TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN

Download hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak ..... P.T Lapindo Brantas (Kasus Lumpur Panas Sidoarjo), dalam Ju...

0 downloads 580 Views 286KB Size
Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012), pp. 217-232.

TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN KEJAHATAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP THE LIABILITY OF CORPORATE TOWARDS THE VICTIMS OF ENVIRONMENTAL CRIME Oleh: Yusrizal *) ABSTRACT The concept of corporate responsibility is part of social and moral responsibility for actions and business activities that menpunyai influence on certain people, communities and the environment in which it operates can be accounted for in accordance with the provisions of Article 74 of Law Number 40 Year 2007 concerning Limited Liability Companies and Law Number 32 Year 2009 on the Protection of Environmental Management, especially in Article 87 and 116. The article clearly stated that the corporation is a crime that could potentially damage the environment and causing insured losses and casualties could be criminal. Both laws are still looking for corporate actors, so that victims are often overlooked corporation. Keywords: Corporate, Environmental Crime.

A. PENDAHULUAN Berbicara tentang korban tentunya tidak bisa lepas dari suatu peristiwa yang mengakibatkan timbulnya penderitaan dan kerugian, karena penderitaan dan kerugian dalam suatu peristiwa, inilah yang menjadi tanda ciri korban. Penderitaan dan kerugian setiap korban tentunya berbeda-beda, tergantung dengan peristiwa yang mengikutinya.1 Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan.2 Permasalahan hak korban kejahatan dan penderitaan manusia tampaknya sudah menjadi isu utama perhatian masyarakat internasional, yaitu sehubungan dengan diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada Kongres PBB ke VII yang akan diadakan di Milan Tahun 1985 membahas permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional, seperti kekerasan terhadap orang maupun juga korban berbagai penyalahgunaan

*)

Yusrizal, S.H.,M.Hum, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di bidang Lingkungan Hidup: Perspektif Viktimologi Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Nusamedia, 2009), hlm. 14 1

ISSN: 0854-5499

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan eksploitasi, dan memberikan perhatian khusus terutama sekali terhadap golongan-golongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita, dan etnik minoritas,3 dan sesuai dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak korban seyogiyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana Apabila kita memperhatikan produk perundang-undangan di Indonesia, orientasinya masih dominan kepada perlindungan calon korban (potential victims) ketimbang actual victims (korban nyata), seharusnya ada keseimbangan dalam perlindungan tersebut. Kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pada dasarnya konsep restitusi dapat diterapkan, yaitu jika perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, ternyata terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan, maka tanggung jawab itu tidak cukup dengan hanya memulihkan keadaan lingkungan ke keadaan semula, akan tetapi juga tanggung jawab terhadap masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab itu sebenarnya merupakan bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak semata ditujukan kepada masyarakat yang telah dirugikan, akan tetapi pada saat yang sama juga membantu harmonisasi antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Saat ini banyak korban-korban yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi belum mendapatkan perlindungan dan pemenuhan haknya secara maksimal. Tulisan ini ingin menjawab bagaimanakah pengaturan dan tanggung jawab korporasi terhadap korban kejahatan tindak pidana lingkungan hidup.

2 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 25

218

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

B. KORBAN KEJAHATAN KOORPORASI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP Pencemaran lingkungan saat ini menunjukkan peningkatan yang cukup tajam, sehingga dugaan semula kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri semakin berkurang saat krisis ekonomi. Sebaliknya, justru kasus pencemaran menunjukkan peningkatan. Peningkatan itu terjadi, karena pemerintah dan masyarakat disibukkan dengan penataan perekonomian, akibatnya pengawasan menjadi berkurang. Situasi demikian, dimanfaatkan oleh industri membuang limbahnya ke sungai, tanpa ada pengawasan dari masyarakat dan pemerintah.4 Misalnya kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya selama 20 tahun lebih melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas, membuang limbah (lumpur sisa penghancuran batu tambang), akibatnya masyarakat di sekitar perusahaan menjadi korban, yaitu berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh yang sebelumnya tidak pernah diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu diidentikan dengan penyakit Minamata, 5 yang Gejala penyakit itu sebagaimana diungkapkan oleh peneliti Jein Pangemanan, diawali dengan gatal-gatal dan kejang pada tubuh penderita, kemudian muncul benjolan di tangan, kaki, tengkuk, pantat, kepala, atau payudara. Namun belakangan ini, kasus tentang pencemaran lingkungan tersebut terjadi tarik-menarik antara pihak yang tidak ingin kasus itu diperpanjang dengan memasang iklan di media massa televisi swasta nasional bahwa di Teluk Buyat aman tidak ada pencemaran. Bahkan untuk memperkuat argument itu, mereka menggunakan referensi WHO (World Health Organization) bahwa pencemaran di Teluk Buyat masih di bawah ambang batas menurut standar WHO, sehingga ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan setempat aman dikonsumsi yang sebelumnya ketika heboh timbulnya penyakit aneh (minamata) itu, masyarakat takut mengkonsumsinya. Di lain pihak,

3

M. Arief Amrullah, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang: Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway, tanggal, 6-8 Mei 2008, hlm. 30 4

http://www.Media Indonesia Online, Rabu, 31 Juli 2002, diakses tgl 26 Januari 2011

5

Minamata sebuah kota kecil di pantai barat Pulau Kyushu (Jepang Selatan), yang pada tahun 1956 kota itu mendadak terkenal ke seluruh dunia, karena banyak penduduknya meninggal akibat makan ikan yang tercemar limbah

219

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

berdasarkan hasil penelitian berbagai kalangan menunjukkan bahwa PT. Newmont Minahasa Raya telah terbukti mencemari Teluk Buyat, akibatnya masyarakat di sekitar perusahaan menjadi korban, yaitu berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh yang sebelumnya tidak pernah diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu diidentikan dengan penyakit Minamata.6 Tragedi lingkungan berikutnya di Indonesia, adalah pencemaran lingkungan di Sidoardjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai Tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga dunia usaha. Bahkan, mereka yang akan bepergian melalui Bandara Juanda-Surabaya, dan harus melewati lokasi semburan, diperparah dengan kondisi jalan yang menimbulkan kemacetan karena sebagian jalan terendam oleh lumpur, sehingga khawatir ditinggalkan pesawat. Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi korban. Banyak korban yang telah tercipta akibat semburan lumpur Lapindo, hingga saat ini korban lumpur tersebut masih banyak yang belum mendapatkan kompensasi seperti yang dijanjikan oleh pemerintah. Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan tersebut, merupakan cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan di sekitar, dan karenanya dapat dipertanyakan apakah itu bukan merupakan suatu pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Betapa tidak, korporasi yang seharusnya wajib memelihara kenyamanan lingkungan, akan tetapi malah sebaliknya: biarkan orang lain mati asalkan saya yang hidup. Penjelasan Umum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Undang-undang ini diatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka

merkuri atau air raksa dari pabrik pupuk Chisso. Lebih lanjut mengenai hal ini dapat dibuka di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/16/Jendela/971265.htm, diakses Tgl. 26 Januari 2011 6

220

Ibid

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.7 Untuk melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka Perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOORPORASI Menurut Packer bahwa dasar rasional dari hukum pidana bersandar pada tiga konsep, yaitu: tindak pidana, kesalahan, dan pemidanaan. Lebih lanjut Packer bahwa ketiga konsep tersebut melambangkan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu:8 a. perbuatan apa yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan; b. ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat apa yang harus dibuat sebelum seseorang dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana; c. apa yang seharusnya dilakukan terhadap seseorang yang telah diketahui melakukan tindak pidana. Ketiga konsep tersebut merupakan titik tolak untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hubungannya dengan pengabaian kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi: perbuatan pidana; pertanggungjawaban pidana korporasi; dan pidana dan pemidanaan.

7

M. Arief Amrullah, Op. Cit, hlm. 7-8

8

Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hlm.

17

221

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

1) Perbuatan Pidana Dalam bab V Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, berdasarkan ketentuan Pasal 74-nya ditentukan: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajian sebagaimana diaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 tersebut, apakah perseroan yang tidak melaksankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan suatu perbuatan pidana? Untuk mejawab pertanyaan ini, perlu memperhatikan kriteria sebagai berikut:9 a. Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sehubungan dengan itu pembangunan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang hendak dicegah atau ditangulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil. d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kemampuan daya kerja aparat penegak hukum. 9

222

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 44-48

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Apabila memperhatikan kriteria tersebut, di samping juga mempertimbangkan adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut. Karena, mengingat para korban kejahatan korporasi seringkali tidak merasa bahwa mereka telah menjadi korban, dan itu berbeda dengan korban kejahatan konvensinal. Apalagi, upaya untuk memperjuangkan kepentingan korban telah membutuhkan perjalanan yang panjang. Sebagaimana ditulis oleh Sahetapy, 10 bahwa perjalanan sejarah yang bertalian dengan permasalahan korban membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang. Setelah dua peperangan dunia yang besar dengan korban yang begitu banyak, barulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 11 Desember 1985 menghasilkan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Lebih lanjut Sahetapy menulis : “Paradigma viktimologi tidak hanya bertalian dengan kejahatan dalam arti klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana. Abuse of power, jelas mengindikasikan, bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasaan yang sah. Itu berarti, bahwa memiliki kekuasaan tidak dengan sendirinya berarti memiliki kebenaran. Jadi, rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kelompok yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral”. Ternyata tidak mudah untuk menangani korporasi-korporasi besar melalui jalur hukum, karena korporasi-korporasi besar ini memiliki pengaruh dan kekuasaan terhadap pemerintah. Dengan berdalih sebagai pembayar pajak terbesar untuk kas negara, berbagai jalan ditempuh untuk mempengaruhi para birokrat dalam cabinet maupun dalam lembaga pemerintah lainnya. Atau, dengan cara mempengaruhi politisi dengan berbagai jalan. Para pengusaha besar ini selalu berusaha menjegal berbagai aturan perundang-undangan yang dapat menghambat kinerja para pengusaha dalam kegiatan korrporasi.11 Oleh sebab itu perusahaan yang tidak melaksanakan kewajibannya berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Di samping itu

10

J.E. Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, (Bandung: Eresco, 1995), hlm. v J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Refika Aditama, 2002), hlm. 7-8

11

223

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

juga patut dipertimbangkan untuk menggunakan hukum pidana, yaitu sebagaimana ditulis oleh Clinard dan Yeager:12 1.

Tingkat kerugian masyarakat;

2.

Tingkat keterlibatan yang dilakukan oleh para manajer korporasi;

3.

Lamanya pelanggaran;

4.

Frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi;

5.

Bukti adanya maksud melakukan kejahatan;

6.

Bukti pemerasan, seperti dalam kasus-kasus penyuapan;

7.

Banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi yang telah diungkap oleh media;

8.

Precedent dalam hukum;

9.

Sejarah pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi;

10. Potensi pencegahan atau penangkalan; 11. Adanya bukti yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi. Memang tidak mudah untuk menghukum korporasi karena kendala yang dihadapi adalah dalam mendekatkan antara cita-cita dengan kenyataan, amtara lain disebabkan belum adanya persamaan persepsi apalagi pada tahap penuangan cita-cita hukum dan asas-asas hukum, 13 serta keberpihakan hukum pada korban dari korporasi.

2) Pertanggungjawaban Pidana Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana? Atas pertanyaan ini Roeslan Saleh 14 menulis bahwa bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu. Lebih lanjut dikemukakan, pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya

12

93

224

Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, Corporate Crime, (New York: The Free Press, 1980), hlm.

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

dalam suatu sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Namun demikian, menurut Moeljatno 15 bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungan jawab pidana. Karena perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Mengenai kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana sebagaimana yang diatur (diancamkan) dalam undangundang (pidana) sangat tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan (asas: tiada pidana tanpa kesalahan). Itu berarti, asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, karena dengan asas ini diletakan sendi-sendi kemanusiaan berupa perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu dapat dikecualikan untuk meniadakan asas kesalahan tersebut, yaitu apa yang disebut dengan strict liability, dan vicarious liability. 16 Prinsip tanggung jawab mutlak (non fault liability or liability without fault) didalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability. Dengan prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip bertanggung jawab yang memanndang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.17 Menurut doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability diartikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).18 Sedangkan vicarious liability adalah suatu pertanggungan pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongfulacts of

13

Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Jakarta: sofmedia, 2009), hlm. 11 Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 34 15 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 104 16 M. Arief Amrullah, Op.Cit, hlm. 16-17 17 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 14

hlm. 107

225

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

another). Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan, jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu dan bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tepat dapat dipertanggungjawabkan.19 Stanley E. Grupp, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengemukakan, bahwa makna dari suatu masalah tidak terletak pada pemecahannya, akan tetapi dalam upaya atau kegiatan yang dilakukan terus-menerus tanpa kenal henti. Oleh sebab itu, sudah selayaknya diarahkan untuk tercapainya suatu kebijakan hukum pidana yang diharapkan dapat menanggulagi tindak pidana korporasi.20 Asas legalitas menghendaki adanya ketentuan yang pasti ada terlebih dahulu, baik mengenai perbuatan yang dilarang maupun mengenai pidana yang dapat dijatuhkan dengan dilakukannya perbuatan yang terlarang itu oleh pelaku. Dengan demikian, penentuan perbuatan apa yang dilarang dan pidana apa yang akan dikenakan terhadap korporasi merupakan hal yang mutlak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama dibatasi pada perbuatan yang telah dilakukan dengan sengaja (dolus). Dipidananya delik culpa hanya bersifat pengecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas oleh undangundang, juga bertanggung jawab terhadap akibat-akibat.21 Kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidan merupakan masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana. Van Hammel sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengemukakan, bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan

18

Ibid, hlm. 107 Ibid, hlm. 109-110 20 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 82 21 Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm. 83 19

226

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan, sehingga seseorang mempunyai tiga macam kemampuan, yakni:22 1. Mampu mengerti maksud perbuatannya; 2. Mampu menyadari perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat 3. Mampu menentukan kehendak dalam perbuatannya. Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pidana yang menjadi konsep dasar pengenaan pidana, Sudarto menegaskan bahwa disamping mampu bertanggung jawab, kesalahan dan melawan hukum sebagai syarat untuk pengenaan pidana, adalah pembahayaan bagi masyarakat oleh pelaku.23 Apabila rumusan kemampuan bertanggung jawab dihubungkan dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka berdasarkan konsep funcitionil daderschap kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana berlaku juga terhadap korporasi. Keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa tujuan dan aktifitas pencapaian tujuan korporasi selalu diwujudkan melalui jawab eksekutif korporasi dilimpahkan menjadi kemampuan bertanggung jawab dari korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kemanpuan bertanggung jawab.24 Kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, maka yang menjadi pertanyaan apakah korporasi dapat dipertangungjawabkan secara pidana? Pertanyaan ini mengemuka, karena dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak secara tegas

menyatakan

bahwa

korporasi

merupakan

subjek

hukum

pidana

yang

dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal tersebut, hanya menunjuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 menentukan: “Perseroan yang

22

Mas Achmad Santosa, dkk, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 1997), hlm. 22 23 Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 77 24 Yoga Satrio, Pertanggungjawaban Pidana P.T Lapindo Brantas (Kasus Lumpur Panas Sidoarjo), dalam Jurnal Themis Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Vol. 1. No. 1, Oktober 2006, hlm. 74

227

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”, dan sesuai dengan Penjelasan Pasal 74 ayat (3) Undang-undang No. 40 Tahun 2007, bahwa: “Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait’, maka ketentuan peraturan perundangundangan yang dekat, di antaranya adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diatur dalam Pasal 87 menyatakan bahwa, (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. (2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. (3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. (4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 116 mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana: (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. 3). Pidana dan Pemidanaan Salah satu dari dua tema sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, adalah yang berkaitan dengan penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku tindak pidana, 25 Sehubungan dengan itu, kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, di mana dalam Pasal 74 tersebut tidak menentukan sendiri mengenai sanksi pidananya, akan tetapi menunjuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait, maka apabila mengacu kepada ketentuan Undang-

228

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

undang No. 32 Tahun 2009: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”. Berdasarkan pemikiran diatas maka dapatlah kiranya diterima agar di Indonesia juga diperluas kemungkinan penuntutan terhadap korporasi, tidak saja dalam delik ekonomi, tetapi juga dalam hal delik-delik yng menyangkut (bertujuan melindungi) kesejahteraan warga masyarakat. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini peraturan-peraturan dalam bidang perlindungan lingkungan hidup dan bidang kesehatan (makanan, minuman dan obat-obatan). Dalam usaha pemerintah untuk menata suatu sistem perekonomian yang bertindak keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat.26 Sanksi yang diatur dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007 sama dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009, masih diarahkan kepada pelaku. Bahkan, dengan adanya sanksi berupa pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal akan berisiko besar jika dilakukan tidak secara hati-hati, karena akan berakibat pada masalah PHK karyawan/karyawati. Maka dalam hal ini posisi korban sangat memperihatinkan tanpa adanya perhatian dari para legislator dan pemerintah. Mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kelangsungan generasi masa kini dan masa depan, pada akhirnya problematika lingkungan dan perlingdungan korban kejahatan korporasi dapat teratasi dengan baik.27 Bardasarkan uraian diatas maka kebijakan formulasi legislatif sebagai salah satu bagian dari fungsionalisasi kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan

25 26

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 32 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 145

229

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

sebenarnya juga tidak terlepas dari upaya memberikan perlindungan dan keadilan terhadap korban kejahatan. Kebijakan formulasi dapat dikatakan sebagai akses awal yang paling strategis dalam upaya memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban kejahatan. Selanjutnya pembaharuan subtantif perlu dilakukan mengingat ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perlindungan korban kejahatan korporasi dalam perundang-undangan dibidang lingkungan hidup. Pembaharuan tersebut memberikan perlindungan dan keadilan terhadap korban kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup.28

D. PENUTUP Mempertanggungawabkan secara pidana bagi korporasi yang melakukan pengabaian atas kewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, seharusnya tidak semata-mata ditujukan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi juga akibat dari perbuatan tersebut, yaitu timbulnya korban. Kelemahan formulasi hukum pidana saat ini, lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat (korban potensial), yaitu berupa acaman pidana yang tinggi. Sementara itu, tanggung jawab korporasi terhadap korban nyata sebagai akibat dari perbuatan korporasi masih belum memadai. Untuk Indonesia, dalam membangun hukum pidana yang berorientasi pada perlindungan korban akibat dari kejahatan korporasi. Terlebih dalam abad ini dan yang akan datang, pertumbuhan korporasi sudah dapat diperkirakan akan semakin meningkat, maka sudah seharusnya hukum pidana mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi dengan mewajibkan korporasi memberikan ganti kerugian (restitusi) kepada korban. Akhirnya kita harus kembali kepada pemerintah, apakah masih mempunyai itikad baik dalam penegakan hukum atau hanya sebagai simbol. Sudah saatnya masyarakat yang menjadi

27 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UUNo. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta, Sofmedia, 2011), hlm. 3

230

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

korban korporasi dilindungi dan dipenuhi hak-haknya sebagai konsekuensi dari negara hukum. Implementasi kebijakan yang berorientasi kebijakan sosial seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah demi tercapainya keadilan dalam berhukum.

DAFTAR PUSTAKA Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Jakarta.

----------------, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sofmedia, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Rajawali Pers, Jakarta. Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California. J.E. Sahetapy, 2002, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Bandung. ----------------, 1995, Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung. Mas Achmad Santosa, dkk, 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan, ICEL, Jakarta. Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. M. Arief Amrullah, disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang: Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway, Tanggal, 6-8 Mei 2008 Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Sofmedia, Jakarta. Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Moeljatno, 1980, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

28

Muhammad Topan, Op. Cit, hlm. 127

231

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012).

Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana LH Yusrizal

Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, 1980, Corporate Crime, The Free Press, New York. Muhammad Topan, 2009, Kejahatan Korporasi di bidang Lingkungan Hidup: Perspektif Viktimologi Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Nusamedia, Bandung. Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. ----------, 1991, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana di Indonesia, Alumni, Bandung. Yoga Satrio, Pertanggungjawaban Pidana P.T Lapindo Brantas (Kasus Lumpur Panas Sidoarjo), dalam Jurnal Themis Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Vol. 1. No. 1 Oktober 2006 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup Internet http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/16/Jendela/971265.htm, diakses Tgl. 26 Januari 2011 http.//www.mediaindonesia.online, diakses Tgl. 26 Januari 2011

232