REFORMASI BIROKRASI Oleh Rumzi Samin1 Abstract An illustration of the bureaucratic state that they are civil servants casual work, leave early and complicate matters as well identical to the adage “why should be made easier if they can be complicated”. This general picture has become so attached in the minds of the public in indonesia, so many people who assume that the difference between the thugs with the bureaucracy lies only in the clothing department alone. To be able to realign the bureaucracy at the position and the actual mission or its role as a public service (public servant ), required the willingness of the bureaucracy to perform bureaucratic reform measures that include changes in behavior that puts the neutrality,professionalism, democratic, transparent and independently with some improvement morale,the workings and performance especially in the management of public policy and service delivery as well as the commitment and the empowerment of government accountability. To improve the workings of bureaucratic red tape require result oriented. Here, the role of accountability in bringing together diverse of the organization’s perception that a joint force to achieve progress in realizing the ideals and goals Homeland. Keyword: bureaucratic reform, public services,empowerment of accountability.
A. Pendahuluan Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk dan prilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman baik karena tidak efisien, tidak bersih, tidak demokratis dan lain-lain. Sebelum membahas reformasi birokrasi, maka kita perlu memahami apa itu birokrasi. Birokrasi adalah organisasi besar, mengusung misi bersekala besar, dikerjakan oleh banyak orang/personil/pegawai. Birokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan dari/ 1
dikantor, bukan dari/di jalanan, bukan dari/di sawah atau dari/di medan perang. Jadi birokrasi adalah pemerintahan atau pengelolaan masyarakat secara tertulis, terencana, terdokumentasi secara rapi dan dilakukan oleh orangorang terdidik dan atau alias beradap. Salah satu faktor dan faktor utama yang turut berperan dalam perwujudan pemerintahan yang bersih (clean government) dan kepemerintahan yang baik (good government) adalah birokrasi. Dalam posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan kebi-
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UniversitasMaritim Raja Ali Haji
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 172 - 182
jakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efesiensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam posisi yang stratejik seperti itu, adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat kemungkinan dan upaya menarik birokrasi pada partai tertentu; birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau pun memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak penguasa. Kalau perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan menjadi tidak netral, maka birokrasi yang seharusnya mengemban misi menegakkan “kualitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada masyarakat”, besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai atau partai-partai; sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan publik” ke pada “pengabdian pada pihak penguasa atau partai-partai yang berkuasa”. Dalam kondisi seperti itu, KKN akan tumbuh dan birokrasi akan kehilangan jati dirinya, dari pengemban misi perjuangan negara bangsa, menjadi partisan kelompok kepentingan yang sempit. “Birokrasi yang sakit” seperti itu akan menjadi corong dan memberikan kontribusi pada penguasa. Semangat keberpihakannya banyak diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat; bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit, berkecenderungan pada motif uud (ujung-ujungnya duit bukan UUD), dan sudah barang tentu tidak efisien serta memberatkan masyarakat. Sebaliknya, birokrasi yang terlalu kuat dengan kemampuan profesional yang tinggi tapi tanpa etika dan integritas pengabdian, akan cendrung menjadi tidak konsisten, bahkan arogan, sulit dikontrol,
173 masyarakat menjadi serba tergantung pada birokrasi. Dalam perkembangan birokrasi seperti ini, juga akan memberikan dampak negatif bagi pengembangan inisiatif masyarakat, dan sudah barang tentu tidak efisien serta sangat memberatkan masyarakat. Namun pada sisi yang berseberangan hal tersebut telah sangat menguntungkan pihakpihak tertentu yang jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. B. Kerangka Teori Salah satu dari sepuluh pola untuk memahami birokrasi menurut Jan-Erik Lane dalam tulisannya yang berjudul “Introduction the concept of bureaucracy” dalam Bureaucracy and public choice (1987 : 1-31) adalah proffesional administration. Administrasi profesional merupakan pendekatan sosiologis yang memandang birokrasi sebagai sebuah bagian dari tipe organisasi. Referensinya adalah tipe ideal birokrasi Max Weber yang memuat sejumlah unsur berikut : - Pembagian divisi pegawai yang terdefinisi secara jelas. - Struktur otoritas impersonal. - Memiliki jenjang hirarki. - Bergantung pada aturan formal. - Menggunakan sistem merit pada pegawai. - Ketersediaan karier. - Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai anggota organisasi dan kehidupan pribadi. Selain pendekatan administrasi profesional, kita juga dapat memahami birokrasi melalui pendekatan minimalis yang diperkenalkan oleh Brown dalam tulisan Bureaucracy as Issue in thrid word management : an african case study dalam Public Administration dan Development Volume 9. Brown menyusun definisi birokrasi dengan mendasarkan asumsinya terhadap (bagaimana) birokrasi seharusnya bekerja pada (bagaimana) secara
174 aktual mereka bekerja. Definisi yang dihasilkan dari pendekatan tersebut menyatakan bahwa birokrasi adalah sistem stratifikasi hirarki pegawai dimana orang dipekerjakan untuk upah dan gaji. Dalam konteks birokrasi pemerintahan, Randall B Riplely dan Grace A Franklin dalam bukunya Policy Implementation dan Bureaucracy (1982 : 32) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan berhubungan dengan urusan-urusan publik. Pada level yang umum, apabila birokrasi memberikan pelayanan publik dengan baik maka birokrasi tersebut mampu menunjukkan sejumlah indikasi prilaku berikut: - Memperoses pekerjaannya secara stabil dan giat. - Memperlakukan individu yang berhubungan dengannya secara adil dan berimbang. - Memperkerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi profesional dan orientasi terhadap keberhasilan program. - Mempromosikan staff berdasarkan sistem merit dan hasil pekerjaan baik yang dapat dibuktikan. - Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan. Tujuan penyediaan birokrasi pemerintahan sebagaimana diuraikan oleh Ripley dan Franklin (1982) adalah sebagai berikut : - Menyediakan sejumlah layanan sebagai hakekat dari tanggungjawab pemerintah. - Memajukan kepentingan sektor ekonomi spesifik seperti pertanian, buruh atau segmen tertentu dari bisnis private. - Membuat regulasi atas berbagai aktivitas privat. - Meredistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapatan, hak-hak, perawatan medis dan lain-lain. Namun secara faktual, birokrasi menghadapi sejumlah masalah yang kerap kali
Reformasi Birokrasi
-
-
menjadi rintangan dalam pencapaian tujuan diantaranya : Proses pekerjaannya seringkali tidak dapat diperkirakan dan langkah yang diambil oleh birokrasi juga terkesan lamban. Menunjukkan favoritisme dalam perlakukannya terhadap klien tertentu dan diskriminasi pada yang lain. Mempekerjakan staff yang menunjukkan ketertarikan yang rendah terhdap standar profesional dan kualitas pelayanan program. Memperomosikan staff berdasarkan favoritisme politis atau kriteria yang tidak profesional. fMenciptakan timbunan kertas yang tidak berguna dan tidak mampu menyesuaikan diri secara relevan dengan perkembangan sosial
Selanjutnya, reformasi birokrasi dalam konteks pembangunan sistem administrasi negara tersebut, baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip sebagaimana diungkapkan oleh Islamy sebagai berikut : Pertama, demokrasi dan pemberdayaan, Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara dan seluruh unsur aparatur negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekpresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, dan pemberdayaan bagi mereka yang dalam posisi lemah secara rasional dan berkeadilan. Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat (“a spirit of public services”), dan menjadi mitra masyarakat (“partner of society”); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat (“co production atau partnership”). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 172 - 182
antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (“code of ethical conducts”) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (“enabling strategy”) yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerahdaerah. Ketiga, transparansi. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, disamping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem menajemen publik harus mengembangkan keterbukaan dan sistem akuntabilitas, bersikap terbuka dan bertanggung jawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggung jawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara. Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasilkan publik good and service dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (“empowering rather than serving”), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan. Konsep pemberdayaan (“empowerment”) juga selalu dikaitkan dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Kelima, kemitraan . Dalam membangun masyarakat yang modern dimana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi
175 serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan informasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan dan perangkat perundangundangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Keenam, desentralisasi. Desentralisasi merupakan wujud nyata dari otonomi daerah, merupakan amanat konstitusi, dan respon atas tuntutan demokratisasi dan globalisasi. Peningkatan kompetensi dan penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dan pemberian perizinan, yang tetap terarah pada keterikatan dan pada perwujudan cita-cita dan tujuan NKRI. Perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan dari pelayanan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang ada di daerah. Ketujuh, konsistensi kebijakan dan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan secara efektif merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, justru ditengah kemajemukan, merajalelanya KKN termasuk money politics, berbagai ketidakpastian perkembangan lingkungan dan menajam persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional dibutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan
176 indikator profesionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan dan pembangunan serta dalam pengembangan hubungan international. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus dituangkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan hukum dan harus mengandung kepastian hukum. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas dan integritas yang tinggi. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik ditingkat pusat maupun daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintahan yang bersih (clean goverment) serta kepemerintahan yang baik (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi azas-azas kewajiban prosedural (fairness), petanggungjawaban publik (acqountability) dan dapat dipenuhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). C. Pembahasan Sejarah Indonesia Merdeka menunjukkan, birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik; dan birokrasi yang tidak netral selalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi pada setiap “rezim pemerintahan”; dengan akibat dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik, dan sosial. Reformasi birokrasi yang terjadi di Indone-
Reformasi Birokrasi
sia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan strukturalhirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat. Dalam pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara vertikal linear, dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas kebawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”, demikian pula “loyalitasnya”; karenanya koordinasi lintas lembaga yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Birokrasi di Indonesia juga masih di pengaruhi sikap budaya “feodalistis”, tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol secara efektif, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN ataupun neo-KKN. Dalam kondisi seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan clean government dan good governance. Tuntutan akan reformasi birokrasi mengandung makna perlunya langkah-langkah pendayagunaan bukan saja (a) terhadap sistem birokrasi dan birokrat, tetapi juga (b) langkahlangkah serupa pada berbagai institusi dan individu di luar birokrasi, baik publik maupun private, termasuk lembaga-lembaga negara dan berbagai lembaga, yang berkembang dalam masyarakat, beserta segenap personnelnya; dan (c) semuanya itu dilakukan secara sinergis dengan semangat “mengemban perjuangan yang diamanatkan konstitusi”, dan mengindahkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. Ada setidaknya 3 masalah besar yang melekat pada birokrasi, sekalipun masalah-
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 172 - 182
masalah itu bukannya tidak terpecahkan : 1. Birokrasi berisi manusia. Mereka bukan mesin. Mereka tidak bisa 100% netral dan taat azas. Mereka punya kepentingan (pribadi teman, keluarga besar, partai dan lain-lain) dan pasti akan berusaha jika mampu, ada kesempatan dan tidak malu untuk memenuhi kepentingan itu. Usaha memenuhi kepentingan dapat menjadikan birokrat bersikap diskriminatif dan tidak taat azas. Juga mendorong seseorang birokrasi untuk memperbesar “kerajaan” birokrasinya (empire building) atau memperbesar jumlah anggarannya dengan cara membujuk politisi atau pemerintah. Selain itu, ketika mereka sebagai mesin politik harus efisien, sederhana, pada saat itu mereka sebagai manusia yang memiliki self interest bertindak boros, berbelit, diskriminatif karena dengan cara inilah birokrat memperoleh penghasilan yang lebih banyak. Masalah ini dapat diatasi dengan : a. Pemerintah harus memenuhi semua kepentingan birokrasi dalam batas yang wajar, seperti penghasilan, jaminan, kesehatan kesehatan dan hari tua, ketersediaan perumahan, kendaraan, pendidikan anak-anak, dll. b. Pemerintah harus mengawasi semua birokrat dengan ketat. Ini membutuhkan birokrasi baru, yakni badan pengawasan. (Siapa yang mengawasi badan pengawas ini ? jaksa ? Siapa yang mengawasi jaksa dan polisi ? Rakyat? Siapa yang mengawasi rakyat? Kiai dan pendeta ? Siapa yang mengawasi kiai dan pendeta ? c. Politisi tidak perlu malu-malu untuk mengganti pegawai negeri dengan kontrak untuk menjalankan roda birokrasi guna merealisir visi dan misi mereka, karena pegawai kontrak – jika mereka mengusung self interests jauh lebih mudah dipecat daripada pegawai. 2. Kinerja birokrasi dan birokrasi kadang-
177 kadang tak dapat diukur. Order yang mereka terima dari pemerintah seringkali abstrak, seperti meningkatkan kecerdasan anak, menjaga keamanan, menciptakan manusia seutuhnya dan mensejahterakan seluruh manusia dll. Karena sulit diukur, birokrasi menjadi tidak terkontrol. Sebaliknya sistem insentif yang dapat memotivasi para birokrat untuk bertindak cermat, hemat, disiplin dan adilpun (tidak diskriminitif) sulit untuk dibuat. Cara mengatasi masalah ini : a. Pemerintah harus membuat indikator kinerja dari birokrasi se-operasional, serinci mungkin. Seperti membangun jalan yang ada indikator (misalnya selama 6 bulan dapat menyelesaikan jalan sepanjang 5 km dengan kualitas A), maka pemerintah harus berusaha untuk merumuskan indikator-indikator semacam ini untuk semua tugas yang diserahkan pelaksanaannya kepada birokrasi. Saat ini sudah ada usaha kearah itu, yakni dengan diterapkannya “anggaran berbasis kinerja”. b. Terkait dengan itu sistem insentif untuk pegawai pemerintah haruslah berbasis kinerja. Pegawai pemerintah mestinya “pegawai kontrakan” yang digaji atas dasar prestasi yang mereka raih, bukan atas dasar kesetiaan mereka kepada negara atau pemerintah atau apalagi atasan mereka (secara pribadi) semata-mata. 3. Kebijakan yang dibuat oleh politisi/ pemerintah setingkat kadaluwarsa. Pemerintah seringkali telat dalam membuat kebijakan. Akibatnya jika birokrasi taat azas terhadap kebijakan yang dibuat secara terlambat ini, mungkin justru malah dampak negatif yang akan dihasilkan. Misalnya terjadinya banjir atau kebakaran, maka jika birokrasi harus menunggu perintah politisi, yang mungkin baru dikeluarkan setelah berjam-jam atau
178 berhari-hari melakukan sidang dan rapat serta lobi, bisa-bisa ketika birokrasi bertindak, korban sudah berjatuhan sangat banyak. Solusinya : a. Berikan wewenang tertentu kepada birokrasi. Birokrasi perlu diberi ruang gerak tersendiri, yang leluasa tetapi tidak kebablasan. Ruang gerak itu harus dibatasi sedemikian rupa, sehingga para politisi atau pemerintah tetap melakukan pertanggungjawaban politis/demokratis kepada para warga atas penampilan birokrasi tersebut. b. Dalam kasus-kasus tertentu ketika para politisi sedang berproses merumuskan kebijakan, birokrasi dapat mulai bertindak, tetapi tindakan tersebut harus dilaporkan kepada politisi melalui suatu public hearing (konsultasi publik). Haruskah birokrasi selalu taat azas ? atas nama demokrasi, pertanyaan ini harus dijawab “ya”. Tetapi ketika demokrasi itu tidak maujud secara sempurna (sebagaimana telah kita rasakan selama sepuluh tahun terakhir, khususnya sejak otonomisasi propinsi dan kabupaten/kota per Januari 2001) ketika itu kita perlu meninjau kembali mandat birokrasi diatas. Demokrasi dalam praktek kita memiliki setidaknya tiga kelemahan sebagai berikut : 1. Proses demokrasi membutuhkan waktu yang lama, sedangkan kebutuhan/tuntutan warga berkembang lebih pesat daripada kebijakan publik. 2. Para elit politik (legislatif maupun eksekutif) tidak selalu cerdas dan tidak sedikit yang kurang berpendidikan. 3. Wakil (legislatif) tidak selalu amanah, egois, tidak selalu mengusung kepentingan publik. Dalam hal pertama, kepatuhan birokrasi terhadap kebijakan-kebijakan publik yang telah dirumuskan secara demokratik mungkin saja
Reformasi Birokrasi
tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Bahkan bisa saja malah menimbulkan masalah. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kualitas intelektual (termasuk daya tanggap, wawasan kedepan, profesionalisme) dari elit politik yang rendah (kelemahan kedua), sehingga mereka tidak bisa berpikir pro aktif, namun bisa pula bersumber dari kelangkaan perangkat pendukung, seperti perpustakaan, bank data dan staf akademik. Dalam hal yang ketiga sudah jelas elit politik yang terpilih secara demokratis pada akhirnya ternyata tidak memperjuangkan apapun kecuali kepentingan diri mereka pribadi dan keluarganya atau paling banter partainya. “Mal praktek” politik ini sudah pasti akan menghasilkan kebijakankebijakan publik yang sama sekali tidak mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan. Terhadap kebijakan publik yang dibuat dengan cara, berlatar belakang atau ber “asbabun nuzul” seperti itu, sudah pasti kepatuhan birokrasi hanyalah akan membawa negara/publik ke jurang kesengsaraan. Setidaknya menimbulkan reaksi publik yang berusaha menghentikan implementasinya atau bahkan menegasikan kebijakannya. Jika demikian, apa yang dapat dilakukan birokrasi? Ada dua kemungkinan. Pertama atas nama demokrasi sebagaimana telah disinggung diatas birokrasi tetap taat azas menjalankan kebijakan publik yang bermasalah tersebut. Biarkan kebijakan itu di-impelementasikan apa adanya dan sebagaimana harusnya menurut Policy Maker. Biarkan dampak buruknya terwujud dan dirasakan oleh publik. Dan biarkan publik yang bersuara dan mendaulat para elit politik mereka sendiri. Birokrasi netral, hanya menjalankan perintah, tidak pernah bersalah, dia adalah alat. Kedua, birokrasi mengerahkan kreativitasnya, melakukan diskreasi, keluar dari jalur yang telah digariskan oleh politik (yang demokratis tetapi bermasalah). Kreativitas atau diskreasi ini bukan penyimpangan, dia bukanlah penye-
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 172 - 182
lewengan (dari kacamata “etika”). Apakah ini dapat dibenarkan tentu saja. Ketika elit politik (baca pemerintah) membuat kebijakan yang menyengsarakan publik, yang menodai misi demokrasi itu sendiri, maka politik dapat dianggap tidak memiliki legitimasi lagi dan karena itu tidak perlu diikuti, termasuk tidak perlu dipatuhi oleh birokrasi. Ada setidaknya tiga alternatif jawaban yang dapat diajukan terhadap problema diatas. Pertama, birokrasi diberi izin untuk melakukan diskresi itu namun harus segera melaporkannya kepada legislatif untuk dinilai. Jika memang diskresi birokrasi tersebut tepat, legislatif mengesahkannya; jika tidak tepat legislatif menghentikan tanpa sangsi apapun kecuali jika diketahui bahwa diskresi tersebut dilakukan tidak untuk mengejar kepentingan publik melainkan pribadi. Namun alternatif ini agak sulit dipahami, mengingat sumber masalah ada pada legislatif sendiri. Bagaimana kita memberikan hak untuk menilai kepada instansi yang justru sedang kita kritik ?. Kedua, sistem perumusan kebijakan publik kita haruslah tidak saja membuka akses yang lebih luas bagi segenap pilar masyarakat untuk berpartisipasi melainkan juga perlu dilengkapi dengan mekanisme referendum atau mekanisme lain, yang memungkinkan publik merevisi kebijakan tersebut ketika mayoritas anggota legislatif dicurigai tidak lagi aspiratif terhadap publik mereka. Misalnya jika ada 2% dari jumlah pemilih menganggap bahwa kebijakan yang dirumuskan parlemen dan eksekutif perlu ditolak, maka mereka dapat meminta pemerintah untuk menyelenggarakan referendum dan permintaan itu mengikat pemerintah untuk melaksanakannya. Biarkan pemilih sendiri secara langsung menentukan perlu diteruskan atau dihentikannya kebijakan tersebut. Ketiga bersifat preventif, kebijakan publik tidak boleh dirumuskan oleh legislatif saja melainkan juga oleh seluruh pilar masyarakat wakil rakyat (parlemen), eksekutif, birokrasi plus
179 produsen, konsumen, NGO, pers, peradilan (hakim, jaksa, pengacara), pengamanan (polisi, hansip, polisi pamong praja, petugas ronda), pertahanan (TNI). Jadi fungsi legislatif bukan hanya dimainkan oleh wakil rakyat (parlemen) melainkan oleh semua elemen. Setiap pilar masyarakat tersebut dapat diwakili oleh beberapa orang saja (sesuai proporsi masing-masing), namun bukan dengan pemilihan wakil masing-masing, namun memilih wakil itu secara acak/random. Mungkin ini terkesan rumit dan repot pelaksanaannya, tetapi bukannya tidak dapat dilakukan. Kita telah pandai melakukan quick count dalam memprediksi perolehan suara dalam pemilu parlemen dan presiden belum lama ini dan sebagai hasil prediksinya dapat dikatakan cukup tepat. Pastilah kita bisa juga melakukan pemetikan wakil secara acak. Wakil-wakil inilah yang juga melakukan perumusan kebijakan publik dan hasilnya sedikit sebanyaknya harus diadopsi oleh legislatif atau policy makers. Tentu saja mereka tidak dibiarkan bekerja sendirian melainkan didampingi oleh teknokrat atau pakar yang relevan. Misalnya dalam merumuskan kebijakan pendidikan, dosen-dosen dari UPI diminta untuk menjadi pendamping, fasilitator atau narasumber; kebijakan pertanian didampingi oleh dosendosen fakultas pertanian. Mekanisme seperti ini tampaknya lebih mudah dibayangkan untuk dilaksanakan oleh sistem desa, kabupaten/kota ataupun propinsi daripada oleh sistem negara. Reformasi birokrasi dalam skim “pembangunan sistem administrasi negara” seperti di atas, memerlukan strategi dan program aksi yang terarah pada proses perubahan dan pencapaian sasaran yang pada pokoknya meliputi, (a) aktualisasi tata nilai, yang melandasi dan menjadi acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara dan birokrasi, yang terarah secara pada pencapaian tujuan bangsa dalam bernegara, (b) struktur (tatanan kelembagaan negara dan masyarakat pada stiap satuan wilayah), (c) proses manajemen
180 dalam keseluruhan fungsinya, dalam dinamika kegiatan dan entitas publik dan private (business and society), dan (d) sumber daya aparatur yang berada pada struktur dengan posisi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu. Semua itu dikembangkan dalam rangka mengemban perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI, terwujudnya kepemerintahan yang baik, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bertanggung jawab, dan bebas KKN. (1) Transformasi nilai. Tata nilai dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menghikmati eksistensi dan dinamika unsur-unsur lainnya dalam sistem administrasi negara termasuk birokrasi. Reformasi birokrasi yang hendak dilakukan pertamatama harus menjaga konsistensinya dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara yang menjadi dasar eksistensi dan acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara bangsa ini. Reformasi birokrasi harus merefleksikan transformasi nilai. (2) Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas, ramping, desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu, sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional dalam SANKRI. Seiring dengan itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta antara aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha berorientasi pada kriteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima (peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan); peningkatan kesejahteraan sosial dalam
Reformasi Birokrasi
arti luas; serta peningkatan kreativitas, objektivitas, dan produktivitas nasional. (3) Pemantapan Sistem Manajemen. Dengan makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan, pengembangan sistem manajemen pemerintahan perlu diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang terarah pada pengembangan eadministration atau e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitataor bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi dan produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya masyarakat maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi. (4) Peningkatan Kompetensi SDM, Aparatur. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut: (a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, (b) memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik, (c) berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif, dan inovatif, (d) taat asas dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional, (e) memiliki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), (f) memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, serta bangga terhadap
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 172 - 182
profesinya sebagai pegawai negeri, (g) memilki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan (h) memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan reward system yang kondusi (baik dalam bentuk gaji maupun perkembangan karier yang didasarkan atas sistem merit); serta finalty system yang bersifat preventif dan repressif. Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standard kompetensi internasional ( word class). Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi ekternal, yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi akuntabilitas ekternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumbersumber daya pemerintah yang lain, kewenangan dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akuntabilitas ekternal akan lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahannya dan akan memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masingmasing. Hal ini dapat terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan diantara mereka. Masyarakat dan lembaga-lembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkan. Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat memper-
181 tahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah ini juga akan menjadi semacam pengendalian internal bagi birokrasi. D. Kesimpulan Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses administrasi negara. Dalam konteks SANKRI, reformasi administrasi negara dan birokrasi didalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdayaguna, berhasil guna dan bertanggungjawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut baik dalam jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut untuk mewujudkan good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistensi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha dan masyarakat dan pelaksanaannya disamping menuntut adanya koordinasi yang baik juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, “penegakan hukum yang efektif” (effective law enforcement) serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas KKN. Selanjutnya diperlukan sosok pemimpin
182
Reformasi Birokrasi
yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa. Dalam rangka itu diperlukan pula reformasi struktural seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sangsi kepada pelakunya (law enforcement). Disamping itu juga perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh
publik. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggungjawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya malu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling). Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA Brown. .......... Bureaucracy as Issue in thrid word management : an african case study dalam Public Administration dan Development Volume 9. Caiden Gerald E. 1990. Administrative reform comes of age, Newyork : Walter de Gruyter. Jan-Erik Lane.1987. Bureaucracy and public choice. Islamy, Muh. Irfan, Agenda Kebijaksanaan reformasasi administrasi negara. Jurnal administrasi Vol II, Jakarta : Internet. Osborn, David and Ted Gaebler. 1997. Reiventing Goverment. Terjemahan
Abdul Rasyid Ramelan Jakarta : PPM. Randall B Riplely dan Grace A Franklin. 1982. Policy Implementation dan Bureaucracy. Soesilo Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, dimensi dan strategi, Jakarta : Bumi Aksara. Utomo, Warsito. 2006. Administrasi publik baru Indonesia (perubahan paradigma dari administrasi negara ke administrasi publik). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wibawa Samodra. 2005. Reformasi Administrasi (bunga rampai pemikiran administrasi negara/publik). Yogyakarta : Gaya Media.