SUMBER-SUMBER HUKUM DAN DALIL FIQH

kami bisa menyelesaikan makalah yang membahas tentang sumber-sumber dan dalil Fiqh ... dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam atau suatu perbuatan ...

79 downloads 940 Views 733KB Size
SUMBER-SUMBER HUKUM DAN DALIL FIQH (Maslahah Mursalah, ‘Urf, Istihsan, Istishab, Qoul Shohabi)

MAKALAH Dibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh Semester I Tahun Akademik 2013-2014 Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Dosen Abdul Azis M.Hi

Oleh KELOMPOK 3 Abid Nizam Iman

: 10220072

Ahmad Idus Showabi : 13220219 Aris Nur Mu‟alim

: 13220222

M. Mannan A.B

: 13220216

MALANG 2013

KATA PENGANTAR

‫ ِنمْحَّرلا ِهللاَلا‬

‫ِبْسِم‬

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang membahas tentang sumber-sumber dan dalil Fiqh ini. Selanjutnya, sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya kelak di yaumil qiyamat. Dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih baik berupa tenaga ataupun pikiran sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, terutama kepada Beliau, Bapak Abdul Azis M.Hi selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Fiqh. Kami menyadari bahwasannya makalah ini masih sangat jauh dari sebuah kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Amin Ya Rabbal „Alamin...

Malang, 23 September 2013

Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1 A.

Latar Belakang ....................................................................................................1

B.

Rumusan Masalah ...............................................................................................2

C.

Tujuan .................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................3 A.

Maslahah Mursalah .............................................................................................3

B.

„Urf (Adat atau Kebiasaan) ..................................................................................5

C.

Istihsan ................................................................................................................7

D.

Istishab ................................................................................................................9

E.

Qoul Shohabi ..................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 13 A.

Kesimpulan ....................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 14

ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fiqih merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal masyarakat, hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai dia dimakamkan terkait dengan fiqih. Karena sifat dan fungsinya itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu Al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari. Karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah Shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Dengan fungsinya yang demikian itu tidak mengherankan jika Fiqih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak sejak di bangku taman kanakkanak sampai dengan kuliah di perguruan tinggi. Dari sejak kanak-kanak seseorang sudah mulai diajari berdoa, berwudhu, shalat dan sebagainya dilanjutkan sampai tingkat dewasa di perguruan tinggi. Para mahasisiwa mempelajari Fiqih secara lebih luas lagi, yaitu tidak hanya menyangkut Fiqih ibadah, tetapi juga Fiqih Mua‟lamat seperti jual beli, perdagangan, sewa menyewa, gadai menggadai, dan perseroan, dilanjutkan dengan Fiqih Jinayat yang berkaitan dengan peradilan tindak pidana, masalah rumah tangga, perceraian dengan masalah perjanjian, perorangan, pemerintah dan sebagainya. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra‟yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra‟yu para fuqaha. Dan diantaranya maslahah mursalah, „Urf, Istihsan, Istishab, dan Qaul Sohabi yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini. Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi‟iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-

1

sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Ada pula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: maslahah mursalah, „Urf, Istihsan, Istishab, dan Qaul Sohabi. Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat maslahah mursalah, „Urf, Istihsan, Istishab, dan Qaul Sohabi yang mencakup pengertian, kedudukan sebagai dalil syara, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya. B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi Maslahah Mursalah, Urf, Istihsan, Istishab dan Qoul Shohabi? 2. Apa saja klasifikasi dari dalil-dalil dan sumber Fiqh tersebut? 3. Berikan contoh metode aplikasi dari dalil-dalil dan sumber Fiqh tersebut? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi Maslahah Mursalah, Urf, Istihsan, Istishab dan Qoul Shohabi. 2. Untuk mengetahui klasifikasi dari dalil-dalil dan sumber Fiqh tersebut. 3. Untuk mengetahui contoh metode aplikasi dari dalil-dalil dan sumber Fiqh tersebut.

2

BAB II PEMBAHASAN A. Maslahah Mursalah Maslahah Mursalah menurut lughat (Etimologi) terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu : ‫ مصلحت‬- ‫صلح – يصلح – صلحا‬ yang berarti “Sesuatu yang mendatangkan kebaikan”. Sedangkan kata Mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf‟ul, yaitu : ‫ مزسال‬- ‫أرسل– يزسل – ارساال‬ yang berarti “ Diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan)”. Perpaduan dua kata menjadi “Maslahah Mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam atau suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat) dan menolak kemadhorotan. 1 Menurut istilah Ulama usul ada bermacam-macam definisi yang diberikan diantaranya : 1. Imam Ar-Razi mendefinisikan sebagai berikut :

َّ ‫صذَىَا ال‬ ‫ارعُ ال َح ِكي َْن ِل ِؼبَا ِد ِه فِي ِح ْف ِظ ِد ْينِ ِي ْن ًَنُفُ ٌْ ِس ِي ْن‬ َ ٌ ‫ارة‬ َ َ‫ي ق‬ َ َ‫ِبأَنَّ َيا ِػب‬ ِ ‫ش‬ ْ ِ‫ػ ِن اْل َو ْنفَ َؼ ِت اَلّت‬ . 2‫ًَػُ ُ ٌْ ِل ِي ْن ًَنَ َ ِب ِي ْن ًَ َ ْه ٌَا ِل ِي ْن‬ Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri‟ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendannya. 2. Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah itu sesuatu yang mendatangkan manfa‟at dan menjauhkan kerusakan, namum hakikat dari maslahah adalah memelihara tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum (Al-muhafadah „ala maqsud asy-syar‟i).

3

sedangkan tujuan

syara‟ itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

1

Narun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996) cet 1, hal 114. Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi,al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura:Sulaiman Mar‟i, T.Th),hal. 48 3 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal. 36-37. 2

3

3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:

َ َ‫اْل ُو َحاف‬ َّ ‫ص ٌْ ِد ال‬ ‫ػ ْن الخ َْلق‬ ُ ْ ‫ػلَى َه‬ َ ‫ارعِ ِبذَ ْف ِغ ال َوفَا ِس ِذ‬ َ ‫ظ ِت‬ ِ ‫ش‬ Memelihara tujuh syara‟ dengan jalan menolak segala Sesutu yang merusakkan makhluk. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan kepada nash tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara‟ (maqosid asy-syari‟ah). a. Macam-macam Maslahah Mursalah Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah mursalah dibagi menjadi tiga kelompok:4 1. Maslahah Dhoruriyah Adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima tidak ada yaitu antara lain memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 2. Maslahah Hajjiyah Adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dhoruri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tapi secara tidak langsung menuju kearah sana sepeti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. 3. Maslahah Tahsiniyah Adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dhoruri, juga tidak sampai pada tingkat hajji, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka member kesempurnaan dan keindahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Jika ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, dibagi menjadi tiga yaitu: 4

Wahbah Zuhaili “Ushul Fiqh” hal : 87

4

1. Maslahah al-Mu‟tabaroh Yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syari‟, maksudnya ada petunjuk dari syari‟ baik langsung ataupun tidak langsung, yang memberi petunjuk kepada adanya maslahah dalam menetapkan hukum. 2. Maslahah mulghoh Yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara‟ dan ada petunjuk syara‟ yang menolaknya. 3. Maslahah mursalah Maslahah ini biasa disebut dengan istishlah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal sejalan dengan tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara‟ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara‟ yang menolaknya. B. „Urf (Adat atau Kebiasaan) Dari segi kebahasan (Etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟ dan fa‟ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata Ma‟rifah (yang dikenal), Ta‟rif (definisi) kata Ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „Urf (kebiasaan yang baik). 5 Adapun dari segi terminologi, kata „Urf mengandung makna:

ْ ‫ارفُ ٌْا ِإ‬ ‫ػلَى‬ َ ‫ػلَ ْي ِو ِه ْن كُ ِّل ِف ْؼ ٍل شَا‬ ُ ‫س‬ َ ‫ط ََل ِق ِو‬ َ ‫ار ًْا‬ ُ َّ‫َها اِ ْػت َ َادَهُ الن‬ َ ًَ ‫اس‬ َ ‫ ا َ ًْلَ ْفظٍ ت َ َؼ‬, ‫ع َب ْينَ ُي ْن‬ ‫َه ْؼنًى خَاص التألفو اللغت ًال يتبادر غيره ػنذ سواػو‬ Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.6 Kata Al-„Urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah Al-adah (kebiasaan) yaitu:

ّ ِ ُ‫َها اِ ْست َ َ َّر فِى النُّنفُ ٌْ ِس ِه ْن ِ َّي ِت اْلؼُ ُ ٌْ ِ ًَتَلَ َّتْو‬ ِ ٌُْ ‫اللبَاعُ ال َّ ِل ْي َوتُ بِ ْال َب‬

5 6

Abdul Rahman Dahlan “Ushul Fiqh” (jakarta: Hamzah, 2010 ) hal: 209 Abdul Rahman Dahlan “Ushul Fiqh” (jakarta: Hamzah, 2010 ) hal: 209

5

Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar. Adapun „urf menurut ulama ushul fiqih adalah:

‫ػادة ويٌر قٌم في قٌ ًفؼل‬ Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.

a. Pembagian „Urf (kebiasaan) Para ulama ushul fiqh membagi „urf kepada tiga macam yaitu: 1. Dari segi objeknya, „urf dibagi menjadi: a) Al-‘urf al-lafzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat indonesia mengandung arti talak.7 b) Al-‘urf al-amali adalah

kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdaan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan masyarat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu di antarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari dan peralatan rumah tangga lainya. 2. Dari segi cakupannya, „urf terbagi dua yaitu:8 a) Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serap, termasuk dalam jual harga, tampa akad sendiri dan biaya tambahan. 7 8

Abdul Wahhab kholaf, “Ilmu Ushul Fiqh” (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah; 2010) hal. 67 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.92

6

b) Al-‘urf al-khash (‫ )العزف الخاص‬adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan di masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedangang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu, konsumen tidak dapat dikembalikan barang tersebut, atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.9 3. Dari segi keabshannya dari pandangan syara‟ „urf terbagi dua yaitu10: a) Al-‘urf al-shahih (‫ )العزف الصحيح‬adalah kebiasaan yang berlaku di tengahtengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash ( ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalnya: dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberi hadia kepada pihak wanita dan hadia ini tidak di anggap sebagai mas kawin. b) Al-‘urf al-fasid ( ‫ )العزف الفاسد‬adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟.

11

Contohnya adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seeorang ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-„urf al-fasid. C. Istihsan Secara bahasa, istihsan berarti “menganggap sesuatu baik dan layak dilakukan”. 12 Sedangkan menurut istilah Istihsan ialah: “Memakai qiyas khofi dan meninggalkan qiyas jail karena ada petunjuk untuk itu”. Atau “Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal itu”.13 Dengan demikian, istihsan adalah memilih yang paling baik dengan meninggalkan “qiyas jali” (analogi yang jelas dan pasti) karena lebih sesuai dan lebih patut bagi kebaikan manusia. Istihsan terbagi menjadi dua: 1. Istihsan Qiyasi: pada prinsip awalnya, seorang mujtahid harus mendahulukan qiyas jali dibanding dengan qiyas khofi. Namun bilamana 9

Abdurrahman Dahlan, “Ushul Fiqh” (Jakarta: Hamzah, 2010) hal: 210 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.93 11 Abdul Wahhab kholaf, “Ilmu Ushul Fiqh” (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah; 2010) hal.68 12 Abdul Wahhab kholaf, “Ilmu Ushul Fiqh” (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah; 2010) hal.60 13 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.81 10

7

seorang mujtahid memandang bahwa meninggalkan qiyas jali lebih besar kemaslahatannya dibanding menggunakannya, maka qiyas jali tersebut boleh ditinggalkan dan beralih ke istihsan. Contoh: menurut kesimpulan qiyas jali, sumur yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan di dalam akad wakaf. Hal ini di qiyaskan (dianalogikan) dengan akad jual beli, dengan persamaan illat “sama-sama menghilangkan hak milik”. Di dalam jual beli, sumur tersebut tidak termasuk yang dijual terkecuali ditegaskan dalam akad. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi pada kemaslahatan, sumur tersebut termasuk barang yang diwakafkan, tanpa harus dipertegas di dalam akad. Karena diqiyaskan dengan sewa menyewa dengan persamaan illat “sama-sama untuk diambil manfaatnya”. Oleh karena kemaslahatan dari qiyas yang disebut terakhir ini lebih menonjol, yakni sesuai dengan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya, maka lebih patut jika meninggalkan qiyas jali dan menggunakan qiyas khofi (istihsan). 14 2. Istihsan istisna‟i: memilih yang patut (baik) dan tergolong perkecualian. Istihsan istisna‟i ini terbagi menjadi 4 macam: a. Istihsan bi-nash. Yaitu istihsan oleh karena hukum pengecualian yang didasarkan pada nash dan meningalkan kaidah yang bersifat umum. Contoh: menurut kadiah umum, makan di siang bulan romadlon puasanya batal. Namun jika itu dilakukan karena lupa, maka berlandaskan istihsan, puasanya sah. Istihsan ini telah ditegaskan di dalam hadis Nabi. 15 b. Istihsan berlandaskan ijma’.

16

Contoh: pesanan untuk membuat

lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti ini dilarang, sebab pada saat akad jual beli barang tidak ada. Padahal salah satu dari rukun jual beli adalah harus ada barang. Memperjual belikan barang yang belum ada termasuk bai‟ul ghurur (jual beli yang dapat menipu) yang dilarang oleh Nabi. Namun hal ini diperbolehkan, dengan alasan istihsan. Akad ini boleh dan telah menjadi ijma‟ di kalangan ulama.

14

Abd. Rahman Dahlan, “Ushul Fiqh” (Jakarta: Hamzah, 2010) hal: 198 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.82 16 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.83 15

8

c. Istihsan berlandaskan urf (adat kebiasaan). 17 Contoh: menurut ketentuan umum, wakaf hanya diperbolehkan pada harta benda yang kekal dan tidak bergerak, seperti tanah. Namun wakaf pada benda yang tidak kekal dan bergerak, seperti buku, kendaraan, perkakas memasak dll diperbolehkan untuk diwakafkan dengan alasan istihsan. Dasarnya adalah adat kebiasaan masyarakat yang membolehkan wakaf pada benda tersebut. d. Istihsan berlandaskan kemaslahatan. Contoh: menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah kontrakan tidak dibebankan suatu apapun kecuali membayar uang kontrak yang telah disepakati. Namun pemilik rumah diperbolehkan meminta tambahan berupa uang jaminan, dengan perjanjian jika terdapat terjadi kerusakan yang disebabkan oleh ulah penyewa maka akan dipotongkan dari uang tersebut . Praktek semacam ini diperbolehkan dengan alasan istihsan yang berlandaskan kemaslahatan. Sebab jika tidak ada uang jaminan dikhawatirkan penyewa akan bertindak serampangan dan tidak mau bertanggung jawab. 18 D. Istishab Pengertian

istishab

Kebersamaan”.19Adapun

secara

menurut

bahasa

pengertian

berarti

istilah

“Berlanjutnya

sebagaimana

yang

dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab berarti “Menganggap status sesuatu tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”. Sedangkan menurut Asy-Syaukani, istishab berarti:

ُ‫بَ َا ُا ْاالَ ْه ِر َهالَ ْن ي ٌُْ َ ذْ َها يُغَيِ ُره‬ "Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya” Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Contoh: seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup tetap dianggap hidup selama belum ada bukti

17

Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.83 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.84 19 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.107 18

9

bahwa ia telah wafat, atau seseorang yang sudah berwudlu masih terus dihukumi punya wudlu sampai ada bukti yang membatalkannya. a. Macam-macam Istishab Istishab terbagi menjadi 4 (empat) macam:20 1. Istishab ibahah ashliyah (pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah mubah / boleh selama tidak ada bukti yang melarangnya). 21 Istishab model ini banyak berperan dalam bidang muamalah. Dasarnya adalah Firman Allah di dalam surat al-Baqoroh ayat 29:

            

        “Dialah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu”. Contoh: makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dll adalah halal selama tidak ada dalil / bukti yang melarangnya. Hal ini senada dengan kaidah fiqih: ‫األصل فى األشياء اإلباحت حتى يدل الدليل على التحزيم‬ “Pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”22 2. Istishab Baro’ah asliyah (pada dasarnya setiap orang terbebas dari tuntutan / kesalahan selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya). Jika ada orang lain yang menuduhnya maka ia harus membuktikan tuduhannya, jika tidak terbukti maka ia terbebas. Sebab pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan. Contoh: pada dasarnya manusia tidak punya hutang. Jika dituduh mempunyai utang maka pihak penuduh harus memberikan bukti, jika tidak maka pihak tertuduh bebas dan ia dihukumi tidak punya hutang. Hal ini senada dengan kaidah fiqih: ‫األصل فى الذمت البزاة‬ “Pada prinsipnya semua orang terbebas dari tuntutan”23

20 ]

Al-Banani, “Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam‟i al-Jawami”. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th.1983), hal.284 21 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.109 22 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.111 23 Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.111

10

3. Istishab Hukum (pada dasarnya hukum segala sesuatu tetap berlaku selama tidak ada bukti yang mengubahnya). Contoh: seseorang yang memiliki sebidang tanah, maka tanah tersebut masih tetap dihukumi miliknya, selama tidak ada bukti bahwa tanah tersebut telah dijual ataupun dihibahkan. Ataupun seorang wanita yang telah menikah maka ia tetap harus dihukumi punya suami selama tidak ada bukti bahwa ia telah dicerai. Ataupun seseorang yang telah berwudlu masih dihukumi punya wudlu selama tidak ada bukti bahwa ia telah batal. Hal ini senada dengan kaidah fiqih: ‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬ “Pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya tetap selama tidak ada bukti yang mengubahnya”24 4. Istishab Wasfi (pada dasarnya sifat dari segala sesuatu masih berlaku sebelum ada bukti yang mengubahnya). Contoh: Air yang diketahui bersih tetap dihukumi bersih selama tidak ada bukti bahwa air tersebut najis. Ataupun seseorang yang punya sifat idiot tetap ia masih dihukumi idiot (ia tidak wajib menjalankan kewajiban karena kurang akal) selama tidak ada bukti bahwa ia telah sempurna akalnya. Khusus macam Istishab yang nomor empat ini terjadi perbedaan pendapat antar ulama: a. Madzhab Syaf‟i dan Hanbali: dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara mutlak. b. Madzhab Hanafi dan Maliki: perlu pemilahan. Sebab kaidah ini hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan haknya yang baru. E. Qoul Shohabi Maksud dari qoul shohabi adalah “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam alQuran dan Hadis”. Sedangkan yang dimaksud dengan “sahabat” adalah “Setiap orang Islam yang hidup bergaul bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasul”. Para sahabat tersebut antara lain: Umar bin

24

Wahbah Zuhaili, “Ushul Fiqh” hal.111

11

Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah dll.25 Contoh pendapat Sahabat yang dijadikan sebagai dasar hukum antara lain: a. Pendapat Aisyah: Batas maksimal waktu kehamilan seorang wanita adalah 2 tahun. b. Pendapat Umar bin Khottob: Lelaki yang menikahi wanita yang masih dalam kondisi „iddah maka ia harus dipisahkan dan diharamkan menikahi kembali wanita tersebut selama-lamanya. c. Pendapat Anas bin Malik: Batas minimal waktu haidl seorang wanita adalah 3 hari. Terdapat ulama yang mengklasifikasikan pendapat sahabat menjadi 4 bentuk: 1. Fatwa sahabat yang bukan hasil ijtihadnya, tetapi kemungkinan besar berasal dari Rasul. Misalnya batas minimal mahar adalah sepuluh dirham. Model pendapat seperti ini telah disepakati oleh ulama dapat dijadikan sebagai landasan hukum. 2. Fatwa sahabat yang disepakati oleh mereka semua, hal ini dikenal dengan ijma‟ sahabat. Misalnya mereka sepakat melarang seorang laki-laki madu (poligami) dengan bibi istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Model ini juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum dengan kesepakatan seluruh ulama. 3. Pokok permasalahannya adalah: Apakah pendapat mereka ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum atau tidak?. a.

Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan generasi sesudahnya.

b. Mu‟tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat tidak dapat

dijadikan sebagai pegangan generasi sesudahnya. 26

25 26

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh” (Jakarta: Hamzah, 2010) hal: 225 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh” (Jakarta: Hamzah, 2010) hal: 226

12

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Fiqh menempati posisi yang amat penting dalam pemikiran islam, sebab fiqh merupakan hasil murni para intelektual muslim, ia bukan hasil adopsi apalagi jiplakan dari hukum Romawi seperti yang dikatakan sebagian Orientalis tetapi sepenuhnya bahwa ia berakar pada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena sangat penting dan menonjolnya kedudukan fiqh dalam Islam. Dalam fiqh, sangatlah dibutuhkan yang namanya marji‟atau sumber rujukan yang masyhur dikenal dengan “Mashadirul Ahkam”. Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ini ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi‟iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Ada pula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: maslahah mursalah, „Urf, Istihsan, Istishab, dan Qaul Sohabi. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai mashadirul ahkam yang mukhtalaf fiiha, namun sebagian besar ulama dan golongan masih menggunakan dan meyakini mashadirul ahkam tersebut sehingga dirasa sangatlah perlu bagi kita untuk mempelajarinya.

13

DAFTAR PUSTAKA Al Qur‟anul Karim Abdul Karim bin „Ali bin Muhammad An-Namlah, Al-Jami‟ li masa-il ushul Al fiqh wa tathbiqatiha, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, 2000. Dahlan, Abd. Rahman DR. H, M.A., Uhsul Fiqh, Sinar Grafika Offset, Jakarta, cetakan I 2010 Khallaf, Abdul Wahhab Prof. DR., Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amani, Jakarta, 2003. Wahbah Azzuhaili, Ushulul Fiqhi, 1990

14