RINGKASAN DIMAS MASUNGA RADITYA 110810170

Download schooling adalah mengenai kemampuan sosialisasi. Penelitian ini berangkat dari pro dan kontra yang siswa. Para pengkritik home-schooling be...

0 downloads 474 Views 538KB Size
Dimas Masunga Raditya, Aryani Tri Wrastari, S.Psi., M.Ed (ReAssEv)

Latar Belakang Fokus dalam penelitian ini adalah masalah psychological well-being (PWB) pada remaja yang mengikuti pendidikan home-schooling tipe komunitas. Penelitian ini berangkat dari pro dan kontra yang muncul dalam penyelenggaraan home-schooling. Jika merujuk kepada penjelasan historis bahwa munculnya pendidikan home-schooling adalah untuk menyediakan proses pembelajaran yang aman dan ramah terhadap siswa yang tidak diperoleh dari sekolah formal, sehingga memperkuat psychological well-being siswa, namun masih banyak dijumpai perdebatan yang dialamatkan pada penyelenggaraan home-schooling yang kemudian berpengaruh pada well-being. Perdebatan yang pertama adalah terkait tentang kemampuan siswa home-schooling dalam menghadapi tantangan hidup. Para pengkritik homeschooling berpendapat bahwa siswa home-schooling memiliki keterbatasan dalam kemampuannya untuk menghadapi realitas hidup yang penuh tantangan karena terbiasa hidup dengan lingkungan internal keluarga (Luffman, 1997, dalam Arai, 1999). Lebih lanjut lagi menurut Menendez (1996, dalam Arai 1999), siswa home-schooling akan cenderung terkungkung dalam lingkungan rumah sehingga ia tidak siap dalam menghadapi keberanekaragaman budaya. Hal ini akan berdampak kepada pengembangan keterampilan hidup lainnya, seperti keterampilan untuk bekerja dengan orang lain, keterampilan interpersonal, kemampuan untuk menghargai nilai-nilai orang lain, dan masih banyak lagi. Kritikan diatas bertolak belakang dengan pendapat dari beberapa ahli, antara lain Montgomery (1989, dalam Mason, 2004) yang melaporkan dalam penelitiannya bahwa siswa home-schooling memiliki kemampuan pemecahan masalah dan kepemimpinan yang sama bagusnya dengan siswa formal. Hal ini dikarenakan bahwa siswa-siswa home-schooling juga berinteraksi dengan teman sebayanya dan juga orang dewasa lainnya dalam kegiatan pembelajaran di homeschooling mereka. Interaksi ini yang melengkapi kemampuan siswa-siswa home-schooling dengan keterampilan hidup (life-skills) yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan di masyarakat. Lebih lanjut, Sheffer (1995, dalam Mason, 2004) melakukan wawancara dengan beberapa siswa home-schooling untuk mengetahui karakter yang berkembang setelah mereka mengikuti program ini. Hasil dari penelitian Sheffer menunjukkan berbagai karakter seperti percaya diri, memiliki motivasi yang tinggi untuk mewujudkan cita-citanya, dan keterampilan interpersonal dalam hubungan pertemanan. Pro dan kontra tentang

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03, Desember 2012

kemampuan siswa home-schooling dalam menghadapi tantangan hidup ini memiliki keterkaitan dengan salah satu dimensi psychological well-being Ryff (1989, dalam Ryff dan Keyes, 1995) yaitu kemandirian (autonomy). Perdebatan yang kedua tentang homeschooling adalah mengenai kemampuan sosialisasi siswa. Para pengkritik home-schooling berargumen bahwa siswa home-schooling melewatkan pengalaman untuk menghadapi keanekaragaman dalam interaksi sosial (Romanowski, 2001, dalam Lauzon, 2007). Penelitian lain yang dilakukan oleh Molino (tt) menunjukkan bahwa terdapat interaksi sosial yang kurang optimal pada remaja yang mengikuti homeschooling. Subjek dalam penelitian tersebut lebih sering melakukan aktifitas sendiri, seperti membaca buku dirumah. Subjek juga tidak memiliki kenalan teman sebaya yang baru untuk dijadikan teman dekat semenjak mereka mengikuti home-schooling. Namun demikian terdapat penelitian-penelitian yang menyatakan bahwa home-schooling tidak sampai mengisolasi remaja dari aktifitas-aktifitas kelompoknya atau dari interaksinya dengan orang dewasa. Remaja home-schooling tetap terlihat aktif dalam kegiatan seperti olah raga, perkemahan, dan aktifitas seni. Lebih lanjut menurut penelitian-penelitian dari Smedley dan Blok (1992, 2004, dalam Lauzon, 2007), siswa home-schooling juga memiliki kemampuan yang lebih matang dalam berinteraksi dengan orang dewasa ataupun dengan teman sebaya dikarenakan tuntutan pendidikan yang ramah membuat para siswa memiliki perkembangan sosial yang lebih matang, sehingga mereka dapat menikmati peran sosial mereka dengan tanpa kendala di masyarakat. Lebih lanjut, kemampuan sosial juga menjadi kajian yang penting dalam konsep psychological well-being yaitu membina hubungan positif dengan orang lain (positive relationship) (Ryff , 1989, dalam Ryff & Singer, 2008). Fromm (1955, dalam Hall & Llindzey, 1993) menganjurkan bahwa dalam suatu masyarakat hendaknya manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas. Kriteria suatu masyarakat yang dikemukakan Fromm menuntut adanya hubungan yang baik pada sesama manusia. Kriteria atau norma yang baik untuk hidup dengan baik adalah adanya kehangatan, empati, dan afeksi (Ryff, 1989, dalam Ryff & Singer, 2008). Perdebatan yang ketiga adalah terkait dengan masalah prestasi akademik yang dimiliki oleh siswa home-schooling. Para pengamat pendidikan memiliki kekhawatiran bahwa model pendidikan home-schooling yang cenderung lebih fleksibel dibandingkan sekolah formal menyebabkan pantauan penyelenggaraan pendidikannya-pun cenderung lemah, sehingga dapat

2

Gambaran Psychological Wellbeing pada Remaja Home-schooling Dimas Masunga Raditya Aryani Tri Wrastari, S.Psi., M.Ed (ReAssEv) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract. The implementation of home-schooling still became the topic of the debate to be seen by his influence to the student that is related to the home-schooling student's capacity in living challenge, the socialization capacity and academic achievement of the student, all of them had the relevance with the concept psychological wellbeing. However from various researches were carried out about home-schooling, still a little that direcly discussed his connection with wellbeing. This researches were still limited discussed about rumours was separated that was respective could contribute towards the condition of well-being. Therefore, this research aimed at equipping researches beforehand, that is to see the picture of psychological wellbeing to the adolescent direcly by using perspective of the theory psychological wellbeing from Carol Ryff that came from the foundation of eudaimonic philosophy. In this study, researcher used six dimensions of wellbeing from Ryff (1989), namely: autonomy, personal growth, self-acceptance, life purpose, environmentally mastery and positive relationship with others. The study was conducted at 2 females and 2 males students aged between 14-17 years old who follow the home-schooling community types in Surabaya. The the method of data collection techniques interviews. This study used qualitative case study method. Data analysis techniques in this research is thematic analysis. The result of this study showed the four participants have psychological wellbeing are prominent int the positive relationship with others and environmental mastery dimension. Then the factors that most contribute to the formation of adolescent psychological wellbeing in the home-schooling education is: facilities and infrastructure in home-schooling, subjects quantity, closeness with the tutors, closeness with friends at home-schooling, and closeness with their parents. Keywords: Adolescent, Psychological wellbeing, Home-schooling Abstrak. Penyelenggaraan home-schooling masih menjadi topik perdebatan untuk dilihat pengaruhnya pada siswa yaitu terkait dengan kemampuan siswa home-schooling dalam menghadapi tantangan hidup, kemampuan sosialisasi dan prestasi akademik siswa, semuanya memiliki relevansi dengan konsep psychological well-being. Namun dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tentang home-schooling, masih sedikit yang secara langsung membahas keterkaitannya dengan well-being. Penelitian-penelitian tersebut masih terbatas membahas tentang isu-isu terpisah yang masing-masing dapat menyumbang terhadap kondisi well-being seseorang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological wellbeing remaja secara langsung dengan menggunakan perspektif teori psychological wellbeing dari Carol Ryff yang berasal dari dasar filsafat eudaimonic. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan enam dimensi well-being dari Ryff (1989) yaitu: autonomy, personal growth, selfacceptance, purpose in life, environmentall mastery dan positive relationship with others. Penelitian dilakukan pada 2 siswa perempuan dan 2 siswa laki-laki berusia antara 14-17 tahun yang mengikuti home-schooling tipe komunitas di Surabaya. Teknik pengumpulan data yaitu dengan wawancara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Hasil penelitian ini menunjukan keempat partisipan memiliki psychological-wellbeing yang menonjol dalam dimensi positive relationship with others dan environmental mastery. Kemudian faktor-faktor yang paling berkontribusi pada pembentukan psychological wellbeing remaja yang mengikuti pendidikan home-schooling, yaitu: sarana dan prasarana di home-schooling, faktor kuantitas mata pelajaran, faktor kedekatan dengan tutor, kedekatan dengan teman di home-schooling, dan kedekatan dengan orang tua mereka masing-masing. Kata Kunci : Remaja, Psychological wellbeing, Home-schooling

Korespondensi: Dimas Masunga Raditya, Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, e-mail: [email protected]

1

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03, Desember 2012

Gambaran Psychological Wellbeing pada Remaja Home-Schooling

mempengaruhi prestasi akademik siswa (Ravell, 1995 dalam Roache, 2009). Namun pendapat ini dibantah oleh Rothermel (2012) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa siswa home-schooling memiliki prestasi akademis yang bagus meskipun tidak menerima pelajaran seperti di sekolah formal. Penelitian lain oleh Frost dan Moris (1988 dalam Apostoleris, 1993) menunjukkan bahwa siswa homeschooling memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa sekolah formal dalam hal vocabulary, membaca, dan kemampuan bahasa. Menurut Allardt (1976 dalam Sarkova, 2010) pemenuhan prestasi akademik sangat terkait dengan pencapaian selffulfillment siswa pada dimensi well-being. Jika siswa terpenuhi kebutuhan belajarnya, seperti adanya apresiasi atas hasil kerjanya dan bimbingan terhadap proses belajarnya, maka akan menunjang siswa untuk memperoleh well-being dan mencapai prestasi akademik yang dia inginkan. Perdebatan-perdebatan yang telah dibahas diatas, memiliki relevansi dengan konsep psychological well-being. Namun dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tentang home-schooling, masih sedikit yang secara langsung membahas keterkaitannya dengan wellbeing. Penelitian-penelitian tersebut masih terbatas membahas tentang isu-isu terpisah yang masingmasing dapat menyumbang terhadap kondisi well-being seseorang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu untuk melihat gambaran psychological wellbeing remaja secara langsung dengan menggunakan perspektif teori psychological wellbeing dari Carol Ryff yang berasal dari dasar filsafat eudaimonic. Penggunaan teori Ryff dalam penelitian tentang home-schooling ini dirasa sangat sesuai karena dengan filsafat eudaimonic-nya, ia mencoba melihat konsep well-being pada manusia secara positif sehingga sesuai dengan konteks pendidikan itu sendiri. Ryff & Singer (1998, 2000, dalam Ryan & Deci, 2001) telah melakukan pendalaman pada pertanyaan tentang wellbeing dalam konteks perkembangan rentang hidup seseorang (life span), yang juga terpengaruh oleh Aristotle, mereka mendiskripsikan bahwa well-being bukanlah hal yang sederhana seperti usaha untuk memperoleh kesenangan, tetapi merupakan perjuangan untuk menjadi sempurna yang dicerminkan dari realisasi potensi diri yang sejati (true potensial) (Ryff dan Keyes, 1995). Hal ini sesuai dengan filsafat eudaimonic bahwa tidak semua pencapaian keinginan dari manusia akan menghasilkan wellbeing, meskipun itu dapat membuat seseorang merasa bahagia. Kebahagiaan yang bermakna dan membuat seseorang dapat mencapai sebuah kebijakan (virtue) inilah yang membuat seseorang mencapai kondisi wellbeing (Ryan & Deci, 2001). Pencapaian kebijakan dalam

3

konsep well-being Ryff (dalam perspektif eudaimonicnya) ini sesuai dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang dikatakan oleh Aristotle (tt, dalam, Hummel, 1999) bahwa tujuan dari pendidikan adalah pencapaian kebaikan (virtue) manusia. Aristotle menyatakan bahwa semua bentuk pendidikan baik secara eksplisit maupun implisit diarahkan untuk membentuk manusia yang ideal dan sangat penting untuk menyempurnakan realisasi diri (self-realization) manusia. Kebaikan yang paling tinggi untuk semua cita-cita adalah kebahagiaan dan manusia yang bahagia adalah manusia yang berpendidikan. Subjek pada penelitian ini adalah remaja. Keenam dimensi dalam PWB Ryff diatas merupakan aspek-aspek yang terkait dengan teori Erikson tentang perkembangan psikososial remaja. Menurut tahap perkembangan Psikososial Erickson, masa remaja berada pada tahap perkembangan identitas versus kekacauan identitas. Pada tahap ini individu tersebut mulai merasakan suatu perasaan mengenai identitasnya, mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaanya (self-acceptance). Kemudian pada tahap identitas versus kekacauan identitas, individu mulai menyadari tujuan-tujuan yang dikejarnya dimasa depan. Hal ini terkait dengan dimensi tujuan hidup (purpose in life), individu juga mulai menyadari kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri (autonomy). Kemudian individu tersebut telah siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau memperbarui. (relationship dan enverimental mastery). Selanjutnya, pada tahap identitas versus kekacauan identitas, ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan-kemampuan dan keterampilanketerampilan diri (personal growth). Selain itu, penelitian ini juga memfokuskan kepada remaja yang mengikuti pendidikan homeschooling tipe komunitas didasarkan kepada adanya kecenderungan perubahan hubungan orang tua dan remaja, dimana remaja mulai mencari pola hubungan lain sebagai proses untuk lebih dapat memahami diri sendiri dan bernegosiasi dengan tuntutan lingkungan (Resnick, 1998 dalam Reddy, Rhodes & Mulhall 2003). Hal ini diperkuat oleh pendapat Bossard dan Boll (1966) serta Santrock dan Yussen (1984) dalam Cripps dan Zyromski (2009) bahwa dalam masa remaja terdapat peralihan realitas dari hubungan yang dekat dengan orang tua kepada perpisahan dengan orang tua untuk lebih terlibat dengan kelompok sebaya dan orang lain. Peralihan hubungan dalam tahapan remaja ini dapat dilihat pada home-schooling tipe komunitas, karena dalam proses belajarnya, remaja akan berhubungan dengan tutor dan teman-teman lain yang tergabung

Jurnal Psikologi Pendidikan dan erkembangan Vol. No. ,Juni 2013

Dimas Masunga Raditya, Aryani Tri Wrastari, S.Psi., M.Ed (ReAssEv)

dalam komunitas home-schooling-nya. Namun demikian, mereka juga tetap memiliki hubungan dengan orang tua dalam proses belajarnya, mengingat kurikulum home-schooling tipe komunitas menekankan kepada 50% pembelajaran dengan orang tua. Permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam grand tour question, yaitu: Bagaimana gambaran psychological well being remaja yang mengikuti pendidikan homeschooling tipe komunitas? Pertanyaan ini lebih mengacu kepada penjabaran enam dimensi PWB menurut Ryff (1989, dalam Ryff & Singer, 2008). Untuk memperkaya atau memperdalamnya, maka dibuat subquestion, yaitu: Faktor-faktor apakah dalam home-schooling yang paling berkontribusi pada pembentukan psychological well-being remaja?

4)

Tujuan hidup (Purpose in Live) adalah dimana individu memiliki tujuan dan keterarahan dalam hidupnya, dapat menemukan makna pada kehidupan saat ini dan masa lalunya, memiliki nilai-nilai yang diyakini dan memberikan tujuan hidup, memiliki tujuan yang objektif dalam hidup (Ryff & Singer, 2008).

5)

Penerimaan diri (self-acceptance) adalah dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri; mengenali dan menerima berbagai macam aspek diri, baik kualitas diri yang baik dan buruk; merasakan hal positif pada masa lalu (Ryff & Singer, 2008).

Landasan Teori Definisi psychological wellbeing menurut Ryff

6)

Kemandirian (autonomy) adalah kemampuan untuk menentukan hal-hal tertentu seorang

(1995, dalam Ryan & Deci, 2001) adalah keadaan

diri (self-determining dan independent),

individu dalam potensi diri yang sejati (true potensial)

mampu melawan tekanan sosial dengan

yang ditandai ia dengan terpenuhinya enam aspek

berpikir dan berprilaku dalam beberapa hal,

dalam diri seseorang, yaitu: 1) Penguasaan lingkungan (enviromental mastery) adalah dimana individu merasa mengusai dan memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan, mengendalikan berbagai macam aktivitas eksternal yang kompleks, menggunakan peluang dengan efektif, mampu untuk menciptakan atau memilih lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai diri (Ryff & Singer, 2008) 2)

mengatur perilaku dari dalam diri, dan mengevaluasi diri dengan.

Metode Penelitian instrumental dan teknik penggalian data berupa wawancara pada keempat partisipan. Dalam penelitian ini jenis triangulasi data yaitu triangulasi yang digunakan berupa variasi sumber-sumber data yang berbeda (Patton, 1990, dalam Poerwandari, 2011) berupa wawancara dengan significant others. Hal ini

Pertumbuhan pribadi (personal growth)

disebabkan karena hasil wawancara dengan significant

adalah dimana individu merasa memiliki

others akan menambah kejelasan data psychological

kebersinambungan perkembangan, melihat

wellbeing pada siswa home-schooling.

diri sebagai hal yang sedang tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman

Hasil Penelitian dan Pembahasan

baru, mengenali potensi-potensi dalam diri,

Enviromental mastery

melihat peningkatan dalam diri dari waktu ke waktu, berubah dalam beberapa hal yang

3)

Keempat

partisipan sama-sama merasa lebih

mampu untuk menerima pelajaran atau tugas yang di

menggambarkan bertambahnya pengetahuan

berikan di home-schooling dibandingkan seperti yang

dan keefektifan (Ryff & Singer, 2008) Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with other) dimana hubungan individu dengan orang lain dilandasi dengan kehangatan (warm), keintiman, kepuasan,kepercayaan, dan empati yang kuat; memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan kemanusiaan (Ryff & Singer, 2008).

mereka hadapi di sekolah formal dahulu karena merasa

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03, Desember 2012

materi pelajaran di home-schooling tidak terlalu padat seperti di sekolah formal mereka dahulu. Personal growth Ketiga partisipan yaitu BGS, CH, dan MD merasakan peningkatan pada kualitas diri selama mereka sekolah di home-schooling. Sementara PTR

4

Gambaran Psychological Wellbeing pada Remaja Home-Schooling

merasa tidak berkembang selama di homeschooling karena partisipan tidak mengikuti les tambahan. partisipan merasa penurunan kualitas suaranya karena sudah jarang latihan vocal. Positive relationship with others Keempat partisipan menikmati interaksi dan menjalin keakraban dengan orang lain, baik melalui percakapan atau melakukan aktivitas bersama dengan tutor dan teman-teman di home-scholing. Purpose in live Keempat partisipan memiliki cita-cita yang ingin diraih. MD dan CH merasa home-schooling menunjang utnuk meraih cita-cota mereka, sedangkan BGS dan PTR tidak. Self-acceptance Keempat partisipan mengenali dan mengatasi berbagai kelemahan dan ketakutan dalam diri mereka. Autonomy Keempat partisipan lebih berani menyampaikan keinginan atau pendapat terhadap hal tertentu meskipun keinginan atau pendapat tersebut berbeda dengan orang lain. Namun demikian, mereka cenderung lebih berani untuk menyampaikan keinginan atau pendapat kepada tutor daripada pada guru di sekolah formal, teman atau orang tua mereka. Faktor-faktor yang Terdapat di Home-schooling yang Mempengaruhi Psychological wellbeing Remaja antara lain: a) Sarana dan prasarana di home-schooling Keempat partisipan memiliki cita-cita dan hal-hal tertentu yang ingin dicapai atau dikuasai (purpose in live). Namun demikian home-schooling kurang dapat menunjang keinginan mereka tersebut. Hal ini disebabkan karena keterbatasan fasilitas yang di miliki home-schooling. Mengingat home-schooling ini baru berdiri 1, 5 tahun yang lalu dan sedang dalam proses pengembangan. Sarana dan prasarana juga berkaitan dengan psychological wellbeing hal ini mengacu pada bagaimana seseorang mempunyai kesempatan untuk realisasi diri, jika ia mempunyai sumber (resources) untuk mewujudkan bakat dan kapasitas diri (Dowd, 1990, dalam Ryff & Singer, 2008). b) Faktor kuantitas mata pelajaran Materi pelajaran yang di berikan di homeschooling sedikit berbeda dengan materi pelajaran yang terdapat di sekolah formal. Mata pelajaran yang di berukan tidak padat dan hal ini berpengaruh bagi mampu atau tidaknya siswa dalam mengelola tugas dan menerima materi pelajaran (environmental mastery). Dari keterangan keempat partisipan, mereka merasa

5

lebih mampu untuk menerima pelajaran atau tugas yang di berikan di home-schooling dibandingkan ketika di sekolah formal dahulu. Keempat partisipan juga merasa materi pelajaran di home-schooling tidak terlalu padat seperti di sekolah formal mereka dahulu. c) Faktor kedekatan dengan tutor Remaja dan tutor di home-schooling dapat dikatakan memiliki kualitas hubungan yang baik (positive relationship with others) hal ini berpengaruh kepada kondisi wellbeing remaja tersebut. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Nezlek, 2000 (dalam Ryan & Deci, 2001) yang merangkum sejumlah penelitian dan menyimpulkan bahwa kuantitas dari interaksi tidak memprediksikan wellbeing, namun kualitas interaksilah yang memprediksikan wellbeing. Hal ini juga di dukung oleh Reis, 2000 (dalam Ryan & Deci, 2001) yang menemukan bahwa individu merasa memiliki hubungan yang baik jika mereka merasa dimengerti, terlibat dalam percakapan yang bermakna, atau menjalin kegembiraan dengan orang lain. Kedekatan dengan tutor di home-schooling berpengaruh pada dimensi environmental mastery dan autonomy. Ryan and Stiller (1991, dalam Reddy, Rhodes, & Mulhall 2003) menemukan bahwa interaksi siswa dengan guru dalam suasana hangat dan perasaan di dukung berhubungan dengan kepercayaan diri yang lebih tinggi dan pengambilan nilai-nilai yang positif pada siswa. Keempat partisipan merasa memiliki hubungan yang hangat dengan tutornya. Sehingga membuat mereka lebih berani untuk menanyakan sesuatu dan berpendapat kepada tutornya (autonomy). Hal ini akan berpengaruh bagi penguasaan materi pelajaran di home-schooling (environmental mastery). Namun demikian ada pengaruh negatif dari hubungan siswa dan tutor. Keempat siswa sering terlambat mengumpulkan tugas. Hal ini menunjukan para siswa kurang mampu mengatur perilakunya dari diri sendiri (autonomy). Hal ini di sebabkan karena tutor kurang tegas dalam memberikan sanksi pada siswa. Tutor hanya memberikan teguran kepada siswa yang terlmbat mengumpulkan tugas. Keempat partisipan juga merasa lebih nyaman ketika berada di home-schooling daripada di sekolah formalnya dahulu dan di rumah. Sehingga sering kali mereka berkunjung ke home-schooling walaupun tidak ada jadwal sekolah. Hal ini mereka lakukan karena merasa bosan di rumah (environmental mastery). Hubungan dengan tutor juga membuat ketiga partisipan dapat merasakan kebersinambungan perkembangan pada diri mereka (personal growth). Ketiga partisipan yaitu BGS, CH, dan MD Merasakan peningkatan pada kualitas diri selama mereka sekolah di home-schooling. Namun demikian PTR merasa tidak berkembang selama di home-schooling karena partisipan tidak mengikuti les tambahan.

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03, Desember 2012

Dimas Masunga Raditya, Aryani Tri Wrastari, S.Psi., M.Ed (ReAssEv)

d) Kedekatan dengan teman di home-schooling Menurut penelitian, remaja yang memiliki kulitas pertemanan yang bagus pada umumnya memiliki selfesteem yang lebih tinggi, meingkatkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment) dan kemampuan untuk menanggulangi stres bila dibandingkan dengan remaja yang memiliki kualitas pertemanan yang kurang baik (Gauze, Bukowski, & Aquan-Assee, 1996; Hartup & Stevens, 1999; Keefe & Berndt, 1996; Townsend, McCracken, & Wilton, 1988, dalam Zimmer & Gallaty, 2006). Dalam penelitian ini juga ditemukan hasil yang serupa dengan penelitian sebelumnya yang membahas kualitas hubungan dengan teman sebaya (Gauze, Bukowski, & Aquan-Assee, 1996; Hartup & Stevens, 1999; Keefe & Berndt, 1996; Townsend, McCracken, & Wilton, 1988, dalam Zimmer & Gallaty, 2006). Ketiga partisipan yaitu BGS, PTR dan CH merasa lebih nyaman berinteraksi dengan teman-temannya di homeschooling daripada di sekolah formalnya dahulu.Sementara MD tidak memiliki sahabat di homescholing seperti saat di sekolah formalnya dahulu. Hal ini di karenakan MD baru beberapa bulan sekolah di home-shooling. e) Kedekatan dengan orang tua Pada masa remaja individu memiliki kecenderungan perubahan hubungan orang tua, dimana remaja mulai mencari pola hubungan lain sebagai proses untuk lebih dapat memahami diri sendiri dan bernegosiasi dengan tuntutan lingkungan (Resnick, 1998 dalam Reddy, Rhodes & Mulhall 2003). Hal ini diperkuat oleh pendapat Bossard dan Boll (1966) serta Santrock dan Yussen (1984) dalam Cripps dan Zyromski (2009) bahwa dalam masa remaja terdapat peralihan realitas dari hubungan yang dekat dengan orang tua kepada perpisahan dengan orang tua untuk lebih terlibat dengan kelompok sebaya dan orang lain. Dalam penelitian ini ditemukan hasil yang serupa yaitu keempat partisipan merasa lebih dekat dengan tutor dan teman-temannya daripada dengan orang tua. Mereka sering menceritakan hal pribadi dan bercanda (positive relationship) dengan tutor dan teman-temannya, namun tidak dengan orang tuanya. Disini terlihat bahwa terdapat jarak antara siswa dan orang tua dan tutor mampu menggantikan peran ini dari orang tua. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil pembahasan, keempat siswa home-schooling dalam penelitian ini menunjukkan kondisi psychological-wellbeing yang berbeda-beda pada masing-masing partisipan, namun jika disimpulkan secara keseluruhan maka keempat partisipan dapat dikatakan memiliki psychologicalwellbeing yang menonjol dalam dimensi positive relationship with others dan environmental mastery. Hal ini disebabkan keempat partisipan dan tutor memiliki kualitas hubungan yang baik (positive relationship with

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03, Desember 2012

others). Interaksi siswa dan tutor tidak hanya terjadi ketika pelajaran berlangsung. Siswa dan tutor juga sering berinteraksi di luar kelas ketika tidak sedang tidak ada pelajaran. Siswa sering bermain atau menceritakan masalah pribadinya kepada tutor. Kualitas hubungan yang baik dengan tutor membuat keempat partisipan tidak segan ketika bertanya atau menyampaikan pendapat terkait materi pelajaran atau tugas yang belum mereka pahami, dimana hal ini membantu mereka dalam penguasaan materi pelajaran (environmental mastery). Keempat partisipan memiliki keinginan-keinginan yang hendak dicapai, hal ini menunjukan bahwa mereka memiliki poin positif pada dimensi purpose in live. Mereka juga sedang dalam kebersinambungan perkembangan ke arah positif pada karakter diri mereka (personal growth) dan berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan diri mereka (selfacceptance). Keempat partisipan lebih berani menyampaikan keinginan-keinginanya pada tutor terkait masalah akademis ataupun pribadi. Namun demikian keempat partisipan juga kurang dapat mengatur perilaku dari dalam diri (autonomy), hal ini di t u n j u k a n ke t i k a m e r e k a s e r i n g t e r l a m b a t mengumpulkan tugas, namun tutor sering memberi toleransi kepada mereka. Penelitian kualitatif ini masih memiliki banyak kekurangan dalam segi penggalian informasi yang kurang mendalam. Sebaiknya untuk peneliti selanjutnya melengkapinya dengan metode observasi. Penulis juga mengharapkan peneliti selanjutnya dapat melengkapi penelitian ini, yaitu dengan meneliti psychological wellbeing pada siswa home-schooling yang diajar langsung oleh orang tuanya di rumah. Karena peran orang tua tentunya akan memberikan pengaruh yang berbeda selama proses belajar mengajar berlangsung. Saran yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah dianjurkan siswa dapat memanfaatkan waktu luangnya di home-schooling dengan sebaik mungkin, misalkan mengisi waktu luang tersebut dengan mengikuti kegiatan lainnya seperti les tambahan baik itu di bidang akademis ataupun non akademis. Karena hal ini akan berpengaruh pada dimensi purpose in live, personal growth, self-acceptance, dan environmental mastery bagi para siswa. Tutor telah mampu membangun hubungan yang baik dengan siswa, namun demikian kurang dapat menegakkan disiplin kepada para siswa jika tidak mematuhi peraturan yang telah di tetapkan. Kemudian bagi pengelola home-schooling diharapkan untuk lebih mengembangkan sarana dan prasarana yang ada agar dapat memfasilitasi minat para siswa yang beragam.

6

Gambaran Psychological Wellbeing pada Remaja Home-Schooling

PUSTAKA ACUAN Apostoleris, N, H. (1993). An Interdisciplinary Investigation of Homeschooling. Wesleyan University. Arai, A, B. (1999). Homeschooling and the Redefinition of Citizenship. Wilfrid Laurier University. Cripps, K. & Zyromski, B. (2009). Adolescents' psychological well-being and perceived parental involvement: implications for parental involvement in middle schools. RMLE Online, 33(4). Hall, C. S. & Lindzey, G. (1993). Teori-Teori Psikodinamik. Yogyakarta. Kanisius Hummel, C. (1999). Aristotle. International Bureau of Education, 23(1/2) 39-51. Lauzon, A. (2007). Homeschooling: the socialization of homeschooled children compared to that of traditional schooling. Nipissing University. Mason, G. (2004). Homeschool Recruiting: LessonsLearned on the Journey. Journal of the National Association for College Admission Counseling. No 185. Poerwandari, E. K. (2011). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok:LPSP3. Reddy, R. Rhodes, J, E. Mulhall, P. (2003). The influence of teacher support on student adjustment in the middle school years: A latent growth curve study. Development and Psychopathology. 15, 119–138. Roache, L, E. (2009). Parental Choice and Education: The Practice of homeschooling. Massey University. Ryan, R. M. & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: areview of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Reviews Psychology, 52, 141–166. Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69 (4), 719-727 Ryff, C. D. & Singer, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: a eudaimonic approach to psychological wellbeing. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39 Rygby, K. (2003). Consequences of Bullying in Schools. Can J Psychiatry. Vol 48. No 9. Sarkova, M (2010). Psychological well-being and self-esteem in Slovak adolescents. Slovak Academy of Sciences. Zimmer, M. J. & Gallaty, K. J. (2006). Hanging out or hanging in?: young females' socio-emotional functioning and the changing motives for dating and romance. Advances in Psychology Research, 44.

7

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03, Desember 2012