REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA GURU DAN SISWA KELAS VII A

Di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah ... kesantunan dalam berbicara, ... Kesantunan berbahasa menjadi dasar bagi penutur untuk mencap...

6 downloads 561 Views 199KB Size
REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA GURU DAN SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 2 SUNGAI PINYUH Mardiana Rosanti, Sisilya Saman, dan Amriani Amir Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Untan Pontianak Email: [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realisasi maksim kesantunan berbahasa indonesia antara guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif berbentuk kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa penyimpangan lebih dominan daripada realisasi prinsip kesantunan berbahasa. Terdapat 3 realisasi maksim kebijaksanaan, 4 realisasi maksim kedermawanan, 2 realisasi maksim kesederhanan, 2 realisasi maksim kesimpatisan, 3 realisasi maksim penghargaan, 5 realisasi maksim pemufakatan. Adapun penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa sebagai berikut, 1 penyimpangan maksim kebijaksanaan, 1 penyimpangan maksim kedermawanan, 2 penyimpangan maksim kesederhanaan, 1 penyimpangan maksim kesimpatisan, 14 penyimpangan maksim penghargaan, 2 penyimpangan maksim pemufakatan. Penyimpangan prinsip kesantunan yang dominan adalah penyimpangan maksim penghargaan dan realisasi maksim kesantunan yang dominan adalah maksim pemufakatan. Kata kunci: Realisasi, Kesantunan Berbahasa, Guru dan Siswa Abstract: This research aims to description speech politeness maxim act between teacher and students of VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. This research uses descriptive method in form of qualitative. According to data analysis, it can be concluded that speech politeness maxim act is less than violation of the principle of politeness maxim. There are 3 wisdom maxim acts, 4 generosity maxim acts, 2 simplicity maxim acts, 2 sympathy maxim acts, 3 tribute maxim acts, 5 cooperative maxim acts. Meanwhile, violations of the principle of politeness maxim act are as follow. 1 violation of wisdom maxim, 1 violation of generosity maxim, 2 violations of simplicity maxim, 1 violation of sympathy maxim, 14 violations of tribute maxim, 2 violations of cooperative maxim. Dominant violation of the principle of politeness is tribute maxim and dominant politeness act is cooperative maxim. Keywords: Act, Speech politeness, Teacher and students

B

ahasa merupakan alat komunikasi yang efektif untuk berkomunikasi antarmanusia. Di berbagai situasi, bahasa dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan pembicara kepada pendengar, dan untuk mengungkapkan perasaan. Tanpa disadari ketika berpikir pun menggunakan bahasa, melalui bahasa segala sesuatunya dapat dipahami dan dimengerti oleh seseorang sehingga dapat terjadi komunikasi yang baik, bahasa memiliki peran yang sangat penting bagi manusia. Menurut buku Komposisi Bahasa Indonesia yang ditulis Finoza (2005: 1) Para ahli jiwa (psikolog dan psikiater) mempelajari bahasa agar dapat menemukan kata-kata atau kalimat yang dapat berperan dalam penyembuhan pasiennya. 1

Komunikasi yang baik dapat terjadi bila antara penutur dan mitra tutur menggunakan bahasa yang baik atau dengan kata lain menggunakan bahasa yang santun. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang kurang memperhatikan kesantunan berbahasa, disadari atau tidak terkadang kita sendiri termasuk di dalamnya. Di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah terkadang masih ditemukan penggunaan bahasa yang kurang santun. Penggunaan bahasa yang kurang santun tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain. Misalnya, di lingkungan sekolah, seorang guru mengatakan “bodoh” kepada siswa yang bernama Budi maka Budi bisa menjadi sakit hati, minder, dan sebagainya. Pengalaman peneliti berinteraksi dengan warga sekolah selama tiga bulan melakukan Program Pengalaman Lapangan (PPL) dan ditemukan beberapa kasus mengenai penyimpangan kesantunan yang semestinya tidak dilakukan oleh lembaga formal. Sekolah merupakan lembaga formal yang harus mendidik siswanya untuk berbicara secara santun, lembaga yang menghasilkan generasi anak bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa sehingga perlu untuk merealisasikan kesantunan dalam berbicara, seandainya di lingkungan sekolah kurang menyadari pentingnya kesantunan dan tidak merealisasikan kesantunan berbahasa, maka sekolah hanya menghasilkan orang yang pintar secara ilmu, tetapi gagal menghasilkan orang yang santun dalam berbicara, pintar secara ilmu belum cukup jika tidak memiliki karakter yang baik. Bahasa yang digunakan di lingkungan sekolah tentunya menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia. Melihat bahwa realisasi kesantunan berbahasa itu merupakan hal yang penting dalam berkomunikasi di segala aspek kehidupan maka perlu untuk mengetahui sejauh mana kesantunan berbahasa itu sudah direalisasikan, dari hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi pihak sekolah untuk melakukan tindakan selanjutnya. Kesantunan berbahasa menjadi dasar bagi penutur untuk mencapai komunikasi yang baik dengan mitra tutur sehingga apa yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Konsep kesantunan berbahasa itu kemudian berkembang menjadi teori kesantunan berbahasa. Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah maksim yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa juga dapat ditelaah dari ilmu sosiopragmatik. Sosiopragmatik adalah telaah yang berfokus pada keberadaan budaya setempat atau kultur lokal (Rahardi, 2009: 5). Sejalan dengan Rahardi, Tarigan (2009: 25) menyatakan “Sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi ‘setempat’ atau kondisi-kondisi ‘lokal’ yang lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tempat bahasa tersebut digunakan”. Jadi, sosiopragmatik adalah disiplin ilmu yang membahas penggunaan bahasa berdasarkan kondisi tempat atau kondisi lokal yang melatarbelakangi penggunaan bahasa. Kesantunan suatu bahasa dapat dipengaruhi oleh kondisi atau tempat penggunaan bahasa tersebut. Oleh karena itu, kesantunan bahasa termasuk dalam kajian sosiopragmatik. Bahasa juga dapat dipelajari dari ilmu sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang berusaha menerangkan korelasi antara perwujudan struktur atau elemen bahasa dengan faktor-faktor sosiokultural pertuturannya (Wijana dan Rohmadi, 2006: 11). Berbeda dengan Wijana dan Rohmadi, Kridalaksana (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 3) menyatakan “Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.”

2

Jadi, sosiolinguistik adalah ilmu bahasa yang menjelaskan ciri dan variasi bahasa, yang mempengaruhi pengguna bahasa di masyarakat. Bahasa juga dapat di teliti oleh ilmu pragmatik. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Performansi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi. Pragmatik bukan saja menelaah pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek, dan register, melainkan memandang performansi ujaran pertama sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh aneka ragam konvensi sosial. Para teoritikus pragmatik telah mengindentifikasi adanya tiga jenis prinsip kegiatan ujaran, yaitu kekuatan ilokusi, prinsip-prinsip percakapan, dan presuposisi (Heatherington dalam Tarigan, 2009: 30). Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dalam keseluruhan situasi pemberian dan penerimaan tanda (George dalam Tarigan, 2009: 30). Berbeda dengan George, menurut Morris (dalam Tarigan, 2009: 30) menyatakan pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan para penafsir. Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi (rencana atau masalah). Levinson (dalam Rahardi, 2009: 20-21) menjelaskan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Batasan Levinson itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Pragmatics is the study of those relation betwen language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of e a language.” Sejalan dengan itu Parker (dalam Rahardi, 2009: 20-21) Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Jadi, pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang melatarbelakangi bahasa itu dan menelaah makna dalam hubungannya dengan berbagai situasi ujaran. Kesantunan berbahasa menyangkut sopan tidaknya penutur dan mitra tutur dalam berbahasa. Sopan atau tidaknya tuturan itu bergantung pada situasi atau konteks tutur pada saat itu, apakah antara penutur dan mitra tutur memiliki rasa saling menghormati atau tidak, apakah bahasa yang digunakan halus atau tidak, atau apakah bahasa yang digunakan langsung dan transparan atau tidak. Kesantunan berbahasa menurut Tarigan (2009: 41) adalah “Menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan santun.” Berbeda dengan Tarigan, Rahardi (2009: 26) menyatakan “Kesantunan sebuah tuturan sesungguhnya juga dapat dilihat dari banyak sedikitnya tuturan itu memberikan pilihan kepada mitra tutur.” Robin Lakoff (dalam Rahardi, 2009: 27) “Melihat kesantunan tuturan juga dapat dicermati dari tiga hal, yakni dari sisi keformalannya, ketidaktegasannya, dan peringkat kesejajaran atau kesekawanannya.” Berbeda dengan Yule (2006: 104) menyatakan “Kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial.” Akhirnya, kesantunan sebuah tuturan juga dapat diukur dengan mempertimbangkan jauh dekatnya jarak sosial, jauh dekatnya peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, dan tinggi rendahnya peringkat tindak tutur. Gagasan yang demikian dinyatakan oleh Brown dan Levinson ( dalam Rahardi, 2009: 27). Prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif telah dirumuskan oleh Leech, menurut Rahardi (2005: 59-60). Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut.

3

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik, adapun ciri-ciri maksim kebijaksanaan sebagai berikut: kurangi kerugian orang lain dan tambahi keuntungan orang lain. Contoh kesantunan tuturan maksim kebijaksanaan. (a) Ibu kos : “Bulan depan saja bayarnya kalo kamu belum punya uang. Kamu pakai saja uangmu dulu untuk bayar kuliah.” Anak kos: ”Aduh, maaf ya, Bu. Saya jadi merepotkan.” b. Maksim kedermawanan (Generosity Maxim) atau maksim kemurahan hati, ciri-ciri dari maksim kedermawanan sebagai berikut: kurangi keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri. Contoh kesantunan tuturan dalam maksim kedermawanan. (a) Tina : “ De, biar kakak saja yang bawakan belanjamu.” Mardi : “Waduh, tidak usah kak. Nanti saya bisa bawa sendiri saja.” c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Berikut ciri-ciri maksim penghargaan: kurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian pada orang lain. Contoh kesantunan tuturan dalam maksim penghargaan. (a) Guru : “Arga, kamu pintar sekali main gitarnya.” Siswa : “Terima kasih, Bu.” d. Maksim Kesederhanaan (Modestyu Maxim) Ciri-ciri maksim kesederhanaan: kurangi pujian pada diri sendiri dan tambahi cacian pada diri sendiri. Contoh kesantunan tuturan maksim kesederhanaan. (a) Ceti :” Tio, nanti kamu yang bawa acara di penyambutan mahasiswa baru, ya!” Tio : “ Saya kurang bisa, Kak.” Ceti : “Nanti, kakak ajarkan. e. Maksim Pemufakatan (Agreement Maxim) Ciri-ciri maksim pemufakatan: kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.Contoh kesantunan tuturan maksim pemufakatan. (a) Uli : ”Lamongan di jalan Sumatra enak, ya!” Veni : ”Iya, benar sekali. Saya suka makan lamongan di sini.” f. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim), ciri-ciri maksim kesimpatisan: kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain dan perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Contoh kesantunan tuturan maksim kesimpatisan. (a) Sella : “Kak, kemungkinan Saya tidak bisa ikut acara wisuda Kakak besok karena ada temanku yang sakit. Kemarin dia kecelakaan.” Rosa: “Wah, kasian temanmu. Gimana keadaannya? Kita jengguk, yok!” METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, dan bukan angkaangka (Moleong, 2010: 11). Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. 4

Menurut Jauhari (2010: 34) metode deskriptif merupakan metode yang menggambarkan sebuah peristiwa, benda, dan keadaan dengan sejelas-jelasnya tanpa mempengaruhi objek yang ditelitinya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, metode deskriptif dianggap sesuai dengan penelitian ini karena penelitian ini bertujuan mendeskripsikan atau menggambarkan realisasi prinsip kesantunan berbahasa dan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh secara objektif dan sejelas-jelasnya. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk kualitatif. Bentuk penelitian kualitatif tidak menggunakan perhitungan, data yang dianalisis tidak berbentuk angka-angka. Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong (2010: 11) yang mengatakan “Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, dan bukan angka-angka.” Berbeda dengan Moleong, Alwasilah (dalam Jauhari, 2010: 36) mengatakan “Bentuk penelitian kualitatif memerlukan data kata-kata tertulis, peristiwa, dan perilaku yang dapat diamati”. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan langsung guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Moleong (2010: 157) “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah katakata, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Data dalam penelitian ini adalah kalimat yang merupakan realisasi maksim kesantunan berbahasa dan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa yang dituturkan guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu, teknik langsung. Dikatakan teknik langsung karena peneliti yang langsung melakukan penelitian di lapangan. Pengumpulan data dengan menggunakan teknik langsung misalnya dengan melakukan pengamatan atau observasi. Berikut adalah penjelasan teknik dalam pelaksanaan pengumpulan data yang digunakan. 1. Teknik Sadap Peneliti dalam tahap awal ini mengumpulkan data dengan menyadap pembicaraan siswa dan guru yang ada di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh, peneliti berada dalam kelas yang sama sehingga mudah untuk mendengarkan pembicaraan yang ada. 2. Teknik SLC Teknik SLC adalah teknik simak libat cakap, merupakan teknik lanjutan dari teknik sadap. Kegiatan menyadap pembicaraan dilakukan dengan berpartisipasi sambil menyimak. Berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan. Jadi, selain memperhatikan penggunaan bahasa lawan bicara, peneliti juga ikut serta dalam dialog siswa dan guru yang ada di kelas VII SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Keikutsertaan peneliti dalam pembicaraan dapat aktif dapat pula reseptif, dikatakan aktif bila peneliti ikut serta dalam pembicaraan, dan dikatakan reseptif apabila hanya mendengarkan apa yang dikatakan lawan bicara. 3. Teknik Rekam Peneliti merekam langsung dialog atau percakapan antara informan. Perekaman ini dilakukan dengan menggunakan digital voice recorder. Teknik rekam ini merupakan teknik lanjutan dari tahap sebelumnya. Teknik rekam dilakukan agar memperoleh data lebih banyak, merekam semua pembicaraan guru, dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. 4. Teknik Catat Pencatatan dapat dilakukan ketika teknik pertama, kedua, dan setelah teknik perekaman. Setelah dilakukan pencatatan pada kartu data dapat langsung melakukan klasifikasi atau pengelompokan data pada kartu data. Kartu data yang 5

digunakan sesuai dengan pendapat Sudaryanto (1988: 6) dapat berupa “Kertas dengan ukuran dan kualitas apa pun, asalkan mampu memuat, memudahkan pembacaan, dan menjamin keawetan”. Alat yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data sebagai berikut: 1. alat perekam (Digital Voice Recorder) Untuk merekam data dalam pelaksanaan penelitian. 2. kartu data Kartu data dapat berupa kertas dengan ukuran dan kualitas apa pun yang mampu memuat, memudahkan pembacaan, dan tidak mudah rusak. Digunakan untuk melakukan pencatatan setelah pengelompokan atau klasifikasi data. 3. kamera digital Untuk mendokumentasikan proses pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data. Teknik analisis data dibuat untuk menganalisis data setelah data terkumpul secara keseluruhan. Data tersebut kemudian diurutkan, dikelompokkan, diberi kode, dan dikategorikan sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Setelah data tersebut terkumpul secara keseluruhan, langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Mentranskripsikan data. Pada tahap ini, semua ujaran yang telah direkam atau dicatat dipilih sesuai dengan keperluan. Ujaran yang tidak berhubungan dengan masalah yang diteliti tidak perlu diambil. Data yang sudah dipilih kemudian ditranskripsikan ke dalam bahasa tulis pada kartu pencatatan. 2) Mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan data. Pada tahap ini, memisahkan kalimat yang dibutuhkan untuk tahap selanjutnya, dan yang tidak dibutuhkan. Data diidentifikasikan dan diklasifikasikan berdasarkan masalah yang diteliti yaitu bagaimana realisasi prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa, dan bagaimana penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. 3) Membaca kembali data yang sudah diklasifikasikan. Data yang telah ditranskripsikan dan diklasifikasikan dibaca kembali supaya tidak ada kesalahan. Setelah dibaca langkah selanjutnya adalah penyalinan tiap tuturan yang telah ditranskripsikan dan diklasifikasikan ke dalam kartu data. 4) Menganalisis data Pada tahap ini, data yang sudah disalin dalam kartu data kemudian dianalisis. a. Menganalisis dan menginterpretasi data realisasi prinsip kesantunan berbahasa. Setelah diklasifikasikan kemudian data tersebut dianalisis dan diinterpretasikan apakah data yang telah diklasifikasikan tersebut sudah sesuai dengan yang diinginkan atau pun belum. Penganalisisan data tersebut mengacu pada teori Leech. Tuturan yang merupakan realisasi prinsip kesantunan berbahasa adalah tuturan yang melaksanakan enam maksim menurut Leech yakni maksim kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kesederhanan, pemufakatan, dan kesimpatisan. Jika tuturan guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh yang melaksanakan prinsip kesantunan menurut Leech maka tuturan tersebut dapat dikatakan sudah merealisasikan kesantunan dalam berbahasa atau dengan kata lain tuturan tersebut dapat dikatakan tuturan yang santun. 6

b. Menganalisis dan menginterpretasi data penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa. Setelah ditemukan data yang merupakan realisasi prinsip kesantunan berbahasa, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan yang merupakan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa. Tuturan yang tidak melaksanakan prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech dapat dikatakan penyimpangan prinsip kesantunan. Jadi, tuturan guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh yang tidak melaksanakan prinsip kesantunan menurut Leech atau dengan kata lain tuturan yang melanggar keenam maksim menurut Leech dapat dikatakan penyimpangan prinsip kesantunan (tidak santun dalam berbicara). c. Mendiskusikan hasil analisis data dengan pembimbing. Hasil analisis dan interpretasi mengenai realisasi prinsip kesantunan, dan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh, didiskusikan dengan pembimbing. d. Menyimpulkan hasil analisis dan interpretasi. Pada tahap ini hasil diskusi dengan pembimbing kemudian disimpulkan sehingga diperoleh deskripsi secara menyeluruh tentang realisasi dan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh, berdasarkan teori kesantunan Leech. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan realisasi maksim kesantunan berbahasa antara guru dan siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh, secara khusus penelitin ini bertujuan mendeskripsikan realisasi prinsip kesantunan berbahasa dan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Pemilihan kelas VII berdasarkan tingkatan paling dasar ditingkat SMP. Dari penelitian yang dilakukan, maka dihasilkanlah 3 realisasi maksim kebijaksanaan, 4 realisasi maksim kedermawanan, 2 realisasi maksim kesederhanan, 2 realisasi maksim kesimpatisan, 3 realisasi maksim penghargaan, 5 realisasi maksim kemufakatan. Hasil penelitian ini diperoleh dari 19 percakapan antara guru dan siswa yang merupakan realisasi kesantunan berbahasa. Penyimpangan prinsip maksim kesantunan berbahasa sebagai berikut, 1 penyimpangan maksim kebijaksanaan, 1 penyimpangan maksim kedermawanan, 2 penyimpangan maksim kesederhanaan, 1 penyimpangan maksim kesimpatisan, 14 penyimpangan maksim penghargaan, 2 penyimpangan maksim pemufakatan. Terdapat 21 tuturan yang merupakan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Pembahasan Penelitian ini dilakukan di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh, dimulai pada tanggal 13 Mei 2013, dari hasil penelitian yang dipaparkan tentunya perlu pembahasan dari mana hasil tersebut diperolah. Keenam maksim yang di gunakan Leech sebagai acuan dalam mengukur tingkat kesantunan berbicara merupakan teori yang digunakan peneliti untuk memperoleh hasil penelitian. Dari 40 percakapan antara guru dan siswa di 7

kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh, 19 merupakan realisasi kesantunan berbahasa dan 21 tuturan yang merupakan penyimpangan kesantunan berbahasa. Pemilihan tuturan yang dijadikan data berdasarkan masalah yang dibahasa, dari percakapan guru dan siswa di kelas VII A dipilih tuturan yang menunjukkan realisasi kesantunan dan yang menunjukkan penyimpangan. Jadi, tidak semua tuturan dalam percakapan menjadi data, yang terpilih hanya 40 percakapan. Tuturan-tuturan yang merupakan realisasi kesantunan berbahasa adalah tuturan yang berpegang atau yang menjalankan keenam prinsip kesantunan menurut Leech yakni maksim kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kesederhanaan, kemufakatan, dan kesimpatisan. Tuturan yang merealisasikan maksim kebijaksanaan adalah tuturan yang berpegang pada prinsip berusaha untuk mengurangi kerugian orang lain dan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan orang lain, dapat dilihat dari pembicaraan berikut. Pembicaraan S sebagai guru kepada D Guru S : ”Deki, jangan duduk pindah-pindah! Denah kelasnyakan sudah ada.” Siswa D : ”Saya, duduk dekat Andri saja, Pak.” Guru S : ”Kenapa harus duduk dengan Andri? Kursi kamukan ada.” Siswa D : ”Saya lupa bawa buku cerita saya, Pak! Kalo duduk dengan Andri saya bisa pinjam punya dia.” Guru S : ”Kembali ke kursimu, ini kamu pinjam buku Bapak saja.” Tuturan yang disampaikan S di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa S berusaha memaksimalkan keuntungan pihak D dengan cara meminjamkan D buku cerita. Sebenarnya S bisa saja menghukum D karena tidak membawa buku cerita. Pemaksimalan bagi pihak mitra tutur dalam hal ini D terlihat dari tuturan S berikut, “ini kamu pinjam buku Bapak saja”. Dari tuturan tersebut jelas bahwa S berusaha memaksimalkan keuntungan D, dengan meminjamkan buku cerita kepada D sehingga akan memudahkan D dalam mengerjakan tugasnya, dan D tidak perlu harus pindah duduk disamping temannya. Jadi, tuturan S dapat dikatakan santun dan sudah merealisasikan maskim kebijaksanaan dalam bertutur terlihat dari S berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pihak D. Tuturan yang merupakan realisasi maksim kedermawanan adalah tuturan yang berpegang pada prinsip mengurangi keuntungan diri sendiri dengan cara menambahkan pengorbanan pada diri sendiri hal ini dilakukan sebagai bentuk menghormati orang lain. Tuturan tersebut terlihat dari percakapan antara guru dan siswa berikut. Pembicaraan E kepada A, dan M Guru E : “Ayo, siapa yang mau tulis di depan? Adri, kamu tulis di depan ya!” Siswa A : ”Tidak mau, Pak. Tulisan saya jelek.” Siswa MJ : ”Saya saja, Pak!” Pembicaraan antara E yang berprofesi sebagai guru IPA dan A pada proses belajar mengajar di kelas VII A. E meminta A untuk menuliskan soal di depan, tetapi A tidak mau. Akhirnya M yang menawarkan dirinya untuk menuliskan soal tersebut. Dari pembicaraan tersebut terlihat bahwa M 8

berusaha untuk menambahkan beban bagi dirinya sendiri dan mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri. Terlihat jelas M berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pihak lain. Tampak pada tuturan M “Saya saja, Pak”. M berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menawarkan diri untuk menuliskan soal yang diberikan oleh E. Tuturan M dapat dikatakan santun. Tuturan M berpegang pada prinsip mengurangi keuntungan diri sendiri dengan menambahkan beban pada dirinya sendiri, dalam teori Leech tergolong sebagai maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati. Jadi, M sudah merealisasikan maksim kedermawanan. Dikatakan merealisasikan maksim penghargaan apabila tuturan yang disampaikan oleh penutur dan mitra tutur terdapat nilai-nilai saling menghormati atau menghargai. Tuturan yang menghormati atau menghargai orang lain biasanya diungkapkan dengan pujian. Berikut pembicaraan SWN kepada S. Guru SWN : ”Sapri, coba kamu ceritakan isi cerita yang telah kamu baca di depan teman-temanmu.” Siswa SP : ”Baik, Pak.” (Maju dan membacakan cerita) Guru SWN : ”Bagus ya, cara Sapri membacakan ceritanya. Intonasinya sudah sesuai, dan kelancaran dalam membacanya sudah sangat jelas.” Pada percakapan di atas terlihat bahwa SWN yang berperan sebagai guru menghargai penampilan SP. SWN menanggapinya dengan pujian, pujian SWN terlihat dari tuturan “Bagus ya, cara Sapri membacakan ceritanya. Intonasinya sudah sesuai, dan kelancaran dalam membacanya sudah sangat jelas”. Tuturan SWN tersebut dapat dikatakan santun karena SWN menanggapi tuturan SP dengan baik. Apa yang dituturkan SWN tersebut dapat menambah semangat SP untuk belajar. Jadi, dapat dikatakan bahwa orang yang menanggapi pembicaraan lawan bicaranya dengan baik atau dengan pujian sudah merealisasikan kesantunan dalam berbicara. Pembicaraan DN kepada AR Guru DN : “Setelah ini, kalian kerjakan latihan yang tadi Ibu berikan dan cari buku yang berkaitan dengan tugas di perpustakaan, ya!” Siswa AR : ”Iya, Bu.” Pembicaraan antara DN dan AR di atas terlihat dengan jelas bahwa AR menyetujui apa yang dikatakan DN, dengan kata lain terdapat kemufakatan atau kecocokan antara DN dan AR dalam kegiatan bertutur, DN dan AR dapat dikatakan bersikap santun. Kemufakatan tersebut dapat dilihat dari tuturan AR, “Iya, Bu”. Tuturan AR ini menunjukkan bahwa AR berusaha untuk mengurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan DN, dan meningkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan DN. Jadi, antara DN dan AR terjalin kecocokan dalam bertutur dengan kata lain sudah merealisasikan maksim pemufakatan. Pembicaraan AS kepada MJ. Guru AS : “Manja, nanti kamu yang kerjakan soal nomor 3 ya!” Siswa MJ: ”Iya, Bu. Tapi kalo salah tidak apa-apakan Bu. Saya kurang bisa.” Guru AS : ”Ah, kamu pasti bisa ko.”

9

Pembicaraan antara guru dan siswa di atas terlihat bahwa MJ Bersikap rendah hati dengan mengatakan “Tapi kalo salah tidak apa-apakan Bu. Karena saya kurang bisa”. Tuturan MJ tersebut berusaha untuk mengurangi pujian kepada dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dirinya kurang bisa. Padahal sebenarnya MJ adalah siswa yang berprestasi di kelasnya, dan tidak menutup kemungkinan bahwa MJ bisa mengerjakan soal yang diberikan guru tersebut dengan baik. Terlihat dari tuturan AS bahwa dia yakin MJ bisa mengerjakan soal tersebut. Menurut teori Leech orang yang bersikap rendah hati atau orang yang tidak sombong dalam bertutur berusaha untuk tidak memuji dirinya sendiri. Orang yang berpegang pada prinsip ini dikatakan sudah merealisasikan kesantunan berbahasa dan termasuk dalam maksim kesederhanaan. Jadi, dapat dikatakan bahwa MJ sudah bertutur santun dan merealisasikan maksim kesederhanaan. Pembicaraan AS kepada siswanya HD. Guru AS: “Ibu senang nilai ulangan Hamdani meningkat dari ulangan sebelumnya, terus belajar ya!” Siswa HD: “Iya, Bu. Terima kasih.” Pembicaraan antara AS yang berprofesi sebagai guru dengan HD sebagai siswa, terlihat bahwa AS merasa senang melihat nilai HD lebih baik dari nilai ulangan harian sebelunnya. Rasa senang yang diungkapkan oleh AS terlihat dari tuturan berikut, “Ibu senang nilai ulangan Hamdani meningkat dari ulangan sebelumnya, terus belajar ya!” tuturan AS tersebut menunjukkan rasa simpatinya kepada HD. Sikap simpati itu ditunjukkan sebagai rasa syukur atau rasa senang AS terhadap nilai HD yang jauh lebih baik dari nilai ulangan harian yang sebelumnya. Rasa simpati merupakan keikutsertaan merasakan perasaan senang, sedih, orang lain. Tuturan AS merupakan realisasi maksim kesimpatisan dalam berbahasa. Tuturan-tuturan yang tidak merealisasikan maksim kesantunan berbahasa menurut Leech, yang terdiri dari enam maksim (kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kesederhanaan, kemufakatan, dan kesimpatisan) merupakan tuturan yang menyimpang atau tidak santun. Tuturan yang tidak santun tersebut terdapat dalam 21 percakapan. Pembicaraan SWN kepada siswanya DK. Guru SWN : “Dari tiga judul cerita yang dibacakan temanmu Tadi mana yang merupakan dongeng?” Siswa DK : “Cerita Malin Kundang, Malinnya kena tendan hahaha.” (Sambil tertawa) Guru SWN : “Cerita Malin Kundang, ya!” Guru SWN : “Siapa pengarang cerita Malin Kundang?” Siswa SP : “Saya, Pak.” Siswa DK : ”Bapak saya, Pak.” Guru SWN : ”Pengarang aslinya maksud Bapak.” Siswa SP : ”Oh, kirain pengarang palsunya.”(Senyum) Guru SWN : ”Kamu tahu tidak pengarang aslinya?” Siswa DK : “Tidak tahu, Pak!” Pembicaraan SWN dengan kedua siswanya DK dan SP pada saat pelajaran. SWN menanyakan dari tiga judul cerita yang dituliskan, mana yang termasuk dalam dongeng, DK dan SP menjawab pertanyaan SWN 10

dengan sikap tidak serius dan berpura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan SWN. Tuturan DK dan SP dapat dikatakan tidak sopan, seharusnya DK dan SP menjawab pertanyaan SWN dengan sopan karena pada saat itu konteks pembicaraannya bersifat formal mengingat SWN merupakan guru DK dan SP. Jadi, pembicaraan di atas merupakan penyimpangan maksim penghargaan dalam kesantunan berbahasa. Pembicaraan SWN kepada siswanya AN. Guru SWN : “Setelah ini kalian simpulkan perbedaan antara prosa lama dan prosa baru ya.” Siswa AN :“Alahai, cape tugas terus.” (Memotong pembicaraan) Guru SWN : “Kenapa kamu?” Siswa AN : ”Tidak kenapa-kenapa!” Pembicaraan antara siswa dan guru di atas dapat dikatakan bahwa siswa AN tidak menunjukkan sikap sopan terhadap guru SWN. Ketidaksopanan tersebut terlihat dari tuturan AN, “Alahai, cape tugas terus.” Sudah seharusnya sebagai seorang siswa harus menghargai seorang guru. Tuturan AN tersebut menunjukkan sikap tidak sopan dalam berbicara karena AN mengeluh ketika SWN memberikan tugas dan memotong pembicaraan. Sebagai seorang siswa sudah sewajarnya mengerjakan tugas yang diberikan guru bukan memotong pembicaraan guru dengan keluhan. Jadi, tuturan AN di atas menunjukkan penyimpangan maksim penghargaan dalam kesantunan berbahasa. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Setelah melakukan analisis terhadap tuturan langsung antara guru dan siswa di kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Peneliti menyampaikan beberapa simpulan. Pertama, realisasi prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh lebih rendah daripada penyimpang atau dengan kata lain penyimpangan lebih dominan dari realisasi prinsip kesantunan berbahasa. Terdapat 3 realisasi maksim kebijaksanaan, 4 realisasi maksim kedermawanan, 2 realisasi maksim kesederhanan, 2 realisasi maksim kesimpatisan, 3 realisasi maksim penghargaan, 5 realisasi maksim kemufakatan. Realisasi maksim kesantunan yang dominan adalah maksim kemufakatan. Jika dijumlahkan maka terdapat 19 tuturan yang merupakan realisasi prinsip kesantunan berbahasa yang dianalisis mengacu pada teori Leech. Terdiri dari 12 realisasi prinsip kesantunan yang dituturkan oleh guru, dan 7 realisasi prinsip kesantunan yang dituturkan oleh siswa. Kedua, penyimpangan prinsip maksim kesantunan berbahasa sebagai berikut, 1 penyimpangan maksim kebijaksanaan, 1 penyimpangan maksim kedermawanan, 2 penyimpangan maksim kesederhanaan, 1 penyimpangan maksim kesimpatisan, 14 penyimpangan maksim penghargaan, 2 penyimpangan maksim pemufakatan. Penyimpangan prinsip maksim kesantunan yang dominan adalah penyimpangan maksim penghargaan. 11

Terdapat 21 tuturan yang merupakan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa antara guru dan siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Sungai Pinyuh. Terdiri dari 7 penyimpangan prinsip kesantunan yang dituturkan oleh guru, dan 14 penyimpangan prinsip kesantunan yang dituturkan oleh siswa. Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah dikemukakan, maka pada bagian ini peneliti menyampaikan beberapa saran. Pertama, realisasi maksim kesantunan berbahasa ini merupakan hal yang penting untuk diperhatikan melihat kondisi tingginya tingkat penyimpangan pada maksim penghargaan menunjukkan bahwa rendahnya sikap menghargai terhadap orang lain khususnya tuturan siswa terhadap guru, disarankan untuk meningkatkan rasa saling menghargai antara siswa dan guru, guru dan siswa sehingga pada saat berkomunikasi apa yang ingin disampaikan kepada lawan bicara atau mitra tutur dapat tersampaikan dengan baik dan tidak terjadi kesalahpahaman. DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Departemen Pendidikan Nasional. 2011. KBBI. Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama. Finoza, Lamuddin. 2005. Komposisi Insan Mulia.

Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi

Jauhari, Heri. 2010. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia. Moleong, Lexi. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Rosdakarya. Rahardi, Kunjana. 2005. Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Yogyakarta : Erlangga. Sudaryanto. 1988. Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data.Yogyakarta: Gajahmada University Press. Tarigan, Hendry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Wijana, Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Pustaka Pelajar. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 12

13