study guide saraf.pmd

Refleks fisiologis...

104 downloads 867 Views 595KB Size
BAB 5 KELUMPUHAN DAN GANGGUAN BERJALAN

A. Tujuan pembelajaran 1. 2.

Menerangkan mekanisme terjadinya kelumpuhan penyakit. Membedakan kelumpuhan kelumpuhan UMN (upper motor neuron) dan LMN (lower motor neuron)? 3. Menjelaskan etiologi kelumpuhan UMN dan LMN. 4. Mengidentifikasi tanda dan gejala kelumpuhan UMN dan LMN. 5. Melaksanakan pemeriksaan neurologi pada kelainan kelumpuhan UMN dan LMN. 6. Membedakan gaya berjalan dari berbagai kelumpuhan yang khas 7. Menegakkan diagnosis banding kelainan kelumpuhan UMN dan LMN. 8. Merencanakan manajemen terapi kelainan kelumpuhan UMN dan LMN. 9. Menjelaskan prognosis pada kelainan kelumpuhan UMN dan LMN. 10. Menentukan kapan kelainan kelumpuhan harus dirujuk 11. Menjelaskan rehabilitasi medis pada pasien tersebut. B. Pertanyaan dan persiapan dokter muda Sebagai persiapan, dapatkah Saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut? 1. Bagaimana membedakan kelumpuhan spastik (UMN) dan flaksid (LMN)? 2. Sebutkan ciri-ciri kelumpuhan UMN dan kelumpuhan LMN?

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

3. 4. 5.

6. 7. 8.

Kelainan apa saja yang dapat menyebabkan kelumpuhan UMN? Kelainan apa saja yang dapat menyebabkan kelumpuhan LMN? Apa yang dimaksud reflek fisiologis? Apa saja yang termasuk reflek fisiologis dan bagaimana memeriksanya?Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisiologis? Apa yang dimaksud reflek patologis? Apa saja yang termasuk reflek patologis dan bagaimana memeriksanya? Bagaimana memeriksa tonus otot? Bagaimana memeriksa klonus?

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

C. Algoritme kasus

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

ALGORITMA GANGGUAN BERJALAN

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

D. Daftar keterampilan (kognitif dan psikomotor) 1. 2. 3. 4. 5.

Mampu memeriksa fungsi motorik Mampu melakukan asesmen gangguan gerak dan ganguan berjalan Mampu membedakan lumpuh layu dan lumpuh kaku Mampu menilai macam-macam gangguan gerak Mampu memeriksa Nervus Kranialis

E. Penjabaran prosedur Perbedaan antara kelemahan tipe UMN dengan LMN? Tanda-tanda

UMN

LMN

Refleks fisiologis

Hiper refleks

Positif

Refleks patologis

Positif

Negatif

Tonus

Hipertoni

Atoni

Trofi

Eutrofi

Atrofi

Fasikulasi

Negatif

Positif

Klonus

Positif

Negatif

Jenis-jenis kelemahan anggota gerak? •



Hemiplegia : kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan tungkai berikut wajah pada salah satu sisi tubuh. Kelumahan tersebut biasanya disebabkan oleh lesi vaskuler unilateral di kapsula interna atau korteks motorik Diplegia : kelumpuhan atau kelemahan otot-otot anggota gerak berikut wajah kedua belah sisi, karena lesi vaskular bilateral di kapsula interna atau korteks motorik.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006



Hemiplegia alternans : kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan dan tungkai sisi kontralateral terhadap lesi di batang otak dengan kelumpuhan otot yang disarafi saraf otak ipsilateral setinggi lesi, berikut kelumpuhan otot-otot yang disarafi saraf otak yang terletak di bawah lesi pada sisi kontralateral. Monoplegia : kelemahan atau kelumpouhan otot-otot salah satu anggota gerak karena lesi kecil di kapsula interna atau korteks motorik. Istilah monoplegi tidak digunakan untuk kelumpuhan atau kelemahan sekelompok otot yang di sarafi oleh suatu saraf tepi. Tetraplegi atau kwadriplegia : kelumpuhan atau kelemahan otot-otot keempat anggota gerak yang biasanya terjadi akibat lesi bilateral atau transversal di medula spinalis setinggi servikal. Paraplegia : kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau transversal di medula spinalis di bawah tingkat servikal. Kelumpuhan saraf tepi ialah kelemahan atau kelumpuhan otot-otot yang tergolong dalam kawasan suatu saraf tepi. Paralisis non-neurogenik ialah kelemahan atau kelumpuhan otot karena lesi di ‘motor end plate’ atau lesi struktural atau biokimiawi pada otot.





• • •

Bagaimana menilai kekuatan ekstremitas? 5 4 3 2 1 0

: : : : : :

Pasien bisa melawan tahanan paling kuat dari pemeriksa Pasien bisa melawan tahanan sedang / lemah dari pemeriksa Pasien bisa melawan gaya gravitasi tanpa tahanan Pasien bergerak tanpa gravitasi Hanya ada sedikit kontraksi Tidak ada kontraksi otot

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

Pemeriksaan Nervus Kranialis: Nervus I (olfaktorius) a.

Daya Pembauan • Persiapan: - yakinkan bahwa jalan nafas melalui hidung baik, tidak ada sumbatan - yakinkan tidak ada atrofi mukosa hidung • Cara pemeriksaan: - mata ditutup - satu persatu kedua lubang hidung diperiksa, lubang yang sedang tidak diperiksa ditutup. Minta pasien untuk mengidentifikasi bahan yang dipakai untuk tes (kopi, teh, tembakau, kulit jeruk, dll) - terciumnya bau dengan tepat berarti susunan olfaktorik berfungsi dengan baik • Klinis: - anosmia = hilangnya daya pembauan yang dapat dijumpai pada trauma kapitis di mana berkas n.I terpotong oleh o skribriformis atau oleh fraktur os ethmoidalis atau terendam oleh perdarahan di fossa serebri anterior. Dapat juga merupakan komplikasi meningitis, penekanan oleh meningioma, dll. - hiposmia = daya pembauan yang kurang tajam, misalnya pada manifestasi rinitis, terutama rinitis vasomotor. Hiposmia yang menetap terjadi pada usia lanjut. - Hiperosmia = daya pembauan yang teramat peka, misalnya pada histeria konversi. - Parosmia = bila tercium yang tidak sesuai dengan bahan yang disium, misalnya pada trauma kapitis. - Kakosmia = parosmia yang tidak menyenangkan, misalnya mencium bau pesing, bacin, kakus. Dapat dijumpai pada truma kapitis atau pada histeria konversi.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

Nervus II (optikus) a.

Daya penglihatan • Persiapan - ruang harus cukup terang - yakinkan tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula, iritis, uveitis, glaukoma atau korpus alienum • Cara pemeriksaan - dengan memakai kartu Snellen - secara kasar, pemeriksaan visus ini dapat dilakukan tanpa menggunakan kartu, yaitu dengan membaca telunjuk pemeriksa. Orang normal dapat membaca hitungan jari pada jarak maksimal 60 m. Bila pasien hanya dapat membaca pada jarak 1 m saja, berarti visusnya adalah 1/60.

b.

Penglihatan warna • Cara pemeriksaan: - memakai kartus tes Ischihara dan Stilling atau dengan benang wol berbagai warna - pasien diminta untuk mengambil atau menunjuk warna sesuai dengan perintah

c.

Medan penglihatan • Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan: - tes dengan perimeter - tes dengan kampimeter - tes dengan konfrontasi dengan tangan Tes konfrontasi - pasien diminta koperatif untuk memandang satu titik fiksasi di tengah. - pemeriksa dengan medan penglihatan yang normal berhadapan sejajar dengan jarak antara mata pemeriksa dan mata pasien sejauh 30 – 40 cm.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

-

satu persatu mata pasien diperiksa. Bila mata kanan yang diperiksa, mata kiri ditutup. Begitu pula sebaliknya. pemeriksa menggerakkan jarinya dari perifer ke tengah (jarak jari terhadap kedua pihak harus sama). bila pemeriksa telah melihat, sementara pasien belum, berarti medan penglihatan pasien menyempit.

Dengan metode ini lesi dapat dideteksi. Misalnya ditemukan hemianopsia bitemporal berarti ada lesi di garis tengah khiasma optikum. Hemianopsia binasale berarti ada lesi di khiasma optikum bagian luar. Pemeriksaan fundus okuli, papil, retina, arteri/vena, perdarahan dilakukan dengan menggunakan oftalmometer. d.

Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil (lihat bab penurunan kesadaran)

Nervus III (okulomotorius) Kelumpuhan n III menimbulkan ptosis, oftalmoplegia dan midriasis (pada kelumpuhan total) a.

Ptosis • Ptosis = penyempitan fisura palpebra karena turunnya kelopak mata akibat kelemahan/kelumpuhan otot elevator palpebra dan/atau tarsalis superior. • Cara meyakinkan adanya ptosis: - pasien disuruh mengangkat kelopak mata atas secara volunter. Jika ptosis tetap terlihat dan dahi menunjukkan adanya lipatan kulit maka terbukti ada ptosis tulen. - lipatan dahi menunjukkan kontraksi otot frontalis yang selamanya akan timbul bila kelopak mata diangkat sekuat-kuatnya.

b.

Pemeriksaan gerakan bola mata: N III menginervasi m. rektus superior dan inferior dan m. obliquus inferior, yang menyebabkan bola mata bergerak ke atas, nasal dan ke bawah. Cara pemeriksaan:

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

-

suruh pasien untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa ke atas, medial dan ke bawah. bila terjadi parese, pasien tidak dapat mengikutinya. Bola mata akan tetap ke temporal.

c.

Strabismus divergen Karena n. III mempersarafi m. rektus superior, inferior dan medial, maka adanya lesi pada n. III akan menyebabkan bola mata menyimpang ke sisi lateral/temporal. Jadi, bila tidak didapatkan bola mata yang menyimpang ke temporal berarti strabismus divergen positif.Tetapi, adanya strabismus belumlah berarti satu otot okuler lumpuh. Mungkin saja ada kelainan kongenital pada panjang otot okuler.

d.

Diplopia Bila seseorang mengeluh tentang diplopia tapi tidak memperlihatkan strabismus, mungkin sekali terdapat parese ringan. Cara meyakinkan parese ringan: Cover–uncover test • Bila satu mata yang mengalami kelemahan otot okuler yang sedang menatap satu obyek secara binokuler pada satu obyek ditutup, maka mata ter5sebut akan bergerak menyimpang menjauhi otot okuler yang lemah. Bila mata yang sehat ganti ditutup, maka bola mata itu tersebut akan memutar ke arah yang berlawanan dengan arah penyimpangan otot yang paretik.

Nervus IV (trokhlearis) N. IV mempersarafi m. obliquus superior yang mengatur gerakan bola mata ke bawah sedikit temporal. Paralisis n. IV akan melumpuhkan gerakan bola ke bawah lateral, menyebabkan penyimpangan ke arah nasal sedikit ke atas. a.

Gerakan mata ke lateral bawah Cara pemeriksaan: - pasien disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke bawah lateral.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

-

bila bola mata pasien tidak mampu mengikuti gerakan tersebut berarti ada paralisis n. IV.

b.

Strabismus konvergen Perhatikan sikap bola mata penderita apakah ada penyimpangan ke nasal.

c.

Diplopia Cara pemeriksaan sama dengan pada pemeriksaan n. III.

Nervus VI (abdusen) N.VI menginervasi m. rektus lateralis yang mengatur gerakan bola mata ke lateral. Paralisis n. VI akan melumpuhkan gerakan bola mata ke lateral, menyebabkan penyimpangan ke medial/nasal. a.

Gerakan bola mata ke lateral Cara pemeriksaan: - mata penderita disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke lateral - bila tidak mampu berarti ada paralisis n. VI

b.

Strabismus konvergen Perhatikan sikap bola mata penderita. Apakah ada penyimpangan ke arah nasal atau tidak.

c.

Diplopia Sama dengan pemeriksaan n. III

Nervus V (trigemius) a.

Menggigit Serabut motorik n.V hanya mengikuti cabang ke-3 (n. mandibularis). Otot yang dipersarafi adalah m. masseter, m. temporalis, m. pterigoideus eksternus dan internus. Cara pemeriksaan: - pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya - selama pasien menggigit, pemeriksa melakukan palpasi pada m. masseter dan temporalis untuk memeriksa adakah kontraksi

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

-

b.

c.

bila ada kelumpuhan unilateral, maka serabut motorik n. V yang ipsilateral tak mampu mengontraksikan m. masseter dan temporalis. Membuka mulut Setelah tes menggigit, pasien disuruh membuka mulut. Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien: apakah simetris atau menyimpang. Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke ipsilateral saat mulut dibuka karena m. pterigoideus eksternus yang sehat akan mendorong mandibula ke depan tanpa diimbangi oleh sisi yang lain. Sensibilitas Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan bawah, karena masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang oftalmikus, maksilaris dan mandibularis. • Alat yang digunakan: - untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum - untuk sensasi halus, gunakan kapas/bulu - untuk sensasi termis, gunakan air panas/dingin. • Cara pemeriksaan: - pasien harus kooperatif - selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar pasien tidak tahu bagian tubuh yang diperiksa - untuk mempermudah penilaian maka perangsangan dimulai dari proksimal dan distal sehingga mudah teridentifikasi daerah dengan defisit sensorik dan daerah yang normal - selanjutnya perangsangan berjalan terus maju saling mendekat dari yang normal ke daerah yang defisit dan sebaliknya - intensitas perangsangan harus diubah-ubah untuk mengetahui ketepatan penilaian pasien - mintalah respons yang tegas dari pasien. Bila pasien merasa ditusuk/digores maka pasien harus bilang “ya” - buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

d.

Refleks bersin Cara periksa: - merangsang mukosa hidung dengan jalan menggelitik - positif bila timbul bersin secara reflektorik

e.

Refleks masseter/ refleks rahang bawah Cara periksa: - pasien diminta membuka mulutnya dengan santai, dengan cara selama membuka mulut mengeluarkan suara “aaaaaa,” sementara itu pemeriksa menempatkan jari telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu, kemudian dengan palu refleks jari tersebut diketuk - jawaban positif berupa kontraksi m. masseter dan m. temporalis bagian depan yang mengakibatkan penutupan mulut secara tiba-tiba/ berlebihan.

f.

Refleks zigomatikus Cara periksa: - dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek - pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi nuklearis dan infranuklearis - tetapi pada orang dengan lesi supranuklearis n.V akan muncul gerak berupa gerakan rahang bawah ipsilateral.

g.

Trismus Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.

h.

Refeks kornea (lihat bab penurunan kesadaran)

Nervus VII (fasialis) – lihat Bab kelumpuhan otot wajah Nervus VIII (akustikus) Karena fungsi n. VIII terbagi atas fungsi pendengaran (n. koklearis) dan fungsi keseimbangan (n. vestibularis) maka gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan koklearis saja atau vestibularis atau keduanya.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

a.

Pemeriksaan daya pendengaran (n. koklearis) 1. Mendengar suara berbisik Tes ini kurang akurat tapi cukup informatif. Kedua telinga dites satu persatu, salah satu telinga harus ditutup. Pasien diberitahu dulu bahwa dia harus mengucapkan kata yang dikatakan pemeriksa. Pasien harus menutup matanya agar dia tidak dapat membaca gerakan bibir pemeriksa. Yang dikatakan pemeriksa adalah kata dan angka secara berselingan, intensitas suara harus sekeras bisikan sejauh 30 cm dari telinga. 2. Mendengar detik arloji Tes ini kurang akurat. Apalagi pada saat ini kebanyakan arloji yang dipakai tidak berdetik. Arloji yang sesuai untuk tes ini adalah arloji yang mempunyai detik suara jelas. 3. Tes Rinne (lihat bab pusing berputar) 4. Tes Weber (lihat bab pusing berputar) 5. Tes Schwabach (lihat bab pusing berputar)

Nervus IX (glossofaring) Secara klinis pemeriksaan n. IX tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan n. X, keduanya mempunyai fungsi yang bersamaan. Gangguan fungsi kedua saraf dalam klinik sering diungkap lewat anamnesis. a.

Arkus faring Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan sejauhjauhnya. Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah. Dengan demikian arkus faring, uvula, dinding belakang faring dapat terlihat jelas. Adanya paresis/paralisis ipsilateral n. IX dan atau n. X menyebabkan asimetri dan tampak melengkung ke sisi yang sehat.Asimetri dapat diperjelas dengan menyuruh pasien bersuara, ujung uvula menunjuk ke arah yang sehat.

b.

Daya kecap lidah (1/3 belakang lidah) Cara pemeriksaan sama dengan pengecapan lidah depan.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

c.

Reflek muntah Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaan penting untuk menilai fungsi kedua saraf ini. Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas orofaring kita periksa dengan menyentuh dinding posterior faring dengan spatula lidah. Akan timbul reflek muntah.

d.

Sengau Suara yang sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral/bilateral n. IX dan atau n. X.

e.

Tersedak Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat. Karena epiglotis mengalami parese sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya makanan masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak).

Nervus X (vagus) a.

Denyut nadi Cara pemeriksaan sama seperti fisik diagnostik biasa, yaitu palpasi a. radialis.

b.

Arkus faring Sama dengan n. IX.

c.

Bersuara (fonasi) Perhatikan adakah suara serak/lemah. Terdapat paralisis laring yang dipersarafi n. X (n. laringeus superior dan rekuren).

d.

Menelan Gangguan menelan merupakan manifestasi gabungan dari gangguan n. IX, X, dan VII. Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integral saraf tersebut.

Nervus XI (acessorius) Karena n. XI mensarafi m. sternokleidomastiodeus dan m. trapezius, maka yang diperiksa adalah fungsi muskuli tersebut.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

a.

Memalingkan kepala Pasien disuruh memalingkan kepala, sementara pemeriksa memegang rahang pasien untuk menahan gerakan tersebut. Bila fungsi muskulusnya baik akan tampak konsistensinya yang keras. Bila terdapat parese akan nampak kontur yang tidak menonjol.Tampak konsistensi yang keras dan kontur otot yang menonjol tegas.Tetapi bila terdapat parese kontur otot tidak begitu jelas dan konsistensi otot pun lemah, timbul asimetri/tortikolis. Jika terdapat kelumpuhan bilateral, posisi kepala akan anterofleksi (menunduk).

b.

Sikap bahu Kelumpuhan m. trapezius unilateral dapat diperlihatkan sikap bahu dan skapula. Bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah skapula terletak lebih dekat ke garis tengah daripada bagian atasnya.

c.

Mengangkat bahu Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan elevasi bahu tersebut. Jika gerakan elevasi tersebut lemah dan kontur otot tidak ada berarti terdapat parese.

d.

Trofi otot bahu Perhatikan kontur otot bahu, jelas atau tidak. Adanya gangguan retraksi bahu dan elevasi humerus.

Nervus XII (hipoglassus) Lesi n. hipoglassus dapat terjadi di perifer atau sentral. Ciri khas kelumpuhan perifer adalah atrofi otot yang cepat terjadi, garis tengah menjadi cekung, bagian lidah yang lumpuh menjadi tipis dan berkeriput, bila lesinya unilateral lidah akan menyimpang ke sisi yang sehat. Berbeda dengan kelumpuhan sentral, dimana kita ingat lidah mempunyai intervasi kortikal yang bilateral, maka pada kelumpuhan unilateral bersifat hanya sementara dan atrofi lidah tidak tampak. Bila lidah dijulurkan tak akan lurus ke garis tengah, tetapi secara volunter lidah dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri. Pada kelumpuhan bilateral lidah tidak bisa dikeluarkan.

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

Pemeriksaan: a.

Sikap lidah Perhatikan sikap lidah apakah ada penyimpangan.

b.

Artikulasi Pasien dilihat bicaranya, apakah ada disartria. Pada kelumpuhan unilateral disartria lebih jelas terlihat.

c.

Tremor/Mioklamus Pasien diminta mengeluarkan lidahnya. Perhatikan adanya gerakan ritmis bolak-balik yang tidak bertujuan. Dapat disertai bunyi gerakan lidah. Dapat dijumpai pada degenerasi olivosereblar.

d.

Menjulurkan lidah Pasien diminta mengeluarkan lidahnya secara lurus. Pada kelumpuhan unilateral lidah tidak dapat dikeluarkan secara lurus, tetapi menyimpang ke sisi yang lumpuh karena terdorong oleh otot yang sehat. Bila kelumpuhan sentral lidah tersebut masih dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri. Sedangkan pada kelumpuhan perifer lidah tetap menyimpang ke sisi yang lumpuh dan tak dapat bergerak ke sisi yang sehat.

e.

Kekuatan lidah Penderita disuruh menekankan lidahnya ke salah satu pipi. Kemudian pemeriksa melakukan pelpasi dari luar. Lalu kita nilai kekuatannya (bisa tidak menahan desakan tangan pemeriksa).

f.

Trofi otot lidah Pada kelumpuhan perifer, atrofi otot lebih cepat terjadi, tidak tampak lumpuh, tipis dan berkeringat. Sedangkan pada kelumpuhan sentral atrofi otot tidak tampak (yang unilateral).

g.

Fasikulasi lidah Ialah kedutan otot yang timbul secara cepat tetapi sejenak. Merupakan kontraksi otot setempat yang halus dan spontan

Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf – 2006

F. Contoh Kasus Kasus 1 : Ibu R berumur 47 tahun datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kelemahan keempat anggota gerak. Pada awalnya 20 hari yang lalu dia merasa nyeri boyok tak menjalar diikuti dengan rasa gringgingen dan kelemahan di kedua telapak kaki, kemudian naik ke betis sampai paha. Tiga hari kemudian, dia merasa kelemahan pada kedua telapak tangan, dan sulit untuk memegang gelas, diikuti kelemahan tangan dan lengan. Dua hari sebelum masuk rumah sakit os merasa kesulitan bicara, bicara pelo, dan perot serta mata kanan tidak bisa menutup dengan rapat. Pada hari masuk rumah sakit keluhan menetap, tidak sesak nafas, BAB dan BAK normal. Satu minggu sebelumnya dia pergi berobat ke RSUD Wirosaban dan mondok, tetapi karena tidak ada perbaikan dia pulang. Pada pemeriksaan didapatkan sensibilitas menurun minimal, arefleks, dan pada pemeriksaan CSF kadar protein meningkat. Kasus 2 : Penderita laki-laki, umur 47 tahun dengan keluhan Utama: Jalan lambat dan kaku.Riwayatnya sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit, penderita mulai merasa anggota geraknya kaku. Penderita menduga hal ini karena kelelahan, sehingga dipijatkan pada tukang pijat dan merasa agak membaik. Namun makin lama rasa kaku makin sering terasa dan semakin memberat. Tiga tahun kemudian kedua tangan bergetar-getar, terutama bila sedang beristirahat, tapi menghilang bila digerak-gerakkan. Kemudian terasa kesemutan pada kedua sisi anggota gerak. Cara berjalan penderita mulai tidak normal, terasa lamban dan kaku, penderita tak tahan berjalan jauh, dan kesulitan bila memakai sepatu atau sandal. Penderita mulai sulit mengancingkan baju dan menyisir rambutnya., serta tulisannya menjadi jelek.