RISIKO PENYAKIT JANTUNG BAWAAN PADA PERKAWINAN

Download Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui, namun ... Kata kunci : Penyakit Jantung Bawaan, kongenital, anak-anak, perkawinan ...

0 downloads 354 Views 170KB Size
Tinjauan Pustaka

Risiko penyakit jantung bawaan pada perkawinan konsanguinus Aris Fazeriandy, Muhammad Ali Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FKUSU)/ Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan

Abstrak Penyakit Jantung Bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling umum dan sering dijumpai pada anak. Insidensi PJB di dunia memiliki angka yang konstan, sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup. Hal tersebut meningkat bila memiliki hubungan perkawinan kekerabatan (konsanguinus) orang tua dengan memberikan risiko 2-3 kali lipat terjadinya fenotip PJB. Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui, namun dihubungkan dengan beberapa faktor risiko, perkawinan konsanguinus dapat menjadi salah satu faktor penting tersebut. Peran konsanguinus dalam etiologi PJB didukung dari penelitian perkawinan sedarah, menunjukkan pola resesif autosomal yang dijumpai pada beberapa kelainan jantung bawaan. Kata kunci : Penyakit Jantung Bawaan, kongenital, anak-anak, perkawinan konsanguinus

Abstract Congenital heart disease (CHD) is the most common congenital anomaly and frequently found in children. The incidence of CHD worldwide is constant, approximately 8-10 of 1000 life births. The risk of CHD phenotype is higher if the parents have consanguineous marriage at a rate of 2-3 fold. In most cases, the cause of CHD is unknown. Among several risk factors, consanguineous marriage is one of the important factors. The role of consanguineous marriage in CHD is confirmed by previous studies reporting consanguineous marriage that showed autosomal recessive pattern in a few CHD cases. Keywords : Congenital heart disease, children, consanguineous marriage. Pendahuluan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling umum dan sering dijumpai pada anak.1,2 Penelitian terakhir menunjukkan peran mutasi gen berhubungan dengan PJB disertai sindroma, maupun tidak disertai sindroma. Mutasi gen tersebut berperan dalam proses kardiogenesis.3 Faktor genetik dinilai sebagai salah satu faktor penting untuk berbagai keadaan normal organisme, termasuk pula manusia. Oleh karena itu, perubahan faktor genetik memengaruhi keadaan normal, sehingga menimbulkan kelainan atau penyimpangan.4 Insidensi PJB di dunia memiliki angka yang konstan, sekitar 810 dari 1000 kelahiran hidup.1,3,5 Insidensi PJB tersebut lebih tinggi bila memiliki hubungan perkawinan kekerabatan (konsanguinus) orang tua.6 Di seluruh dunia, perkawinan konsanguinus memberikan risiko 2-3 kali lipat terjadinya fenotip PJB.7 Prevalensi kelahiran PJB terus meningkat, dari < 1 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1930 menjadi 9 per 1000 kelahiran hidup dalam beberapa tahun terakhir, dengan angka kelahiran diseluruh dunia 150 juta kelahiran per tahun. Prevalensi tertinggi terjadi di Asia (9.3 per 1000 kelahiran hidup).8

Di China, prevalensi PJB pada anak sekitar 16.5% dengan kasus Defek Septum Ventrikel (DSV), Defek Septum Atrial (DSA) dan Tetralogi of Falot (TOF) yang paling banyak dijumpai dan terdapat 4.6% kasus berhubungan dengan konsanguinus.9 Di Iran terdapat 29% kasus PJB berhubungan dengan konsanguinus.10 Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui.11 PJB dihubungkan dengan beberapa faktor risiko, perkawinan konsanguinus dapat menjadi salah satu faktor penting tersebut. Peran konsanguinus dalam etiologi PJB didukung penelitian perkawinan sedarah, menunjukkan pola resesif autosomal yang dijumpai pada beberapa kelainan jantung bawaan.12 Kendati sebagian besar kasus PJB bersifat multifaktorial, beberapa lesi berhubungan dengan kelainan kromosom, defek gen tunggal, teratogen, atau kelainan metabolik maternal.10 Penyakit jantung bawaan Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan bentuk kelainan jantung yang sudah didapatkan sejak lahir.13 PJB didefenisikan sebagai suatu malformasi anatomi jantung atau pembuluh darah besar yang terjadi selama perkembangan intra uterin.14

[email protected]

The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |

99

Aris Fazeriandy, dkk

Ada 2 kelompok PJB yaitu kelompok PJB non-sianotik dan PJB sianotik.2,7,11 Jumlah pasien PJB non-sianotik jauh lebih besar daripada sianotik, yakni berkisar antara 3 sampai 4 kali.11 Kelompok PJB non-sianotik mencakup lesi dengan pirau kiri ke kanan, yang menyebabkan peningkatan aliran darah pulmonal. Contoh kelompok ini adalah Duktus Arteriosus Persistent (DAP), Defek Septum Ventrikel (DSV), Defek Septum Atrial (DSA) dan lesi obstruktif (Stenosis Aortik atau Aorta Stenosis (AS), Stenosis Pulmonal, Koartasio Aorta (CoA), yang umumnya disertai aliran darah pulmonal normal.10 Kelompok PJB sianotik terjadi jika sebagian aliran darah balik sistemik melintas dari jantung kanan menuju jantung kiri dan kembali ke seluruh tubuh, tanpa melalui paru terlebih dahulu (pirau kanan ke kiri). Sianosis yang terjadi merupakan tanda yang tampak akibat pirau tersebut, yaitu terjadi bila sekitar 5 gram/100 ml hemoglobin tereduksi berada di aliran darah sistemik.15 Kelompok PJB sianotik dengan vaskularisasi paru yang berkurang adalah Tetralogy of Fallot (TOF), Atresia Pulmonal dengan DSV, Atresia Pulmonal dengan septum ventrikel utuh, Atresia Tricuspid, Anomaly Ebstein. PJB sianotik dengan aliran darah ke paru yang meningkat disebut admixture lesions karena terdapatnya pirau dari kiri ke kanan serta kanan ke kiri. Pada keadaan ini umumnya terdapat suatu ruang tempat alir balik paru dan alir balik sistemik yang bercampur (mixed) yang kemudian diteruskan ke pembuluh darah besar. Contoh kelompok ini adalah Transposisi Arteri besar, Trunkus Arteriosus, Ventrikel tunggal dan Anomali Total Drainase Vena Pulmonalis.16 Perkawinan konsanguinus Perkawinan konsanguinus yaitu perkawinan yang memiliki hubungan darah dari nenek moyang yang sama dan hal ini masih lazim di beberapa wilayah di dunia17,18, dan sering memiliki implikasi genetik terhadap keturunannya.17,19-21 Konsanguinus adalah perkawinan antara seorang individu dengan saudara sepupu keduanya atau yang lebih dekat.12 Dari pandangan kedokteran genetik, semua pernikahan antara pasangan yang memiliki hubungan dengan sepupu kedua atau yang lebih dekat dianggap sebagai perkawinan konsanguinus (berasal dari bahasa latin consanguineus, yaitu memiliki hubungan darah yang sama).22 Perkawinan konsanguinus bisa meningkatkan risiko membawa gen sama yang berasal dari satu nenek moyang mereka. Anak dari hasil perkawinan gen homozigot memiliki risiko lebih besar dijumpai gangguan genetik autosomal resesif.22,23 Mutasi atau ekspresi gen yang rusak dari satu atau lebih gen resesif, lebih besar pada perkembangan embrio dan janin homozigot dibanding heterozigot.24 Beberapa penulis telah membahas mengenai perkawinan konsanguinus sebagai faktor penyebab kelahiran cacat kongenital, termasuk malformasi jantung bawaan.19-21 Peran konsanguinus dalam etiologi PJB didukung penelitian

100 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No. 2 • Juni 2017

perkawinan sedarah, dimana pola resesif autosomal dijumpai pada beberapa kelainan jantung bawaan.12 Pola resesif autosomal melibatkan mutasi pada kedua gen.25 Perkawinan konsanguinus dikaitkan dengan terjadinya peningkatan berbagai bentuk penyakit yang diwariskan.26 Kebanyakan penelitian menyebutkan, perkawinan konsanguinus memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami gangguan resesif autosomal dibanding tanpa konsanguinus.18 Insidensi mencapai 50% dengan risiko kelainan genetik pada perkawinan konsanguinus dengan sepupu pertama (68%) adalah dua kali lipat risiko pada populasi umum (3-4%).25 Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan konsanguinus merupakan gangguan autosomal resesif, tetapi malformasi jantung akibat genetik tidak diketahui dengan pasti.22 Faktor penyebab penyakit jantung bawaan Penyebab pasti dari semua kasus PJB tidak diketahui.6,14,18,27 Terdapat tiga faktor terjadinya PJB yaitu : (1). Faktor genetik (8%), (2). Faktor lingkungan/eksterna (obat, virus, radiasi) yang terdapat sebelum kehamilam 3 bulan (2%), (3). Interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan (90%).2 Faktor genetik bekerja melalui lintasan gen, kromosom, atau mitokondria. Gen dapat bekerja secara monogenik atau poligenik. Faktor genetik pada mitokondria berbeda dari gen dan kromosom, diturunkan hanya oleh (dari) ibu dan dikenal sebagai penurunan maternal atau penurunan sitoplasma. Penurunan poligenik ini biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor luar dan dua faktor lain (genetik dan lingkungan) dikenal sebagai penurunan multifaktor.4 Kategori faktor penyebab non-genetik PJB diantaranya teratogen lingkungan (dioxin, polychlorinated biphenyls, pestisida), risiko ibu yang terpapar dengan (alkohol, isotretinoin, thalidomide, obat anti kejang), dan penyakit infeksi (misalnya Rubella). Selain faktor-faktor tersebut, ada beberapa faktor risiko lainnya yang dihubungkan dengan risiko terjadinya PJB diantaranya penggunaan obat-obat anti-retroviral, obesitas, diabetes dan hiperkolesterolemia.27 Hubungan perkawinan konsanguinus dengan penyakit jantung bawaan Pernikahan antara paman dengan keponakan atau dengan sepupu pertama, diasumsikan pasangan tersebut telah mewarisi 1/4 fakor genetik dari nenek moyang mereka, sedangkan pernikahan antara sepupu pertama diasumsikan telah mewarisi 1/8 faktor genetik dan pernikahan dengan sepupu berikutnya diasumsikan telah mewarisi 1/32 faktor genetik dari nenek moyang mereka. Pernikahan dengan sepupu pertama memiliki 1/16 lokus homozigot dan dengan sepupu kedua 1/64 lokus homozigot, namun hal ini tidak dapat membantu dampak konsanguinus terhadap prevalensi dan jenis dari PJB (Tabel 1).11,28

Risiko penyakit jantung bawaan pada perkawinan konsanguinus

Tabel 1. Hubungan perkawinan konsanguinus28 Biological Relationship Father-daughter Mother-son Brother-sister Half-siblings Uncle-niece Aunt-nephew Double first Cousin

Genetic Relationship First degree

Coefficient of Number (%) Inbreeding (F) Shared Genes 0.25 1/2 (50)

Second degree

0.125

First cousin

Third degree

0.0625

1/8 (12.5)

First cousin once removed Double second Cousin

Fourth degree

0.03125

1/16 (6.25)

Second cousin

Fifth degree

0.015625

1/32 (3.13)

Second cousin once removed Double third Cousin

Sixth degree

0.0078125

1/64 (1.56)

Seventh degree

0.0039

1/128 (0.78)

Third cousin

1/4 (25)

Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan konsanguinus diantaranya agama, budaya, tradisi dan atau karena faktor keuangan. Konsanguinus biasanya terjadi pada keluarga pada status sosial ekonomi yang rendah, dengan usia usia ibu lebih muda, buta aksara, dan tinggal di wilayah pedesaan.21 Sebagian besar distribusi perkawinan konsanguinus dijumpai pada umat Islam. Namun, tidak ada aturan yang mengharuskan menikah dengan keluarga dekatnya. Paham perkawinan antara paman dan keponakan biasanya dianut oleh agama Hindu dravida di India Selatan, sedangkan perkawinan dengan sepupu pertama, mayoritas terjadi pada populasi muslim.29 Saat ini perkawinan konsanguinus pada budaya barat sudah jarang dijumpai tetapi lebih umum dijumpai pada negara Islam dan suku atau budaya tertentu didunia.26 Konsanguinus merupakan faktor risiko yang signifikan terjadinya PJB, dan tipe PJB yang paling sering dijumpai adalah DSV, DSA, dan TOF.30 Di Pakistan terdapat 48.8% kasus PJB berkaitan dengan pernikahan konsanguinus dan 28.9% hanya berhubungan dengan kekerabatan orang tua. Faktor risiko lain adalah berat badan lahir rendah, ibu komorditas, riwayat keluarga yang menderita PJB dan riwayat anak pertama dengan PJB.12 Di Arab Saudi menyebutkan, pernikahan dengan sepupu pertama memiliki risiko tinggi terjadinya PJB pada populasi konsanguinus. Pada suatu studi silang, adanya peran autosom resesif sebagai penyebab PJB.31 Di Irak dijumpai 78% kasus berhubungan dengan konsanguinus dan 66.2% dihubungkan dengan pernikahan sepupu pertama.32 Penelitian di Kanada, terdapat 4.1% PJB dihubungkan dengan pernikahan konsanguinus terutama dengan sepupu pertama.33

Di Indonesia, terdapat 12 kasus PJB berhubungan dengan riwayat keluarga menderita PJB, namun tidak diperoleh riwayat perkawinan konsanguinus pada penelitian ini.34 Metode dan identifikasi diagnostik Deteksi mutasi gen yang berhubungan dengan PJB telah dapat dilakukan, walaupun perlu diperhatikan berbagai macam gen yang berperan dalam proses kardiogenesis. Pemahaman peran faktor genetik pada tahapan kardiogenesis dapat menginformasikan pilihan gen untuk dilakukan skrining mutasi pada setiap pasien. Dengan demikian, metode yang digunakan untuk pemilihan ini harus bergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang fenotip, pola ekspresi, dan defek perkemba-ngan fungsional yang berhubungan dengan mutasi masing-masing gen.3 Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, memungkinkan untuk untuk mengetahui tipe gen pada masing-masing individu berdasarkan teknik single nucleotide polymorphisms (SNPs), dimana melalui teknik ini bisa menentukan keturunan etnis individu berdasarkan genetika saja, sehingga identitas genom akan lebih tepat dalam memperkirakan hubungan serta identifikasi konsanguinus.26,29 Tatalaksana dan konseling genetik Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan PJB dapat diselamatkan dan memiliki nilai harapan hidup yang lebih panjang. Umumnya tata laksana PJB meliputi tata laksana non-bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-bedah meliputi tata laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi.13 Pemahaman tingginya risiko terjadinya kelainan bawaan akibat pernikahan konsanguinus diperlukan konseling genetik terhadap hal tersebut, diantaranya : (1). Pasien yang berisiko mengalami pernikahan konsanguinus, diperlukan penjelasan serta implikasi mengenai risiko kesehatan yang akan dialaminya. Hal tersebut bisa saja menjadi bias, namun risiko tinggi terjadinya kelainan bawaan tersebut perlu dipertimbangakan, (2). Menyediakan edukasi serta informasi pelayanan kesehatan keluarga, (3). Menjelaskan pemahaman yang berimbang terhadap segala risiko dan tatalaksana pernikahan konsanguinus, (4). Memprioritaskan pencegahan terjadinya kelainan bawaan akibat pernikahan konsanguinus yang disebabkan oleh pengaruh budaya dan lainnya.26 Simpulan Penyakit Jantung Bawaan merupakan kelainan kongenital yang paling umum dan sering dijumpai pada anak. Kejadian PJB meningkat bila memiliki hubungan perkawinan kekerabatan (konsanguinus) orang tua dengan memberikan risiko 2-3 kali lipat terjadinya fenotip PJB. Peran konsanguinus dalam etiologi PJB didukung adanya pola resesif autosomal pada beberapa kelainan jantung bawaan. Konseling genetik diperlukan untuk mencegah dan mengurangi risiko terjadinya PJB pada anak. Daftar pustaka 1. Mitchell SC., Korones SB, Berendes HW. Congenital heart disease in 56,109 births. Incidence and natural history.

The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |

101

Aris Fazeriandy, dkk

Circulation. 1971;43:323–32. 2. Hariyanto D. Profil penyakit jantung bawaan di instalasi rawat inap anak RSUP dr.M.Djamil Padang Januari 2008- Februari 2011. Sari Pediatri. 2012;14:152-7. 3. Rahayuningsih SE. Genetic syndrome in congenital heart disease. Dalam: Lubis M, Tobing TC, Nafianti S, Wijaya H, Jiero S, Gusmira YH, penyunting. Current pediatric management 2015. USU Press. Medan, 2015:64-80. 4. Ramelan W. Aspek genetik penyakit jantung bawaan. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B, Putra ST, penyunting. Pengenalan dini dan tata laksana penyakit jantung bawaan pada neonatus. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1994:37-43. 5. Hoffman JIE, Kaplan S. The incidence of congenital heart disease. J Am Coll Cardiol. 2002;39:1890-9. 6. Al-Ani ZR. Association of consanguinity with congenital heart diseases in al-ramadi meternity and children’s teaching hospital, western Iraq. JCEC. 2013;4:1-6. 7. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri. 2000;2:155-62. 8. Van der linde D, Koning EEM, Slager MA, Witsenburg M, Helbing WA, Takkenberg JJM, dkk. Birth prevalence of congenital heart disease worldwide. A systematic review and meta-analysis. JACC. 2011;58:2241-7. 9. Liu F, Yang YN, Xie X, Li XM, Ma X, Fu ZY, dkk. Prevalence of congenital heart disease in xinjiang multi ethnic region of China. Plos one. 2015:1-11. 10. Schneider DS. Penyakit jantung bawaan asianotik. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi keenam. Singapore: Elsevier. 2014:572-7. 11. Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan etiologi penyakit jantung bawaan. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Buku Ajar Kardiologi Anak. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994:165-72. 12. Haq FU, Jalil F, Hashmi S, Jumani MI, Imdad A, Jabeen M, dkk. Risk factors predisposing to congenital heart defects. Annals of Pediatrics Cardiology. 2011;4:117-21. 13. Cahyono A, Rachman MA. Distribusi kematian penyakit jantung bawaan di instalasi rawat inap anak rumah sakit Dokter Soetomo tahun 2004,2005 dan 2006. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2007;28:280-4. 14. Rao PS. Congenital heart defect- a review, congenital heart disease-selected aspects. Intech. 2012:3-43. 15. Schneider DS. Penyakit jantung bawaan sianotik. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi keenam. Singapore: Elsevier. 2014:577-93. 16. Prasodo AM. Penyakit jantung bawaan sianotik. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Buku Ajar Kardiologi Anak. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994:234-78. 17. Becker SM, Al Halees Z, Molina C, Peterson RM. Consanguinity and congenital heart disease in Saudi Arabia. American Journal of Medical Genetics. 2001;99:8-13. 18. Shahri HMM, Esfehani RJ, Panah NY, Esfehani AJ. Consanguinity and isolated atrial septal defect in north

102 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No. 2 • Juni 2017

Risiko penyakit jantung bawaan pada perkawinan konsanguinus

east of Iran. Ann Saudi Med. 2014:147-52. 19. Gatrad AR, Read AP, Watson GH. Consangunity and complex cardiac anomalies with situs ambiguus. Archives of Disease in Childhood. 1984;59:242-5. 20. Jaber L, Merlob P, Bu X, Rotter JI, Shohat M. marked parenteral consanguinity as a cause for increased major malformations in an israeli arab community. American Journal of Mediacal Genetics. 1992;44:1-6. 21. Stoltenberg C, Magnus P, Lie RT, Daltveit AK, Irgens LM. Birth defects and parental consanguinity in norway. American Journal of Epidemiology. 1997;145:439-48. 22. Shieh JTC, Bittles AH, Hudgins L. Consanguinity and the risk congenital heart disease. Am J Med Genet A. 2012:1-11. 23. Bittles AH. Assessing the influence of consanguinity on congenital heart disease. Annals of Pediatrics Cardiology. 2011;4:111-6. 24. Nath A,Patil C, Naik VA. Prevalence of consanguineous marriages in a rural community and its efeect on pregnancy outcome. Indian Journal of Community Medicine. 2004;29:41-3. 25. Scott DA, Lee B. Patterns of genetic transmission. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 20. Elsevier. Canada. 2016:593-03. 26. Abbas HA, Yunis K. The effect of consanguinity on neonatal outcomes and health. Hum Hered. 2014;77:87-92. 27. Fahed AC, Gelb BD, Seidman JG, Seidman CE. Genetics of congenital heart disease: the glass half empty. Circ Res. 2013;112:1-29. 28. Jaber LA, Halpern GJ. Definition, background, history, and legal, religious an biological aspects. Dalam: Jaber LA, Halperns GJ, penyunting. Consanguinity its impact, consequence and management. Bentham Science Publishers. USA. 2014:3-30. 29. Bennet RL, Motulsky AG, Bittles A, Hudgins L, Uhrich S, dkk. Genetic counseling and screening of consanguineous couples and their offspring: recommendations of the national society of genetic counselors. Journal of Genetic Counseling. 2002;11:97-19. 30. Chen LP, Beck AE, Tsuchiya KD, Chow PM, Mirzaa GM, Wiester RT, dkk. Institutional protocol to manage consanguinity detected by genetic testing in pregnancy in a minor. Pediatrics. 2015;135:736-9. 31. Settin A, Almarsafawy H, Alhussieny A, Dowaidar M. Dysmorphic features, consanguinity and cytogenic pattern of congenital heart diseases: a pilot study from mansoura locality, Egypt. International Journal of Health Sciences. 2008;2:101-11. 32. Al-Ani ZR. Association of consanguinity with congenital heart diseases in a teaching hospital in western Iraq. Saudi Mej. 2010;31:1021-7. 33. Fung A, Manlhiot C, Naik S, Rosenberg H, Smythe J, Lougheed J, dkk. Impact of prenatal risk factors on congenital heart disease in the current era. J Am Heart Assoc. 2013;2:1-12. 34. Rahayuningsih SE. Familial congenital heart disease in bandung, Indonesia. Pediatrica Indonesiana. 2013;53:17376.**