awal dan pembuatan susu. Metode perlakuan awal yang diujicobakan adalah metode Rockland (1979), metode Martin, dan metode Adrianto (2004). Metode pembuatan susu kecipir yang diujicobakan adalah metode konvensional dan metode Sri Kantha (1983). Pada metode Rockland (1979), kecipir dicuci, direbus selama 2 menit, direndam dalam larutan 2% NaCl, 1% Na5P3O10, 0,25% Na2CO3, dan 0,75% NaHCO3 selama 24 jam, dan kemudian direbus selama 15 – 20 menit. 2.3.3 Percobaan Lanjutan Percobaan lanjutan terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan modifikasi metode perlakuan awal terbaik, yaitu metode Martin. Modifikasi metode Martin diawali dengan mengamati perubahan kemudahan pengupasan kulit, perubahan warna biji, perubahan kekerasan biji, serta pembentukan lendir pada proses perendaman dalam larutan 1 % NaHCO3 dan proses perebusan dalam air demin. Pengamatan dilakukan dengan cara pengambilan sample biji kecipir secara acak tiap selang waktu 1 jam pada proses perendaman, sedangkan pada proses perebusan, sample diambil tiap selang waktu 2 menit.

Data kuantitatif terdiri dari : 1. Berat kering kacang. 2. Berat kering kacang tidak dapat dikupas. 3. Volume koagulan. 4. Berat tahu. 5. Yield tahu terhadap kacang. Pada tahu kedelai, yield adalah perbandingan berat tahu dengan berat kering kedelai, sedangkan pada tahu kecipir, yield adalah perbandingan berat tahu dengan berat kering kecipir yang dapat dikupas. Pada kombinasi kecipir dan kedelai, yield adalah perbandingan berat tahu dengan penjumlahan berat kering kedelai dan berat kering kecipir yang dapat dikupas. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1

Hasil uji coba pembuatan tahu kedelai ditampilkan pada Tabel 2, sedangkan hasil uji coba pembuatan tahu kecipir dengan menggunakan metode tahu kedelai ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 2 Hasil Uji Coba Pembuatan Tahu Kedelai 1 2 Berat kedelai kering (gr) 100 100 Volume koagulan CH3COOH (mL) 12 12 Volume susu (mL) 830 785 Berat tahu (gr) 120,2 122,7 Yield (%) 120,2 122,7

Setelah waktu optimum didapatkan, dilakukan uji coba pembuatan tahu dengan menerapkan waktu optimum tersebut. Metode Martin yang telah mengalami perubahan waktu perendaman dan perebusan selanjutnya disebut metode Martin termodifikasi. Selain itu, pada percobaan lanjutan tahap pertama juga dilakukan upaya untuk memperbaiki tekstur dan rasa tahu melalui penggunaan alat cetak dan penggantian koagulan CaCl2 dengan CaSO4 serta penambahan garam. Pada tahap kedua dilakukan pembuatan tahu dengan mengkombinasikan kedelai dan kecipir pada berbagai perbandingan berat. Perbandingan berat yang diuji adalah 10% kedelai, 30% kedelai dan 50% kedelai. Kecipir diolah dengan menggunakan metode Martin termodifikasi, sedangkan kedelai diolah dengan menggunakan metode tahu kedelai. Setelah dikupas, kecipir dan kedelai diolah menjadi susu dengan menggunakan metode Sri Kantha (1983). Susu yang diperoleh kemudian dikoagulasikan dengan menggunakan CaCl2 0,25 M. Setelah itu, dadih yang terbentuk dicetak menjadi tahu dan tahu tersebut kemudian digoreng.

Percobaan Pendahuluan

Tabel 3 Hasil Uji Coba Pembuatan Tahu Kecipir Nilai Berat kecipir kering (gr) 100 Berat kecipir kering tidak dapat dikupas (gr) 56,52 Berat kecipir kering yang dapat dikupas (gr) 43,48 Volume koagulan CH3COOH (mL) 5 Volume susu (mL) 750 Berat tahu (gr) 15,2 Yield (%) 34,96 Tahu kedelai yang dihasilkan memiliki tekstur seperti tahu kedelai pada umumnya, berwarna putih, dapat dibentuk, dapat digoreng, serta memiliki aroma dan rasa yang enak. Tahu kecipir yang dihasilkan juga berwana putih. Ini tampak pada foto paling kanan dalam Gambar 1. 2

1

2

3

2.3.4 Interpretasi Data Data yang diperoleh pada penelitian terbagi 2, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif terdiri dari: 1. Kemudahan pengelupasan kulit kecipir. 2. Kekerasan, lendir, dan warna biji setelah dikupas. 3. Warna dan aroma susu serta kemudahan susu dikoagulasi dan dicetak. 4. Warna, aroma, dan tekstur tahu mentah. 5. Rasa dan tekstur tahu goreng.

Gambar 1 Pembuatan Tahu Kecipir dengan Metode Tahu Kedelai. Keterangan: (1) Kecipir hasil pengupasan; (2) Susu kecipir setelah dikoagulasi; (3) Tahu kecipir.

Akan tetapi, tahu kecipir tersebut masih memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah : 1. Tahu masih terasa pahit.

B.67.3.42/3

2.

3.

4.

Tahu yang terasa pahit dapat disebabkan oleh koagulan yang digunakan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Hermawan (2003) yang menunjukkan bahwa koagulan-koagulan tertentu menimbulkan rasa pahit pada tahu. Susu kecipir dan tahu mentah masih beraroma langu. Akan tetapi, aroma langu tersebut berkurang bahkan tidak lagi tercium setelah tahu digoreng. Kecipir masih sulit dikupas. Banyaknya kecipir yang tidak terkupas dapat disebabkan oleh kurang lamanya waktu perendaman. Yield tahu kecipir masih sangat rendah. Penyebab dari yield tahu kecipir yang rendah adalah penambahan koagulan yang terlalu sedikit sehingga sebagian besar protein susu tidak terkoagulasi membentuk dadih.

3.2

Percobaan Utama

Hasil uji coba pembuatan tahu kecipir dengan menggunakan metode tahu kedelai termodifikasi ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil Uji Coba Pembuatan Tahu Kecipir dengan Metode Tahu Kedelai Termodifikasi Konvensional Sri Kantha Berat kecipir kering (gr) 100 100 Berat kecipir kering tidak 36,15 33,67 dapat dikupas (gr) Berat kecipir kering yang 63,85 66,33 dapat dikupas (gr) Volume susu (mL) 750 100 Volume koagulan CaCl2 (mL) 6 4 Berat tahu (gr) 15,65 28,12 Yield 24,51 % 42,39 %

Metode tahu kedelai termodifikasi dapat mempermudah pengupasan kulit dengan tetap mempertahankan kekerasan dan warna biji. Akan tetapi, berat kecipir yang tidak dapat dikupas masih cukup banyak sehingga uji coba metode perlakuan awal lainnya masih diperlukan. Penggunaan metode Sri Kantha (1983) menghasilkan susu yang berwarna lebih putih tetapi beraroma lebih langu dibandingkan metode konvensional. Warna putih tahu tampak pada Gambar 2. Aroma langu pada kedua tahu berkurang setelah digoreng. Penggorengan mengakibatkan kedua tahu memiliki aroma seperti tahu goreng pada umumnya. 1

2

3

2

Gambar 2 Pembuatan Tahu Kecipir dengan Metode Tahu Kedelai Termodifikasi. Keterangan: (1) Kecipir hasil pengupasan; (2) Tahu kecipir metode konvensional; (3) Tahu kecipir metode Sri Kantha.

Peningkatan ekstraksi protein kecipir yang hendak dicapai dengan melakukan penggilingan kering sebelum

penggilingan basah dinilai tidak efektif. Penggilingan kering mengakibatkan kecipir membentuk serbuk yang berukuran kecil sehingga lolos pada saat penyaringan. Akibatnya, tahu yang terbentuk mengandung serbuk kecipir sehingga terasa kasar saat dikunyah. Pengurangan rasa pahit yang hendak dicapai melalui penggantian koagulan CH3COOH dengan koagulan CaCl2 terbukti efektif. Setelah digoreng, tahu kecipir yang dikoagulasikan dengan koagulan CaCl2 memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan tahu yang dikoagulasikan dengan koagulan CH3COOH. Di samping kekurangan dan kelebihan yang telah dipaparkan sebelumnya, metode Sri Kantha (1983) juga memiliki beberapa kelebihan lain dibandingkan metode konvensional, yaitu : 1. Volume koagulan yang perlu ditambahkan lebih sedikit. 2. Dadih yang terbentuk memiliki kandungan air yang lebih rendah sehingga lebih mudah diperas. Kekurangan-kekurangan dari modifikasi metode tahu kedelai, yaitu banyaknya kecipir yang tidak dapat terkupas serta susu dan tahu mentah yang masih langu dicoba diatasi dengan melakukan uji coba variasi metode perlakuan awal dan metode pembuatan susu. Hasil uji coba pembuatan tahu kecipir dengan berbagai metode perlakuan awal dan metode pembuatan susu ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil Uji Coba Pembuatan Tahu Kecipir dengan Berbagai Variasi Metode Perlakuan Awal dan Metode Pembuatan Susu Berat Berat Volume Volume Berat Yield kering kecipir susu koagulan tahu (%) (gr) kering (mL) (mL) (gr) tidak dapat dikupas (gr) Rockland + 100 15,58 690 19 85,81 101,65 Konvensional Rockland + 100 15,58 185 13 63,8 75,57 Sri Kantha Martin + 100 2,61 840 20 97,11 99,71 Konvensional Martin + Sri 100 2,61 300 20 106,56 109,42 Kantha Adrianto + 100 13,4 720 21 96,64 111,59 Konvensional Adrianto + 100 13,4 245 8 114,87 132,64 Sri Kantha

Pengaplikasian metode Rockland (1979), metode Martin, dan metode Adrianto (2004) memang mempermudah pengupasan kulit kecipir dibandingkan metode tahu kedelai termodifikasi. Akan tetapi, ketiga metode tersebut masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu : 1. Menimbulkan lendir pada biji. Semua biji yang direndam dalam larutan Rockland mengeluarkan lendir, sedangkan pada pengaplikasian metode Martin dan metode Adrianto (2004) hanya biji yang mengalami keretakan kulit yang mengeluarkan lendir.

B.67.3.42/4

2.

3.

Mengakibatkan perubahan warna biji menjadi lebih gelap. Metode Martin mengakibatkan warna biji kecipir berubah menjadi lebih gelap dibandingkan metode Rockland (1979), sedangkan metode Adrianto (2004) mengakibatkan warna biji kecipir berubah menjadi kecoklatan. Akibatnya, tahu yang dibuat dengan metode Martin dan metode Rockland (1979) berwarna putih keabuabuan, sedangkan tahu yang dibuat dengan metode Adrianto (2004) berwarna kecoklatan. Warna ini tampak jelas pada Gambar 3. Melunakan biji. Ketiga metode menghasilkan biji yang lebih lunak dibandingkan metode tahu kedelai termodifikasi. Biji yang lunak lebih sulit untuk dikupas karena mudah hancur.

1

2

3

4

5

6

Gambar 3 Pembuatan Tahu Kecipir dengan Variasi Metode Perlakuan Awal dan Pembuatan Susu. Keterangan: (1) Rockland + konvensional ; (2) Rockland + Sri Kantha; (3) Martin + konvensional; (4) Martin + Sri Kantha; (5) Adrianto + konvensional; (6) Adrianto + Sri Kantha.

Metode perlakuan awal terbaik ditentukan berdasarkan kemudahan pengelupasan kulit kecipir yang dapat dilihat melalui berat biji kecipir yang tidak dapat dikupas. Tabel 5 menunjukkan bahwa metode Martin menghasilkan berat biji kecipir yang tidak dapat dikupas paling sedikit dibandingkan 2 metode perlakuan awal lainnya. Oleh karena itu, metode Martin dipilih untuk dimodifikasi pada percobaan lanjutan. Metode konvensional dan metode Sri Kantha (1983) menghasilkan susu yang dapat dikoagulasi dan dicetak menjadi tahu. Akan tetapi, keduanya juga masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu susu dan tahu yang dihasilkan masih berwarna gelap dan beraroma langu. Namun, seperti telah dijelaskan sebelumnya, metode Sri Kantha (1983) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode konvensional sehingga metode Sri Kantha (1983) dipilih sebagai metode pembuatan susu terbaik. Rasa tahu yang tidak enak pada keenam uji coba bukan disebabkan oleh koagulan yang digunakan. Penyebab rasa tidak enak tersebut adalah tekstur tahu bagian dalam yang tetap basah meskipun telah digoreng. Penggorengan hanya mengakibatkan permukaan tahu yang mengering, sedangkan bagian dalam tetap basah meskipun telah dicoba untuk digoreng pada tungku berapi kecil. Ketika dimakan, tahu tersebut cenderung

memiliki tekstur seperti krim kental, tidak seperti tahu biasa maupun tahu Jepang. 3.3

Percobaan Lanjutan

3.3.1 Modifikasi Metode Martin Hasil percobaan untuk menentukan waktu optimum perendaman dalam larutan 1 % NaHCO3 dan perebusan dalam air demin menunjukkan bahwa waktu optimum untuk perendaman adalah selama 7 jam, sedangkan waktu optimum untuk perebusan adalah selama 4 menit. Selain perubahan waktu perendaman dan perebusan, pada metode Martin termodifikasi juga dilakukan variasi-variasi proses perendaman dan perebusan dengan proses lainnya tetap mengikuti proses awal. Variasi-variasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perubahan larutan yang digunakan untuk perendaman selama 7 jam. Perendaman dalam larutan bekas perebusan selama 3 menit digantikan dengan perendaman dalam larutan baru. 2. Perebusan dalam air demin. Perebusan dalam air demin selama 4 menit digantikan dengan perendaman dalam air mendidih selama beberapa detik hingga air tersebut berubah warna menjadi coklat bening. Dengan demikian, pada uji coba metode Martin termodifikasi dilakukan 4 kali uji coba dengan variasivariasi berikut, yaitu : 1. Uji coba pertama : perendaman dalam larutan 1 % NaHCO3 bekas perebusan awal selama 7 jam dan perebusan dalam air demin selama 4 menit. 2. Uji coba kedua : perendaman dalam larutan 1 % NaHCO3 baru selama 7 jam dan tidak dilakukan perebusan dalam air demin. 3. Uji coba ketiga : perendaman dalam larutan 1 % NaHCO3 bekas perebusan awal selama 7 jam dan perendaman dalam air mendidih. 4. Uji coba keempat : perendaman dalam larutan 1 % NaHCO3 baru selama 7 jam dan perendaman dalam air mendidih. Pada keempat uji coba, biji yang telah diproses dengan metode Martin termodifikasi diolah menjadi susu dengan metode Sri Kantha (1983) dan kemudian dikoagulasi dengan koagulan CaCl2 0,25 M. Hasil uji coba metode Martin termodifikasi ditampilkan pada Tabel 6. Penggantian larutan untuk perendaman dengan larutan 1 % NaHCO3 baru pada uji coba kedua dan keempat menyebabkan biji kecipir tidak terlalu mengembang bila dibandingkan dengan perendaman dalam larutan bekas perendaman awal. Akibatnya, biji lebih sulit dikupas. Hal ini tampak pada Tabel 6. Uji coba kedua dan uji coba keempat menghasilkan biji kecipir yang tidak dapat dikupas dalam jumlah terbesar. Dengan demikian, proses perendaman terbaik adalah perendaman dalam

B.67.3.42/5

metode pembuatan susu terbaik tetapi koagulan yang digunakan diganti dengan koagulan CaSO4.

larutan bekas perebusan seperti pada uji coba pertama dan uji coba ketiga. Tabel 6 Hasil Uji Coba Metode Martin Termodifikasi Uji Coba

1 2 3 4

Berat kering (gr)

100 100 100 100

Berat kecipir kering tidak dapat dikupas (gr) 7 28,7 1,5 24,87

Berat kecipir kering yang dapat dikupas (gr) 93 71,3 98,5 75,13

Volume koagulan (mL)

Berat tahu (gr)

Yield (%)

13 13 15,5 17

21,1 16,2 38,06 42,58

22,69 22,72 38,64 56,68

Selain itu, pada uji coba ini juga sudah digunakan alat cetak sehingga dadih yang terbentuk tidak lagi diperas dengan tangan melainkan dapat langsung dicetak. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan alat cetak tersebut adalah beban yang diberikan dan waktu pembebanan. Beban yang terlalu berat dan waktu pembebanan yang terlalu lama mengakibatkan tahu menjadi terlalu kering dan mengeras saat digoreng. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggantian koagulan CaCl2 dengan koagulan CaSO4 mengakibatkan tahu terasa berpasir saat dikunyah. Hal ini disebabkan karena CaSO4 bersifat tidak larut dalam air sehingga membentuk endapan pada tahu. Penambahan garam pada tahu mentah dapat mengurangi rasa pahit tahu. Akan tetapi, karena garam hanya dibubuhkan pada permukaan tahu maka bagian dalam tahu tetap terasa pahit.

Perebusan dalam air demin selama 4 menit pada uji coba pertama mengakibatkan biji kecipir berubah warna menjadi lebih gelap setelah dikupas. Akibatnya, tahu yang dihasilkan juga berwarna gelap. Hal ini tampak pada Gambar 4. Akan tetapi, bila tidak dilakukan perebusan seperti pada uji coba kedua, pada permukaan biji kecipir masih terdapat larutan bekas perendaman sehingga permukaan biji menjadi licin dan sulit untuk dikupas. Larutan tersebut tidak dapat dihilangkan melalui pencucian biji dengan air dingin. 1

3.3.2 Kombinasi Kecipir dan Kedelai Seluruh uji coba pembuatan tahu kecipir mulai dari percobaan pendahuluan hingga percobaan akhir menghasilkan tahu yang tidak memiliki kekenyalan yang sama seperti tahu kedelai. Hal ini disebabkan biji kecipir memiliki kandungan protein yang berbeda dibandingkan kedelai. Dengan demikian, untuk mendapatkan tekstur kenyal pada tahu kecipir diperlukan pencampuran kecipir dengan kedelai. Tahu yang dibuat melalui pencampuran kecipir dan kedelai selanjutnya disebut tahu kecipir-kedelai.

2

Gambar 4 Pembuatan Tahu Kecipir dengan Metode Martin Termodifikasi. Keterangan: (1) Tahu kecipir uji coba pertama; (2) Tahu kecipir uji coba ketiga.

Perendaman selama beberapa detik dalam air mendidih pada uji coba ketiga dapat menghilangkan larutan yang menempel pada permukaan biji sehingga mempermudah proses pengupasan. Waktu pemanasan yang cukup singkat pada uji coba ketiga, yaitu hanya beberapa detik mengakibatkan biji kecipir tetap berwarna kekuningan setelah dikupas. Dengan demikian, proses pemanasan terbaik adalah dengan cara perendaman dalam air mendidih selama beberapa detik. Oleh karena itu, metode pembuatan tahu kecipir terbaik adalah metode Martin termodifikasi ketiga. Selain itu, tahu kecipir yang dibuat dengan metode Martin termodifikasi ketiga memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan tahu lainnya. Akan tetapi, tahu tersebut masih terasa pahit saat dikunyah. Oleh karena itu, dilakukan uji coba lanjutan untuk mengurangi rasa pahit pada tahu dengan cara : 1. Menambahkan garam pada tahu mentah yang dibuat dengan metode perlakuan awal dan metode pembuatan susu terbaik, yaitu metode Martin termodifikasi ketiga dan metode Sri Kantha (1983) serta dikoagulasikan dengan koagulan CaCl2. 2. Menambahkan garam pada tahu mentah yang dibuat dengan metode perlakuan awal dan

Hasil uji coba pembuatan tahu kecipir-kedelai dengan berbagai perbandingan berat ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil Uji Coba Pembuatan Tahu Kecipir-kedelai Uji coba

Berat kecipir kering (gr)

1 2 3

90 70 90

Berat kecipir kering tidak dapat dikupas (gr) 13,17 6,48 15,02

Berat kecipir kering yang dapat dikupas (gr) 76,83 63,52 74,98

Berat kedelai kering (gr)

Volume koagulan (mL)

Berat tahu (gr)

Yield (%)

10 30 90

17 30 22

54,3 73,46 132,9

62,54 78,55 80,56

Peningkatan persentase kedelai dalam pembuatan tahu kecipir-kedelai mengakibatkan peningkatan keputihan tahu yang dihasilkan. Gambar 5 menunjukkan bahwa tahu yang dibuat melalui pencampuran 50 % berat kedelai dan 50 % berat kecipir memiliki warna yang sama seperti warna tahu kedelai pada umumnya. Selain itu, peningkatan persentase kedelai juga mengakibatkan peningkatan kekenyalan tahu. Tahu yang dihasilkan pada uji coba pertama dan kedua masih memiliki tekstur yang sama seperti tahu yang hanya dibuat dari kecipir. Akan tetapi, pada uji coba ketiga, tahu yang dihasilkan memiliki kekenyalan yang sama seperti tahu kedelai.

B.67.3.42/6

Hasil percobaan menunjukkan bahwa tahu yang dihasilkan pada uji coba kedua dan ketiga memiliki rasa yang enak. Penambahan garam dapur sebelum susu dikoagulasi mengakibatkan rasa asin pada tahu lebih merata. Akan tetapi, terdapat perbedaan rasa antara kedua tahu tersebut. Tahu yang dibuat pada uji coba kedua masih memiliki rasa kecipir yang cukup dominan, sedangkan tahu yang dibuat pada uji coba ketiga memiliki rasa kedelai yang lebih dominan. Selain itu, tahu mentah yang dibuat pada uji coba kedua masih memiliki aroma langu, sedangkan bau langu pada tahu mentah yang dibuat pada uji coba ketiga tertutup oleh aroma kedelai. Dengan demikian, pada uji coba lanjutan ini, 50 % berat kedelai dan 50 % berat kecipir adalah kombinasi terbaik karena dapat menghasilkan tahu yang putih, tidak langu, memiliki rasa yang enak serta tekstur yang kenyal. 1

2

3

4.2

Gambar 5 Pembuatan Tahu Kecipir-kedelai. Keterangan: (1) Tahu kecipir-kedelai dengan 10%-b kedelai; (2) Tahu kecipir-kedelai dengan 30%-b kedelai; (3) Tahu kecipirkedelai dengan 50%-b kedelai.

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1

dan perubahan warna biji kecipir. Perendaman yang terlalu singkat mengakibatkan kulit biji sulit dikupas, sedangkan perendaman yang terlalu lama mengakibatkan biji berubah warna menjadi lebih gelap. 7. Perebusan pada metode perlakuan awal dapat menghilangkan bekas larutan perendaman pada biji dan berdampak pada perubahan kekerasan biji dan perubahan warna biji. 8. Perebusan pada tungku berapi kecil dapat meniadakan keretakan kulit biji. 9. Penggilingan kering menurunkan kualitas tahu karena mengakibatkan kecipir membentuk serpihan halus yang lolos saat penyaringan sehingga tahu terasa kasar. 10. Beban yang terlalu berat dan waktu pembebanan yang terlalu lama pada saat pencetakan mengakibatkan tahu menjadi terlalu kering dan mengeras saat digoreng. 11. Penggorengan dapat menghilangkan aroma langu pada tahu.

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut : 1. Semua metode perlakuan awal yang diujicobakan, yaitu metode Martin, metode Rockland (1979), dan metode Adrianto (2004) tidak berhasil mempermudah pengupasan kulit kecipir. 2. Metode Martin termodifikasi ketiga lebih baik dibandingkan dengan metode perlakuan awal lainnya karena lebih mempermudah pengupasan kulit kecipir dan tetap mempertahankan warna dan kekerasan biji. Pada metode Martin termodifikasi ketiga, kecipir dicuci dan kemudian direbus dalam larutan 1 % NaHCO3 selama 3 menit. Setelah direndam dalam larutan bekas perebusan selama 7 jam, kecipir dicuci dan kemudian direndam dalam air mendidih selama beberapa detik hingga air berubah warna menjadi kecoklatan. 3. Metode Sri Kantha (1983) adalah metode pembuatan susu terbaik dibandingkan dengan metode konvensional karena dapat menghasilkan tahu yang lebih putih. 4. Koagulan CaCl2 adalah koagulan terbaik dibandingkan koagulan CH3COOH dan koagulan CaSO4 karena dapat menghilangkan rasa pahit pada tahu kecipir. 5. Kombinasi kedelai dan kecipir terbaik adalah 50 % berat kedelai dan 50 % berat kecipir karena dapat menghasilkan tahu dengan tekstur yang kenyal. 6. Perendaman pada metode perlakuan awal hanya berdampak pada perubahan kemudahan pengupasan

Saran

Saran yang dapat diberikan untuk penyelenggaraan penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan upaya pengupasan kulit kecipir yang lebih efektif dalam jumlah yang banyak dan skala yang lebih besar. 2. Kecipir yang digunakan dalam penelitian ini terbukti tidak dapat menghasilkan tekstur yang kenyal. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan kecipir dari varietas lain yang memiliki protein dengan berat molekul lebih tinggi dari pada fraksi protein 7S. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Program Studi Teknik Kimia ITB yang telah memberikan bantuan bahan-bahan dan pinjaman peralatan penelitian. 2. PT Tahu Talaga yang telah memberikan arahan mengenai pembuatan tahu kedelai. LITERATUR [1] Adrianto, Doddy, “Studi Pembuatan Tahu dari Kecipir”, Laporan Penelitian S1 Teknik Kimia, Universitas Katolik Parahyangan , 2004. [2] Anni, “Studi Pengolahan Awal untuk Meningkatkan Nilai Pangan Biji Kecipir”, Laporan Penelitian S1 Teknik Kimia, Universitas Katolik Parahyangan , 2003. [3] Caballero, Benjamin, “Encyclopedia of Food Sciences and Nutrition”, 2nd Ed., Academic Press, Oxford, 2003. [4] Cheng, Yongqiang; Naoto, Shimizu; Kimura, Toshinori, “The Viscoelastic Properties of Soybean Curd (Tofu) as Effected by Soymilk Concentration and Type of Coagulant”, International J. Food Science and Technology 40: 385-390, (2005).

B.67.3.42/7

[5] Direktorat Gizi Depkes RI, “Daftar Komposisi Bahan Makanan”, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1981. [6] Djatmiko, Hertami, ”Kecipir Budidaya Guna dan Hasil Olahnya”, CV. Simplex, Jakarta, 1986. [7] Haryoto, “Susu dan Yoghurt Kecipir ”, Kanisius, Yogyakarta, 1996. [8] Hermawan, Chandra, “Studi Koagulasi Protein dari Susu Kecipir”, Laporan Penelitian S1 Teknik Kimia, Universitas Katolik Parahyangan , 2003. [9] Kadam, S. S.; Kute, L. S.; Lawande, K. M.; Salunkhe, D. K., “Changes in Chemical Composition of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus L.) during Seed Development”, J. Food Sci. 47: 2051-2057, (1982). [10] Kailasapathy, K.; Perera, P. A. J.; Macneil, J. H., “Soaking Studies on Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus L. DC) to Process Full-Fat Flour and Determine It’s Shelf-Life Stability”, J. of Food Sci. 50: 773-776, (1985). [11] Martin, Frank., “How to Cook Winged Bean”, www.echonet.org. [12] Mujoo, Rajni; Trinh, Dianne T.; Ng., Perry K. W., “Characterization of Storage Proteins in Different Soybean Varieties and Their Relationships to Tofu Yield and Texture”, www.elsevier.com/locate/foodchem, 2003. [13] Narayana, K.; Rao, M. S. Narasinga, “Functional Properties of Raw and Heat Processed Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus)”, J. Food Sci. 47: 1534-1538, (1982).

[14] Obatolu, Veronica A., “Effect of Different Coagulants on Yield and Quality of Tofu from Soymilk”, www.springerlink.com, 2007. [15] Rockland, L. B.; Zaragosa, E. M.; Oracca-Teteh, Richard., “Quick Cooking Winged-Beans (Psophocarpus tetragonolobus)”, J. of Food Sci. 44: 1004-1009, (1979). [16] Saio, K.; Kamiya, M.; Watanabe, T., “Food Processing Characteristic of Soybean 11S and 7S Proteins. Part 1. Effect of difference of protein components among soybean varieties on formation of tofu-gel”, Agric. Biol. Chem. 33:1301, (1969). [17] Santoso, Hieronymus Budi, “Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai Bahan Makanan Bergizi Tinggi”, Kanisius, Yogyakarta, 1993. [18] Sathe, S. K.; Salunkhe, D. K., “Investigations on Winged Bean [Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC] Proteins and Antinutritional Factors”, J. Food Sci. 46 : 1389-1392, (1981). [19] Soerawidjaja, Tatang H., “Kecipir Kekayaan Hayati Potensial yang Hampir tak Tersumberdayakan”, Modul Kuliah Dasar-dasar Teknologi Pangan (TK 2208) Teknik Kimia, ITB, 2005. [20] Sri Kantha, S.; Hettiarachchy, N. S.; Erdman Jr., J. W., “Laboratory Scale Production of Winged Bean Curd”, J. Food Sci. 48: 441-447, (1983).

B.67.3.42/8