AKHIR NEGARA BANGSA? K. Mustarom
Edisi 10 | Agustus 2017
ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
—————— Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
[email protected]. Seluruh laporan kami bisa didownload di www.syamina.org
Daftar Isi Executive Summary _____________________________________________________ 1 Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa _________________________________________ 3 Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?__________________________________________ 11
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat________________________________ 18 Akhir Negara Bangsa?___________________________________________________ 34 Kesimpulan __________________________________________________________ 52
01
Executive Summary
Executive Summary
Tatanan global saat ini didominasi oleh sistem negara bangsa (nation-
state). Kemunculan negara-bangsa dimulai setelah berakhirnya Perang Tiga
Puluh Tahun di Eropa 1618-1648, perang yang dilatarbelakangi oleh gejolak antara penguasa politik lokal dengan otoritas gereja.
Ditandatangani pada tahun 1648, Perjanjian Westphalia tidak hanya
mengakhiri 30 tahun perang di Eropa, namun juga menciptakan sistem negara
modern. Westphalia menetapkan batas teritorial tetap setiap negara dan
menetapkan gagasan bahwa rakyat harus tunduk pada undang-undang dan tindakan pemerintah masing-masing. Sebaliknya, hal itu juga menciptakan gagasan bahwa pemerintah berdaulat untuk memerintah rakyatnya karena dipandang perlu.
Selama tiga setengah abad terakhir, prinsip dan praktik Perjanjian
Westphalia secara bertahap disebarkan oleh Eropa ke belahan dunia yang lain, melalui kolonialisme yang mereka lakukan.
Negara bangsa memberikan pengaruh yang sangat dramatis terhadap
bagaimana kita menjalani hidup. Ia membentuk cara kita mengidentifikasi diri.
Bahwa kita Amerika, Rusia, China, Arab Saudi, atau Indonesia. Negara bangsa harus memiliki kultur bersama, yang diciptakan melalui kesamaan bahasa,
sejarah, dan pendidikan. Untuk membangun kultur nasional bersama, biasanya dilakukan dengan secara selektif memilih momen sejarah yang dianggap bisa menyatukan seluruh rakyat. Mereka juga mengendalikan bahasa, pendidikan,
dan hari besar, untuk memastikan bahwa seluruh rakyat merayakan kultur nasional yang sama. Kadang, semua itu dilakukan dengan cara pemaksaan
melalui kekerasan terhadap orang-orang yang tidak mau bekerjasama. Pemerintah tahu, bahwa tanpa kultur nasional bersama, negara bangsa tidak
memiliki kekuasaan riil dan mereka bisa jatuh kembali dalam peperangan dan chaos.
02
Executive Summary
Tatanan dunia negara bangsa saat ini mungkin tampak sebagai keadaan
alami yang telah ada selama berabad-abad, meski kenyataan berkata lain. Usia mereka banyak yang tidak lebih dari 100 tahun. Banyak negara-bangsa yang kita lihat di peta saat ini adalah kreasi politik yang perbatasannya digambar
secara sewenang-wenang, dengan mengabaikan perbedaan budaya, etnis, politik, agama, dan sosial yang telah ada di antara masyarakat setempat.
Dampaknya, banyak terjadi ketidaksesuaian antara masyarakat dunia dan perbatasan negara bangsa yang dibatasi oleh peta saat ini.
Partisi ini adalah sebuah garis batas yang hakikatnya dibuat berdasarkan
identitas penjajah, bukan berdasarkan identitas asli penduduk yang berada dalam garis tersebut. Hal ini meninggalkan gejolak, karena berbagai kelompok dipaksa mengidentikkan diri dengan identitas yang tidak sesuai dengan diri mereka.
Perpindahan menuju sistem politik internasional yang dibangun dengan
basis negara bangsa sebagai entitas politik utama muncul melalui pergeseran
yang lama dan berdarah-darah yang sampai sekarang masih terjadi di banyak wilayah di dunia. Kita hanya perlu baca koran atau media online hari ini untuk
melihat bahwa “konflik tentang apa itu sebuah bangsa dan siapa yang masuk di dalamnya” sampai sekarang masih terjadi.
Negara bangsa lahir tidak lepas dari sekulerisme, saat tujuan materiil lebih
diutamakan dibanding moralitas.
Negara bangsa adalah ide imajiner yang sebagian besar manusia di dunia
sepakat atasnya. Fakta bahwa garis imajiner yang dibentuk beberapa ratus tahun
yang
lalu
mendefinisikan
identitas
manusia
hari
ini
dan
membedakannya dengan manusia lain yang tinggal di wilayah lain di luar garis imajiner tersebut merupakan hal yang bisa dianggap aneh.
Sebagai sebuah komunitas artifisial, kelangsungan negara bangsa kini
mulai mendapatkan banyak tantangan, mulai dari pengaruh globalisasi, identitas
yang
belum
mengakar,
terutama
di
dunia
Islam,
hingga
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah global hari ini, seperti pengungsi.
03
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
Bangsa adalah sekelompok orang yang menganggap dirinya sebagai unit
yang kohesif dan koheren berdasarkan kriteria budaya atau historis bersama.
Bangsa adalah unit yang dibangun secara sosial, tidak alami. Keberadaan,
definisi, dan anggotanya dapat berubah secara dramatis berdasarkan keadaan. Bangsa dalam beberapa hal dapat dianggap sebagai "komunitas imajiner" yang terikat bersama oleh gagasan kesatuan berdasarkan agama, identitas etnis,
bahasa, praktik budaya dan lain sebagainya. Konsep dan praktik sebuah
bangsa bekerja untuk menentukan siapa insider dan siapa outsider. Konsep semacam itu sering mengabaikan batas-batas politis sehingga satu bangsa bisa saja "tersebar" ke dalam banyak negara.
Bangsa memiliki konotasi budaya, dan asal-usulnya secara historis jauh
lebih tua daripada negara (state). Bangsa bisa dikenali bahkan ketika perbatasannya belum ditandai dan, setidaknya secara formal, belum menjadi negara yang memiliki undang-undang sendiri.
Beberapa atribut kebangsaan yang umum dikemukakan adalah:
Adanya ikatan darah diantara anggota.
Adanya warisan budaya bersama. Warisan ini sering diinvestasikan
dengan nilai sentimental yang cukup besar. Bahkan, serangan
terhadapnya bisa ditanggapi dengan emosi dan kekerasan.
Koherensi linguistik, dalam bentuk satu atau lebih bahasa yang diidentikkan
dengan
identitas
nasional.
Namun,
di
dunia
telekomunikasi massa dan meluasnya bahasa Inggris hari-hari ini,
membuat perjuangan untuk melindungi bahasa nasional semakin sulit.
Rasa keterikatan dari rakyat terhadap bangsa. Gagasan tentang afiliasi kebangsaan membuat anggota sebuah bangsa mengalami respons
yang sangat mendalam terhadap ancaman yang menimpa bangsa tersebut, baik ancaman tersebut nyata atau hanya sekadar perasaan.
04
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
Dari atribut di atas, ada satu hal yang tidak selalunya terkait dengan
kebangsaan, namun dalam beberapa abad terakhir, khususnya sejak tahun
1860-an, tertanam kuat dalam dasar ideologis kelompok nasionalis, yaitu
teritorial. Gerakan nasionalis abad ke-19 dan sesudahnya telah menciptakan konsep ini, dengan mengikatkan bangsa ke tanah. Hubungan yang dianggap
tidak terpisahkan antara "Blut und Boden" (Darah dan Tanah) telah menyebabkan banyak perang yang berdarah, saat lebih dari satu bangsa
mengklaim wilayah yang sama. Bahkan, mereka menggenggam “hak atas tanah” tersebut bak sebuah agama.
Negara tidak sama dengan bangsa. Tidak setiap bangsa memiliki negara,
sebagaimana orang Kurdi. Namun sebuah bangsa dapat terus eksis hanya jika
mereka eksis sebagai sebuah negara, yang bisa memperkuat identitas mereka dan memastikan batas-batas teritorial yang tepat.
Negara adalah pemerintahan yang merdeka dan berdaulat yang
menjalankan kontrol atas wilayah tertentu yang didefinisikan dan dibatasi
secara spasial, yang perbatasannya biasanya didefinisikan secara jelas dan diakui secara internasional oleh negara-negara lain.
Terkait definisi negara, para ilmuwan politik sering menggunakan definisi
yang ditawarkan oleh Max Weber, yaitu hubungan manusia yang mendominasi
manusia yang lain, dan hubungan tersebut didukung oleh sarana kekerasan yang sah (atau dianggap sah). Oleh karena itu, negara dianggap sebagai
otoritas tertinggi yang sah yang dipercaya untuk menggunakan kekerasan atas sekelompok orang.
Berikut adalah hal-hal yang menjadi karakteristik dari sebuah negara: Monopoli penggunaan kekuatan
Legitimasi, sebagaimana yang dipersepsikan oleh pihak yang diperintah
Struktur kelembagaan yang dibentuk untuk menangani tugas pemerintahan, termasuk namun tidak terbatas pada, penggunaan kekuatan
Kontrol atas wilayah
05
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
Ada kemungkinan bahwa sebuah negara mungkin masih bisa berfungsi
dengan baik tanpa mewujudkan semua atribut di atas. Namun, semakin banyak atribut yang dipenuhi, maka semakin kuat negara tersebut. Ideologi
nasionalis lebih memilih bahwa setiap bangsa memiliki negaranya sendiri, meski cita-cita tersebut sampai sejauh ini sulit untuk terwujud. Lalu, apa itu negara bangsa?
Negara bangsa adalah gagasan tentang sebuah bangsa homogen yang
diatur oleh negara berdaulatnya sendiri—di mana setiap negara mengandung satu bangsa. Dan sampai saat ini, ide ini hampir tidak pernah tercapai. Negara
bangsa adalah sistem organisasi di mana orang-orang yang mempunyai kesamaan identitas tinggal di sebuah negara yang memiliki perbatasan tertentu dan memiliki satu pemerintahan tunggal.
Negara bangsa memberikan pengaruh yang sangat dramatis terhadap
bagaimana kita menjalani hidup. Ia membentuk cara kita mengidentifikasi diri.
Bahwa kita Amerika, Rusia, China, Arab Saudi, atau Indonesia. Ia juga menentukan bahasa apa yang kita pakai, aturan hukum apa yang kita ikuti, dan hari besar apa yang kita rayakan.
Negara bangsa dibentuk dengan perbatasan fisik, memiliki pemerintahan,
dan fakta bahwa rakyat meyakini bahwa mereka memiliki hubungan satu
sama lain. Bagian fundamental dari negara bangsa adalah negara dan bangsa. Sebuah bangsa diciptakan dari keyakinan bersama bahwa manusia yang berada dalam sebuah negara memiliki hubungan satu sama lain. Ide bahwa warga bangsa terhubung satu sama lain disebut nasionalisme.
Benedict Anderson menyebut kebangsaan sebagai komunitas imajiner.
Berbasis pada studi tentang penyatuan berbagai negara era modern
menunjukkan bahwa identitas kebangsaan dibangun dan ditanamkan di benak populasi yang sebenarnya heterogen. Bagi Anderson, sebuah bangsa harus
06
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
dibuat dalam imajinasi masing-masing penghuninya untuk menciptakan apa yang dia sebut sebagai 'komunitas imajiner'.1
Negara bangsa harus memiliki kultur bersama, yang diciptakan melalui
kesamaan bahasa, sejarah, dan pendidikan. Untuk membangun kultur nasional
bersama, biasanya dilakukan dengan secara selektif memilih momen sejarah yang dianggap bisa menyatukan seluruh rakyat. Mereka juga mengendalikan bahasa, pendidikan, dan hari besar, untuk memastikan bahwa seluruh rakyat
merayakan kultur nasional yang sama. Kadang, semua itu dilakukan dengan
cara pemaksaan melalui kekerasan terhadap orang-orang yang tidak mau bekerjasama. Pemerintah tahu, bahwa tanpa kultur nasional bersama, negara
bangsa tidak memiliki kekuasaan riil dan mereka bisa jatuh kembali dalam peperangan dan chaos.
Kultur nasional kadang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki
kesamaan yang tinggal di wilayah yang sama. Amerika Serikat misalnya. Para
kolonis dari Eropa yang masuk ke Amerika mulai membangun kultur nasional
yang khas yang pada akhirnya membawa mereka untuk mendeklarasikan perang melawan Inggris. Mereka juga menciptakan pemerintahan dan negara sendiri.
Sebaliknya, terkadang negara bangsa bermula dari sebuah pemerintahan
dan kemudian baru mencoba untuk menciptakan kultur nasional. Contohnya adalah Mexico. Saat Mexico merdeka dari penjajahan Spanyol, negara tersebut terlalu luas dan terfragmentasi untuk bisa membangun satu kultur nasional. Ada puluhan identitas yang berbeda di sana. Pada akhirnya, mereka
membutuhkan hampir 100 tahun untuk membangun rasa Kemeksikoan (Mexicanidad).
1
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalisn, Verso, London (2006)
07
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
Negara bangsa memiliki perbatasan yang definitif, di mana kekuasaannya
terbatas di situ, dan hukum mereka juga tidak bisa dipaksakan di luar perbatasan tersebut.
Bagaimana Identitas Kebangsaan Dibangun? Bangsa, dalam arti yang
kita kenal hari ini, adalah karakter yang
sebenarnya tidak natural. Untuk menyiasati pembentukannya yang seringkali
bersifat sewenang-wenang, diperlukan beberapa atribut yang dimiliki bersama
oleh warga negara. Selain itu, diperlukan juga sejarah yang dianggap sama dengan sentimen dan idelogi baru yang diciptakan. Karenanya, “nasionalisme
bukanlah usaha pembangkitan bangsa agar sadar terhadap diri, tapi nasionalisme sejatinya adalah menciptakan bangsa yang sebenarnya tidak ada.”2
Identitas nasional tersebut dibangun seolah-olah ia selalu ada. “Memiliki
sebuah bangsa bukanlah atribut kemanusiaan yang melekat, tapi sekarang dimunculkan nampak seperti itu,“ tulis Gellner.3
Semua itu terjadi karena pengaruh bangsa—sebagai komunitas yang
“diciptakan” atau “diimajinasikan”—dianggap berdaulat. Ide kedaulatan berasal dari momen yang menjadi latar belakang pembentukan bangsa.
Kemunculan era pencerahan (enlightment) dan rasionalitas bersamaan
dengan serangkaian kejadian revolusioner yang melemahkan, dan akhirnya mengakhiri, struktur monarki yang didukung oleh gereja. Gellner juga berpendapat bahwa fenomena sosial nasionalisme adalah konsekuensi
langsung dari industrialisasi dan alasan ilmiah yang mendorongnya. Bangsa
dianggap datang untuk mewakili kebebasan manusia. "Bangsa bermimpi untuk bebas, dan, jika pun di bawah Tuhan, mereka ingin langsung," tulis Anderson. 4
2
Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Basil Blackwell Publisher Limited, Oxford, Inggris, 1983, h. 169 3 Idem, hal. 6 4 Benedict Anderson Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalisn, Verso, London, 2006, h. 7
08
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
Untuk membangun bangsa yang diimajinasikan, diperlukan beberapa alat.
Diantaranya adalah penciptaan atau penemuan sebuah tradisi yang melegitimasi dan menghasilkan ide sejarah bersama. Ketika proses pembangunan identitas kebangsaan menguat, “praktik tradisional yang sudah
ada dimodifikasi, diritualkan, dan dilembagakan demi kepentingan bangsa yang baru.” 5
Selain itu, bahasa juga memainkan peran penting. Bahasa secara ideologis
dianggap sebagai pondasi primordial kebudayaan bangsa. Masyarakat diminta untuk percaya bahwa ada satu bahasa nasional yang benar dan alami. Dan mereka secara spontan percaya. Bahasa menjadi “esensi yang membedakan
satu orang dengan yang lainnya, “kita” dari “mereka”.6 Tapi sebagaimana tradisi, Hobsbawm menunjukkan bahwa bahasa nasional pada faktanya adalah konstruksi semi-artifisial, dan kadang-kadang... diciptakan secara virtual.”7
Faktor berikutnya adalah pendidikan. Pendidikan sangat penting untuk
pembentukan komunitas “imajinasi”. Pembentukan masyarakat “anonim dan
impersonal ... yang disatukan di atas budaya bersama semacam ini dihasilkan oleh penyebaran secara umum sekolah yang dimediasi, idiom yang diawasi
secara akademis, yang dikodifikasi sebagai persyaratan birokrasi dan
komunikasi teknologi.”8 Pendidikan berperan dalam menyebarkan pesan untuk mempertahankan dan memperkuat kontrol negara. Bagi Eric
Hobsbawm, bahasa resmi para elit biasanya menjadi “bahasa aktual negara modern melalui pendidikan publik dan mekanisme administratif lainnya.” 9
Bagian penting lainnya bagi proses pembangunan identitas patriotik
nasional adalah media sebagai komunikasi massa. Benedict Anderson dan
beberapa ilmuwan lainnya, menekankan pentingnya komunikasi massa. Ia
secara khusus menunjuk pada pembacaan novel dan koran pada abad ke-17
5
E. Hobsbawm, T. Ranger, The Invention of Tradition, Cambridge University Press, Cambridge, UK, 1983, h. 6 6 Idem, h. 51 7 Idem, h. 54 8 Idem, h. 57 9 Hobsbawm, E. (1990) Nations and Nationalism since 1780, Cambridge University Press, Great Britain, h. 61
09
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
dan ke-18 sebagai produsen utama kesadaran kebangsaan. Menurutnya,
komunikasi massa semacam itu sangat penting dalam menyampaikan gagasan
simultan kepada pembaca. Dengan seremonial membaca, orang-orang menjadi sadar akan banyaknya orang lain yang tidak mengenal mereka namun menghuni bangsa atau kota yang sama seperti mereka, pada saat yang sama
dan mungkin sedang membaca koran yang sama. Seremonial massal ini meyakinkan rakyat bahwa dunia imajiner tersebut memang berakar dari kehidupan sehari-hari mereka."10
Media berfungsi untuk menyatukan bangsa. Dalam buku Media Events, The
Live Broadcasting Of History, penulis menunjukkan bagaimana perayaan nasional dan tradisi yang diciptakan disebarkan melalui media. Media akan
meliput peristiwa bersejarah yang dianggap sangat layak diberitakan dan
disiarkan secara langsung, yang akan mempesona seluruh warga negara atau bahkan dunia. Contohnya termasuk festival hari libur nasional untuk
merayakan satu tradisi, peristiwa politik yang penting, misi karismatik, serta ritual perjalanan orang-orang hebat terpilih. Penulis menyoroti bahwa “siaran ini mengintegrasikan masyarakat dalam detak jantung kolektif dan
membangkitkan pembaharuan loyalitas kepada masyarakat dan otoritas mereka yang sah."11
Teknologi komunikasi elektronik adalah alat yang berfungsi untuk
memusatkan kekuasaan. “Teknologi visual, ... menciptakan bangsa yang
seragam secara spasial, homogen dan terhubung."12 Selain media cetak dan radio, komunitas imajiner juga dibentuk oleh film dan televisi.
Adat istiadat, peristiwa sejarah dan bahasa dilembagakan sebagai
representasi ‘bangsa baru', kemudian didistribusikan melalui pendidikan dan komunikasi massa yang terorganisir. Hal Ini menunjukkan bahwa proses
pembangunan identitas nasional sebenarnya tidak natural dan bersifat
10
Anderson, h. 35 D Dayan, E. Katz, Media Events: The Live Broadcasting of History. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992, h. 9 12 Harold Innis, The Bias of Communication, University of Toronto Press, Toronto, Canada, 1951, h. xiii 11
10
Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa
memaksa. Karena itulah, Paul Gilroy menyatakan bahwa, “yang seharusnya
ditantang adalah bagaimana kebiasaan dan praktik yang tampaknya unik ini dipahami sebagai ungkapan kebangsaan yang murni dan homogen."13
Penguasa berupaya mengarahkan masyarakat dengan menginvestasikan
mode budayanya sendiri sebagai cara hidup, mentalitas, sikap dan perilaku
masyarakat.14 Semua itu dilakukan secara halus melalui ideologi. Sebagaimana
kata Michel Foucault, “kekuatan ... tidak dimiliki sebagaimana benda, atau dipindahkan sebagaimana harta; Ia berfungsi seperti mesin. Dan meskipun
memang benar bahwa organisasi piramida memberinya "kepala", para aparat secara keseluruhan lah yang memproduksi "kekuatan".15
Selain itu, cara berpikir dan diskusi tentang isu-isu semacam solidaritas
sosial, identitas kolektif, dan legitimasi politik memainkan peran penting
dalam menghasilkan pemahaman kebangsaan dan pengakuan klaim nasionalis pihak lain. Dalam hal ini, peran bahasa sebagai alat untuk tujuan nasionalistik
tidak hanya sebagai perangkai populasi, tapi lebih daripada itu, ia juga berperan untuk membatasi diskusi isu bangsa itu sendiri. Media bukanlah
satu-satunya agen persuasi, namun usaha mereka untuk menciptakan identitas nasional adalah bagian dari skema hubungan kekuasaan yang lebih luas.
Negara-negara modern dibuat tanpa kekuatan ikatan sosial yang
substansial. Karenanya, mereka perlu ideologi yang mendukung dan mempertahankan "penemuan" baru tersebut. Minimnya sejarah mereka
membuat mereka harus menciptakan, menyesuaikan, dan menyebarkan pengalaman dan tradisi masa lalu yang dianggap sesuai. Bahasa bersama
dimuliakan dan dinilai sebagai penyokong. Perlahan namun pasti, bangsa diimajinasikan sebagai komunitas yang solid dan dapat dibenarkan. Proses ini penting bagi stabilitas keberadaan mereka.
13
Paul Gilroy, There Ain’t No Black in The Union Jack, Routledge, London, England., 1987,h.69 14 A. Mattelart, M. Mattelart, The Carnival of Images: Brazilian Television Fiction, Bergin & Harvey Publishers, New York, 1990, h. 111 15 Michel Foucault, Beyond Structuralism and Hermeneutics, Penguin, London, 1982, h. 179
11
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Tatanan dunia negara bangsa saat ini mungkin tampak sebagai keadaan
alami yang telah ada selama berabad-abad, meski kenyataan berkata lain. Ia
adalah perkembangan yang relatif baru yang muncul setelah runtuhnya pemerintahan imperium. Banyak negara-bangsa yang kita lihat di peta saat ini
adalah kreasi politik yang perbatasannya digambar secara sewenang-wenang, dengan mengabaikan perbedaan budaya, etnis, politik, agama, dan sosial yang telah ada di antara masyarakat setempat. Dampaknya, banyak terjadi
ketidaksesuaian antara masyarakat dunia dan perbatasan negara bangsa yang dibatasi oleh peta saat ini.
Hari ini, mungkin agak sulit untuk membayangkan masa sebelum dunia
dikelola dengan konsep negara bangsa. Identitas kebangsaan dan individu dianggap terkait dengan negara bangsa. Ia didorong oleh keyakinan bahwa
“setiap kelompok etno-nasional harus mengelola dirinya sendiri, dan
pemerintahnya harus merupakan representasi kelompok etno-nasional yang menjadi penduduknya.”16 Jika kita melihat ribuan tahun sejarah dunia, masa negara bangsa, hanya merupakan potongan yang sangat kecil.
Meski hari ini negara bangsa adalah entitas yang paling familiar dalam
politik global hari ini, keberadaan negara bangsa dalam pemerintahan
internasional adalah fenomena yang baru-baru ini saja terjadi. Banyak negara
yang diakui oleh dunia hari ini adalah negara muda yang perbatasannya relatif baru dibentuk, hasil dari sisa-sisa imperium global yang lebih luas. Perpindahan menuju sistem politik internasional yang dibangun dengan basis
negara bangsa sebagai entitas politik utama muncul melalui pergeseran yang lama dan berdarah-darah yang sampai sekarang masih terjadi di banyak
16
Andreas Wimmer and Brian Min, From Empire to Nation-State: Explaining Wars in the Modern World, 1816-2001, American Sociological Review, Vol. 71, No. 6 (Desember 2006), 867-897.
12
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
wilayah di dunia. Kita hanya perlu baca koran atau media online hari ini untuk melihat bahwa “konflik tentang apa itu sebuah bangsa dan siapa yang masuk di dalamnya” sampai sekarang masih terjadi.17
Pada saat Revolusi Perancis tahun 1789, hanya sekitar separuh penduduk
saja yang bisa bahasa Prancis. Bahkan, jumlah warga Italia yang mampu berbahasa Italia kurang dari separuh saat terjadi unifikasi Italia. Setelah itu,
penguasa dengan kebijakan hegemoniknya membuat kebijakan yang memastikan bahwa berbagai dialek, bahasa, dan kultur akan diasimilasikan ke dalam bahasa/budaya resmi atau dihapuskan sama sekali.18
Sebagian besar nenek moyang kita “hidup di dalam unit politik yang tidak
berpura-pura mewakili satu orang.”19 Mereka hidup dalam imperium majemuk
yang hirarki kekuasaannya dibangun di atas wilayah-wilayah perifer, yang
sangat bervariasi kultur dan etnisnya, dan diatur oleh wilayah inti. 20 Sejarah manusia didominasi oleh pemerintahan global, dan warisannya pun masih mempengaruhi tatanan global hari ini.21
Setelah itu, tatanan politik internasional bertransisi dari rakyat diperintah
di bawah aturan imperium menjadi rakyat diperintah di bawah aturan negara
bangsa. Transisi ini bukan tanpa akibat. Ia menyebabkan disparitas antara perbatasan negara bangsa dan perbatasan masyarakat dunia. Banyak negara bangsa yang ada hari ini adalah hasil dari kesepakatan antara imperium besar
dan kekuatan kolonial masa lalu. Perbatasan dan identitas mereka dibentuk oleh kesepakatan tersebut, bukan dari perbedaan aktual di antara rakyat. Jadi, identitas negara bangsa ini lahir dari identitas para penjajahnya, bukan dari identitas asli mereka.
17
Wimmer & Min, 894. https://swarajyamag.com/books/new-paradigm-for-india-from-nation-state-tocivilizational-state 19 Jane Burbank & Frederick Cooper, Empires In World History: Power and the Politics of Difference 1 (Princeton University Press 2010). 20 Wimmer & Min, 870. 21 Burbank & Cooper, 2 18
13
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Dalam bahasa Devin Stewart, negara bangsa adalah “mitos yang
dipresentasikan sebagai fakta.” Menurutnya, mitos tersebut telah memicu peperangan dan menghambat solusi bagi masalah terbesar di muka bumi ini.
Mitos mengenai negara bangsa terdiri dari dua ide, satu ide konkrit, yaitu
negara, dan satu lagi ide yang kabur, yaitu bangsa. Manfaat negara cukup jelas. Ia diperlukan untuk mengatur manusia dalam mengelola sumber dayanya
demi kepentingan umum yang lebih luas dan dalam rangka menghadapi ancaman bersama, baik berupa bencana alam maupun pasukan musuh yang menyerang.
Negara bangsa dianggap sebagai jalan untuk mengkonsolidasikan dan
melegitimasi kekuasaan negara atas sekelompok orang yang didefinisikan oleh
kesamaan bahasa, budaya, atau etnis. Masalahnya, sebagaimana kesimpulan
Stewart, kontur komunitas budaya jarang sekali sama dengan kontur entitas politik.22
Sangat sulit untuk membayangkan sebuah bangsa yang akhirnya
membentuk satu negara atau negara yang terdiri dari satu bangsa. Beberapa
berpendapat bahwa Jepang adalah contoh dari negara bangsa. Tapi,
kenyataannya orang Jepang terdiri dari Ainu, Korea, China, Filipono, dan Ryuku. Stewart mengungkapkan bahwa mitos mengenai negara bangsa
membutuhkan lompatan keyakinan. Ilmuwan Jepang, Yoshihisa Hagiwara berpendapat bahwa karena tidak berdasarkan fakta lapangan, mitos mengenai
negara bangsa cenderung berjalan menuju kehancuran, karena manusia adalah individu yang merupakan bagian dari komunitas global. Ia menyesalkan
perasaan orang-orang Jepang yang begitu erat memegang ide “Japaneseness”,
yang mungkin akan membuat mereka menjadi “pahlawan terakhir” dari etos yang sudah sekarat.23
22
https://www.carnegiecouncil.org/publications/ethics_online/0024#4 http://www.japantimes.co.jp/opinion/2008/09/02/commentary/worldcommentary/solutions-demand-end-to-nation-state-myth/#.WXvzm4SGO1s 23
14
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Sebagaimana kata politisi Kanada, Michael Ignatieff, penghambaan
terhadap negara bangsa dapat menyebabkan seseorang “melupakan hukum
yang lebih tinggi yang memerintahkan mereka untuk tidak menaati tatanan yang tidak adil,” yang bisa membawa kepada malapetaka sebagaimana penindasan yang dilakukan oleh Nazi dan Stalin.
Terkadang bisa dikatakan bahwa Amerika Serikat (United States Of
America) seharusnya disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) karena sebenarnya terdiri dari banyak bangsa, dan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya disebut Amerika Serikat karena setiap negara tidak
benar-benar mewakili sebuah bangsa. Pernyataan tersebut berguna untuk menantang asumsi dasar tentang sistem internasional.
Karena itulah Stewart berpendapat bahwa negara bangsa dalam
bentuknya saat ini bukanlah tatanan permanen dalam sistem internasional. Konsep tersebut baru ditemukan ratusan tahun lalu dari jutaan tahun sejarah
umat manusia. Beberapa negara Eropa yang kita anggap kuno dan tua, seperti
Italia dan Jerman, baru bersatu pada tahun 1800-an, dan menjelma menjadi bentuk saat ini kurang dari 100 tahun yang lalu. Dan mereka sudah menyerahkan kekuasaan pada otoritas supranasional, satu hal yang mungkin dianggap sebagai khayalan beberapa dekade yang lalu.
Ilmuwan politik asal Praha, Alex Tomsky memandang bahwa negara
bangsa tidak punya tempat di akhir abad ke 20, apalagi di milenium ketiga.
“Negara bangsa adalah ide yang sangat usang. Ini adalah ide abad ke-19 sebagaimana yang kita semua tahu. Saya lihat negara bangsa berasal dari ide
nasionalisme, dari ide masyarakat homogen dengan seorang pemimpin, yang mempunyai otoritas, dengan kecenderungan tertentu pada sejarah dan
ideologi... Lebih daripada itu, negara bangsa telah menyebabkan dua perang dunia di Eropa.”24
24
http://www.bbc.co.uk/worldservice/theneweurope/wk18.htm
15
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Negara bangsa adalah ide imajiner yang sebagian besar manusia di dunia
sepakat atasnya. Fakta bahwa garis imajiner yang dibentuk beberapa ratus tahun
yang
lalu
mendefinisikan
identitas
manusia
hari
ini
dan
membedakannya dengan manusia lain yang tinggal di wilayah lain di luar garis
imajiner tersebut merupakan hal yang bisa dianggap aneh. Di Amerika Serikat
misalnya, bagi mereka yang tinggal di California, secara geografis mereka lebih dekat dengan Mexico dibanding New York, tapi garis imajiner tersebut memaksa warga California untuk lebih mengidentikkan diri dengan warga
New York dibanding warga Mexico. Hal ini akan membuat kita bertanya, mengapa ada perbatasan?
Gambar 1. Peta Amerika Serikat dan Mexico
16
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Perbatasan sering dibuat karena alasan politik. Dampaknya, garis imajiner
tersebut banyak meracuni dunia dengan kekacauan di tahun-tahun berikutnya. Afrika, selama tahun 1881 sampai 1914, diinvasi, diduduki, dibagi, dan dijajah oleh kekuatan Eropa yang dipengaruhi oleh Imperialisme Baru. Hal yang sama
terjadi di Timur Tengah dan kawasan Asia lainnya. Negara-negara Eropa
menarik garis-garis kolonial berdasarkan pembagian secara sewenangwenang.25 Mereka tidak menghormati batas-batas yang selama ini sudah lama berlangsung di Afrika—berdasarkan kesamaan budaya, etnis, bahasa, dan kesamaan lainnya.
Gambar 2. Peta etnis dan perbatasan di Afrika
Setelah periode penjajahan dan aneksasi oleh orang-orang Eropa ini,
negara-negara Afrika mulai mendapatkan kemerdekaan. Tapi mereka masih
mempertahankan garis-garis kolonial yang dibuat penjajah Eropa. Akibatnya, di sebagian besar negara Afrika, sekitar 45 persen penduduk masuk dalam kelompok yang dipartisi oleh perbatasan nasional.
25
http://voxeu.org/article/long-run-effects-scramble-africa
17
Negara Bangsa: Mitos atau Fakta?
Partisi ini adalah sebuah garis batas yang hakikatnya dibuat berdasarkan identitas penjajah, bukan berdasarkan identitas asli penduduk yang berada dalam garis tersebut. Hal ini meninggalkan gejolak, karena berbagai kelompok dipaksa mengidentikkan diri dengan identitas yang
tidak sesuai dengan diri mereka. Karena itu, identitas kebangsaan yang diciptakan oleh sisa-sisa kolonialisme sangat bertentangan dengan demarkasi budaya tradisional yang dengannya banyak orang Afrika mengidentifikasi diri.
Dari perspektif logis, tampaknya lebih baik memulai dengan premis bahwa
kita semua adalah manusia, dan bahwa kepentingan dan tindakan kita bersifat
global, tidak peduli seberapa besar kita ingin berpura-pura terpisah dari orang lain. Dimulai dengan perspektif bahwa tindakan seseorang akan berdampak
pada orang lain, akan membawa pada pendekatan yang lebih etis terhadap kebijakan dan peraturan negara.
18
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Untuk bisa memahami apa yang terjadi saat ini, kita harus melihat ke
masa lalu. Untuk memahami kondisi dunia Islam saat ini, serta kebijakan politik terhadap dunia Islam dari kekuatan eksternal, kita harus melihat bagaimana kondisi politik saat ini diciptakan.
Apa yang disingkapkan dalam sejarah kepada kita adalah sebuah pola
yang konsisten mengenai intervensi Barat, manipulasi dan eksploitasi atas dunia Islam sejak abad 16. Negara-negara Barat sangat konsisten dalam menjalankan formula yang sukses dalam melakukan ekspansi, kolonisasi dan penyebaran pengaruh ke seluruh dunia, tidak hanya dunia Islam.
Sejak revolusi sekuler pada abad 17, Barat tidak lagi diarahkan dan
diatur oleh tujuan berlatar pandangan dunia kristen, tetapi termotivasi oleh
hal yang lebih materialistik—meski bukan berarti mereka jadi berhenti berperang karenanya. Kekristenan digantikan oleh liberalisme sekuler sebagai sudut pandang dominan dan motivasi untuk melakukan ekspansi.
Ketika dulu Barat akan menaklukkan suatu wilayah untuk mendapatkan
harta dan menyebarluaskan Kristen, mereka sekarang melakukannya untuk mendapatkan harta dan menyebarluaskan liberalisme sekuler.
Ketika Liberalisme sekuler diharapkan dapat mengambil alih dan
mengubah dunia, Islam sebagai pola pandang saingan dan kekuatan yang melawan ketidakadilan ekonomi hadir sebagai batu halangan terhadap ideologi liberal sekuler, sebagaimana dulunya Islam menjadi batu halangan bagi Kristen.
Untuk memahami secara objektif kebijakan Barat modern terhadap
kebangkitan Islam atau potensi bangkitnya Islam di negara mayoritas Muslim,
kita perlu mempelajari respon dan strategi Barat dalam menghadapi Islam dan negara mayoritas Muslim dalam sejarah.
19
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Proses Pendirian Barat Setelah runtuhnya kekaisaran Roma Barat di abad kelima, Eropa terdiri
dari suku barbar yang memenuhi reruntuhan peradaban Roma dan saling
berperang satu sama lain. Suku-suku tak berpendidikan ini tidak dapat melanjutkan pembelajaran yang dilakukan oleh orang Roma, ataupun memperbaiki bangunan dan teknologi Roma, dari situ, Eropa memasuki “masa
kegelapan” (Dark Ages). Yang tersisa dari masa Roma adalah kepercayaan
Kristen—yang kebanyakan suku telah mengadopsinya pada abad kelima, dan
institusi keagamaan gereja Katolik—yang telah diadopsi oleh Roma sebagai agama resmi kekaisaran sesaat sebelum kejatuhannya.
Dari abad ketujuh hingga kesembilan, jatuhnya kerajaan suku Eropa oleh
tentara muslim menyebabkan suku-suku Eropa di sekitar area kekuasaan
Islam mulai bersatu di bawah kekuasaan satu suku yang kuat. Gereja Katolik mengadopsi strategi ini untuk memperkuat pengaruhnya dan mengembalikan Eropa kepada puncak kekuatan. Gereja mulai menawarkan kepada para kepala
suku pengangkatan resmi dari Gereja sebagai 'Raja', untuk menjadikan para
anggota suku di bawah mereka lebih loyal. Timbal baliknya, gereja dan para pendeta bisa memberikan pengaruh dalam kekuasaan dan mendapatkan perlindungan.
Dengan bangkitnya kerajaan Eropa, dan dengan masuknya barang-
barang dengan teknologi tinggi dari dunia Islam ke pasar Eropa—yang
meningkatkan perkembangan materiil dari kerajaan-kerajaan baru ini—Gereja Katolik menyerukan perang ideologi, atau "perang salib", terhadap tanah Eropa yang dikuasai oleh Muslim. Hal ini membantu Gereja meraih kekuatan
dan pengaruhnya di bidang politik domestik kerajaan-kerajaan baru tersebut. Pada saat yang sama mereka juga menciptakan aliansi negara-negara kristen Eropa yang kemudian disebut Christendom. Hal ini disebut oleh banyak ahli sejarah sebagai saat lahirnya kesadaran dasar "Pra-Barat".
Akan tetapi, pergesekan dan asimilasi Eropa dengan pembelajaran dan
sains Muslim sepanjang abad ke 11-12, terutama metode saintifik dalam
20
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
mengamati fenomena alam dan pengambilan kesimpulan atas hukum alam
dengan eksperimen, mengubah kebudayaan Eropa selamanya. Gesekan tersebut menghasilkan sebuah kebangkitan intelektual dalam berpikir—yang kemudian disebut oleh ahli sejarah sebagai the Renaissance.
Pada saat yang sama, kekuatan Utsmani naik di dunia Islam pada abad
ke-14, dan mengambil kekuasaan di seluruh dunia Islam dan mendeklarasikan
dirinya sebagai Kekhalifahan Islam. Pada masa-masa awal kekuasaan Utsmani
(abad ke 13-16), Christendom terus melancarkan dan mengobarkan peperangan melawan Utsmani, yang seluruhnya berakhir dengan kegagalan. Permulaan Kolonialisme Eropa
Pada abad ke-16, kekuatan Eropa, dilengkapi dengan teknologi baru dan
keilmuan baru, melihat celah dengan biaya yang murah untuk meneruskan serangan terhadap kekhalifahan Utsmani yang masih kaya dan memiliki
kekuatan besar. Penjelajah Eropa memutuskan untuk melewati musuh
historisnya, dan menemukan kesempatan baru untuk berdagang ke kepulauan
yang jauh. Dulunya, mereka harus melewati wilayah Utsmani dan membayar pajak.
Penemuan tanah-tanah baru yang kebanyakan ditinggali oleh suku-suku
yang inferior secara teknologi dan memiliki sumber daya alam yang kaya
namun lemah dalam pertahanan—yang disebut 'tanah primitif'—membuat orang Eropa berlomba-lomba untuk mendapatkan kontrol di seluruh dunia dalam upaya untuk mendapatkan harta dan melakukan eksploitasi ekonomi.
Semua kekuatan Eropa, setiap kali menaklukkan tanah primitif baru,
seringkali fokus pada ekstraksi massal ataupun memproduksi sumber daya
dengan 'memberdayakan' (lebih tepatnya memaksa) para pribumi untuk bekerja. Jika penduduk pribumi melawan, mereka akan membawa tenaga kerja
dari wilayah lain yang tidak melawan atau dari penduduk Eropa untuk menjadi tenaga kerja loyal yang bisa diandalkan.
21
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Kolonial Barat berusaha menanamkan keyakinan Kristen kepada para
pribumi di daerah jajahan untuk meredam keinginan mereka memberontak. Mereka berusaha memperkecil perbedaan antara pribumi dengan tuannya. Dari situ mereka berharap bahwa para pribumi akan mempraktekkan kebudayaan Barat dalam mengelola diri mereka sendiri, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sangat menguntungkan kepentingan tuan koloni mereka.
Kristen dianggap sebagai pondasi dasar bagi para pribumi untuk
berkembang secara intelektual menjadi seperti Barat. Hal ini berdasarkan
pengalaman orang Eropa di mana renaissance dimulai dari dasar Kristen.
Dengan kebijakan tersebut, para pribumi diajari oleh para misionaris, bangunan gereja strategis digunakan secara ofensif untuk membuat markas
misionaris. Jika tidak berhasil, beberapa pribumi dipaksa untuk masuk Kristen di bawah todongan senjata. Cara yang paling berhasil yang digunakan oleh
banyak penjajah Eropa adalah dengan menyekolahkan mereka di sekolahsekolah yang mengajarkan nilai-nilai Barat dan Kristen.26
Kebangkitan intelektual dan pemikiran, serta besarnya harta dan sumber
daya dari tanah jajahan, mendorong perkembangan teknologi yang semakin
maju di Barat, hingga Barat mencapai kesetaraan dengan saingan terberatnya, peradaban Islam, pada abad ke-17.
Besarnya sumber daya yang diambil dari tanah jajahan semakin
mempercepat perkembangan teknologi Eropa, sehingga teknologi militer
Eropa dan jumlah populasinya mulai melampaui kekhilafahan Utsmani secara signifikan pada abad 18.
26
Contohnya adalah kebijakan pengambilan anak Aborigin dalam Aborigine Protection Act 1869 di Australia, the American Indian Boarding Schools, dan sistem pendidikan baru yang dipaksakan oleh the English Education Act 1835 di India.
22
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Christendom Terbagi Kontak Eropa dengan peradaban Islam melalui Perang Salib di Syam dan
umat Islam di Andalusia telah membangkitkan semangat belajar di Barat melalui penerjemahan tulisan-tulisan Yunani dan Arab. Antara abad ke-13 dan ke-16, banyak pemikir Barat menghabiskan tenaga dan waktu mereka mempelajari ilmu alam, yang menghasilkan perkembangan di bidang sains dan teknologi.
Semangat belajar dan meneliti ini memicu banyak peninjauan ulang
terhadap asumsi filosofis, keyakinan Kristen, dan kekuatan Eropa yang berdasar dari kepercayaan tersebut. Hal ini memunculkan banyaknya
perbedaan bentuk Kristen yang menantang dan menentang pengaruh politik
dan teologis Paus Katolik. Maka muncullah Kristen Protestan, atau yang lebih spesifik, Lutheranism.
Perbedaan pendapat ini mulai mengacaukan struktur kekuatan yang
ada—terutama pengaruh Paus terhadap kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini mendorong Paus untuk memerintahkan negara-negara Katolik agar mereka
menekan pendapat-pendapat teologis ini. Namun masalah muncul ketika suatu kerajaan mengadopsi Lutheranism. Dampaknya adalah munculnya perang saudara dalam kerajaan, yang terjadi selama abad ke-16 hingga 17.
Untuk mengakhiri peperangan ini, kesepakatan pragmatis antara dua
faksi utama, Kerajaan Katolik dan Protestan menghasilkan perjanjian
Westphalia. Perjanjian antar negara Eropa selama abad ke-17 bertujuan untuk menciptakan
kehidupan
berdampingan
yang
damai,
dan
menggeser
perselisihan keagamaan ke alam intelektual. Pemerintah Eropa setuju untuk
menghilangkan pertimbangan agama dalam kebijakan luar negeri diantara
mereka. Namun, hal ini bukanlah sekulerisme. Seluruh kerajaan Eropa masih
berdasarkan hukum Kristen. Apa yang diberikan oleh perjanjian Westphalia
terhadap setiap Raja Kristen adalah hak penuh bagi mereka untuk menentukan Kristen aliran apa (antara Katolik, Lutheranism, dan Calvinism)
23
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
yang digunakan di dalam kerajaan mereka, dan untuk menoleransi aliran Kristen minoritas lain dalam negara mereka.
Raja Inggris yang terkenal King Henry VIII memisahkan diri dari Gereja
Katolik, namun hal ini bukan disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap
interpretasi Injil, melainkan karena King Henry ingin menjadi pemimpin
tertinggi di Inggris dan tidak menginginkan adanya campur tangan dari Paus Katolik. Dari sini lahirlah sempalan baru Kristen Protestan—Kristen Anglikan. Bangkitnya Ideologi Baru Eropa
Hingga saat itu, para filsuf dan peneliti Eropa fokus pada pengembangan
matematika,
mendiskusikan
metafisika
dan
teologi,
serta
mengimplementasikan metode sains yang mereka pelajari dari Muslim, untuk
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sains fisika. Hingga akhirnya, beberapa pemikir Eropa seperti Thomas Hobbes dan John Locke di
pertengahan hingga akhir abad ke-17 mulai mempelajari manusia secara sosial dan politik. Dengan dasar kepercayaan bahwa politik Eropa tidak stabil karena
perang antara Katolik dan Lutheran, mereka mencari cara agar mendasarkan
sistem politik di atas sesuatu yang bukan merupakan hukum yang berasal dari
otoritas gereja. Ini merupakan permulaan pembelajaran Barat akan pandangan baru mengenai posisi manusia di dalam dunia materiil ini, untuk menemukan tujuan baru dan organisasi politik baru bagi kemanusiaan. Oleh sejarawan
Barat, periode disebut Age of Enlightenment. Sejarawan Barat masing-masing berbeda pendapat kapan tepatnya era ini dimulai dan berakhir.
Para pemikir Barat, terkesima dengan metode ilmiah dan semua ilmu
yang diberikannya mengenai alam, mulai mengimplementasikannya untuk
mempelajari bagaimana manusia seharusnya berorganisasi secara sosial dan politik, dan tujuan apa yang harusnya mereka kejar di dunia ini.
Masalahnya adalah, sains mempelajari hal yang tangible, sementara
organisasi sosial dan politik manusia adalah hal yang intangible—yang didasari oleh hal-hal non-material seperti pikiran, imajinasi, gagasan,
perasaan, keterikatan emosional, dan yang paling penting adalah tujuan. Sains
24
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
bisa menerangkan manusia terbuat dari apa, bagaimana badan manusia bekerja, dan kebutuhan biologis manusia, namun sains tidak dapat
menerangkan tujuan manusia, dan dari situ sains tidak bisa mengatakan kepada kita bagaimana manusia seharusnya diatur, atau apa yang seharusnya
mereka percaya atau pikirkan. Implementasi yang salah dari sains, yang
dilakukan kebanyakan oleh pemikir Kristen ketika mempelajari organisasi
sosial dan politik manusia menghasilkan kesimpulan pseudo-ilmiah— pandangan materialistik yang didasarkan atas moralitas 'hukum alam'. Hal ini di kemudian hari akan menjadi sekulerisme dan Liberalisme.
Gagasan sekulerisme dilahirkan dari pertimbangan Thomas Hobbes
yang sepenuhnya materialistik dalam dunia politik dan ekonomi, di mana keamanan materiil diajukan sebagai tujuan tertinggi dari suatu negara, bukan kebajikan atau moralitas. Dalam pandangan kaum sekuler, negara harus hanya memiliki satu
pemimpin, bukan kepemimpinan yang terbagi bersama rohaniawan yang tidak punya kekuasaan. Artinya pihak yang bisa memberikan keamanan secara fisik
adalah Raja, tuan tanah, atau kepala suku. Konsep ini diajukan untuk
menghalangi campur tangan Paus dalam urusan Kerajaan Kristen Barat, sebagaimana yang biasa terjadi di masa lalu.
Dalam konsep awal negara Sekuler, hukum yang berdasarkan ajaran
Kristen secara teori adalah opsional. Hukum yang berdasarkan agama hanya
diimplementasikan sesuai dengan kebijakan penguasa, yaitu jika mereka
lihatnya cocok untuk meningkatkan perdamaian dan moralitas masyarakat. Di masa awal, sekulerisme tidak melarang hukum yang berdasarkan agama, selama yang memutuskan adalah Raja, bukan pihak gereja.
Argumen dan kesimpulan Hobbe adalah bahwa pemerintah berdasarkan
tujuan material lebih disukai karena lebih stabil, dan bahwa orang Kristen tidak memerlukan pemerintahan yang didasarkan oleh hukum Injil.
John Locke mengambil konsep dasar Hobbe dan menempelkannya pada
pandangan baru,
yaitu individualisme (keunggulan individual di atas
25
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
semuanya). Paham individualisme membawa kepada bentuk politik bernama Libertarianism (kemudian disebut Liberalisme). Locke mengajukan konsep
bahwa negara tidak hanya berdasarkan kekuasaan semena-mena dari
pemimpin yang memberikan keamanan, namun bahwa negara bertujuan untuk melindungi dan 'membebaskan' setiap individu untuk melakukan apa
yang mereka inginkan. Hal ini pada akhirnya memiliki hasil yang berbeda-beda ketika diimplementasikan.27
Revolusi Liberal dan Negara Bangsa Negara yang pertama kali jatuh dalam revolusi liberal adalah
pemerintahan Inggris di tahun 1668. Meskipun revolusi ini tidak langsung menciptakan negara liberal, ia dianggap permulaan gerakan liberal yang
secara progresif mengubah Inggris menjadi negara sekuler liberal. Kemudian
revolusi Amerika tahun 1776—yang ironisnya melawan imperium liberal Inggris, dan Revolusi Perancis tahun 1799. Negara Eropa lainnya kemudian mengalami revolusi liberal selama abad ke-19.
Hingga saat ini, Eropa terdiri dari banyak Kerajaan Monarki atau Oligarki
(aturan dibuat oleh kelompok aristokrat atau bangsawan). Sebuah Kerajaan adalah pemerintahan dan penjagaan oleh pemimpin (Raja, Pangeran,
Bangsawan) dan dinastinya, terhadap orang-orang yang hidup di area yang
27
Libertarianisme awalnya memahami bahwa pemerintah hanya hadir untuk memberikan keamanan bagi rakyat dari gangguan satu sama lain, dan karena itu menyediakan sebuah masyarakat yang membebaskan setiap individu untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, diharapkan kekerasan akan berkurang. Namun, pada pertengahan abad ke-19, banyak negara semacam itu gagal, karena 'individu' yang lebih kuat dalam masyarakat (yaitu orang kaya) mengeksploitasi individu yang lebih lemah, dan berujung pada masalah ekonomi dan turbulensi. Menyikapi masalah tersebut, para pemikir Barat bukannya membubarkan proyek Libertarian, namun justru memutuskan untuk mengamandemennya. Pemerintah melakukan intervensi di bidang ekonomi dan masyarakat untuk membatasi kebebasan rakyat, meningkatkan pajak untuk memberi makan orang miskin, dan memastikan keseimbangan yang lebih baik dalam perilaku sosial dan transaksi ekonomi. Ironisnya, hal ini adalah penegasian terhadap kepercayaan asli kaum Liberal tentang pemerintahan. Namun karena tidak adanya teori politik alternatif lainnya, sebagian besar negara menerima begitu saja amandemen tersebut. Tipe Libertarianisme baru ini, disebut 'Liberalisme Sosial', atau singkatnya disebut Liberalisme.
26
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
dikuasainya. Rakyat adalah 'subyek' dari pemimpinnya. Mereka adalah 'subyek' dari otoritas dan kekuasaan pemimpin. Loyalitas mereka harus kepada pemimpin mereka. Raja dari kerajaan lain bisa saling menaklukkan
satu sama lain dan mendapatkan tambahan subyek. Loyalitas masyarakat
diarahkan kepada siapa saja yang menguasai tanah tersebut. Oligarki pada
dasarnya sama, hanya berbeda di pemimpinnya saja. Dalam oligarki,
pemimpinnya bukanlah Raja, namun kelompok bangsawan—koalisi tuan tanah yang masing-masing mempunyai subyek. Kondisi ini berubah dengan bangkitnya 'Nasionalisme'.
Nasionalisme adalah produk lain dari 'Pencerahan' Barat dan diinspirasi
langsung oleh pikiran Sekuler Liberal. Menurut kepercayaan Liberalisme Sekuler, yaitu Individualisme, masyarakat tidak lagi merupakan subyek
dari Raja atau kelompok bangsawan, namun setiap individu memiliki kedaulatan dalam diri mereka masing-masing. Menurut teori ini, pemerintahan dibentuk oleh individu yang berkumpul, membentuk perjanjian
dan
kepemimpinan
persetujuan, sesuai
demi
dengan
terwujudnya
tujuan
dan
keamanan
keinginan
dan
bersama
masyarakat. Para individu tersebut adalah setara. Mereka menjadi warga negara, bukan subyek dari Raja.
Konsep 'tujuan bersama' yang dibawa oleh Sekuler Liberal kemudian
mengarahkan pada pertanyaan mengenai apa itu komunitas individu? Ketika memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengenai apa yang dimiliki
bersama oleh sekumpulan individu yang akan membawa mereka menuju kepentingan
bersama,
nasionalisme—berpendapat
Johann
bahwa
Gottfried
kesamaan
Herder—penemu bahasa
menjadi
istilah basis
kepentingan bersama dari sekumpulan individu, untuk menjadi satu 'bangsa'.
Setiap bangsa kemudian diasumsikan akan memiliki kepentingan bangsa,
yang merupakan penggabungan dari banyak individu yang berdaulat. Kepentingan bangsa tersebut kemudian menjadi otoritas kedaulatan tertinggi atas mereka. Orang-orang dengan bahasa yang sama dikotakkan menjadi
'bangsa'. Meski demikian, terdapat banyak pendapat lain yang diajukan oleh
27
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
para pemikir Liberal, yaitu mengenai apa yang membuat satu bangsa berbeda dengan yang lain. Masalah ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang sama hidup di banyak
'bangsa', bahkan beberapa memiliki kultur, agama serta sejarah yang sama. Konsep bangsa (atau Nasionalisme) dari dulu hingga sekarang masih merupakan konsep buatan yang berubah-ubah, hasil dari pemikiran Sekuler Liberal.
Masalah yang dihadapi oleh pemikir Liberal tentunya adalah bagaimana
orang-orang memahami kepentingan nasional tersebut. Dan apa yang terjadi jika ada dari individu tersebut yang memiliki kepentingan dan keinginan berbeda dengan kepentingan dan keinginan bangsanya. Untuk menjawab hal
ini, beberapa pemikir Sekuler Liberal meminjam solusi dari teks Yunani Kuno,
Demokrasi. Demokrasi Yunani melibatkan rakyat (tidak termasuk wanita dan
budak) untuk memilih dan secara langsung menentukan hukum yang ada. Namun konsep ini tidak diambil oleh para pemikir Eropa. Mereka mengubah konsepnya, sehingga rakyat hanya akan memilih sekumpulan manusia (biasanya dari pejabat tinggi) untuk menentukan hukum. Tidak ada satu pun
pemikir Liberal terkemuka yang menganjurkan rakyat untuk secara langsung menentukan
hukum
pemerintahan,
mereka
hanya
bisa
menyetujui
pemerintahan yang mengatur mereka, dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau memilih perwakilan di bawah Raja. Inilah mengapa negara Sekuler Liberal Modern terganggu dengan turunnya jumlah pemilih dalam pemilihan
umum, karena tidak penting partai mana yang pilih, tapi jumlah partisipasi
rakyat dalam pemilihan umum melegitimasi sistem tersebut, bukan masalah siapa yang dipilihnya. Jika kebanyakan orang tidak memilih, maka seluruh sistemnya menjadi tidak legitimate.
Tipe negara baru ini, yang memerintah sebuah 'bangsa', tidak lagi disebut
kerajaan namun disebut 'negara bangsa'.
Revolusi liberal melawan struktur kekuasaan tradisional Eropa
mengubah persepsi diri Eropa secara radikal. Gagasan mengenai Christendom
28
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
surut dan digantikan dengan pikiran baru di seluruh bangsa Eropa—sesuatu yang selanjutnya akan disebut 'Barat'.
Setelah kemunculan pemerintahan Liberal Sekuler, politik internasional
dan domestik Eropa semakin mengarah ke arah materialistik. Namun
ironisnya, perang tanpa henti masih terjadi diantara negara Eropa, bahkan mungkin memperparah perang tersebut. Tetapi, sejak perjanjian Westphalia, perang yang murni berdasarkan ideologi agama tidak lagi terjadi antar orang Eropa. Perang antara Eropa dan kekhilafahan Utsmani juga berkurang.
Penting dicatat bahwa Liberalisme Sekuler hanya muncul sebagai sistem
politik di kalangan bangsa Barat di akhir abad ke-18. Sejak permulaan renaissance Barat di abad ke-12, selama 600 tahun bangsa Eropa berkembang secara teknologi, kebudayaan dan material tanpa sistem politik Liberal, atau
bahkan Demokrasi modern. Contohnya Inggris, yang dulunya adalah negara
superpower global dan memimpin inovasi teknologi dari abad ke-18, tidak mengadopsi Demokrasi secara penuh hingga 1918 (200 tahun setelahnya).
Karenanya, pernyataan bahwa Liberalisme Sekuler dan Demokrasi
menciptakan perkembangan dan kemajuan sains hanyalah mitos yang
disebarkan oleh Liberal modern. Faktanya, Liberal adalah pewaris dari
perkembangan material Barat dan penelitian ilmiah yang dimulai dari masa
renaissance, bukan penemunya. Dunia Barat mencapai supremasi global sebagian besar melalui penaklukan militer, bukan inovasi teknologi.
Perkembangan teknologi bukan berarti supremasi—sebagaimana dibuktikan oleh Jepang saat ini. Penggunaan kekerasan untuk menyebarkan ideologi
Barat—dan memfasilitasi eksploitasi ekonomi terhadap ‘tanah primitif’— adalah faktor yang menciptakan supremasi Barat. Supremasi yang masih mereka miliki hingga saat ini dengan menggunakan kekuatan dan kekerasan terhadap negara non-Barat.
29
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Samuel Huntington menulis:
“Barat menaklukkan dunia tidak dengan superioritasnya dalam hal gagasan atau nilai-nilai atau agama, namun [mereka menaklukkannya] dengan superioritasnya dalam mengimplementasikan kekerasan terorganisir. Orang Barat seringkali lupa fakta ini, tapi kaum non-Barat tidak pernah lupa.”28 Proyek Liberalisme Sekuler terhadap Dunia & Islam Sekulerisme liberal muncul pertama kali dari negara protestan, dan lebih
lambat menyebar di negara Katolik—karena adanya perlawanan dari Gereja Katolik. Liberalisme muncul dari negara Kristen Protestan, yang kemudian
menciptakan intoleransi mendalam negara liberal terhadap Katolik. Banyak perang terjadi antara negara Katolik dengan Liberal. Bahkan negara Liberal
saling berperang satu sama lain, yang menyebabkan terjadinya perang
Napoleonic antara Perancis dan Inggris, serta perang tahun 1812 antara AS dan Inggris.
Negara-negara di bawah pengaruh Katolik sedikit demi sedikit
mendapatkan kebebasan dari kontrol Gereja, namun mereka masih mempertahankan beberapa pengaruh Gereja Katolik dalam kebijakan dalam
dan luar negerinya. Dengan adanya revolusi Liberal di banyak negara Katolik pada pertengahan abad ke-18, Gereja Katolik dipaksa untuk menerima peran
terbatasnya dalam masalah politik. Konsekuensinya, pemerintahan dan negara Liberal mulai toleran terhadap Katolik.
Kekuatan Barat tidak lagi mengobarkan perang untuk menyebarkan
Kristen demi Kristen, sekarang mereka mengobarkan perang untuk menyebarkan Liberalisme Sekuler dalam misi yang lahir dari persepsi mereka
sendiri, yaitu 'membawa peradaban pada dunia'. Dari sini Liberalisme Sekuler
menggantikan Kristen dalam kebijakan luar negeri Barat, dan akhirnya
28
Samuel P. Huntington,"The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order", London, Touchstone Books, 1996, h. 51
30
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
menggantikan hampir seluruh hukum domestik Kristen di setiap negara Eropa.
Keinginan Liberal untuk 'membuat dunia beradab' bukanlah sebuah keinginan
bagi Liberal, tapi sebuah kebutuhan. Sebagaimana Katolik ingin menyebarkan Kristen untuk 'menyelamatkan manusia dari neraka', Liberalism percaya
bahwa nilai yang mereka anut adalah universal, dan karenanya wajib dianut oleh semua manusia—dengan menggunakan slogan 'kebebasan'. Karena itu,
secara ideologis, Liberalisme sejatinya sama agresifnya dengan Katolik dan juga cenderung untuk perang ekspansif, sebagaimana Katolik sebelumnya. Samuel Huntington menulis:
“Kepercayaan Barat mengenai universalnya kultur Barat memiliki tiga masalah: Hal tersebut salah; hal tersebut immoral; dan berbahaya ... Imperialisme adalah konsekuensi logis dari universalisme.”29 Sebelumnya, Barat di bawah gerakan Christendom, menyebabkan Perang
Salib berdarah-darah terhadap tanah Muslim, mereka berperang untuk
mendapatkan kontrol strategis, yaitu harta, namun yang paling penting, untuk
menghentikan persebaran Islam. Tetapi, dengan hilangnya Kristen dari mindset Barat dan munculnya Liberalisme Sekuler, Islam sekali lagi ditaksir oleh pemikir dan politisi Barat untuk menentukan putusan Liberalisme Sekuler terhadapnya.
Pendiri Liberalisme Sekuler, John Locke menyimpulkan bahwa Muslim
tidak punya hak untuk ditolerir di tatanan dunia Liberal, karena ideologi
Khalifah mereka merupakan ancaman politik bagi negara Liberal sebagaimana negara Katolik dulunya.
Pejabat pemerintahan Inggris dan penyair, serta penggagas konsep
kebebasan berpendapat, John Milton, berpendapat bahwa Katolik seharusnya
29
Idem, h. 310
31
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
dimusnahkan karena ancaman 'kepausan', dan menganggap Islam tidak berbeda dengan Katolik.30
Filsuf liberal terkenal di abad ke-19, John Stuart Mill, pemilik British East
India company menegaskan bahwa penjajahan dan penggunaan kontrol yang
sewenang-wenang dan kejam adalah legitimate sampai mereka menjadi
Liberal.31 Dalam bukunya, Mill menganggap orang Aljazair dan India sebagai bangsa barbar yang harus ditaklukkan, yang dari situ aturan-aturan antar negara 'beradab' tidak perlu diimplementasikan terhadap mereka. 32
Filsuf liberal dan pemikir politik Perancis, Alex de Tocqueville, yang
secara terbuka mendukung metode penjajahan brutal Perancis di Aljazair, mengatakan bahwa Islam, tidak seperti Kristen, tidak cocok dengan gagasan Liberal dan akan hilang dari kehidupan politik orang Islam. 33
Presiden keenam AS, John Quincy Adams mengatakan pada perang
Rusia-Utsmani: “Karena prinsip utama dari kepercayaan Muslim adalah
menaklukkan orang lain dengan perang; maka hanya dengan kekuatanlah doktrin palsu mereka bisa dihapuskan, dan kekuatan mereka dimusnahkan.”34
Gubernur Inggris ketika British menduduki Mesir, Lord Cromer
mengatakan: “Sangat tidak masuk akal jika kita menganggap Eropa akan menjadi penonton pasif ketika pemerintahan terbelakang yang murni
berasaskan prinsip Mohammedan dan gagasan oriental [Islam] berdiri di
Mesir. Kepentingan materiil yang dipertaruhkan terlalu penting... Generasi baru Mesir harus dibujuk atau dipaksa untuk menyerap semangat dari peradaban Barat.”
30
https://www.dartmouth.edu/~milton/reading_room/areopagitica/text.html John Stuart Mill, On Liberty, Boston, Atlantic Monthly Press, 1921 32 http://www.thelatinlibrary.com/imperialism/readings/mill.html 33 Alexis de Tocqueville, ‘Democracy in America’, volume 2, Chapter 5 34 Essai yang ditulis oleh John Quincy Adam terkait dengan perang Russo-Turki di The American Annual Register for 1827-28-29, New York, 1830, h. 274-275 31
32
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
Dr. William Hunter, hakim di Bengal, dan anggota dewan gubernur
jenderal di wilayah jajahan Inggris, India, mengatakan 'Kita harusnya
mengembangkan generasi baru dari Mohammedan agar tidak lagi belajar dengan pikiran sempit mereka atau terilhami... oleh doktrin pahit dari hukumhukum
kuno
mereka,
namun
[seharusnya
pengetahuan yang waras dan ramah dari Barat.”35
mereka]
dipoles
dengan
William Muir, anggota komite gubernur Inggris untuk India, dan
sejarawan orientalis dari kehidupan Muhammad SAW mengatakan: “Pedang Muhammad dan Quran adalah musuh yang paling fatal dari peradaban, kebenaran, dan kebebasan yang dunia masih belum ketahui.”36
Dari awal hadirnya pemikiran Liberal, hingga masa mekarnya pada saat
terjadinya revolusi Liberal dan proyek penjajahan dunia, kebutuhan dunia
liberal untuk menaklukkan dan 'membuat dunia beradab'—dalam arti mengubah cara hidup mereka—secara langsung meletakkan Liberalisme dan Islam dalam pertentangan
alami.
Islam, sebagaimana
Katolik awal,
mengandung cara hidup yang menyeluruh sehingga secara alami menjadi antitesis dari proyek politik Liberal. Karenanya filsuf, pemikir dan politisi
liberal sepakat mengenai apa ynag harus dilakukan terhadap dunia Islam— mereka akan diinvasi atau dipengaruhi secara kultur dan politik hingga mereka memperturutkan paradigma Liberal.
Ancaman Islam menurut gagasan Liberal Sekuler bukan karena Islam
akan memaksa dunia untuk berpindah agama, namun bahwa ia menjadi
kompetitor terhadap liberalisme dalam menawarkan cara hidup. Islam
dianggap sebagai halangan dan saingan terhadap tatanan dunia baru Liberal— tatanan dunia yang diklaim oleh Liberal sebagai tatanan yang universal. Karena itu Islam harus dikalahkan, namun tidak dengan menghancurkan
35
Dr William Hunter, ‘Our Indian Musalmans: Are They Bound in Conscience to Rebel against the Queen?’, 1871 36 “The life of Mahomet” vol 4, pg 322 1861
33
Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat
langsung sumber ajarannya, karena hal itu pastinya tidak akan mungkin.
Liberalisme menggunakan cara intelektual, kultural dan serangan militer,
menciptakan perubahan dalam sistem politik di dunia Islam, dan memandang Islam sebagai hal yang usang untuk dipakai dalam kehidupan politik.
Sebagaimana dikatakan Alex de Tocqueville, terlepasnya ikatan Islam
dari kehidupan politik akan melemahkannya dan menyebabkan kematiannya.
Pemikir Liberal awal tidak memiliki masalah dengan keberadaan Islam yang hanya terbatas dalam kepercayaan spiritual—karena kebanyakan Liberal adalah Kristen Protestan, dan percaya bahwa apa yang telah mereka lakukan
untuk Krisen dan Katolik bisa diulang terhadap Islam. Namun langkah
awalnya, mereka tetap harus mendapatkan kontrol politik dan pengaruh budaya di dunia Islam, sebelum bisa mengeksekusi program Liberal.
34
Akhir Negara Bangsa?
Akhir Negara Bangsa?
Negara Bangsa dan Hilangnya Kontrol Informasi Semua negara, dari semua zaman, memiliki pondasi yang sama:
sekelompok subyek yang mau menerima pemerintahan. Tanpanya, tidak ada negara yang bisa bertahan. Hal ini berlaku untuk rezim demokratis, rezim sosialis, republik, monarki, teokrasi dan semua bentuk pemerintahan lainnya.
Jika rakyat tidak mau, negara akan segera gagal. Meskipun mereka jarang
menyebutkannya di depan umum, para operator negara mengetahui hal ini. Itulah sebabnya mereka ingin mengendalikan arus informasi, dan mengapa, dalam suatu krisis, mereka akan menutupnya. Suara yang berlawanan melemahkan legitimasi, dan negara tidak dapat bertahan tanpanya.
Jika sebuah negara tidak memiliki legitimasi lebih banyak dibanding
entitas lain, usaha untuk mengumpulkan pajak akan ditolak secara luas; rakyat
tidak lagi patuh, atau bahkan tidak mau memperbaiki fasilitas pemerintah. Akhirnya, negara tersebut akan runtuh. Citra legitimasi sangat penting bagi negara, bahkan lebih daripada kekuatan. Bukti dari hal ini adalah Gereja di
abad pertengahan: Mereka tidak memiliki kekuatan, namun mereka
memerintah selama seribu tahun. Mereka mampu melakukan ini karena satu alasan: Mereka mampu mempertahankan monopoli legitimasi.
Puncak kontrol informasi terjadi pada pertengahan abad ke-20, saat
mungkin hampir 98% dari semua berita Amerika keluar dari satu atau dua
kode pos di Manhattan. Hal yang sama juga kurang lebih terjadi di belahan dunia lainnya. Tak hanya itu, orang-orang yang menghasilkan berita secara massal adalah kelompok yang cukup homogen. Hadirnya televisi kabel pun tidak banyak menambahkan suara yang berbeda. Tapi kini hadir sosok baru: Internet.
Internet bukanlah teknologi kontrol. Dirancang oleh anak-anak cerdas,
bukan tipe politisi, internet dengan sengaja dibuat terdesentralisasi. Hal itu membuatnya sulit dikendalikan. Hampir tidak ada yang melihat dahsyatnya
35
Akhir Negara Bangsa?
pengaruh internet. Ledakannya pada tahun 1993 mengejutkan hampir semua orang. Dan, tak lama kemudian, seorang geek berita tunggal mengungkapkan
Bill Clinton sebagai pembohong dan orang-orang kecil mampu menumbangkan Dan Rather yang perkasa. Permainan telah berubah.
Pemerintah saat ini menyiasatinya dengan berusaha mengendalikan
kontrol Internet dan menggunakannya untuk pengawasan massal. Namun
mereka, bersama dengan korporasi besar yang menjadi kawan mereka,
mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat meredamnya secara total.
Sementara itu, gagasan yang mempertanyakan atau menentang legitimasi negara semakin menyebar. Di era internet, tidak ada lagi gatekeeper. Negara Bangsa dan Globalisasi Definisi modern kedaulatan nasional mulai terbentuk dengan munculnya
Sistem Westphalia pada abad ke-17. Dan negara bangsa telah menjadi inti kehidupan politik masyarakat manusia sejak saat itu. Namun, globalisasi kini
telah menyeret hampir semua negara di dunia ke dalam proses integrasi politik dan ekonomi. Kini, hampir tidak ada negara yang bisa menjaga urusan dalam negerinya tanpa pengaruh dari faktor eksternal.
Globalisasi telah menyebabkan penyesuaian besar pada tiga komponen
utama negara bangsa, yaitu teritorial, kedaulatan dan rakyat. Globalisasi juga
telah mengguncang fondasi citra tradisional sebuah bangsa di dalam pikiran manusia. Uni Eropa adalah contohnya. Meskipun paspor yang dikeluarkan oleh
negara anggota Uni Eropa terhadap warganya berbeda, mereka mencabut kontrol perbatasan sesuai dengan Perjanjian Schengen. Sebagai hasilnya,
orang-orang Eropa bebas menyeberang ke sesama negara anggota. Uni Eropa telah menjadi semacam negara federal terpadu dalam hal perdagangan dan
keuangan, namun menyerupai konfederasi negara-negara merdeka dalam hal urusan dalam negeri, pertahanan nasional dan hubungan luar negeri. Beberapa
ilmuwan menganggapnya sebagai "konfederasi" yang menyerupai sebuah negara dalam beberapa hal dan negara super dalam hal lain.
36
Akhir Negara Bangsa?
Secara alami, pasar global bertentangan dengan prinsip tradisional
sebuah negara berdaulat. Di seluruh dunia, salah satu tren perkembangan politik saat ini, di tengah globalisasi ekonomi, adalah desentralisasi kekuasaan
politik. Perusahaan multinasional, seperti Apple, Boeing, Microsoft, Google, Facebook dan Twitter, mempengaruhi banyak perkembangan ekonomi dan
politik negara bangsa. Kontrol dan pengelolaan pasar, yang secara tradisional merupakan fungsi negara, sekarang sebagian besar telah diambil alih oleh
organisasi supranasional. Dengan kata lain, negara bangsa sering mendapati
diri mereka tidak berdaya di depan pasar dunia karena fungsi tradisional mereka telah dilemahkan secara serius.
Dengan demikian, tidak ada satu negara bangsa saat ini yang dapat
mengatur pasar keuangan global sendiri.
Faktor internasional telah menjadi varian penting dalam membatasi
perkembangan politik internal satu negara. Tidak ada satu negara pun, bahkan yang sebesar AS, Rusia, China, Jepang, Jerman, atau Prancis, yang dapat
membuat keputusan mengenai isu-isu nasional utama tanpa sepenuhnya
mempertimbangkan pengaruh lingkungan internasional terhadap keputusan tersebut, dan dampak dari keputusan tersebut terhadap lingkungan internasional.
Salah satu teori yang muncul saat ini adalah tentang "runtuhnya negara
bangsa".
Beberapa
ilmuwan
menyebut
globalisasi
sebagai
proses
"denasionalisasi". Sedangkan ilmuwan yang lain menyebut bahwa kedaulatan nasional, dalam pengertian tradisionalnya, mulai runtuh dan sekarang sudah
usang, karena era "post-Westphalia" dalam politik internasional telah tiba.
Yang lain lagi menyatakan bahwa globalisasi telah meletakkan dasar yang realistis bagi pemerintah dunia, sehingga saat ini sangat diperlukan sebuah
"pemerintahan dunia" bagi "komunitas dunia". Sementara itu, beberapa ahli
lain mengemukakan konsep "neo-imperialisme", dengan mengatakan bahwa ini adalah perkembangan terakhir dari imperialisme tradisional, yang pada
intinya merupakan upaya dari negara-negara maju Barat untuk memaksakan budaya, nilai, sistem politik dan ideologi mereka kepada negara lain melalui
37
Akhir Negara Bangsa?
ekspansi ekonomi dan monopoli keuangan, yang sama sekali mengabaikan kedaulatan nasional. Mereka secara terbuka berusaha mencari hegemoni global.
Apakah teori ini benar atau tidak, kenyataannya memang globalisasi
telah mengubah secara signifikan gagasan tradisional tentang kedaulatan
nasional. Tatanan dunia baru yang sesuai dengan kemajuan globalisasi telah muncul.
Kenichi Ohmae, seorang konsultan manajemen Jepang dalam bukunya
The End of the Nation-State yang diterbitkan pada bulan Juli 1995, sempat
membuat heboh. Ia mengungkapkan bahwa negara-negara bangsa, telah kehilangan peran mereka sebagai unit partisipasi yang berarti dalam ekonomi global dunia tanpa batas saat ini. Ohmae menulis bahwa "negara bangsa semakin menjadi fiksi nostalgia."37
Surat kematian tersebut ditegaskan kembali oleh diplomat Prancis Jean-
Marie Guéhenno dalam bukunya, The End of the Nation-State. Negara bangsa telah "dilewati oleh permainan transnasional," kata Guéhenno, dan tidak lagi
berfungsi sebagai "ruang solidaritas dan kontrol politik alami." Negara bangsa
"terlalu jauh untuk bisa mengelola masalah kehidupan kita sehari-hari ... [dan] terlalu terbatas untuk menghadapi masalah global yang mempengaruhi kita."38
Setahun kemudian, akademisi Inggris Susan Strange mengumumkan
bahwa pasar dunia saat ini lebih kuat dibanding negara. "Kepala pemerintahan,"
ungkapnya,
"mungkin
menjadi
orang
terakhir
yang
mengetahui bahwa mereka dan para menteri mereka telah kehilangan otoritas atas masyarakat dan ekonomi nasional yang selama ini mereka miliki." 39
37
Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economics, New York, Free Press, h. 12 38 Jean-Marie Guéhenno, The End of the Nation-State, Minneapolis, University of Minnesota Press, 1995, h. 12-13 39 Susan Strange, In The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy, Cambridge, Cambridge University Press, 1996, h. 3
38
Akhir Negara Bangsa?
Salah satu hal yang dituding sebagai penyebab utama runtuhnya negara
bangsa adalah globalisasi ekonomi. Pada tahun 1980an dan 1990an, pemerintah
di
seluruh
dunia
membongkar
hambatan
perdagangan
internasional. Perjanjian Uni Eropa mulai berlaku pada bulan November 1993,
diikuti oleh Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara pada bulan Januari 1994 dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995.
Perubahan teknologi juga berperan. Dunia mulai berhubungan tanpa
mengenal perbatasan. Pada tahun 1989, Tim Berners-Lee menemukan konsep World Wide Web. "Internet telah menciptakan budaya di mana pemerintah
dan negara tidak sepenting sebelumnya,”40 kata Ray Kurzweil, ilmuwan komputer dan futuris yang dipekerjakan oleh Google. Kurzweil mengatakan bahwa teknologi mulai menggabungkan dunia ke dalam satu budaya global.
Dia memprediksi bahwa kita telah melewati titik kritis kekuatan negara
individu, karena internet dan berita internasional telah menyebar dan menyatukan planet ini. Merger budaya, keuangan, dan teknologi ini terus
berlanjut. Sebelum era internet, budaya, keuangan, dan berita cukup terbatas pada satu negara. Saat berita internasional diberitakan, dulu hanya melalui surat kabar nasional. Kini semua itu sudah berubah. Krisis di satu negara,
dampaknya juga berpengaruh pada pada dunia. Dunia kini terpapar “CNN Effect,”41 yang berpotensi merusak otonomi kementerian luar negeri dan para komandan militer.
"Satu abad yang lalu, negara bangsa cukup superior. Segala sesuatu
benar-benar dikendalikan di dalam negara bangsa," lanjut Kurzweil. "Namun kini, kita menjadi satu masyarakat dunia."
40
https://www.inverse.com/article/33057-ray-kurzweil-future-countries Sebuah teori dalam ilmu politik dan media yang menyatakan bahwa perkembangan saluran berita televisi 24 jam, yang dikenal dengan News Network dan CNN, memiliki dampak besar pada kebijakan luar negeri satu negara pada akhir periode Perang Dingin. 41
39
Akhir Negara Bangsa?
Hal Ini tidak berarti bahwa ketegangan antar bangsa sudah tidak ada lagi,
atau bahwa kita tidak lagi menggunakan identitas kebangsaan untuk
mendefinisikan diri kita, namun dibandingkan dengan 30 atau 100 tahun yang lalu, Kurzweil berpikir bahwa perbedaan ini sudah mulai memudar.
"Kita membangun sebuah budaya dunia, sebuah sistem hukum dunia.
Saya pikir negara bangsa akan terus menjadi kurang berpengaruh, "kata Kurzweil.
Apakah geografi kehilangan relevansinya? Apakah perbatasan negara
memiliki arti penting di abad kedua puluh satu? Pengguna internet, yang pada dasarnya tersebar di seluruh dunia, saat ini merupakan komunitas global baru.
Realitas ini telah mengoyak diskursus sosio-ekonomi, bahkan mengubah
bagaimana manusia menjalankan kehidupannya sehari-hari. Internet telah
membuat dunia begitu saling bergantung, hingga mengaburkan batas-batas fisik dunia sedemikian rupa sehingga tidak ada yang bisa lepas dari pengaruhnya dan menolak fenomena tersebut.
Menurut World Development Report 2016, meningkatnya akses Internet
telah menyebabkan ledakan produksi dan konsumsi informasi di seluruh
dunia. Dalam satu hari, 207 miliar email terkirim, 8,8 miliar video YouTube
ditonton, trafik web mencapai 2,3 milyar GB, 803 juta tweet, 4,2 miliar
pencarian Google, 152 juta panggilan Skype dan 186 juta foto Instagram. 42 Hal ini menunjukkan besarnya internet dan luar biasa banyaknya penggunanya. Internet kini menjadi geografi baru.
Saat ini, seseorang mampu menghasilkan sejumlah besar data yang
berkaitan dengan aktivitasnya sepanjang hari, mulai dari soal keuangan, sosial,
pendidikan, perdagangan, hiburan, pemerintahan dan setiap aspek lain yang dapat dipikirkan manusia. Data ini menjadi identitas pengguna internet.
42
World Bank. World Development Report 2016: Digital Dividends. Washington DC, 2016
40
Akhir Negara Bangsa?
Data yang mencirikan pengguna individu akan menjadi norma baru. Data
ini sebagian besar ditangkap oleh platform global seperti Facebook, Google
dan lain-lain. Jadi, dalam permainan baru, siapapun yang mampu mengelola
data pengguna ini, akan mampu membentuk lanskap politik dan keuangan global.
Kedaulatan suatu negara akan semakin sulit dipertahankan karena akan
ada konflik antara loyalitas warga virtual dan warga nyata. Hari ini pengguna internet mencapai 3,4 miliar, dan diprediksi akan segera mencapai lebih dari 7
miliar pada 2020. Fenomena ini akan membuat negara bangsa harus bergelut menghadapi pengaruh lintas perbatasan. Mereka juga harus berjuang keras
untuk menyatukan warganya. Platform internet cepat menganalisa dan memberikan informasi yang dibutuhkan para pengguna. Pada akhirnya
mereka akan mulai mengelola pengguna, dan perlahan-lahan membawa pengguna menuju pemerintahan ala mereka.
Jika kita melihat skenario global, internet merupakan faktor utama
penyebab terjadinya perubahan dinamis kebiasaan, hiburan, pendidikan,
ekonomi dan politik lintas budaya. Internet mendorong lebih banyak pertukaran barang dan jasa lintas perbatasan, sehingga memungkinkan
konsumen dan perusahaan untuk melewati batas negara. Tak lama lagi,
fenomena semacam itu juga akan terjadi dalam percakapan politik dan
ekonomi. Akibatnya, dialog politik dan ekonomi dalam negeri juga akan terpengaruh.
Mengapa ini terjadi?
Fakta yang sulit yang dihadapi Pemerintah adalah bahwa mereka sama
sekali tidak memiliki bandwidth untuk menangani data dengan skala dan variasi yang sangat besar ini. Selain itu, sistem pemerintahan yang ada saat ini tidak siap untuk menghadapi perubahan skenario sosial politik yang sangat dinamis hari ini.
Facebook memiliki lebih dari 1,5 miliar pengguna; Google memiliki 1,2
miliar pengguna. Jumlah tersebut lebih banyak daripada populasi negara
41
Akhir Negara Bangsa?
manapun, kecuali China dan India. Mereka adalah platform tanpa batas yang masuk melintasi batas negara yang berurusan dengan semua aspek kehidupan
manusia. Platform internet ini membentuk dan merancang budaya kerja dan
memfasilitasi segala bentuk aktivitas sehari-hari manusia dan cara mereka berasosiasi.
Jika kita melihat berbagai aktivitas manusia hari ini, sebagian besar
diatur oleh platform yang disediakan oleh Google, Facebook, dan Twitter, dll.
Platform ini membuat manusia terkunci sedemikian rupa sehingga seluruh aktivitas keuangan, politik, hiburan, dan pendidikan yang mereka dilakukan,
terjadi melalui platform tersebut. Di sisi lain, e-mail, SMS, WhatsApp dan Skype telah mengambil alih semua jenis layanan komunikasi tradisional.
Internet telah melahirkan norma baru, yang mengubah struktur sosial,
pemerintahan dan norma yang ada. Lihatlah dunia pendidikan, hiburan,
perdagangan, dan politik—misalnya, ketersediaan konten secara online dalam
berbagai macam mata pelajaran dalam pendidikan telah mengubah skenario pendidikan secara keseluruhan.
Pemerintah dunia semakin kehilangan kendali atas warganya. Teknologi
adalah salah satu penyebab utamanya. Mereka mampu memenuhi kebutuhan
setiap pengguna, membantu pengguna mencapai tujuan dan kebutuhannya dengan kecepatan yang sesuai diri mereka masing-masing. Tidak ada lagi satu ukuran yang pas untuk semua.
Permintaan setiap pengguna berbeda dalam hal kebiasaan sosial,
preferensi politik, pilihan hiburan, olahraga/game, pendidikan, kebutuhan kesehatan, kebutuhan finansial dll. Masing-masing fitur ini memerlukan
kekuatan komputasi, algoritma, machine learning dan Artificial Intelligence, penyimpanan dan sistem memori, dan sebagainya. Saat ini, persyaratan besar
dalam skala raksasa untuk memenuhi miliaran pengguna tersebut tidak tersedia di pihak pemerintah. Facebook misalnya, mereka menjalankan
puluhan triliunan kueri per hari untuk menghasilkan sekitar enam juta
prediksi per detik. Facebook melatih algoritma yang memberdayakan News
42
Akhir Negara Bangsa?
Feed-nya dalam beberapa jam dengan menggunakan triliunan titik data. Perusahaan tersebut memperbarui model pembelajarannya setiap 15 menit
sampai dua jam sehingga dapat bereaksi dengan cepat terhadap kejadian terkini.
Selanjutnya, model pengenalan gambar bisa mengenali wajah manusia
dengan akurasi 98 persen, meski mereka tidak menghadap kamera secara
langsung. Mereka juga mampu mencapai kapasitas untuk mengidentifikasi seseorang dalam satu gambar dari 800 juta gambar yang ada dalam waktu kurang dari lima detik.
Tata kelola internet tidak mengikuti pendekatan tradisional yang
dipimpin oleh Pemerintah. Mereka terus berkembang seiring berjalannya
waktu. Ini adalah model pemerintahan multipihak, di mana pemerintah, industri, pakar teknis dan masyarakat bersama mengelola internet.
Di sisi lain, seiring dengan meningkatnya dominasi platform global, hal-
hal yang terkait dengan privasi pengguna dan keamanan negara seringkali
bergantung pada belas kasihan platform ini. Platform ini juga memiliki
kekuatan manipulatif dan sarana untuk mengelola para penggunanya. Tidak ada lagi tata kelola generik yang akan mengatur negara. Pengguna internet akan membuat jalan bagi lahirnya netizen lintas batas yang akan diatur oleh
platform global. Dengan demikian, permainan baru internetography telah lahir,
yang akan memberikan tantangan besar bagi negara-negara bangsa, dalam hal pemerintahan dan penyediaan semua jenis layanan dan fasilitas. Pertanyaan pun mengemuka tentang tatanan dunia hari ini.
Negara terkesan kehilangan kendali atas kejadian di sekitar mereka.
Pemerintah tampak telah menyerahkan kedaulatan atas wilayah mereka sendiri: uang, barang, dan informasi sekarang mengalir dengan mudah, seringkali tak terlihat, melintasi perbatasan nasional. Kekuasaan telah
diserahkan kepada para arbitrase di London, teknokrat di Brussels dan Jenewa, dan pabrik di Shenzhen; Kepada aliansi global aktivis hak asasi
manusia dan lingkungan, dan juga kepada "jaringan gelap" kelompok radikal,
43
Akhir Negara Bangsa?
penyelundup dan jaringan pencucian uang. Banyak hal yang berbeda yang terjadi secara sekaligus dan cepat. Banyak ketidakpastian tentang apa yang
mungkin terjadi selanjutnya, yang membuat era negara bangsa bisa saja sudah akan ditutup.
Negara Bangsa dan Dunia Islam Selain globalisasi dan internet, tantangan berikutnya bagi negara bangsa
adalah dunia Islam. Dalam tulisannya mengenai tren sosial politik di dunia
Islam, ilmuwan Rusia, Sergey Israpilov,43 menulis bahwa cepat atau lambat, globalisasi akan mengakibatkan pecahnya negara-bangsa, kekacauan sosial dan keruntuhan ekonomi. Proses ini, menurutnya, sedang berlangsung. Negara mulai mengalami kegagalan saat ide kebangsaan lemah, terutama di dunia
Islam. Israpilov memandang bahwa negara mayoritas muslim hari ini terlihat seperti pohon tanpa akar, dengan sejarah kebangsaan yang kebanyakan tidak lebih dari 50 tahun. Di sana, Islam lebih mendominasi pikiran muslim dibanding ide kebangsaan. Inilah sebabnya, dalam kesimpulan Israpilov,
mengapa negara bangsa yang runtuh di dunia Islam tidak akan pernah bisa dipulihkan.
Saat ini, mungkin kita tidak bisa membayangkan bentuk organisasi sosial
yang lebih stabil dibanding negara bangsa. Namun perlu diketahui bahwa
mayoritas negara bangsa yang ada saat ini umurnya tidak lebih dari 100 tahun. Dan semua yang pernah dimulai akan berhenti suatu hari nanti.
Penurunan rasa kebangsaan diduga paling menonjol akan terjadi di
dunia Islam. Sebagian besar negara Muslim telah mengalami krisis politik.
Setiap pemerintahan negara ketiga hari ini kesulitan untuk mengendalikan situasi dalam negeri. Israpilov memprediksi bahwa kemungkinan besar mayoritas negara muslim tidak akan mampu bertahan dalam beberapa tahun ke depan.
43
https://orientalreview.org/2011/06/04/failure-of-the-nation-states-in-islamic-world/
44
Akhir Negara Bangsa?
Table 1. Indeks Stabilitas Politik di Negara Muslim (2010)44 Negara
Penduduk (2007)
% Muslim
Tahun Kemerdekaan
Konflik Internal
Negara Gagal
Afghanistan
31,889,923
99%
1919
+
+
Algeria
33,333,216
99%
1962
+
+
1971
–
–
Albania
Azerbaijan Bahrain*
Bangladesh Brunei
Burkina Faso
Bosnia & Herzegovina Chad
Comoros Islands Djibuti
3,844,841 8,587,000
708,573
14,326,203
50%-55%
9,885,661
51%
374,577
4,552,198 711,417
Iran Iraq
Jordan
40% 98%
94% – 99%
4,906,585
48% – 60%
1,688,359
Indonesia
64%
496,374
Gambia Guinea-Bissau
81.2%-98%
88.3% – 89.7%
80,335,036
Guinea
97,80%
150,448,339
Egypt*
Eritrea
70%
9,947,814 1,472,780
90% – 94% 90% – 95% 85% 45%
234,693,997
85.2% – 88.20%
27,499,638
97%
65,397,521 6,053,193
98% 95%
Kazakhstan
15,284,929
Kyrgyzstan
5,284,149
75% – 80%
6,036,914
97%
Kuwait
Lebanon Libya*
2,505,559 3,826,018
67% 80% 55%
Malaysia
24,821,286
Mali
11,995,402
Marocco
33,757,175
98.7% – 99.9%
Nigeria
135,031,164
50%
Maldives Mauritania Niger
44
60.4%
369,031
99.41%
3,270,065
99.9%
12,894,865
90%
80% – 95%
1944 1991 1971
– –
– –
–
+
–
+
1960
+
+
1977
–
+
1984 1960 1992 1975 1922
– – – –
– –
+ –
1991
+
+
1958
+
+
1949
+
+
1963 1974 1942
–
+ –
–
+ –
1958
+
+
1991
–
–
1946 1961 1991 1943 1951 1963 1965
– –
+
–
–
– –
–
+
–
+
1956
–
1960
+
–
+
1960
–
–
1960 1960
–
+ +
Sejak terjadinya Arab Spring tahun 2011, Mesir, Tunisia, Libya, Suriah, Yaman dan Bahrain masuk dalam kategori negara tidak stabil
+ –
+ +
45
Akhir Negara Bangsa?
Oman
Pakistan
3,204,897
92.66%
1971
77.5%
1971
164,741,924
96% – 97%
Saudi Arabia
27,601,038
92.8% – 100%
Sierra-Leone
6,144,562
60%
Qatar
Seneral
Somalia Sudan Syria*
Tajikistan Tunisia* Turkey
Turkmenistan UAE
Uzbekistan Palestine
Western Sahara Yemen*
907,229
12,521,851
94% – 95%
9,118,773
99.9%
19,314,747
90%
39,379,358
7,076,598
10,276,158
70% 90% 98%
71,158,647
94% – 99%
4,444,011
61.75%— 76%
4,018,332
83.74%
22,230,531
99%
5,097,028
27,780,059
382,617
89% 88%
99.8%
–
–
1947
+
+
1932
–
–
1960 1961
– –
–
–
+
+
+
1960
+
1946
–
1956
–
+ –
1991
+
+
1923
–
+
–
–
1956 1991 1971 1991
– – –
– – –
–
+
+
1990
–
+
1976
+
+
Jadi di lebih dari separuh sistem politik negara mayoritas muslim tidak
stabil. Pemerintah pusat hanya memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengendalikan teritorial negara.
Di beberapa negara, pemerintah hanya didukung oleh kontingen militer
asing: Irak, Afghanistan, Somalia, Sudan, Chad, Niger, Nigeria, Sahara Barat, Palestina. Jumlah penduduk negara-negara yang gagal ini, berdasar data di atas, mencapai 270 juta orang.
Tujuh belas negara berpenduduk 743 juta orang terkoyak oleh konflik
bersenjata lokal atau regional dengan intensitas rendah atau tinggi. Aljazair, Afghanistan, Sudan, Nigeria, dan Pakistan termasuk di antaranya.
Dalam sejarah, krisis di sebagian besar negara muslim dipicu oleh
campur tangan kekuatan besar. Meski demikian, bahkan saat negara muslim dihancurkan oleh kekuatan eksternal, krisis tersebut terjadi karena adanya
penyebab internal yang mendasarinya. Salah satunya adalah dangkalnya
ideologi negara bangsa di benak sebagian besar umat Islam. Akar nasionalistik yang mutlak diperlukan untuk persatuan nasional umumnya dibawa ke
46
Akhir Negara Bangsa?
negara-negara Islam dari luar negeri dengan pendidikan asing dan pemikiran sekuler.
Seorang sastrawan Maroko terkemuka, pendiri ‘Radio Islam’ Swedia,
Ahmed Rami, menjelaskan:
“Negara-negara Islam dan Arab saat ini tidak bisa digambarkan sebagai negara bangsa. Hanya ada satu negara Islam: "ummah". Menurut ideologi Arab dan Islam saat ini, satu-satunya negara yang sepenuhnya sah adalah negara yang terdiri dari keseluruhan negara Islam. Kesetiaan seorang Muslim yang benar-benar beriman lebih terikat dengan keadaan ideal yang belum tercipta, daripada keadaan yang saat ini menjadi realitas. Menurut Alquran, seorang Muslim hanya diwajibkan untuk setia kepada negara jika negara adalah organisasi politik yang sah yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang asli dan tidak mengakui bahwa ada batas-batas yang memisahkan umat Islam. Jika tidak, penindasan terjadi, dan ini adalah pembenaran untuk dilakukannya pemberontakan, yaitu revolusi. Negara Islam dan Arab saat ini terpecah. Semua rezim yang mengatur dunia Arab saat ini tidak sah, namun mereka menggunakan semua jenis alat munafik untuk mencoba memberi dirinya sebuah ekspresi legitimasi Islam.45
45
http://rami.tv/eng/biog.htm
47
Akhir Negara Bangsa?
Akhir 'romantisme kebangsaan' di dunia Islam Berakhirnya sistem kolonial pada pertengahan abad ke-20 diiringi
dengan terbentuknya elit nasional, yaitu birokrasi nasional, angkatan
bersenjata, polisi, dewan legislatif, sistem peradilan dll. Umumnya, gerakan
kemerdekaan nasional dipimpin oleh orang-orang yang telah menerima
pendidikan sekuler Eropa yang sebagian besar dipengaruhi oleh gagasangagasan Barat (liberal dan sosialis). Tiga puluh satu dari 51 negara mayoritas muslim mendapatkan kemerdekaan antara tahun 1945 hingga tahun 1975. Itu
adalah periode 'romantisme kebangsaan', ketika gagasan kebangsaan, yang
sebelumnya asing bagi masyarakat lokal, telah menggerakkan dunia ketiga dan memaksa penguasa kolonial untuk mundur. Perjuangan kemerdekaan nasional menyebar ke seluruh dunia dan menjadi panji pada zaman itu.
Proses globalisasi mengurangi peran negara-bangsa. Dalam beberapa
dekade terakhir, kita melihat bahwa negara mulai melemah. Gagasan kebangsaan dan sosialis telah secara drastis kehilangan popularitas di negara bekas koloni. Pelemahan ini tidak abadi. Cepat atau lambat, menurut Israpilov, proses ini akan menyebabkan runtuhnya negara bangsa. Negara Bangsa dan Probematika Pengungsi
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul yang berjudul “The Decline of the
Nation-State and the End of the Rights of Man”,46 Hannah Arendt menyatakan bahwa upaya memilah masyarakat ke dalam kategori negara-bangsa telah memicu apa yang ia sebut sebagai “persoalan minoritas” di Eropa. Meskipun Arendt mengakui bahwa persoalan ini dimulai saat Perang Tiga Puluh Tahun
berakhir melalui Perjanjian Westphalia pada 1648, ia berpendapat bahwa masalah minoritas telah bertransformasi menjadi lebih buruk pasca Perang
Dunia I, ketika revolusi dan peperangan menyebabkan jutaan orang tercerabut dari rumah dan kampung halaman mereka sendiri.
46
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, New York: Harcourt, Brace & Co., 1951
48
Akhir Negara Bangsa?
Sebagaimana ditulis Arendt, perbedaan paling penting di antara kedua
periode tersebut adalah bahwa: “tidak seperti pendahulu mereka saat era
perang-perang agama, pengungsi [saat ini] tidak diterima dimanapun dan
tidak dapat berasimiliasi dimanapun”. Dengan demikian, tindakan yang diambil selanjutnya selalu berpusat pada usaha agar pengungsi yang “sukar berasilimasi” dipulangkan kembali. Masalahnya kemudian: bahkan setelah perang usai, banyak pengungsi tidak dapat kembali ke negeri asalnya karena
negara tidak lagi memberi kewarganegaraan. Penolakan ini secara efektif menyebabkan para pengungsi tidak bernegara, dan pengalaman sebagai orang
tanpa negara mengungkapkan kebenaran sesungguhnya soal hak-hak asasi manusia.
Pada kenyataannya, hak-hak seorang manusia ternyata lebih tepat
dipahami sebagai hak bangsa, karena penegakkan hak-hak manusia pada akhirnya sangat bergantung pada sejauh mana negara dapat menjaminnya
dalam lingkup nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional yang menjamin hak-hak tersebut, terbukti tidak berdaya karena mereka dibatasi oleh kerangka hukum dari sistem internasional yang berbasiskan kedaulatan negara.
Mereka yang tidak memiliki negara pada akhirnya terlempar dalam
ketidakpastian hukum: keberadaan mereka tidak diakui, hak-hak mereka tidak terlindungi. Hal yang paling tragis adalah lebih baik bagi mereka menjadi
kriminal ketimbang menerima statusnya secara de facto sebagai orang terusir.
Tidak seperti orang yang terusir, para kriminal diakui keberadannya dan hakhak mereka dihormati,
Terlepas dari berbagai upaya komunitas internasional dalam memberikan
perlindungan bagi pengungsi (147 negara telah ambil bagian dalam Konvensi
Pengungsi 1951), masalah yang mendera pengungsi dari Suriah, Irak,
Palestina, Afganistan, sejumlah negara Afrika, serta Rohingya masih merupakan masalah yang sama ketika Arendt menulis esainya lebih dari lima puluh tahun lalu.
49
Akhir Negara Bangsa?
Para pengungsi dan orang-orang tanpa negara masih menjadi pihak yang
terusir. Mereka masih diperlakukan sebagai sampah dunia. Dan sedihnya, selama kita masih belum bisa lepas dari afinitas kita terhadap nasionalisme yang sempit, situasi suram ini akan terus bertahan: selalu terdapat orang yang
keberadaanya tidak diakui, hak-haknya ditolak, dan hidupnya hanya berkisar antara horor dan keputusasaan.
Hari ini, kebangsaan telah mematikan kemanusiaan. Karena para
pemimpin negara memiliki tugas tidak tertulis untuk menjadi egois, hanya mementingkan bangsanya sendiri. Hak asasi manusia akan menjadi lelucon
jika nilai seorang manusia didefinisikan oleh nilai lokasi geografis mereka. The United Nations Refugee Centre melaporkan bahwa Republik Afrika Tengah
(CAR) menjadi krisis kemanusiaan yang paling dilupakan . Enam puluh persen
penduduknya butuh bantuan, hampir 900 ribu orang harus mengungsi.
Namun, program bantuan masih sangat sedikit. Demikian juga dengan Suriah dan Yaman. Bangsa yang selama ini berkampanye melawan rasisme, justru terjebak dalam meletakkan egoisme kebangsaan.
Pada akhir tahun 2014, terdapat 59,5 juta pengungsi di seluruh dunia.
Selama enam bulan pertama tahun 2015,47 UNHCR melaporkan bahwa setidaknya 5 juta orang lebih telah mengungsi. Dan kita bisa dengan mudah berasumsi bahwa jumlah tersebut terus akan bertambah setelahnya.
Pada 1943, Hannah Arendt menilai pengungsi adalah ujian bagi prinsip-
prinsip yang Eropa dibangun diatasnya. "Kehormatan orang-orang Eropa hancur berkeping-keping saat, dan karena, membiarkan anggotanya yang
paling lemah dikucilkan dan dianiaya."48 Kata-kata tersebut kini berlaku
kembali bagi Uni Eropa (UE) hari ini. Era imigrasi bukan hanya ujian bagi Uni
47
http://www.unhcr.org/news/latest/2015/6/558193896/worldwide-displacement-hits-alltime-high-war-persecution-increase.html 48 Hannah Arendt, We Refugees, dalam Altogether Elsewhere: Writers on Exile, editor Marc Robinson, 1st ed, Boston, Faber & Faber, 1994, h. 119. Esai ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1943.
50
Akhir Negara Bangsa?
Eropa, tapi juga ujian bagi keseluruhan tatanan internasional yang telah dibangun sejak akhir Perang Dunia II.
Tatanan tersebut itu dibangun di atas batu fondasi gagasan negara bangsa.
Karena itu, untuk memahami mengapa para pengungsi seringkali menjadi korban pengucilan dan penganiayaan, kita perlu memeriksa fondasi tersebut.
Hari ini, banyak pengungsi yang terpaksa harus meninggalkan negaranya
disebabkan oleh dosa-dosa yang dilakukan oleh pemerintahnya, bukan karena kesalahan mereka sendiri. Lima belas juta pengungsi di seluruh dunia telah kehilangan sedikit perlindungan. Di bawah perlindungan terbatas hukum
pengungsi internasional, banyak pengungsi seharusnya berada dalam belas
kasihan tuan rumah mereka, yaitu negara-negara tempat mereka mencari perlindungan.
Kita seringkali takut dengan bukti yang menunjukkan bahwa tatanan saat
ini mungkin tidak sealami yang kita bayangkan, yang selami ini kita diajari
untuk percaya begitu saja. Keberadaan pengungsi adalah bukti hidup yang menjadi bukti bahwa negara bangsa adalah fiksi. Para pengungsi secara hukum
didefinisikan semata-mata berkaitan dengan negara bangsa, sebagai seseorang yang "berada di luar negara kebangsaannya, dan tidak dapat, atau ... tidak mau memanfaatkan perlindungan negara tersebut." Pertanyaan
mengenai
dampak
pengungsi—baik
tentang
budaya,
pekerjaan atau kekuasaan—hampir selalu ditulis dalam konteks negara
bangsa. Keberadaan pengungsi sebenarnya mempertanyakan legitimasi negara bangsa itu sendiri. Setiap pengungsi menghadirkan tuduhan bahwa negara telah menggagalkan bangsa, atau bahkan negara jutru memusuhi beberapa bagian dari bangsa yang tidak tunduk pada mereka. Implikasinya adalah bahwa jika satu negara bangsa bisa gagal, maka negara bangsa yang lain juga bisa.
Pengungsi memunculkan tantangan eksistensial yang lebih dari sekadar
dampak sosial atau ekonomi. Bahkan negara bangsa yang paling stabil sekalipun hampir tidak mentolerir pengungsi di wilayah mereka. Apa pun
retorika yang bisa mereka ucapkan—dan retorika yang paling sering
51
Akhir Negara Bangsa?
diucapkan adalah dengan menyebut pengungsi sebagai beban, bukan tanggung
jawab—negara tuan rumah terus mengucilkan para pengungsi dan membuat hidup mereka sulit dengan memasukkan mereka ke dalam kamp, membatasi
gerakan mereka dan membatasi hak mereka untuk bekerja. Itupun jika mereka boleh masuk ke negaranya.
Krisis pengungsi di Mediterania saat ini tentu saja hanya satu bagian dari
krisis global yang jauh lebih luas. Jika semua pengungsi memiliki hak untuk
mendirikan negara sendiri, itu akan menjadi negara terbesar ke 22 di dunia.
Seperti yang diutarakan Arendt, cara kita mempelakukan anggota
"terlemah" dari masyarakat internasional akan mendefinisikan siapa diri kita sebenarnya. Meskipun demikian, sebagian besar liputan media tentang krisis ini hanya
memberi pemahaman yang dangkal tentang diri kita sebagai warga negara, negara bangsa sebagai tuan rumah, dan para pengungsi yang datang dari luar
pintu kita. Karenanya, penting bagi kita untuk meningkatkan pemahaman
tentang sifat sebenarnya pegungsian, dan fitrah kita sebagai manusia. Mungkin hari ini kebanyakan dari kita tidak mengungsi, tapi suatu saat bisa
jadi kita menghadapi situasi yang sama. Jika kita merasa sulit membayangkan,
lihatlah wajah rakyat Suriah yang terpaksa pergi meninggalkan rumah mereka. Imajinasi ini penting sekali. Karena inilah yang akan menentukan kemanusiaan kita di era migrasi ini.
Dan oleh sebab itu, kegagalan kita untuk menata kembali cara
mengorganisasi masyarakat—dengan membangun sebuah tata politik baru dimana setiap orang di muka bumi ini dapat menikmati perlindungan yang
cukup dan kehidupan yang bermartabat—atau lebih buruk: penerimaan kita atas kondisi status-quo dan pretensi bahwa kondisi yang ada saat ini merupakan ‘akhir sejarah’, dapat dipandang sebagai sebuah kejahatan yang tak dapat diampuni.
52
Kesimpulan
Kesimpulan
Bangsa bukanlah entitas yang kekal dan tidak berubah, namun ia adalah
entitas yang terus berkembang dan berubah. Mereka adalah "komunitas yang diimajinasikan", dan mereka akan terus-menerus membayangkan diri mereka sendiri. Bangsa baru akan terus-menerus terbentuk dan kemudian mengalami
penurunan. Di zaman kita, kita telah melihat banyak "subkultur" yang muncul, hasil dari artefak teknologi komunikasi modern. Dan mereka berpotensi untuk berkembang menjadi bangsa yang sebenarnya.
Dua ribu tahun yang lalu, tidak ada yang akan membayangkan bahwa
pengikut pemimpin agama yang tidak dikenal di Yudea dapat berkembang menjadi sebuah bangsa dengan negara yang menguasai sebagian besar wilayah di sekitar kota Roma, dan mendominasi kehidupan intelektual seluruh
Eropa. Setelah itu, ketika negara-negara Kepausan berada pada posisi tertinggi, tidak ada yang bisa membayangkan kemundurannya menjadi hanya sekadar daerah kantong kecil di dalam Roma.
Sekali lagi, jika ada satu konstanta yang tidak pernah berubah dalam
kehidupan manusia adalah perubahan itu sendiri.