RESPON FISIOLOGIS DAN PROFIL DARAH SAPI PERANAKAN ONGOLE

Download Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan ampas teh dalam level yang ... Perubahan glukosa darah 0, 3, dan 6 jam ...

0 downloads 434 Views 229KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

RESPON FISIOLOGIS DAN PROFIL DARAH SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DIBERI PAKAN AMPAS TEH DALAM LEVEL YANG BERBEDA (Physiological Response and Blood Profile of Ongole Crossbred Cattle (PO) Fed Tea Waste at Different Levels in Ration) A. NAIDDIN, M. N. ROKHMAT, S. DARTOSUKARNO, M. ARIFIN dan A. PURNOMOADI Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang Semarang

ABSTRACT This study aimed to determine the effect of tea waste inclusion in feeding on Ongole Crossbred cattle (OC) on production and physiological response. Twelve head of cattle PO with averaged initial body weight at 226.04 + 18.05 kg (CV = 7.99%) and the age of 2 years. The study was arranged based on Completely Randomized Design (CRD) with three treatments and four replications. The treatments was T1 (10% tea waste and 90% rice bran feeding), T2 (20% tea waste and 80%rice bran feeding) and T3 (30% tea waste and 70% rice bran feeding). All treatments allowed to rice straw ad libitum. Parameters observed dry matter intake (DM), body weight gain (ADG), physiological condition of livestock including rectal temperature, pulse and breathing frequency. The results showed that the physiological condition of animals among the treatments were not different (P > 0.05) include rectal temperature T1 = 38.27 oC, T2= 38.21oC and T3 = 38.23 oC, respectively, while pulse per minute were T1 = 57 times, T2 = 59 times and T3 = 56 times and breath per minute were T1 = 14 times, T2 = 14 times and T3 = 15 times, respectively. The average hematocrit during the study was 29.5%. The changes in blood urea from 0 to 3 and to 6 hours post feeding was 11.27 and 12.88 mg/dl for T1, 14.48 and 12.88 mg/dl for T2, and 20.91 and 8.04 mg/dl for T3, respectively. The changes in blood glucose from 0 to 3, and to 6 hours was -1.99 and -19.87 mg/dl for T1, -3.97 and -7.94 mg/dl for T2, and 9.93 and 17.88 mg/dl for T3, respectively. The results of this study concluded that tea waste inclusion up to 0.6% body weight in feeding did not influence physiological responses in OC cattle. Key Words: Animal Physiology, Dry Matter Intake, Tea Waste ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda terhadap kondisi fisiologis sapi Peranakan Ongole (PO). Sebanyak 12 ekor sapi PO dengan bobot hidup awal rata-rata 226,04 ± 18,05 kg (CV = 7,99%) dan umur 2 tahun. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini berupa T1 (pemberian pakan ampas teh 10% dan dedak padi 90%), T2 (pemberian pakan ampas teh 20% dan dedak padi 80%) dan T3 (pemberian pakan ampas teh 30% dan dedak padi 70%). Semua perlakuan mendapatkan pakan jerami padi secara ad libitum. Parameter yang diamati konsumsi bahan kering (BK), pertambahan bobot hidup harian (PBHH), kondisi fisiologis ternak meliputi suhu rektal, denyut nadi, frekuensi nafas, kadar hematokrit, urea darah, dan glukosa darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisiologis ternak tidak berbeda nyata (P > 0,05) meliputi suhu rektal T1 = 38,27oC; T2 = 38,21oC dan T3 = 38,23oC, denyut nadi T1 = 57 kali/menit; T2 = 59 kali/menit dan T3 = 56 kali/menit serta frekuensi nafas T1 = 14 kali/menit; T2 = 14 kali/menit dan T3 = 15 kali/menit. Rata-rata hematokrit pada pengambilan awal, tengah, dan akhir adalah 29,5%. Perubahan urea darah 0, 3, dan 6 jam adalah T1 (11,27 mg/dl; 12,88 mg/dl), T2 (14,48 mg/dl; 12,88 mg/dl), dan T3 (20,91 mg/dl; 8,04 mg/dl). Perubahan glukosa darah 0, 3, dan 6 jam adalah T1 (-1,99 mg/dl; -19,87 mg/dl), T2 (-3,97 mg/dl; -7,94 mg/dl), dan T3 (9,93 mg/dl; 17,88 mg/dl). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis sapi peranakan Ongole (PO) hingga level 30%. Kata Kunci: Fisiologis Ternak, Konsumsi BK, Level Ampas Teh, Sapi PO

217

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

PENDAHULUAN Pakan merupakan bagian yang sangat penting dari usaha peternakan. Pakan dapat berpengaruh terhadap pertambahan bobot hidup ternak, karena pakan yang dikonsumsi merupakan akumulasi dari nutrisi pakan yang diserap oleh tubuh (BLAKELY dan BADE, 1994). Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk meningkatkan produktivitas ternak, salah satu upaya yang dilakukan adalah perbaikan mutu pakan ternak. Ampas teh sebagai bahan pakan yang cukup potensial karena ketersediaannya cukup tinggi, kandungan nutrisi utama sepeti energi, protein dan serat kasar yang dibutuhkan ternak, harganya relatif murah dan mampu mengurangi biaya produksi (ROHAYATI, 1994). Pakan yang diberikan pada ternak dalam level yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak (MCDOWELL, 1972). Semakin tinggi level pakan yang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi, yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas lingkungan, hal ini dapat menyebabkan ternak mudah mengalami stress (PARAKASI, 1999). Kondisi tersebut menyebabkan ternak akan selalu berupaya mempertahankan temperatur tubuhnya pada kisaran yang normal, dengan cara melakukan mekanisme termoregulasi (FRANDSON, 1992). Apabila mekanisme tersebut gagal, maka akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pakan, sehingga ternak tidak dapat berproduksi secara maksimal karena kondisi fisiologisnya tidak bekerja secara normal. Seekor ternak dapat berproduksi secara maksimal jika kondisi fisiologisnya dalam keadaan baik, artinya organ-organ tubuh bekerja secara normal. Darah merupakan salah satu parameter fisiologis yang mencerminkan kondisi fisiologis ternak. Hematokrit atau Packed Cell Volume adalah presentase eritrosit dengan plasma darah yang dinyatakan dalam volume sel (TILMAN et al., 1991), yang terdiri dari butir-

218

butir darah merah (FRANDSON, 1992)). Urea darah diperoleh dari pengangkutan amonia dalam rumen yang terabsorbsi bersama CO2 yang diubah menjadi urea di dalam hati. Amonia dalam rumen akan menjadi urea darah yang diangkut melalui epitelium rumen (ARORA, 1995) dan diekskresikan melalui urin (TILLMAN et al., 1991). Glukosa darah dapat berasal dari senyawa glikogenik yang mengalami glikoneogenesis dan glikogen hati yang mengalami proses glikogenelisis (HARPER et al., 1979). Respon kondisi fisiologis merupakan aktivitas fisiologis dalam tubuh ternak seperti, denyut nadi, frekuensi nafas, suhu rektal, hematokrit, glukosa darah, dan urea darah yang mempengaruhi respon produksi berupa perubahan konsumsi pakan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kondisi fisiologis dan sapi Peranakan Ongole (PO) akibat pemberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan adalah 12 ekor sapi Peranakan Ongole jantan dengan umur 2 tahun dan kisaran bobot hidup awal 226,04 + 18,05 kg (CV = 7,99%). Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan pakan dan 4 ulangan. Pemberian pakan konsentrat 2% bobot hidup, kekurangannya dicukupi oleh pemberian jerami secara ad libitum. Perlakuan yang diterapkan adalah proporsi ampas teh di dalam konsentrat, yaitu: T1: ampas teh 10% dan dedak padi 90% T2: ampas teh 20% dan dedak padi 80% T3: ampas teh 30% dan dedak padi 70% Kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan ditampilkan pada Tabel 1. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan setiap hari pada pukul 06.00; 12.00; 17.00; dan 23.00 WIB, serta data fisilologis ternak meliputi suhu rektal, denyut nadi dan frekuensi nafas. Pengambilan data fisiologis ternak dilakukan dalam dua tahap yang dilaksankan pada periode perlakuan meliputi data fisiologis ternak mingguan yang dilakukan dua kali dalam seminggu selama 11

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum dalam penelitian Kandungan nutris dalam 100% BK

Bahan pakan BK

Abu

LK

PK

SK

BETN

7,28

52,24

17.05

.(%) Jerami

69,96

21,62

1,82

Konsentrat T1

78,00

21,52

2,06

8,96

48,55

13,69

Konsentrat T2

70,65

22,14

2,05

12,51

48,35

19,38

Konsentrat T3

70,35

21,57

2,10

13,87

45,33

21,91

minggu. Data penelitian dianalisis menggunakan analisis varians dan uji F. Sampel darah diambil sebanyak 3 kali. Hematokrit diambil pada awal, tengah, dan akhir perlakuan. Kadar urea darah dan glukosa darah diambil di tengah perlakuan pada 0, 3, dan 6 jam, kemudian langsung dibawa ke laboratorium untuk disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 3.000 rpm untuk memisahkan darah dengan plasma darah. Plasma darah kemudian diambil dengan pipet mikromili. Setelah itu dianalisis dengan menggunakan glukosa dan urea kit. Peralatan yang digunakan yaitu hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, thermometer rectal untuk mengukur suhu tubuh ternak, stethoscope digunakan untuk mendeteksi denyut nadi, handtally Counter untuk menghitung frekuensi denyut nadi dan pernafasan, stopwatch untuk menghitung waktu. Sedangkan peralatan untuk pengambilan parameter darah yaitu jarum suntik, spuit, tabung kapiler, sentrifuges, mikropipet, inkubator, dan spektrofotometer.

T3 selama 11 minggu penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data hasil rata-rata fisiologis ternak yaitu suhu rektal sapi perlakuan, denyut nadi sapi perlakuan serta frekuensi nafas sapi perlakuan, tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal tersebut dapat terjadi karena konsumsi antara perlakuan T1, T2 dan T3 relatif sama sehingga panas yang dihasilkan tubuh tidak berbeda. Menurut PURWANTO et al. (2004), menyatakan bahwa tingginya konsumsi pakan dapat menyebabkan meningkatnya panas tubuh ternak akibat proses metabolisme. Suhu rektal antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 masih dalam kisaran normal seperti yang dinyatakan EDEY (1983), bahwa suhu tubuh sapi dewasa yaitu 38 – 40,0oC. Denyut nadi dan frekuensi nafas antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 masih dalam kisaran normal, yang berkisar 50 – 60 kali per menit dan frekuensi nafas berkisar antara 10 – 20 kali per menit (BLAKELY dan BADE, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon fisiologis ternak (suhu rektal) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda, yang dilakukan selama 11 minggu pengamatan disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 perubahan pergerakan temperatur tubuh sapi perlakuan T1, T2 dan T3, dengan nilai rata-rata berturut-turut

Kondisi fisiologis ternak (suhu rektal, denyut nadi dan frekuensi nafas) Kondisi fisiologis sapi (suhu rektal, denyut nadi, dan frekuensi nafas) perlakuan T1, T2 dan

Suhu rektal

Tabel 2. Kondisi fisiologis ternak (suhu rektal, denyut nadi, dan frekuensi nafas) T1

T2

T3

Keterangan

38,27

38,21

38,23

ns

Parameter o

Suhu rektal ( C) Denyut nadi (kali/menit)

57

59

56

ns

Frekuensi nafas (kali/menit)

14

14

15

ns

ns: tidak berbeda nyata pada taraf 5% (P > 0,05)

219

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Gambar 2.

Respon fisiologis ternak (suhu rektal) akibat pemberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda

38, 27; 38, 21 dan 38,23oC, berdasarkan nilai statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Pergerakan temperatur tubuh secara umum mengalami peningkatan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-10, namun peningkatan tersebut setiap minggunya bervariasi antara perlakuan. Peningkatan terbesar suhu T2 terjadi pada minggu ke-1 sampai ke-3, minggu ke-4 sampai ke-6 dan minggu ke-7 sampai ke-9. Perubahan pergerakan sapi perlakuan T1 relatif stabil pada minggu ke-1 sampai ke-6 dan terjadi peningkatan pada minggu ke-7 sampai ke-10, namun peningkatannya lebih kecil dibandingkan T2. Sapi perlakuan T3 pergerakan suhu rektal relatif stabil pada minggu ke-2 sampai minggu ke-7 dan mulai mengalami peningkatan pada minggu ke-8 sampai minggu ke-10. Perubahan pergerakan suhu rektal lebih dominan terjadi pada perlakuan T2, peningkatan suhu rektal lebih besar dibandingan T1 dan T3. Pakan perlakuan T3 seharusnya menghasilkan tambahan beban panas lebih tinggi dibandingkan dengan T2 dan T1, mengingat konsumsi pakan yang memberikan proses fermentasi lebih tinggi dibanding T2 dan T1, hal ini sesuai dengan pendapat RASYID et al. (1994), yang menerangkan bahwa semakin tinggi level pakan yang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi, yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari

220

dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh. Denyut nadi Respon fisiologis ternak (denyut nadi) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda, yang dilakukan selama 11 minggu pengamatan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 menggambarkan bahwa perubahan pergerakan denyut nadi relatif berjalan selaras antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3, dengan nilai rata-rata berturut-turut 57 kali/menit, 59 kali/menit dan 56 kali/menit, berdasarkan nilai statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Pergerakan yang selaras hampir terjadi pada setiap minggu dan variasi pergerakannya relatif kecil. Pergerakan denyut nadi terjadi penurunan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-7 dan mengalami peningkatan pada minggu ke-8 sampai minggu ke-10. Penurunan denyut nadi antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 lebih dominan dibandingkan peningkatannya. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan panas tubuh masih dalam kisaran normal sehingga meknisme termoregulasi dengan cara meningkatkan denyut nadi dalam upaya melepaskan panas tubuh belum berjalan. Penurunan dan peningkatan denyut nadi dipengaruhi oleh beban panas yang diterima tubuh, semakin tinggi panas tubuh, maka

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Gambar 3. Respon fisiologis ternak (denyut nadi) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda

denyut nadi akan semakin tinggi. Menurut HABEEB et al. (1992), jika temperatur tubuh tinggi menyebabkan ternak akan meningkatkan mekanisme termoregulasi dengan cara meningkatkan denyut nadi.

penguapan melalui saluran pernafasan untuk menstabilkan suhu tubuh sesuai dengan pendapat HAFEZ (1968) bahwa ketika waktu ternak mengalami cekaman panas maka ternak akan meningkatkan penguapan air melalui kulit atau melalui saluran pernafasan.

Frekuensi nafas Respon fisiologis ternak (frekuensi nafas) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam evel yang berbeda, yang dilakukan selama 11 minggu pengamatan disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 menggambarkan bahwa perubahan pergerakan frekuensi nafas relatif berjalan selaras antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 dengan nilai rata-rata berturut 14 kali/menit, 14 kali/menit dan 15 kali/menit, berdasarkan nilai statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Pergerakan frekuensi nafas antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 secara umum mengalami penurunan dimulai dari minggu ke1 sampai minggu ke-11 dan peningkatan frekuensi nafas hanya terjadi pada minggu ke1, 5 dan 8. Hal ini terjadi karena penurunan frekuensi nafas diikuti pula oleh penurunan denyut nadi sehingga upaya untuk melepaskan panas akibat beban panas tubuh tidak berjalan. Peningkatan frekuensi nafas terjadi bila ternak mengalami cekaman panas, denyut nadi meningkat, maka ternak akan berupaya mengeluarkan panas dengan meningkatkan

Pengaruh kadar hematokrit, urea darah, dan glukosa darah terhadap sapi peranakan ongole (PO) yang diberi ampas teh Kondisi fisiologis darah sapi PO (glukosa darah, urea darah, dan hematokrit) perlakuan T1, T2 dan T3 selama 11 minggu penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-rata kadar hematokrit selama penelitian adalah 29,5% dan nilai tersebut berada pada kisaran normal. Menurut BENYAMIN (1978) kadar hematokrit normal sapi berkisar antara 22 – 39%, sedangkan menurut SCHALM (1986) berkisar antara 24 – 46%. Perubahan 0 – 6 jam urea darah pada perlakuan T2 dan T3 terjadi penurunan yang menunjukkan telah dimanfaatkannya amonia rumen oleh mikroba untuk sintesa protein. Hal ini seperti pendapat HWANG et al. (2001) yang menjelaskan bahwa level protein pakan yang meningkat menghasilkan kadar urea darah yang meningkat pula. Penurunan glukosa darah yang terjadi diperlakuan T2 pada 0 – 6 jam diduga dimanfaatkan untuk sumber energi atau

221

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Gambar 4. Respon fisiologis ternak (frekuensi nafas) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda Tabel 3. Rata-rata kadar hematokrit, perubahan urea darah, dan perubahan glukosa darah Perlakuan

Waktu pengambilan darah T1

T2

Keterangan T3

Rata-rata nilai hematokrit (%) Periode perlakuan awal

32,5

31

32,5

tbn

Periode perlakuan tengah

27,5

30,75

30,75

tbn

Periode perlakuan akhir

27,75

24,5

28,25

tbn

Rata-rata jumlah

29,25

28,75

30,5

Perubahan 0 – 3 jam

11,27

14,48

20,91

tbn

Perubahan 0 – 6 jam

12,88

12,88

8,04

tbn

Perubahan 0 – 3 jam

1,99

-3,97

9,93

tbn

Perubahan 0 – 6 jam

-19,87

-7,94

17,88

tbn

Urea darah (mg/dl)

Glukosa darah (mg/dl)

tbn: tidak berbeda nyata

disimpan dalam bentuk glikagon. Sedangkan pelakuan T3 yang terus mengalami peningkatan, diduga dikarenakan terjadinya peningkatan asam propionat yang tinggi di dalam rumen setelah pemberian pakan.

teh dalam level yang berbeda tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis pada sapi peranakan Ongole (PO) hingga pada level 30%. DAFTAR PUSTAKA

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan ampas

222

ANGGORODI, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

ARORA, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba Ruminansia. Cetakan kedua. Diterjemahkan oleh: MURWANI, R. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. BENYAMIN, M.M. 1978. Outline of Veterenary Clinical Pathologi. 3rd Ed., W. H. Freeman and Company, San Fransisco. BLAKELY, J. dan D.H. BADE. 1994. Ilmu Peternakan. Diterjemahkan oleh: SRIGANDONO, B. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. EDEY, T.N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. Australian Universities’ International Development Program (AUIDP), Canberra. FRANDSON, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Diterjemahkan oleh: SRIGANDONO, B. dan K. PRASENO. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. GASPERSZ, V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung HABEEB, A., M. ALNAIMY, I. F. MARAI and T. H. KAMAL. 1992. Heat Stress. In : Clive Phillips and David Piggins (Ed). Farm Animal and the Environment.Cambridge University Press, New York. hlm. 125 – 127. HAFEZ, E.S.E. 1968. Adaptation of Domestic Animals. Lea and Febiger, Philadelphia HARPER, H.A., VICTOR. W. RODWELL, PETER DAN A. MAYERS. 1979. Biokimia (Review of Physiological Chemistry) 17th Ed. Lange Metical Publication, Los Altos, California. Diterjemahkan oleh: MUALIAWARMAN, M.

HWANG, S.Y., M.J. LEE dan H. C. PEK. 2001. Divinal variation in milk and blood urea nitrogen and whole blood ammonia nitrogen in dairy cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14(12): 1683 – 1689. MCDOWELL, R.E. 1972. Improvement of Livestock Production in WarmClimates.W.H. Freeman and Co., San Francisco, USA PURWANTO, B.P., D.M. DJAFAR dan A. MURFI. 2004. Pengaruh suhu air minum terhadap respons termoregulasi sapi Holstein dara. J. Pengembangan Peternakan Tropis 2: 16 – 21. RASYID, A., MARIYONO, L. AFFANDHY dan M.A. YUSRAN. 1994. Tampilan fisiologis sapi Madura yang dipekerjakan di lahan kering dengan pakan berbeda. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Departemen Pertanian. Malang, 26 – 27 Oktober 1994. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. hlm. 325 – 327. ROHAYATI, R.T. 1994. Evaluasi Nutrisi Ampas Teh Sebagai Pakan Tunggal dan Substitusinya terhadap Lamtoro dalam Ransum secara In Vitro. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. SCHALM, C.W.N., C. JAIN dan E.J. CARROL. 1986. Veterinanry Hematology. 2nd Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. SUGENG. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPROJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

223