BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Srikaya (A. squamosa L.) 2.1.1 Taksonomi Menurut Sunarjono (2005) taksonomi tanaman srikaya diklasifikasikan Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Ranales
Famili
: Annonaceae
Genus
: Annona
Spesies
: Annona squamosa L.
Nama binominal
: A. squamosa L.
Gambar 2.1 Tumbuhan Srikaya (Sunarjono, 2005)
6
7
2.1.2 Morfologi Daun srikaya mempunyai bentuk lonjong, ujung dan pangkal runcing, dasar lengkung, tepi rata, panjang 5-17 cm, lebar 2-7,5 cm, permukaan daun berwarna hijau, bagian bawah hijau kebiruan. Bunga srikaya bergerombol memiliki panjang sekitar 2.5 cm, sebanyak 2-4 kuntum bunga kuning kehijauan (berhadapan) pada tangkai kecil panjang berambut dengan panjang ± 2 cm, tumbuh pada ujung tangkai atau ketiak daun. Daun bunga srikaya pada bagian luar berwarna hijau, ungu bagian bawah. Terdapat serbuk sari, bererombol, putih, panjang kurang dari 1.6 cm, putik berwarna hijau muda. Tiap putik membentuk semacam kutil, panjang 1.3-1.9 cm, lebar 0,6-1,3 cm yang tumbuh menjadi kelompok-kelompok buah. Berbunga dengan bantuan kumbang nitidula. Buah srikaya merupakan buah semu yang berbentuk bola atau kerucut atau menyerupai jantung, permukaan berbenjol-benjol, warna hijau berbintik (serbuk bunga) putih, penampang 5-10 cm, menggantung pada tangkai yang cukup tebal. Biji membujur di setiap karpel, halus, coklat tua hingga hitam, panjang 1,3-1,6 cm. Biji masak berwarna hitam mengkilap 2.1.3 Kandungan Kimia Berdasarkan penelitian tentang uji fitokimia bahwa daun srikaya mengandung senyawa metabolit sekunder, yaitu flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid, steroid, alkaloid, dan kumarin (Mulyani, 2013). Hastuti (2008) meneliti bahwa saponin dapat menghambat bahkan membunuh larva nyamuk sehingga saponin dapat diketahui memiliki daya
8
insektisida. Saponin merupakan senyawa aktif yang dapat menimbulkan busa. Saponin dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah, mempunyai rasa pahit dan menurunkan tegangan permukaan sehingga merusak membran sel, mengganggu proses metabolisme serangga, hal ini juga dalam Liqorina (2014) memperkuat studi bahwa mekanisme saponin masuk ke dalam tubuh larva dengan cara inhibisi terhadap enzim protease yang mengakibatkan penurunan asupan nutrisi oleh larva dan membentuk kompleks dengan protein dan menyebabkan pertumbuhan larva terhambat karena menembus membran mukosa saluran pencernaan. Komponen lipofilik saponin dapat dengan mudah bereaksi ke dalam fraksi lipid membran mukosa. Flavonoid merupakan inhibitor pernapasan dengan mekanisme melemahkan saraf dan mengakibatkan larva tidak bisa bernapas. Akibat masuknya senyawa flavonoid melalui siphon, sehingga terjadi kerusakan pada siphon (Wahyuhidayah, 2010). Menurut Agustiningsih (2010) senyawa alkaloid adalah salah satu jenis senyawa bersifat racun yang dapat menghambat sistem respirasi, juga mempengaruhi sistem saraf larva sehingga digunakan sebagai penolak serangga. Alkaloid dapat diekstraksi dengan menggunakan etanol.
2.2 Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Indonesia menempati urutan pertama di Asia.
9
Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2013, yakni 112.511 orang dan meninggal dunia sebanyak 871 penderita (Depkes, 2015). Penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia dengan jumlah penderita dan penyebaran semakin luas dan bertambah seiring dengan peningkatan pertumbuhan dan kepadatan penduduk (KemenKes, 2010). Vektor DBD adalah nyamuk A. aegypti betina. Nyamuk
A. aegypti
termasuk serangga dengan siklus hidup lengkap, yaitu dimulai dari telur menjadi larva, larva menjadi pupa kemudian nyamuk dewasa. Nyamuk A. aegypti mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya dan bertelur dalam habitat kecil yang kurang nutrisi dan suhu yang kurang optimum (Yulidar, 2014). Pemberantasan larva merupakan salah satu pengendalian vektor A. aegypti yang diterapkan hampir diseluruh dunia. Penggunaan insektisida sebagai larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor DBD (Daniel, 2008). 2.2.1 Vektor DBD A. aegypti adalah jenis nyamuk yang menghantarkan virus dengue sebagai penyebab dari demam berdarah. Penyebaran A. aegypti bertambah luas mencakup hampir seluruh daerah tropis. Sebagai pembawa virus dengue yang utama (primary vector).
10
2.2.2 Taksonomi Susunan Taksonomi A. aegypti menurut Rosdiana (2010) Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Famili
: Culcidae
Sub famili
: Culcinae
Genus
: Aedes
Spesies
: A. aegypti
2.2.3 Daur Hidup A. aegypti
Gambar 2.1 Daur Hidup A. aegypti (CDC, 2012) Nyamuk A. aegypti memiliki siklus hidup yang komplek mulai stadium telur yang menetas 1-3 hari setelah perendaman air kemudian berubah
11
menjadi stadium larva, dalam tahapan larva ada beberapa perkembangan instar. Perkembangan larva dari instar I-IV memerlukan waktu sekitar 5 hari. Kemuadian larva berubah menjadi pupa selama ± 2 hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Depkes RI, 2007). 1. Telur Telur Aedes pertama kali dikeluarkan warnanya putih kemudian berubah menjadi hitam dalam jangka waktu 30 menit. Telur dapat disimpan dan bertahan sampai berbulan-bulan dalam suhu 20oC-40oC. Telur aedes apabila ditaruh kedalam air dapat menetas dalam waktu 1-3 hari dengan suhu 30oC dan dalam waktu 7 hari pada suhu 16oC, dengan keaadaan yang baik, telur A. aegypti akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Morfologi dari telur A. aegypti yaitu berukuran 1 mm, berwarna hitam, tampak bulat panjang dan berbentuk oval menyerupai torpedo. Pengamatan pada mikroskop, dinding luar (exochorion) telur tampak adanya garis-garis membentuk gambaran seperti sarang lebah (CDC, 2012). Faktor yang mempengaruhi penetasan telur aedes suhu, pH air, perindukkan, cahaya, serta kelembaban disamping fertilitas telur itu sendiri (Yulidar 2014). Tempat nyamuk dapat bertelur dan berkembang biak pada tempat yang memiliki kondisi air bersih, seperti di bak mandi, tempayan, drum air yang terbuka, tandon air yang tidak tertutup, sumur gali dan genangan air hujan. Meskipun dalam volume yang sedikit, tempat tersebut dapat
12
dijadikan perkembangbiakan telur menjadi larva. Telur yang sudah dikelurkan oleh nyamuk aedes akan diletakkan dan menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. Walaupun kondisi tempat yang kering atau tanpa, telur ades dapat bertahan sampai enam bulan. Umunya telur akan menetas menjadi larva dalam jangka waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam dalam air (Levi, 2004). 2. Larva A. aegypti Larva
A.
aegypti
memiliki
empat
perkembangan
(instar).
Perkembangan larva dipengaruhi oleh temperatur, ketersedian makanan dan kepadatan dalam tempat penampungan larva. Bila kondisi optimal, mulai dari penetasan telur hingga berubah menjadi bentuk dewasa dibutuhkan waktu sekitar 7 hari (Gandahusada, 2006). Larva mempunyai siphon atau alat pernafasan yang berada di bagian belakang tubuhnya, berfungsi untuk mengambil oksigen dengan cara menggantungkan tubuhnya di permukaan air (Prayuda, 2014). Larva A. aegypti mempunyai morfologi yang berbeda pada tiap instar. a. Larva instar I memiliki ukuran paling kecil 1-2 mm, umur kurang lebih 1 hari, siphon belum berwarna hitam dan badan masih bening terlihat tembus cahaya. b. Larva instar II memiliki ukuran lebih besar dari instar I, panjang 2,5-3,9 mm, umur kurang lebih 1-2 hari, siphon masih belum terlihat jelas.
13
c. Larva instar III memiliki ukuran 4-5 mm, umur 2 hari, siphon mulai terlihat jelas berwarna hitam gelap dengan warna badan, terdapat gigir sisir pada segmen ke-8. d. Larva instar IV memiliki ukuran 7-8 mm, umur kurang lebih 2-3 hari, siphon sudah terlihat jelas berwarna hitam gelap dengan warna badan, terdapat gigir sisir pada segmen ke-8. Larva stadium akhir ini melakukan pengelupasan kulit dan berubah menjadi pupa. Dalam air, pergerakan larva aedes sangat aktif dengan gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah berulang-ulang. Larva A. aegypti memiliki kemampuan hidup pada air pH 5,8-8,8 dan bertahan pada kondisi air dengan kadar garam 10-59,5 mg/L (Levi, 2004). 3. Pupa (kepompong) Morfologi pupa yaitu memiliki tabung pernafasan yang berbentuk segitiga. Setelah mencapai umur 1-2 hari, pupa dapat berubah menjadi nyamuk dewasa (jantan atau betina). Pupa memiliki kantong udara yang letaknya diantara bakal sayap nyamuk dewasa dan terpasang sayap pengayuh yang saling menutupi sehingga pupa dapat menyelam cepat dan melakukan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsangan. Pupa merupakan stadium akhir calon nyamuk yang berada di dalam air. Secara makroskopis bentuk tubuh pupa bengkok dan kepalanya besar. Fase pupa membutuhkan waktu 2-5 hari, selama fase ini pupa tidak memerlukan makan (Levi, 2004).
14
Menurut Depkes (2004) pupa memerlukan udara, pada fase ini belum ada perbedaan antara jantan dan betina. Pada umumnya nyamuk jantan menetas terlebih dahulu dari pada nyamuk betina. Setelah melewati fase ini, pupa akan keluar dari kepompong kemudian menjadi nyamuk yang dapat keluar dari air. 4. Nyamuk Dewasa Nyamuk dewasa mampu bertahan hidup 2 minggu sampai 3 bulan dengan rata-rata 1 bulan, bergantung dari suhu dan kelembaban. Perilaku nyamuk dewasa, teutama nyamuk aedes betina menghisap darah untuk melakukan proses pematangan telur. Karena nyamuk betina merupakan vektor pembawa penyakit dan mengganggu manusia. Nyamuk aedes dapat menggigit manusia sering sekali pada pukul 08.00-13.00 dan pukul 15.0017.00, sementara dimalam hari nyamuk aedes sembunyi pada sela-sela pakaian yang menggantung dan ruangan yang gelap dan lembab (Agoes, 2009). 2.2.4. Pengendalian Vektor Salah satu cara dalam menekan resiko penularan adalah mengurangi habitat perkembangbiakan vektor, kepadatan vektor dan umur vektor, kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Cara
pengendalian vektor salah satu cara
untuk dapat secara cepat
memutus rantai penularan (Dirjen P2PL, 2011) yaitu kimia dan biologi. Secara kimia seperti pemberian abate pada air-air jernih yang tergenang, pemberantasan larva dengan menabur abate 1 gr/10 liter air ke dalam bak
15
air. Tetapi, air yang ditaburi abate berbau kurang sedap, hal ini merupakan salah satu kelemahan formulasi abate. Penggunaan abate secara terus menerus dapat menyebabkan resistensi larva tingkat sedang (Susanna et al, 2003). Apabila penggunaan insektisida kimiawi dalam jangka panjang tidak bisa diabaikan, karena menimbulkan dampak kontaminasi residu pestisida dalam air, terutama air minum yang menjadi perhatian penting (Ndione, 2007). Pemberantasan nyamuk A. aegypti dengan cara fogging menggunakan bahan kimia insektisida merupakan upaya terakhir. Menurut Aryana (2013) pencegahan dengan fogging dapat membunuh nyamuk dewasa bukan membunuh telur ataupun larva. Fogging dengan insektisida malation 4% bercampur dengan solar hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada radius 100-200 meter dan efektif 1-2 hari saja, sedangkan siklus perkembangbiakan telur berubah menjadi dewasa membutuhkan waktu 12 hari. Oleh karena itu hanya dengan melakukan fogging satu kali saja tidak cukup tetapi harus dengan berulang-ulang. Tetapi fogging yang dilakukan
berulang
kali
mempunyai
efek
berhubungan
terhadap
pencemaran udara maupun makanan. Pelaksanaan fogging kadang sering mengabaikan pemberitahuan sehingga masyarakat tidak mengetahui atau belum siap, akibatnya tidak seluruh tempat bisa disemprot, disamping tentu saja nilai dosis tidak tepat atau cuaca yang tidak baik, maka kemungkinan besar nyamuk yang disemprot tidak akan mati seluruhnya yang akan dapat menimbulkan kekebalan atau
16
resistensi perubahan perilaku serta perubahan faal nyamuk A. aegypti (Nuijda, 2005). Pemberantasan larva dari nyamuk A. aegypti yang paling mudah dan termurah adalah dengan cara menguras, menutup, dan mengubur (3M). Secara biologi biasanya memakai agent biologi seperti parasit dan bakteri yang merupakan musuh alami pada stadium pra-dewasa. Golongan insektisida biologi yang sering dipakai adalah menggunakan bakteri Bacillus Thuringiensis israelensis (BTI). 2.2.5 Mekanisme Larvasida Masuk Dalam Tubuh Larva Menurut Kardinan (2001) insektisida dapat masuk melalui tubuh serangga melalui dinding tubuh, saluran pernafasan dan alat pencernaan. a. Dinding tubuh merupakan bagian utama dalam penyerapan insektisida jumlah besar. Pada bagian dinding tubuh mempunyai lapisan membran dasar yang dapat ditembus oleh pelarut tetapi tidak oleh zat terlarut, sehingga dapat memilih jenis senyawa yang dapat melewatinya. b. Saluran Pernafasan insektisida disebut trakea. Oksigen dapat masuk melalui trakea secara difusi dengan bantuan dari pergerakan abdomen. Oksigen yang masuk kedalam pernafasan akan langsung berhubungan dengan jaringan. Insektisida masuk dalam sistem pernafasan berbentuk gas atau butir-butir halus yang dibawa ke jaringan. c. Alat Pencernaan nyamuk memiliki struktur seperti dinding tubuhnya. Dengan demikian penyerapan insektisida pada alat pencernaan sama dengan penyerapan pada dinding tubuh.
17
Berdasarkan mekanisme insektisida masuk ke dalam tubuh larva yaitu racun kontak, racun perut dan racun pernafasan. a. Racun kontak merupakan insektisida yang masuk melalui rangka tubuh bagaian luar kemudian melalui perantara siphon pada saat istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida. b. Racun perut atau mulut (stomach poison) merupakan insektisida yang masuk melalui mulut sehingga mengganggu sistem pencernaan c. Racun pernafasan (fumigant) yang merupakan racun yang masuk melalui permukaan badan. Menurut Saraswati (2004) ciri larva yang mengalami keracunan adalah terlihat dari kondisi fisik dan tingkah laku. Pada konsentrasi dosis 50%, keracunan saraf dapat menimbulkan empat gejala, yaitu tidak mengalami reaksi bila disentuh, kejang, lumpuh dan mati. Tanda bahwa larva A. aegypti mengalami kematian adalah (1) pergerakan larva tidak aktif (2) tubuh larva menjadi kaku (3) apabila di sentuh dengan spatula/lidi tidak merespon (4) tubuh larva mengapung.
2.3 Ekstrak Ekstrak merupakan sediaan kering, kental atau cair dengan cara mengekstraksi simplisia nabati atau hewani berdasarkan cara yang sesuai tanpa dipengaruh cahaya matahari.
18
2.3.1 Ekstraksi Ekstraksi atau penyarian adalah cara penarikan atau proses pemisahan kandungan kimia dari simplisia melalui metode dan pelarut yang sesuai agar kandungan kimia yang ada pada simplisia dapat terpisah. Fungsi dari ekstraksi adalah untuk memisahkan dua zat yang memiliki perbedaan kelarutan. Pemilihan metode ekstraksi dapat dilakukan apabila senyawa yang akan dipisahkan terdiri dari komponen dengan memiliki titik didih berdekatan dan sensitif terhadap panas 2.3.2 Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi Menurut farmakope (2008), etanol merupakan pelarut pilihan untuk memperoleh ekstrak seperti ekstrak cair, kental dan kering yang masih digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi. Pelarut harus memiliki daya ekstraktif yang tinggi, bersifat selektif dan dapat digunakan untuk mengekstrak tanaman yang belum diketahui bahan aktifnya. Pemilihan
pelarut
pada
proses
ekstraksi
yang
digunakan
akan
mempengaruhi selektivitas pelarut terhadap senyawa aktif dari tanaman obat. Beberapa contoh pelarut yang cocok untuk golongan senyawa aktif tertentu: 1.
Alkaloid sebagian besar dapat diekstraksi menggunakan pelarut etanol karena senyawa alkaloid bersifat polar.
2.
Saponin umumnya dalam bentuk glikosida sehingga bersifat polar. Saponin merupakan senyawa aktif yang dapat menimbulkan busa apabila dikocok dalam air
19
3.
Tanin merupakan senyawa fenolik yang cenderung larut dalam air sehingga cenderung bersifat polar.
4.
Flavonoid secara selektivitas dapat diekstraksi pada pH netral menggunakan etil asetat.
(Depkes, 2000) 2.3.3 Maserasi Maserasi merupakan proses dimana serbuk simplisia yang sudah halus direndam pada cairan penyari sampai meresap dan menarik susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan terlarut, penguapan pada maserasi bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa dari larutan penyari (Ansel, 2000). Dasar penggunaan metode maserasi dengan cara merendam
sampel yang sekali-kali dilakukan pengocokan. Pengocokan dapat menggunakan alat rotary shaker dengan kecepatan sekitar 150 rpm atau bisa dilakukan pengadukan berkali-kali pada suhu ruangan (Depkes RI, 2000). Perendaman dilakukan 24 jam dan selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Beberapa penelitian melakukan perendaman hingga 48 jam. Selama proses perendaman, cairan pelarut akan menembus dinding sel sampel dengan cara masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif yang berada di dalam sel dengan luar sel, sehingga larutan yang sangat pekat dapat didesak keluar. Peristiwa tersebut akan terus berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dengan larutan di dalam sel (Depkes, 2000).
20
Beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi maserasi yaitu perbandingan simplisia dengan pelarut, proses pelarutan zat dari sel yang terdistegrasi, imbibisi dari simplisia, proses pelarutan dari sel utuh, kecepatan tercapainya kesetimbangan, temperatur, pH (untuk sistem pelarut air), interaksi antara konstituen pelarut dan struktur bahan, lipofilisitas (dalam hal menggunakan pelarut campur) Kelebihan menggunakan ekstraksi dengan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang sederhana. Zat aktif yang di ekstrak cenderung tidak rusak karena pada suhu kamar. Namun metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu cara pengerjaannya yang lama (Istiqomah, 2013). Menurut Suarsa (2011) tinggi rendahnya randemen dapat dipengaruhi oleh metode ektraksi yang dipakai, dimana metode maserasi dibandingkan metode perkolasi adalah kandungan dari zat aktif pada senyawa yang tidak stabil akan mudah mengalami penguapan seperti zat kimia ester dan eter. Kedua zat kimia tersebut tidak akan rusak ataupun menguap karena berlangsung pada kondisi dingin. 2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ekstrak Menurut
Suriyana
(2011)
mutu
ekstrak
dipengaruhi
oleh
bahan
asal/simplisia, karenaya sebelum diproses menjadi ekstrak, simplisia/bahan awal yang akan diekstraksi harus pula distandarisasi. Dua faktor yang mempengaruhi mutu simplisia adalah faktor biologi dan kimia.
21
Faktor Biologi meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Identitas jenis (spesies), berdasarkan dari sudut keragaman hayati yang dapat diidentifikasi melalui informasi genetika sebagai faktor internal untuk validasi jenis. 2. Lokasi tumbuhan asal merupakan faktor eksternal, yaitu lingkungan dimana tumbuhan bereaksi berupa energi berupa cuaca, temperatur, cahaya dan materi berupa air, senyawa organik dan anorganik 3. Periode pemanenan yang dilakukan tidak pada waktunya bisa mempengaruhi kandungan senyawa. 4. Penyimpanan bahan tumbuhan menggunakan tempat atau wadah dapat dipakai untuk menyimpan sehingga mempengaruhi mutu senyawa tanaman. 5. Umur tanaman dan bagian yang digunakan sangat menentukan keberadaan senyawa kimia seperti klorofil yang terdapat di daun. Faktor Kimia meliputi beberapa hal, yaitu: 1.
Faktor internal seperti jenis, komposisi, kualitatif dan kuantitatif serta kadar total rerata senyawa aktif dalam bahan.
2.
Faktor eksternal seperti metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan pestisida.