sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXX, Nomor 1, 2005 : 1-8
ISSN 0216-1877
STATUS PERIKANAN HIU DAN ASPEK PENGELOLAANNYA Oleh Fahmi 1) dan Dharmadi 2) ABSTRACT SHARK FISHERY STATUS AND ITS MANAGEMENT ASPECTS. Indonesia has the highest production of sharks and rays in the world. Unfortunately, there are no reliable species-specific catch data available from the Indonesian fisheries and there is no control and any regulations to manage this resource. Concerns over the impact of fishing on shark population around the world are currently rising. These make some developed countries apply fisheries management system in their countries. Moreover, a world conservation union (IUCN) is also preparing plan of actions for sharks and rays management and conservation status for shark species.
menangkap hiu, baik sebagai hasil tangkapan sampingan ataupun tangkapan utama, antara lain adalah jaring insang apung (drift gill net), rawai permukaan (surface longline), rawai dasar (bottom longline) dan jaring hiu (dahulu dikenal sebagai jaring trawl). Usaha perikanan hiu yang menjanjikan di negara kita ini menjadikan nilai produksi hiu di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1987, produksi perikanan hiu di Indonesia tercatat sebesar 36.884 ton, kemudian pada tahun 2000, produksi hiu tersebut meningkat hingga hampir dua kali lipat, yaitu sebesar 68.366 ton (DHARMADI & FAHMI 2003). Bahkan menurut catatan FAO, Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara yang paling banyak memproduksi hiu dan pari setiap tahunnya (STEVENS et al. 2000); (TRAFFIC 2002).
KONDISI PERIKANAN HIU DI INDONESIA
Sejak tahun 1970 usaha perikanan hiu di Indonesia telah berlangsung sangat pesat, ketika sumberdaya tersebut menjadi hasil usaha sampingan dari perikanan tuna dengan menggunakan pancing rawai (tuna longline). Meskipun perikanan hiu di Indonesia ini hanyalah sebagai usaha sampingan (by catch) dari usaha perikanan lainnya, akan tetapi produksi yang dihasilkannya menunjukkan nilai yang signifikan. Sejak tahun 1988 ketika harga sirip hiu di pasaran dunia meningkat, usaha perikanan hiu berkembang cukup pesat, bahkan di beberapa daerah sentra nelayan di Indonesia menjadikan komoditi hiu sebagai hasil tangkapan utamanya (target species). Beberapa alat tangkap yang biasa digunakan untuk
1) 2)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta Pusat Riset Perikanan Tangkap - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
1
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
chimaera (sekitar 600 spesies) (CAMHI et al. 1998); (COMPAGNO 1984) dan (COMPAGNO 2002). Sedangkan di perairan Indonesia, diperkirakan terdapat lebih dari 200 jenis hiu yang ditangkap oleh nelayan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti Indonesia dan Australian sejak tahun 2001, telah tercatat 140 jenis ikan hiu dan pari yang ditangkap oleh nelayan Indonesia di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Jumlah tersebut masih akan terus bertambah, seiring berlanjutnya penelitian mengenai komoditi ikan tersebut.
Predikat tersebut di satu sisi dapat membuat Indonesia bangga, akan tetapi di lain pihak justru sebaliknya. Walaupun negara Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah produksi hiu terbesar setiap tahunnya, akan tetapi sampai saat ini tidak ada satu peraturan pun yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal pengaturan dan pengelolaan sumberdaya tersebut. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan berdampak terhadap kelangsungan sumberdaya hiu di Indonesia. Dengan adanya usaha perikanan hiu yang intensif tetapi tanpa adanya pengawasan ataupun peraturan yang mengatur jumlah tangkapan ataupun ukuran yang layak tangkap, maka dapat mengakibatkan sumberdaya hiu yang ada di perairan Indonesia di masa mendatang terancam. Kendala ini dapat diperparah dengan tidak adanya pengetahuan yang cukup mengenai sumberdaya hiu, baik di kalangan nelayan maupun pemerintah. Hingga saat ini pengetahuan mengenai kehidupan dan jenisjenis hiu yang ada di Indonesia masih sangatlah minim. Di kalangan masyarakat nelayan, pengetahuan mereka mengenai jenis-jenis hiu secara spesifik masih sangat rendah. Umumnya mereka hanya menggolong-golongkan hiu berdasarkan kualitas siripnya. Sedangkan dari kalangan pemerintah (dalam hal ini departemen perikanan yang terkait), upaya yang dilakukan hingga saat ini hanya mengelompokkan semua jenis ikan hiu kedalam satu kelompok ikan saja yaitu kelompok ikan hiu dalam data-data produksi tahunannya. Perlakuan tersebut berbeda dengan jenis-jenis ikan ekonomis penting lainnya, seperti ikan-ikan pelagis kecil ataupun tuna yang dikelompokkan berdasarkan jenisnya dalam data statistik perikanan Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, pada kenyataannya ikan hiu yang tergolong dalam ikan bertulang rawan (Chondrichthyes), terdiri atas lebih dari 400 jenis, bersama-sama dengan kelompok ikan pari, hiu gergaji, hiu pari dan
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
ISU KONSERVASI ELASMOBRANCHII DI DUNIA Ikan hiu sebagai salah satu jenis ikan bertulang rawan (Elasmobranchii), telah menjadi salah satu isu yang sedang hangat dibicarakan di dunia internasional. Kelompok ikan ini merupakan makhluk hidup yang unik, karena termasuk dalam salah satu jenis hewan purba yang masih hidup dan juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan ikan-ikan bertulang sejati. Secara umum, ikan hiu memiliki sifat-sifat seperti: • Fekunditas yang rendah • Pertumbuhan yang lambat • Memerlukan waktu yang lama untuk mencapai usia dewasa • Umur yang panjang • Resiko kematian yang tinggi di semua tingkat umur (CAMHI et al. 1998); (STEVENS et al. 2000). Keunikan sifat kelompok ikan bertulang rawan tersebut, menyebabkan populasinya amat mudah dipengaruhi oleh aktifitas manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Beberapa jenis hiu kini terancam kepunahan dikarenakan beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain sebagai berikut: • Siklus hidup hiu yang panjang dan kemampuan reproduksi yang rendah, serta membutuhkan waktu lama mengakibatkan mudah terjadi overeksploitasi pada sumberdaya hiu karena kemampuan pulihnya yang rendah.
2
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
• Pertumbuhan perikanan yang cepat, tetapi tidak disertai oleh peraturan dan pengawasan yang tepat sehingga tidak ada batasan dalam perdagangan hiu di dunia internasional. • Tingkat kematian hiu sangat tinggi akibat tangkapan yang tidak disengaja (incidental take) oleh nelayan, sehingga tak jarang ikan-ikan yang tertangkap tersebut dibuang kembali ke laut. • Penurunan kualitas areal pembesaran ikan dan daerah-daerah pantai, estuaria maupun air tawar akibat pembangunan, over-eksploitasi dan pencemaran (CAMHI et al. 1998).
kesulitan yang dihadapi oleh para peneliti ataupun para pengambil keputusan dalam usaha mengevaluasi dan memantau populasi hiu di alam, karena terbatasnya informasi mengenai hal tersebut, perangkat pengelolaan dan kesadaran dari para pengambil keputusan (political will). Kendala yang umum dihadapi dalam penerapan pengelolaan tersebut adalah angka kematian akibat penangkapan tidak sepenuhnya tercatat, karena rendahnya kemampuan untuk mengidentifikasi ikan ataupun karena sebagai hasil tangkapan sampingan, sehingga tidak termasuk dalam laporan hasil tangkapan utama. Sumber ataupun jumlah produksi hiu yang masuk dalam perdagangan internasional sangat sulit untuk terdeteksi. Di lain pihak, sedikitnya publikasi mengenai identifikasi hiu di dunia juga menyulitkan nelayan maupun para praktisi perikanan di dunia untuk mengenali jenis-jenis hiu yang ada di dunia, khususnya jenis-jenis yang jarang ditemui ataupun tergolong langka, sehingga usaha untuk mengelola ataupun melindungi jenis-jenis tersebut mendapatkan kendala (CAMHI et.al. 1998).
Saat ini di beberapa negara, khususnya negara-negara yang sudah lebih maju seperti Australia, Selandia Baru dan Jepang, perikanan hiu sudah dikelola dengan cukup baik. Modelmodel pengelolaan terhadap sumberdaya hiu telah mulai diterapkan dan pemahaman mengenai sumberdaya tersebut telah disosialisasikan di kalangan praktisi perikanan, baik nelayan maupun pihak-pihak yang tekait dengan usaha perikanan hiu. Sebagai contoh, Australia melalui AFMA (The Australian Fisheries Management Authority) hanya mengeluarkan 125 izin penangkapan dengan menggunakan jaring insang dan 35 izin untuk menggunakan pancing yang diberikan pada kapal ikan yang menangkap ikan-ikan hiu dasar yang ada di wilayah tersebut (WALKER 1999). Sedangkan pengelolaan perikanan hiu di Selandia Baru, diatur oleh suatu sistem pengelolaan kuota (The Quota Management System, QMA) (FRANCIS & SHALLARD 1999). Bahkan di Amerika dan Meksiko, terdapat pembatasan areal penangkapan jenis hiu pelagis. Nelayan di negara tersebut dilarang untuk menangkap hiu-hiu dalam jarak kurang dari 100 mil dari garis pantai (HOLTS et al. 1998). Masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara yang telah menerapkan pengelolaan tersebut, adalah masih adanya
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
USAHA KONSERVASI SUMBERDAYA HIU
Dalam skala internasional, telah cukup banyak badan-badan internasional yang menfokuskan diri pada usaha konservasi hiu dan pari (elasmobranchii). Salah satu badan internasional yang amat peduli terhadap sumberdaya tersebut adalah IUCN (The World Conservation Union) yang membentuk Shark Specialist Group (SSG) pada tahun 1991, sebagai bagian dari komisi penyelamatan jenis (Species Survival Comission). Tujuan kelompok ini dibentuk adalah sebagai mediator bagi usaha konservasi hiu, pari dan Chimaera (Condrichthyans). Para anggotanya berusaha untuk menyusun laporan mengenai status ikanikan bertulang rawan dan menyiapkan rencana aksi (Action plan) bagi kelompok ikan ini. Penyusunan laporan mengenai status ikan-ikan bertulang rawan di dunia dilakukan dengan
3
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mengulas status populasi dan status perikanan hiu, serta pemberian status konservasi baik secara regional maupun global untuk beberapa jenis ikan yang dipilih. Selain itu, juga menentukan kondisi jenis ikan yang sedang ataupun akan terancam keberadaaannya (CAMHI et al. 1998). Rencana aksi yang dilakukan SSG antara lain adalah dengan mengidentifikasi langkahlangkah yang akan dilakukan untuk kelangsungan kehidupan populasi ikan-ikan bertulang rawan dan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk memulihkan jenis-jenis yang terancam ataupun yang menurun jumlahnya. Laporan yang dibuat oleh SSG juga akan memperbaharui daftar hewan yang masuk dalam CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Selain itu, SSG juga memberikan laporan kepada FAO sebagai salah satu badan dunia yang berada di bawah PBB. Melalui badan tersebut, dibentuk sebuah komite perikanan yang menyusun suatu panduan (guideline) yang bersifat global maupun regional terhadap usaha pengelolaan dan konservasi sumberdaya hiu (PoA of Shark for Conservation and Management). Salah satu bentuk laporan tersebut adalah mengeluarkan red list atau daftar status bagi beberapa jenis ikan, berdasarkan beberapa kategori status seperti terancam punah, hampir terancam, dan lain sebagainya (CAMHI et al. 1998). Beberapa jenis hiu dan pari yang terdapat di Indonesia dan cukup sering dijumpai di tempat-tempat pelelangan ikan di wilayah Indonesia, bahkan termasuk ke dalam daftar status yang dikeluarkan oleh IUCN seperti tercantum dalam Tabel 1.
sumberdayanya di dunia ataupun di negaranegara tertentu yang memberikan status tersebut. Beberapa status konservasi ikan dalam red list tersebut, disesuaikan dengan kategori sebagai berikut (IUCN-SSC 2001): 1. Punah (Extinct, EX) Kategori ini diberikan kepada jenis yang telah benar-benar tidak ada lagi di dunia. Jenis yang dikatakan punah didasarkan pada tidak ditemukannya jenis tersebut di habitatnya, berdasarkan hasil penelitian yang menyeluruh dan cukup lama pada habitat yang diduga menjadi tempat hidup jenis tersebut. 2. Punah di alam (Extinct in the wild, EW) Kategori ini diberikan pada jenis yang tidak ditemukan lagi di alam bebas, tapi masih ditemukan di tempat penangkaran ataupun lokasi-lokasi yang sudah dilindungi, seperti cagar alam, suaka margasatwa dan sebagainya. 3. Sangat terancam (Critically endangered, CR) Kategori ini diberikan kepada jenis yang diyakini mendekati kepunahan di alam. 4. Terancam (Endangered, EN) Jenis ini diyakini memiliki resiko kepunahan di alam yang sangat tinggi. 5. Rawan (Vulnerable,VU) Kategori ini diberikan kepada jenis ini dikhawatirkan memiliki resiko tinggi terhadap kepunahan di alam. 6. Hampir terancam (Near threatened, NT) Kategori ini diberikan kepada jenis yang diyakini akan terancam keberadaannya di masa mendatang, apabila tidak ada usaha pengelolaan terhadap jenis tersebut. 7. Tidak mengkhawatirkan (Least concern, LC) Kategori ini diberikan kepada jenis-jenis yang tidak termasuk ke dalam kriteria di atasnya. Umumnya diberikan kepada jenisjenis yang mempunyai sebaran yang luas dan kelimpahan yang tinggi.
KATEGORI STATUS JENIS IKAN DALAM RED LIST Di dalam daftar merah (red list) IUCN, terdapat beberapa status yang diberikan terhadap jenis-jenis ikan sesuai dengan kondisi
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
4
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
8. Minim informasi (Data deficient, DD) Kriteria ini diberikan kepada jenis yang belum mempunyai informasi dan data-data yang cukup untuk bias dimasukkan dalam kriteria terancam. Untuk itu, masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut, baik mengenai kelimpahan maupun sebarannya. 9. Belum dievaluasi (Not evaluated, NE) Diberikan pada jenis-jenis yang belum dievaluasi untuk ditentukan kriterianya.
DAFTAR PUSTAKA
CAMHI, M., S. FOWLER, J. MUSICK, A. BRAUTIGAM and S. FORDHAM 1998. Sharks and their relatives, ecology and conservation. Occasional Paper of the IUCN Species Survival Commission No.20. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. 39p. COMPAGNO, L.J.V. 1984. Sharks of the world, an annotated and illustrated catalogue of sharks species known to date. Part 1. Hexanchiformes to Lamniformes. FAO Fisheries Synopsis No. 125, Vol.4, Part 1. Rome 249p.
USAHA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HIU DI INDONESIA
Menanggapi makin gencarnya isu konservasi hiu di dunia, maka pemerintah Indonesia, dalam hal ini departemen-departemen terkait seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan LIPI mulai menanggapi isu konservasi hiu di negara ini. Langkah awal yang telah dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan elasmobranchii (hiu dan pari) adalah melakukan kerjasama dengan pemerintah Australia, yakni melalui penelitian bersama mengenai sumberdaya hiu dan pari di Indonesia. Diharapkan kerjasama penelitian yang dibina tersebut dapat menghasilkan suatu rencana aksi (Action plan) pengelolaan sumberdaya perikanan hiu dan pari di Indonesia. Program-program lain yang juga mendukung untuk tersusunnya rencana pengelolaan tersebut antara lain adalah SEAFDEC (yang dilaksanakan oleh DKP) dan Sensus Biota Laut yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Selain itu, Akuarium Air Tawar Taman Mini Indonesia Indah (ATTTMII) bersama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan DKP juga merencanakan melakukan penelitian dan usaha pembudidayaan jenis hiu gergaji (Pristis microdon) yang merupakan jenis yang dalam Red list - IUCN, termasuk dalam kategori "sangat terancam" (CR) di wilayah Asia Tenggara. Diharapkan langkahlangkah usaha pengelolaan ini dapat terus berkelanjutan, sehingga terbentuk suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia secara baik.
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
COMPAGNO, L.J.V. 2002. Sharks of the world, an annotated and illustrated catalogue of sharks species known to date. Vol.2. Bullhead, mackerel and carpet sharks (Heterodontiformes, Lamniformes and Orectolobiformes). FAO Species catalogue for Fishery purpose No.1, Vol.2. Rome. 269p. DHARMADI and FAHMI 2003. Fisheries characteristic of artisanal sharks and rays in Indonesian waters. In : Proceeding of the Seminar on Marine and Fisheries Jakarta, 15-16 December 2002. Agency for Marine and Fisheries Research, MMAF. p.122129. FRANCIS, M.P. and SHALLARD, B. 1999. New Zealand shark fishery management. In: Case studies of the management of elasmobranch fisheries (R. Shotton, Ed.). FAO. Rome.p. 515551. HOLTS, D.B., A. JULIAN, O. SOSANISHIZAKI, and N.W. BARTOO 1998. Pelagic sharks fisheries along the west coast of the United States and Baja California, Mexico. Fisheries Research 39: 115-125.
5
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
IUCN-SSC 2001. IUCN Red list categories and criteria. IUCN-The World Conservation Union. Gland, Switzerland and Cambridge, UK. 34p.
TRAFFIC 2002. A CITES priorities: Sharks and the twelfth meeting of the conference of the parties to CITES, Santiago Chile. IUCN and TRAFFIC Briefing document, page 2. (Online) Available at : http ://ww w.traff ic.or g/new s / Sharks CoP12.pdf. Accessed 6 February 2004.
STEVENS, J.D., BONFIL, R., DULVY, N.K., and WALKER, P.A. 2000. The effects of fishing on sharks, rays and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystem. ICES Journal of Marine Science, 57:476-494.
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
WALKER, T.I. 1999. Southern Australian shark fishery management. In : Case studies of the management of elasmobranch fisheries (R. Shotton, Ed.). FAO. Rome. p.480-514.
6
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Beberapa jenis hiu yang termasuk dalam daftar merah (red list) IUCN No J e n i s HEXANCHIFORMES HEXANCHIDAE 1 Heptranchias perlo 2 Hexanchus griseus SQUALIFORMES SQUALID AE 3 Cirrhigaleus barbifer CENTROPHORIDAE 4 Centrophorus granulosus 5 Centrophorus moluccensis
Nama Umum
Nama Lokal
Kategori
Sharpnose sevengill shark Bluntnose sixgill shark
Hiu kucing Hiu tahu
NT NT
Mandarin shark
Hiu taji
NT
Gulper shark Endeavor dogfish
Hiu taji, Cucut botol Hiu taji, Cucut botol
6 7
Centrophorus niaukang Centrophorus squamosus
Taiwan gulper shark Leaf scale gulper shark
Hiu taji, Cucut botol Hiu taji, Cucut botol
VU DD EN in Australia NT VU DD in Australia
8
RAJIFORMES PRISTIDAE Pristis microdon
Freshwater sawfish
Hiu gergaji
EN CR in Southeast Asia
Banded Wobbegong
Hiu katak
NT
Grey Bamboo Shark Slender Bamboo Shark Brown-banded Bamboo Shark
Hiu tokek Hiu tokek Hiu tokek
NT NT NT LC in Australia
GYNGLIMOSTOMATIDAE 13 Nebrius ferrugineus
Tawny Nurse Shark
Hiu gedebong Hiu gedok Hiu bisu
VU LCin Australia
STEGOSTOMATIDAE 14 Stegostoma fasciatum
Zebra Shark
Hiu karang,
VU LC in Australia
Whale Shark
Hiu paus
VU
Crocodile Shark
Cucut botol
NT
Thresher Shark
Hiu monyet
DD NT in California
Shortfin Mako Longfin Mako
Hiu tenggiri Hiu tenggiri
NT DD
ORECTOLOBIFORMES ORECTOLOBIDAE 9 Orectolobus ornatus HEMYSCILLIIDAE 10 Chiloscyllium griseum 11 Chiloscyllium indicum 12 Chiloscyllium punctatum
RHINCODONTIDAE 15 Rhincodon typus LAMNIFORMES PSEUDOCARCHARIIDAE 16 Pseudocarcharias kamoharai ALOPIIDAE 17 Alopias vulpinus
LAMNIDAE 18 Isurus oxyrinchus 19 Isurus paucus
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
7
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Lanjutan tabel 1 CARCHARHINIFORMES SCYLIORHINIDAE 20 Atelomycterus marmoratus HEMIGALEIDAE 21 Hemigaleus microstoma
Coral Catshark
Hiu tokek
NT
Weasel Shark
Hiu kacang
22 Hemipristis elongatus
Fossil Shark
Hiu anjing
23 Carcharhinus amblyrhynchoides 24 Carcharhinus amblyrhynchos 25 Carcharhinus amboinensis
Graceful Shark
Cucut lanjaman
LC NT in South East Asia VU LC in Australia NT
Grey Reef Shark
Hiu lonjor
NT
Pideye (Java) Shark
Merak bulu
26 Carcharhinus borneensis 27 Carcharhinus brevipinna
Borneo Shark Spinner Shark
Merak bulu Hiu plen
28 Carcharhinus dussumieri
Whitecheek Shark
Cucut lanjaman
29 Carcharhinus longimanus 30 Carcharhinus macloti
Oceanic Whitetip Shark Hardnose Shark
Hiu koboy Mungsing
31 32 33 34 35
Blacktip Reef Shark Dusky Shark Sandbar Shark Blackspot Shark Spot-tail Shark
Hiu karang,Hiu mada Hiu merak bulu Hiu merak bulu Cucut lanjaman Mungsing Hiu merak bulu Hiu macan VU
38 Prionace glauca
Tiger Shark Sharptooth Lemon Shark Blue Shark
DD NT in South West Indian Ocean EN NT VU in North west Atlantic NT LC in Australia NT NT LC in Australia NT NT NT NT DD NT in South East Asia NT EN in South East Asia NT
39 Triaenodon obesus
Whitetip Reef Shark
SPHYRNIDAE 40 Eusphyra blochii
Winghead Shark
Hiu martil
41 Sphyrna lewini
Scalloped Hammerhead
42 Sphyrna zygaena
Smooth Hammerhead
Hiu martil, Hiu caping Hiu martil, Hiu caping
Carcharhinus melanopterus Carcharhinus obscurus Carcharhinus plumbeus Carcharhinus sealei Carcharhinus sorrah
36 Galeocerdo cuvier 37 Negaprion acutidens
Sumber : Red list IUCN 2003
Oseana, Volume XXX no. 1, 2005
8
Hiu selendang, Hiu biru Hiu karet Hiu karang Hiu coklat
NT
NT LC in Australia NT LC in Australia NT LC in Australia and New Zealand