TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM PADA PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR

Download Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi. Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi. Surakarta. SKRIPSI. “Untuk memenuhi salah satu...

0 downloads 649 Views 610KB Size
Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

SKRIPSI “Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai gelar sarjana keperawatan”

Oleh : Yunuzul Demo Satriya NIM S10.047

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014

i

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Yunuzul Demo Satriya NIM

: S10.047

Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1) Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun di perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Surakarta, 24 Juni 2014 Yang membuat pernyataan,

(Yunuzul Demo Satriya) S10.047

iii

KATA PENGANTAR Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ibu Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku Kepala Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan penguji yang telah memberikan pengarahan. 3. Bapak Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi. 4. Ibu bc. Yeti Nurhayati, M.Kes , selaku pembimbing II yang juga telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi. 5. Bapak Ns. Oktavianus, S.Kep, yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi. 6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 7. Direktur dan staf DIKLIT RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan ijin tempat peneliti melakukan penelitian.

iv

8. Perawat Bangsal Mawar II yang telah membantu peneliti dalam penyusunan skripsi ini. 9. Seluruh informan yang telah berpartisipasi dan memberikan informasi pada penelitian ini. 10. Orang tua tercinta, yaitu Bapak Jumali, Ibu Sulami, dan adik tersayang Bima Yunalu Jauhari yang selalu memberikan dukungan, motivasi, doa dan kasih sayangnya sepanjang waktu. 11. Teman-teman angkatan 2010 tersayang, yang selalu mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Selanjutnya peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.

Surakarta, 24 Juni 2014 Peneliti

v

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL......................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii SURAT PERNYATAAN................................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x ABSTRAK ..................................................................................................... xi ABSTRACT ................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 7 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 7 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 8 1.5 Keaslian Penelitian .......................................................................... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 11 2.1 Konsep Fraktur .............................................................................. 11 2.2 Konsep Nyeri ................................................................................. 21 2.3 Relaksasi Nafas Dalam .................................................................. 31 2.4 Kerangka berfikir........................................................................... 35

vi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 36 3.1 Tempat penelitian .......................................................................... 36 3.2 Waktu penelitian ............................................................................ 36 3.3 Bentuk dan strategi penelitian ....................................................... 36 3.4 Sumber data ................................................................................... 37 3.5 Teknik pengumpulan data ............................................................. 38 3.6 Teknik sampling ............................................................................ 40 3.7 Validasi data .................................................................................. 41 3.8 Analisis data .................................................................................. 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 45 4.1 Deskripsi wilayah penelitian ......................................................... 45 4.2 Sajian data....................................................................................... 48 4.3 Temuan penelitian ......................................................................... 59 4.4 Pembahasan .................................................................................. 61 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 80 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 80 5.2 Implikasi teori ............................................................................... 82 5.3 Implikasi praktik ............................................................................ 83 5.4 Saran .............................................................................................. 84

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

vii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Tabel

Halaman

1.1

Keaslian Penelitian

9

4.1

Karakteristik Pasien

47

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Gambar

Halaman

2.1

Fraktur cruris 1/3 Distal dan 1/3 Proximal

12

2.2

Klasifikasi Fraktur

15

2.3

Gambar Penatalaksanaa Fraktur

20

2.4

Skala analog visual

29

2.5

Numerical rating scale

29

2.6

Skala intensitas nyeri deskriptif

30

2.7

Kerangka Berfikir Penelitian

35

3.1

Model Analisis Interaktif

44

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Keterangan

Lampiran 1

Usul topik penelitian

2

Pengajuan Judul

3

Pengajuan ijin study pendahuluan

4

Pengajuan ijin penelitian

5

Jadwal Penelitian

6

Penjelasan Penelitian

7

Surat Pernyataan Bersedia Berpartisipasi Sebagai Responden Penelitian

8

Pedoman Wawancara Pasien

9

Pedoman Wawancara Perawat

10

Data Demografi Partisipan

11

Catatan Lapangan

12

Lembar Pengkajian Nyeri

13

Lembar Observasi

14

Transkrip Wawancara Mendalam

15

Surat Permohonan Studi Pendahuluan

16

Surat Ijin Studi Pendahuluan

17

Surat Permohonan Ijin Penelitian

18

Surat Pengantar Penelitian

19

Surat Kelayakan Etik

20

SOP Teknik Relaksasi Nafas Dalam

21

Lembar Konsultasi Pembimbing

x

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014

Yunuzul Demo Satriya

Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Abstrak

Insiden fraktur di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga menyebabkan pasien merasakan nyeri. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi fraktur cruris. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain case study. Responden penelitian ini terdiri dari 4 responden pasien pasca operasi fraktur di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian berlangsung dari tangal 1 April- 15 Mei 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini ialah wawancara mendalam dan observasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis interaktif. Temuan hasil penelitian ini antara lain respon nyeri pasien pasca operasi fraktur berbeda-beda mulai dari skala, kualitas dan durasi. Respon pasien terhadap pemberian teknik relakasasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri pasien dari skala sedang menjadi ringan. Kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi dan keadaan lingkungan sekitar pasien. Simpulan dari penelitian ialah bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh pasien pasca operasi fraktur, namun hanya sebagai terapi pendamping medis. Kata Kunci : Teknik Relaksasi Nafas Dalam, Nyeri, Pasien Pasca Operasi Fraktur. Daftar pustaka : 25 (2001-2013)

xi

BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA 2014

Yunuzul Demo Satriya DEEP BREATHING RELAXATION TECHNIQUE OF THE POSTOPERATIVE CLIENTS WITH FRACTURE OF THE LOWER LEG AT DR. MOEWARDI LOCAL GENERAL HOSPITAL OF SURAKARTA ABSTRACT The incidence of fracture in Indonesia increases every year so that the clients feel painful. The objective of this research is to investigate the deep breathing relaxation technique to relief the pain intensity of the postoperative clients with facture of the lower leg (fractura cruris). This research used the qualitative method with the case study design. It was conducted from April 1st to May 15th 2014. The respondents of the research consisted of four postoperative clients with fracture of the lower leg at Dr. Moewardi Local General Hospital of Surakarta. The data of the research were gathered through in-depth interview and observation. They were analyzed by using the interactive model of analysis. The findings of the research are as follows. The pain responses of the postoperative clients with fracture of the lower leg are different in terms of scale, quality, and duration. The clients’ response to the extension of deep breathing relaxation technique can decrease the scales of their pain from moderate to light ones. The constraints encountered by the clients to conduct the deep breathing relaxation technique are influenced by their concentration level and their surrounding condition. Thus, a conclusion is drawn that the deep breathing relaxation technique can decrease the scales of pain felt by the postoperative clients with fracture of the leg, but it only functions as complimentary therapy to medical one. Deep breathing relaxation technique, pain, postoperative clients with fracture of the lower leg. References: 25 (2001-2013) Keywords:

xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir 1,3 juta jiwa di seluruh dunia atau 3000 kematian setiap hari dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta orang setiap tahunnya (Depkes 2007 & WHO 2011). World Health Organitation (WHO) mencatat pada tahun 2005 terdapat lebih dari tujuh juta orang meninggal karena kecelakaan dan sekitar dua juta mengalami kecacatan fisik. Kecelakaan di Indonesia berdasarkan laporan kepolisian menunjukan peningkatan 6,72% dari 57.726 kejadian di tahun 2009 menjadi 61.606 insiden di tahun 2010 atau berkisar 168 insiden setiap hari dan 10.349 meninggal dunia atau 43,15% (WHO 2011). Insiden kecelakaan merupakan salah satu dari masalah kesehatan dasar selain gizi dan konsumsi, sanitasi lingkungan, penyakit, gigi dan mulut, serta aspek moralitas dan perilaku di Indonesia (Depkes 2007). Kejadian fraktur di Indonesia yang dilaporkan Depkes RI (2007) menunjukkan bahwa sekitar delapan juta orang mengalami fraktur dengan jenis yang berbeda. Insiden fraktur di Indonesia 5,5% dengan rentang setiap provinsi antara 2,2% sampai 9% (Depkes 2007). Fraktur ekstremitas bawah memiliki prevalensi sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan. Hasil tim survey Depkes (2007) didapatkan 25% penderita mengalami kematian, 45% mengalami kecacatan fisik, 15%

1

2

mengalami stres psikologis dan bahkan depresi, serta 10% mengalami kesembuhan dengan baik. Hasil pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 30 November 2013 didapatkan data bahwa pada tahun 2011 penderita fraktur ekstremitas bawah terbanyak ialah fraktur tibia fibula sebesar 53 kasus, sementara hasil pada bulan Oktober sampai November 2013 terdapat peningkatan kejadian fraktur fibula tibia sebanyak 310 kasus. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang disebabkan oleh cedera, trauma yang dapat menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung dan tidak langsung (Sjamsuhudajat dan Jong 2005). Penanganan fraktur pada ekstremitas bawah dapat dilakukan secara konservatif dan operasi sesuai tingkat keparahan fraktur (Smeltzer & Bare 2002). Operasi merupakan tindakan pengobatan infasif dengan membuka bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidajat dan Jong 2005). Prosedur pembedahan yang dilakukan pada fraktur meliputi reduksi terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and Internal fixation/ ORIF) sasaran pembedahan digunakan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan, stabilitas, mengurangi nyeri dan disabilitas (Smeltzer & Bare 2002). Ada banyak hal seorang individu dapat merasakan nyeri, salah satunya ialah dengan dilakukannya suatu tindakan operasi, sehingga menimbulkan adanya luka yang disengaja untuk menyembuhkan suatu penyakit yang

3

diderita oleh individu. Luka inilah yang nantinya akan menyebabkan individu dapat merasakan nyeri (Tamsuri 2012). Pembedahan dan anestesi dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien. Pembedahan dapat menyebabkan trauma bagi penderitanya, sedangkan anestesi dapat menyebabkan kelainan yang dapat menimbulkan berbagai keluhan gejala. Keluhan harus didiagnosis agar dasar patologinya dapat diobati. Keluhan dan gejala yang sering dikemukakan adalah nyeri (Sjamsuhidayat & Jong 2005). Nyeri pasca operasi mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi, tetapi kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Pencegahan nyeri sebelum operasi sebaiknya direncanakan agar penderita tidak terganggu oleh nyeri setelah pembedahan. Cara pencegahannya tergantung pada penyebab dan letak nyeri dan keadaan penderitannya (Sjamsuhidayat & Jong 2005). Proses keperawatan selama periode pasca operatif diarahkan untuk menstabilkan kembali keadaan fisiologi pasien, menghilangkan rasa nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi yang optimal dengan cepat, aman, dan senyaman mungkin. Nyeri setelah pembedahan normalnya dapat diramalkan hanya terjadi dalam durasi yang terbatas, lebih singkat dari waktu yang diperlukan untuk perbaikan alamiah jaringan-jaringan yang rusak (Smeltzer & Bare 2002). Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien yang mengalami nyeri dibandingkan tenaga profesional perawatan lainnya dan

4

perawat mempunyai kesempatan untuk membantu menghilangkan nyeri dan efeknya yang membahayakan. Tanpa melihat sifat pola atau penyebab nyeri, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat akan menyebabkan ketidaknyamanan. Selain meraakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin dan imunologi (Smeltze & Bare 2002). Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Perawat menggunakan berbagai intervensi untuk menghilangkan nyeri atau mengembalikan kenyamanan. Perawat tidak dapat melihat atau merasakan nyeri yang klien rasakan (Smeltzer & Bare 2002). Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmakologi) dan tindakan non faramakologi (tanpa Pengobatan). Nyeri berdasarkan stimulasi yang diberikan dapat dikelompokkan dalam stimulasi tingkat tinggi (pada otak) dan stimulasi tingkat rendah (pada spinotalamikus). Stimulasi pada otak adalah tindakan yang memungkinkan otak bekerja untuk mengurangi nyeri, sedangkan stimulasi tingkat spinotalamikus adalah pemberian sejumlah rangsangan pada tubuh untuk memengaruhi sensasi nyeri sebelum sampai di otak. Tindakan rangsangan pada tingkat spinotalamikus sesuai dengan teori gerbang kendali nyeri (Tamsuri 2012). Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif.

5

Intervensi kognitif meliputi tindakan distraksi, teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, umpan balik biologis, hypnosis, dan sentuhan terapeutik, selain itu stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunan nyeri yang efektif. Tindakan ini mengalihkan perhatian klien sehingga klien berfokus pada stimulasi taktil dan mengabaikan sensasi nyeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan persepsi nyeri (Tamsuri 2012). Penanganan operasi

fraktur

yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri post berupa

menghilangkan nyeri

penanganan

farmakologi,

biasanya

untuk

digunakan analgesik yang tergolong menjadi dua

golongan yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik (Potter & Perry 2006). Pengendalian nyeri secara farmakologi efektif untuk nyeri sedang dan berat. Pemberian farmakologi ini tidak bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien sendiri untuk mengontrol nyerinya, maka di butuhkan kombinasi farmakologi untuk mengontrl nyeri dengan non farmakologi agar sensasi nyeri dapat berkurang serta masa pemulihan memanjang. Metode non farmakologi tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut diperlukan untuk mempersingkat frekuensi nyeri yang berlangsung hanya berapa detik atau menit, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari. Mengkombinasikan metode non farmakologi dengan obat-obatan mungkin cara yang paling efektif untuk mengontrol nyeri. Pengendalian nyeri non farmakologi menjadi lebih murah, sederhana, efektif dan tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry 2006).

6

Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin dkk (2013) menyebutkan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi fraktur yang ditandai dengan sebelum diberikan tindakan terapi relaksasi yaitu nyeri ringan 1 orang, nyeri sedang 8 orang dan nyeri hebat terkontrol 11 orang, sementara tingat nyeri pasca operasi setelah diberikan teknik relaksasi menurun menjadi tidak nyeri 1 orang, nyeri ringan 9 orang dan nyeri sedang 10 orang. Serupa dengan penelitian di atas Carney (1983) menjelaskan bahwa pelatihan relaksasi dapat dilakukan untuk jangka waktu yang terbatas dan biasanya tidak memiliki efek samping. Carney mencatat penelitian yang menunjukan bahwa 60%-70% pada klien dengan nyeri kepala yang disertai ketegangan dapat mengurangi aktivitas nyeri sampai 50% dengan melakukan relaksasi (Potter & Perry 2006). Penelitian di atas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (2009) yang menyebutkan bahwa pengukuran rata-rata tingkat nyeri sebelum diberikan teknik relaksasi nafas dalam setelah di klasifikasi dari 10 responden, 4 orang (40%) mengalami nyeri ringan, dan 6 orang (60%) nyeri sedang. Hasil pengukuran tingkat nyeri rata-rata setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam dari 10 responden 5 orang (50%) mengalami nyeri ringan, dan 5 orang lagi masih mengalami nyeri sedang. Bila dilihat dari sskala nyeri masing-masing responden, semua responden (100%) mengalami penurunan persepsi nyeri. Ada perbedaan hasil pengukuran skala nyeri

7

sebelum dan sesudah pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada lansia dengan arthritis rheumatoid. Uraian di atas melandasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi fraktur cruris.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana respons nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris? 2. Bagaimana respons pasien terhadap proses pemberian teknik relaksasi nafas dalam? 3. Bagaimana kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri? 4. Bagaimana kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1

Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi fraktur cruris.

8

1.3.2

Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengidentifikasi respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris. 2. Untuk menganalisis respons pasien yang telah mendapatkan teknik relaksasi nafas dalam. 3. Untuk menganalisis kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri. 4. Untuk menganalisis kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam.

1.4 Manfaat 1.4.1

Manfaat Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan (sumber informasi) serta dasar pengetahuan bagi para mahasiswa keperawatan dan dapat dijadikan sebagai suatu materi dalam menangani pasien dengan nyeri pasca operasi.

1.4.2

Manfaat Bagi Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti nyata akan efek penggunaan terapi teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri sehingga dapat dijadikan sebagai suatu intervensi keperawatan untuk menurunkan nyeri pada pasien pasca operasi

9

1.4.3

Manfaat Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya dan untuk menambah refrensi tentang penggunaan terapi teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri.

1.5 Keaslian Penelitian Berikut beberapa penelitian terkait dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu :

Nama Peneliti

Tabel 1.1 Keaslian penelitian Judul Penelitian Metode yang Hasil penelitian digunakan

Petasik Efektifitas teknik CK, relaksasi nafas Tangka, J, dalam dan guided Rottie, J imagery terhadap 2013 penurunan nyeri pada pasien post operasi section caesaria di irina d bulu RSUO Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Dewi, D, Setyoadi, Widastra, MI 2009

Pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan persepsi nyeri pada lansia dengan arthritis rheumatoid

Metode penelitian yang digunakan ialah kuantitatif, dengan metode analitik quasi eksperimental, desain penelitian menggunakan pre-post test tanpa kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan metodologi jenis Kuantitatif, quasi exsperiment dengan rancangan rangkaian waktu (time series design)

Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery terbukti efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesare.

Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri pada lansia yang menderita arthritis rheumatoid.

10

Wirya I Pengaruh dan Sari pemberian masase MD 2013 punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi di zaal C RS HKBP Balige tahun 2011.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis Quasi eksperimen dengan desain pre-pos tes.

Hasil penelitian ini adalah bahwa masase punggung dan teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas skala nyeri pada pasien post appendiktomi secara signifikan.

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep fraktur 2.1.1 Definisi Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai sterness yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Stres dapat berupa pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (smeltzer & Bare 2002). Helmi (2011) menjelaskan bahwa fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontiunitas tulang, tulang rawan, baik bersifat total maupun sebagian. Fraktur ekstemitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia (Sjamsuhidayat & Jong 2005). Sedangkan cruris adalah tungkai bawah yang terdiri dari dua tulang panjang yaitu tulang tibia dan fibula. Lalu 1/3 distal adalah letak suatu patahan terjadi pada 1/3 bawah dari tungkai dan 1/3 proximal adalah letak suatu patahan terjadi pada 1/3 atas dari tungkai. Jadi pengertian dari fraktur cruris adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan fibula (Sjamsuhidayat & Jong 2005). 11

12

(a)

(b)

Gambar 2.1 (a) Fraktur cruris 1/3 distal, (b) Fraktur cruris 1/3 proximal Sumber : Sjamjuhidajat, R & Jong, DW 2005, Buku ajar ilmu bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta

2.1.2 Etiologi Fraktur dapat disebabkan oleh kekuatan langsung atau tidak langsung. Kekuatan langsung (direct force), diantaranya disebabkan oleh trauma baik kecelakaan lalu lintas ataupun terjatuh dari tempat ketinggian, serta kekuatan tidak langsung (indirect force) contohnya adalah penyakit metabolik seperti osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur patologis dan adanya keletihan (fatique) pada tulang akibat aktivitas yang berlebihan (Waher, Salmond & Pellino 2002). Sedangkan menurut Smeltze & Bare (2002), fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

13

1) Infeksi 2) Pukulan langsung 3) Gerakan punter mendadak 4) Kontraksi otot ekstrem 5) Gaya meremuk 2.1.3 Manifestasi Klinis Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan, manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.

14

3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). 4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. 5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. 2.1.4 Jenis Fraktur Berdasarkan hubungan dengan dunia luar 1. Fraktur Tertutup (simple/close fracture) Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, tetapi terjadi pergeseran tulang didalamnya (Smeltzer & Bare 2002) 2. Fraktur Terbuka (complicated/open fracture) Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Smeltzer & Barre (2002) adalah : (1) Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakan jaringan lunak minimal, biasanya tipe fraktur simpel transverse dan fraktur obliq pendek.

15

(2) Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada kontaminasi. (3) Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan struktur neurovascular. (4) Grade III ini dibagi lagi kedalam : III A : fraktur grade III, tapi tidak membutuhkan kulit untuk penutup lukanya. III B : fraktur grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga tampak jaringan tulang, dan membutuhkan kulit untuk penutup (skin graft). III C : fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harus diperbaiki, dan beresiko untuk dilakukannya amputasi.

Gambar 2.2 Klasifikasi fraktur Sumber : Helmi, ZN 2012, Buku saku kedaruratan dibidang bedah ortopedi, Salemba Medika, Jakarta

16

2.1.5 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Tahapan penyembuhan tulang antara lain: inflamasi, proliferasi sel, kalsifikasi, osifikasi, dan remodeling menjadi tulang dewasa (Smeltzer & Bare 2002). 1) Fase Inflamasi, yaitu terjadi respons tubuh terhadap cedera yang ditandai oleh adanya perdarahan dan pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami divitalisasi karena terputusnya aliran darah, lalu terjadi pembengkakan dan nyeri, tahap inflamasi berlangsung beberapa hari. 2) Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi dengan membentuk benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast. Kemudian menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid) berlangsung setelah hari ke lima. 3) Fase Pembentukan Kalus, Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Waktu yang dibutuhkan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4 minggu.

17

4) Fase penulangan kalus/Ossifikasi, adalah pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal,penulangan tersebut memerlukan waktu 3-4 bulan. 5) Fase Remodeling/konsolidasi, merupakan tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan bulan sampai bertahun-tahun. 2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan fraktur atau penghambat dalam proses penyembuhan fraktur, yaitu : 1) Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu reduksi fragmen tulang, agar benar – benar akurat dan dipertahankan dengan sempurna agar penyembuhan benar – benar terjadi. Aliran darah memadai, nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat untuk tulang panjang, hormonhormon pertumbuhan : tiroid kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik. 2) Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur, yaitu kehilangan tulang, imobilisasi tidak memadai, adanya rongga atau jaringan diantara fragmen tulang, infeksi, keganasan lokal, penyakit metabolik, nekrosis avaskuler, fraktur intraartikuler, usia (lansia sembuh lebih lama), dan pengobatan kortikosteroid menghambat kecepatan perbaikan.

18

2.1.7 Komplikasi Fraktur Komplikasi fraktur dibagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi lanjut. Komplikasi lanjut biasanya terjadi pada pasien yang telah dilakukan pembedahan (Smeltzer & Bare 2002). 1) Komplikasi awal atau komplikasi dini Komplikasi awal terjadi segera setelah kejadian fraktur antara lain : syok hipovolemik, kompartemen sindrom, emboli lemak yang dapat mengakibatkan kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. 2) Komplikasi lanjut Komplikasi lanjut terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah kejadian fraktur dapat berupa : (1) Komplikasi pada sendi : kekakuan sendi yang menetap, penyakit degenerative sendi pasca trauma. (2) Komplikasi pada tulang : penyembuhan fraktur yang tidak normal (delayed

union,

mal

union,

non

union),

osteomielitis,

osteoporosis,refraktur. (3) komplikasi pada otot : atrofi otot, ruptur tendon lanjut. (4) komplikasi pada syaraf : tardy nerve palsy yaitu saraf menebal karena adanya fibrosis intraneural.

19

2.1.8 Penatalaksanaan Fraktur 2.1.8.1 Pembedahan Penanganan fraktur pada ekstremitas bawah dapat dilakukan secara konservatif dan operasi sesuai dengan tingkat keparahan fraktur dan sikap mental pasien (Smeltzer & Bare 2002). Operasi adalah tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasive dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidayat & Jong 2005). Smeltzer & bare (2002) menjelaskan prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada pasien fraktur ekstremitas bawah meliputi : 1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (open reduction and internal fixation/ORIF). Fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukkan paku, sekrup atau pin kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. 2) Fiksasi eksterna, digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur comminuted (hancur & remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif. 3) Graft Tulang yaitu penggantian jaringan tulang untuk stabilitas sendi, mengisi defek atau perangsangan untuk penyembuhan. Tipe graft yang digunakan tergantung pada lokasi fraktur, kondisi tulang dan jumlah tulang yang hilang karena injuri. Graft tulang mungkin dari

20

tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft).

(a)

(b)

(c)

Gambar 2.3 (a) fiksasi internal, (b) fiksasi eksternal, (c) graft tulang

Sumber : Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner & suddart, Edisi 2, Vol 3, EGC, Jakarta.

2.1.8.2 Perawatan Pasien Pasca Operasi Fraktur dengan ORIF Asuhan keperawatan pasien paska operasi fraktur ekstremitas bawah dengan ORIF mencakup beberapa observasi dan intervensi meliputi: monitor neurovascular setiap 1-2 jam, monitor tanda vital selama 4 jam, kemudian setiap 4 jam sekali selama 1-3 hari dan seterusnya. Monitor hematokrit dan hemoglobin. Observasi karakteristik dan cairan yang keluar, laporkan pengeluaran cairan dari 100-150 mL/hr setelah 4 jam pertama. Rubah posisi klien setiap 2 jam dan sediakan trapeze gantung yang dapat digunakan pasien untuk melakukan perubahan posisi. Letakkan

21

bantal kecil di antara kaki klien untuk memelihara kesejajaran tulang. Anjurkan dan bantu pasien melakukan teknik nafas dalam. Memberikan pengobatan seperti analgesik obat relaksasi otot, antikoagulan dan antibiotic. Anjurkan weight bearing yang sesuai dengan kondisi pasien dan melakukan mobilisasi dini (Reeves et al 2001).

2.2 Konsep Nyeri 2.2.1 Definisi Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare 2002). Tamsuri (2012) menjelaskan nyeri sebagai suatu keadaan yang memengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. 2.2.2 Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan perilaku. Proses fisiologi terkait nyeri dapat disebut nosisepsi. Potter & Perry (2006) menjelaskan proses tersebut sebagai berikut : 1. Resepsi Semua kerusakan seluler yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri. Stimulus tersebut kemudian memicu pelepasan mediator biokimia

(misalnya

prostaglandin,

22

bradikinin, histamin, substansi P) yang mensensitisasi nosiseptor. Nosiseptor berfungsi untuk memulai transmisi neural yang dikaitkan dengan nyeri. 2. Transmisi Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama nyeri merambat dari bagian serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Bagian kedua adalah transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui jaras spinotalamikus. Bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks sensori

somatik tempat nyeri

dipersepsikan. Impuls yang ditransmisikan tersebut mengaktifkan respon otonomi. 3. Persepsi Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Persepsi akan menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga individu dapat bereaksi. 4. Reaksi Fase ini dapat disebut juga “sistem desenden”. Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat atau dalam dan secara taktil melibatkan organ fiseral, sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu, pada kasus traumatik berat, yang menyebabkan individu mengalami syok.

23

2.2.3 Klasifikasi Nyeri 2.2.3.1 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan Tamsuri (2012) menjelaskna bahwa nyeri berdasarkan waktu kejadian dapat dikelompokan sebagai nyeri akut dan kronis.

1.

Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut biasanya menghilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh.

2.

Nyeri kronis Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari 6 bulan. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau bahkan persisten. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik bagi penderitanya.

2.2.3.2 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri 2012). 1. Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan iskemia.

24

2. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ interna. 3. Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari sensasi asal ke jaringan sekitar. 4. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan klien yang mengalami amputasi. 5. Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat dan lokasi. 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Tamsuri

(2012)

menyebutkan

ada

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi persepsi tentang nyeri pada seorang individu meliputi: 1. Usia Usia merupakan variable yang penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya

pada

anak-anak

dan

lansia.

Perbedaan

perkembangan yang ditemmukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. 2. Jenis kelamin Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan

25

merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin. 3. Kebudayaan Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi gaya individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidak mampuan untuk mentolerasnsi nyeri, akibatnya pemberian terapi mungkin tidak cocok untuk klien berkebangsaan meksiko/amerika. Seorang klien berkebangsaan meksiko/amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat dan mengharapkan perawat melakukan intervensi. 4. Makna nyeri Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut member kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. 5. Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. perhatian yang meningkat

26

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan

(distraksi)

dihubungkan

dengan

respon

nyeriyang

menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat tetapkan diberbagai terapi untuk menghilangkan nyeri seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat bisa menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. 6. Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Klien yang mengalami cidera atau mengalami penyakit kritis, seringkali mengalami kesulitan mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat ansietas yang tinggi. 7. Keletihan Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai dengan kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahakan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang setelah

27

individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan. 8. Pengalaman sebelumnya Setiapa individu belajar dari pengalaman nyeri. pengelaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.apabila individu sejak lama akan mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis sama yang berulang ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk mengiterpretasikan sensasi nyeri. akibatnya, klien akan lebih siap. Untuk melakukan tindakan-tidakan yang diperlukan untuk mengilangkan nyeri. 9. Gaya koping Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat anda merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di keadaan keperawatan kesehatan, seperti dirumah sakit, klien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan control terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengatasi nyeri.

28

10. Dukungan keluarga dan sosial Faktor lain yang bermakana mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiaran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang cara mereka menumpahkan keluhan mengenai nyeri. individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan.

2.2.5 Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, dan kemungingkanan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologi tubuh terhadap nyeri itu sendiri namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri 2012).

29

Pengkajian karakteristik umum nyeri membantu perawat mengetahui pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk menangani nyeri. Karakteristik nyeri meliputi awitan dan durasi, lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan tindakan yang memperberat atau memperingan nyeri (Potter and Perry 2006). Smletzer dan Barre (2002) menjelaskan bahwa ada banyak instrument pengukuran nyeri diantaranya yang dikemukakan oleh Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) : (1) skala analog visual, (2) skala numerical rating scale dan, (3) skala intensitas deskriptif, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.4 Skala analog visual

Gambar 2.5 Numerical rating scale

30

Gambar 2.6 Skala intensitas nyeri deskriptif

Sumber: Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner & suddart, Edisi 2, Vol 1, Hal 218, EGC, Jakarta.

2.2.6 Nyeri Pasca Operasi Tindakan pembedahan

adalah suatu tindakan

yang dapat

mengancam integritas seseoramg, baik bio-psiko-sosial maupun spiritual, yang bersifat potensial ataupun aktual. Setiap tindakan pembedahan dapat menimbulkan respon ketidaknyamanan berupa rasa nyeri. Nyeri adalah suatu

keadaaan

subjektif

dimana

seseorang

memperlihatkan

ketidaknyamann secara verbal maupun non verbal (Engram dalam Solehati 2008). Nyeri pasca operasi akan meningkatkan stres pasca operasi dan memiliki pengaruh negative pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat penting sesudah pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien pasca operasi dapat dibebaskan (Torrance dan Serginson dalam Farida 2010).

31

2.3 Relaksasi 2.3.1 Pengertian Relaksasi Relaksasi adalah teknik untuk mengurangi ketegangan nyeri dengan merelaksasikan otot. Beberapa penelitin menyatakan bahwa teknik relaksasi efektif dalam menurunkan skala nyeri pasca operasi (Tamsuri 2012). Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress (Potter & Perry 2006). 2.3.2 Jenis Relaksasi Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan beberapa jenis relaksasi, antara lain yaitu : 1. Relaksasi nafas dalam 2. Gambaran dalam fikiran (Imagery) 3. Regangan 4. Senaman 5. Progressive muscular relaxation 6. Bertafakur 7. Yoga

2.3.3 Relaksasi Nafas Dalam 2.3.3.1 Pengertian Relaksasi Nafas Dalam Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare 2002).

32

2.3.3.2 Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan relaksasi pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. 2.3.3.3 Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam Tambunan (2009) dan Potter & Perry (2006) menjelaskan langkah teknik relaksasi nafas dalam yaitu : 1) Atur pasien pada posisi yang nyaman 2) Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut 3) Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara pelan, dalam dan merasakan kembang-kempisnya perut 4) Minta pasien untuk menahan nafas selama beberapa detik kemudian keluarkan nafas secara perlahan melalui mulut 5) Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan nafas, mulut pada posisi mecucu (pulsed lip) 6) Minta pasien untuk mengeluarkan nafas sampai perut mengempis 7) Lakukan latihan nafas dalam hingga 2-4 kali. Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi individu dan kerja sama. Teknik relaksasi diajarkan hanya saat klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang akut hal ini

33

dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi tidak efektif (Potter & Perry 2006). 2.3.3.4 Manfaat Relaksasi Nafas Dalam Teknik relaksasi nafas dalam dapat memberikan berbagai manfaat. Menurut Potter & Perry (2006) menjelaskan efek relaksasi nafas dalam antara lain terjadinya penurunan nadi, penurunan ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan kesadaran global, perasaan damai dan sejahtera dan periode kewaspadaan yang santai. Keuntungan teknik relaksasi nafas dalam antara lain dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana saja, caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien tanpa suatu media serta merileksasikan otot-otot yang tegang. Sedangkan kerugian relaksasi nafas dalam antara lain tidak dapat dilakukan pada pasien yang menderita penyakit jantung dan pernafasan (Smeltzer & Barre 2002). 2.3.3.5 Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui tiga mekanisme yaitu : 1. Dengan meralaksasikan otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan insisi (trauma) jaringan saat pembedahan. 2. Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri karena nyeri post bedah

34

merupakan nyeri yang disebabkan karena trauma jaringan oleh karena itu jika trauma (insisi) sembuh maka nyeri juga akan hilang. 3. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod (Smeltzer & Barre 2002).

endogen yaitu endorphin dan enkefalin

35

2.4 Kerangka Berfikir

Rumah sakit

Pasca operasi

Dr. Moewardi

Farktur cruris

Pasien farktur cruris

Nyeri

Perubahan intensitas nyeri

Pemberian teknik relaksasi nafas dalam

Instrument pengukuran nyeri: numerical rating scale

Gambar 2.4 Kerangka Berfikir Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dikarenakan rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan daerah Surakarta.

3.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Provinsi Jawa Tengah dari bulan November 2013 sampai dengan Juni 2014.

3.3 Bentuk dan Strategi Penelitian Peneliti ini menggunakan penelitian kualitatif dengan strategi atau desain “Case Study”. Case study merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan (Creswell 2010). Responden pada penelitian ini pasien pasca operasi fraktur cruris yang akan diberikan intervensi teknik relaksasi nafas dalam diharapkan dengan teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri pada informan yaitu pasien pasca operasi fraktur cruris. Tahap 36

37

awal yang peneliti lakuakan ialah mengidentifikasi kriteria informan sesuai keinginan peneliti. Setelah itu peneliti memulai menjalin hubungan saling percaya dengan calon informan dan keluarga informan serta menjelaskan maksud dan tujuan proses penelitian yang akan dilakukan. Apabila calon informan merasa setuju maka peneliti akan memberikan lembar persetujuan (informed consent). Selanjutnya, setelah informan setuju secara sukarela untuk mengikuti penelitian ini barulah peneliti memulai tahap awal membina hubungan dengan informan, maka langkah selanjutnya peneliti memulai wawancara dengan informan.

3.4 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari: 1) Informan Sumber data yang berasal dari narasumber atau informan pada penelitian kualitatif memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber informasi. Informan yang digunakan pada penelitian ini ialah pasien fraktur cruris yang sudah menjalani operasi, perawat yang memberikan terapi relaksasi nafas dalam dan perawat yang bertugas di rumah sakit. 2) Tempat dan peristiwa Penelitian ini dilakukan di ruang Mawar II RSUD Dr. Moerwardi Surakarta dengan mengobservasi perubahan tingkat nyeri pasien fraktur cruris yang diberikan terapi relaksasi nafas dalam. Teknik observasi yang digunakan pada penelitian ini ialah untuk melihat respon nyeri pasien

38

pasca operasi cruris, respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam, kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas dalam dan kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris . 3) Dokumen Sumber data berupa dokumen atau arsip biasanya merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Sumber yang telah disebutkan kebanyakan merupakan rekaman tertulis, namun juga bisa berupa gambar atau benda peninggalan (Sutopo 2006). Sesuai dengan penjelasan diatas, penelitian ini menggunakan dokumen yang berupa buku, jurnal penelitian dan rekam medis dari rumah sakit.

3.5 Teknik pengumpulan data 1. Wawancara mendalam Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik wawancara, yang dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara akan dihentikan ketika semua jawaban dari partisipan jenuh (Sutopo 2006).

39

Selama penelitian peneliti melakukan wawancara kepada pasien pasca operasi fraktur cruris dan perawat yang memberikan teknik relaksasi nafas dalam. a) Pasien pasca operasi fraktur cruris Pengumpulan informasi menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interviewing) dengan pernyataan yang bersifat terbuka. Peneliti menggali informasi tentang kualitas nyeri, skala nyeri, durasi nyeri, intensitas nyeri setelah diberikan teknik relaksasi, kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi. b) Perawat Pengumpulam informasi menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interviewing) dengan petanyaan yang bersifat terbuka. Peneliti menggali informasi tentang cara perawat melakukan teknik relaksasi, kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris. 2. Observasi Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa perisiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung (Sutopo 2006). Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistic perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia dan untuk evaluasi melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu serta

40

melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut (Sumantri 2011). Observasi pada penelitian ini dilakukan langsung untuk mengamati hasil perlakuan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien fraktur cruris yang telah menjalani operasi. Hal yang perlu di amati ialah ekspresi wajah pasien sebelum dan setelah diberikan teknik relaksasi nafas dalam dan cara pasien melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Observasi dilakukan setiap hari. 3. Analisis Dokumen Studi

dokumen

adalah

teknik

pengumpulan

data

dengan

mempelajari catatan mengenai suatu data (Fathoni 2006). Dokumen tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Sumber data dan dokumen pada penelitian ini diperoleh dari buku dan jurnal yang membahas mengenai skala nyeri fraktur cruris setelah diberikan relaksasi nafas dalam. Data dari sumber tersebut kemudian dianalisis sehingga dapat memperkuat hasil penelitian peneliti. 3.6 Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, sampel yang digunakan pada penelitian ini ialah 5 sampel. Yaitu 4 pasien fraktur cruris yang sudah menjalani operasi dan 1 orang perawat yang memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris. Kriteria sampling yang peneliti tentukan antara lain : 1) Pasien usia dewasa ( 20 – 44 tahun)

41

2) Pasien fraktur cruris yang sudah menjalani operasi

3.7 Validasi Data Data yang telah berhasil digali di lapangan studi, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, bukan hanya untuk kedalaman dan kemantapannya tetapi juga kemantapan dan kebenarannya. Dikarenakan hal tersebut maka peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Validitas data ini merupakan jaminan bagi kematangan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian (Sutopo 2006). Penelitian kualitatif memiliki beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan validitas data penelitian. Cara tersebut antara lain berupa beberapa macam teknik triangulasi (triangulation) yaitu : 1. Triangulasi data Teknik triangulasi data yang peneliti gunakan pada penelitian ini ialah pasien pasca operasi fraktur cruris dan seorang perawat yang memberikan teknik relaksasi nafas dalam. Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data wajib menggunakan beragam sumber data yang berbeda dari yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila diganti dari beberapa sumber data yang berbeda. Dengan demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenarannya bila dibandingkan dengan data sejenis yang

42

diperoleh dari sumber yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya (Sutopo 2006). 2. Triangulasi Metode Teknik pengumpulan

ini data

lebih

menekankan

yang berbeda,

pada

peneliti

penggunaan

metode

menggunakan

metode

wawancara untuk mendapatkan informasi secara jelas dan rinci dan peneliti juga menggunakan metode observasi untuk memperkuat hasil dari wawancara yang peneliti lakukan. Memantapkan validitas data mengenai suatu keterampilan seseorang dalam bidang tertentu, kemudian dilakukan wawancara mendalam pada informan yang sama, dan hasilnya diuji dengan pengumpulan data sejenis menggunakan teknik observasi pada saat orang tersebut melakukan kegiatan atau perilakunya (Sutopo 2006). 3. Triangulasi penelitian Triangulasi penelitian adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan, dan bahkan sampai dengan simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitian (Sutopo 2006).

43

4. Triangulasi Teori Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Beberapa perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap dan mendalam, tidak hanya sepihak, sehingga bisa dianalisis dan ditarik simpulan yang lebih utuh dan menyeluruh (Sutopo 2006).

3.8 Analisis Data Proses analisa data yang digunakan pada penelitian kualitatif ialah bersifat induktif, dalam hal ini dijelaskan bahwa analisis sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuktikan suatu prediksi atau hipotesis penelitian, tetapi semua simpulan yang dibuat sampai dengan teori yang mungkin dikembangkan, dibentuk dari semua data yang telah berhasil ditemukan dan dikumpulkan di lapangan (Sutopo 2006). Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah seselsai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pernyataan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel (Sugiyono 2013). Sifat analisis induktif ini sangat berkaitan dengan kelenturan dan keterbukaan penelitian seperti telah dinyatakan sejalan dengan karakteristik

44

metodologi penelitian kualitatif. Sifat analisis indukif sangat menekankan pentingnya apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang pada dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam kondisi alamiahnya. Dalam penelitian ini analisis induktif yang digunakan adalah teknik analisis interaktif, yaitu setiap data yang diperoleh dari lapangan selalu diinteraksikan atau dibandingkan dengan unit data yang lain (Sutopo 2006). Adapun model analisis interaktif ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Pengumpulan data Sajian data

Reduksi data Penarikan kesimpulan/verifikasi

Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Sumber: Sutopo, HB 2006, Metodologi dasar teori dan terapannya dalam penelitian, Edisi 2, Hal 120, Universitas sebelas maret, Surakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian 4.1.1 Lokasi Penelitian RSUD Dr. Moewardi merupakan salah satu rumah sakit tipe A terbesar negeri yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berada di daerah Surakarta. RSUD Dr.Moewardi terletak di jalan Kolonel Sutarto No 132 Surakarta. RSUD Dr. Moewardi terdiri dari banyak SMF/ bagian, mulai dari SMF kesehatan anak sampai dengan SMF jiwa. SMF/ bagian yang peneliti gunakan pada penlitian ini ialah SMF/ bagian bedah. Ruang perawatan bedah tersebut terletak di lantai II, ruang Mawar II. Jenis pelayananan yang disediakan di ruang Mawar II ialah pelayanan pasien kelas III yang terdiri dari pasien askes, umum, jamkesmas, jamkesda dan PKMS. Kapasitas ruang Mawar II terdiri dari 8 kamar yang memiliki 63 tempat tidur. Peneliti memilih RSUD Dr. Moewardi karena di RSUD DR. Moewardi merupakan rumah sakit rujukan daerah, khususnya di karisidenan Surakarta. Peneliti disini menggunakan bangsal Mawar II yang merupakan bangsal bedah.

46

4.1.2 Karakteristik Pasien Pasien pada penelitian ini ialah pasien yang menderita fraktur cruris yang terdiri dari 4 orang, yaitu 4 orang laki-laki. Rentang usia partisipan pada penelitian ini ialah mulai dari 20-44 tahun. Jenis fraktur yang diderita pasien pada penelitian ini ialah 4 orang partisipan menderita post ORIF fraktur cruris. Sebagian besar tingkat pendidikan partisipan pada penelitian ini adalah SD-SMP. Jenis pekerjaan pada partisipan bervariasi mulai dari buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik sampai dengan wiraswasta. 1. Pasien 1 (P1) Pasien 1 adalah seorang pria yang berusia 20 tahun. pasien 1 beragama islam dan bekerja sebagai buruh pabrik. Tingkat pendidikan pasien ialah SMP. Responden menderita post ORIF fraktur cruris. 2. Pasien 2 (P2) Pasien 2 adalah seorang pria yang berusia 42 tahun. pasien 2 beragama islam dan bekerja sebagai buruh tani didesanya. Tingkat pendidikan pasien ialah SD. Responden menderita post ORIF fraktur cruris. 3. Pasien 3 (P3) Pasien 3 adalah seorang pria yang berusia 21 tahun. pasien 3 beragama islam dan bekerja sebagai buruh pabrik. Tingkat pendidikan pasien ialah SMP. Responden menderita post ORIF fraktur cruris.

47

4. Pasien 4 (P4) Pasien 4 adalah seorang pria yang berusia 44 tahun. Pasien 4 beragama katolik dan bekerja sebagai seorang wiraswasta. Tingkat pendidikan pasien ialah SMP. Responden menderita post ORIF fraktur cruris. Adapun karakteristik pasien agar dapat dilihat dengan jelas pada tabel berikut ini : Tabel 4.1 Karakteristik pasien Pasien

Usia

P1 P2 P3 P4

20 tahun 42 tahun 21 tahun 44 tahun

Jenis Kelamin L L L L

Pekerjaan Buruh Buruh Buruh Wiraswasta

Status Pendidikan SMP SD SMP SMP

48

4.2

Sajian Data Pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi fraktur cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dilakukan kepada 4 pasien. Pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara dilakukan kepada 4 orang pasien dan perawat. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data tentang teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi fraktur cruris meliputi : (1) respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris, (2) respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam, (3) kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris, (4) kendala parawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris.

4.2.1 Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris Pada penelitian ini peneliti menggunakan pengkajian nyeri Provocate, Quality, Regio, Scale, Time

(PQRST). Provocate adalah

pengkajian untuk mengetahui penyebab nyeri, quality adalah pengkajian untuk mengetahui kualitas nyeri, regio adalah pengkajian untuk mengetahui daerah atau tempat yang nyeri, scale adalah pengkajian untuk mengetahui skala nyeri pasien dan time adalah pengkajian mengenai durasi nyeri yang dirasakan. Selain menggunakan pengkajian PQRST data juga didapatkan dari hasil observasi peneliti. Pada pengkajian PQRST didapat hasil nyeri secara subjektif di antaranya penyebab nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, skala nyeri dan durasi lamanya nyeri. Hasil observasi nyeri

49

yang dapat diketahui melalui ekspresi wajah pasien. Berdasarkan pengalaman pasien dan pengamatan peneliti dapat ditunjukkan skala nyeri rata-rata skala 5 hingga 7. Skala nyeri 0 atau tidak nyeri terlihat dari ekspresi wajah, meliputi wajah tenang, pasien terlihat rileks, dan dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Pada skala 1-3 yang termasuk dalam kategori nyeri ringan pasien menunjukan ekspresi wajah tampak merintih kesakitan, mengusap daerah nyeri atau melokalisir nyeri, dan pasien masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Sementara pada skala 4-6 yang termasuk kategori nyeri sedang, dapat ditunjukan dengan karakteristik wajah pasien mengerutkan dahi, wajah tampak tegang, mengaduh, “nggeget untu”, gerakan melindungi bagian nyeri, nyeri terasa cenut-cenut, merintih kesakitan dan berkeringat. Skala nyeri 7-9 yang termasuk kategori nyeri berat ditunjukkan dengan karakteristik pasien terlihat emosional, sesak nafas menggigit bibir, imobilisasi, menghindari percakapan, nyeri terasa seperti ditusuk dan pasien terlihat gelisah. Pada skala 10 yang termasuk kategori nyeri tidak terkontrol terlihat dengan ekspresi wajah pasien menangis kesakitan, gelisah, pucat, focus untuk menurunkan nyeri, berkeringat, berteriak dan melakukan gerakan yang tidak terkontrol. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi didapatkan data bahwa kualitas nyeri yang dirasakan oleh pasien operasi fraktur ialah rasa cenutcenut dan rasa seperti di tusuk. Hasil wawancara didapatkan bahwa 2 pasien yaitu P1 dan P3 mengatakan rasa nyeri yang dirasakan ialah rasa

50

cenut-cenut, sementara 2 pasien yang lain mengatakan bahwa kualitas nyeri yang dirasakannya seperti ditusuk-tusuk. Berikut adalah pernyataan pasien saat diwawancarai : Pasien 1 : “Nyerinya muncul setelah operasi mas, rasanya ya cenutcenut gitu mas” Pasien 2 : “Ya nyerinya abis operasi mas, rasanya kaya ditusuk apalagi kalau malem”

Hasil observasi yang didapatkan peneliti bahwa 4 pasien terlihat merintih kesakitan, pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri yang dirasakan muncul, melindungi daerah nyeri, imobilisasi dan menghindari percakapan. Intensitas skala nyeri yang dirasakan pasien didapatkan hasil dari observasi bahwa sebelum mengkaji nyeri pasien peneliti memberikan penjelasan terhadap skala nyeri, sehingga pasien dapat menjelaskan nyeri yang dirasakan. Peneliti menggunakan alat pengukuran skala nyeri deskriptif. Pada penelitian ini intensitas skala nyeri yang dirasakan pasien ialah pada skala 5 dan skala 7. Tiga orang pasien mengatakan bahwa nyeri yang dirasakannya berada pada angka 5 yaitu P1, P2 dan P3, sementara satu pasien yaitu P4 mengatakan bahwa nyeri yang dirasakannya berada pada skala 7. Berikut ini pernyataan pasien mengenai skala nyeri yang dirasakan : Pasien 1 : “kalo disuruh memilih angka ya kira-kira nyerinya di angka 5 mas” Pasien 4 : ”kalau disuruh milih angka 0-10 ya saya rasa angka 7 untuk nyeri saya”

51

Hasil observasi yang peneliti lakukan didapatkan data bahwa pasien yang menunjukankan skala 5 terlihat wajah pasien mengerutkan dahi, mengaduh, “nggeget untu”, nyeri terasa cenut-cenut dan merintih kesakitan, sedangkan pada pasien yang menunjukan skala 7 tampak gelisah, menghidari percakapan dengan peneliti dan terfokus pada nyerinya, pasien juga terlihat seperti menahan nafas. Skala nyeri yang dirasakan oleh pasien setelah operasi fraktur termasuk dalam kategori nyeri sedang dan nyeri berat. Perbedaan skala ini dikarenakan respon pasien terhadap nyeri berbeda sehingga toleransi terhadap nyeri yang dirasakan berbeda. Tindakan pasien yang digunakan untuk mengurangi nyeri berbedabeda, pasien mengatakan bahwa jika nyeri akan mengipas-ngipas dan mengelus-elus bagian yang sakit. Dari hasil wawancara didapatkan data bahwa 3 pasien mengatakan jika merasakan nyeri, tindakan yang dilakukan ialah dielus-elus yaitu pasien P1, P2 dan P4 sedangkan satu pasien mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri ialah dengan dikipas-kipas yaitu P3. Berikut ini adalah hasil wawancara mengenai tindakan pasien untuk mengurangi nyeri yang dialami : Pasien 1: “hmmm yo paling dielus-elus mas biar gak sakit” Pasien 3: Paling dikipas-kipas aja sih mas biar gak terasa sakit” Hasil observasi menunjukan bahwa pasien terlihat sesekali mengipas bagian yang sakit, pasien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Pasien terlihat merintih kesakitan sambil mengelus-elus balutan pada kaki yang mengalami fraktur, dan sesekali pasien terlihat mengaduh saat nyeri yang dirasakan muncul.

52

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa respon nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris diperoleh hasil bahwa kualitas nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris adalah rasa cenut-cenut dan rasa seperti ditusuk-tusuk. Intensitas nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris termasuk dalam kategori nyeri sedang dengan skala 5, ditandai dengan pasien terlihat merintih kesakitan, pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri yang dirasakan muncul dan melindungi daerah nyeri. pada nyeri berat dengan skala 7, ditandai dengan pasien terlihat imobilisasi dan menghindari percakapan. Tindakan yang biasa digunakan pasien untuk mengurangi nyeri ialah dengan cara mengipas dan mengelus bagian yang nyeri. 4.2.2 Respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam Proses teknik relaksasi nafas dalam diberikan kepada pasien pasca operasi fraktur cruris hari kedua. Peneliti menggunakan pasien pasca operasi fraktur cruris hari kedua dikarenakan untuk menghilangkan efek anastesi pada pasien. Pemberian teknik relaksasi nafas dalam dilakukan sebelum pasien diberikan obat analgesik oleh perawat. Pasien pasca operasi fraktur cruris pada penelitian ini mendapatkan obat analgesik dan waktu pemberian yang sama, yaitu per 12 jam. Sebelum diberikan teknik relaksasi nafas dalam, perawat terlebih dahulu memberikan contoh kepada pasien tentang prosedur teknik relaksasi nafas dalam setelah itu perawat menganjurkan pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam secara mandiri kemudian perawat mengevaluasi pemberian teknik relaksasi dan

53

memotivasi pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam saat merasakan nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam dievaluasi setiap dua kali sehari. Pemberian teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri pasien pada hari ke 3 dan 4, namun satu pasien yaitu responden 4 tidak menunjukkan adanya penurunan skala nyeri. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh peneliti mengenai respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam didapatkan penurunan skala nyeri pada 3 dari 4 pasien. Pernyataan tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara berikut ini : Pasien 1 : “relaksasi itu bisa mengurangi nyeri tapi cuma sedikit, kalo pas nyeri banget ya gak mempan mas. Sekarang sih nyerinya jadi 4 mas kurang lebih” Pasien 3 : “Ya kira-kira nyerinya sekarang jadi 3an mas” Pasien 4 : “Tapi relaksasinya itu kurang mempan mas, saya udah bolakbalik pake kayak yang dibilangin mbaknya kemarin itu tapi sama aja tu, nyerinya gak berkurang mas. Ya kurang lebih masih sama mas 7an”

Berdasarkan penurunan skala nyeri diatas didapatkan bahwa skala 5 turun menjadi skala 3 yang dialami oleh 1 pasien dan penurunan skala 5 menjadi skala 4 diungkapkan oleh 2 pasien, sementara 1 pasien tidak mengalami penurunan skala nyeri dan tetap berada di skala 7. Hasil observasi menunjukkan bahwa penuruan skala nyeri 5 menjadi skala 3 dapat dilihat dari perubahan ekspresi pasien yang semula mengerutkan dahi, mengaduh dan “nggeget untu”, setelah diberikan

54

relaksasi kini menjadi merintih kesakitan dan mulai dapat melakukan aktivitas. Sementara pada pasien dengan skala nyeri 5 yang turun menjadi 4 tidak terlihat adanya perubahan ekspresi wajah seperti tetap mengerutkan dahi, mengaduh dan melindingi daerah nyeri, begitu juga dengan pasien yang mengalami skala nyeri 7 yaitu responden 4 yang terlihat menahan nafas, pasien terlihat lebih fokus pada nyeri yang dirasakan, pasien juga terlihat gelisah dan berkeringat. Hal ini menunjukan bahwa teknik relaksasi nafas dalam hanya dapat menurukan intensitas nyeri pada kategori nyeri sedang. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam, nyeri yang dirasakan oleh pasien mulai berkurang pada hari ke 4 dan ke 3 sedangkan pada pasien 4 tidak menunjukan adanya penurunan skala nyeri karena pada pasien 4 karena pasien terlihat kurang konsentrasi dan lebih focus pada nyeri yang dirasakannya. Hal tersebut dapat terjadi karena relaksasi nafas dalam dapat meningkatkan konsentrasi, sehingga responden akan menjadi rileks dan mengendurkan otot yang tegang sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang. Namun hal berbeda tidak terjadi pada satu pasien yaitu pasien P4 yang skala nyerinya termasuk dalam kategori nyeri berat tidak terjadi penurunan dikarenakan pasien memiliki teloransi nyeri yang lemah dan pasien tidak dapat berkonsentrasi saat melakukan teknik relaksasi nafas dalam sehingga nyeri yang dirasakan tidak dapat berkurang dengan teknik relaksasi nafas dalam.

55

4.2.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris Pasien pada penelitian ini dapat melakukan teknik relaksasi nafas dalam sesuai dengan yang diajarkan perawat. Selama melakukan teknik relaksasi nafas dalam peneliti tidak menemukan adanya kendala yang dialami oleh pasien, tetapi satu pasien terlihat tidak dapat berkonsentrasi saat melakukan teknik relaksasi nafas dalam sehingga nyeri yang dialami tidak menurun. Kondisi lingkungan juga mempengaruhi pasien terhadap pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam. Lingkungan yang ramai seperti pada penelitian ini yaitu ruang Mawar II RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang merupakan ruang kelas 3. Satu kamar pada bangsal ini terdapat 11 tempat tidur pasien, sehingga kondisi ruangan terlihat sangat ramai dan kondisi ini mempengaruhi pasien dalam berkonsentrasi saat melakukan teknik relaksasi nafas dalamnya. Pada hasil wawancara yang dilakukan kepada pasien mengenai kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas hdalam untuk mengurangi nyeri pasca operasi fraktur cruris didapatkan bahwa ketiga pasien tidak mengalami kendala saat melaksanakan teknik relaksasi nafas dalam. Berikut pernyataan yang disampaikan salah satu pasien tersebut: pasien 3 :“Gak ada kendalanya mas itu gampang kok, tinggal tangannya ditaruh diatas dan diperut trus tarik nafas lewat hidung keluarin mulut sambil badannya dirilekskan” Kecuali pada responden 4 yang menyatakan bahwa teknik relaksasi nafas dalam tidak dapat menurunkan nyeri yang dirasakan. Berikut

56

pernyataan responden 4 yang menunjukkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam tidak dapat menurunkan nyeri yang dirasakannya : Pasien 4 :“Gak ada mas, tapi relaksasinya itu kurang mempan mas, saya udah bolak-balik pake kayak yang dibilangin mbaknya kemarin itu tapi sama aja tu, nyerinya gak berkurang mas. Ya kurang lebih masih sama mas 7an”

Kendala dalam prosedur pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam tidak terlihat pada pasien 4, namun pasien 4 mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi karena terfokus pada nyeri yang dirasakan sehingga dalam melakukan teknik relaksai nafas dalam tidak menunjukkan penurunan skala nyeri pasien. Hasil observasi menunjukan bahwa pasien yang tidak mengalami kendala pasien tampak rileks, pasien tampak melakukan teknik relaksasi nafas dalam sesuai dengan urutan yang telah diajarkan perawat. Sedangkan pada responden 4 dapat melakukan teknik relaksasi nafas dalam sesuai dengan prosedur, namun pasien tampak kurang kooperatif dan terfokus pada nyeri yang dirasakannya, pasien juga terlihat menghidari percakapan dan tampak menggigit bibir yang menandakan kesakitan. Kondisi kamar pasien yang ramai dan berisik juga berperan pada tidak turunnya intensitas nyeri pasien. Kendala pasien saat melakukan teknik relaksasi nafas dalam dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi seseorang dan lingkungan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara prosedur semua pasien tidak mengalami kendala saat melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kendala ditemukan pada pasien 4 dikarenakan pasien 4 tidak dapat

57

berkonsentrasi, masih terfokus pada nyeri yang dirasakan dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tidak nyaman sehingga nyeri yang dirasakan pasien 4 tidak turun. 4.2.4 Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris Pada hasil wawancara dengan perawat mengenai kendala perawat saat memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris didapatkan data bahwa perawat tidak menemukan kendala dalam melakukan prosedur teknik relaksasi nafas dalam. Akan tetapi kendala perawat ditemukan pada pasien yang tidak kooperatif saat diajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Berikut pernyataan perawat yang menunjukkan bahwa perawat tidak menemukan kendala dalam prosedur pemberian teknik relaksasi nafas dalam : Perawat :“Gak ada kendalanya mas untuk prosedur teknik relaksasi nafas dalam, perawat memberikan teknik relaksai nafas dalam kepada pasien ya sesuai prosedur, yang membuat kendala ya biasanya pasien itu sendiri karena pasien kadang tidak kooperatif untuk diajarkan teknik relaksasi”

Untuk mengatasi kendala pada pasien yang tidak kooperatif dalam melakukan teknik relaksasi, perawat memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga pasien. Berikut pernyataan perawat mengenai cara mengatasi kendala : Perawat :“emmm, ya caranya kita motivasi ke pasien sama keluarga untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam secara mandiri”

58

Hasil observasi yang peneliti lakukan untuk kendala perawat dalam melakukan pemberian teknik relaksasi nafas dalam ialah tidak ada kendala yang ditemui saat mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam kepada responden, perawat terlihat mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam sesuai prosedur, perawat terlihat memotivasi pasien agar melakukan teknik relaksasi nafas dalam secara mandiri untuk mengurangi nyeri

Hasil analis dari wawancara dengan perawat dapat ditemukan kesimpulan bahwa perawat tidak menemui kendala dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam, perawat memberikan teknik relaksasi nafas dalam sesuai prosedur yang sudah ditetapkan. Tetapi kendala akan muncul apabila pasien tidak kooperatif untuk diajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Dari uraian diatas dapat disimpilkan bahwa perawat tidak mengalami kendala dalam memberikan relaksasi nafas dalam, namun kendala tersebut akan dirasakan apabila perawat memberikan relaksasi nafas dalam kepada pasien yang tidak koopratif. Untuk mengatasi kendala tersebut perawat akan memotivasi pasien dan keluarga untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam secara mandiri jika nyeri yang dirasakan timbul.

59

4.3 Temuan penelitian 4.3.1 Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pasien pasca operasi fraktur cruris diperoleh hasil bahwa kualitas nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris adalah rasa cenut-cenut dan rasa seperti ditusuktusuk. Intensitas nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris termasuk dalam kategori nyeri sedang dengan skala 5, ditandai dengan pasien terlihat merintih kesakitan, pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri yang dirasakan muncul dan melindungi daerah nyeri. pada nyeri berat dengan skala 7, ditandai dengan pasien terlihat imobilisasi dan menghindari percakapan. Tindakan yang biasa digunakan pasien untuk mengurangi nyeri ialah dengan cara mengipas dan mengelus bagian yang nyeri.

4.3.2 Respon pasien pasca operasi fraktur cruris terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam Respon pasien pasca operasi fraktur cruris terhadap pemberian teknik relaksai nafas dalam didapatkan data bahwa setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam, nyeri yang dirasakan oleh pasien mulai berkurang pada hari ketiga dan keempat sedangkan pada pasien 4 tidak menunjukan adanya penurunan skala nyeri karena pasien terlihat kurang konsentrasi dan lebih fokus pada nyeri yang dirasakannya.

60

4.3.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksai nafas dalam diperoleh bahwa secara prosedur dalam teknik relaksasi nafas dalam semua pasien tidak mengalami kendala. Kendala ditemukan pasda pasien 4 dikarenakan pasien 4 tidak dapat berkonsentrasi dan masih terfokus pada nyerinya, sehingga nyeri yang dirasakan pasien 4 tidak mengalami penurunan.

4.3.4 Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris Kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris didapatkan hasil bahwa secara prosedur perawat tidak mengalami kendala tapi kendala tersebut dapat muncul kepada pasien yang kurang kooperatif. Perawat mengatasi kendala tersebut dengan cara memotivasi pasien dan keluarga untuk melakukan relaksasi nafas dalam jika nyeri yang dirasakan pasien muncul.

61

4.4 4.4.1

Pembahasan Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris Respon nyeri pasien pasca operasi fraktur berdasarkan kualitas nyeri ialah cenut-cenut dan rasa seperti tertusuk, intensitas nyeri termasuk dalam kategori nyeri sedang dengan skala 5, ditandai dengan responden terlihat merintih kesakitan, responden terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri yang dirasakan muncul dan melindungi daerah nyeri. pada nyeri berat dengan skala 7, ditandai dengan responden terlihat imobilisasi dan menghindari percakapan. Tindakan pasien untuk menurunkan nyeri yang dirasakan ialah dengan cara mengipas dan mengelus bagian yang nyeri. Tindakan pembedahan

adalah suatu tindakan

yang dapat

mengancam integritas seseoramg, baik bio-psiko-sosial maupun spiritual, yang bersifat potensial ataupun aktual. Setiap tindakan pembedahan dapat menimbulkan respon ketidaknyamanan berupa rasa nyeri. Nyeri adalah suatu

keadaaan

subjektif

dimana

seseorang

memperlihatkan

ketidaknyamann secara verbal maupun non verbal (Engram dalam Solehati 2008). Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang unuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibandingakan suatu penyakit apapun (Smeltze & Bare 2002).

62

Secara fisiologi nyeri, saat merasakan nyeri serabut nyeri akan memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai didalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri yang dapat berinteraksi dengan sel-sel inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisikan tanpa hambatan ke korteks serebri. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu terhadap nyeri. Selain itu, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri yang dirasakan maka akan terjadi reaksi komplek. Faktor-faktor psikologis dan kognitif akan berinteraksi dengan faktor neurofisiologi dalam mempersepsikan nyeri sehingga dapat membantu seseorang untuk menginterpretasikan intensitas dan kualitas nyeri ( Potter & Perry 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Ardinata (2007), menjelaskan bahwa kualitas nyeri yang dirasakan berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri sering kali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar, dan gatal. Tamsuri

(2012),

menjelaskan

bahwa

faktor

yang

dapat

meningkatkan dan menurunkan nyeri dapat dilihat dari berbagai perilaku yang dilakukan oleh pasien dalam mengubah intensitas nyeri (misal dengan aktivitas, istirahat, pengarahan tenaga, mengatur posisi tubuh, penggunaan obat-obatan, dan lainnya), dan apa yang diyakini klien dapat

63

membantu dirinya. Perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and error. Walaupun merupakan salah satu dari gejala yang paling sering terjadi dibidang medis, nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami. Individu yang merasakan nyeri akan merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang megalami nyeri yang sama dan menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada seseorang individu (Potter & Perry 2006). Tidak semua orang yang terpajan stimulus yang sama (appendicitis, sebagai contoh) mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain. Lebih jauh lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada suatu waktu tetapi tidak pada waktu lain (Smeltzer & Bare 2002). Selain cara yang digunakan untuk mengurangi nyeri, perawat menggunakan proses pengkajian nyeri untuk mengetahui intensitas nyeri yang dirasakan oleh setiap pasien, sehingga didapatkan dua kategori nyeri yaitu nyeri ringan dan sedang. Dalam mengkaji skala nyeri, peneliti menggunaka skala intensitas nyeri deskriptif yang kemudian ditanyakan langsung kepada pasien. Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa dalam mengkaji intensitas nyeri responden, harus membiarkan responden mendeskripsikan secara verbal nyeri yang dirasakannya, karena individu merupakan penilai yang terbaik dari penilaian nyeri yang dirasakannya.

64

Dalam kasus ini pasien ditanya : “pada skala dari nol sampai dengan sepuluh, nol tidak ada nyeri dan sepuluh nyeri paling buruk yang dapat terjadi, seberapa berat nyeri yang anda rasakan saat ini ?” Pasien biasanya dapat berespon tanpa kesulitan. Jika mungkin, perawat dapat menunjukkan kepada pasien bagaimana skala nyeri bekerja sebelum nyeri terjadi. Potter & Perry (2006) menjelaskan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan faktor yang memepengaruhi klien yang merasa nyeri. Hal ini sangat penting dalam upaya untuk memeastikan bahwaperawat menggunakan pendekatan yang holistic dalam pengkajian dan perawatan klien yang mengalami nyeri. Berikut faktor yang mempengaruhi nyeri : 11. Usia Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan

diantara

kelompok

usia

ini

dapat

mempengaruhi

bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. 12. Jenis kelamin Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin.

65

13. Kebudayaan Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi gaya individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidak mampuan untuk mentoleransi nyeri, akibatnya pemberian terapi mungkin tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko/Amerika. Seorang klien berkebangsaan Meksiko/Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat dan mengharapkan perawat melakukan intervensi. 14. Makna nyeri Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. 15. Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini

66

merupakan salah satu konsep yang perawat tetapkan diberbagai terapi untuk menghilangkan nyeri seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat bisa menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. 16. Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Klien yang mengalami cidera atau mengalami penyakit kritis, seringkali mengalami kesulitan mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat ansietas yang tinggi. 17. Keletihan Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai dengan kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahakan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan.

67

18. Pengalaman sebelumnya Setiapa individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengelaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama akan mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis sama yang berulang ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk mengiterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap. Untuk melakukan tindakan-tidakan yang diperlukan untuk mengilangkan nyeri. 19. Gaya koping Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat anda merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di keadaan keperawatan kesehatan, seperti dirumah sakit, klien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan kontrol terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengatasi nyeri.

68

20. Dukungan keluarga dan sosial Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiaran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang cara mereka menumpahkan keluhan mengenai nyeri. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan. Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan suatu pengalaman persepsi dan emosional dari individu yang bersifat subjektif dan kurang menyenangkan. Untuk mengetahui intensitas skala dan kualitas nyeri perawat harus melakukan pengkajian dengan menanyakan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping dan dukungan keluarga dan sosial.

69

4.4.2 Respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam Respon pasien pasca operasi fraktur cruris setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam ialah nyeri yang dirasakan oleh pasien mulai berkurang pada hari ke 4 sedangkan pada pasien 4 tidak menunjukan adanya penurunan skala nyeri karena pasien terlihat kurang konsentrasi dan lebih focus pada nyeri yang dirasakannya. Nyeri pasca operasi akan meningkatkan stres pasca operasi dan memiliki pengaruh negative pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat penting sesudah pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien pasca operasi dapat dibebaskan (Torrance dan Serginson dalam Farida 2010). Relaksasi adalah teknik untuk mengurangi ketegangan nyeri dengan merelaksasikan otot. Beberapa penelitin menyatakan bahwa teknik relaksasi efektif dalam menurunkan skala nyeri pasca operasi (Tamsuri 2012). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare 2002). Relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan cara merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri.

70

beberapa

penelitian

menunjukan

bahwa

relaksasi

efektif

dalam

menurunkan nyeri pasca operasi. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stres. Dengan relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhdap nyeri. kemampuannya dalam melakukan relaksasi fisik dapat menyebabkan relaksasi mental. Relaksasi memberikan efek secara langsung terhadap fungsi tubuh seperti penurunan tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan, penurunan konsumsi oksigen oleh tubuh serta penurunan tegangan otot (Smeltzer & Bare 2002). Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan relaksasi pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. Relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan dan mengembalikan emosi yang akan membuat tubuh menjadi rileks. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa proses tersebut dapat dijelaskan dengan teori gate control. Adanya stimulasi nyeri pada area luka bedah menyebabkan keluarnya mediator nyeri yang akan menstimulasi transmisi impuls disepanjang serabut saraf aferen nosiseptor ke substansia gelatinosa (pintu gerbang) di medula spinalis untuk selajutnya melewati thalamus kemudian disampaikan ke kortek serebri dan diinterpretasikan sebagai nyeri. Perlakuan relaksasi nafas dalam akan menghasilkan impuls

71

yang dikirim melalui serabut saraf aferen nonnosiseptor. Serabut saraf nonnosiseptor mengakibatkan “pintu gerbang” tertutup sehingga stimulus nyeri terhambat dan berkurang. Teori two gate control menyatakan bahwa terdapat satu “pintu gerbang” lagi di thalamus yang mengatur impuls nyeri dari nervus trigeminus. Dengan adanya relaksasi, maka impuls nyeri dari nervus trigeminus akan dihambat dan mengakibatkan tertutupnya “pintu gerbang” di thalamus. Tertutupnya “pintu gerbang” di thalamus mengakibatkan stimulasi yang menuju korteks serebri terhambat sehingga intensitas nyeri berkurang untuk kedua kalinya (Potter & Perry 2006). Smeltzer & Barre (2002)

menjelaskan bahwa teknik relaksasi

nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui tiga mekanisme yaitu : 4. Dengan meralaksasikan otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan insisi (trauma) jaringan saat pembedahan. 5. Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri karena nyeri post bedah merupakan nyeri yang disebabkan karena trauma jaringan oleh karena itu jika trauma (insisi) sembuh maka nyeri juga akan hilang. 6. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati, Hartiti Tri, dan Hadi Idris (2010) menjelaskan bahwa dari 50 sampel yang menglami nyeri saat

72

disminore, sebelum diberikan relaksasi nafas dalam terdapat nyeri sedang sebanyak 31 orang (62,0%) dan sesudah dilakukan teknik relaksasi sebagian besar kategori nyeri ringan sebanyak 35 orang (70,0%). Dapat disimpilkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala intensitas nyeri pada mahasiswi yang mengalami disminore di Universitas Muhamadiyah Semarang. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Patasik CK, Tangka Jon, dan Rottie Julia (2013) menyatakan bahwa tingkat nyeri pada pasien post operasi section caesarea sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery di Irina D BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebagian besar mengalami nyeri hebat sampai sangat hebat, tingkat nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery di Irina D BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebagian besar mengalami penurunan ke kategori nyeri ringan selebihnya ke kategori nyeri sedang, dan teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery efektif terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea. Penelitian yang dilakukan oleh Pinandita Iin, Purwanti E dan Utoyo B (2012) mengatakan bahwa pengendalian nyeri secara farmakologi lebih sering digunakan untuk mengurangi intensitas skala nyeri dibandingakan dengan terapi nonfarmakologi. Namun demikian, terapi farmakologi tidak bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol nyeri, sehingga dibutuhkan kolaborasi dengan terapi nonfarmakologi agar sensari

73

nyeri dapat berkurang serta masa pemulihan tidak memanjang. Pengendalian nyeri nonfarmakologis menjadi lebih murah, simple, efektif, dan tanpa efek yang merugikan. Potter & Perry (2006) menjelaskan hal yang berbeda bahwa supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi individu dan kerjasama. Teknik relaksasi diajarkan hanya saat klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang tidak akut hal ini dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi tidak efektif . Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati, Hartiti Tri dan Hadi Idris (2010) menjelaskan bahwa pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam dapat berhasil apabila dilakukan sesuai dengan tahapan relaksasi nafas dalam dan didukung dengan lingkungan yang tenang akan memberikan efek penurunan intensitas nyeri secara nyata. Teknik relaksasi nafas dalam yang diberikan oleh perawat pada penelitian ini hanya digunakan sebagai terapi pendukung dan bukan sebagai pengganti obat-obatan. Smletzer & Bare (2006) menjelaskan bahwa banyak pasien dan tenaga kesehatan cenderung memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu, banyak aktivitas keperawatan nonfarmkologis yang dapat membantu menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang

74

berlangsung hanya beberapa detik atau menit. Dalam hal ini, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri. Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas skala nyeri dikarenakan dengan relaksasi nafas dalam dapat merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri, sehingga nyeri yang dirasakan oleh responden dapat berkurang. Selain itu faktor yang mendukung keberhasilan teknik relaksasi nafas dalam guna untuk menurunkan intensitas nyeri adalah tahapan relaksasi nafas dalam, yang baik dan benar, tingkat konsentrasi individu dan lingkungan yang nyaman. Teknik relaksasi nafas dalam yang termasuk dalam terapi nonfarmakologis hanya digunakan sebagai pendamping dari pengobatan utama atau medis.

4.4.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris ialah tidak ada kendala dalam melakukan teknik relaksasi nafas dalam, kerena teknik relaksasi nafas dalam merupakan cara yang paling mudah untuk mengurangi nyeri. Selain mudah dilakukan, teknik ini tidak membutuhkan

75

banyak biaya dan menggunakan gerakan yang umum serta biasa dilakukan oleh semua orang. Metode non-farmakologi yang dimaksud ialah bukan dengan pemberian obat-obatan, tindakan yang dilakukan hanyalah untuk mengurangi nyeri yang berlangsung beberapa menit saja. Dalam hal ini, mengkombinasikan terapi non-farmakologi dalam menurunkan intensitas nyeri merupakan cara yang optimal. Pengendalian nyeri dengan terapi nonfarmakologi yang berupa teknik relaksasi nafas dalam dapat digunakan kapan saja, efisien, murah dan tidak terdapat efek samping pada penggunanya (Potter & Perry 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Dewi D, Setyoadi, dan Widastra NM (2009) menyatakan bahwa relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri sedang pada lansia yang menderita arthritis rheumatoid menjadi skala nyeri ringan. Sehingga teknik relaksasi dianggap efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pasien dan teknik ini dapat digunakan sewaktu-waktu secara mandiri dikarenakan gerakannya yang sederhana. Tambunan (2009) dan Potter & Perry (2006) menjelaskan langkah teknik relaksasi nafas dalam yaitu : 8) Atur pasien pada posisi yang nyaman 9) Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut 10) Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara pelan, dalam dan merasakan kembang-kempisnya perut

76

11) Minta pasien untuk menahan nafas selama beberapa detik kemudian keluarkan nafas secara perlahan melalui mulut 12) Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan nafas, mulut pada posisi mecucu (pulsed lip) 13) Minta pasien untuk mengeluarkan nafas sampai perut mengempis 14) Lakukan latihan nafas dalam hingga 2-4 kali. Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi individu dan kerja sama. Teknik relaksasi diajarkan hanya saat klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang akut hal ini dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi tidak efektif (Potter & Perry 2006). Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Teknik relaksasi juga tindakan pereda nyeri noninvasive lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunakannya (Smeltzer & Bare 2002). Tamsuri (2012) menjelaskan bahwa teknik relaksasi nafas dalam merupakan cara yang paling mudah dilakukan dalam mengontrol ataupun mengurangi nyeri. Selain mudah dilakukan, teknik ini tidak membutuhkan banyak biaya dan konsentrasi yang tinggi, seperti halnya teknik relaksasi

77

lainnya, dan dengan

menggunakan pengukuran skala wajah,

pasien

mampu mengekspresikan nyeri yang dialaminya dengan mudah. Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam merupakan teknik yang sederhana dan dapat digunakan secara mandiri, sehingga tidak ditemukkannya kendala pada saat melakukan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut dikarenakan gerakan yang digunakan pada relaksasi nafas dalam merupakan gerakan yang sederhana dan umum digunakan oleh pasien.

4.4.4

Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris Kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris didapatkan hasil bahwa secara prosedur perawat tidak mengalami kendala tapi kendala tersebut dapat muncul kepada pasien yang kurang kooperatif. Perawat mengatasi kendala tersebut dengan cara memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga untuk melakukan relaksasi nafas dalam jika nyeri yang dirasakan pasien muncul. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare 2002).

78

Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien yang mengalami nyeri dibandingkan tenaga professional perawatan lainnya,

dan

perawat

mempunyai

kesempatan

untuk

membantu

menghilangkan nyeri dan efeknya yang membahayakan. Peran pemberi perawatan primer adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab nyeri dan merasakan obat-obatan untuk menghilangkan nyeri. Perawat tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga professional lainnya tetapi juga memberikan intervensi pereda nyeri, mengevalusi evektifitas intervensi, dan bertindak sebagai advokat pasien saat intervensi tidak efektif. Selain itu, perawat berperan sebagai pendidik untuk pasien dan keluarga, mengajarkan untuk mengatasi penggunaan analgesic atau regimen pereda nyeri oleh mereka sendiri ketika memungkinkan (Smeltzer & Bare 2002). Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan kepada klien diberbagai keadaan dan situasi, yang memberikan intervensi untuk meningkatan kenyamanan. Perawat bertanggung jawab secara etis untuk mengontrol nyeri dan menghilangkan penderitaan nyeri klien. Penting bagi perawat

untuk

memahami

makna

nyeri

bagi

setiap

individu.

Penatalaksanaan nyeri lebih dari sekedar pemberian analgesic. Dengan memahami nyeri lebih holistic, maka perawat dapat mengembangkan strategi yang lebih baik pada penanganan nyeri yang berhasil (Potter & Perry 2006). Apabila klien merasa terganggu atau menjadi tidak nyaman, maka perawat akan menghentikan latihan tersebut. Apabila klien tampak

79

mengalami kesulitan dan mengalami relaksasi hanya pada sebagian tubuh, maka perawat memperlambat kemajuan latihan dan berkonsentrasi pada bagian tubuh yang tegang. Klien juga harus mengetahui sejak awal bahwa latihan ini dapat dihentikan setiap waktu. Dengan melakukan latihan, klien dapat dengan segera melakukan latihan relaksasi dengan mandiri (Tamsuri 2012). Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa dengan banyaknya jumlah waktu

yang dimiliki

perawat

dalam

melakukan asuhan

keperawatan, perawat dapat melakukan intervensi secara mandiri untuk membantu pasien dalam mengurangi rasa nyeri yang dimiliki sehingga pada pelaksanaan pemberian teknik relaksasi tidak ditemukannya kendala pada perawat.

BAB V PENUTUP

5.1.

Kesimpulan Penelitian yang berjudul “Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta” ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

5.1.1

Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris di RSUD Dr. Moewardi surakarta Nyeri merupakan suatu pengalaman persepsi dan emosional dari individu yang bersifat subjektif dan kurang menyenangkan. Untuk mengetahui intensitas skala dan kualitas nyeri perawat harus melakukan pengkajian dengan menanyakan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping dan dukungan keluarga dan sosial.

5.1.2

Respon pasien pasca operasi fraktur cruris terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam Teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas skala nyeri dikarenakan dengan relaksasi nafas dalam dapat merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri, sehingga nyeri yang

80

81

dirasakan oleh responden dapat berkurang. Selain itu faktor yang mendukung keberhasilan teknik relaksasi nafas dalam guna untuk menurunkan intensitas nyeri adalah tahapan relaksasi nafas dalam, yang baik dan benar, tingkat konsentrasi individu dan lingkungan yang nyaman. Teknik relaksasi nafas dalam yang termasuk dalam terapi nonfarmakologis hanya digunakan sebagai pendamping dari pengobatan utama atau medis. 5.1.3

Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris Teknik relaksasi nafas dalam merupakan teknik yang sederhana dan dapat digunakan secara mandiri, sehingga tidak ditemukkannya kendala secara prosedur pada saat melakukan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut dikarenakan gerakan yang digunakan pada relaksasi nafas dalam merupakan gerakan yang sederhana dan umum digunakan oleh semua orang.

5.1.4

Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris Banyaknya jumlah waktu yang dimiliki perawat dalam melakukan asuhan keperawatan, sehingga memudahkan perawat untuk melakukan intervensi secara mandiri untuk membantu pasien dalam mengurangi rasa nyeri yang dimiliki sehingga pada pelaksanaan pemberian teknik relaksasi tidak ditemukannya kendala pada perawat.

82

5.2. Implikasi Teori Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang unuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami, individu yang merasakan nyeri akan merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang megalami nyeri yang sama dan menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada seseorang individu. Saat merasakan nyeri, seseorang secara alami akan mencari cara untuk mengurangi nyeri yang dirasakan, begitu juga pada responden pada penelitian ini. Responden menggunakan beragam cara untuk mengurangi nyeri yang dirasakan. Adapun faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri diantaranya ialah faktor usia, jenis kelamin, budaya, dan ansietas. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relalsasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stres. Dengan relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhdap nyeri. Kemampuannya dalam

83

melakukan relaksasi fisik dapat menyebabkan relaksai mental. Relaksasi memberikan efek secara langsung terhadap fungsi tubuh seperti penurunan tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan, penurunan konsumsi oksigen oleh tubuh serta penurunan tegangan otot. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanyandan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Teknik relaksasi juga tindakan pereda nyeri noninvasive lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunakannya.

5.3. Implikasi praktik Pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi fraktur cruris sangat efektif untuk menurunkan intensitas nyeri yang dialami pasien, dikarenakan teknik relaksasi nafas dalam sangatlah mudah untuk dilakukan oleh siapapun tanpa harus mengeluarkan biaya. Teknik relaksasi nafas dalam juga merupakan intervensi mandiri seorang perawat untuk memandirikan pasien agar dapat mengontrol nyeri yang dirasakan. Selain itu teknik relaksasi nafas dalam yang termasuk dalam terapi nonfarmakologis hanya digunakan sebagai pendamping dari pengobatan utama atau medis

84

5.4. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Kepada Institusi Pendidikan Keperawatan Sudah banyak literatur dan referensi dibidang keperawatan yang membahas mengenai relaksasi nafas dalam untuk menurunkan skala nyeri, namun masih minimnya penerapan secara langsung pada pasien pasca operasi. Sehingga, peneliti menyarankan agar penelitian ini dapat dijadikan referensi sebagai terapi non farmakologi untuk menurunkan skala nyeri pasien pasca operasi.

2. Kepada Peneliti Lain Penelitian ini dapat dilanjutkan oleh peneliti lain dengan mengubah beberapa metode penelitian. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan sehingga peneliti menyarankan pada peneliti lain agar dapat memperjelas dalam mambuat lembar observasi yang akan diamati sehubungan dengan teknik relaksasi nafas dalam dan memperpanjang waktu penelitian sehingga peneliti lain mendapatkan hasil yang optimal.

3. Kepada Pelayanan Kesehatan Peneliti menyarankan agar teknik relaksasi nafas dalam dapat diberikan oleh perawat sebagai tindakan non farmakalogi yang lain.

85

Perawat dapat memandirikan pasien yang mengalami nyeri dengan diberikan teknik relaksasi, sehingga pasien tidak bergantung kepada pengobatan medik saja.

DAFTAR PUSTAKA Ardinata, 2007,’Multidimensional nyeri’, Jurnal keperawatan rufaidah Sumatera Utara, Vol. 2, No. 2. Creswell, JW 2010, Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed, Edisi 3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Departemen Kesehatan RI 2007, Riset kesehatan dasar, diakses 3 November 2013, . Dewi, D, Setyoadi, dan Widastra, NM 2009, ‘pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan persepsi nyeri pada lansia dengan arthritis rheumatoid’, jurnal keperawatan soedirman, Vol. 4, No.2, Hal 46. Farida, A 2010, ‘efektifitas terapi musik terhadap penurunan nyeri post operasi pada anak usiaa sekolah di RSUP Haji Adam Malik Medan’, skripsi, Universitas Sumatra utara, Sumatra utara. Fathoni, A 2006, Metodologi penelitian dan teknik penyusunan skripsi, Asdi Mahasatya, Jakarta. Helmi, ZN 2011, Buku ajar gangguan muskuloskeletal, Salemba Medika, Jakarta. Helmi, ZN 2012, Buku saku kedaruratan dibidang bedah ortopedi, Salemba Medika, Jakarta Nurdin, S, Kiling, M dan Rottie, J 2013, ‘Pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang irina a blu RSUP Prof. DR. R.D kandou Manado’, ejurnal keperawatan (e-kp), Vol 1, No. 1, Hal 1. Patasik CK, Tongka J dan Rottie J, 2013’Efektifitas teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi section caesarea di Irina D BLU RSUP Prof. Dr. R D Kandou Manado’, ejurnal keperawatan (e-Kp), Vol. 1, No. 1. Pinandita I, Purwanti E dan Utoyo B, 2012’ Pengaruh teknik relaksasi genggam jari terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi’, jurnal ilmiah kesehatan keperawatan, Vol. 8, No. 1. Potter, PA & Parry, AG 2005, Buku ajar fundamenta keperawatan konsep, proses, praktik, Edisi 4, EGC, Jakarta.

Reeves, CJ, Roux, G and lockhart, R 2001, Keperawatan medical bedah, Edisi 1, Salemba Medika, Jakarta. Sjamjuhidajat, R & Jong, DW 2005, Buku ajar ilmu bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner & suddart, Edisi 2, Vol 1, EGC, Jakarta. Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner & suddart, Edisi 2, Vol 3, EGC, Jakarta. Solehati, T 2008, ‘Pengaruh latihan teknik benso relaksasi terhadap intensitas nyeri dan kecemasan klien post operasi section caesare di RS Cibabat Cimahi dan RS San tika Asih Bandung’, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Sugiyono, 2013, Memahami penelitian kualitatif, Cetakan kedelapan, Alfabeta, Bandung. Sumantri, A 2013, Metodologi penelitian kesehatan, Edisi 1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Sutopo, HB 2006, Metodologi penelitian kualitatif dasar teori dan terapannya dalam penelitian, Edisi 2, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tambunan, E 2009, Panduan praktik kebutuhan dasar manusia I berbasis kompetensi, Salemba Medika, Jakarta. Tamsuri, A 2012, Konsep & penatalaksanaan nyeri, EGC, Jakarta. Waher, A, Salmond, S and Pellino, T 2002, Orthopaedic nursing, Edisi 3, PA. WB Saunders Co, Philadelphia. Wirya I dan Sari MD 2013, ‘Pengaruh pemberian masase punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi di zaal C RS HKBP Balige tahun 2011’, Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol. 1, No. 1 WHO 2011, ‘Decade of action or road safety: Indonesia’, diakses 6 November 2013, .