TEKNIK PENETASAN DAN PEMANENAN ARTEMIA SALINA OLEH

Download macam kegiatan penunjang, salah satu ke- giatan penunjang ... makanan hidup adalah teknik penetasan, pemanenan atau pemisahan nauplius dari...

0 downloads 315 Views 432KB Size
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

ISSN 0216 - 1877

Oseana, Volume IX, Nomor 2: 57 - 65. 1984

TEKNIK PENETASAN DAN PEMANENAN ARTEMIA SALINA Oleh Maria Goretti Lili Panggabean1) ABSTARCT TECHNIQUES FOR HATCHING AND HARVESTING ARTEMIA SALINA. Artemia salina are widely used as live food in mariculture. In this case, the most importance thing is the skill on the aplication of the technology for hatching and separation of the hatched nauplii from the unhatched of the empty cysts. The system introduced by SORGELOOS & PERSOONE (1975) for hatching and harvesting nauplii is recommended. The recent system in preparing nauplii, "decapsulation ", was briefly explained. The factors that control larval growth of A. salina was also discribed.

akan digunakan sebagai makanan hidup, kista direndam dalam air laut dan akan menetas menjadi nauplius. Nauplius inilah yang digunakan untuk makanan larva udang atau ikan. Artemia mempunyai nama lokal bermacam-macam : brine shrimp (Inggris), brineworm (Belanda), saltzierchen dan fezzanwurum (Jerman), Verme de sale (Italia, Spanyol), Sofereg (Rusia), bahar el dud (Arab) dan Iain-lain nama. Biasanya dijual dalam kaleng dengan berat bermacam-macam : 365 g, satu pond (453 g), bahkan ada yang seberat 5 kg. Dihasilkan oleh beberapa negara dan biasanya namanya disesuaikan dengan daerah dimana dihasilkan, seperti San Fransisco Bay, Great Salt Lake (Amerika Serikat), Macau (Brasilia), Buenos Aires (Argentina), Laval duc (Perancis), Tientsin (RRC), Chaplin Lake (Kanada), Salinera Espanola, San Fernando, Ibiza (Spanyol) dan masih banyak lagi. Artemia yang baru menetas disebut nauplius, ini merupakan makanan hidup bagi larva udang dan benih ikan. Dengan makanan hidup ini, mutu air dalam bak pemeliharaan larva udang atau ikan akan tetap baik karena tidak ada sisa makanan yang membusuk. Lagi pula makanan ini mempu-

PENDAHULUAN

Keberhasilan suatu usaha budidaya biota laut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan penunjang, salah satu kegiatan penunjang tersebut adalah penyediaan makanan hidup bagi biota yang dibudidayakan. Makanan hidup dapat berupa zooplankton dan fitoplankton. Salah satu makanan hidup yang biasa diberikan ialah A. salina. Artemia masuk golongan udang-udangan yang kecil ukurannya. Bentuk dewasanya mencapai ukuran 1 cm, kurang lebih sama ukurannya dengan jambret (Mysidanceae). Hidup di perairan yang kadar garamnya tinggi sekali, dimana hanya beberapa jenis bakteri serta algae yang dapat bertahan hidup. Hewan ini makan plankton, detritus serta butiran halus dalam air yang dapat masuk ke dalam mulutnya, jadi termasuk "filter feeder" Dalam kondisi kadar garam tinggi Artemia akan menghasilkan kista yaitu telur yang diseliputi oleh selubung kuat untuk melindungi embryo dari perubahan lingkungan yang merugikan. Pada kadar garam yang tinggi, kista akan mengapung dan mudah dikumpulkan, dibersihkan, dikeringkan selanjutnya dikalengkan dan dijual. Bila

1). Pusat Penelitian Ekologi Laut, Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta.

57

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

tetap merupakan antenae. "Riding position" dapat berlangsung sampai sepekan, sedangkan kopulasi hanya berlangsung singkat. Artemia betina segera membentuk telur pada dua kantong telur dan kedua kantong telur tersebut akan bergabung yang mempunyai satu saluran telur. Dari satu ekor induk betina dihasilkan sekitar 20 - 50 butir telur. Sementara telur masih dalam kantong telur, induk telah mulai memproduksi calon telur dan begitu seterusnya. Telur dapat dikeluarkan dalam bentuk kista atau langsung menetas menjadi nauplius tergantung dari kondisi lingkungannya. Pada kondisi lingkungan yang baik perkembangan embryonal di dalam kantong telur akan berlanjut sehingga akhirnya terjadi penetasan. Hasil penetasan merupakan nauplius yang berenang bebas. Pada kondisi lingkungan yang buruk perkembangan embryonal akan terhenti pada stadium gastrula dan terbentuklah cangkang telur dari khitin. Dengan demikian terjadilah kistakista atau sering disebut "resting eggs". Sifat "diam" dari telur-telur A. salina ini amat bermanfaat bagi budidaya bahari yaitu sebagai makanan hidup. Setiap saat diperlukan, kista-kista dapat ditetaskan dan nauplius dapat dipanen untuk makanan larva udang atau ikan.

nyai nilai gizi yang tinggi serta mudah dicer-na. Nilai nutrisi nauplius yang baru menetas sebagai berikut : protein 40%— 50%, karbo-hidrat 15%-20%, lemak 15%20%, abu 3% -4% sedangkan nilai kalori adalah 5000 — 5500 kalori per gram berat kering. Larva dapat makan (menangkap) nauplius kapan saja dia mau selama persediaan nauplius masih ada dalam tempat pemeliharaan larva itu. Dibandingkan dengan zooplankton yang lain penyediaan nauplius A. salina lebih mudah dan efisien. Kista-kista A. salina dapat disimpan beberapa tahun. Setiap saat diperlukan, kista-kista dapat diambil secukupnya untuk ditetaskan dan nauplius yang dihasilkan dapat segera dimanfaatkan sebagai makanan larva ikan. Untuk pertama kalinya pada tahun 1939 ROLLEFSEN memanfaatkan nauplius A. salina sebagai makanan larva ikan secara memuaskan (NASH 1973). Keberhasilan ini mengundang para pengusaha untuk mengumpulkan kista-kista A. salina untuk diperdagangkan di kalangan budidayawan. Kini A. salina dipergunakan secara luas di kalangan budidayawan dan harganya cukup mahal. Harga kista-kista Artemia sekitar US $ 15.000,- per pound (ADISUKRESNO 1983). Mengingat harganya yang mahal, para budidayawan harus mengusahakan daya tetas dan hasil panenan yang maksimal. Hal yang penting dalam penyediaan A. salina sebagai makanan hidup adalah teknik penetasan, pemanenan atau pemisahan nauplius dari kista-kista kosong dan kista-kista tidak menetas serta cara pembesaran.

Telur Artemia yang baru dibuka dari kaleng berbentuk bola kempes, jadi bukan seperti bola bundar, Hal ini disebabkan karena waktu pemrosesan telur tersebut didehidrasi sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %. Telur yang dimasukkan dalam air dalam waktu satu sampai dua jam telah menyerap air dan bentuknya menjadi bulat. Sekitar 15 jam kemudian telur mulai menetas, dari dalam telur keluar bentuk bulat telur yang masih terbungkus dalam selaput tipis, bentuk ini disebut "umbrella stage". Setelah beberapa jam, maka lapisan tipis ini pecah dan keluarlah nauplius (Gambar 1). Untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik, maka perlu diperhatikan beberapa faktor :

PENETASAN A. salina berkembang biak secara seksual. Artemia menjadi dewasa setelah berumur 1 0 - 1 4 hari. Mulai umur ini Artemia sudah mulai berenang bergandengan (riding position), yang jantan mencapit perut yang betina. Capit ini merupakan perubahan antenae kedua, sedangkan pada yang betina

1. Hidrasi dari kista-kista. Kista-kista yang

58

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

dimasukkan ke dalam media air laut akan segera mengalami hidrasi dan terjadilah perkembangan embryonal di dalam kista. Hidrasi ini dapat terjadi pada kisaran salinitas antara 5‰ — 70‰.

6. Kepadatan. Untuk penetasan yang effisien kepadatan 10 g/1 memberi hasil yang memuaskan. Pada saat proses penetasan, telur menghasilkan enzym trehalose dan ini akan mempercepat penetasan telur di sekitarnya. Dengan kepadatan yang cukup maka trehalose ini cepat mempengaruhi telur di sekitarnya dan proses penetasan dapat berlangsung lebih serentak.

2. Erasi. Oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan embryonal A. salina. Oleh karena itu erasi harus diberikan terus sampai terjadi penetasan, Selain untuk mencukupi kebutuhan akan oksi gen, erasi dapat mencegah terjadinya pengendapan kista-kista di dasar tangki. Pengendapan kista-kista dapat menimbulkan kondisi "anaerob" pada kista-kista tersebut sehingga perkembangan embryo akan terhambat. Kandungan oksigen yang minimal untuk penetasan A. salina adalah 3 ppm. 3. Penyinaran pada kista yang sudah menga lami hidrasi. Cahaya dapat merangsang pengaktifan kembali perkembangan em bryo A. salina. Rangsangan cahaya ini hanya efektif pada hidrasi aerob. Dengan demikian kista-kista yang sudah mengala mi hidrasi dapat dirangsang dengan penyi naran bersama-sama dengan erasi.

Gambar 1. Nauplius Artemia salina. Karena telur-telur Artemia cukup mahal harganya maka perlu diusahakan hasil penetasan yang maksimal. Untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik, dapat digunakan wadah yang dasarnya berbentuk kerucut, atau wadah berbentuk corong dari gelas atau plastik (Gambar 2) seperti yang dianjurkan oleh SORGELOOS & PERSOONE (1975). Bentuk dasar kerucut ini tidak memerlukan erasi yang terlampau kuat. Sedikit erasi dari dasar kerucut sudah dapat memberikan adukan pada telur-telur Artemia. Meskipun kepadatan tinggi (10 g/1) telurtelur Artemia dapat tetap melayang dan mendapat oksigen cukup. Wadah dibuat dari bahan gelas atau plastik yang memungkinkan cahaya masuk. Dengan demikian kista-kista yang terhidrasi dalam kondisi aerob dapat dirangsang dengan cahaya yang masuk. Rangsangan cahaya dapat dilakukan selama kurang lebih 5 jam - 10 jam setelah telur direndam, setelah itu tidak diperlukan cahaya lagi. Jadi sebaiknya penetasan telur mulai dari pagi ha-

4. Suhu. Suhu yang optimum untuk memperoleh hasil penetasan yang baik adalah berbeda-beda menurut strain yang dipergunakan. Suhu optimum untuk strain California-USA adalah 28°C, untuk strain Utah-USA adalah 30°C dan untuk strain RRC adalah 35°C. 5. pH (derajat keasaman). Proses pecahnya. lapisan tipis pada saat "umbrella stage" sangat dipengaruhi oleh enzym penetas, dimana enzym ini pada pH 8,0 — 9,0 mempunyai aktivitas yang optimum. Pe netasan tidak terjadi bila pH kurang dari 7,0 terutama bila kepadatan telur yang tinggi. Untuk menaikkan pH air laut da pat ditambah dengan 1 — 2 g kapur per liter atau dengan NaOH 0,5 N sebanyak 1,5 per liter air.

59

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

ri di saat masih cukup sinar rnatahari. Penyinaran secara langsung harus dihindari karena sinar matahari mengandung sinar ultra violet yang dapat merusakkan embryo telur.

PEMANENAN DAN PEMISAHAN NAUPLIUS Nauplius A. salina yang baru menetas merupakan makanan yang baik sekali untuk larva ikan. Oleh karena itu nauplius harus langsung dipanen setelah menetas. Nauplius yang terlambat dipanen mempunyai nilai gizi yang kurang baik dibandingkan dengan nauplius yang baru menetas. Yang harus dilakukan setelah terjadinya penetasan A. salina adalah pemisahan nauplius dari kistakista yang tidak menetas maupun kista-kista yang sudah kosong. Hal ini penting dilakukan karena kista-kista dapat mengganggu atau membahayakan larva ikan, karena apabila termakan akan menyebabkan penyumbatan pada ususnya. Pemanenan nauplius ada beberapa cara. Cara lama yang biasa dilakukan pada pemanenan A. salina adalah mematikan erator dan kemudian dilakukan sifonisasi. Setelah erator dimatikan, maka kista-kista yang tidak menetas dan kista-kista yang kosong akan mengambang di permukaan. Kistakista yang belum menetas akan mengendap di dasar. Nauplius yang berenang-renang di bawah kista-kista yang tidak menetas dapat disifon keluar. Cara lama ini ada kelemahannya, antara lain : Pertama, memerlukan waktu yang agak lama tanpa erasi sehingga mungkin berpengaruh terhadap nauplius yang baru menetas. Kedua, membutuhkan ketrampilan supaya nauplius tidak banyak tercampur dengan kista-kista yang kosong. Cara kedua, memanfaatkan sifat nauplius A. salina yang bergerak kearah cahaya (fototaksis positif). Prinsip dasarnya adalah menempatkan cahaya pada salah satu sudut atau celah. Nauplius akan berkumpul pada bagian yang intensitas cahayanya lebih tinggi dan mudah dipanen. Cara ini kurang efektif untuk wadah yang besar. Hal ini disebabkan karena sifat nauplius cenderung berkumpul pada sudut-sudut, Rangsangan cahaya pada sudut yang lain terlalu jauh bagi nauplius tersebut.

Gambar 2. Alat penetasan Artemia salina (Menurut PERSOONE & SORGELOOS 1975)

60

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

(penetasan tanpa dekapsulasi). Untuk membuka kista, nauplius A, salina menggunakan 20 % energi cadangannya. Dengan demikian nauplius yang menetas dari kista yang telah di "dekapsulasi" akan mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi. Nauplius dari hasil penetasan dengan dekapsulasi dapat langsung dipanen untuk makanan benih ikan atau udang karena lapisan kista telah hilang. Cara

Cara yang ketiga, adalah sistem pemanenan menurut SORGELOOS & PERSOONE (1975). Pemanenan nauplius menggunakan alat yang berbentuk silinder (Gambar 3). Silinder PVC ini dibagi menjadi 3 bagian : 1. Silinder dalam yang melekat pada dasar silinder besar. Silinder dalam ini raempunyai celah-celah horisontal yang berhadap-hadapan. Lebar celah 1 cm dan panjangnya kurang dari ¼ diameter silinder.

dekapsulasi

Seratus gram kista-kista Artemia dihidrasi dengan 51 air laut dan dierasi selama 1 jam. Kista-kista kemudian dituang kedalam saringan, dibilas lagi dengan 31 air atau lebih untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel. Setelah ditiriskan kista-kista direndam dalam 700 ml air laut. Sambil diaduk ditambahkan 33 ml larutan NaOH 40 % dan 600 ml Clorox (5,25 % NaOCl). Pengadukan dilakukan terus menerus hingga membentuk pusaran air. Suhu harus sering diperiksa. Apabila suhu mendekati 35°C, harus didinginkan dengan menambah es batu. Suhu tidak boleh mencapai 40°C karena dapat membunuh embryo. Pengadukan dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi putih dan akhirnya berwarna jingga. Warna jingga menandakan bahwa dekapsulasi hampir sempurna. Setelah warna jingga, pengadukan dilakukan terus sampai lebih kurang 7 menit — 15 menit. Setelah dekapsulasi, campuran kista-kista disaring dan dicuci dengan 5l air atau lebih hingga kotoran dan bau clorine hilang, kemudian ditiriskan dengan baik untuk menetralkan chlorine yang tertinggal. Selanjutnya telurtelur direndam dalam air yang ditambah dengan 5,3 ml larutan 1 % sodium thisulfat selama 3 menit. Kemudian ditiriskan, dicuci dengan 5 1 air atau lebih dan ditiriskan kembali. Telur-telur lalu dimasukkan ke dalam 667 ml larutan garam (1 mangkok NaCl/l air) dan dierasi selama 3 jam — 4 jam. Setelah erasi dihentikan, maka, telur-telur yang sudah tidak mengandung kista akan mengendap di dasar dan kista-kista yang masih utuh mengambang dipermukaan. Kista-

2. Silinder luar yang dapat diputar juga mempunyai celah-celah yang tepat sama dengan celah-celah silinder dalam. 3. Penutup silinder dalam bagian atas. Cara kerja dari sistem ini adalah sebagai berikut : mula-mula campuran nauplius dan kista-kista yang terkontaminasi dengan bakteri dicuci dengan air laut yang bersih, kemudian baru dituangkan ke dalam silinder dalam. Celah-celah masih dalam keadaan tertutup. Kemudian bagian luar silinder diisi dengan air laut yang bersih sama tinggi dengan permukaan air silinder dalam . Kemudian bagian atas silinder dalam ditutup dan silinder luar diputar sehingga celah-celah terbuka. Bagian luar silinder dirangsang dengan cahaya sehingga nauplius berpindah keluar. Setelah 10 menit - 15 menis silinder dalam ditutup kembali, maka akan diperoleh 90 % - 95 % nauplius. Nampak bahwa sistem pemanenan ini cukup efektif.

DEKAPSULASI

Cara terbaru sebelum penetasan A. saUna adalah "dekapsulasi" (HAINES et al. 1980). "Dekapsulasi" adalah suatu teknik pengupasan untuk membuka lapisan luar kista A salina. Menurut HAINES et al. (1980), 95 % kista-kista yang telah mengalami "dekapsulasi" dapat menetas. Apabila diperhitungkan secara ekonomis, cara ini 2,7 kali lebih menguntungkan dari pada cara lama

61

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Gambar 3. Alat penetasan Artemia. 1. Silinder boks. 2. Silinder dalam 3. Silinder luar

62

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

4. 5. 6.

Tutup. Celah-celah Kran pembuangan.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

kita tersebut dapat diambil dan disimpan dalam larutan garam untuk diproses kembali. Prosedur "dekapsulasi" yang telah diterangkan di atas berlaku untuk telur-telur dan California. Untuk telur-telur jenis lain mungkin dosis larutan yang dipakai dapat berbeda. Prinsip dasarnya hampir sama. Telur-telur yang sudah mengalami ''dekapsulasi" dapat langsung diberikan pada benih ikan udang, langsung ditetaskan atau disimpan. Penyimpanan dapat dilakukan dengan cara perendaman dalam larutan garam dan disimpan dalam ruang gelap untuk beberapa hari. Dapat pula disimpan pada suhu 4°C atau kurang selama 8 pekan.

Kadar lemak per satuan berat kering pada nauplius adalah 23,2 %; pada metanuplius 16,5 % dan 7 % pada awal kedewasaan. Sedangkan kadar protein pada nauplius yang baru menetas adalah 42,5 % dan pada A. salina dewasa adalah 62,78 %. Adapun teknologi pada pembesaran A. salina tidak akan dibahas karena masih dalam taraf pengembangan. Akan tetapi faktorfaktor yang berpengaruh selama pembesaran A. salina telah dipelajari. MOFFET & FISHER pada tahun 1978 menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan produksi amonia. Amonia ditimbulkan dari sisa-sisa metabolisme orgnisme yang dibudidayakan. Amonia ini kadarnya harus rendah karena dapat. merupakan racun bagi mereka. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pembesaran A. salina adalah :

PEMBESARAN

Nauplius A. salina yang baru menetas merupakan makanan yang baik sekali untuk larva ikan. Tetapi sebagai makanan larva yang lebih besar, nauplius dapat diberi makanan yang bergizi sehingga tumbuh lebih besar. A. salina bersifat "filter feeder", cara makannya adalah dengan menyaring fitoplankton. Dengan fitoplankton yang cukup maka pertumbuhannya sangat cepat. Menurut REEVE (1963), A. salina dapat menyaring Platymonas sp. sebanyak 40260 sel/jam. Di samping fitoplankton dapat pula diberikan makanan buatan, misal-nya orang Jepang menggunakan tepung kedelai, tetapi pertumbuhannya kurang baik. Pertumbuhan A. salina pernah diteliti oleh REEVE pada tahun 1963. Nauplius yang baru menetas panjangnya 0,44 mm dan beratnya sekitar 0,003 mg, setelah dewasa panjangnya menjadi 8 mm dan beratnya 1 mg. Berarti ada pertambahan panjang sekitar 200 x dan pertambahan biomassa sekitar 500 x. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kedewasaan hanya sekitar 6 sampai 12 hari. Dalam pertumbuhannya, A. salina akan mengalami penurunan kadar lemak dan peningkatan kadar protein, sehingga meningkatkan daya cerna larva.

1. Padat Penebaran. Padat penebaran yang telah diuji untuk A. salina dewasa adalah antara 200 ekor-1600 ekor/l. Hasil pengujian tidak menunjukkan beda yang nyata. Pada kepadatan 1600 ekor/l belum nampak adanya gejala kelebihan amonia. SORGELOOS & PERSOONE (1975) mencoba membesarkan A. salina dengan kepadatan 3 ekor/ml dan hasilnya cukup baik. Dengan padat penebaran 3 ekor/ml, air laut harus diganti setiap hari. Dalam hal penebaran A. salina kepadatan nauplius juga harus diperhatikan. Padat penebaran yang telah diuji pada nauplius adalah antara 1000 ekor9000 ekor/l. Pada nauplius ini ada gejala yang menarik. Ternyata kandungan amonia justru lebih tinggi pada kepadatan rendah. Produksi amonia pada padat penebaran 6000 ekor/l tidak berbeda nyata dengan padat penebaran 9000 ekor/l. Padat penebaran rendah terjadi peningkatan aktifitas dengan semakin besarnya ruang gerak sehingga produksi amonia bertambah karena metabolisme meningkat. Sebaliknya dengan padat penebaran nauplius yang tinggi akan mengurangi raung gerak sehingga akan mengurai metabolisme nauplius dan produksi amenia akan menurun.

63

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

2. Suhu. A. salina sebaiknya dipelihara dengan suhu yang rendah karena suhu tinggi akan meningkatkan metabolisme A. salina sehingga produksi amonia akan bertambah.

larva, dengan demikian energi yang seharusnya dipergunakan untuk pertumbuhan dipergunakan untuk aktifitas pergerakannya.

3. Salinitas. Saalinitas yang tinggi akan mengurangi respirasi pada A. salina. Sebaliknya, pada salinitas yang rendah atau larutan hipotonik, konsumsi O2 akan meningkat dan ekskresi NH3 juga bertambah. Lingkungan dengan salinitas 10 ‰ adalah isotonik dengan cairan haemolymph di dalam tubuh A. salina (ROVERTSON 1960). Tetapi penurunan produksi amonia terjadi pada salinitas di atas 15 ‰.

Sistem penetasan dan pemanenan A. salina menurut SORGELOOS & PERSOONE (1975) yang menggunakan rangsangan cahaya dapat diterapkan untuk menunjang budidaya biota laut. Sistem ini cukup sederhana dan hasilnya cukup memuaskan. Sistem penetasan terbaru adalah dengan melakukan "dekapsulasi" sebelum penetasan. Sistem ini sangat praktis karena pemisahan nauplius dari kista-kista kosong atau yang tidak menetas tidak perlu dilakukan. Dan sistem ini menghasilkan nauplius dengan kandungan nutrisi yang tinggi. Teknik pembesaran A. Salina belum dapat dirumuskan secara pasti walaupun demikian pembesaran A. salina dapat dilakukan dengan meperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Nampaknya untuk pembesaran A. salina dibutuhkan peralatan yang agak khusus. Untuk faktor suhu, diperlukan ruangan AC yang dapat membuat suhu ruangan sekitar 15°C. Kompresor untuk erasi harus dilengkapi dengan alat otomatis yang dapat mengatur periode pemberian erasi. Berbeda dengan sistim penetasnnya, dalam pembesaran A. salina cahayanya harus dikurangi sebanyak mungkin.

KESIMPULAN

4. pH. Kenaikan pH dari 7 menjadi 9 tidak mempengaruhi kandungan amonia to tal (NH3 + NH4+). Walaupun demikian kan dungan NH3 yang tidak terionisasi mening kat sampai 50 kali dan NH3 ini bersifat racun bagi A. salina. 5. Pemberian

makanan.

A.

salina

yang

diberi makan dengan algae maupun A salina yang tidak diberi makan akan mengekskresikan amonia hampir sama banyaknya A. salina yang diberi makan mengkoversikan algae menjadi jarangan tubuh. Sedangkan A. salina yang tidak diberi makan membongkar cadangan makanan di dalam tubuhnya. Dengan demikian produksi amonia menjadi lebih banyak atau hampir sama dengan pro duksi amonia pada A. salina yang diberi makan.

DAFTAR PUSTAKA

6. Erasi. Menurut SORGELOOS (1973), erasi yang terus menerus akan menghambat pertumbuhan larva A. salina. 9a membesarkan A. salina dengan erasi secara periodik yaitu satu menit setiap setengah jam.

ADISUKRESNO, S. 1983. Mengenal Artemia. Buletin Warta Mina. 2 (4) : 11 - 16. HAINES, P.B., R.G. HOWEY dan G.L. THEIS 1980. Decapsulation of brine shrimp (Anemia salina) cysts. Lamar Information Leaflet 80 - 106 Lamar Fish cultural Development Center, Pensylvania, U.S.A.

7. Cahaya. Cahaya dapat menghambat per tumbuhan A. salina, karena ia bersifat fototaksis positif. Kemungkinan adanya cahaya menyebabkan aktifitas yang tinggi dari

64

Oseana, Volume IX No. 2, 1984

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

MOFFET, W.L. dan W.S. FISHER 1978. Ammonia production rates of Artemia salina under various culture conditions. J. Fish. Res. Board Can. 35 : 1643 1649.

ROBERTSON, J.D. 1960. Osmotic and ionic regulation. In : The physiology of crustacean (T.H. WATERMAN ed) I. Metabolism and growth. Academic Press, New York and London, 670 hal.

NASH, C.E. 1973. Antomated mass production of Artemia salina nauplius for hatcheries. Aquaculture 2 : 289 - 298.

SORGELOOS, P. 1973. High density culturing of the brine shrimp (Artemia salina L). Aquaculture 1 : 385 - 391.

PERSOONE, G. dan P. SORGELOOS 1975. Technological imporvements for the cultivation of invertebrates as food for fishes and crsutaceans I. Devices and methods. Aquaculture 6 : 275 - 289.

SORGELOOS, P. dan G. PERSOONE 1975. Technological imporvements for the cultivation of invertebrates as food for fishes and crsutaceans II. Hatching and culturing of the brine shrimp Artemia salina L.

Aquaculture 6 : 303-317.

REEVE, R.M. 1963. Browth efficiency in Artemia under laboratory conditions. Biol. Bull. 125 : 135 - 145.

65

Oseana, Volume IX No. 2, 1984