BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontroversi antara pembangunan ekonomi dan kualitas lingkungan telah terjadi sejak lama. Salah satu ekstrem memiliki pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pasti akan mengarah pada degradasi lingkungan dan akhirnya akan menyebabkan jatuhnya perekonomian dan ekologi. Ekstrem yang lain memandang bahwa permasalahan lingkungan tidak lain merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Perdebatan panjang terkait permasalahan ini menunjukkan kurangnya bukti empiris terkait bagaimana kualitas lingkungan berubah seiring dengan perubahan pendapatan. Pembuktian ilmiah terkait hal ini dibatasi oleh ketidaksediaan data pada sejumlah besar negara (Shafik dan Bandyopadhyay, 1994). Todaro dan Smith (2012: 14), menyatakan istilah pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai suatu kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi awalnya kurang baik dan bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan GDP (Gross Domestic Product) atau GNI (Gross National Income). Trevedi (2015), menyatakan bahwa secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan pendapatan per kapita yang terus menerus dari waktu ke waktu. Selama bertahun-tahun berbagai upaya terus dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, saat ini pertumbuhan ekonomi telah membawa dunia pada sisi yang lebih kelam. Dunia membayar
1
mahal untuk pertumbuhan yang dicapai. Beberapa industri seperti minyak, tekstil, elektronik, kulit, automobil, dan sebagainya telah membuang limbah industri dan bertanggung jawab pada penurunan jumlah sumber daya alam dan polusi. Faktanya, polusi terus meningkat dan telah secara signifikan berperan terhadap kerusakan lingkungan. Hubungan 2 arah antara pembangunan dan lingkungan (two-way relationship between development and environment) menggambarkan bagaimana masalah lingkungan dapat merusak tujuan pembangunan. Terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi akibat keadaan tersebut. Pertama, kualitas lingkungan adalah bagian dari perbaikan kesejahteraan yang menjadi tujuan pembangunan. Namun apabila manfaat dari peningkatan pendapatan dibebankan pada kesehatan dan kualitas hidup dengan tingginya jumlah polusi di dalam lingkungan, maka hal ini tentu tidak dapat disebut dengan pembangunan. Kedua, kerusakan lingkungan dapat merusak produktivitas di masa depan, yang mengakibatkan penurunan terhadap output yang dihasilkan (World Bank, 1992:1). Pada tahun–tahun terakhir, para ekonom telah mulai berfokus pada pentingnya implikasi isu lingkungan dalam upaya pembangunan
yang
berkelanjutan. Istilah keberlanjutan sendiri merefleksikan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Keberlanjutan secara umum berarti “memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi di masa yang akan datang”. Dalam sebuah definisi klasik, sebuah pembangunan dikatakan memiliki sifat berkelanjutan “jika dan hanya jika seluruh stok aset kapital berjumlah konstan atau meningkat dari waktu ke waktu”.
2
Namun dalam hal ini, baik sumberdaya alam maupun bentuk lain dari modal hanya tersedia dalam jumlah yang terbatas (Todaro dan Smith, 2012: 467). Meadow et al. (1972: 124-126), menyatakan bahwa semakin besar aktivitas pertumbuhan ekonomi maka akan membutuhkan input berupa energi dan material yang semakin besar pula, dan karenanya, akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah limbah by-product yang dihasilkan. Peningkatan eksploitasi sumber daya alam dan akumulasi limbah by-product sebagai akibat dari kegiatan perekonomian akan menyebabkan daya tampung lingkungan berkurang dan mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan serta berkurangnya kualitas kehidupan manusia. Hal di atas sejalan dengan pernyataan Todaro dan Smith (2012: 469- 470) bahwa pembangunan ekonomi berjalan hampir beriringan dengan menurunnya daya tahan dan fungsi lingkungan hidup. Pembangunan yang terlalu berorientasi dalam mengejar pertumbuhan seringkali mengabaikan aspek pengelolaan lingkungan. Pembangunan yang bertujuan mensejahterakan masyarakat, pada akhirnya justru menjadi perusak sistem penunjang kehidupan, dalam hal ini lingkungan hidup. Secara umum pembangunan yang berkelanjutan bertumpu pada ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Selama ini parameter pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) dan PDB per kapita. Namun PDB memiliki kelemahan yakni tidak memperhitungkan biaya lingkungan dan sosial yang timbul akibat pembangunan itu sendiri. Penggunaan PDB hanya mengukur salah satu dari 3 aspek pembangunan berkelanjutan, padahal dalam konteks pembangunan berkelanjutan, selain aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan juga
3
harus mendapat porsi yang sama. Sayangnya, dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, ketiga indikator tersebut tersebut seringkali tidak selaras. Gambar 1.1 memperlihatkan peringkat pembangunan provinsi yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).
Gambar 1.1 Indikator Pembangunan Ekonomi di Indonesia Tahun 2010 Sumber : Fauzi, 2012
Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa provinsi yang memiliki kemajuan ekonomi dan sosial yang tinggi belum tentu memiliki peringkat lingkungan yang baik. Sebagai contoh DKI Jakarta dengan PDRB dan IPM tertinggi ternyata memiliki skor kualitas lingkungan yang rendah. Hal yang sama juga terjadi pada Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di antara provinsi yang terdapat di Pulau Jawa, hanya DI Yogyakarta yang memiliki Indeks Kualitas Lingkungan Hidup lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi konsistensi antara satu indikator pembangunan dengan indikator
4
pembangunan lainnya. Selain itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi juga harus dibayar dengan biaya lingkungan yang ditunjukkan dengan indeks kualitas lingkungan yang rendah. Rendahnya kualitas lingkungan di Indonesia terbukti pula dengan rendahnya nilai Environmental Performance Index (EPI) Indonesia pada tahun 2014 yang hanya mendapatkan skor 44,36 dan menempati peringkat 112 dari 178 keseluruhan negara yang dinilai. Indonesia telah menempati rangking ini selama 2 periode berturut-turut sejak tahun 2010 (EPI, 2014), yang artinya, kinerja pengelolaan lingkungan Indonesia tidak mengalami perbaikan yang signifikan selama periode tersebut. EPI sendiri merupakan suatu pemeringkatan yang dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, yang menilai seberapa baik negara-negara menangani isu-isu lingkungan yang memiliki prioritas tinggi. EPI merupakan kolaborasi gabungan antara Pusat Kebijakan dan Hukum Lingkungan Yale (Yale Center for Environmental Law and Policy) pada Universitas Yale dan Pusat Jaringan Informasi Ilmu Bumi Internasional pada Universitas Columbia (Yale_EPI:2014). Dalam Country Natural Resources and Environment (CNREA) yang diselenggarakan oleh Bappenas pada tahun 2007 dinyatakan bahwa apabila pemanfaatan sumber daya alam masih terus dilakukan secara ekstraktif dan dengan cara-cara lama yang kurang ramah lingkungan dan ekosistem, maka di masa depan Indonesia akan menghadapi 3 krisis besar, yaitu (1) krisis air, (2) krisis pangan, dan (3) krisis energi. Krisis-krisis sumber daya alam tersebut sebagai akibat terjadinya pemanfaatan sumber daya alam yang sudah melebihi
5
daya regenerasi dan reproduksi serta daya dukung ekosistemnya. Krisis-krisis sumber daya tersebut pada akhirnya juga akan mengancam aktivitas perekonomian itu sendiri. Padahal, sebagaimana diketahui, aspek alam dan lingkungan merupakan faktor penting dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hasil studi dari World Bank yang dilakukan oleh Leitmann et al. (2009) tentang ongkos pembangunan di Indonesia menghasilkan data yang cukup mencengangkan. World Bank memperkirakan bahwa 2.5 persen sampai 7 persen Gross Domestic Product (GDP) Indonesia akan tergerus untuk menangani dampak dari perubahan iklim, sementara ongkos degradasi lingkungan terkait dengan air dan sanitasi mencapai US$ 7,7 miliar atau setara dengan 2 persen dari GDP Indonesia. Hal inilah yang selama ini luput dari perhatian berbagai pihak, karena masih minimnya bukti empiris dari dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan kualitas lingkungan. Telah sejak lama para ahli melakukan berbagai penelitian empiris untuk membuktikan pengaruh pertumbuhan ekonomi dengan perubahan parameter kualitas lingkungan. Salah satu bentuk penelitian yang banyak dilakukan adalah penelitian terkait pembuktian Hipotesis Environmental Kuznets Curve di berbagai wilayah di dunia. Hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) pertama kali dikembangkan oleh Grossman dan Krueger pada awal tahun 1990-an. Hipotesis ini menunjukkan bukti empiris bahwa pertumbuhan ekonomi akan memberikan dampak pada degradasi kualitas lingkungan pada tahap awal pembangunan sampai batas tertentu tercapai, meskipun setelah mencapai batas
6
tersebut kondisi justru akan berbalik pada arah perbaikan kualitas lingkungan. Di dalam hipotesis ini dijelaskan bahwa pada tahap take off pembangunan dan kemajuan industrialisasi dapat meningkatkan kerusakan lingkungan karena penggunaan sumberdaya alam yang besar, emisi polutan yang berlebih, pengoperasian teknologi yang kurang efisien dan relatif kotor, serta pengabaian lingkungan sebagai konsekuensi dari pertumbuhan (Shafik dan Bandyopadhyay, 1992). Berbagai studi bermunculan untuk membuktikan keberadaan hipotesis EKC untuk berbagai macam indikator degradasi lingkungan. Dari sini muncul beberapa hasil dan perdebatan terkait model matematis yang tepat untuk EKC. Beberapa studi
telah
menguji
bentuk-bentuk
alternatif
fungsi
polinomial
untuk
membandingkan, apakah evolusi beberapa indikator pencemaran lingkungan akibat pertumbuhan ekonomi lebih baik digambarkan dengan kurva berbentuk U atau N-Shape (Grossman dan Krueger, 1995; Dinda et al., 2000). Studi empiris berkaitan dengan EKC yang telah dilakukan selama ini cenderung menganalisis data cross-section dengan tingkat agregat yang tinggi pada negara-negara maju (dan hanya beberapa yang dilakukan di negara berkembang) dengan meregresi kualitas udara ambient dan kualitas air terhadap pendapatan per kapita. Hasil dari beberapa studi empiris yang dilakukan menunjukkan hubungan yang berbeda-beda antara pendapatan dan tingkat polusi, meskipun pada beberapa studi dilaporkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan fungsi konkaf. Namun terdapat beberapa penelitian menemukan bahwa
7
hubungan antara pendapatan dan tingkat polusi justru memiliki bentuk fungsi konveks, downward sloping, sloping, dan fungsi mendatar (Grossman dan Kureger, 1995). Di Indonesia sendiri, penelitian terkait pengujian pengujian hipotesis EKC belum banyak dilakukan. Salah satu penelitian terkait EKC di Indonesia dilakukan oleh Bowo pada tahun 2004 yang menganalisis hubungan pendapatan per kapita, kepadatan penduduk, dan tingkat regulasi polusi terhadap kadar CO. Sepanjang tahun 1971-2011 2011 di Indonesia terjadi tren kenaikan kadar CO2 yang berjalan seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita seperti dapat dilihat pada Gambar 1.2. Menurut World Bank (2007) CO2 merupakan salah satu dari tiga jenis gas rumah kaca utama (selain CH4 dan N2O) yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.
Gambar 1.2 Pertumbuhan Emisi CO2 dan GDP per Kapita Indonesia Tahun 1971-2011 1971 Sumber : World Bank berbagai tahun, diolah
Hingga saat ini belum terdapat penelitian empiris empiris terkait faktor-faktor faktor yang menyebabkan peningkatan kadar gas CO2 di Indonesia. Minimnya penelitian
8
sejenis, serta kebutuhan untuk melakukan pembuktian empiris terkait dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi dengan perubahan kualitas lingkungan, dalam hal ini adalah peningkatan gas CO2 menyebabkan topik berkaitan dengan EKC di Indonesia ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian yang akan dilaksanakan ini berfokus pada pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap emisi CO2 untuk menguji hipotesis EKC di Indonesia.
1.2 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya yang melakukan pengujian terkait hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kualitas lingkungan antara lain sebagai berikut. 1. Grossman dan Krueger (1991), melakukan penelitian tentang EKC pertama kali mengenai dampak NAFTA terhadap lingkungan dengan menggunakan tiga jenis polutan udara yakni sulfur dioksida, dark matter, dan partikel tersuspensi menggunakan dataset GEMS. Data set ini merupakan pengukuran panel ambient dari beberapa kota di seluruh dunia. Nilai turning point untuk SO2 dan dark matter adalah sekitar $4000-$5000, sedang partikel tersuspensi konsentrasinya cenderung menurun bahkan pada tingkat pendapatan rendah. 2. Shafik dan Bandyopadhyay (1992), melakukan studi mengenai hipotesis EKC dengan menggunakan beberapa indikator lingkungan yang berbeda, yakni: persediaan air bersih dan sanitasi, deforestasi, sampah, sulfur oksida, dan karbonsioksida. Dalam estimasinya, juga dibandingkan tiga spesifikasi bentuk model yang berbeda yakni log-linier, log kuadrat, dan log kubik dari
9
149 negara selama periode 1960-1990. Hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tingkat persediaan air bersih dan sanitasi semakin menurun; polusi udara, sampah, dan emisi karbondioksida meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan dari waktu ke waktu; adapun deforestasi independen terhadap tingkat pendapatan. 3. Panayotou (1993), melakukan pengujian EKC untuk parameter lingkungan deforestasi dan polutan udara dengan menggunakan data cross section dari sample negara berkembang dan negara maju. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk U terbalik pada kedua parameter degradasi lingkungan. Turning point untuk deforestasi adalah sebesar 800 USD – 1200 USD per kapita, sedangkan turning point emisi adalah sebesar 3800 USD – 5500 USD. opportunity cost dalam mengadopsi teknologi ramah lingkungan. 4. Shofwan (2003), melakukan penelitian terkait hubungan pendapatan per kapita dengan tingkat emisi gas CO2 menggunakan variabel penjelas kepadatan penduduk dan nilai tambah sektor industri. Pengujian hipotesis ini menggunakan data panel dengan obyek 16 negara Asia dengan metode fixed effect. Hasil penelitian ini adalah hipotesis EKC hanya berlaku pada negaranegara berpendapatan tinggi dan gabungan negara-negara berpendapatan tinggi, sedangkan pada negara berpendapatan rendah hipotesis ini tidak berlaku. 5. Bowo (2004), melakukan analisis pengaruh pendapatan per kapita, kepadatan penduduk, dan tingkat regulasi polusi terhadap emisi CO menggunakan model dinamik error correction model (ECM) dengan data time series. Hasil
10
penelitian ini adalah hipotesis EKC terbukti terjadi di Indonesia dengan titik belok pendapatan sebesar Rp1.846.000,00. 6. Paudel, et al. (2005), melakukan penelitian terkait EKC pada polusi air di Louisiana, dengan menggunakan model semiparametrik dan parametrik menggunakan variabel pendapatan terbobot dan kepadatan populasi. Parameter lingkungan yang digunakan adalah kadar N, P, dan DO. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa model parametrik dengan metode least square cenderung tidak mengestimasi secara tepat hubungan antara kualitas lingkungan dan pendapatan. 7. Song, et al. (2008), menguji hipotesis EKC di China menggunakan data provinsi di China dalam kurun waktu 1985-2005 dengan pendekatan panel kointegrasi. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan kointegrasi jangka panjang antara ketiga emisi yakni air, gas, dan sampah per kapita serta GDP per kapita. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ketiga polutan berbentuk U terbalik, serta polusi air lebih dulu berkurang dibandingkan dengan polusi gas dan polusi sampah padat. 8. Akbostanci, et al. (2009), menganalisis hubungan antara pendapatan kualitas lingkungan di Turki melalui dua level pendekatan. Pertama hubungan antara emisi CO2 dan pendapatan per kapita dianalisis menggunakan data time series (1968-2003) dengan teknik uji kointegrasi. Pada level provinsi di Turki, hubungan antara pendapatan dan emisi udara dianalisis menggunakan parameter PM10 dan SO2 dengan estimasi panel data, pada range tahun 19922001. Analisis data time series menunjukkan hubungan yang senantiasa
11
meningkat antara pendapatan dan CO2, sedangkan pada analisis data panel, hubungan antara pendapatan dan kualitas duara diwakili dengan bentuk Nshape. 9. Archibald et al. (2009), meneliti EKC menggunakan parameter biological oxygen demand (BOD) sebagai variabel dependen. Model regresi ekonometrik penelitian ini menunjukkan bukti hipotesis EKC, dan estimasi pendapatan per kapita pada turning point untuk effluent BOD industri adalah sebesar 3800-5000 USD. 10. Paudel dan Schafer (2009), memasukkan unsur modal sosial di dalam analisis hipotesis EKC di Louisiana untuk menyusun indeks modal sosial serta menggunakan regresi panel spasial dan parametrik untuk menjelaskan dinamika polusi air yang terjadi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial berpengaruh secara signifikan terhadap dinamika polutan nitrogen namun tidak berlaku pada polutan fosfor dan oksigen terlarut. 11. Jalil dan Mahmud (2009), melakukan penelitian terhadap hubungan jangka panjang antara emisi karbon dan konsumsi energi, pendapatan dan perdagangan di Cina menggunakan data time series selama periode 19752005. Analisis empiris dalam penelitian ini menggunakan metode ARDL dengan spesifikasi model kuadratik. Hasil penelitian ini membuktikan hipotesis EKC. Hasil uji kausalitas Granger mengindikasikan hubungan satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke emisi CO2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa emisi karbon dipengaruhi oleh pemdapatan dan konsumsi energi pada jangka panjang.
12
12. Shahbaz, et al. (2010), melakukan penelitian EKC di Portugal menggunakan pendekatan ARDL-bound testing pada model pendapatan-emisi dengan beberapa tambahan variabel yang terdiri atas konsumsi energi, urbanisasi, serta keterbukaan perdagangan. Data yang digunakan merupakan data time series sepanjang periode 1971-2008. Penelitian ini menunjukkan terbuktinya teori EKC baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. 13. Bella, et al. (2010), melakukan spesifikasi model estimasi dengan memperhatikan peran konsumsi listrik serta membandingkan model empiris EKC dalam bentuk kuadrat dengan model empiris EKC dalam bentuk kubik dengan spesifikasi model ekonometrik data panel fixed effect (FE), random effect (RE), random coefficient (RC), mean group (MG), dan pool mean group (PMG). Hasil beberapa alternatif data panel dari penelitian ini adalah baik dalam model kuadratik maupun model kubik, etimasi dengan model PMG dan dua standar estimasi homogen menunjukkan hasil yang baik. PMG juga mengakomodasi heterogenitas dalam jangka pendek menunjukkan hasil yang sangat baik terutama pada model fungsional kubik. 14. Mythili dan Mukherjee (2011), melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui trade-off antara polusi sungai dan pertumbuhan ekonomi di negara India menggunakan konsep EKC. Penelitian ini menunjukkan mengapa EKC konvensional tidak cukup untuk memastikan menurunnya tingkat polusi pada tahap kedua pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan kurva EKC yang telah dimodifikasi, dimana EKC yang digunakan memiliki 2 turning point. Hasil penelitian menunjukkan hubungan
13
berbentuk “s miring”, yang berlawanan dengan EKC pada tahap awal. Sebagian besar wilayah yang dipelajari telah melewati turning point pertama, namun masih pada tahap menuju turning point kedua, yang artinya masih akan terjadi kenaikan tingkat polusi di masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan perlunya kebijakan di bidang lingkungan yang lebih ketat untuk mengiringi tingkat pertumbuhan yang dikehendaki. 15. Ahmed dan Long (2012), melakukan penelitian tentang hubungan antara emisi CO2, pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi, perdagangan bebas dan kepadatan penduduk di Pakistan. Data yang digunakan merupakan data panel dari tahun 1971 – 2008. Analisis kointegrasi yang dilakukan menggunakan Auto regressive distribution lag (ARDL). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sebuah kurva berbentuk U terbalik ditemukan dalam menggambarkan hubungan antara emisi CO2 dan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa perdagangan membawa pengaruh positif terhadap lingkungan, sedangkan populasi justru bertanggung jawab atas penurunan kualitas lingkungan di Pakistan. Jumlah konsumsi energi dan pertumbuhan merupakan variabel penjelas yang paling berkontribusi terhadap polusi di Pakistan. 16. Ha dan Wang (2012), melakukan penelitian tentang pengaruh struktur ekonomi, strategi pembangunan, dan peraturan di bidang lingkungan terhadap bentuk EKC di wilayah perkotaan China. Hasil penelitian ini menunjukkan struktur ekonomi, strategi pembangunan, dan peraturan di bidang lingkungan dapat memiliki implikasi positif terhadap kualitas lingkungan, meskipun
14
dampak dari faktor-faktor tersebut dapat bervariasi pada masing-masing tingkat pembangunan. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa pada periode 1991-2001 kebijakan keterbukaan yang ditandai dengan variabel foreign direct investment (FDI/penanaman modal asing) berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan tiga polutan udara yang diamati. 17. Shibayama dan Fraser (2014), membangun sebuah model pertumbuhan non homothetic untuk EKC dalam rangka menunjukkan elastisitas antara konsumsi secara umum dengan penurunan kualitas lingkungan. Hasil dari penelitian ini adalah ditunjukkannya elastisitas substistusi dan efek substitusi antara konsumsi dan lingkungan yang menurun dibandingkan dengan pendapatan. Saat pendapatan rendah, masyarakat dan pemerintah akan mengorbankan kualitas lingkungan untuk mendapatkan jumlah konsumsi yang lebih tinggi, namun substitusi terhadap kualitas lingkungan tidak lagi akan diinginkan apabila masyarakat daerah yang bersangkutan sudah cukup sejahtera. 18. Al-Mulali, et al. (2015), melakukan penelitian untuk mengetahui adanya hipotesis EKC di Vietnam selama periode 1981-2011. Model dibangun dengan menggunakan Auto Regressive Distributed Lag (ARDL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis pollution haven terjadi di Vietnam, yang ditandai oleh peningkatan polusi akibat peningkatan kapital. Impor juga meningkatkan polusi, yang artinya Vietnam cenderung mengimpor produkproduk yang bersifat energy intensive dan berpolusi tinggi. Sebaliknya, kegiatan ekspor justru tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan
15
kualitas lingkungan. Konsumsi energi fosil meningkatkan polusi, namun konsumsi energi terbarukan tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat polusi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa EKC tidak terjadi di Vietnam karena hubungan antara GDP dan polusi bersifat positif baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penggunaan variabel penanaman modal asing (foreign direct investment), pertumbuhan sektor industri, keterbukaan perdagangan (trade openness). Perbedaan lainnya adalah lokasi penelitian yakni negara Indonesia dengan periode time series 1981-2011.
1.3 Rumusan Masalah Pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah di Indonesia masih belum disertai dengan baiknya pengelolaan di bidang lingkungan, Hal ini terlihat dari beberapa daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru memiliki indeks kualitas lingkungan hidup yang rendah. Rendahnya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia juga ditandai dengan rendahnya peringkat Indonesia pada EPI dan peningkatan emisi karbondioksida (CO2) seiring dengan peningkatan PDB. Adanya penelitian terkait hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan kualitas lingkungan telah menjadi dasar pengambilan keputusan di berbagai negara. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab peningkatan emisi gas CO2 di Indonesia serta pembuktian Hipotesis EKC di Indonesia. Hasil penelitian ini
16
diharapkan mampu menjadi dasar pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup oleh pemerintah.
1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini antara lain sebagai berikut. 1. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan di Indonesia, apakah sesuai dengan Hipotesis Environmental Kuznets Curve? 2. Bagaimana pengaruh variabel tingkat PDB per kapita, penanaman modal asing (foreign direct investment), tingkat kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan sektor industri, dan keterbukaan perdagangan (trade openness) terhadap peningkatan kadar CO2 di Indonesia?
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan kualitas lingkungan di Indonesia serta pembuktian Hipotesis Environmental Kuznets Curve di Indonesia. 2. Untuk menganalisis pengaruh PDB per kapita, penanaman modal asing (foreign direct investment), tingkat kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan sektor industri, dan keterbukaan perdagangan (trade openness) terhadap peningkatan kadar CO2 di Indonesia.
17
1.6 Manfaat Penelitian Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Memberikan gambaran yang jelas dan bukti yang empiris mengenai situasi perekonomian dan lingkungan di Indonesia, sehingga dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan. 2. Memberikan referensi bagi penelitian selanjutnya terkait pengujian hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan kualitas lingkungan serta faktorfaktor yang mempengaruhinya.
1.7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri atas empat bab yang terdiri atas Bab I Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori yang menguraikan tentang teori berkaitan dengan EKC dan variabel yang digunakan di dalam penelitian ini, kajian terhadap penelitian terdahulu, serta model penelitian. Bab III Metode Penelitian menguraikan tentang desain penelitian yang digunakan, metode pengumpulan data, definisi operasional serta instrumen penelitian. Bab IV Analisis menguraikan tentang deskripsi data, hasil pengolahan instrumen penelitian dan pembahasan. Bab V menguraikan tentang Simpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran.
18