URGENSI IJTIHAD DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI

C. Ijtihad suatu upaya Pengembangan Hukum Islam. Dalam filsafat hukum Islam dikenal adanya term mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) yang secara st...

9 downloads 484 Views 78KB Size
URGENSI IJTIHAD DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh : Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag. [1]

A. Pendahuluan Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan hukum Islam seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejak saat itu sampai saat ini, Hukum Islam menjadi hukum yang hidup (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia, bukan hanya pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis.[2] Dan hal itu berlangsung ratusan tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda atau Portugis terutama setelah umat Islam memegang tampuk kekuasaan politik yang ditandai dengan berdirinya kerajaan muslim di Indonesia seperti Kerajaan Samudera Pasai, Demak, Banten dan lainnya. Pada masa reformasi, Hukum Islam diakui sebagai salah satu sub sistem yang membentuk dan mempengaruhi sistem hukum Nasional disamping sistem Hukum Adat (adatrecht) dan sistem Hukum Barat.[3] Oleh karena itu hukum Islam memiliki peran yang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan Hukum Nasional. Muhsin menyebutkan bahwa dari tiga sub sistem hukum Nasional yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Barat dan sistem hukum Islam, maka sistem hukum Islam-lah yang memiliki kans yang sangat besar dalam mewarnai dan mempengaruhi pembentukan hukum Nasional. Hal ini disebabkan sistem hukum Islam merupakan sistem hukum yang holistik dan lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Disamping itu, secara historis dan sosiologis, bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam. Sementara itu hukum Barat sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia , sedangkan sistem Hukum Adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan Hukum Nasional[4]

Oleh karena itu, pembaruan dan pengembangan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Hukum Islam memiliki karakteristik tersendiri yaitu bersifat ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah (dinamis).[5] Harakah atau dinamis sebagai salah satu karakteristik hukum Islam mengindikasikan kemampuan hukum Islam dalam mengakomodir, merespon dan menjawab setiap persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam sumber utama hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari perubahan dan kemajuan sosial yang tak mungkin dielakkan. Hukum Islam elastis dan mampu mengakomodir perubahan-perubahan kondisi sosial terutama dalam bidang muamalah. Hukum Islam telah menyiapkan pranata Ijtihad dengan berbagai macam metodenya sebagai sebuah instrumen penemuan hukum/rechtsvinding dalam hukum Islam. Oleh karena itu dengan adanya pranata Ijtihad ini, hukum Islam diyakini tidak akan mengalami apa yang dikenal dengan istilah kekosongan hukum (rechtvacuum).

B.

Perubahan Sosial dan Implikasinya terhadap Pengembangan Hukum.

Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan oleh Allah agar dapat dimampaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya.[6] Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah-Nya, maka Allah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi. Kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia baik dampak positip maupun dampak negatip. Dampak positip dari kemajuan iptek adalah kehidupan semakin serba mudah dan serba cepat (instan) tetapi di sisi lain juga melahirkan problema dan masalah yang sangat

komplek. Sehingga untuk menjawab dan merespon masalah-masalah tersebut diperlukan hukum yang akomodatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman. Dalam kondisi seperti ini, apabila hukum yang ada dan sedang berlaku (ius constitutum) tidak mampu memberikan jawaban atas setiap persoalan yang baru, maka akan ditemukan adanya celah-celah kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang selanjutnya akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut untuk adaptip dan dinamis mengikuti dan menjawab tantangan zaman. Hakim dan para praktisi yang bergelut di bidang hukum ditantang untuk mampu mengisi kekosongan tersebut baik dengan cara menemukan ataupun menciptakan hukum. Hakim, sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya, bukan hanya menjadi mulut atau corong undang-undang (baouche de lalor), tetapi seorang hakim juga dituntut harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtschepping)[7] dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tentunya dalam hal ini tanpa mengesampingkan kepastian hukum itu sendiri. Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.

C.

Ijtihad suatu upaya Pengembangan Hukum Islam

Dalam filsafat hukum Islam dikenal adanya term mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) yang secara struktural meliputi; al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad. Pengakuan atas Ijtihad sebagai suatu sumber hukum didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal pada saat diutus oleh Nabi menjadi Gubernur Syam. Sebelum pengangkatan tersebut ,Nabi melakukan Fit and profertest untuk menguji kelayakan Muadz dalam menjabat gubernur Syam. Hadits tersebut berbunyi:

 ‫"! اذا ض‬# $ ‫  ذ  ان رل ا  ا   و      ا ا  &ل آ‬ )* , /0#  ‫ن‬, ‫*) رل ا &ل‬+, ‫ب ا &ل‬.‫ آ‬, /0#  ‫ن‬, ‫ب ا &ل‬.' !&‫&!ء &ل ا‬ ‫ رل رل ا‬1,‫  و‬/ 2‫ و &ل ا‬3‫ر‬/  ‫!ب رل ا‬, ‫ ا &ل‬4‫ و‬5‫ رأ‬/7.‫رل ا &ل ا‬ [8] ‫ رل ا‬85  

Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.. Hadits ini oleh para ulama dijadikan dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad. Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya.[9] Ijtihad dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. [10]Seakar dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah. Dimana ketiga term tersebut pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan kemampuan dalam rangka menegakkan agama Allah meski lapangannya berbeda. Ijtihad lebih bersifat upaya sungguh-sungguh

yang

dilakukan seseorang yang telah memenuhi persyaratan dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam Alqur'an maupun al-Hadits dan orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam menegakkan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang tidak terbatas dan orangnya dikenal

dengan sebutan mujahid. Sedangkan mujahadah menitik beratkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan dan hasrat nafsu agar mau tunduk melaksanakan perintahperintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, orang yang melakukan hal tersebut seringkali di sebut salik atau murid. Para ulama mendefinisikan Ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis. Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa kriteria kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad: pertama, mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur'an dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh. Kelima, mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam.[11] Disamping itu, ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaitu: pertama, dalil-dalil yang qath'i wurud-nya dhani dalalah-nya. Kedua, dalil-dalil yang dhani wurud-nya qath'i dalalah-nya. Ketiga, dalil-dalil yang dhanni wurud dan dalalah-nya. Keempat, terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.[12] Oleh karena itu, Ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sudah secara tegas disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qath'i wurud dan dalalah-nya. Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para hukum Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut diatas yaitu: pertama, pelaku pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid. Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang di benarkan oleh syara'.[13] A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad, yaitu: pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik). Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga, dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syari'ah. Oleh karena itu,

dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah, prinsipprinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli sangat menentukan. Dalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya. [14] Dari pemaparan diatas, nampak sekali bahwa ijtihad memiliki peranan yang sangat besar dalam pembaruan hukum Islam. Pembaruan tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Antara pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, saling mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses pembaharuan hukum Islam secara benar, maka hukumhukum yang dihasilkan dari proses ijtihad akan benar pula.[15]

D. Kesimpulan.

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek. Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan, ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia. Hukum sebagaimana menurut Rescue Pond adalah instrument untuk merekayasa sosial (law as a tool of social engenering)[16] agar tercipta kehidupan yang aman, tertib dan sejahtera terkadang tidak cepat, kurang tanggap bahkan terkadang keteteran menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Hal ini memberikan celah-celah adanya kekosongan hukum sekaligus memberikan kesempatan, peluang dan tangtangan bagi orang-orang yang concern terhadap hukum terutama dari kalangan hakim dan akademisi untuk mengisi kekosongan tersebut dengan cara menemukan dan menciptakan hukum.

Hukum Islam sebagai salah satu sub sistem Hukum Nasional di Indonesia dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam menghadapi problem-problem baru dampak dari kemajuan peradaban manusia tersebut. Khazanah hukum Islam telah menyiapkan sebuah pranata atau instrumen sebagai solusi permasalahan diatas yang dikenal dengan term Ijtihad. Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten dan kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problem baru tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam. Ijtihad dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam tatanan Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam dalam mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya instrumen ijtihad ini, Hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya dalam pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang pembaruan hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terusmenerus guna mengantisipasi dan mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti sekarang dimana perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.(wallahu 'alam bis shawab)

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Wahab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, Darul Qalam, th. 1978 2. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII Juni 2008, Jakarta, IKAHI .

3. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2006 4. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2006. 5. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2005, Edisi Revisi, cet. 5

6. Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi: Upaya Positivisasi Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta PPHIM.

7. Muchsin, Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional, Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta , PPHIMM.

8. A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25. 9. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta , 1990, cet. 8.

Penulis menyelesaikan Pendidikan SI di Fakultas Syari'ah Jurusan al-Akhwal al-Syahsiyyah IAIC Cipasung Tasikmalaya pada tahun 2000. sedangkan Pendidikan S2 selesai pada tahun 2006 dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Studi Konsentrasi Hadits dan pernah mondok di Pesantren Sukahideng Tasikmalaya dari tahun 1992-2000. Pertama berkarir sebagai Calon Hakim pada Pengadilan Agama Kelas 1-A Subang, Jawa Barat dari tahun 2006-2009. Dan sejak Agustus 2009 bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera Utara.

[1]

Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi : Upaya Posititivisasi Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari, 2009, PPHIM, hal.164-165

[2]

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal, 66-67

[3]

Muchsin, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari 2009, PPHIMM, hal. 42

[4]

[5] Sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia. sedangkan Abdul Manan sendiri dalam buku yang sama menyebutkan adanya empat karakter Hukum Islam yaitu: ketuhanan (rabbaniyah), universal (Syumul), harmonis (wasathiyyah) dan manusiawi (insaniyah) dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2006, h. 95-103 [6]

QS. al-Baqarah ayat, 29

Bagir Manan, Kata Pengantar dalam Buku Abdul Manan Reformasi Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal. XV

[7]

Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Dar al-Qalam, 1978, cet. 12, hal. 21-22; A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta , Kencana, 2005, cet. 3, h. 61-62

[8]

A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25, hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta , 1990, cet. 8, hal. 92-93

[9]

[10]

A. Djazuli, op.cit , h. 71

[11]

Abdul Manan, op.cit, hal. 162-163

[12]

A. Djazuli. Op.cit. hal. 72.

[13]

Abdul Manan,loc.cit. 162

A. Djazuli, op.cit, bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162 [14]

[15]

Abdul Manan, op.cit. hal. 165.

Rifyal Ka'bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Varia Peradilan No. 271 Juni 2008, IKAHI, Jakarta , hal. 8

[16]