REFORMA AGRARIA DAN MASA DEPAN PERTANIAN

Download Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002. 133. Kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang di pedesaan bukan merupakan ...

0 downloads 446 Views 146KB Size
REFORMA AGRARIA DAN MASA DEPAN PERTANIAN Erizal Jamal, Syahyuti, dan Aten M. Hurun Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK Reforma agraria merupakan topik utama permasalahan agraria Indonesia dewasa ini. Namun, kita dihadapkan kepada tantangan untuk merumuskan bagaimana bentuk dan strategi reforma agraria yang akan dilaksanakan. Melalui kajian historis terhadap berbagai kebijakan tentang lahan sejak zaman prapenjajahan sampai dengan Orde Baru, terlihat bahwa kebijakan agraria tidak berpihak kepada petani kecil, sehingga menyebabkan ketimpangan pemilikan lahan yang sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan dan sulit memperbaikinya. "Landreform" sebagai bagian dari reforma agraria akan menghadapi banyak tantangan. Selain itu, pelaksanaan "landreform" perlu didukung oleh basis data yang akurat dan lengkap. Dengan kondisi demikian, maka pelaksanaan reforma agraria yang mungkin untuk dilaksanakan baru pada upaya perbaikan sistem bagi hasil dan penyempurnaan berbagai peraturan dan perundangan yang ada. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah upaya yang sistematis untuk melindungi keberadaan lahan sawah dari tingginya tekanan transformasi ke sektor lain yang juga membutuhkan lahan. Kata kunci: Indonesia, reforma agraria, pemilikan lahan, landreform, pembangunan pertanian

ABSTRACT Agrarian reform and agriculture in the future Agrarian reform is the main topic on agrarian problems in Indonesia. The chalenge is what are form and strategy of agrarian reform. As historically study, the agrarian policy never support the little peasant, so that the agricultural ineguity land in a big problem and we don’t know how to recovery. Landreform program had many constrains, besides it must base in a good data. In this condition, agrarian reform program can’t improve the land distribution. In short time, land tenancy reform is a good choice and regulation reform in land distribution. Another problem in agrarian reform is land conversion, especially in poddy land, to non agricultural use, goverment have not good regulation to control the land conversion effectively. Keywords: Indonesia, agrarian reform, land ownership, land reform, agricultural development

K

epemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang di pedesaan bukan merupakan suatu persoalan yang baru. Semenjak awal abad ke-20 pemerintah Belanda telah menyadari hal ini melalui survai yang dilakukan pada tahun 1903. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir separuh petani menguasai lahan kurang dari 0,50 ha (Mubyarto, 1978). Kondisi ini tidak banyak berubah, akibat tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi penambahan lahan pertanian. Dari hasil Sensus Pertanian 1993 misalnya, diketahui bahwa petani yang memiliki lahan kurang dari 0,50 ha sekitar 29% dan petani tuna kisma 28%. Secara tidak langsung data ini menunjukkan bahwa kemiskinan sangat erat kaitannya dengan kehidupan petani. Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

Meskipun ketidakcukupan dan ketimpangan sudah lama disadari, berbagai upaya untuk memperbaikinya tidak banyak membuahkan hasil. Dengan kondisi demikian, ada kekhawatiran terhadap masa depan pertanian, apalagi semakin kuatnya tarikan transformasi lahan pertanian produktif ke penggunaan nonpertanian. Sebagai respons terhadap berbagai kekhawatiran tersebut, akhir-akhir ini semakin kuat upaya yang dilakukan berbagai kalangan untuk memperbaiki struktur penguasaan lahan di pedesaan melalui reforma agraria, yaitu suatu usaha yang terstruktur untuk melakukan pembaharuan dalam pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan (Wiradi, 2000). Namun upaya tersebut baru sampai pada tahap penyadaran kepada berbagai kalangan tentang urgensi reforma agraria tersebut,

dan belum menyentuh pada persoalan pokoknya yaitu bagaimana bentuk dan strategi reforma agraria yang bisa dilaksanakan. Tulisan ini akan diawali dengan tinjauan historis masalah lahan dari waktu ke waktu dan dampaknya terhadap penguasaan lahan oleh petani saat ini. Uraian berikutnya akan melihat kesulitankesulitan yang dihadapi petani dalam kegiatan usaha taninya dan ancaman terhadap keberlanjutan kegiatan pertanian. Beberapa upaya strategis akan dipaparkan pada bagian akhir tulisan ini serta beberapa kendala yang harus mendapat perhatian kita bersama. Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian "Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal" yang dilaksanakan Pusat Penelitian 133

dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2001.

DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN Masa Feodalisme Masa sebelum kedatangan bangsa Barat sering disebut sebagai masa prakapitalitas, prakolonial, atau zaman feodal. Menurut Wertheim (1956), sampai dengan tahun 1800, belum ada perubahan yang mendasar dalam pertanian di Indonesia, karena pengaruh Barat juga tidak progresif. Intervensi pemerintah kolonial dalam masalah lahan mulai dirasakan semenjak zaman Raffles tahun 1811. Ada dua bentuk kegiatan pertanian penduduk pada saat itu, yaitu sawah dan ladang, yang secara kasar masing-masing merepresentasikan ekologi Jawa dan luar Jawa (Geertz, 1976). Kawasan sawah beririgasi yang membutuhkan tenaga kerja secara intensif berkembang menjadi konsentrasi penduduk. Namun ini tidak berarti bahwa kehidupan saat itu dapat dikatakan harmonis. Schrieke (1955) menemukan bahwa tidak ada insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi karena surplus produksi diberikan untuk keluarga raja dan birokrasi di keraton. Upeti ini harus diberikan karena pihak kerajaan telah berjasa dalam membangun konstruksi dan pemeliharaan saluran irigasi dan jalan, jaminan keamanan, serta penyediaan bangunan lumbung padi. Akibatnya kehidupan petani berada dalam tekanan pihak kerajaan. Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa struktur masyarakat saat itu relatif lebih egaliter, baik secara ekonomi maupun sosial. Anggapan terhadap masyarakat Jawa yang tidak terdiferensiasi, egaliter, dan stagnan tersebut juga mendominasi pikiran peneliti dan pemerintah kolonial pada masa itu. Namun Husken dan White (1989) tidak sepakat, karena menurutnya masyarakat Jawa secara historis sudah sejak lama terbagi ke dalam kelas-kelas agraris yang dibedakan atas penguasaan lahan, dan komersialisasi juga telah lama ada dalam masyarakat Jawa. Artinya, pernyataan bahwa sifat masyarakat desa era prakolonial yang sangat egaliter dan penuh 134

dengan romantisme keintiman sosial tersebut adalah tidak benar. Pada masa abad 18 dan 19, secara umum di Jawa dikenal tiga kelas penguasaan lahan, yaitu: 1) Para petani tuna kisma yang berlindung pada keluarga-keluarga petani berlahan. Kelompok ini sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat. 2) Para petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak penguasaan atas tanah. Karena memiliki tanah sendiri, mereka diwajibkan membayar pajak dan upeti dalam jumlah besar kepada kerajaan. 3) Kelas pamong desa yang selain menguasai lahan pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar lahan desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan yang disebut tanah lungguh dan tanah bengkok, ditambah hak mempekerjakan sikep atau kuli untuk menggarap lahan mereka tanpa upah. Dengan komposisi seperti ini, pada masa itu pola hubungan majikan-buruh dan tenaga kerja upahan sudah dijumpai, sebagaimana dikatakan Husken dan White (1989). Selain itu, penelitian Breman (1986) di wilayah Cirebon juga menemukan struktur yang hampir serupa. Temuan ini memperkuat tesis bahwa masyarakat Jawa telah terstratifikasi secara sosial. Menurut Breman, ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: 1) Penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja. Mereka berada pada lapisan paling atas dan dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka adalah keluarga pembuka wilayah tersebut pertama kali atau dari keluarga kerajaan. 2) Masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat. Secara kuantitas jumlah mereka paling besar dibanding yang lain. 3) Para wuwungan (penumpang) yang hidup sebagai buruh tani, dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak mempunyai lahan sendiri. Mereka adalah petani tuna kisma. 4) Para bujang, yaitu mereka yang belum berkeluarga. Di bawah sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan bangsawan, bahkan rakyat juga milik

raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa (Fauzi, 1999). Rakyat yang menggarap tanah hanya mempunyai hak pakai, bukan memiliki. Petani diharuskan menyerahkan separuh hasil buminya sebagai upeti, berupa buahbuahan, padi, bahan mentah atau barang jadi, dan kayu-kayu gelondongan. Dengan posisi sebagai penggarap, pendapatan petani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Ketimpangan antara kehidupan petani dan raja beserta kaum bangsawan sangat besar. Pada masa itu konsep Barat tentang kepemilikan ("property" atau "eigendom") tidak dikenal, termasuk oleh penguasa (Wiradi, 2000). Tanah bukan dimiliki pejabat atau penguasa, tetapi hanya merupakan hak jurisdiksi yang dapat dipertahankan berdasarkan kekuasaan dan pengaruh secara teoritas, pejabat atau penguasa mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan atau menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku. Tentang pola penguasaan tanah pada saat itu, ada perdebatan, tentang bentuk pemilikan tanah: apakah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut Van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antardaerah di Jawa, di mana bentuk-bentuk penguasaan individual dan kolektif dapat saja berada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perseorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan tanah secara komunal, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa. Petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan doumtuatua di Bima (Brewer, 1985). Di samping tanah-tanah komunal, ada pula tanah individual, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selamalamanya oleh satu keluarga, dan dapat mengalihkannya ke ahli warisnya, tetapi pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan. Pola penguasaan tanah di Jawa sangat beragam antardaerah, bahkan ada daerah yang hampir tidak mengenal Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

prinsip penguasaan komunal kecuali untuk sedikit tanah khusus, seperti di Probolinggo, Pasuruan, dan Besuki di Jawa Timur (Van de Kroef, 1984). Secara umum tanah komunal banyak ditemui di pesisir utara Jawa, sedangkan tanah privat banyak terdapat di wilayah Jawa Barat pedalaman, Jawa Tengah Selatan, dan Jawa Timur. Munculnya perdebatan tentang pengkategorian pemilikan komunal atau individual tersebut, sebagian disebabkan oleh perbedaan persepsi di antara pengamat saja, karena ada tanah-tanah komunal yang dapat diwariskan sehingga terlihat sebagai tanah individual. Ada tanah komunal yang diredistribusikan berkala, namun juga ada yang nonredistribusi. Namun, di luar semua perdebatan penguasaan tersebut, jelaslah bahwa sejak dulu di Jawa sudah ada stratifikasi dalam arti luas dan hak penguasaan tanah di antara warga desa. Dari uraian di atas terlihat bahwa karena hak penguasaan tanah ada di tangan kerajaan, maka petani hanya berstatus sebagai penggarap sehingga perolehan bagi petani sangat terbatas. Akibatnya, seperti yang dilihat banyak ahli, komersialisasi pedesaan dan investasi pertanian tidak berjalan. Penguasaan tanah oleh kerajaan menjadi alat politik pihak kerajaan agar dapat mengontrol seluruh warga dan terutama pembantupembantunya di tingkat desa. Kepatuhan dari pembantu di tingkat desa terbentuk melalui pemberian tanah lungguh kepada mereka, yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pihak kerajaan.

Masa Pemerintahan Kolonial Bagi para ahli yang berpendapat bahwa sebelumnya tidak ada tanah komunal di Jawa, beranggapan bahwa pihak Belanda telah mengkomunalkan tanah pedesaan untuk memudahkan penarikan pajak tanah dan pelaksanaan wajib kerja. Hal ini dimulai dengan usaha Raffles untuk memudahkan penarikan pajak tanah dengan memanfaatkan lembaga desa. Dengan yuridiksi tersebut, seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa sehingga pihak kolonial cukup berhubungan dengan penguasa desa sebagai penanggung jawab wilayah. Mulai dari tahap ini terlihat bahwa penguasaan tanah atau aspek hukum tanah menjadi mekanisme utama dalam Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

menjalankan program-program pemerintahan kolonial. Dengan "mengkomunalkan" sistem kepemilikan tanah maka pemerintah dapat menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk secara efisien, tanpa harus mendatangi petani satu per satu. Selanjutnya, pada era sistem tanam paksa di zaman Gubernur Van den Bosh sepanjang tahun 1830−1870, petani diwajibkan menanam tanaman ekspor yang dijual dengan harga yang telah ditetapkan atau menurut remisi pajak penyewaan lahan kepada pemerintah kolonial. Tanam paksa ini pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah, di mana pajak dibayar dalam bentuk natura (bukan uang). Sistem tanam paksa ini ternyata mampu memberi keuntungan kepada negara penjajah dengan meningkatkan produksi tanaman ekspor, terutama kopi dan gula, yang hasil penjualannya masuk ke dalam kas pemerintah Hindia Belanda. Namun di pihak lain, program tanam paksa telah menjadi faktor penting yang bertanggung jawab atas keterbelakangan dan kemiskinan bagi masyarakat pribumi. Dengan tanam paksa terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda serta memperbanyak jumlah kaum proletariat desa (Arief dan Sasono Dalam Suwarsono dan So, 1991). Secara umum, selama masa penjajahan telah terjadi dominasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah, baik berupa tenaga maupun hasil produksi negara jajahan (Fauzi, 1999). Meskipun secara skala persoalan dan politiknya berbeda, sesungguhnya struktur ini masih meneruskan pola zaman kerajaan, karena penjajah bekerja sama dengan kaum bangsawan. Para bupati dan raja diberi hak untuk memungut hasil-hasil pertanian untuk diserahkan kepada penjajah, sehingga beban petani makin berat. Bersamaan dengan angin liberalisme di Belanda, para pengusaha swasta di Belanda menuntut diberi kesempatan untuk membuka perkebunan di Indonesia. Untuk itu Belanda mengeluarkan UndangUndang Agraria ("Agrarische Wet") tahun 1870, yang memberi kesempatan penyewaan jangka panjang tanah-tanah di Indonesia untuk perkebunan. Peraturan ini menjadi dasar peraturan agraria di Indonesia, namun bersifat dualistis karena

bagi orang asing berlaku hukum Barat, sedangkan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. Dengan hukum Barat, dimungkinkan untuk memiliki tanah (hak eigendom) termasuk menyewakannya ke pihak lain. Tujuan undang-undang (UU) ini adalah untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing dan memang berhasil secara gemilang. Namun tujuan lainnya yaitu melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli tidak tercapai (Wiradi, 2000). Di samping itu, sikap mau menang sendiri para raja dan sultan di Jawa dan luar Jawa (misalnya Kerajaan Deli di Sumatera Utara) juga ikut memberikan kemudahan konsesi kepada para penguasa swasta asing. Pemerintah juga melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani, meskipun kurang berhasil (Fauzi, 1999). Kebijakan ini dilandasi oleh asumsi bahwa tanah adalah milik Belanda. Sistem sewa ini diterapkan dengan harapan akan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang petani untuk menanam tanaman perdagangan, di samping menjaga kelestarian pendapatan pemerintah. Pada tahap selanjutnya, sistem sewa ini diarahkan untuk meningkatkan ekspor dengan mengundang perusahaan swasta besar dari Belanda. Dari uraian di atas terlihat bahwa pemerintah kolonial memilih pola penguasaan atas tanah, dalam bentuk sewa atau pengenaan pajak, sebagai instrumen penting dalam memajukan pertanian, meskipun bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan pemerintah sendiri. Politik agraria Belanda memberikan dampak yang hampir serupa bagi petani dibandingkan dengan politik agraria kerajaan. Meskipun pada tingkat atas kedudukan kerajaan digantikan oleh Belanda, struktur masyarakat pada tingkat bawah (desa) masih tetap sama. Petani tetap sebagai seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa. Husken (1998) dalam penelitiannya di Jawa Tengah, menyatakan bahwa struktur yang terjadi adalah "kerbau besar selalu menang" (kebo gedhe menang berike). Jumlah pemilik tanah sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik, dan di antara mereka saling berhubungan keluarga. Mereka praktis menguasai tanah sawah yang subur dan 135

mengatur tenaga kerja, sementara para petani yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya hanya sebagai pengikut yang tidak mempunyai kekuatan ("powerless").

Masa Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru) Masa Orde Lama ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk hukum ini, pemerintah terlihat telah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Sebagai aturan pokok, peraturan ini masih lemah secara hukum. Masih banyak ketentuan-ketentuan yang belum aplikatif meskipun di dalamnya sudah terjadi proses permodernan dengan menggabungkan dualisme hukum sebelumnya, yaitu hukum Belanda dan hukum adat. Menurut Fauzi (1999), kebijakan hukum dalam UUPA sesungguhnya menentang kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang menyebabkan terjadinya pengisapan manusia atas manusia. Selain itu, UUPA juga menentang sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah. Politik agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah politik populisme, yang mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut mempunyai fungsi sosial. Melalui prinsip "Hak Menguasai dari Negara", pemerintah mengatur agar tanah dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UU 1945. Selama pemerintahan Orde Baru, upaya rintisan melalui UUPA tidak diakomodasikan sebagaimana mestinya. Pemerintah Orde Baru sangat terinspirasi untuk mencapai kemajuan ekonomi secepat-cepatnya dan menjadikan tanah sebagai alat pembangunan yang sentralistis sehingga menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Pembangunan lebih terfokus pada industrialisasi pertanian dan kurang memperhatikan aspek struktur penguasaan tanah. Program pembangunan perkebunan berskala besar dengan lahan yang luas kurang memperdulikan makin banyaknya petani tuna kisma yang sangat membutuhkan tanah. Pembangunan pertanian dengan penerapan teknologi maju dan efisien 136

tanpa disadari telah meminggirkan petani. Revolusi hijau sebagai program utama pembangunan pedesaan dipercaya telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi atau setidak-tidaknya penegasan stratifikasi dan terusirnya kelompok petani tuna kisma dari pedesaan (Tjondronegoro, 1999). Politik pertanian pemerintah Orde Baru menempatkan petani hanya untuk berproduksi sebanyak-banyaknya, dengan menghilangkan hak berpolitiknya (Trijono, 1994). Melalui instrumen kebijakan harga misalnya, pemerintah melakukan ekstraksi surplus produksi pertanian ke perkotaan dan industri, sehingga nilai tukar petani selalu dalam posisi rendah. Dalam proses pembebasan tanah, pemerintah cenderung bertindak semenamena, sehingga sering menimbulkan radikalisasi petani, misalnya dalam kasus Kedung Ombo dan Jenggawah (Salman, 1996). Pada masa Orde Baru, pemerintah menempatkan diri sebagai penengah antara kapital asing dan domestik dengan rakyat kebanyakan. Prosedur pembebasan tanah yang mengacu kepada Permendagri No. 15 tahun 1975 dinilai cacat hukum dan bertentangan dengan UUPA No. 5 tahun 1960 (Ketjasungkana, 1989). Melalui tinjauan hukum dari Repelita ke Repelita, Parlindungan (1989) melihat bahwa perhatian pemerintah Orde Baru terhadap masalah agraria sangat rendah. Pada GBHN Repelita II misalnya, aspek agraria sama sekali tidak dikaitkan (tidak konsisten) dengan perundangundangan terdahulu, anggaran kecil (ratarata hanya Rp 23 juta/propinsi), rumusannya sangat sederhana dan tidak sesuai

dengan jiwa UUPA. Pemerintah sesungguhnya telah menetapkan Catur Tertib Pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Meskipun demikian, usaha penataan tanah masih jauh dari memadai, di samping praktek pembebasan tanah di lapangan yang sering menyingkirkan kepentingan rakyat dengan mengkronfontasikan istilah "kepentingan rakyat" dengan "kepentingan bersama". Di balik label "kepentingan bersama" tersebut bersembunyi kepentingan individu atau pihak swasta yang cenderung individualistis, bukan kepentingan rakyat banyak sebagaimana semestinya.

PEMILIKAN DAN PENGUASAAN LAHAN OLEH PETANI Berbagai tekanan yang dialami petani mulai dari masa penjajahan sampai pemerintah Orde Baru telah menempatkan petani sebagai "objek" dari kebijakan tentang lahan. Upaya keberpihakan yang dirintis melalui UUPA belum sempat terlaksana sebagaimana mestinya. Pada sisi lain, penambahan penduduk menyebabkan tekanan terhadap lahan cenderung meningkat dan makin menyulitkan upaya ke arah perbaikan. Gambaran tentang kesulitan yang dialami petani tercermin pada penguasaan lahan oleh petani di Jawa seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil penelitian SDP/SAE pada tahun 1979−1984 di beberapa desa padi di

Tabel 1. Gambaran tentang penguasaan lahan di Jawa hasil penelitian SDP/ SAE (1979−1984) dan PATANAS - ASEM (1995−1999). Uraian

Hasil penelitian

Persentase petani yang memiliki lahan Rata-rata luas pemilikan lahan sawah (ha) Persentase petani dengan pemilikan kurang dari 0,25 ha Indeks Gini pemilikan lahan sawah Persentase petani pemilik lahan luas/ persentase lahan yang dimiliki

Hasil penelitian PATANAS2

SDP/SAE1

1995

1999

42 − 72

51,40

50,40

0,21 − 0,37 29 − 40

0,23 20,60

0,19 26,50

0,57 − 0,85 9/37 − 3/50

0,71 5,90/38

0,75 4/32,80

Disarikan dari sepuluh hasil penelitian SDP/SAE Tahun 1979−1984 (Kasryno et al., 1979; Wiradi dan Manning, 1984). 2 Adnyana et al. (2000). 1

Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

Jawa menunjukkan bahwa secara umum kehidupan petani makin sulit. Dengan luas pemilikan lahan rata-rata hanya 0,21− 0,37 ha, petani sulit mengandalkan pendapatannya hanya dari pertanian. Apalagi bagi sekitar 38−58% petani yang tidak memiliki lahan. Sementara itu, akibat berbagai kebijakan yang kurang berpihak kepada petani kecil, akumulasi lahan pada petani kaya sulit dihindari. Dari hasil penelitian SDP/SAE ditemui akumulasi lahan pada sekitar 3−9% petani yang menguasai lahan sawah sekitar 37−50% dari total lahan sawah yang ada. Akibatnya, Indeks Gini pemilikan lahan sawah relatif tinggi yaitu 0,57−0,85, di mana persentase petani yang menguasai lahan kurang dari 0,25 ha berkisar 29−40%. Kondisi ini setelah 15 tahun cenderung semakin mengkhawatirkan. Hasil penelitian PATANAS-ASEM (1995−1999) menunjukkan bahwa jumlah petani tuna kisma sudah mencapai hampir setengah dari total petani padi di Jawa. Pemilikan cenderung menyempit, sementara itu akumulasi lahan pada beberapa petani kaya tidak banyak mengalami perubahan, sehingga Indeks Gini pemilikan cenderung makin timpang. Makin berkurangnya persentase petani dengan luas pemilikan lahan kurang dari 0,25 ha dari hasil penelitian SDP/SAE dan PATANAS Dalam Adnyana et al. (2000) perlu dicermati. Bagian terbesar dari petani ini bergeser menjadi petani tuna kisma, yang menurut Winoto (1995) posisinya sangat rentan terhadap para spekulan tanah yang menjadi kaki tangan pemilik modal di perkotaan atau tuan-tuan tanah di pedesaan.

DAMPAK KETIMPANGAN DAN SEMPITNYA PEMILIKAN TANAH TERHADAP PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Salah satu persoalan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani sehingga program yang dikembangkan Departemen Pertanian belum sepenuhnya dapat berjalan seperti yang direncanakan. Pengembangan kegiatan agribisnis cenderung lebih menuntut penguasaan lahan yang luas dan kurang akomodatif pada petani gurem dengan pemilikan Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

kurang dari 0,25 ha. Upaya penyatuan usaha dalam bentuk koordinasi vertikal sebagaimana yang dilontarkan Simatupang (1995) umumnya belum ditindaklanjuti dalam kegiatan yang lebih riil. Apalagi bagi sebagian besar petani ketergantungan terhadap usaha tani padi masih sangat tinggi, dan pertimbangan rasa aman lebih mewarnai keputusan petani ketimbang sesuatu yang berbau bisnis. Akibat belum diperbaikinya penguasaan lahan sebagai dasar bagi pengembangan kegiatan pertanian yang lebih baik, banyak kegagalan yang ditemui pada hampir semua lini aktivitas pertanian. Upaya mempertahankan swasembada pangan tidak pernah lagi berhasil dilakukan, sehingga impor beras cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu kegiatan pertanian, terutama usaha tani padi, cenderung makin menyengsarakan petani dan kegiatan pertanian sulit diandalkan sebagai tumpuan utama pendapatan petani. Fenomena "pelambatan dan instabilitas" produksi padi seperti yang digambarkan Simatupang (2000) lebih banyak disebabkan oleh makin menyempitnya penguasaan lahan petani. Faktor produktivitas yang diduga sebagai penyebab fenomena ini sangat erat kaitannya dengan luas penguasaan lahan. Dengan sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, alternatif teknologi yang diharapkan dapat memacu peningkatan produktivitas juga semakin terbatas. Hanya teknologi yang netral terhadap skala usaha yang mungkin untuk dikembangkan seperti benih dan pupuk, karena penguasaan lahan oleh petani umumnya tidak kondusif bagi pengembangan teknologi yang menghendaki skala usaha tertentu. Ditinjau dari pendapatan yang diterima petani, kegiatan usaha tani di lahan sawah cenderung makin tidak menguntungkan. Menurut Husodo (1999), biaya usaha tani sangat beragam mulai dari Rp 382.000 sampai dengan Rp 1.044.000/ha/musim. Komponen biaya terbesar (sekitar 64,20%) adalah biaya tenaga kerja. Dari total biaya tenaga kerja, sekitar 58,60% berasal dari dalam keluarga petani. Dengan memperhitungkan seluruh biaya usaha tani, termasuk tenaga kerja dalam keluarga, sebagian besar usaha tani sudah tidak menguntungkan lagi. Hasil penelitian yang dikutip Husodo (1999) menunjukkan bahwa usaha

tani dengan skala pemilikan kurang dari 1 ha hanya mampu memberikan tingkat penerimaan 1,44 kali biaya input dan cenderung meningkat pada usaha tani yang diusahakan lebih dari 1 ha. Kegiatan pertanian sudah tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Hasil penelitian PATANAS-ASEM menunjukkan bahwa lahan sawah hanya mampu memberikan sumbangan terhadap pendapatan keluarga sekitar 13,64% untuk petani di Jawa dan 21,18% di luar Jawa.

UPAYA YANG MUNGKIN DILAKUKAN Pentingnya pelaksanaan reforma agraria dengan basis kegiatan perbaikan struktur penguasaan lahan di masyarakat sudah didasari banyak kalangan. Berbagai organisasi nonpemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat dan sejenisnya) dengan berbagai cara terus menyuarakan tentang pentingnya masalah ini, termasuk beberapa kalangan perguruan tinggi. Namun, umumnya mereka belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang upaya yang perlu dilaksanakan. Masalahnya memang sangat berat, terutama beberapa prasyarat dasar bagi terlaksananya reforma agraria seperti yang dilontarkan Wiradi (2000) sulit dipenuhi saat ini, yaitu 1) adanya kemauan politik dari pemerintah, 2) data yang lengkap dan teliti tentang keagrariaan, 3) organisasi rakyat/tani yang kuat, dan 4) elit penguasa yang terpisah dari elit bisnis. Keempat prasyarat tersebut merupakan keharusan ("necessary") dan harus ditambah syarat kecukupan ("satisfaction") adanya lembaga yang khusus menangani masalah ini. Upaya yang banyak dikumandangkan berbagai kalangan adalah pelaksanaan "landreform". Terlepas dari berbagai silang pendapat tentang program ini, harus diakui bahwa "landreform" masih banyak kelemahannya. Gambaran, pelaksanaan "landreform" dapat dilihat pengalaman beberapa kalangan berikut ini. Menurut Nasoetion (1999), sampai Juli 1998 teridentifikasi lahan objek "landreform" seluas 1.397.167 ha dan telah terdistribusi seluas 787.931 ha (56,40%), dengan penerima sebanyak 1.267.961 kepala keluarga. Namun ketika ditelusuri lebih jauh, ini lebih banyak terkait dengan 137

pemanfaatan tanah negara dan program transmigrasi, sementara "landreform" dengan basis lahan yang dikuasai petani kaya belum banyak diketahui pelaksanaannya dan hasil yang dicapai. Salah satu persoalan pokok yang berkaitan dengan "landreform" adalah sulitnya mengidentifikasi objek "landreform" tersebut. Menurut Wiradi (2000), selama sistem kependudukan di suatu wilayah belum baik, sulit untuk melaksanakan identifikasi objek "landreform" karena berbagai kalangan dengan mudah dapat memanipulasi data kepemilikan lahan dan seseorang dengan mudah mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada beberapa wilayah sekaligus. Persoalan lain yang berkaitan dengan "landreform" adalah mekanisme pelaksanaannya. Kalaupun suatu objek "landreform" sudah teridentifikasi dengan baik, tidak jelas siapa yang harus membayar kelebihan pemilikan tanah tersebut seandainya kelebihan tersebut diambil oleh pemerintah. Belajar dari pengalaman di beberapa Negara Amerika Latin, dengan bantuan Bank Dunia kelebihan tanah petani kaya dibeli oleh pemerintah dan kemudian didistribusikan kepada petani miskin dengan keharusan mereka membayarnya secara angsuran. Pola ini ternyata mengalami kegagalan total, dan petani banyak yang terjerat hutang, sementara lahan mereka kembali terakumulasi pada tuan-tuan tanah. Kasuskasus serupa terjadi di Filipina dan beberapa negara Asia lainnya. Pelaksanaan "landreform" yang dianggap cukup berhasil adalah di Jepang dan Taiwan yang didasarkan atas suatu data yang akurat dan akumulasi pengalaman beberapa tahun. Untuk kasus Indonesia, ada dua pengalaman menarik yang patut dicatat, pertama pengalaman dari pelaksanaan "landreform" terhadap lahan bekas perkebunan Negara di Kabupaten Sukabumi. Karena petani penerima objek "landreform" tidak dipersiapkan dengan baik, hanya dalam dua tahun tanah-tanah tersebut kembali terakumulasi pada petani kaya. Pengalaman lainnya diungkapkan White dan Wiradi (1979) di Cirebon. Berdasarkan identifikasi, diketahui ada tanah pertanian seluas 40 bahu (28 ha) yang dimiliki satu orang di lain kecamatan. Berdasarkan UUPA, 5 bahu dari tanah tersebut telah didistribusikan kepada 10 penduduk desa yang semula tidak bertanah. Namun, setelah dua tahun 138

tanah tersebut diambil kembali oleh pemilik semula dan pemerintah pada waktu itu (1965) tidak bisa berbuat apa-apa. Pelaksanaan program transmigrasi, kalau boleh digolongkan sebagai salah satu bentuk "landreform", juga lebih banyak menunjukkan kegagalan ketimbang keberhasilan. Berdasarkan pengalaman di atas, untuk saat ini "landreform" sangat sulit dilaksanakan. Kesulitan tidak hanya berkaitan dengan identifikasi objek "landreform", tetapi juga mekanisme dan kesiapan petani penerima. Oleh karena itu perlu dicari upaya yang mungkin dapat dilaksanakan. Berdasarkan karakteristik masalah lahan yang sangat beragam, sangat sulit untuk membuat suatu kebijakan yang sama antarwilayah. Upaya yang mungkin dilakukan harus bersifat spesifik lokasi dan perlu pertahapan yang jelas. Untuk kasus lahan di Jawa yang makin sempit dan peran kegiatan pertanian dalam pendapatan keluarga yang makin kecil, tentu tidak sama keadaannya dengan beberapa wilayah di luar Jawa dengan topangan sektor pertanian yang masih kuat. Perbaikan penguasaan lahan di tingkat petani di Jawa mungkin perlu dimulai dengan memperbaiki sistem waris yang ada dengan sasaran mencegah fragmentasi lahan. Walaupun beberapa peraturan telah ditujukan untuk ini, fragmentasi lahan masih sulit untuk dicegah. Masalah yang perlu dikaji lebih jauh adalah status penguasaan lahan yang ada saat ini. Dengan status hak milik, fragmentasi lahan dan akumulasi lahan pada satu tangan cenderung makin besar. Mungkin dengan status yang lain, seperti Hak Guna Usaha (HGU), kecenderungan semacam ini bisa dikurangi. Hal lain yang perlu dan mungkin dilaksanakan adalah perbaikan sistem bagi hasil yang cenderung makin menyulitkan petani penggarap, karena bagian yang mereka terima semakin kecil. Dalam tatanan yang lebih luas untuk kasus Jawa, upaya pengembangan kegiatan di luar budi daya ("off-farm") perlu terus dilakukan untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan. Sangat berat bila lahan seluas 106,20 ha harus menampung sekitar 472 kepala keluarga atau setara dengan 2.000 jiwa seperti yang ditemui pada lokasi "Corporate Farming" di Kabupaten Grobogan (Badan Litbang Pertanian, 2000).

Untuk lokasi di luar Jawa, masalahnya lebih banyak pada lahan komunal, dan pilihannya adalah dengan mengarahkannya menjadi lahan "private" yang memungkinkan masuknya sektor modern, atau tetap membiarkannya sebagai lahan komunal yang memungkinkan tetap terpeliharanya sistem sosial yang ada di masyarakat. Selain itu, upaya pemulihan hak-hak masyarakat adat perlu mendapat perhatian khusus. Pengaturan pengalihan lahan yang dikuasai adat pada kegiatan komersial, seharusnya dapat dilaksanakan dengan memberikan keleluasaan kepada masyarakat adat untuk langsung bernegosiasi dengan investor, sedangkan peran negara lebih banyak sebagai mediator. Berkaitan dengan berbagai pengaturan yang dilakukan, aspek yang paling mendasar untuk direvisi adalah pasal 2 UUPA. Yang menyatakan bahwa negara menguasai lahan dan berhak mengatur peruntukan dan relasi dalam pemanfaatan tersebut. Pasal ini sering dijadikan alasan utama pemerintah untuk melakukan intervensi dalam pengaturan penggunaan lahan, dan dengan mudah tergelincir menjadi kesewenang-wenangan seperti yang terjadi selama Orde Baru. Pembaruan yang diperlukan adalah mengurangi kewenangan pemerintah dalam pengaturan ini, dan peran tersebut lebih diarahkan pada pengendalian.

KESIMPULAN Reforma agraria lebih keras gaung politisnya daripada nuansa ekonomisnya, sehingga menyulitkan pihak-pihak yang berhadapan langsung dengan masalah nyata di lapangan. Masalah pokok yang menghambat pelaksanaan reforma agraria, terutama yang berkaitan dengan distribusi pemilikan dan penguasaan lahan adalah tidak tersedianya data keagrariaan yang lengkap dan akurat. Untuk itu perlu ada upaya sistematis dan terencana untuk menyempurnakan data keagrariaan, yang dimulai dari perbaikan data kependudukan. Komitmen pemerintah dan upaya yang sungguh-sungguh ke arah itu mutlak diperlukan, terutama untuk wilayah yang padat penduduk seperti Pulau Jawa. Pada tingkat mikro perlu dilakukan pengkajian lebih terarah tentang reforma agraria yang mungkin untuk dilaksanakan. Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

"Landreform" merupakan upaya ideal, namun pelaksanaannya banyak menemui hambatan. Oleh karena itu, upaya perbaikan pola bagi hasil dan penyempurnaan UUPA dengan lebih memberikan keleluasaan pada komunitas lokal dalam menata pemanfaatan lahan

merupakan langkah yang mungkin untuk dilaksanakan. Upaya tersebut hendaknya tidak dibuat seragam antarwilayah. Namun demi terjaganya areal pertanian yang produktif dan aktivitas pertanian di masa depan, perlu suatu kebijakan

nasional terutama untuk mencegah fragmentasi dan penyusutan lahan pertanian. Salah satu bentuknya adalah program perlindungan secara hukum untuk pencadangan lahan-lahan yang produktif.

Kasryno, F., Makali, D. Kustiono, R. Asih, dan S. Rahayu. 1979. Aspek Ekonomi Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraria, SDP/SAE, Bogor.

Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa Dalam Keping-keping Sosiologi dari Pedesaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pertanian dan Kebudayaan RI, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., Sumaryanto, M. Rahmat, R. Kustiari, S.H. Susilowati, Supriyati, E. Suryani, and Soeprapto. 2000, Assesing the Rural Development Impact of the Crisis in Indonesia, Center for Agro-Socioeconomic Research and the World Bank, Bogor. Badan Litbang Pertanian. 2000. Studi Diagnostik untuk pelaksanaan Corporate Farming di Jawa Tengah. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Breman, J. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial, LP3ES, Jakarta. Brewer, J.D. 1985. Pengguna tanah tradisional dan kebijakan pemerintah di Bima Sumbawa Timur Dalam Michael, R. Dove (Ed.). Peranan Kebudayaan Tradisional dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. hlm.163−188. Fauzi, N. 1999. Partai dan Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. hlm. 15−71. Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia; Bharata K.A., Jakarta. Husken, F. dan B. White. 1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa, Majalah Prisma (4). Husken, F. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman; Sejarah Direfensiasi Sosial di Jawa 1830−1980. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. hlm. 1−15. Husodo, S.Y. 1999. Peluang Usaha dalam Sektor Agribisnis. Seminar di Faperta UNAS 14 September 1999. Jakarta.

Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002

Ketjasungkana, N. 1989. Lembaga Pembebasan Tanah dalam Tinjauan Hukum dan Sosial. Prisma (4). Mubyarto. 1978. Masalah Petani Kecil dan Strategi Pembangunan Pedesaan di Jawa. Agro-Ekonomika 9(8).

Trijono, L. 1994. Negara dan Petani di Masa Orde Baru; Politik Pertanian dan Respon Petani di Indonesia. Prisma (12).

Parlindungan, A.P. 1989. Politik dan Hukum Agraria di Zaman Orde Baru. Prisma (4).

Van de Kroef. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (Ed.). Dua Abjad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Gramedia, Jakarta. hlm. 145−167.

Salman, D. 1996. Protes Petani dan Integrasi Pedesaan; Tinjauan Umum Era Orde Baru. Prisma (7).

Wertheim, W.F. 1956. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Study Perubahan Sosial. Tiara Wacana Yogyakarta. hlm. 25−26.

Schrieke, B. 1955. Indonesians Sosiological Studies. Vol. 2 Part One. W. Van Hoeve The Hague, Bandung.

White, B. dan G. Wiradi. 1979. Pola-pola Penguasaan Atas Tanah di DAS Cimanuk Dahulu dan Sekarang . SDP/SAE, Bogor.

Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan sebagai APU Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Winoto, J. 1995. Impact of Urbanization on Agricultural Development in Nothen Coastal Region West Java. Michigan State University and University Microfilm. USA, Michigan.

Nasoetion, L.I. 1999. Tinjauan Ekonomi Politik Transformasi Agraria, Makalah pada Seminar di LP3ES 28 Oktober 1999, Jakarta.

Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya. Makalah pada Seminar Nasional "Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan", Bogor 9−10 November 2000. Suwarsono dan A.Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta. hlm. 131.

Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wiradi, G. and C. Manning. 1984. Land Ownership, Tenancy and Source of Household Income Community Pattern form a. Partial Recensus of Eight Villages in Rural Java. SDP/SAE, Bogor.

139