STUDI AFTERRIPENING DAN TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI

Download Pematahan Dormansi Benih Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). ... periode afterripening dan dormansi serta mempelajari perlakuan beni...

0 downloads 355 Views 14MB Size
STUDI AFTERRIPENING DAN TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI BENIH BURU HOTONG (Setaria italica (L.) Beauv.)

LORETTA NAULI SIMANJUNTAK A24070039

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN

LORETTA NAULI SIMANJUNTAK. Studi Afterripening dan Teknik Pematahan Dormansi Benih Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). (Dibimbing oleh Eny Widajati dan Desta Wirnas) Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei - September 2011. Tujuan penelitian adalah mempelajari periode afterripening dan dormansi serta mempelajari perlakuan benih yang efektif dalam pematahan dormansi benih buru hotong. Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi (Split-plot) yang terdiri dari dua faktor, yaitu periode afterripening sebagai petak utama yang terdiri dari 11 taraf perlakuan yaitu periode afterripening 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19 Minggu Setelah Panen (MSP) dan metode pematahan dormansi sebagai anak petak terdiri dari tiga perlakuan yaitu kontrol (tanpa perlakuan pematahan dormansi), perendaman dalam larutan KNO3 0,2% selama 24 jam, dan perlakuan suhu 500C selama 48 jam. Tolok ukur yang diamati yaitu kadar air (KA), daya berkecambah (DB), potensi tumbuh maksimum (PTM), kecepatan tumbuh (KCT) dan indeks vigor (IV). Hasil percobaan menunjukkan bahwa benih buru hotong memiliki dormansi yang disebabkan oleh afterripening. Berdasarkan tolok ukur daya berkecambah periode afterripening yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya adalah 12 MSP. Interaksi antara periode afterripening dan metode pematahan dormansi berpengaruh terhadap tolok ukur KCT dan IV. Berdasarkan tolok ukur KCT maka pematahan dormansi yang paling efektif adalah perlakuan suhu 50°C selama 48 jam.

STUDI AFTERRIPENING DAN TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI BENIH BURU HOTONG (Setaria italica (L.) Beauv.)

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

LORETTA NAULI SIMANJUNTAK A24070039

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Judul : STUDI

AFTERRIPENING

DAN

TEKNIK

PEMATAHAN DORMANSI BENIH BURU HOTONG (Setaria italica (L.) Beauv.) Nama : LORETTA NAULI SIMANJUNTAK NIM

: A24070039

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. Eny Widajati, MS. NIP. 19610106 198503 2 002

Dr. Desta Wirnas, SP, MSi NIP. 19701228 200003 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr. NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 28 Desember 1988. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari Pdt. D. Simanjuntak dan ibu M. Sinaga. Tahun 2001 penulis lulus dari SD Katolik Budi Murni 7 Medan, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTPN 1 HutabayuRaja, Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar dan penulis lulus dari SMA Santa Maria Tarutung, Tapanuli Utara tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI sebagai mahasiswi Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Tahun 2007 hingga 2011 penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB di dalam Komisi Pelayanan Anak. Tahun 2009 hingga 2010 penulis menjadi salah satu anggota divisi Pemasaran dan Publikasi Koperasi Agronomi dan Hortikultura dan penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan acara IPB. Tahun 2010 penulis menjadi asisten mata kuliah Agama Kristen Protestan dan menjadi panitia reatret angkatan 47 PMK IPB. Tahun yang sama penulis menjadi anggota divisi Medis Fieldtrip Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB angkatan 44 dan pada tahun 2009 penulis menjadi anggota divisi kerohanian Organisasi Mahasiswa Tarutung.

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan kesempatan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Mei sampai September dengan judul ‘Studi Afterripening dan Teknik Pematahan Dormansi Benih Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.)’. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yag sebesarbesarnya kepada: 1. Dosen pembimbing skripsi Dr. Ir. Eny Widajati, MS dan Dr. Desta Wirnas, SP, MSi atas ketekunan dan kesabaran dalam membimbing penulis selama ini. 2. Dr. Ir. Rahmad Suhartanto, MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis. 3. Kedua orangtua penulis, Pdt. D. Simanjuntak dan Ibu M. Sinaga, abang (Torang) dan adik – adik (Janry, Pandi, Esteti) yang telah memberikan dukungannya baik moril maupun materi. 4. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Agronomi dan Hortikultura yang telah membimbing, mengajari, membantu dan memberi motivasi kepada penulis. 5. Staf Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB, Mbak Nova dan Bi Aci, serta teman – teman (Lilis, Evi, Cutrisni, Nazima, Feni, Melly) yang telah memberi arahan, dukungan dan bantuan kepada penulis selama penelitian. 6. Merry, Sri Mei, Afryan dan seluruh teman – teman AGH 44 yang telah berbagi suka dan duka selama ini. Seluruh teman – teman Wisma Jenius (Dewi, Mettha, Kade, Christa, Lenny, Christin, Lamtiur, Sefry, Elyzabeth, Debora, Novy, Vina, Novelin, dan Lisa), KPA, Kelompok Kecil, dan Elohay Mauzi yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis. Semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Januari 2012 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... .

i

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ .

ii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. .

iii

PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Hipotesis ..............................................................................................

1 1 3 3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ Botani Tanaman buru Hotong .............................................................. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Hotong.................................................................................................. Dormansi Benih dan Pematahan Dormansi ......................................... Afterripening ........................................................................................ Viabilitas Benih ...................................................................................

4 4

BAHAN DAN METODE .......................................................................... Tempat dan Waktu ............................................................................... Bahan dan Alat ..................................................................................... Metode Percobaan ................................................................................ Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... Pengamatan ..........................................................................................

14 14 14 14 16 19

HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................

20

KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................

31

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

32

LAMPIRAN ..............................................................................................

36

5 7 10 11

DAFTAR TABEL Nomor

Halaman

1. Kandungan Gizi Buru Hotong dibandingkan Beras .........................

7

2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening (P), Metode Pematahan Dormansi (D) dan Interaksinya (PxD) terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Buru Hotong ...............

23

3. Pengaruh Periode Afterripening terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Buru Hotong ..................................................................

24

4. Pengaruh Metode Pematahan Dormansi terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Buru Hotong ................................

26

5. Interaksi Antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi Terhadap Kecepatan Tumbuh (%KN/etmal) pada Buru Hotong .....................................................................................

28

6. Interaksi Antara Periode Afterrripening dan Metode Pematahan Dormansi Terhadap Indeks Vigor (%) pada Buru Hotong ...............

30

DAFTAR GAMBAR Nomor

Halaman

1. Tanaman Buru Hotong dan Biji Buru Hotong ................................

5

2. Diagram Alur Pelaksanaan Penelitian .............................................

17

3. Kecambah Normal dan Kecambah Abnormal .................................

17

4. Pola Pewarnaan Tetrazolium untuk Benih Buru Hotong yang Viabel ..............................................................................................

18

5. Biji Buru Hotong dengan Perbesaran Mikroskop 2 x 10 ................

20

6. Kadar Air Benih Buru Hotong selama Afterripening 9 – 19 MSP .................................................................................................

21

DAFTAR LAMPIRAN Nomor

Halaman

1. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Daya Berkecambah ..........

37

2. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh ..........

37

3. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Indeks Vigor ....................

37

4. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Potensi Tumbuh Maksimum .......................................................................................

37

5. Benih Buru Hotong dan Metode Uji UKDdp ...................................

38

6. Metode kertas dilipat dan Metode UDK ..........................................

38

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial, sudah sewajarnya harus mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya terutama dalam hal pemenuhan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral melalui pengembangan sumber daya lokal. Salah satu produk pertanian lokal yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah buru hotong. Buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.) yaitu tanaman sejenis alangalang yang berasal dari Pulau Buru, Maluku dan tanaman ini juga merupakan satu famili dengan padi. Tanaman ini menghasilkan biji yang dapat digunakan sebagai pangan alternatif pengganti beras yang sangat potensial karena tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman tersebut ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di Pulau Buru (Maluku), sehingga diberi nama buru hotong (Herodian et al., 2008). Hasil penelitian Hasbullah et al. (2003) menunjukkan bahwa buru hotong memiliki kandungan protein sekitar 11,2% dan lemak sekitar 2,4%, sedangkan beras memiliki kandungan protein sekitar 4-5% dan lemak 1-2%, yang berarti kandungan protein dan lemak buru hotong lebih tinggi dibandingkan kandungan protein dan lemak yang ada pada beras. Buru hotong memiliki kandungan karbohidrat sekitar 73% hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras sekitar 70-80%. Berdasarkan hal ini, diharapkan buru hotong dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat nonberas dengan tetap memperoleh protein dan lemak untuk mendukung upaya diversifikasi pangan. Dalam peningkatan produksi dan pemenuhan kebutuhan buru hotong yang berkelanjutan, perlu diperhatikan beberapa faktor utama yang terkait dalam budidayanya, salah satunya adalah ketersediaan benih yang bermutu tinggi. Dalam pengusahaan benih tanaman seringkali menghadapi suatu kendala, antara lain adalah benih yang bersifat dorman. Benih dorman adalah benih yang mengalami istirahat total, benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena tumbuh walaupun dalam keadaan media tumbuh optimum (Sadjad , 1994). Hampir semua kelompok

2

tanaman termasuk keluarga rerumputan, serealia, legume berbiji kecil dan besar termasuk kacang tanah, timun, sayuran, bunga serta gulma akan mengalami dormansi ketika baru dipanen (Justice dan Bass, 1994). Dormansi benih merupakan suatu kondisi dimana benih hidup tidak dapat berkecambah meskipun telah dikecambahkan pada kondisi lingkungan yang optimum (Bewley, 1997). Dormansi benih dapat mempertahankan benih dari kepunahan serta meningkatkan daya simpan benih. Benih buru hotong mempunyai masa dormansi. Pada umumnya benih buru hotong yang baru dipanen tidak dapat langsung berkecambah meskipun telah ditanam pada kondisi lingkungan yang optimum. Benih- benih tersebut dapat berkecambah setelah disimpan pada jangka waktu tertentu atau dengan kata lain benih tersebut memerlukan jangka waktu afterripening untuk mematahkan dormansinya secara alami. Lama periode afterripening setiap benih berbeda- beda tergantung jenis dan varietasnya. Untuk benih buru hotong sendiri lama penyimpanan kering yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya secara alami (periode afterripening) sekitar 3- 6 bulan pada suhu kamar (Ellis et al., 1985). Terdapat 2 metode pematahan dormansi yaitu fisiologis dan fisik. Cara fisiologis terdiri atas (1) penyimpanan kering (afterripening), (2) stratifikasi: suhu rendah dan suhu tinggi, (3) kimia, dan (4) suhu berganti. Cara fisik terdiri atas (1) skarifikasi:

mekanik dan kimia, (2) pencucian/perendaman benih, dan (3)

puncturing atau penusukan (Widajati et al., 2008). Dalam penelitian ini cara yang digunakan yaitu cara fisiologis dengan stratifikasi suhu tinggi dan menggunakan bahan kimia. Suhu tinggi yang digunakan adalah 50°C dan bahan kimia yang digunakan KNO3 0,2%. Penelitian tentang dormansi benih khususnya benih hotong dan metode pematahannya sangat diperlukan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Hasil penelitian ini akan dapat memberikan informasi atau rekomendasi terhadap metode yang efektif untuk pematahan dormansi pada benih yang baru dipanen maupun yang sudah disimpan.

3

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari periode afterripening dan dormansi serta mempelajari perlakuan benih yang efektif dalam pematahan dormansi benih buru hotong.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1. Buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv. yang berasal dari pulau Buru diduga memiliki dormansi. 2. Terdapat perlakuan metode pematahan dormansi benih yang tepat. 3. Terdapat interaksi antara periode afterripening dan perlakuan pematahan dormansi benih buru hotong.

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Buru hotong Buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan sejenis tanaman pangan yang dimanfaatkan masyarakat pulau Buru, Maluku. Tanaman buru hotong merupakan sejenis padi atau alang- alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik di lahan- lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Hingga kini tanaman tersebut ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di pulau Buru (Maluku). Budidaya tanaman buru hotong tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sebagaimana tanaman padi, sehingga memungkinkan untuk dapat ditanam hampir pada semua tempat dengan cara menaburkan biji (Herodian et al., 2008). Tanaman buru hotong merupakan tanaman semusim. Umur panen tanaman ini 75 – 90 hari setelah tanam, tergantung jenis tanah dan lingkungan tempat budidayanya. Waktu penanaman terbaik pada bulan Juli hingga pertengahan Agustus di daerah beriklim tropis misalnya di wilayah India bagian selatan (Krishiworld, 2005). Menurut Dassanayake (1994), jenis- jenis buru hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L.) Beauv., Setaria italica (Var.) Metzgeri, dan Setaria italica (Var.) Stramiofructa. Hirarki taksonomi tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) selengkapnya adalah sebagai berikut: Kingdom

: Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Division

: Magnoliophyta (Angiospermae)

Class

: Liliopsida

Subclass

: Commelinidae

Ordo

: Cyperales

Family

: Poaceae (Gramineae)

Genus

: Setaria Beauv.

Species

: Setaria italica (L.) Beauv.

5

Tanaman hotong merupakan tanaman semusim yang biasanya tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi tanaman 60-150 cm, batang tanaman tidak berkayu dan daun berbentuk seperti pita serta mempunyai ligula yang panjangnya 1-3 mm. Panjang malai buru hotong rata- rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memilki berat rata- rata 5.7 g per malai. Biji buru hotong memilki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm (Dassanayake, 1994). Gambar tanaman dan biji buru hotong dapat dilihat pada Gambar 1.

(a)

(b)

Gambar 1. Tanaman Buru Hotong (a) dan Biji Buru Hotong (b)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Hotong Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman buru hotong diantaranya adalah tanah, varietas tanaman, iklim, dan tindakan budidaya. Setiap tanaman menghendaki kondisi tanah yang berbeda- beda sebagai tempat hidup yang optimum. Pada budidaya tanaman graminae pengolahan tanah yang intensif dengan pencacahan tanah akan sangat menguntungkan dari segi kemampuan perkembangan akar dan penghambatan pertumbuhan gulma. Tanaman buru hotong tidak memerlukan tanah khusus untuk tumbuh, namun perlu dilakukan perlakuan- perlakuan terhadap jenis tanah tertentu (Baker, 2003). Menurut Baker (2003) dan Krishiworld (2005), tanaman buru hotong dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan yang tidak terlalu besar. Swarbrick (1997) menyatakan bahwa secara umum, tanaman buru hotong tumbuh baik pada lahan tadah hujan sampai kering, karena tanaman ini relatif sedikit membutuhkan air.

6

Krishiworld (2005) melaporkan bahwa di India, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah alluvial, bahkan pada tanah liat. Tanah dengan liat yang tinggi harus mendapatkan pengolahan tanah yang baik agar dapat mendukung perakaran dan meningkatkan perkolasi air tanah karena tanaman buru hotong memerlukan drainase yang baik. Tanaman buru hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanaman ini bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik. Tanaman buru hotong membutuhkan suhu tinggi untuk pertumbuhan dan perkecambahannya. Temperatur optimum untuk perkecambahan tanaman ini adalah rata- rata 200C- 300C. Tanaman ini merupakan tanaman yang sangat efisien dalam penggunaan air dan baik ditanam pada awal musim hujan agar tidak terjadi kekeringan pada waktu perkecambahan (Oelke et. a.l., 1990). Tanaman buru hotong merupakan tanaman multiguna yaitu batang dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan bijinya untuk bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan sedangkan limbahnya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos. Biji hotong dapat digunakan sebagai pengganti beras. Rasa nasi biji hotong tidak berbeda jauh dengan rasa nasi beras, hanya saja teksturnya agak liat dibandingkan dengan nasi beras (Hasbullah et.al, dalam Nurshanti, 2008). Produktivitas buru hotong di Pulau Buru, Maluku bisa mencapai 800 kg/ha yang ditanam dengan cara tanam langsung namun hasil penelitian Nurshanti (2008) menunjukkan produktivitas buru hotong lebih rendah yaitu (1) 194,05 kg/ha untuk kombinasi perlakuan umur bibit 4 MSS dengan jarak tanam 25 cm x 10 cm, (2) 204,99 kg/ha untuk kombinasi bibit yang berumur 5 MSS dengan jarak tanam 15 cm x 10 cm, dan (3) kombinasi perlakuan umur bibit 5 MSS dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm. Hasil penelitian Hasbullah et al. (2003) menunjukkan bahwa buru hotong memiliki kandungan protein sekitar 11,2% dan lemak sekitar 2,4%, sedangkan beras memilki kandungan protein sekitar 4-5% dan lemak 1-2%, yang berarti kandungan protein dan lemak buru hotong lebih tinggi dibandingkan kandungan protein dan lemak yang ada pada beras. Dilihat dari kandungan karbohidratnya,

7

kandungan karbohidrat buru hotong sekitar 73% hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras sekitar 70-80% (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan Gizi Buru Hotong dibandingkan Beras Komponen Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%)

Hotong (a) 73 11.2 2.4 1.3

Beras (b) 70- 80 4.0- 5.0 1.0- 2.0 8.0- 15.0 2.0- 5.0

(a) Hasil Analisa dari Laboratorium IPB (b) www.republika.co.id

Dormansi Benih dan Pematahan Dormansi Dormansi benih adalah suatu keadaan benih dimana benih tidak mampu berkecambah walaupun faktor – faktor perkecambahan (air, suhu, komposisis gas dan cahaya) berada dalam keadaan optimum (Mayer dan Mayber, 1982). Hampir semua kelompok tanaman termasuk keluarga rerumputan, serealia, legum berbiji kecil dan besar termasuk kacang tanah, timun, sayuran, bunga serta gulma akan mengalami dormansi ketika baru dipanen (Justice dan Bass, 1990). Benih dorman dan mati dapat dibedakan melalui proses perkecambahan yaitu jika benih tidak mengalami imbibisi, berarti benih dorman. Hal ini ditandai dengan volume benih yang tidak berubah sampai akhir proses perkecambahan atau dengan kata lain benih tetap keras, tetapi jika setelah periode perkecambahan berakhir dan benih tetap tidak mau tumbuh (meskipun benih telah mengalami imbibisi) berarti benih telah mengalami deteriorasi lanjut atau mati. Gejala ini ditandai dengan volume benih bertambah dan bila dipegang lunak bahkan terkadang ditumbuhi cendawan (Saenong et al., 1989). Menurut Copeland dan McDonald (1985) dormansi benih dibedakan dalam dua tipe yaitu dormansi primer dan dormansi sekunder. Dormansi primer disebabkan oleh adanya faktor fisik dan fisiologis. Faktor fisik disebabkan oleh bagian yang mengelilingi benih termasuk kulit benih yang tebal, adanya inhibitor dan impermeabilitas kulit benih terhadap air atau gas. Faktor fisiologis disebabkan oleh penghambatan dari dalam benih itu sendiri, seperti pembentukan embrio

8

yang belum sempurna, keseimbangan hormonal, dan metabolic block pada kotiledon. Dormansi sekunder adalah dormansi yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya salah satu faktor yang mempengaruhi perkecambahan, seperti air, gas (O2), suhu dan cahaya akibat perlakuan tertentu. Bagi benih yang memilki sifat dorman perlu diketahui cara yang tepat untuk mematahkannya supaya pertumbuhan yang cepat dan seragam dapat dicapai. Pengetahuan mengenai penyebab dormansi benih sangat diperlukan untuk menentukan perlakuan pematahan dormansi. Pemberian perlakuan pada benih akan sangat mempengaruhi daya berkecambah dan daya tumbuh benih dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Terdapat 2 metode pematahan dormansi yaitu fisiologis dan fisik. Cara fisiologis terdiri atas (1) penyimpanan kering (afterripening), (2) stratifikasi: suhu rendah dan suhu tinggi, (3) kimia, dan (4) suhu berganti. Cara fisik terdiri atas (1) skarifikasi:

mekanik dan kimia, (2) pencucian/perendaman benih, dan (3)

puncturing atau penusukan (Widajati et al., 2008). Cara pematahan dormansi secara fisiologis yaitu perlakuan dengan suhu tinggi sehingga mengakibatkan keseimbangan antara inhibitor dan promotor. Muchtar dalam Rosmawati (2003) melaporkan bahwa afterripening pada padi sawah varietas Srikuning dan Bahbutong cukup efektif dengan memberikan suhu tinggi (39-410C) dengan kelembaban relatif sedang (65- 85 %), dan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah (52- 60%) dapat mempercepat after ripeningnya dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Metode pemanasan pada suhu 500C selama dua hari efektif mematahkan dormansi benih varietas Banyuasin, Maros, Muncul, Cipunegara, Towuti, dan Cilosari. Pemanasan benih pada suhu 500C salama lima hari efektif mematahkan dormansi benih hampir semua genotipe kecuali Way Arem, Digul, S3254-2g, Cimanuk dan S4325d-1-2-3-1 (Nugraha dan Soejadi, 2001). Hal ini diduga karena asam lemak jenuh berantai pendek yang menyebabkan dormansi pada benih larut selama pemanasan (IRRI 1987). Perlakuan dengan menggunakan suhu tinggi untuk pematahan dormansi cukup efektif, karena perlakuan suhu tinggi dapat mempercepat tejadinya keseimbangan antara inhibitor dan promotor (Muchtar 1987).

9

Kalium Nitrat (KNO3) merupakan bahan kimia yang umum dipergunakan dalam merangsang perkecambahan benih. Menurut Mayer dan Mayber (1982), larutan KNO3 dapat merangsang perkecambahan benih yang mengalami dormansi seperti benih Lepidium viginicum, Eragrotis curvula, Polypogon mospelliensis, Agrotis sp., dan Shorgum helepense. KNO3 mampu mematahkan dormansi dan respon benih tergantung pada konsentrasi yang digunakan. Larutan KNO3 tersebut berinteraksi dengan suhu dalam menstimulir perkecambahan benih. Byrd (1983) mengatakan bahwa perendaman dan pencucian dengan air serta dengan perlakuan beberapa bahan kimia dapat mematahkan dormansi pada benih

yang

permukaannya mengandung inhibitor. Menurut Bewley dan Black (1985), pematahan dormansi dengan KNO3 diduga berhubungan dengan aktivitas lintasan pentosa fosfat, ketersediaan O2 terbatas mengakibatkan lintasannya non aktif karena digunakan untuk aktivitas respirasi melalui lintasan lain. Perlakuan benih dengan akseptor hidrogen seperti nitrit, nitrat dan methyleneblue diduga dapat membantu proses reoksidasi NADPH sehingga mengaktifkan kembali lintasan pentosa posfat. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Diarni dalam Rosmawati (2003) bahwa perlakuan perendaman dalam larutan KNO3 selama 48 jam merupakan pematahan dormansi yang paling efektif pada benih padi gogo Varietas Kalimutu, Way Rarem dan Gajah Mungkur pada 0 MSP sedangkan varietas Jatiluhur yang efektif menggunakan pemanasan pada suhu 50C selama 48 jam yang diikuti perendaman dalam air selama 24 jam pada 2 MSP. Menurut hasil penelitian Rosmawati (2003) perendaman dalam larutan KNO3 2% selama 48 jam dapat mematahkan dormansi padi varietas IR64 pada minggu ke-4. Pengaruh nitrat, nitrit, dan hidroksilamin terhadap perkecambahan benihbenih dorman telah mengawali sejumlah hipotesis tentang mekanisme dormansi, tetapi belum ada kesepakatan umum bagaimana mekanisme kerjanya. Hendricks dan Taylorson (1974) menyatakan bahwa benih- benih yang mempunyai daya berkecambah yang rendah pada suhu konstan mengalami peningkatan setelah dikecambahkan dengan substrat yang mengandung ion nitrat atau nitrit. Penelitian Hendricks dan Taylorson (1974) terhadap aktivitas enzim katalase pada benih Lactuca sativa dan Amaranthus allus setelah perlakuan

10

dengan nitrat menunjukkan bahwa nitrat dalam perkecambahan benih bertindak setelah tereduksi menjadi nitrit atau hidroksilamin. Nitrat dalam perkecambahan benih berfungsi sebagai akseptor hydrogen yang membantu proses reaksi oksidasi NADPH. Nitrat dalam bentuk nitrit dan hidroksilamin tersebut diduga merangsang

perkecambahan

dengan

cara

menghambat

enzim

katalase.

Penghambatan tersebut menyebabkan oksigen tetap tersedia dalam bentuk H2O2 untuk aktivitas peroksidase yang terlibat dalam sistem enzim reaksi oksidasi NADPH. Hasil reaksi ini adalah mengaktifkan kembali lintasan pentosa fosfat sehingga proses perkecambahan benih dapat terjadi. Tujuan pematahan dormansi adalah mendorong proses pematangan embrio, pengaktifan enzim dalam embrio, dan peningkatan dalam permeabilitas kulit benih yang memungkinkan masuknya air dan gas- gas yang diperlukan dalam perkecambahan.

Afterripening Afterripening merupakan setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih selama penyimpanan yang mengubah benih menjadi mampu berkecambah. Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari hanya beberapa hari sampai dengan beberapa tahun tergantung jenis benih (Sutopo 2002). Kemampuan afterripening tergantung pada kondisi lingkungan seperti kelembaban, suhu, dan oksigen. Proses afterripening memerlukan kadar air minimum, jika benih terlalu kering (contohnya KA 5%) proses afterripening menjadi tertunda. Afterripening juga tertunda apabila kadar oksigen rendah dan dipercepat ketika kadar oksigennya tinggi (Bewley dan Black, 1985). Benih padi yang baru dipanen pada umumnya mengalami dormansi walaupun embrio telah terbentuk sempurna dan kondisi lingkungan yang mendukung

untuk

terjadinya

perkecambahan.

Dormansi

tersebut

dapat

dipecahkan jika benih mengalami penyimpanan kering, yang disebut afterripening (Sutopo, 2002). Periode afterripening yaitu lamanya penyimpanan kering sampai benih dapat memecahkan dormansinya secara alami. Menurut Copeland dan McDonald (2001), pada beberapa benih serealia penyimpanan pada suhu 200C selama 1- 2

11

bulan dapat menghasilkan perkecambahan yang maksimum. Selain itu suhu mempengaruhi respon terhadap perkecambahan benih tipe ini. Untuk benih buru hotong sendiri lama penyimpanan kering yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya secara alami (periode afterripening) sekitar 3- 6 bulan pada suhu kamar (Ellis et al., 1985). Periode afterripening padi berbeda pada setiap spesies dan varietas tanaman. Perbedaan tersebut mencerminkan adanya keragaman genetik sifat dormansi dari setiap spesies dan varietas tanaman tersebut. Pada kelompok padi gogo, varietas Sentani memilki periode afterripening selama 2 minggu, varietas Arias memilki periode afterripening selama 4 minggu, varietas Way Rarem selama 5 minggu, varietas Tondano, Singkarak, Danau Tempe, dan Danau Atas selama 6 minggu, varietas Klemas dan Batur selama 7 minggu sedangkan varietas Dodokan selama 8 minggu (Santika, 2006).

Viabilitas Benih Viabilitas benih merupakan fokus dari ilmu benih. Kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum adalah Viabilitas Potensial, sedangkan kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum disebut Vigor. Viabilitas Potensial dan Vigor adalah parameter viabilitas benih (Widajati et al., 2008). Berbagai jenis metode pengujian viabilitas benih antara lain: uji daya berkecambah (DB), uji tetrazolium (TZ), uji konduktivitas listrik, uji pembelahan embrio, berat kering kecambah normal, uji potensi tumbuh dan lain sebagainya. Dunia penelitian sering menggunakan berbagai metode tersebut, tetapi di dunia perdagangan internasional terdapat regulasi yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan melalui organisasi ISTA dimana pengujian viabilitas dilakukan dengan metode uji DB, uji TZ, dan uji sinar X (Copeland dan McDonald, 1995). Kombinasi metode pengujian dan indikasi serta tolok ukur yang sering digunakan adalah metode langsung dan indikasi langsung dengan menggunakan tolok ukur daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum, kekuatan tumbuh dan kecepatan tumbuh benih. Menurut definisi ISTA (2004), yang dimaksud dengan daya berkecambah di dalam pengujian laboratorium adalah muncul dan

12

berkembangnya kecambah sampai suatu tahap dimana struktur esensialnya mengindikasikan dapat tidaknya berkembang lebih lanjut menjadi tanaman yang memuaskan pada kondisi tanah yang sesuai. Pada kenyataannya kondisi pertanaman di lapang lebih sering tidak se-optimum kondisi di laboratorium, sehingga lot benih yang mempunyai persentase daya berkecambah tinggi dapat memilki nilai pemunculan kecambah (field emergence) yang rendah di lapang. Pada pengujian daya berkecambah benih Setaria Italica dilakukan evaluasi terhadap masing – masing benih. Pengamatan pertama dilakukan pada hari keempat dan pengamatan terakhir dilakukan pada hari kesepuluh. Evaluasi kecambah dilaksanakan terhadap kecambah yang tumbuh dengan kondisi optimum di laboratorium (ISTA, 2007). Perkecambahan benih padi berlangsung pada suhu minimum 100C – 120C, suhu optimum 300C – 370C dan suhu maksimum 400C- 420C. Pengaruh suhu terhadap perkecambahan benih tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan faktor- faktor lainnya baik dalm benihnya sendiri maupun dengan lingkungannya. Vigor merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum (Sadjad, 1993). Vigor dipisahkan antara vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda sedang vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama. Vigor fisiologi dapat dilihat antara lain dari indikasi tumbuh akar dari plumula atau koleptilnya, ketahanan terhadap serangan penyakit dan warna kotiledon dalam efeknya terhadap Tetrazolium Test (Kartasapoetra,1986). Menurut ISTA (2004) vigor merupakan sekumpulan sifat yang dimilki benih yang menentukan tingkat potensi aktivitas dan performa benih atau lot benih selama perkecambahan dan munculnya kecambah. Performa tersebut adalah (1) proses dan reaksi biokimia selama perkecambahan seperti reaksi enzim dan aktivitas respirasi, (2) rata- rata dan keseragaman perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah, (3) rata- rata dan keseragaman munculnya kecambah dan pertumbuhannya di lapang dan (4) kemampuan munculnya kecambah pada kondisi lingkungan yang unfavorable (Copeland dan McDonald 1995). Secara

13

umum vigor diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang suboptimal. Pengujian vigor dilakukan dengan mengukur performa tersebut. Dalam AOSA (2001) disebutkan bahwa vigor adalah suatu indikator yang dapat menunjukkan bagaimana benih tumbuh pada kondisi lapang yang bervariasi. Vigor merupakan gabungan antara umur benih, ketahanan, kekuatan dan kesehatan benih yang diukur melalui kondisi fisiologisnya, yaitu pengujian stress atau melalui analisis biokimia. Dengan demikian pengujian vigor benih dapat memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan pengujian DB, yang bermanfaat untuk melihat potensi daya simpan, estimasi nilai penanaman atau performa pertumbuhan benih di lapang. Pada hakekatnya vigor benih harus relevan dengan tingkat produksi, artinya dari benih yang bervigor tinggi akan dapat dicapai tingkat produksi yang tinggi. Vigor benih yang tinggi dicirikan antara lain tahan disimpan lama, tahan terhadap serangan hama penyakit, cepat dan merata tumbuhnya serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang normal dan berproduksi baik dalam keadaan lingkungan tumbuh yang sub optimal. Rendahnya vigor pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor genetis, fisiologis, morfologis, sitologis, mekanis dan mikrobia (Sutopo, 2004).

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Darmaga pada bulan Mei - September 2011.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu benih buru hotong lokal yang berasal dari pulau Buru kemudian dibudidayakan di kebun percobaan IPB, Leuwikopo dan dipanen pada tanggal 6 April 2011. Bahan kimia untuk pematahan dormansi yaitu KNO3 0,2%. Bahan penunjang lainnya yaitu kertas merang sebagai media perkecambahan, aquades, plastik, label dan tissue. Alat – alat yang digunakan adalah oven elektrik, gelas, timbangan analitik, alat pengepres kertas merang IPB 75-1, alat pengecambah benih (germinator) APB tipe IPB 72-1, dan peralatan pengukuran kadar air (oven, cawan, dan desikator).

Metode Percobaan Percobaan disusun dengan Rancangan Petak Terbagi (Split- Plot) dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah periode afterripening (Minggu Setelah Panen) sebagai petak utama yang terdiri dari 11 taraf perlakuan yaitu 1. Periode afterripening 9 MSP

7. Periode afterripening 15 MSP

2. Periode afterripening 10 MSP

8. Periode afterripening 16 MSP

3. Periode afterripening 11 MSP

9. Periode afterripening 17 MSP

4. Periode afterripening 12 MSP

10. Periode afterripening 18 MSP

5. Periode afterripening 13 MSP

11. Periode afterripening 19 MSP

6. Periode afterripening 14 MSP

15

Awal penyimpanan dimulai pada 9 MSP. Faktor kedua adalah perlakuan metode pematahan dormansi sebagai anak petak yang terdiri dari tiga perlakuan: 1. Kontrol (tanpa perlakuan pematahan dormansi) 2. Perendaman dalam larutan KNO3 0,2% selama 24 jam 3. Perlakuan suhu 500C selama 48 jam. Percobaan diulang sebanyak tiga kali dan untuk gulungan KCT dipisah sehingga kombinasi perlakuan yang dihasilkan untuk setiap benih hotong yang digunakan adalah 11 x 6 x 3 kombinasi perlakuan. Benih yang digunakan untuk setiap ulangan adalah 50 butir benih. Metode penanaman benih pada kertas merang menggunakan Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik (UKDdp). Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij =

+ Pi +

ij +

Dj + (PD)ij + ij

Keterangan: Yij

= nilai pengamatan (respons) pada faktor periode afterripening ke –i dan faktor perlakuan metode pematahan dormansi ke- j = rataan umum/ nilai tengah hasil pengamatan

Pi ij

= pengaruh faktor periode afterripening = pengaruh galat yang muncul dari faktor periode afterripening ke-i sering disebut galat petak utama (galat a).

Dj

= pengaruh faktor pematahan dormansi ke –j

(PD)ij = pengaruh interaksi faktor periode afterripening ke –i dan faktor pematahan dormansi ke- j ij

= pengaruh galat percobaan pada faktor periode afterripening ke- i dan faktor pematahan dormansi ke- j, sering disebut galat anak petak (galat b). Data yang diperoleh diuji dengan analisis ragam dan apabila menunjukkan

pengaruh nyata maka dilanjutkan análisis uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez, 1995). Pengamatan yang dilakukan meliputi Kadar air, Daya Berkecambah (DB), Potensi Tumbuh Maksimum (PTM), dan Kecepatan Tumbuh benih (KCT) dan Indeks Vigor (IV).

16

Pelaksanaan Penelitian Diagram alur pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Tahap pra penelitian dilakukan untuk menentukan hari pengamatan I dan II uji daya berkecambah serta memilih metode uji yang tepat. Uji daya berkecambah dilakukan dengan menggunakan metode UKDdp, Uji Diatas Kertas (UDK), dan Uji kertas dilipat (Gambar Lampiran 1 dan 2). Benih buru hotong merupakan satu famili dengan padi sehingga penentuan kecambah normal buru hotong mengacu pada kecambah normal padi. Pada kecambah buru hotong tidak terdapat akar seminal. Kriteria kecambah normal untuk benih buru hotong yaitu memilki radikula dengan panjang 4- 5 cm, panjang plumula 0,5 – 1 cm, panjang mesokotil 5- 6 cm, akar primer, dan akar sekunder (Gambar 3). Metode UKDdp menghasilkan DB 29,5%, metode UDK menghasilkan DB 26,5%, dan metode kertas dilipat menghasilkan DB 23%. Berdasarkan hasil tersebut maka metode yang digunakan adalah UKDdp. Nilai DB yang dihasilkan rendah maka dilakukan pengujian Tetrazolium untuk memastikan apakah benih tersebut dorman atau telah mengalami kemunduran. Hasil uji Tetrazolium tersebut menunjukkan bahwa viabilitas benih tersebut masih tinggi yaitu 90% yang mengindikasikan bahwa benih tersebut mengalami dormansi. Gambar benih viabel berdasarkan uji Tetrazolium dapat dilihat pada Gambar 4. Tahap penelitian dimulai dengan melakukan penyortiran benih

yang

dilanjutkan dengan pengemasan ke dalam kantong plastik per periode afterripening selanjutnya disimpan pada ruang terbuka (kondisi suhu kamar) selama 3 bulan dan dilakukan pematahan dormansi setiap minggunya. Pada setiap periode afterripening, benih diberi perlakuan pematahan dormansi dengan pemberian suhu 500C selama 48 jam, perlakuan perendaman benih dalam larutan KNO3 0,2% selama 24 jam serta kontrol (tanpa perlakuan pematahan dormansi benih). Pengujian benih dilakukan setelah benih diberikan perlakuan pematahan dormansi. Pengecambahan benih dilakukan dengan metode UKDdp dalam alat APB tipe IPB 72-1.

17

Pra Penelitian

1. Menentukan metode pengujian yang tepat. 2. Menentukan hari penghitungan daya berkecambah (first count and final count) 3. Pengujian Tetrazolium

Penelitian

1. Sortasi benih dan pengemasan dalam kantong plastik per periode afterripening. 2. Disimpan pada ruang terbuka (kondisi suhu kamar). 3. Pematahan dormansi (Kontrol, KNO3, Suhu 500C) per periode afterripening.

Tolok ukur yang diamati adalah Kadar air, Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh, Indeks Vigor, dan Potensi Tumbuh Maksimum

Gambar 2. Diagram Alur Pelaksanaan Penelitian

. (a)

(b)

Gambar 3. (a) Kecambah Normal dan (b) Kecambah Abnormal

18

Gambar 4. Pola Pewarnaan Tetrazolium untuk Benih Buru Hotong yang Viabel

19

Pengamatan Peubah yang diamati pada benih hotong meliputi: 1. Kadar air dengan memakai metode langsung (metode oven suhu rendah) pada suhu 103±20C selama 17

1 jam dan ± 5 gr benih/ulangan yang

diukur setiap periode afterripening. Kadar air dihitung berdasarkan rumus: KA(%) =

x 100%

KA

= kadar air benih (%)

M1

= berat wadah(gram)

M2

= berat wadah + benih sebelum dioven (gram)

M3

= berat wadah + benih setelah dioven (gram)

2. Daya berkecambah yang meliputi kecambah normal pada pengamatan pertama yaitu hari ke 4. Kemudian kecambah abnormal, benih- benih yang tidak berkecambah (benih mati, benih keras, dan benih segar tidak tumbuh) pada pengamatan kedua yaitu pada hari ke 10. DB dihitung berdasarkan rumus: DB =

x 100%

3. Kecepatan tumbuh meliputi persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan yaitu pada hari ke 2 sampai hari ke 10 dengan rumus:

KCT = ∑ 4. Indeks vigor dihitung pada hari pertama pengamatan yaitu pada hari ke 4 yang meliputi kecambah normal dengan rumus: IV =

x 100%



5. Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) merupakan jumlah benih yang berkecambah normal dan abnormal sampai hari pengamatan terakhir (hari kesepuluh setelah pengecambahan) dengan rumus: PTM =



x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biji Buru Hotong Gambar biji buru hotong yang diperoleh dengan menggunakan Mikroskop Sterio tipe Carton pada perbesaran 2 x 10 diatas kertas millimeter blok menunjukkan panjang benih 1,7 mm dan lebar 1,5 mm. (Gambar 5). Hasil ini sesuai dengan Dassanayake (1994) yang menyatakan bahwa biji buru hotong memilki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm.

Gambar 5. Biji Buru Hotong dengan Perbesaran Mikroskop 2 x 10

Kadar Air Kadar air (KA) merupakan salah satu faktor penting dalam kelangsungan hidup benih. Benih golongan Gramineae merupakan benih ortodoks yang memerlukan KA rendah sebelum disimpan (Ellis et al., 1985). Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemunduran benih selama penyimpanan. Pada penelitian ini KA benih sebelum penyimpanan (9 MSP) sekitar 10,73%. Kadar air benih hotong mengalami fluktuasi selama periode afterripening dari 9 – 19 MSP, yaitu meningkat pada periode afterripening 10 MSP dan menurun secara drastis pada periode afterripening 11 MSP, namun selanjutnya konstan pada kisaran 11% sampai dengan 19 MSP (Gambar 6). Benih ortodoks yaitu benih yang mengalami desikasi secara alami pada pohon induknya, dengan kriteria benih masak secara fisiologis. Benih ortodoks

21

tahan terhadap pengeringan hingga mencapai kadar air 5%. Kelompok benih ortodoks umumnya dijumpai pada spesies- spesies tanaman setahun, dua tahunan dan benih- benih tanaman kehutanan yang dibudidayakan dengan ukuran benih yang kecil.

12.00%

Kadar Air (%)

11.50% 11.00% 10.50% 10.00% 9.50% 9.00% 9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Periode Afterripening (MSP) Gambar 6. Kadar Air Benih Buru Hotong selama Afterripening 9 – 19 MSP Benih hotong termasuk benih ortodoks karena ukuran benih kecil, tahan terhadap pengeringan hingga kadar air 10,86% pada suhu 103±2ºC selama 17±1 jam, kemudian Ellis et al. (1985) juga menyatakan bahwa benih golongan Gramineae merupakan benih ortodoks, yang termasuk di dalamnya adalah benih buru hotong. Secara alami benih tetap melakukan respirasi yang merupakan satusatunya proses fisiologis yang masih berjalan walaupun dalam keadaan disimpan dalam suatu wadah. Menurut Sutopo (2004) respirasi dalam benih sangat dipengaruhi oleh kadar air benih, pada kadar air yang masih tinggi (>8%), respirasi berjalan cepat dan juga memperbesar peluang terjadinya cendawan. Hal ini tidak menguntungkan bagi benih karena dapat menurunkan daya berkecambah benih. Biasanya respirasi yang terjadi pada benih merupakan fungsi dari suhu dan kadar air benih. Peningkatan respirasi akan menyebabkan penurunan cadangan karbohidrat sehingga kemampuan perkecambahan benih cepat menurun. Respirasi menyebabkan terbentuknya air dan CO2 yang menyebabkan kelembaban di sekitar

22

benih meningkat dan suhu bertambah sehingga memacu pertumbuhan jamur dan cendawan. Kadar air benih hotong yang diuji mengalami fluktuasi selama periode afterripening dari 0 – 10 minggu, yaitu meningkat pada periode afterripening 1 minggu dan menurun secara drastis pada periode afterripening 2 minggu, namun benih hotong tersebut tidak mengalami penurunan kadar air yang nyata setelah benih mengalami periode afterripening 10 minggu. Diduga hal tersebut terjadi karena pertama, benih merupakan benda higroskopis yang dapat menyerap dan melepaskan kelembaban (air) dari dan ke lingkungan sehingga terjadi suatu keseimbangan antara kadar air benih dengan kadar air keseimbangan (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Kedua, kadar air benih merupakan suatu fungsi dari kelembaban nisbi udara sekitarnya. Kelembaban nisbi merupakan suatu pernyataan mengenai jumlah uap air sesungguhnya yang ada di udara yang dihubungkan dengan jumlah seluruh uap air yang dapat dipegang oleh udara. Apabila temperatur meningkat, udara dapat memegang lebih banyak uap air, sehingga apabila udara panas tanpa mengubah kadar airnya maka persentase kelembaban nisbi akan menurun. Kadar air suatu benih tertentu bergantung pada kelembaban nisbi, sedangkan suhu memberikan pengaruh yang kecil. Apabila kelembaban nisbi udara sekeliling benih meningkat, maka kadar air benih akan meningkat (Byrd dalam Lensari 2009). Hasil sidik ragam pengaruh periode afterripening dan metode pematahan dormansi dapat dilihat pada Lampiran 1 – 4 dan rekapitulasinya pada Tabel 2. Berdasarkan hasil sidik ragam, faktor tunggal periode afterripening (P) dan faktor metode pematahan dormansi (D) menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap semua tolok ukur yaitu PTM, DB, KCT dan IV sedangkan interaksi antara periode afterripening dengan metode pematahan dormansi (PxD) berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur KCT dan IV.

23

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening (P), Metode Pematahan Dormansi (D) dan Interaksinya (PxD) terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Buru Hotong Perlakuan KK(%) P D PxD (P) (D) Daya Berkecambah ** ** tn 10 9.3 Potensi Tumbuh Maksimum ** ** tn 8.9 7.9 Kecepatan Tumbuh ** ** ** 8.5 9.8 Indeks Vigor ** ** ** 11.4 10.7 Keterangan: ** = sangat nyata pada α 1%, * = nyata pada α 5%, tn = tidak berpengaruh nyata Tolok Ukur

Pengaruh Periode Afterripening terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Benih Buru Hotong Daya berkecambah merupakan persentase benih yang tumbuh menjadi kecambah normal. Benih yang diuji memiliki DB awal 56,67%, namun dengan semakin

bertambahnya

waktu

periode

afterripening

terlihat

semakin

meningkatnya nilai DB yang mengindikasikan bahwa benih tersebut mengalami dormansi. Menurut Nugraha dan Soejadi (2001) benih dorman dari spesies tertentu seperti pada padi dinyatakan patah dormansinya apabila daya berkecambahnya 80 % atau lebih. Tanaman buru hotong merupakan satu famili dengan tanaman padi sehingga kriteria patah dormansi buru hotong jika telah mencapai DB 80%. Buru hotong patah dormansi pada periode afterripening antara 12 – 13 MSP karena daya berkecambah benih pada periode tersebut telah mencapai 80% (Tabel 3).

24

Tabel 3. Pengaruh Periode Afterripening terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Buru Hotong Periode Afterripening (MSP) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

DB (%)

PTM (%)

KCT (%KN/etmal)

IV (%)

56.7d 58.9d 72.9c 79.3abc 81.8ab 80.9ab 74.4bc 79.1abc 79.8abc 84.0a 86.2a

65.1e 68.2e 77.1d 84.7bc 84.7bc 81.8cd 80.0cd 82.0cd 81.1cd 94.4a 89.3ab

17.4fg 16.6g 19.3ef 21.7bcd 21.4cd 20.4de 20.5de 23.1ab 23.6ab 21.1cde 23.9a

47.1c 50.2c 59.6b 72.2a 76.0a 73.8a 68.2a 70.0a 73.8a 74.2a 74.2a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) merupakan jumlah persentase kecambah normal ditambah dengan jumlah persentase kecambah abnormal. Berdasarkan Tabel 3, nilai PTM meningkat setelah benih mengalami periode afterripening. Peningkatan PTM berbanding lurus dengan lamanya periode afterripening dan pada benih ini PTM meningkat secara nyata mulai periode afterripening 11 MSP hingga periode afterripening 18 MSP. Tabel 3 juga menunjukkan nilai KCT dan IV meningkat secara nyata dengan semakin lamanya periode afterripening dimana peningkatan nilai KCT dan IV mulai terlihat pada periode afterripening 12 MSP. Periode afterripening yaitu lamanya penyimpanan kering sampai benih dapat

memecahkan

dormansinya

secara

alami.

Semakin

lama

periode

afterripening, tolok ukur Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada benih hotong semakin meningkat. Dalam hal ini periode afterripening yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya adalah 3 bulan yang dihitung dari saat panen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Copeland dan Mc Donald (2001) yang menyatakan bahwa selama periode afterripening, benih mengalami perubahan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh dan inhibitor di dalam benih sehingga mengakibatkan peningkatan viabilitas benih serta Copeland (1976) menambahkan bahwa

25

afterripening merupakan dampak dari perubahan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh dan inhibitor didalam benih. Perubahan itu dapat berupa peningkatan zat pengatur tumbuh atau hilangnya inhibitor benih. Mugnisjah (2007) juga menambahkan bahwa keperluan benih akan penyimpanan kering disebabkan oleh dormansi endogenus fisiologis, dimana dormansi tersebut berkaitan dengan konsentrasi ABA dan IAA yang tinggi, sementara Giberelin dan Sitokinin yang rendah. Ketidakseimbangan hormonhormon ini berperan dalam timbulnya dormansi benih karena embrionya mendapat halangan pasokan oksigen atau perlu penyimpanan kering, cahaya dan suhu dingin. Desai et al. (1997) menyatakan penghalang perkecambahan akan hilang secara lambat dari benih selama afterripening, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosmawati (2003) menunjukkan bahwa tingkat dormansi benih genotipe padi yang diamati semakin berkurang dengan semakin lamanya penyimpanan. Menurut Saenong et al. (1989) pada benih padi periode afterripening beragam dari 0 - 11 minggu. Semakin lama periode afterripening yang dibutuhkan, maka akan semakin lama benih siap untuk ditanam sehingga diperlukan cara - cara untuk mematahkan dormansi benih sekurang- kurangnya dapat mempersingkat masa dormansi tersebut.

Pengaruh Metode Pematahan Dormansi terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Benih Buru Hotong Berdasarkan tolok ukur DB, PTM dan IV pematahan dormansi yang paling baik adalah dengan perlakuan suhu 500C selama 48 jam karena perlakuan tersebut nyata meningkatkan nilai DB, PTM dan IV. Pada tolok ukur KCT pematahan dormansi yang paling baik adalah dengan perendaman KNO3 0,2% selama 24 jam dengan nilai KCT 22,1%KN/etmal (Tabel 4).

26

Tabel 4. Pengaruh Metode Pematahan Dormansi terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Buru Hotong Metode Pematahan Dormansi

DB(%)

Kontrol KNO3 0,2% 24 jam Suhu 500C 48 jam

78.5a 67.8b 81.2a

PTM(%) 82.7b 71.1c 88.5a

KCT(%KN/ etmal) 19.7b 22.1a 20.6b

IV(%) 66.0b 63.9b 71.8a

Keterangan : Angka- angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Daya berkecambah dan nilai perkecambahan benih merupakan parameter yang dapat menggambarkan status kemampuan perkecambahan benih, benih yang masih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alami tidak optimum atau suboptimum disebut benih yang memilki vigor yang baik (Sadjad et al., 1999). Dalam hal ini pengaruh metode pematahan dormansi antara kontrol dan perlakuan suhu 50°C 48 jam terhadap DB tidak berbeda nyata, namun nilai DB tertinggi dihasilkan oleh perlakuan suhu 50°C 48 jam. Hal ini sesuai dengan fungsi suhu yang dapat mengatur perkecambahan melalui 3 cara yaitu (1) menentukan kapasitas dan kecepatan perkecambahan, (2) mematahkan dormansi primer maupun sekunder dan (3) menginduksi dormansi sekunder (Widajati et al., 2008). Potensi Tumbuh Maksimum merupakan tolok ukur dari Viabilitas total benih, dimana nilai PTM yang dihasilkan oleh perlakuan suhu 50°C lebih tinggi daripada kontrolnya. Indeks Vigor (IV) diukur berdasarkan jumlah kecambah normal pada pengamatan hitungan ke- 1 (Copeland and Mc Donald, 2001). Indeks Vigor benih dapat memberikan indeks mutu benih yang lebih peka daripada pengujian daya berkecambah serta dapat mengetahui informasi tingkatan yang konsisten tentang potensi mutu fisiologis dan fisik dari lot benih. Cara pematahan dormansi secara fisiologis yaitu perlakuan dengan suhu tinggi 50°C berpengaruh terhadap tolok ukur DB, PTM dan IV. Hal ini diduga karena perlakuan suhu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya keseimbangan hormonal yaitu antara inhibitor (ABA), promotor (Giberelin) serta pengizin (Sitokinin). berkecambah

Kondisi atau

keseimbangan tetap

dorman.

hormonal Muchtar

menentukan dalam

benih

Rosmawati

dapat (2003)

27

menambahkan bahwa afterripening pada padi sawah varietas Srikuning dan Bahbutong cukup efektif dengan memberikan suhu tinggi (39 - 410C) dengan kelembaban relatif sedang (65 - 85 %), dan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah (52 - 60%) dapat mempercepat afterripeningnya dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang berkecambah setiap hari dan merupakan gambaran vigor benih. Benih yang memilki kecepatan tumbuh yang tinggi menunjukkan bahwa benih tersebut memiliki vigor atau kekuatan tumbuh yang tinggi pula. Sadjad et al. (1975) menyatakan bahwa benih yang lebih cepat tumbuh menjadi kecambah normal mampu menghadapi kondisi lapang yang suboptimum. Pematahan dormansi dengan perendaman larutan KNO3 0,2% selama 24 jam, merupakan perlakuan yang berhasil dalam mematahkan dormansi untuk tolok ukur ini yang menghasilkan kecepatan tumbuh sebesar 22,1%KN/etmal. Hal tersebut diduga karena senyawa KNO3 merupakan pengganti fungsi cahaya dan suhu serta mempercepat penerimaan benih akan O2 yang sesuai dengan pernyataan Copeland dan Mc Donald (2001) bahwa KNO3 merupakan senyawa kimia yang mampu menstimulir perkecambahan khususnya pada benih- benih yang peka terhadap cahaya. Menurut Adkin et al. dalam Copeland dan Mc Donald (2001) menyatakan bahwa kinerja KNO3 mempengaruhi sistem respirasi secara langsung. Pada beberapa spesies rumput, KNO3 dapat berinteraksi dengan suhu untuk perkecambahan. Perlakuan perendaman benih pada larutan KNO3 0,2% selama 24 jam memberikan respon terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Nur amin (2008), bahwa penggunaan KNO3 0,2% pada benih padi selama 24 jam dapat menghasilkan KCT benih yang lebih tinggi dibanding perlakuan kontrolnya.

28

Pengaruh Interaksi antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi terhadap Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Benih Buru Hotong Interaksi antara periode afterripening dan metode pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap tolok ukur KCT dan IV dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan Tabel 5, perlakuan pematahan dormansi dengan perlakuan KNO3 0,2% selama 24 jam menghasilkan KCT yang tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kontrol (21,9% KN/etmal) yang tercapai pada periode afterripening 10 MSP. Tabel 5. Interaksi Antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi terhadap Kecepatan Tumbuh (%KN/etmal) pada Buru Hotong Periode Afterripening (MSP) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Metode Pematahan Dormansi Kontrol(tanpa KNO3 0,2% Suhu 500C perlakuan) 24 jam 48 jam 13.8j 17.3hi 21.1bcdefgh 14.5ij 21.9bcdef 13.5j 17.5ghi 19.2fgh 21.2bcdefg 20.6cdefgh 24.3abc 20.1efgh 19.6efgh 22.2bcdef 22.5abcdef 20.6cdefgh 20.1efgh 20.4defgh 19.8efgh 21.9bcdef 19.7efgh 21.9bcdef 24.7ab 22.5abcdef 21.4bcdef 26.1a 23.2abcde 22.4bcdef 21.7bcdef 19.3efgh 24.7ab 24.1abcd 22.8abcdef

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Pada perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam dengan nilai KCT 21,1% KN/etmal tercapai pada periode afterripening 9 MSP sedangkan pada benih tanpa perlakuan (kontrol), peningkatan KCT secara nyata terjadi pada 12 MSP. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang efektif dalam mematahkan dormansi adalah perlakuan suhu 50°C selama 48 jam pada 9 MSP. Perlakuan kontrol pada periode afterripening 12 MSP mulai menunjukkan hasil yang baik dengan nilai KCT 20,6 % KN/etmal dan semakin meningkat hingga nilai KCT mencapai 24,7%KN/etmal. Perlakuan perendaman KNO3 0,2% selama 24 jam pada periode afterripening 10 MSP sudah menunjukkan hasil yang baik dengan nilai KCT 21,9% KN/etmal dan semakin meningkat hingga nilai KCT

29

mencapai 26,1%KN/etmal. Perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 9 MSP menunjukkan respon yang lebih baik dengan nilai KCT 21,1%KN/etmal

dan

semakin

meningkat

hingga

nilai

KCT

mencapai

22,8%KN/etmal. Dalam tolok ukur KCT ini, interaksi dengan perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 9 MSP yaitu 21,1% KN/etmal secara nyata efektif untuk mematahkan dormansi (Tabel 5). Parameter kekuatan tumbuh benih di lapang disebut Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT). Vigor kekuatan tumbuh yaitu kemampuan benih untuk menghasilkan perkecambahan normal dan berproduksi secara normal pada keadaan lingkungan yang suboptimum. Pertanaman yang normal tersebut menampakkan

kinerja

pertumbuhan

yang

serempak,

homogen

serta

pertumbuhannya cepat. Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) memilki beberapa tolok ukur diantaranya Kecepatan Tumbuh (KCT). Benih vigor akan menunjukkan kecepatan yang tinggi dalam proses pertumbuhannya apabila kondisi di sekeliling untuk tumbuh optimum dan proses metabolismenya tidak terhambat (Sadjad et al., 1999). Indeks Vigor (IV) benih dapat memberikan indeks mutu benih yang lebih peka daripada pengujian daya berkecambah. Berdasarkan Tabel 6, semua perlakuan dapat meningkatkan nilai IV benih secara nyata. Peningkatan IV untuk semua tolok ukur terjadi pada periode afterripening 12 MSP, namun nilai IV tertinggi yang dihasilkan perlakuan suhu 50°C tercapai pada periode afterripening 13 MSP yaitu 88% sedangkan pada kontrol nilai IV tertinggi tercapai pada periode afterripening 18 MSP yaitu 80%. Perlakuan kontrol pada periode afterripening 12 MSP sudah menunjukkan respon yang baik dengan nilai IV sebesar 67,3% dan semakin meningkat hingga nilai IV mencapai 80 %. Perlakuan perendaman KNO3 0,2% selama 24 jam pada periode afterripening 12 MSP menunjukkan respon yang baik dengan nilai IV sebesar 70,7% dan semakin meningkat hingga nilai IV mencapai 72,7%. Perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 12 MSP menunjukkan respon yang baik dengan nilai IV 78,7% dan semakin meningkat hingga nilai IV 88%.

30

Tabel 6. Interaksi Antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi terhadap Indeks Vigor (%) pada Buru Hotong Periode Afterripening (MSP) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Metode Pematahan Dormansi Kontrol (tanpa KNO3 0,2% Suhu 500C perlakuan) 24 jam 48 jam 44.7h 45.3h 51.3gh 54.7fgh 52.0gh 44.0h 59.3efg 58.7efg 60.7efg 67.3cdef 70.7cde 78.7abc 70.7cde 69.3cde 88.0a 70.7cde 62.7defg 88.0a 67.3cdef 62.0defg 75.3abcd 62.7defg 70.0cde 77.3abc 68.7cdef 66.7cdef 86.0ab 80.0abc 72.7bcde 70.0cde 80.0abc 72.7bcde 70.0cde

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Dalam tolok ukur indeks vigor ini, interaksi dengan perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 13 MSP secara nyata dapat menghasilkan nilai vigor tertinggi dibandingkan kontrol (Tabel 6).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Buru hotong memiliki dormansi yang disebabkan oleh afterripening. Berdasarkan tolok ukur daya berkecambah periode afterripening yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya adalah 12 MSP. Interaksi antara periode afterripening dan metode pematahan dormansi berpengaruh terhadap tolok ukur KCT dan IV. Berdasarkan tolok ukur KCT maka pematahan dormansi yang paling efektif adalah perlakuan suhu 50°C selama 48 jam.

Saran Alternatif untuk mempersingkat periode penyimpanan kering (periode afterripening) dapat dilakukan dengan perlakuan suhu 500C selama 48 jam sehingga keperluan penyimpanan kering untuk mematahkan domansi benih menjadi lebih singkat setelah panen.

DAFTAR PUSTAKA [AOSA] Association of Seed Analyst. 2001. Tetrazolium Testing Hanbook, p. 1718. www.ucs.iastate.edu [1 Januari 2010] Baker, R.D. 2003. Millet Production. Cooperative Extension Service. College of Agriculture and Home Economics of New Mexico State University. USA. Bewley, J.D. and M.Black .1985. Seed Physiology of Development and Germination. Plenum Press. New York. 367p. Bewley, J.D. 1997. Seed Germination and Dormancy. American Society of Plant Physiologists Department of Botany, University of Guelph, Guelph, Ontario N1G2W1, Canada. 9: 1055-1066. Byrd, H.M. 1983. Pedoman Teknologi Benih. (Terjemahan). PT. Pembimbing Masa. Jakarta. 79 hal. Copeland, L. O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Pub. Company. Minnesota. 369 p. Copeland. L.O. dan M.B. McDonald. 1985. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publishing Company. New York. 369 p. . 1995. Principles of Seed Science and Technology. Chapman and Hall. New York. 408p. . 2001. Principles of Seed Science and Technology. 4th edition. Kluwer Academic Publishers. London. 467 p. Dassanayake MD. 1994. A Revised Handbook of The Flora of Ceylon, Vol. VIII. http://www.depkes(hear).org/pier/index.html. Dalam Prakoso, Wahyu. T. 2006. Kajian Metode Tanam Pada Budidaya Tanaman Hotong Buru. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Desai, B.B., P.M. Kotecha, and D.K. Salunkhe. 1997. Seed Handbook: Biology, Production, Processing, and Storage. Marcell Dekker, Inc. New York. 627p. Ellis R.H., T.D. Hong, and E.H. Roberts. 1985. Handbook of Seed Technology for Genebanks - Volume II. Compendium of Specific Germination Information and Test Recommendations. International Board for Plant Genetic Resources. Rome, Italy. 456 p. Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian (diterjemahkan dari : Statistical Procedures for Agricultural Research, penerjemah : E. Sjamsudin dan J.S Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.

33

Hasbullah, R., Sutrisno, dan Sam Herodian. 2003. Teknologi Pengolahan Hermada dalam Rangka Diversivikasi Usaha Tani Hotong. Makalah Lokakarya Pengembangan Hotong-Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Hotel Indonesia. Jakarta 6 – 7 Oktober 2003. Hendricks, S. B. and R.B. Taylorson. 1974. Promotor of seed germination by nitrate, nitrite, hidroxylone and ammonium salts. Plant Physiol. 54: 304-309. Herodian, S., Sugiyono, S. Widowati, dan B. A. Susila. 2008. Laporan Hasil Penelitian : Pengembangan Buru Hotong sebagai Sumber Pangan Pokok Alternatif. IPB bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. [ISTA] International Seed Testing Association. 2004. Seed Science and Technology. International Rules for Seed Testing. Zurich: Internasional Seed Testing Association. [ISTA] International Seed Testing Association. 2007. International Rules for Seed Testing. Edition 2007. International Seed Testing Association. Zurich. Switzerland. [IRRI] International Rice Research Institute. 1987. Seed Dormancy International Rice Testing Program. Annual Report. Philipines: IRRI. Justice, O. L dan L. N. Bass. 1990. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. (Terjemahan). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 446 hal. Justice, O. L dan L. N. Bass. 1994. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Terjemahan Rennie Roesli. Rajawali Pers. Jakarta. 446 hal. Kartasapoetra, Ance G. 1986. Teknologi Benih: Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. PT Bina Aksara. Jakarta. Krishiworld (The Pulse of Indian Agriculture). 2005. Fileds Crops of Setaria Italica (L.) Beauv. http://www.krishworld.com/strartsearch.asp. Dalam Prakoso, Wahyu. T. 2006. Kajian Metode Tanam Pada Budidaya Tanaman Hotong Buru. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lensari, D. 2009. Pengaruh Pematahan Dormansi Terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will). Skripsi. Departemen Silvikultur, Fakulatas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 75 hal. Mayer, A. M. and A. P. Mayber. 1982. The Germination of Seeds. Pergamon Press. New York. 192 p.

34

Muchtar A. 1987. Pengaruh Suhu dan Kelembaban Nisbi Ruang Simpan Terhadap Pasca Pematangan (afterripening) Oriza sativa L. Varietas Sri Kuning dan Bahbutong. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. Rajawali. Jakarta. 603 hal. Mugnisjah, W.Q. 2007. Teknologi Benih. Universitas Terbuka. Jakarta. 460 hal. Nugraha, U.S. dan Soejadi. 2001. Studi efikasi pematahan dormansi benih padi. Balai Penelitian Tanaman Pangan. 20(1):72-80. Nur Amin. 2008. Pengaruh Methylbacterium spp terhadap Pematahan Dormansi Benih Padi (Oryza Sativa L.). Skripsi. Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 30 hal. Nurshanti, R. 2008. Pengaruh Umur Bibit dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv.). Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 44 hal. Oelke, E.A, E.S. Oplinger, D.H. Putnam, B.R. Durgan, J.D. Doll, and D.J. Undersander.1990. Millets. Dept of Agronomy and Plant Genetics, University of Minnesota, St. Paul And Dept of Agronomy, College of Agricultural and Life Sciences and Cooperative Extension Service, University of WisconsinMadison. Rosmawati, S. 2003. Metode Pematahan Dormansi Benih Padi (Oryza sativa L.) pada Berbagai Periode Simpan. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 44 hal. Sadjad, S., Hari S, Sri SH, Jusup S, Sugihharsono, dan Sudarsono. 1975. Dasardasar Teknologi Benih. Biro Penataran. Institut Pertanian Bogor. Bogor. .

. 1993. Dari Benih kepada benih. PT. Garsindo. Jakarta. 144 hal. . 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT.Grasindo. Jakarta. 145hal.

Sadjad, S., S.E. Murniati, dan Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih. Grasindo. Jakarta. 185 hal. Saenong, S., E. Murniati dan F.A. Bahar. 1989. Dormansi benih padi (Oryza sativa L.). Dalam M. Ismunadji, M. Syam dan Yuswandi (Eds). Padi Buku 2. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hal. 403-412. Santika, A dan Aliawati. 2006. Teknik pengujian masa dormansi benih padi (Oryza Sativa L.). Buletin Teknik Pertanian 11 (2): 67- 71. Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Rajawali. Jakarta.

35

Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 237 hal. Swarbrick JT. 1997. Weeds of the pacific islands. technical paper no. 209. South Pacific Commission, Noumea, New Caledonia. 124 p . http://www.hear.org/pier/index.html [23 Mei 2011] Widajati, E., E. R. Palupi, E. Murniati, T. K. Suharsi, A. Qadir, M. R. Suhartanto. 2008. Diktat Kuliah dan Penuntun Praktikum Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 131 hal.

LAMPIRAN

37

Lampiran 1. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Daya Berkecambah Keragaman Periode Afterripening (P) Galat (p) Metode Pematahan Dormansi (D) PxD Galat (d) Umum

db 10 22 2 20 44 98

Jumlah Kuadrat 8452.28 1265.78 3338.91 1532.20 2187.55 16776.73

Kuadrat Tengah 845.23 57.53 1669.45 76.61 49.71

F Hitung 14.69** 1.16 33.58** 1.54tn

KK (%) 10

Pr > F <.0001 0.331 <.0001 0.115

9.3

Lampiran 2. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh Keragaman Periode Afterripening (P) Galat (p) Metode Pematahan Dormansi (D) PxD Galat (d) Umum

db 10 22 2 20 44 98

Jumlah Kuadrat 496.78 68.28 101.68 250.91 181.95 1099.60

Kuadrat Tengah 49.68 3.10 50.84 12.55 4.13

F Hitung 16.01** 0.75 12.29** 3.03**

KK (%) 8.5

Pr > F <.0001 0.763 <.0001 0.0011

9.8

Lampiran 3. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Indeks Vigor Keragaman Periode Afterripening (P) Galat (p) Metode Pematahan Dormansi (D) PxD Galat (d) Umum

db 10 22 2 20 44 98

Jumlah Kuadrat 9422.55 1293.33 1096.97 2628.36 2285.33 16726.55

Kuadrat Tengah 942.25 58.79 548.48 131.42 51.94

F Hitung 16.03** 1.13 10.56** 2.53**

Pr > F <.0001 0.3534 0.0002 0.0051

KK (%) 11.4 10.7

Lampiran 4. Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi pada Tolok Ukur Potensi Tumbuh Maksimum Keragaman Periode Afterripening (P) Galat (p) Metode Pematahan Dormansi (D) PxD Galat (d) Umum

db 10 22 2 20 44 98

Jumlah Kuadrat 6389.66 1136.00 5135.84 1085.49 1802.67 15549.66

Kuadrat Tengah 638.97 51.64 2567.92 54.27 40.97

F Hitung 12.37** 1.26 62.68** 1.32tn

Pr > F <.0001 0.2513 <.0001 0.2144

KK (%) 8.9 7.9

38

(a)

(b)

Gambar Lampiran 1. (a) Benih Buru Hotong dan (b) Metode Uji UKDdp

(a)

(b)

Gambar Lampiran 2. (a) Metode kertas dilipat dan (b) Metode UDK

39