SKRIPSI PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK

Download Psikologi forensik dan psikiatri (Neurologi) forensik. ... Monita dan Dheny Wahyudhi, Peranan Dokter Forensik Dalam Pembuktian Perkara Pida...

0 downloads 570 Views 2MB Size
SKRIPSI PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ISTRI TERHADAP SUAMI (Studi Kasus Putusan No.1550/PID.SUS/2015/PN.MKS)

Oleh : RAMADHAN SATRIA HALIM B111 12 405

BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017    

HALAMAN JUDUL

PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ISTRI TERHADAP SUAMI (Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)

Disusun dan Diajukan OLEH:

RAMADHAN SATRIA HALIM B 111 12 405

SKRIPSI Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Dalam Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017      

   

 

       

ABSTRAK RAMADHAN SATRIA HALIM, NIM: B 111 12 405, Peranan Ilmu Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Lingkup Rumah Tangga Yang Dilakukan Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks) (Di bawah bimbingan Andi Sofyan selaku pembimbing I dan Haeranah selaku pembimbing II). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran ilmu forensik dalam mengungkap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami dan untuk mengetahui kendala-kendala dalam penerapan ilmu forensik tersebut sesuai putusan No.1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks. Penelitian ini dilakukan di kota Makassar yaitu tepatnya di kantor Pengadilan Negeri Makassar dan Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Penulis mengambil data yang diperoleh dari putusan pengadilan dan berupa wawancara kepada salah satu hakim Pengadilan Negeri Makassar dan dokter forensik pada Rumah Sakit Bhayangkara Makassar serta berupa berbagai kepustakaan yaitu literatur, jurnal, buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah tersebut. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ilmu forensik mempunyai peran yang sangat penting dalam perkara No.1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks sebagaimana penjatuhan saksi pidana perundang-undangan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan mengacu pada hasil visum et repertum. Tidak terlepas pula kendala-kendala yang dihadapi berupa laporan administrasi dari hasil visum et repertum dan keterangan saksi yang berbelit-beli dan tidak hadirnya saksi dalam persidangan.

Kata Kunci: Hukum Pidana, Ilmu Forensik, Tindak Pidana Kekerasan.

               

ABSTRACT RAMADHAN SATRIA HALIM, NIM: B 111 12 405, Role of Forensic Science in Disclosure Crime of Violence in the Scope of Households Done by Wives against Husbands (Case Study Decision No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks) (Under the Guidance of Andi Sofyan as the First Supervisor and Haeranah as the Second Supervisor) This research aims to determine the role of forensic science in uncovering criminal acts of physical violence in the household done by wives against husbands and to identify constraints in the implementation of the appropriate forensic science decision No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks. This research was conducted in the city of Makassar precisely in the Makassar District Court office and Bhayangkara Hospital Makassar. The researcher collected the data from the court decision in the form of an interview to one of the Makassar District Court judge and a forensic doctor at Bhayangkara Hospital as well as the form of published literatures, namely, journals, books, relevant legislation to the issue. From the results, this research shows that forensic science has the fundamental role in the case of No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks as the imposition of a witness of criminal law regulated in Law Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence by referring to the result of visum et repertum. The constraints were inevitably faced as administration report from the result of visum et repertum and the witness testimony which was convoluted and the absence of witness in the court. Keywords: Criminal Law, Forensic Sience, Crimes of Violence.                        

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peranan Ilmu Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Yang Dilakukan Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)” sebagai tugas akhir dalam memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi penerang dan suri tauladan bagi seluruh umat-Nya di muka bumi. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Drs. H. Abdul Halim Doko, M.Si dan Ibunda Hj. Nurhayati Mappasanda, S.H, yang tak henti-hentinya mencurahkan banyak cinta dan kasih sayang, doa, baik moril dan materil sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Juga kepada saudara dan saudariku, Ariani Halim, Rezky Amelia Halim, Tria Utami Halim dan kakak ipar Kusnadi, serta keponakanku Muh. Yusuf AlFatih yang selalu menghibur dan memberi semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Pada kesempatan ini, penulis juga secara khusus dan kerendahan hati mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M .A, selaku Rektor Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan para Wakil Dekan beserta seluruh jajarannya. 3. Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Haeranah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II atas bimbingan, arahan, dan waktu yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., DFM., Bapak Dr. Abd. Asis, S.M., M.H., dan Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., selaku dosen-dosen penguji yang telah memberikan saran serta masukan-masukan dalam penyusunan skripsi penulis. 5. Bapak Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H., selaku Penasehat Akademik Penulis. 6. Seluruh Bapak-bapak/Ibu-ibu dosen, terkhusus dosen bagian Hukum Pidana Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 7. Ketua Pengadilan Negeri Kota Makassar dan Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Makassar bersama seluruh staf dan jajarannya yang telah membantu penulis selama proses penelitian. 8. Keluarga besar Doko dan Mappasanda yang senantiasa memberikan doa dan semangat kepada penulis. 9. Sheila Masyita Muchsen, S.H., yang selalu memberikan perhatian, doa, dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Rekan-rekan seperjuangan di Papacu selama kuliah, Ichwanul Reiza, SH., Hawa Salman, SH., Azhima MJ Maricar, SH., Sadly Bakry, SH., Putri Nirina, SH., Sheila Masyita Muchsen, SH., A. Kartika Ramadhani, SH., Ika Vebrianty, SH., Maipa Deapati, SH., Muh. Nur Fajrin, SH., Avel Haezer, SH., Muh. Syaifullah, SH., Fairuz AS, SH., Fauzan Zarkasi, SH., Lutfhi Dhiaulwajdi, SH.,

Fityatul Kahfi, SH., Afif Muhni, SH., Harry Prasetya, Muh. Akmal Idrus, Adri Inggil, Aning Riani, Ekarini Septiana, Andi Syahrun Hidayatullah, Musdalifah Supriady, Tri Putri Utami, dan A. Rizqy Ramadhani. Terima kasih atas doa, dukungan, kerja sama, kecerian dan kebersamaannya selama ini, senang bisa mengenal kalian. 11. Rekan-rekan seperjuangan di Gazebo Sektor 6 selama kuliah, M. Noartawira Sadirga, SH., Ukyasa, SH., Maipa Deapati, SH., Muh. Nur Fajrin, SH., Heriansyah, SH., Nurul Fatia, SH., Nyoman Suarningrat, SH., Anggy Hardianti, SH., Arham Aras, SH., Arlin Joemka, SH., Dian Martin, SH., Eko Setiawan, SH., Yoga Alexander, SH., Oji Tilameo, SH., Firman Nasrullah, SH., Adri Inggil, Fadly Imran, Wahyudi Kasrul, Aldy Hamzah, A. Rezki Juliarno, Lisa, Nisrina Atikah, dan Febri Maulana. Terima kasih atas dukungan, doa, kecerian dan trip-trip nya selama ini, senang bisa kenal dengan kalian. 12. Sahabat-sahabat dari dari zaman bangku sekolahan, Reztarial Ramadhan, S.I.Kom., Ahmad Sidiq, S.Pd, Aryo Louis C, AMD., Fahmi Salman, SE., Reza Hidayat, Ashar, dan Rizal Anugrah, S.I.Kom. Terima kasih atas kegembiraan selama ini, Senang bisa mengenal kalian. 13. Teman-teman Basket SMK 5 Makassar, Odi, Fikar, Osa, Uje, Rian, Duha, Acol, Erwin, Izra, Coach Firman dll. Terima kasih atas kerja sama, kecerian, dan jalan-jalannya. 14. Anak-anak Hertasning Hooligans Apriyodi Ali,S.H dkk, tempat berbagi suka duka dan kecerian. 15. Teman-teman angkatan PETITUM 2012, penulis bangga menjadi bagian dari kalian.

16. Keluarga Besar Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi (GARDA TIPIKOR), UKM BASKET FAKULTAS HUKUM UNHAS. Terima kasih atas kerja samanya. We play with justice! 17. Teman-teman

seperjuangan

KKN

Reguler

Gelombang

90

UNHAS

Kecamatan Bacukiki, Kelurahan Lemoe, Kota Pare-pare: Arman Eki, Ara, Fachrul, Fitri, Ami, Ica, Ayu, Eno, Kak Accul, Vivin, Ina, Ucam, Agung. Terima kasih atas kerja samanya, keceriaan, dan kebersamaanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam ranga perbaikan skripsi ini. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Januari 2017 Penulis

Ramadhan Satria Halim

DAFTAR ISI

Halaman Judul .........................................................................................

i

Pengesahan Skripsi...................................................................................

ii

Persetujuan Pembimbing .......................................................................

iii

Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi....................................................

iv

Abstrak......................................................................................... ............

v

Abstract.......................................................................................................

vi

Ucapan Terima Kasih ...............................................................................

vii

Daftar Isi ...................................................................................................

xii

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah ..................................................

1

B.

Rumusan Masalah ...........................................................

7

C.

Tujuan Penelitian ..............................................................

7

D.

Manfaat Penelitian ...........................................................

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Pengertian Forensik ..........................................................

9

B.

Penerapan Ilmu Forensik Dalam Hukum Pidana ...............

10

1. Pengertian Hukum Pidana .............................................

12

2. Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana ..................................

14

3. Hubungan Ilmu Forensik dan Hukum Pidana ................

16

4. Teori Pembuktian ...........................................................

17

5. Tinjauan Umum Tentang Visum et Repertum ................

19

C.

D.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) .......................

23

1. Pengertian Kekerasan .................................................

23

2. Pengertian Rumah Tangga ..........................................

27

3. Ruang Lingkup Rumah Tangga ...................................

28

4. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ......

30

Suami dan Isteri ................................................................

34

1. Suami ..........................................................................

34

2. Isteri .............................................................................

35

BAB III METODE PENELITIAN A.

Lokasi Penelitian ...............................................................

37

B.

Jenis dan Sumber data ....................................................

38

C.

Teknik Pengumpulan Data ................................................

38

D.

Metode Analisis Data ........................................................

39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.

B.

Peranan

Ilmu

Forensik

Dalam

Mengungkap

Tindak

Kekerasan.............................................................................

40

1. Peran Dokter Dalam Penyeledikan Tindak Pidana..... .

40

2. Pentingnya Kehadiran Tenaga Kerja Profesional...... ..

42

Kendala Dalam Peranan Ilmu Forensik Terhadap Tindak Pidana Fisik Dalam

Lingkup

Rumah

Tangga

Sesuai

Putusan

1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks............................ ................... C.

No

:

44

Analisis Putusan Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup

 

Pidana

Rumah

Tangga

Sesuai

Putusan

No

1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks..................................................

47

1. Posisi Kasus...................................................................

48

2. Surat Dakwaan...............................................................

49

3. Tuntutan Penuntut Umum..............................................

50

4. Amar Putusan.................................................................

51

5. Analisis Penulis...............................................................

54

:

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa negara bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam upaya perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia

mendapatkan

perlindungan

dalam

aspek-aspek

kehidupannya.

Namun fakta yang terjadi di masyarakat nyatanya berbanding terbalik dengan tujuan negara kita. Dewasa ini, berbagai macam permasalahan hukum semakin marak terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Hal ini mengakibatkan pola tingkah laku masyarakat ikut berubah menjadi semakin kompleks. Semakin banyak pola tingkah laku manusia yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku-perilaku yang menyimpang inilah yang dapat berujung pada suatu pelanggaran bahkan kejahatan. Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum

akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dimana salah satu sifat hukum adalah dinamis. Sebagaimana diketahui akibat perkembangan pengetahuan teknologi saat ini, tidak terlepas dari dampak positif dan negatif. Mengetahui dampak positif tidaklah perlu penulis jelaskan dalam penulisan ini. Salah satu dampak negatif yang timbul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah timbulnya peningkatan tipe dan modus operandi kejahatan, sehingga proses penyidikan dan penyelidikan perlu pula cara menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang moderen. Salah satu ilmu bantu untuk memecahkan masalah tersebut adalah ilmu forensik. Setiap orang ingin mempunyai rumah tangga yang sejahtera. Dalam pencapaian rumah tangga yang sejahtera, dibutuhkan proses yang panjang. Kerja sama yang baik dalam lingkup rumah tangga akan mewujudkan suatu pencapaian yang diinginkan dalam rumah tangga tersebut. Setiap individu dalam rumah tangga dalam melaksanakan hak

dan

kewajibannya harus bersandar pada agama dan aturan hukum. Hal ini perlu terus ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga yang sejahtera. Dalam lingkup rumah tangga peran vital dipegang oleh suami-istri yang telah terikat dalam perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para

                                                             1

 Undang‐undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 

anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami-istri atas dasar ikatan lahir dan batin di antara keduanya. Oleh karena itu rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi anggota keluarga, justru menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan. Hal ini menjadi ironi ketika tindakan tercela tersebut, menjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anggota keluarga itu sendiri. Perbuatan tercela yang terjadi dalam lingkup rumah tangga karena adanya perbedaan pola pikir yang merugikan salah satu anggota rumah tangga. Dari perbedaan-perbedaan pola pikir dalam lingkup rumah tangga yang diawali dari pertengkaran yang mengarah pada kekerasan dan berujung tindak pidana. Pada masa sekarang ini, mungkin karena dalam era keterbukaan sesuatu yang berupa aib dan menyimpang menurut pandangan dan perasaan sekelompok orang atau sekelompok masyarakat malah dijadikan hal-hal yang membanggakan oleh sekelompok orang atau kelompok masyarakat lainnya, malah pula dijadikan sebagai sesuatu yang hebat apabila dapat dilakukan misalnya perceraian, perselingkuhan, sampai-sampai pada hal-hal yang bersifat kekerasan. Menanggapi kondisi kekerasan terhadap anggota-anggota keluarga dan rumah tangga yang sudah demikian terbuka dan menimbulkan banyak korban, maka masyarakat dan pemerintah merasa perlu untuk menangani masalah yang menyimpang dan menimbulkan korban antara lain bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga.2 Kekerasan dalam rumah tangga yang selanjutnya disebut KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau                                                              2

 Maria E. Pandu, 2013, Bunga Rampai Perempuan Keluarga Gender, Yayasan Bina Generasi Makassar,  Makassar, hlm.93. 

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.3 Kesengsaraan atau penderitaan yang timbul pun beraneka ragam sehingga dalam ketentuan pidana berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 diatur sanksi, definisi dan penjabaran tentang berbagai jenis kekerasan yang dapat dilakukan dalam hubungan rumah tangga, hak-hak korban, pemulihan terhadap korban dan perlindungan terhadap korban. KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan yang menjadi masalah kesehatan global. Studi dari berbagai negara menunjukkan, angka kejadian KDRT berkisar antara 15-71%. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung mengalami peningkatan. Jumlah kasus kekerasan pada tahun 2010 meningkat sekitar 5 kali dibandingkan tahun 2006. KDRT merupakan kasus yang mendominasi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 96% pada 2010. Dalam catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2011, korban KDRT yang terbanyak adalah perempuan dalam rentang usia produktif (25-40 tahun).4 Kejadian KDRT dapat menyebabkan morbiditas, mortalitas5 dan tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan mental pada korban. Kasus KDRT yang tidak ditangani secara tuntas akan menimbulakan “lingkaran kekerasan”. Pola ini berarti kekerasan akan terus berulang, bahkan korban kekerasan suatu saat dapat menjadi pelaku kekerasan.                                                              3

 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah  Tangga   4   Komisi  Nasional  Perempuan,  2011,  Teror  dan  Kekerasan  Terhadap    Perempuan:  Hilangnya  Kendali  Negara,  Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), Komnas Perempuan, Jakarta.  5  Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi,  skala besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian  per 1000 individu per tahun, hingga, rata‐rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi 100.000 terdapat  950  kematian  per  tahun.  Mortalitas  berbeda  dengan  morbiditas  yang  merujuk  pada  jumlah  individual  yang  memiliki penyakit selama periode waktu tertentu. 

Dalam keseharian, pembahasan tentang KDRT lebih banyak melihat dari prespektif dunia perempuan saja dan jarang melibatkan keikutsertaan laki-laki yang selama

ini

menjadi

subjek

dalam

pembahasan

mengenai

pemberdayaan

perempuan. Undang-undang KDRT tidak hanya ditunjuk untuk perempuan, meskipun ide besar yang melatarbelakangi lahirnya Undang-undang KDRT adanya fenomena kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan yang menjadi korban atau terjadi terhadap perempuan, namun tidak lantas berarti Undang-undang KDRT hanya memberikan perlindungan terhadap perempuan atas terjadinya KDRT. Dalam fenomena kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi terhadap suami yang dilakukan oleh istri, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tidak membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh istri terhadap suami, apabila seorang istri melakukan kekerasan terhadap suami dan menimbulkan akibat sebagai mana dirumuskan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004, maka istri akan terkena sanksi pidana sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang tersebut. Upaya yang dapat dilakukan dalam proses penyelidikan dalam membantu kepolisian dalam mencari bukti kekerasan dalam hubungan rumah tangga baik yang dilakukan oleh suami kepada istri atau sebaliknya, salah satunya dengan cara mengaitkan ilmu forensik dalam hal ini visum (visum et repertum) dalam mencari fakta yang mampu menunjang proses pembuktian di persidangan. Dari uraian-uraian di atas penulis mengangkat judul “Peranan Ilmu Forensik dalam Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Fisik dalam Lingkup Rumah Tangga yang dilakukan Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)”.

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka rumusan

masalah yang akan dibahas adalah : 1. Bagaimanakah peranan ilmu forensik dalam mengungkap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami (studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)? 2. Apa saja kendala-kendala dalam penerapan ilmu forensik terhadap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami (studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)? C.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah, yaitu :

1. Untuk mengetahui peranan ilmu forensik dalam mengungkap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami (studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks). 2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam penerapan ilmu forensik terhadap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami (studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks). D.

Manfaat Penelitian Manfaat dari peneitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk memberikan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana pada umumnya, khususnya terhadap kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh istri terhadap suami. Memberikan pengetahuan tentang peran ilmu forensik dan kendala-kendala yang dihadapi selama proses penyelidikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pengertian Forensik Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil pemeriksaan yang

diperlukan dalam proses pengadillan. Sedangkan forensik dalam pengertian bahasa Indonesia berarti berhubungan dengan pengadilan. Ilmu forensik ( Forensik Science) adalah meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan, atau dapat dikatakan bahwa dari segi perannya dalam penyelesaian kasus kejahatan maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting. Adapun semua peranan ilmu-ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan tersebut, ialah:6 1. Hukum pidana 2. Hukum acara pidana 3. Ilmu kedokteran forensik 4. Psikologi forensik dan psikiatri (Neurologi) forensik. Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum, yang untuk memahami pokok permasalahannya yang menjadi objek kajian dari proposal ini, maka perlu diketahui pengertiannya. Dengan harapan agar dapat diketahui arti dan maksud serta tujuan dari istilah tersebut mengandung pengertian sebagai suatu tempat pertemuan umum di kota-kota pada zaman Romawi kuno yang pada umumnya dipakai untuk berdagang atau kepentingan lain termasuk suatu sidang

                                                             6

 Tolib Setiady, 2009, Pokok‐Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, hlm. 6. 

peradilan. Sedangkan arti forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di depan umum.7 Forensik ialah ilmu pengetahuan yang menggunakan ilmu multidisiplin untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan krimonologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus kejahatan/pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau physical evidence dalam kasus tersebut.8 B.

Penerapan Ilmu Forensik Dalam Hukum Pidana Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan

pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan begitu juga halnya terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan luka tubuh manusia, untuk menentukan kapan saat terjadi luka dan apakah luka tersebut disebabkan oleh tindak kejahatan diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Berangkat dari ketidakmampuan untuk mengungkapkan semuanya itu, hukum memerlukan bantuan dari disiplin ilmu pengetahuan lain, yaitu kedokteran, tentunya bantuan ilmu kedokteran bukan hanya terbatas untuk hal-hal semacam itu, melainkan segala persoalan yang berkaitan dengan luka, kesehatan dan nyawa seseorang yang diakibatkan oleh suatu kejahatan yang selanjutnya diterangkan oleh dokter dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah meminta bantuan dokter sebagai saksi yang dapat membuat keterangan tertulis dalam bentuk visum at repertum dan memberikan keterangan dipersidangan sebagai saksi ahli. Artinya, bahwa ilmu pengetahuan kedokteran sangat berperan dalam membantu                                                              7

 Susetio Pramusinto, 1984, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan Bagi Wiyata Bhayangkara,  PT. Karya Unipres, Jakarta, hlm. 19.  8  Ibid, hlm. 43. 

penyidik, kejaksaan dan hakim dalam hal yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran.9 Selanjutnya ilmu kedokteran juga mempunyai peranan dalam hal menentukan hubungan

kausalitas

antara

suatu

perbuatan

dengan

akibat

yang

akan

ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada pada tubuh, atau yang menimbulkan matinya seseorang, di mana terdapat akibatakibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan pemeriksaan ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka seseorang, tidak sehatnya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak.10

1. Pengertian Hukum Pidana Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai hukum pidana diantaranya sebagai sebagai berikut:11 a. Pompe, menyatakan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya. b. Apeldoorn, menyatakan dalam hukum pidana dibedakan dan diberi arti yaitu hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatannya dapat dipidanakan sedangkan hukum pidana formil mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan. c. D.Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti yaitu objektif (ius poenale) yang meliputi perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak, ketentuan-ketentuan                                                              9

 Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Peranan Dokter Forensik Dalam Pembuktian Perkara Pidana, dalam jurnal  ilmiah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia, hlm.7.  10  Ibid, hlm.9.  11  Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.4. 

yang mengatur upaya yang dapat digunakan apabila norma itu dilanggar yang dinamakan hukum panitensier, subjektif (ius puniendi) hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana. d. Soedarto, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen) bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenar (justification) pidana itu. e. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapagan hukum yang lain, dan saksi pidananya diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat. Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari hari dilimpahkan.12 Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini dan alasan ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang di dalamnya seorang oknum yang                                                              12

 Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas‐asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.1. 

bersangkutan bertindak kurang baik. Maka, unsur hukuman sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata pidana.13 Akan tetapi kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana sebab ada istilah hukum pidana disamping hukum perdata seperti misalnya ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang disusul dengan pelelangan.14 Sebenarnya, arti kata suatu istilah tidak begitu penting. Dan pengertian ini sering diterapkan untuk membedakannya dari istilah lain, dengan tidak begitu mengutamakan arti kata.15

2. Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana Dalam perkembangan untuk mengungkap kasus-kasus pidana, dibutuhkan disiplin ilmu lainnya sehingga upaya hukum pidana untuk mencari kebenaran materiil dapat tercapai. Ilmu bantu yang dimaksud ialah: a. Logika hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagaimana peraturan itu dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum. Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran ada suatu bentuk dari pemikiran. Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep, diikuti oleh pembuatan pernyataan, kemudian diikuti oleh penalaran. b. Psikologi, ilmu pengetahuan yang berusaha memahami tingkah laku manusia dengan tujuan untuk dapat memberlakukannnya secara lebih tepat. Makna                                                              13

 Ibid.   Ibid.  15  Ibid.  14

permasalahannya yang mendasar dan harapan agar hukum pidana berperan sesuai tujuan dan harapan. Dalam hubungannya dengan ilmu pembantu dalam hukum pidana, ilmu psikologi berperan dapat membantu aparat penegak hukum memberi gambaran utuh kepribadian si pelaku dan korban.16 c. Kriminalistik, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik, sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyidikan perkara kejahatan secara teknis dengan mempergunakan ilmu-ilmu alam kimia dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman (ilmu kedokteran forensik), ilmu alam kehakiman kehakiman antara lain ilmu sidik jari (daktiloskopi) dan ilmu kimia kehakiman tentang racun (taksikologi). d. Psikiatri adalah cabang khusus dari kesehatan yang melibatkan pemahaman, penilaian, diagnosis, perawatan, serta pencegahan gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan, di sisi lain, merupakan penyakit yang memiliki efek yang penting dan terkadang merusak terhadap kemampuan pengelolaan emosi, kognitif, sosial, dan perilaku seseorang. Sub spesialisasi ilmu kedokteran yang menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan. Ilmu ini merupakan titik singgung antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum dimana kegiatan utamanyanya adalah pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum untuk kasus pidana sebagai salah satu alat bukti seperti yang termaktub dalam pasal 184 (1) KUHAP yakni sebagai keterangan ahli. e. Kriminologi, berasal dari kata crime artinya kejahatan dan logos artinya ilmu pengetahuan, jadi kriminologi berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Kriminologi juga berarti ilmu yang mempelajari kejahatan dan penjahat, bentuk penjelmaan, sebab dan akibat, dengan tujuan mempelajari sebagai ilmu, atau                                                              16

 Hendra Akhdhiat, 2011, Psikologi Hukum, Pustaka Setia,  Bandung, hlm. 289. 

agar hasilnya digunakan sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan.17 3. Hubungan Ilmu Forensik dan Hukum Pidana Ilmu forensik dapat memberikan bantuannya dalam hubungannya dengan proses peradilan dalam hal:18 a. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara, ini biasanya dimintakan oleh pihak yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan meninggal dunia. Pemeriksaan oleh ahli forensik ini akan sangat penting dalam hal menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk mengetahui sebab-sebab dari kematiannya tersebut, sangat berguna bagi pihak yang berwajib untuk memproses atau tidaknya menuntut hukum. Dalam hal ini ahli forensik akan membuat visum at repertum sebelum mayat dikuburkan. b. Pemeriksaan terhadap korban yang luka oleh ahli forensik dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya penganiayaan, menentukan ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan, untuk mengetahui umur seseorang dan untuk menetukan kepastian seorang bayi yang meninggal dalam kandungan seorang ibu. Ilmu forensik sangat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana yang terjadi mulai dari tingkat penyidikan sampai pada tahap pengadilan terhadap kasus yang berhubungan dengan tubuh atau jiwa manusia sehingga membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi.19

4. Teori Pembuktian                                                              17

 R. Soesilo, 1985, Kriminologi (pengetahuan sebab‐sebab kejahatan), Politeia, Bogor, hlm 3.   Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Op.Cit., hlm 6.  19  Ibid.  18

Pembuktian secara etimologiberasal dari kata bukti yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jika mendapat awalan pe- dan akhiran –an maka berarti proses, perbuatan, dari membuktikan, secara terminologimpembuktian berarti usaha untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.20 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan

dinyatakan

terbukti

melakukan

perbuatan

yang

didakwakan

berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya kebenaran formal. Mencari kebenaran materiil tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut Undang-undang sangat relativ. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relativ, kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang berbeda-beda. Pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain. Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya pembuktian itu, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri

                                                             20

 Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Pustaka Pelajar,  Yogyakarta, hlm. 25. 

kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut. Pembuktian

adalah

ketentuan-ketentuan

yang

berisi

penggarisan

dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.21 Hari Sasangka dan Lily Rosita dalam bukunya menyatakan, definisi hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana

yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai sesuatu pembuktian.22

5. Tinjauan Umum Tentang Visum et Repertum Visum et repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. Visum et Repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.                                                              21

 M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang  Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 273.  22  Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung,  hlm. 10. 

VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.23 Di dalam pengertian secara hukum Visum et Repertum (VeR), adalah:24 a. Subekti, mengatakan: “Suatu surat keterangan seorang dokter yang membuat kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara.” b. Fockeman Andrea dalam rechtsgeleerd handwoordenboek menyatakan bahwa: “Laporan dari ahli untuk pengadilan, khusunya dari pemeriksaan oleh dokter, dan di dalam perkara pidana.” c. Ny. Karlina P.A Soebroto menyatakan bahwa: “Surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya “ d. Abdul Mun’im Idries memberikan pendapat: “Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dan pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.” Dasar hukum dari Visum et Repertum (Ver) dalam Kitab Hukum Acara Pidana yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP tidak ada satu pasal pun yang memuat perkataan VeR. Hanya di dalam lembaran negara Tahun 1973 No. 350 Pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakn bahwa Visum et Repertum (Ver) adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter

                                                             23 24

 Ibid.   Abdul Mun’im Idries, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Asara, Jakarta, hlm.2. 

atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pasa benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.25 Di dalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: keterangan ahli, pendapat orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat bedasarkan mengenai keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP Pasal 187 butir c).26 Bila dilihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) yaitu: 27 a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa. Maka Visum et Repertum (Ver) dapat diartikan sebagai keteragan ahli maupun sebagai surat. Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan Corpus Delicti. Corpus Delicti adalah barang yang erat hubungannya dengan tindak pidana, sehingga dapat disita sebagai barang bukti material, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et                                                              25

 Ibid, hlm.3.   Ibid.  27  Ibid.  26

Repertum. Kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan Visum et Repertum seharusnya didasari dan dijamin netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaran. Sehubungan dengan peran Visum et Repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh manusia, seperti halnya pada kasus perkosaan, pengaduan atau laporan kepada pihak kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukaan tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Jika korban dibawa kedokter untuk mendapat pertolongan medis, maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan Visum et Repertum nya. Sebagai dokter

klinis,

pemeriksa

bertugas

menegakkan

diagnosis

dan

melakukan

pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obatobatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan korban.28

C.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 1. Pengertian Kekerasan

                                                             28

 Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Op.Cit., hlm.7  

1.1 Pengertian Kekerasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan berarti : a. Perihal yang bersifat, berciri keras b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang lain c. Paksaan. 1.2.

Pengertian Kekerasan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHP terbatas hanya pada pengertian yang tercantum dalam pasal 89 yang menyatakan: “Yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang pingsan tidak berdaya lagi”

Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian yang dimaksud dengan tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga yang sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama sekali, tetapi seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui yang terjadi padanya. Lebih lanjut dijelaskan pula dalam KUHP mengenai melakukan kekerasan artinya: “Mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah” Perbuatan

kekerasan

seperti

tersebut

diatas

dalam

bahasa

hukum

dibahasakan sebgai penganiayaan. Di dalam buku kedua KUHP, penganiayaan dapat dibedakan atas 5 (lima) jenis, yaitu : a. Penganiayaan Biasa.

Jenis penganiayaan ini diatur di dalam Pasal 351 KUHP. Bentuk penganiayaan ini dapat dikatakan sebagai penganiayaan biasa apabila menimbulkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Termasuk pula penganiayaan yang sengaja merusak kesehatan orang lain. b. Penganiayaan Ringan. Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Bentuk penganiayaan

ini

disebut

sebagai

penganiayaan

ringan

apabila

penganiayaan tersebut tidak menjadikan sakit atau terhalang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. c. Penganiayaan Yang Direncanakan Terlebih Dahulu. Jenis penganiayaan ini diatur di dalam Pasal 353 KUHP. Pasal ini dapat dikenakan ke pelaku apabila penganiayaan yang dilakukan direncankan terlebih dahulu. Jika berakibat luka berat atau mati maka hukumannya lebih berat. Percobaan melakukan penganiayaan ini dapat dikenakan hukuman. Pengertian luka berat dapat dilihat pada Pasal 90 KUHP, yaitu : 1). Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh secara sempurna, atau yang menimbulkan bahaya maut. 2).

Untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan mata pencahariannya.

3). Kehilangan salah satu panca indera. 4). Mendapat cacat berat. 5). Menderita sakit lumpuh. 6). Terganggunya daya pikir.

7). Gugurnya atau terbunuhnya kandungan seseorang perempuan d. Penganiayaan Berat. Jenis penganiayaan berat ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Pasal ini dapat dikenakan apabila niat pelaku memang ditujukan pada melukai berat. Apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu termasuk penganiayaan biasa yang berakibat luka berat (dikenakan Pasal 351 KUHP). Percobaan melakukan kejahatan ini dapat dikenakan hukuman. e. Penganiayaan Berat Yang Direncankan Terlebih Dahulu. Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu diatur dalam Pasal 355 KUHP. Bahwa yang dimaksud di dalam pasal ini adalah penganiayaan dalam Pasal 354 yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Percobaan melakukan kejahatan ini dapat dikenakan hukuman. Menurut para ahli jenis kekerasan yang utama adalah pembunuhan, penganiayaan berat, dan pencurian dengan kekerasan. a. Pembunuhan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pembunuhan terdiri atas beberapa macam, yaitu : 1. Pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 2. Pembunuhan yang dipikir lebih dahulu atau dikenal dengan pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP. b. Penganiayaan berat merupakan jenis penganiayaan yang oleh Undang-undang dikualifikasikan sebagai penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354.

c. Pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal 365 KUHP.

2. Pengertian Rumah Tangga Secara umum dapat diketahui bahwa rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Biasanya rumah tangga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak-saudara yang ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua, baik dari suami atau istri, saudara kandung/tiri dari kedua belah pihak, kemanakan dan keluarga yang lain, yang mempunyai hubungan darah. Di samping itu, juga terdapat pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal bersama-sama di dalam sebuah rumah (tinggal satu atap). Pengertian “rumah tangga” tidak tercantum dalam ketentuan khusus, tetapi yang dapat kita jumpai adalah pengertian “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1 ke 30 Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bunyi Pasal 1 angka 30 sebagai berikut: “Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau hubungan perkawinan”.

Pengertian

rumah

tangga

atau

keluarga

hanya

dimaksudkan

untuk

memberikan gambaran tentang apa yang menjadi objek pembicaraan tentang kekerasan terhadap perempuan. Karena terjadinya kekerasan dalam sebuah rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun selama ini selalu dirahasiakan oleh keluarga, maupun korban sendiri. Budaya masyarakat ikut berperan dalam hal ini, karena tindak kekerasan apapun bentuknya yang terjadi

dalam sebuah rumah tangga atau keluarga adalah merupakan masalah keluarga, di mana orang luar tidak boleh mengetahuinya.29

3. Ruang Lingkup Rumah Tangga Dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum dikatakan, “Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksankan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.30 Yang termasuk orang-orang yang ada di dalam lingkup rumah tangga telah dicantumkan oleh pembuat undangundang yang terdapat pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi:31 1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi: a. Suami, istri, dan anak b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan daerah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.                                                              29

 Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis‐Viktimologis, Sinar  Grafika, Jakarta, hlm.61.  30  Mohammad Taufik Makarao, 2013, Hukum Perlindungan  Anak  dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah  Tangga, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 174.  31  Guse Prayudi, 2009, Berbagai Aspek Tindakan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cetakan II, Merkid  Press, Sukabumi, hlm. 26. 

2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

4. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Pada umumnya tindak kekerasan fisik selalu didahului dengan kekerasan verbal misalnya saling mencaci, mengumpat, mengungkit masa lalu atau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan salah satu pihak. Bentukbentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu:32 1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). 2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undangundang Nomor 23 Tahun 2004). 3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam                                                              32

 Moerti Hadiati, Op.cit, hlm. 83. 

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). 4. Penelantaran rumah tangga juga di masukkan dalam pengertian kekerasan, karena setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9 Undangundang Nomor 23 Tahun 2004). Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalia diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat terkontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Perkembangan dewasa ini menunjukkan

bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan

penelantaran rumah tangga pada kenyataanya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan. Adapun ketentuan pidana dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah sebagai berikut :

Pasal 44 : (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 : (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 46 : Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47 : Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 48 :

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 49 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2). Pasal 50 : Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu terentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

D.

Suami dan Istri 1. Suami Suami adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin pria.

Seorang pria biasanya menikah dengan seorang wanita dalam suatu upacara pernikahan sebelum diresmikan statusntya sebagai seorang suami dan pasangan sebagai seorang istri. a. Sebagai pria yang telah terkait Mendapatkan pelayanan lahir bathin dari istri b. Dihormati oleh istri sebagai kepala keluarga c. Ditaati oleh istri selama tidak dalam kemaksiatan

oleh hubungan pernikahan, suami mempunyai hak-hak atas istrinya. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:33

Sedangkan kewajiban seorang suami yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut: a. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim b. Suami wajib menafkahi istri lahir dan bathin c. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya d. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri e. Suami wajib menjaga nama baik dan kehormatan istri dan tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. 2. Istri Kata “istri” diambil dari bahasa sansekerta yaitu “stri” yang artinya adalah wanita atau perempuan. Istri adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin wanita. Seorang wanita biasanya menikah dengan seorang pria dalam suatu upacara pernikahan. Sebagai wanita yang telah terkait oleh hubungan pernikahan, istri mempunyai hak-hak atas suaminya. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:34 a. Suami harus memperlakukan istri dengan cara yang baik b. Suami harus menjaga dan memelihara istri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya c. Suami harus menjaga istri tentang perkara-perkara penting dalam masalah agama d. Suami istri tidak boleh menyebarkan rahasia dan menyebutkan kejelekan istri di depan orang lain, karena suami adalah orang yang dipercaya untuk menjaga istrinya e. Suami harus bermusyawarah dengan istri dalam setiap permasalahan dalam rumah tangganya f. Suami harus segera pulang ke rumah setelah shalat Isya. Janganlah ia begadang di luar rumah sampai larut malam. Karena hal itu akan membuat hati istri menjadi gelisah.                                                              33

 http://www.hendra.ws/hak‐dan‐kewajiban‐suami‐istri‐dalam‐islam/comment‐page‐2 diakses pada tangga  25 Maret 2016 Pukul 18:56   34  http://www.shalihah.com/panduan‐agama/fiqh/pernikahan/hak‐hak‐istri‐atas‐suami diakses pada tanggal  25 Maret 2016 Pukul 18:32.   

Selain dari hak-hak tersebut diatas, seorang istri juga mempuyai kewajibankewajiban yang dipenuhi, yaitu sebagai berikut:35 a. Istri wajib mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung jawab b. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan dalam kemaksiatan c. Istri wajib menjaga kehormatan keluarganya d. Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya e. Istri wajib senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami.

                                                             35

 http://budiwiyono.com/2009/10/22/kewajiban‐suami‐istri‐dalam‐islam diakses pada tanggal 25 Maret 2016  Pukul 19:12    

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Lokasi Penelitian Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis melakukan penilitian untuk

memperoleh data atau menghimpun berbagai data, fakta, dan informasi yang diperlukan. Dalam melakukan penelitian, data yang didapatkan harus mempunyai hubungan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji, sehingga tujuan dalam memecahkan masalah dapat terselesaikan. Kualifikasi data yang baik akan melahirkan tulisan ilmiah yang proporsional. Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar. Penulis juga mencari data dan informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam kasus ini guna mempermudah pembahasan dan penyelesaian penulisan yaitu di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. B.

Jenis dan Sumber Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis,

yaitu: 1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dan penelitian secara langsung dengan pihak terkait untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan dengan judul penulis 2. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperbolehkan melalui studi kepustakaan berupa literature, peraturan perundang-undangan, karya-karya ilmiah, internet dan sumber bacaan lainnya, serta putusan perkara yang menjadi faktor penunjang dalam penelitian ini.

C.

Teknik Pengumpulan data Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua metode: penelitian,

yaitu 1. Metode Penelitian Pustaka (Library Research) Penelitian pustaka dilaksanakan untuk mengumplkan sejumlah data meliputi bahan pustaka yang bersumber dari buku-buku dan dokumendokumen perkara serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penelitian ini 2. Metode wawancara (Interview) Sehubungan dengan kelengkapan data yang dikumpulkan maka penulis melakukan wawancara dengan pihak pihak yang dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan judul yang ditulis.

D.

Metode Analisis Data Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik primer maupun sekunder

akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, yaitu dengan

menjelaskan,

menguraikan,

dan

menggambarkan

permasalahan

beserta

penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan penulisan ini. Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data penelitian yang telah diperoleh dari wawancara, agar membentukdeskripsi yang mendukung kualifikasi kajian ini sehingga dapat memcahkan objek permasalahan yang diteliti.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.

Peranan Ilmu Forensik Dalam Mengungkap Tindak Pidana Kekerasan.

1. Peran Dokter Dalam Penyeledikan Tindak Pidana Sebelum penulis membahas lebih jauh terkait dengan kasus yang akan dibahas, penulis akan membahas dulu terkait dengan ilmu forensik. Dokter adalah seorang tenaga kesehatan untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan. Keterkaitan dokter dengan penyelidikan tindak pidana adalah seorang dokter menjadi tenaga ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban tindak pidana. Dokter dalam melakukan tugas sehari-hari, suatu waktu dapat diminta bantuannya oleh penegak hukum, maka sangatlah baik bila dokter mengetahui tentang tata laksana penyidikan perkara pidana, mulai dari saat penyidik sampai hakim menjatuhkan keputusan. Mendatangkan seorang dokter yang diperlukan sehubungan dengan perkara tidak termasuk wewenangnya. Dokter boleh dikatakan tidak ada hubungannya kerja dengan penyelidik. Ilmu kedokteran kehakiman adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum, terutama pada bidang hukum pidana. Peran dari dokter kehakiman dalam penyelesaian

perkara pidana di pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan membuktikan unsur-unsur yang didakwakan dalam pasal yang diajukan oleh penuntut. Serta memberikan gambaran bagi hakim mengenai laporan dalam visum et repertum. KUHAP mengingatkan bahwa semua korban karena tindak pidana yang hidup maupun yang mati diperiksa oleh ahli kedokteran kehakiman, baru kalau tidak ada, diperiksa oleh dokter atau ahli lainnya. Hal ini menyebabkan simpang siurnya pengertian surat keterangan ahli. Keadaan sebenarnya di rumah sakit di tempat adanya fakultas kedokteran adalah sebagai berikut :36 a. Korban luka diperiksa oleh dokter ahli bedah. b. Korban kejahatan kesusilaan diperiksa oleh dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan (obgyn). c. Korban keracunan diperiksa oleh dokter ahli penyakit dalam. d. Korban mati dipriksa oleh ahli kedokteran kehakiman. Semua dokter ahli atau dokter umum dapat melayani permohonan visum et repertum. Yang paling tepat adalah permohonan ditujukan kepada ahli kedokteran kehakiman berstatus pegawai negeri sipil, dokter ahli lain berstatus pegawai negeri sipil atau dokter umum berstatus pegawai negeri sipil. Ahli kedokteran kehakiman berstatus pegawai negeri sipil hanya ditemui di kota besar tempat ada fakultas kodokteran suatu perguruan tinggi negeri, sedangkan dokter ahli lain berstatus pegawai negeri sipil dapat djumpai di rumah sakit umum kabupaten dan dokter umum berstatus pegawai negeri sipil dapat dijumpai hampir di tiap puskesmas. 2. Pentingnya Kehadiran Tenaga Kerja Profesional

                                                             36

 Njowito Hamdani, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 9. 

Suatu kewajiban bagi penyidik untuk melakukan suatu pengungkapan kasus, karena memang hal tersebutlah pekerjaannya. Akan tetapi kerap terjadi suatu kasus yang sangat sulit untuk dipecahkan dengan berbagai macam kendala yang ada. Akan tetapi secara utilitas penyidik akan merasakan kepuasan yang lebih dari pada sekedar prestasi apabila dapat mengungkap suatu kasus tindak pidana yang sangat sulit diungkap, contohnya seperti kasus pembunuhan yang di mana korban sudah dimakamkan selama 3 (tiga) bulan, dan saksi-saksi sudah banyak yang berpindah ke luar kota bahkan ada yang sudah kehilangan kontak dengan para penyelidik ataupun keluarganya. Dari hambatan-hambatan yang ada tersebut tidak mematahkan semangat dari para penyidik untuk tetap melanjutkan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Para penyidik menelusuri ulang rangkaian kejadian mulai dari TKP, orang tua korban, saksi-saksi yang masih ada. Akan tetapi setelah beberapa hari tetap tidak diketemukan suatu petunjuk baru. Untuk itu para penyidik memutuskan untuk memanggil kehadiran tenaga ahli, dalam hal ini adalah dokter forensik untuk melakukan ekshumasi. Ekshumasi adalah suatu tindakan medis yang dilkukan atas dasar Undang-undang dalam rangka pembuktian suatu tindakan pidana dengan menggali kembali jenazah yang sudah dikuburkan dan berdasarkan izin dari keluarga korban. Akhirnya dengan dilakukannya proses tersebut oleh tenaga ahli, kembali penyidik mendapatkan petunjuk baru yang lebih jelas. Jadi peran tenaga ahli dalam proses penyelidikan kasus ini berandil besar dalam penyelesain kasuskasus pidana yang membutuhkan tenaga ahli tersebut.37 Tenaga ahli dalam penanganan kasus memang sangat besar pengaruhnya, tidak lupa akan peranannya pada saat melakukan olah TKP sewaktu Bom Bali.                                                              37

 http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2015/01/peranan‐dokter‐forensik‐pada.html?m=1 Jum’at 26 Agust‐ 16 17.56 Wita. 

Kasus terorisme dapat diungkap dengan keahliannya. Di sini kita semua menyadari bahwa kehadiran mereka sangat membantu dan bahkan sangat diperlukan dalam penanganan kasus tindak pidana. Definisi keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Mengenai peran ahli dalam memberikan keterangannya dalam pemeriksaan di persidangan terdapat sejumlah peraturan dalam KUHAP, antara lain :

Pasal 132 ayat (1) KUHAP Dalam hal ini diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dar orang ahli. Pasal 133 ayat (1) KUHAP Dalam pasal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Pasal 179 ayat (1) KUHAP Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Dapat kita lihat dari apa yang tertera dalam KUHAP bahwa keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti, berarti itu menunjukan bahwa keterlibatan seorang ahli dalam penyidikan sangatlah penting. Dimana pengungkapan tindak pidana bisa didapatkan dari keahliannya.

B.

Kendala Dalam Peranan Ilmu Forensik Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Sesuai Putusan No : 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks

Dalam suatu proses penyelidikan dan penjatuhan sanksi pidana dalam hal ini kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga, sering kita jumpai berbagai kendala yang dihadapi, baik dalam penyelidikan maupun dalam penjatuhan sanksi dalam persidangan. Pada sub bab ini penulis menguraikan kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan ilmu forensik pada kasus kekerasan dalam rumah tangga ini. Melalui hasil wawancara dengan hakim dan dokter dari kepolisian yang menangani kasus ini penulis mengurainya. Kristian menjelaskan (wawancara tanggal 29 Juli 2016) : Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya. Dalam kasus ini penting diketahui bagaimana hasil visum et repertum untuk mengetahui bagaimana seorang hakim dalam menjatuhkan putusan tidak keliru, seringkali hakim juga menemui kendala dalam hal itu, pada kasus ini kendala yang ditemukan oleh hakim adalah kadang keterangan dari saksi yang berbelit belit, seakan tidak ada kesusian alur cerita dengan saksi yang lain dan kendala yang lain adalah saksi juga kadang tidak hadir dalam persidangan. Bahwa kita ketahui sangat pentingnya keterangan dari saksi dan terdakwa, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam undangundang atau atas bukti yang tidak mencukupi, misalnya dengan keterangan hanya

dari seorang saksi saja, ataupun karena keyakinan tentang itu sendiri tidak ada. Oleh karena hakim adalah seorang manusia biasa yang tentunya dapat salah raba dalam menentukan keyakinannya perihal penjatuhan saksi. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di dalam persidangan tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan saksi dan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa bersumber dari keterangan mereka, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan saksi dan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh saksi dan terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi. Kendala yang berbeda juga ditemui oleh dokter yang melakukan visum pada saksi korban, karena dalam penyeledikan suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan, adapun menurut pendapat dari. Mauluddin menjelaskan (wawancara tanggal 9 Agustus 2016) : Kendala yang paling utama dihadapi adalah surat itu terkadang tidak bersamaan dengan barang bukti yang dimintakan, jadi sering kali surat permintaan dari penyidik itu sering terlambat. Permasalahan atau kendala yang terjadi hanya ada pada administrasi surat yang dilakukan penyidik dalam kaitannya ini polisi ke dokter yang melakukan visum terhadap saksi korban. Keterlambatan terjadi karena adanya

proses visum et

repertum yang terlalu lama, dalam suatu penyelidikan surat yang dikeluarkan oleh dokter dari laporan et repertum harus sesuai dengan KUHAP. Visum et repertum berbeda dengan catatan medik dan surat keterangan medik lainnya karena visum et

repertum dibuat atas kehendak Undang-undang yang berlaku, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien dan selama visum et repertum dibuat untuk dipergunakan dalam proses peradilan, maka dalam tahap administrasi laporan dari hasil visum et repertum memakan waktu sehingga menemui kendala sesuai dengan hasil wawancara dengan narasumber.

C.

Analisis Putusan Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Sesuai Putusan No : 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks

Pada sub bab ini penulis akan menguraiakan mengenai peranan ilmu forensik terhadap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Untuk memahami penerapan ilmu forensik terhadap hal tersebut, maka penulis dalam hal ini menganalisis putusan Nomor 1550/Pid.Sus/2015/PN.Makassar. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, setiap orang mengharapkan hukumnya itulah yang harus berlaku.38 Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum sebagaimana disebutkan di atas, maka akan tidak lepas dari bagaimana penerapan hukum terhadap suatu peristiwa pidana atau tindak pidana yang terjadi, sehingga menjadi hal penting dalam menguraikan dan memahami hal tersebut, dengan memperhatikan mulai dari posisi kasus atau kronologis terjadinya tindak pidana. Adapun posisi kasus adalah sebagai berikut : 1. Posisi Kasus Bahwa benar pada Jum’at tanggal 20 Juni 2014 sekitar pukul 19.30 wita, bertempat di Jalan Urip Sumoharjo depan bengkel Yamaha Sinar Alam                                                              38

 Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab‐Bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 1. 

Pratama kota Makassar, ia terdakwa Patricya Nurtanio melakukan tindak pidana yang dilakukan dengan cara berikut : Bahwa berawal ketika saksi korban Ronny hendak menjemput terdakwa dan telah janjian via telepon untuk bertemu di depan Showroom mobil Hyundai, akan tetapi keadaan lalu lintas saat itu tidak memungkinkan sehingga saksi korban terus menjalankan kendaraannya mencari tempat parkir dan saat hendak menelfon terdakwa, terdakwa sudah lebih dahulu menelfon saksi korban dan menyuruh saksi korban untuk pulang saja, namun saksi korban tetap berupaya untuk menjemputnya sehingga saksi korban meminta untuk menemuinya di depan Bengkel Yamaha Sinar Alam Pratama, setelah berada di depan bengkel tersebut terdakwa juga tiba dan langusung membuka pintu mobil saksi korban sambil berkata “Kau pulang saja anjing” lalu terdakwa melempari saksi korban dengan menggunakan Handphone miliknya yang mengenai bagian pelipis kiri saksi korban.

2. Surat Dakwaan Berdasarkan posisi kasus di atas, maka jaksa penuntut umum membuat surat dakwaan dalam tahap penuntutan sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik. Adapun surat dakwaan adalah sebagai berikut : Pertama: Bahwa ia terdakwa Patriciya Nurtanto, pada hari Jumat tanggal 20 Juni 2014 sekitar pukul 19.30 wita, bertempat di Jalan Urip Sumoharjo depan bengkel Yamaha Sinar Alam Pratama kota Makassar atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar, telah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga terhadap saksi korban Ronny yaitu suami sah dari terdakwa sebagaimana kutipan Akta Perkawinan Nomor 7371-KW-02012012-0011 yang dibuat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

Makassar, yang mana telah menyebabkan saksi korban mengalami luka lecet dibagian pelipis kiri saksi korban, dengan cara-cara sebagaimana telah dicantumkan dalam posisi kasus di atas. Hal tersebut berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor: VER/18/VI/2014/Rumkit tanggal 21 Juni 2014 atas nama Ronny, jenis kelamin Laki-laki umur 32 tahun, yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Mauluddin,M.Sp.F, dokter pada Rumah sakit Bhayangkara Makassar dengan kesimpulan hasil pemeriksaan hasil sebagai berikut : 1. Telah diperiksa seorang korban hidup, berjenis kelamin laki-laki dan berusia dewasa. 2. Ditemukan luka lecbet disertai memar pada alis kiri akibat trauma tumpul. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kedua : Bahwa ia terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT pada waktu dan tempat sebagaimana dalam dakwaan pertama di atas, telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban Ronny. Perbuatan Patricya Nurtanto alias PAT tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 3. Tuntutan Penuntut Umum Berdasarkan berkas perkara dan surat-surat, keterangan saksi dan terdakwa, serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut : 1.

2.

3.

Menyatakan Terdakwa Patricya Nurtanio alias PAT terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Menjatuhkan pidana Terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT, dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah) apabila dipersalahkan dan dijatuhi pidana.

4. Amar Putusan Adapun yang menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah sebagai berikut : MENGADILI 1.

2. 3.

4.

Menyatakan Terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam dakwaan. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Menyatakan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim bahwa terpidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan. Membebani biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.2000,- (dua ribu rupiah).

Dalam posisi kasus, surat dakwaan, tuntutan penuntut umum, dan amar putusan di atas terdakwa telah secara sah dan terbukti telah melakukan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga yakni berupa kekerasan fisik, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 44 ayat (4) Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini sesuai dengan hasil visum et repertum yang ditangani oleh Mauluddin, dokter forensik yang melakukan visum. Bahwa lewat pemeriksaan visum, peranan ilmu forensik dapat berjalan dengan memecahakan kasus-kasus pidana. Hal ini sejalan dengan kutipan hasil

wawancara penulis dengan Kristian, hakim dalam perkara ini (wawancara tanggal 29 Juli 2016) yang menyatakan bahwa : Dalam pengambilan putusan dalam perkara ini peranan ilmu forensik sangat penting, sebab dengan adanya hasil visum menjadi salah satu tolak ukur hakim dalam menjatuhkan pidana pada terdakwa, hal ini juga tertuang dalam KUHAP Pasal 187 butir c yang menyatakan kewajiban dokter untuk membantu peradilan dalam bentuk keterangan ahli, pendapat orang ahli, dan surat keterangan ahli, berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya. Secara sosiologis, maka penjatuhan hukuman harusnya tidak saja berdasarkan kepastian hukum, tetapi juga berlandaskan asas keadilan dan kemanfaatan yaitu memperhtikan rasa keadilan masyarakat, memulihkan keadilan sosial masyarakat, mencegah orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana dan sebagainya. Oleh karena hakim mempertimbangkan keterangan forensik sebagai salah satu alat bukti dalam penjatuhan sangsi pidana. Hal ini kemudian didukung oleh hasil wawancara dengan Kristian (wawancara pada tanggal 29 Juli 2016) yang menyatakan bahwa : Keterikatan hakim terhadap visum et repertum sebagai alat bukti surat yang sah dapat dilihat pada saat hakim menerima hasil kesimpulan visum et repertum, dan mengambil alih kesimpulan tersebut dan didukung paling sedikit satu alat bukti lain ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terjadi tindak pidana penganiayaan dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka berdasarkan visum et repertum di persidangan, barulah hakim menjatuhkan sangsi pidana. Dalam hal ini penulis juga berkesempatan melakukan wawancara dengan

Mauluddin. Dokter yang melakukan visum dalam perkara ini

(wawancara dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2016), yang menyatakan sebagai berikut : Sesuai dengan aturan perundang undangan yang ada di negara kita yaitu dalam KUHAP, salah satu alat bukti yang nanti bisa menjadi atau membuktikan perkara pidana nanti adalah keterangan ahli dan hasil visum sebagai alat bukti kategori surat. Dokter forensik setelah menerima pekerjaan untuk membuktikan perkara pidana tadi maka dia menuangkannya dalam bentuk visum et repertum. Jadi peranan forensik

yang pailng penting adalah melakukan pemeriksaan pada korban dan menuangkan hasil pemeriksaan dalam bentuk visum et repertum untuk pembuktian dalam persidangan. Berhasilnya suatu proses penegakan hukum sangat bergantung pada penerapan hukum, di mana peran penegakan hukum salah satunya adalah bagaimana mengaktualisasikannya dengan dengan baik di dunia nyata.

5. Analisis Penulis Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan. Berhasilnya suatu proses penegakan hukum sangat bergantung pada penerapan hukum pidana, dimana peran penegak hukum salah satunya adalah bagaimana mengaktualisasikannya dengan baik di dunia nyata. Surat

dakwaan

merupakan

dasar

pemeriksaan

dalam

sidang

pengadilan, sedangkan surat tuntutan adalah surat yang berisi tuntutan penuntut umum terhadap suatu tindak pidana. Pada hakikatnya, seorang Jaksa Penuntut Umum harus membuat surat dakwaan dan surat tuntutan yang membuat terdakwa dari suatu tindak pidana tidak dapat lolos dari jerat hukum. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan di dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa hanya dapat dijatuhkan hukuman karena telah terbukti dalam persidangan bahwa ia telah melakukan tindak pidana seperti apa yang disebutkan jaksa dalam surat dakwaannya. Kasus yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah tentang kekerasan fisik yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh

terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT terhadap suaminya, yakni saksi korban Ronny. Dalam kasus ini, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum secara teknis telah memenuhi syarat formil surat dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 143 Ayat (2) KUHAP, yaitu harus memuat tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum serta identitas lengkap terdakwa. Selain itu juga, surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana berusaha mencari dan membuktikan kebenaran materiil berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan posisi kasus yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun pidana materiil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa. Hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, di mana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum saling bersesuaian. Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan terdakwa terdapat dalam Pasal 44 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Lingkup Rumah Tangga. Penjatuhan sanksi pidana dalam dakwaan mengakomodir kronologis kejadian dengan menerapkan Pasal 44 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam perkara Nomor 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks ini yaitu terdakwa Patriciya Nurtanto menunjukkan perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan

istri terhadap suami, melempari saksi korban Ronny dengan menggunakan handphone yang mengenai pelipis kiri korban. Dalam kasus ini menurut penulis sudah tepat diterapkan Pasal 44 Ayat (4), karena sesuai hasil visum et repertum nomor : VER/18/VI/2014/Rumkit pada tanggal 21 Juni 2014, korban hanya mengalami luka lecet disertai memar dan tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Maka dari itu dengan adanya peran ilmu forensik, kasus ini dapat terpecahkan. Peran dari anggota kedokteran kepolisian yang disingkat Dokpol tidak lepas dari disiplin ilmu mereka yang berperan besar dalam mengungkap kasus ini, hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Kedokteran Kepolisian, yang di mana bertujuan sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi para pengemban Dokpol, terselenggaranya Dokpol secara efektif, efisien dan profesional

dan

terwujudnya

pelayanan

Dokpol

yang

prima

untuk

kepentingan tugas Kepolisian. Maka peran tenaga ahli dari itu semua hakim dapat menilai secara objektif penjatuhan sanksi pada terdakwa dengan menerapkan pasal sesuai hasil visum. Pemidanaan merupakan suatu proses, yang di mana sebelum proses ini berjalan, peran hakim dan tenaga ahli lainnya sangatlah penting. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Jadi pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga dapat mendatangkan kedamaian dalam masyarakat. Pemidanaan ini tidak dimaksud untuk menderitakan dan juga tidak diperkenakan merendahkan

martabat manusia, namun merupakan pemberian makna kepada sistem hukum Indonesia.

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan Dari rumusan masalah, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang

telah diuraikan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dalam kasus ini yaitu, kekerasan fisik dalam rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami studi kasus putusan No.1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks yang di mana terdakwa bernama Patriciya Nurtanto alias PAT terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan kekerasan terhadap saksi korban yaitu saksi korban sendiri adalah suaminya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang didakwakan ke terdakwa telah tepat, mengingat peranan forensik dalam pengaplikasiannya terlihat dari hasil visum et repertum yang menjadi salah satu acuan majelis hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa. 2. Kendala yang ditemui dalam pembuktian tindak pidana KDRT dalam kasus ini adalah keterbatasan saksi dan alat buktinya, sehingga dalam proses laporan administrasi dari visum et repertum terbatas dari apa yang dilihat dan

diketemukan saja, dan kendala dalam suatu putusan hakim adanya keterangan saksi yang berbelit belit, adapun kendala lain dimana tidak hadirnya saksi dalam persidangan.

B.

Saran Berdasarkan

hasil

penelitian

dan

pembahasan

yang

dilakukan

serta

kesimpulan sebagaimana tertuang pada bagian kesimpulan di atas memberikan saran terkait dengan peranan ilmu forensik terhadap tindak pidana kekerasan dalam lingkup rumah tangga adalah sebagai berikut : 1. Diperlukan adanya pengetahuan dan pemahaman lebih khusus hakim dalam berbagai masalah hukum yang timbul dalam kehidupan masyarkat. Apalagi dalam menangani perkara yang menyangkut kekerasan dalam rumah tangga, hakim dituntut untuk cermat dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga sudah tentu memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan masalah yang sering timbul dalam masyarakat. 2. Sebagian masyrakat yang belum mengetahui dan memahami arti dan kegunaan visum et repertum, sehingga mempunyai keterbatasan dalam suatu putusan, oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk menerapkan Pasal 222 KUHP kepada mereka yang dianggap menghalangi–halangi atau mengulurulur jalanya persidangan guna kepentingan peradilan. 3. Pemerintah khususnya para penegak hukum harus melakukan sosialisasi tentang akibat hukum atau hukuman pidana yang dapat menjerat pelaku

KDRT, serta peran serta masyarakat dengan cara melakukan ceramahceramah agama yang akan disampaikan dalam rangka membentengi diri dari perbuatan keji dan munkar dan lebih tertanam rasa cinta akan keluarga untuk membinah rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdul Mun’im Idries, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Asara, Jakarta. Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Guse Prayudi, 2009, Berbagai Aspek Tindakan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cetakan II, Merkid Press, Sukabumi. Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung. Hendra Akhdhiat, 2011, Psikologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung. M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta. Maria E. Pandu, 2013, Bunga Rampai Perempuan Keluarga Gender, Yayasan Bina  Generasi Makassar, Makassar. Mohammad Taufik Makarao, 2013, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta, Jakarta. Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta. Njowito Hamdani, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. R. Soesilo, 1985, Kriminologi (pengetahuan sebab-sebab kejahatan), Politeia, Bogor.

Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Susetio Pramusinto, 1984, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan Bagi Wiyata Bhayangkara, PT. Karya Unipres, Jakarta. Tolib Setiady, 2009, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung. Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.

JURNAL Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Peranan Dokter Forensik Dalam Pembuktian Perkara Pidana, dalam jurnal ilmiah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia.

UNDANG-UNDANG Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 Tentang Kedokteran Kepolisian. INTERNET Komisi Nasional Perempuan, 2011, Teror dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), Komnas Perempuan, Jakarta. http://www.hendra.ws/hak-dan-kewajiban-suami-istri-dalam-islam/comment-page-2 diakses pada tangga 25 Maret 2016 Pukul 18:56 Wita.   

http://www.shalihah.com/panduan-agama/fiqh/pernikahan/hak-hak-istri-atas-suami diakses pada tanggal 25 Maret 2016 Pukul 18:32 Wita. http://budiwiyono.com/2009/10/22/kewajiban-suami-istri-dalam-islam diakses pada tanggal 25 Maret 2016 Pukul 19:12 Wita.

http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2015/01/peranan-dokter-forensikpada.html?m=1 Jum’at 26 Agustus 2016 Pukul 17.56 Wita.