TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56 ( Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh )
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Penulis: Muhammad Malik NIM. 106034001205
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H. / 2011 M.
TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56 ( Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbah )
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Penulis: Muhammad Malik N I M. 1060 3400 1205
Di bawah Bimbingan:
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 2 001
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H. / 2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56; Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis. Jakarta, 15 Maret 2011
Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Bustamin, M.Si NIP. 19630701 199803 1 003
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 1 002 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
Dr. Bustamin, M.Si NIP. 19630701 199803 1 003 Pembimbing,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 21 Maret 2011 Muhammad Malik
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan taufiq-Nya penelitian berjudul “TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56; Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh” ini dapat selesai, demikian juga, salawat serta salam semoga tercurahkan untuk Rasulullah SAW. Sebagai karya tulis yang da‟if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada: 1. Segenap
civitas
Akademika
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta;
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis). 2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.
v
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan. 4. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah memberikan pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. 6. Mamang, teteh dan adik penulis yang selalu setia memberi semangat penulis dalam menyelesaikan studi. 7. Teman-teman penulis di mana pun berada khususnya sahabat-sahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007 dan teman-teman KKN Sirna Ruju / Jayanti. 8. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, dan bertukar pikiran dengan saya. Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn…
Jakarta,15 Maret 2011
Penulis,
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
h dengan garis bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis bawah
ض
d
de dengan garis bawah
ط
t
te dengan garis bawah
ظ
z
zet dengan garis bawah
ع
„
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
غ
gh
ge dan ha
ؼ
f
ef
ؽ
q
ki
ؾ
k
ka
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
vii
ؿ
l
el
ـ
m
em
ف
n
en
و
w
we
هػ
h
ha
ء
„
apostrof
ي
y
ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___
a
fathah
___ِ___ ِ
i
kasrah
___ُ___
u
Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ْ__َ__ي
ai
a dan i
ْ__َ__ و
au
a dan u
Vokal Panjang (Madd) Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَا
â
a dengan topi di atas
ْـِـي
î
i dengan topi di atas
ُْـــو
û
u dengan topi di atas
viii
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No
Kata Arab
Alih aksara
1
طريقة
tarîqah
2
الجامعة اإلسالمية
al-jâmî‟ah al-islâmiyyah
3
وحدة الوجود
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang ix
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan kata Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimatkalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas. Kata Arab
Alih Aksara
ُُستَاذ ْ ب اْأل َ َذ َه َج ُر َ َثَػب ْ ت ْاأل ص ِريَّة ْ ْح َرَكة ال َْع َ ال أَ ْش َه ُد أَ ْف الَ إِلهَ إِالَّ اهلل الصالِح َّ َم ْوالَنَا َملِك يُػ َؤثِّػ ُرُك ُم اهلل ِ َالْمظ اهر ال َْع ْقلِيَّة َ ِ ْاْليَات الْ َك ْونيَّة الض َُّرْوَرة تُبِيْ ُح ال َْم ْحظُْوَرات
dzahaba al-ustâzu tsabata al-ajru al-harakah al-„asriyyah asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh Maulânâ Malik al-Sâlih yu‟atstsirukum Allah al-mazâhir al-„aqliyyah al-âyât al-kauniyyah al-darûrat tubîhu al-mahzûrât
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
PENGESAHAN PEMBIMBING
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
iii
KATA PENGANTAR
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
vii
DAFTAR ISI
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
6
C. Tujuan Penelitian
7
D. Kajian Pustaka
8
E. Metodologi Penelitian
8
F. Sistematika Penulisan
10
SURAT AL-WÂQI’AH ( AYAT 7 - 56 ) DALAM TAFSIR AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIR AL-MISBÂH
12
A. Karakteristik Tafsir
12
1) Ahmad Mustafa al-Marâghî
12
a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis
12
b. Sistematika dan Metodologi Tafsir
18
2) M. Quraish Shihab
24
a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis
24
b. Sistematika dan Metodologi Tafsir
32
xi
B. Penafsiran Surat Al-Wâqi’ah Ayat 7 - 56 1) Penafsiran Al-Marâghî
39
a. Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn (Ayat 10 - 26)
40
b. Ashâb al-Yamîn (Ayat 8, 27 - 40)
46
c. Ashâb al-Syimâl (Ayat 9,41 - 56)
49
2) Penafsiran Quraish Shihab
BAB III
39
55
a. Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn (Ayat 10 - 26)
55
b. Ashâb al-Yamîn (Ayat 8, 27 - 40)
59
c. Ashâb al-Syimâl (Ayat 9, 41 - 56)
62
ANALISA PERBANDINGAN DAN IMPLIKASINYA
66
A. Pengertian Umum Surat Al-Wâqi‟ah (Ayat 7 - 56)
66
1) Persamaan Dan Perbedaan
66
2) Balasan Bagi Ketiga Golongan
72
B. Implikasi Penafsiran Surat Al-Wâqi‟ah ( Ayat 7 - 56 ) Dalam Kehidupan Di Masyarakat BAB IV
75
PENUTUP
80
A. Kesimpulan
80
B. Saran-saran
82
DAFTAR PUSTAKA
83
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟ân adalah Kalâm Allâh yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantara Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang di luar kemampuan apapun, sebagaimana firman Allah SWT.:
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.” (Q.S. Al-Hasyr/59:21) Untuk mengungkap dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan melunakkan bacaan Al-Qur‟ân dengan baik. Namun yang diperlukan itu lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Kemampuan seperti inilah yang disebut tafsîr.1 Sebab dikatakan, “Tafsir adalah kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam Al-Qur‟ân.
1
Kata tafsîr adalah bentuk masdar dari kata fassara, yang berarti menguraikan dan menjelaskan segala sesuatu yang dikandung Al-Qur‟ân. Tidak ada istilah atau term dalam Islam yang cukup bisa menjelaskan proses penalaran yang produktif dalam Islam selain kata tafsîr. Tafsîr, dalam pengertiannya yang lebih luas, adalah dialog antara teks Al-Qur‟ân yang memuat cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan problematika kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian, kekayaan dan signifikansi teks Al-Qur‟ân sangat tergantung pada pencapaian pengetahuan sang penafsir. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keilmuan penafsir, makin beragam dan signifikan pula makna yang dihasilkan. Lihat Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, tanpa penerbit (tt, tpn, 2005), cet. Ke-1, h.5
1
2
Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya”.2 Di dalam Al-Qur‟ân, banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan tentang kisah. Pemberian tempat mengenai kisah-kisah di dalam Al-Qur‟ân mempunyai tujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran dan mengambil hikmah serta manfaat dari peristiwa tersebut. Surat al-Wâqi‟ah merupakan salah satu surat yang turun sebelum Nabi Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah yang berisi 96 ayat. Surat ini diawali dengan penjelasan tentang terjadinya hari kiamat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari itu yang dilanjutkan dengan penjelasan bahwa manusia, pada hari itu, terbagi ke dalam tiga golongan. Kemudian dilengkapi dengan penjelasan rinci tentang kenikmatan dan siksaan yang sesuai dengan kadar kesalehan dan kekafiran masing-masing golongan. Ayat-ayat selanjutnya memaparkan beberapa bentuk karunia Allah, wujud nyata kekuasaan-Nya yang ada pada ciptaan-Nya seperti tanaman, air dan neraka, sehingga menjadikanNya pantas untuk dipuji dan disucikan. Ayat-ayat dalam surat ini juga bersumpah atas kedudukan Al-Qur‟ân yang harus disucikan dan mencela sikapsikap orang-orang kafir yang mendustakannya. Padahal seharusnya mereka bersyukur. Sesudah itu surat ini membicarakan secara global tiga golongan yang telah disebutkan secara rinci di muka beserta kenikmatan dan siksaan yang berhak diterima oleh masing-masing. Surat ini ditutup dengan penegasan
2
M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ân di Indonesia Abad Keduapuluh, Tanpa Penerbit (tt, tnp, tth), h. 50
3
bahwa apa yang ada dalam surat ini merupakan keyakinan yang jelas dan kebenaran yang tetap sehingga Allah pantas untuk disucikan.3 Ada di antara beberapa surat yang memiliki nilai fadilah atau keutamaan jika membacanya. Di antaranya surat Yâsîn, surat al-Rahmân, surat al-Mulk, termasuk salah satunya adalah surat al-Wâqi‟ah itu sendiri. Dan tidak sedikit hadis yang mendukung keutamaan beberapa surat yang terdapat di dalam Al-Qur‟ân. Ada dua hadis yang menjelaskan Keutamaan Surat al-Wâqi‟ah, diantaranya;
ِ ِ ِ َت َر ُس ْول َاهللِ َصلَّى َاهللُ َعلْي ِو ُ ََس ْع:ََو َع ْن َابْ ُن َم ْسعُ ْودَ َرضي َاهلل َعْنوُ َقال 4 ِ َُمنَق رأَسورةَالْواقِع ِة َِِفَ ُك ِّلَلي لةََلَت:وسلَّمَي ُقو َُل صْبوَُفاقةًَأب ًدا ْ ْ ُْ ْ ْ Dari Ibnu Mas‟ûd RA. berkata: saya mendengar Rasulullah SAW. berkata: “Barang siapa yang membaca surat al-Wâqi‟ah tiap malam maka orang itu tidak akan pernah ditimpa kefakiran selama-lamanya”
ِ ِ ِ ِ ََس ْورة َالْواقِع ِة ُ َعلَّ ُم ْواَنساء ُك ْم:َعَ ْن َأنسَع ْن َر ُس ْول َاهلل َصلَّىَاهللَُعلْيو َوسلَّم ِ َ 5ن َ ِاَس ْورةَُالْغ ُ َفإنَّه Dari Anas dari Rasulullah SAW. berkata: “Ajarkanlah istri-istrimu surat al-Waqi‟ah karena sesungguhnya surat al-Waqi‟ah adalah surat kekayaan”
3
Abdussabur Syahin, Sejarah Al-Qur‟ân,Trjmh. Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc., Jakarta:PT.Rehal Republika,2008,Cet.1, Jld.3 h.66 4 Muhammad bin Abdullah al-Khatîb at-Tabrîzî, Musykâtul Mashâbih, kitâb fadâ‟il al-qur‟ân, Juz 1, Dârul Fikr.1991, h. 682 5 Ibn Hisân Al-Dîn Al-Hindi, Kanzun Al-Umâl, fî sunan al-aqwâl wa al-af‟âl, Juz.1, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989, h. 582
4
Kajian fenomenal di dalam Al-Qur‟ân mengenai kiamat ((الواقعة merupakan bahan wacana yang seharusnya menjadi kajian yang urgen dalam setiap rentan waktu yang tak terbatas, selain menambah kamajemukan berpikir juga merupakan wadah setiap manusia untuk meningkatkan setiap detik kesadaran religinya dan meningkatkan kepada mereka bahwa kiamat itu semakin dekat. Allah SWT. menggambarkan tentang kejadian ini di dalam surat ini (Al-Wâqi‟ah(, bahwa Dia merendahkan suatu kaum dan mengangkat derajat kaum yang lain. Lalu bumi ketika itu bergoncang sehingga gunung-gunung dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya roboh. Kemudian gunung-gunung berhamburan seperti debu yang berhamburan di udara. Hingga manusia di waktu itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri, dan orang-orang yang bersegera kepada kebaikan.6 Firman Allah SWT.:
“Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu.” (Q.S. Al-Wâqi‟ah/56 :7-10)
6
Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Trjmh. Bahrun Abu Bakar, Cet. KeDua, Juz.XXVII, 1989. h.231
5
Firman Allah SWT.:
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisahkisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini Telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orangorang yang beriman.” (Q.S. Hûd/11: 120) Berdasarkan ayat di atas, penulis merasa tertarik untuk mendalami kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟ân, termasuk ayat-ayat yang membahas perihal hari akhir atau kiamat. Dan kali ini penulis akan mencoba menganalisa kembali surat Al-Wâqi‟ah. Karena surat ini juga sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat, layaknya surat Yâsîn, al-Rahmân dan Al-Mulk yang sering dibaca pada waktu-waktu dan momen-momen tertentu. Namun penulis hanya memfokuskan sebuah kisah yang terdapat dalam surat Al-Wâqiah pada ayat 7-56, yang berkenaan dengan tiga golongan manusia pada hari kiamat. Penulis juga tertarik untuk membuat kajian analisa perbandingan terhadap Tafsir Al-Marâghî yang dikarang oleh Ahmad Mustafa Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh yang dikarang oleh M. Quraish Shihab. Karena dalam Analisa perbandingan kedua tafsir ini, penulis akan mengetahui tentang metode penafsiran, sistematika penulisan, corak pemikiran penafsir dan hal-hal yang berkait dengan karya kedua tafsir tersebut. Penulis juga bisa mengetahui apakah tafsir mereka terpengaruh dengan pemikiran mufassir. Karena kedua mufassir ini mempunyai kecenderungan atau keistimewaan masing-masing. Alasan penulis memilih tafsir al-Marâghî karena tafsir ini mengandung hal-hal
6
baru yang relevan dengan kebutuhan umat Islam masa sekarang, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang. Selain itu, argumentasi Al-Qur‟ân menurut Al-Qur‟ân mengisyaratkan luas wawasan penafsiran yang dibangun olehnya. Begitu juga tafsir ini mengambil corak sastra budaya kemasyarakatan yang memang berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat. Sedangkan penulis memilih tafsir al-Misbâh karena kitab tafsir persembahan dari M. Quraish Shihab yang sangat representatif dalam dunia tafsir kontemporer, memiliki berbagai macam disiplin ilmu serta jangkauan pemahaman yang dinamis dan lebih komprehensif. Sedangkan tafsir al-Misbâh itu sendiri menggunakan metode gabungan antara metode tahlili dan metode maudu‟i. 7 Melihat latar belakang permasalahan di atas, maka penulis mencoba untuk membahasnya dalam sebuah kajian skripsi yang berjudul “TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56; Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan masalah-masalah yang telah diuraikan di atas, agar pembahasan terfokus dan tidak melebar, maka penulis merasa perlu memberi batasan-batasan. Pertama, tidak semua ayat dalam surat Al-Wâqi‟ah yang dibahas, tetapi hanya pada ayat 7 sampai 56 saja. Kedua, tidak semua tafsir
7
Hamdani Anwar, Telaah kritis terhadap tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab; dalam MIMBAR AGAMA DAN BUDAYA, Vol.XIX, No.2, 2002, h.162-169
7
yang menjadi rujukan analisa, tapi hanya dua tafsir antara tafsir al-Marâghî dan tafsir al-Misbâh. Alasan penulis menentukan ayat-ayat tersebut adalah untuk memudahkan penelitian dan pembahasan. Untuk melihat bagaimana ayat-ayat di atas dipahami oleh kedua ahli tafsir, maka penulis perlu menjelaskan menurut pandangan mereka. Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Apa persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Marâghî dan Quraish Shihab mengenai “Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl” dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56? 2. Apa implikasinya dalam kehidupan di masyarakat? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka hal yang diharapkan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menjadi bahan wacana terhadap pengembangan hazanah keilmuan di bidang tafsir, juga dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara penafsiran Al-Marâghî dengan Quraish Shihab mengenai “Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl” dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56. 2. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S ) I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
D. Kajian Pustaka Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu skripsi yang hanya membahas tantang kualitas hadis yang ditulis oleh Hafid (Tafsir-Hadis/2009(, dengan judul “Studi Kritik Kualitas Hadis Keutamaan Membaca Surat Al-Wâqi‟ah Dalam Tafsir Al-Dûr Fî Al-Tafsîr Al-Ma‟tsûr”. Skripsi ini membahas tentang kualitas hadis keutamaan membaca surat al-Wâqi‟ah dari kitab tafsir ini, karena al-Suyûtî dalam menafsirkan ayat dalam tafsir ini tidak memilih hadis-hadis yang sahih saja, prioritas beliau adalah bagaimana tafsir ini selalu ditafsirkannya dengan hadis-hadis Nabi SAW. Ia memilih surat al-Wâqi‟ah karena sangat umum dalam pandangan masyarakat akademis dan masyarakat awam bahwasanya surat al-Wâqi‟ah di sini dipercaya sebagai surat pesugihan. Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi di atas, karena dilihat dari judul yaitu membahas “Tiga Golongan Manusia Pada Hari Kiamat” dalam surat al-Wâqi‟ah yang merujuk kepada tafsir al-Marâghî dan tafsir al-Misbâh. E. Metodologi Penelitian Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan ( Library research ) yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai macam literatur yang relevan dan menelaah dengan pokok masalah yang dibahas. Adapun buku yang menjadi rujukan utama / sumber primer dalam penulisan skripsi ini antara lain kitab Tafsir Al-Marâghî karya Ahmad Mustafa Al-Marâghî dan Tafsir Al-Misbâh karya M. Quraish Shihab.
9
Penulis juga melakukan pembahasan skripsi ini secara telaah studi komparatif yaitu dengan mengumpulkan data-data dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan masalah surat al-Wâqi‟ah, kemudian data tersebut dideskripsikan yang dimaksudkan untuk menuliskan keadaan objek sematamata apa adanya. Langkah ini diambil sebagai permulaan yang sangat penting, karena ia adalah metode dasar bagi penelitian selanjutnya. Quraish Shihab dan al-Marâghî misalnya, tidak bisa lepas dari lingkungan sosial kemasyarakatan yang melingkupinya. Dengan itu, penulisan biografi menjadi sangat perlu. Dan setelah itu dianalisis dari setiap pendapat guna memperoleh kejelasan masalah. Metode analitis ini dianggap perlu karena akan tersingkap keterlibatan dari kedua penafsir dengan persoalan-persoalan yang berada di sekitarnya dalam menatap nilai-nilai yang berlaku dizamannya. Sedangkan teknik penulisan dan penyusun skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta8 dengan beberapa pengecualian: 1. Kutipan ayat Al-Qur‟ân tidak diberi catatan kaki dan terjemahannya diambil dari “Al-Qur‟ân dan terjemah” yang diterbitkan oleh Departemen Agama R.I., Jakarta, Proyek Pengadaan. 2. Kutipan yang menggunakan ejaan yang lama diganti dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) kecuali nama orang/pengarang.
8
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2
10
F. Sistematika Penulisan Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan. Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang disajikan sebagai acuan pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global skripsi yang cangkupannya terdiri dari alasan pemilihan latar belakang masalah (judul), kajian pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua, merupakan pembahasan tentang seputar biografi penafsir secara umum, juga penafsirannya tentang surat al-Wâqi‟ah ayat 7- 56. Dalam bab ini menjadi dua pembahasan. Pertama, mengenai karakteristik tafsir antara Ahmad Mustafa al-Marâghî dan M. Quraish Shihab. Masingmasing terdiri dari potret pendidikan mereka, karya-karya, karir akademis, sistematika penulisan dan metodologi tafsir. Kedua, mengenai penafsirannya masing-masing terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56. Kemudian pada bab ketiga, bab ini merupakan analisa perbandingan dan implikasinya terhadap penafsiran Surat Al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 yang diantaranya
mengenai
persamaan
dan
perbedaan
antara
Al-Sâbiqûn
11
Al-Sâbiqûn (balasan kepada orang mukmin yang beriman paling dahulu), Ashâb Al-Yamîn (balasan kepada golongan kanan) dan Ashâb Al-Syimâl (azab atas golongan kiri). Kemudian implikasi penafsiran ini dalam kehidupan di masyarakat. Dan yang terakhir bab keempat, merupakan penutup dari skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II SURAT AL-WÂQI’AH (AYAT 7 - 56) DALAM TAFSIR AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIR AL-MISBÂH
A. Karakteristik Tafsir 1) Ahmad Mustafa Al-Marâghî a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa bin Mustafa Ibn Muhammad bin Abdul Mun‟im al-Qadi al-Marâghî (1883-1952).1 Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Mustafa al-Marâghî Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turuntemurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim. Beliau lahir di kota Marâghah – sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah selatan kota Kairo – pada tahun 1300 H./1883 M. Nampaknya, kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa nama al-marâghî tidak mutlak menunjukan kapada dirinya. Ahmad Mustafa al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini terbukti dengan adanya lima dari delapan putra Syekh Mustafa al-Marâghî (ayah dari Ahmad Mustafa
1
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) Cet. I, h. 13
12
13
al-Marâghî) adalah ulama besar yang memiliki kharisma besar di Marâghah, yaitu: 1. Syekh Muhammad Mustafa al-Marâghî yang pernah menjadi syekh al-Azhâr selama dua periode yaitu tahun 1928-1930 dan 1935-1945.2 2. Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, yaitu pengarang Kitab Tafsir al-Marâghî. 3. Syekh Abdul Aziz al-Marâghî, dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhâr dan Imam Raja Faruq. 4. Syekh Abdullah Mustafa al-Marâghî,
Inspektur Umum pada
Universitas Al-Azhâr. 5. Syekh Abdul Wafa Mustafa al-Marâghî, sekretaris badan penelitian dan pengembangan Universitas Al-Azhâr.3 Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah persepsi tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Marâghî di antara kelima putra Mustafa itu. Hal yang sering membingungkan karena Mustafa al-Marâghî juga terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad Mustafa al-Marâghî juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil menafsirkan Al-Qur‟ân secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis
2
Muhammad dan Ahmad Mustafa al-Marâghî, keduanya beradik kaka dan sama-sama mengarang kitab tafsir, serta sama-sama pernah menjadi murid Muhammad Abduh. Muhammad Mustafa al-Marâghî (kakak) adalah yang penulisan tafsir-nya tidak lenggkap 30 Juz, hanya beberapa surat seperti surat al-Hujrât, al-Had, dan beberapa ayat dari surat Luqman dan al-„Ashr. Sungguh pun demikian, ia termasuk salah seorang anggota panitia pembaharuan Universitas Al-Azhâr. Pada masanya Al-Azhâr dibagi kepada tiga Fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Syari‟ah, Fakultas Teologi atau Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab. Beliau dua kali menjadi rektor Universitas Al-Azhâr pertama mulai bulan Mei 1928 sampai bulan Oktober 1929, kedua, mulai bulan April 1935 sampai ia meninggal dunia tanggal 22 Agustus 1945. Lihat Hasan Zaini, Tafsir Tematik, h.20 3 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 20
14
tafsir beberapa bagian Al-Qur‟ân, seperti surat al-Hujurât dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud disini adalah Ahmad Mustafa al-Marâghî, adik kandung dari Muhammad Mustafa al-Marâghî. Disamping itu al-Marâghî sebagai keturunan ulama yang menjadi ulama, ia juga berhasil dengan gemilang dalam mendidik putra-putranya menjadi ulama dan sarjana yang selalu mengabdikan ilmunya pada masyarakat, dan bahkan mendapat kedudukan penting sebagai hakim pada pemerintahan Mesir. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia mempelajari al-Qur‟ân, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum mencapai umur yang ke-13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur‟ân. Disamping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain di madrasah tersebut sampai ia menamatkan pendidikan Tingkat Menengah.4 Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M., al-Marâghî melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhâr di Kairo atas persetujuan orang tuanya, di samping mengikuti kuliah di Universitas Dârul „Ulum Kairo.5 Dengan kesibukannya belajar di dua perguruan tinggi ini,
4
Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn, (Beirut: Muhammad Amin, 1993), h. 202. Lihat juga. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang 1996) Cet. Ke. 12, h. 77 5 Yang dahulu merupakan perguruan Tinggi yang berdiri sendiri dan sekarang menjadi bagian dari Cairo University
15
al-Marâghî dapat disebut sebagai orang yang beruntung, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M.6 Pada tahun 1314 H./1897 M. itulah beliau menuntut ilmu pengetahuan agama, seperti Bahasa Arab, Balâghah, Tafsîr, Ilmu al-Qur‟ân, Ilmu Hadîs, Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak, Ilmu Falak dan sebagainya. Pada perguruan tinggi tersebut, al-Marâghî mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli dibidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Mut‟i, Ahmad Rifa‟i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Marâghî, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim.7 Setelah Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî menamatkan studinya di Universitas al-Azhâr dan Dar al-„Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru di beberapa sekolah menegah. Kemudian ia diangkat menjadi direktur Madrasah Mu‟allimîn di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten (kota madya), kira-kira 300 km sebelah barat daya kota Kairo. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi dosen utusan al-Azhâr untuk mengajar ilmu-ilmu syari‟ah Islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar al-Marâghî juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah „Ulum al-Balaghah.8
6
Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn..h. 202, beberapa dosen yang pernah aktif mengajarnya di al-Azhâr dan Dar al-„Ulum adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis al-Mut‟î, dan Syekh Muhammad Rifa‟i al-Fayumi. 7 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 17 8 Abdul Djalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nûr Sebuah Studi Perbandingan. h. 17
16
Pada tahun 1920 ia kembali pulang ke Kairo dan diangkat menjadi dosen bahasa Arab dan ilmu-ilmu syarî‟ah Islam di Dar al-„Ulum sampai tahun 1940. Disamping itu ia diangkat menjadi dosen ilmu balaghah dan sejarah kebudayaan islam di Fakultas Adab Universitas Al-Azhâr. Selama mengajar di Universitas al-Azhâr dan Dar al-„Ulum, ia tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit Kairo, kira-kira 25 km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya, sehingga di kota tersebut terdapat suatu jalan yang diberi nama jalan al-Marâghî.9 Ahmad Mustafa al-Marâghî juga mengajar pada perguruan Ma‟had Tarbiyah Mu‟allimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapatkan piagam tanda penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H. atas jasajasanya tersebut. Piagam tersebut tertanggal 11-01-1361 H. Pada tahun 1370 H./1951 M., yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, dalam usianya yang terbentang selama 71 tahun, beliau juga masih mengajar dan bahkan dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 juli 1952 M. / 1371 H. di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25 km disebelah kota Kairo.10 Berkat didikan Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, lahirlah ratusan, bahkan ribuan ulama/sarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan
9
Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn ,h.114 Abdul Djalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nûr Sebuah Studi Perbandingan. h. 18
10
17
oleh berbagai lembaga pendidikan islam, yang ahli dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara mahasiswa Ahmad Mustafa al-Marâghî yang berhasil dari Indonesia adalah: 1. Bustami Abdul Ghani, Guru Besar dan dosen Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Mukhtar Yahya, Guru Besar IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. 3. Mastur Djahri, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin. 4. Ibrahim Abdul Halim, dosen senior IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Abdul Rozak al-Amudy, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya.11 Ahmad Mustafa al-Marâghî menyadari bahwa setiap masa mempunyai karakter sendiri-sendiri, baik dalam sikap masyarakat, tradisi, akhlak dan cara berfikir pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu al-Marâghî merasa perlu untuk mengeluarkan sebuah kitab tafsir dengan corak yang sesuai dengan masa kini atau bersifat kontemporer dan sesuai dengan kondisi pluralis masyarakat yang ada. Namun demikian al-Marâghî masih tetap menganggap perlu untuk mengikuti pendapat-pendapat mufassir sebelumnya sebagai wujud penghargaan al-Marâghî atas kerja keras yang telah mereka lakukan. Ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan kontribusi yang besar
11
Departeman Agama RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta: t.p., 1993), Jld.2, h.696
18
terhadap umat lewat beragam karyanya. Salah satu di antaranya adalah kitab tafsir yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Diantara buah pena yang dapat dihasilkan dan dibaca diantaranya: „Ulûm al-Balâghah, Hidâyah al-Tâlib, Tahbîz al-Tandîh, Buhuts wa Ara, Tarikh „Ulum al-Balaghah wa Ta‟rif Bi rijâliha, Mursyid al-Tulâb, al-Mujasfi „Ulûm wa al-Usûl Al-Diyanât wa al-Akhlâq, al-Hisâb Fi al-Islâm, al-Rifqi bi al-Hayawân Fi al-Islâm, Syarah Tsalâsîn Hadîsan, Tafsir Juz Innama al-Sabîl, Risalât Fi Zauzat al-Nabi, Risalât Ishat Ru‟yat al-Hilâl Fi Ramadân, al-Khutbah Wa al-Khutaba Fi Daulat al-Umawiyah Wa al-„Abbasiyah, al-Mutâla‟ah al-Arabiyah Li al-Madâris al-Sudaniyah. 12 Penulisan sekian banyak karyanya ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab al-Marâghî sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur‟ani sebagai alternatif untuk dijadikan cara pemecahan yang aktual dan pemecahan menurut Islam di masa modern ini. b. Sistematika dan Metodologi Tafsir Sebagaimana yang dituliskan al-Marâghî dalam mukaddimah tasirnya ia menjelaskan bahwa dimasa sekarang orang sering menyaksikan banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan dibidang agama, terutama sekali dibidang tafsir al-Qur‟ân dan Sunnah Rasul, kitabkitab tafsir tersebut banyak memberitakan manfaat karena menyikap berbagai 12
Kafrawi Ridwan, et. Al (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1994), cet. Ke-3, h.166, lihat juga Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn (Beirut: Muhammad Amin, co. 1934). h. 204
19
persoalan agama dan bermacam-macam kesulitan yang tidak mudah dipahami, namun kebanyakan telah banyak dibumbui dengan istilah-istilah ilmu yang lain, seperti ilmu balaghah, nahwu, saraf, fiqih, tauhîd, dan ilmu lainnya, yang justru merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur‟ân secara benar bagi para pembaca.13 Namun demikian al-Marâghî mengulas, hal ini memang tidak bisa disalahkan, karena ayat-ayat al-Qur‟ân sendiri memberikan isyarat tentang hal itu. Tetapi saat ini dapat dibuktikan dengan dasar penyelidikan ilmiah dan data autentik dengan berbagai argumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya tidak perlu ditafsirkan al-Qur‟ân dengan analisa ilmiah yang hanya berlaku seketika. Sebab, dengan berlalunya masa, sudah tentu situasi tersebut akan berubah. Apalagi, tafsir-tafsir dahulu itu dulu ditampilkan dengan gaya bahasa yang hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang semasa.14 Seiring problema yang terus berkembang dan menjadikan Al-Qur‟ân sebagai kenyataan yang bisa meminimalisir permasalahan-permasalahan agama dan sosial, seiring pula para penafsir mengembangkan dan memberikan corak yang varian terhadap tafsir mereka. Para ulama tafsir membagi metode penulisannya kedalam empat metode tafsir, yaitu:15 1) Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ân dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
13
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 24 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 25 15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah „Ulum al-Qurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192 14
20
terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam Al-Qur‟ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟i (parsial). 2) Metode Ijmali (global) adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayatayat Al-Qur‟ân secara global dan singkat, sehingga terasa oleh pembacanya bagai tetap dalam gaya dan kalimat-kalimat Al-Qur‟ân. 3) Metode Muqarran (komparatif) adalah tafsir yang berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi SAW. yang terkesan bertentangan atau juga membandingkan pendapat dua ulama atau lebih menyangkut ayat-ayat tertentu. 4) Metode Maudu‟i (tematik) dinamai juga metode tauhidy yaitu menyajikan pesan ayat-ayat al-Qur‟ân yang berbicara satu topik dalam kesatuan utuh. Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, yaitu tafsir yang membahas satu surat Al-Qur‟ân secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dan atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur‟ân yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu. Dengan melihat uraian di atas, maka tafsir al-Marâghî menggunakan metode Tahlili. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain, baik sebelum atau sesudah Tafsir al-Marâghî, termasuk Tafsir al-Manâr yang dipandang modern, ternyata tafsir al-Marâghî mempunyai sistematika
21
penulisan sendiri, yang membuatnya berbeda dangan tafsir-tafsir lain tersebut. Sedang coraknya sama dengan corak Tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad Syaltut, dan Tafsir al-Wad‟i karya Muhammad Mahmud Hijazi.16 Semuanya itu mengambil Adabi Ijtima‟i. Menurut Husain al-Dzahabi, Adabi Ijtima‟i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ân berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ân, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.17 Adapun sistematika penulisan tafsir al-Marâghî yang dikemukakannya dalam Mukaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut.18 1.
Mengemukakan Ayat-ayat di Awal Pembahasan Pada setiap bahasan Al-Marâghî memulai dengan satu, dua lebih ayat-
ayat al-Qur‟ân yang kami susun sedemikian rupa hingga memberikan pengertian yang menyatu. 2.
Menjelaskan Kosa Kata Kemudian ia sertakan penjelasan-penjelasan kata secara bahasa, jika
memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit dipahami oleh para pembaca.
16
Ahmad Akram, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992), Cet. Ke-2, h. 72 17 Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn (t.p. 1986) cet. Ke-2, jilid 2, h. 574, lihat juga Sejarah dan „Ulum al-Qur‟ân, h. 184 18 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 26-30
22
3.
Menjelaskan Pengertian Ayat-ayat Secara Global Kemudian, Al-Marâghî menyebutkan ayat-ayat secara ijmal, dengan
maksud memberikan pengertian ayat-ayat di atasnya secara global. Sehingga sebelum memasuki pengertian tafsir yang menjadi topik utama, para pembaca telah terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat secara ijmal. 4.
Menjelaskan Sebab Turun Ayat Kemudian, ia pun akan menyertakan bahasan Asbâbun an-Nuzul jika
terdapat riwayat sahih dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir. 5.
Meninggalkan Istilah-istilah Yang Berhubungan Dengan Ilmu Pengetahuan Di dalam tafsir ini, sengaja mufassir mengesampingkan istilah yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya ilmu Saraf, Nahwu, Balaghah dan lain-lain, walaupun masuknya ilmu-ilmu tersebut justru merupakan suatu penghambatan bagi para pembaca di dalam mempelajari kitab-kitab tafsir. Meskipun ia mengingkari visi dan paradigma tafsir al-Qur‟ân ilmiah, akan tetapi ia juga berusaha memadukan karena mengikuti metodologi gurunya, Muhammad Abduh dalam mengkompromikan antara Islam dengan sivilisasi Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma tersebut dengan sikap para pendukung dan penganjurnya, karena itu beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiah yang fixed itu ada kesesuaian.19
19
Seperti yang ia katakan berangkat dari sini, saya tidak ingin mengatakan bahwa al-Qur‟ân ini memuat seluruh ilmu pengetahuan, baik secara global maupun sistematis dengan model pendidikan yang sudah dikenal. Namun, saya ingin menegaskan bahwa al-Qur‟ân memang telah membawa dasar-dasar secara general apa saja yang bisa dipersepsikan oleh manusia
23
6.
Gaya Bahasa Para Mufassir Al-Marâghî sadar bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun dengan
gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu, yang sudah barang tentu sangat dimengerti oleh mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karyanya itu menggunakan gaya bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka karena mampu menulis dengan cara itu. 7.
Pesatnya Sarana Komunikasi Di Masa Modern Masa sekarang ini ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masyarakat
lebih cenderung menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dimengerti maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, sebelum Al-Marâghî melakukan pembahasan, terlebih dahulu membaca seluruh kitabkitab tafsir terdahulu yang beraneka kecenderungannya dan masa ditulisnya. Sehingga ia memahami secara keseluruhannya sisi kitab-kitab tersebut. Kemudian, ia berusaha mencernanya, dan ia sajikan dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti di masa sekarang. 8.
Seleksi Terhadap Kisah-kisah Yang Terdapat Di Dalam Kitab-kitab Tafsir Pada dasarnya, fitrah manusia selalu ingin mengetahui hal-hal yang
masih samar, dan berupaya menafsirkan hal-hal yang masih dianggap sulit
berdasarkan pengetahuannya dan untuk diaktualisasikan, agar dia sampai pada tataran (manusia sempurna), dia telah membiarkan pintu itu terbuka bagi orang-orang berilmu, mereka yang pekerja ilmu pengetahuan, yang beragam bentuknya, agar mereka bisa menjelaskan delik-deliknya kepada manusia, sesuai dengan apa yang mereka terima pada era dimana mereka hidup disana. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur‟ân Kontemporer (Jakarta: alIzzah 1997) cet. 1, h. 323
24
untuk dapat diketahui. Terdesak oleh kebutuhan tersebut, mereka justru mengidentifikasi permasalahan kepada ahli kitab – baik kalangan Yahudi maupun Masehi. Ketika mereka menceritakan kepada umat Islam kisah yang dianggap sebagai interpretasi mengenai hal-hal yang sulit di dalam al-Qur‟ân, padahal mereka tersebut bagaikan orang-orang yang mencari kayu bakar dikegelapan malam, mereka mengumpulkan apa saja yang didapat, kayu maupun yang lainnya, sebab kisah-kisah mereka tidak melalui proses seleksi. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada mukadimahnya, “Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan Kitabullah secara lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”. Berdasarkan pertimbangan di atas, al-Marâghî melihat langkah yang baik dalam pembahasan tafsirnya ialah tidak menyebutkan masalah-masalah yang berkaitan erat dengan cerita orang terdahulu, kecuali cerita-cerita tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama yang sudah tidak diperselisihkan.
25
2) M. Quraish Shihab a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis Quraish Shihab menjadi sosok yang penuh karisma dalam warisan dunia tafsir kontemporer. Karenanya, bayak problem keagamaan dan sosialteologi yang dapat dijawab oleh Quraish ini menjadikannya sosok yang unik dalam memahami keagamaan. Dengan keluasan sebuah pengetahuan ia mengelola dan memproduksi agama dari bentuk transenden menuju iman, dari yang berwajah simbolik menuju subtantif, dari yang tak terpikirkan menuju yang terpikirkan. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Ia merupakan salah satu putra dari Prof. KH. Abdurrahman Shihab (19051986) seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir.20 Memiliki reputasi baik dalam dunia pendidikan di Sulawesi selatan, Kontribusinya terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung padang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alaudin Ujung Padang.21 Quraish Shihab pertama sekali belajar bahasa Al-Qur‟ân langsung dari ayah kandungnya sendiri yang secara rutin dilaksanakan sehabis maghrib, ayahnya selalu mengajak Quraish Shihab dan saudara-saudara yang lain untuk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan dengan memasukan makna ayat-ayat Al-Qur‟ân dan perkataan orang-orang 20
Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002) Cet. Ke-1, hal.254 21 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996), Jilid 2, hal.110
26
bijak.22 Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur‟ân.23 Petuah-petuah itu berasal dari ayat-ayat Al-Qur‟ân, petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-Qur‟ân. Pendidikan formal sekolah Dasar Quraish Shihab di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan sekolah menengahnya (SLTP) di kota Malang, Jawa Timur dibarengi dengan belajar agama di Pondok Pesantren Dâr al-Hadîts al-Fiqhiyah, di kota yang sama. Pada tahun 1958, dalam usianya yang ke 14 tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima ke Kelas II Tsanawiyah al-Azhâr pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas ushuluddin, tetapi ia tidak di terima karena belum memenuhi syarat yang ditetapkan. Oleh karena itu, ia bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis. Walaupun, jurusan-jurusan lainnya terbuka lebar untuknya.24 Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar Lc (setingkat dengan SI). karena kehausannya dalam ilmu Al-Qur‟an. Ia melanjutkan kembali pendidikannya di jurusan dan universitas yang sama dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesialisasi di bidang tafsir al-Qur‟ân dengan tesis berjudul Al-I‟jaz al-Tasyri‟î Li Al-Qur‟ân al-Karîm. Dengan rasa suka ia kembali ke kampung halaman dengan mengantongi gelar Megister di tangannya.25
22
Petuah-petuah keagamaan yang hingga detik ini masih terngiang di telinga saya. Biarkanlah Al-Qur‟ân berbicara (Istantiq al-Qurân) Sabda Ali Ibn Abi Thalib, Bacalah al-Qur‟ân seolah-olah ia diturunkan kepadamu kata Muhammad Iqbal, Rasakanlah Keagungan al-Qur‟ân, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu_kata Syaikh Muhammad Abduh. Lihat Membumikan Al-Qur‟ân_Kata Pengantar. 23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, (Bandung: Mizan,2001), Cet. Ke-22,hal.6 24 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, hal. 14 25 Ensiklopedi Islam, h.111
27
Quraish Shihab tidak langsung melanjutkan studinya ke program doctoral melainkan kembali ke Ujung Pandang, dalam beberapa periode, kurang lebih sebelas tahun (1969-1980) ia terjun ke berbagai aktivitas. Antara lain, di Ujung Pandang ia membantu ayahnya mengelola pendidikan di IAIN Alaudin, jabatan yang ia pegang di dalam universitas tersebut sangat istimewa yaitu sebagai Wakil Rektor di bidang Akademis dan Kemahasiswaan, Koordinator perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur (KOPERTAIS), sedangkan di luar kampus ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Kepolisian Indonesia Bagian Timur dalam bidang penyuluhan mental. Di Ujung Pandang ia sempat untuk melakukan berbagai penelitian, diantaranya dengan tema: Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975)26 dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).27 Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studinya di program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhâr. Pada tahun 1982 dengan Disertasi berjudul Nazm al-Durâr li al-Biqa‟I Tahqîq wa Dirasah dan meraih gelar doctor (Ph.D) dengan yudisium Summa Cum Laude, disertai penghargaan tingkat pertama (mumtâz ma‟a martabah al-syarâfah al-„ula).28
26
Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1975. Isinya merupakan penggambaran di bidang sosial tentang terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama yang paling harmonis 27 Ensiklopedi Islam, h.111, karya ini juga merupakan bentuk laporan dari penelitian yang dilakukan pada tahun 1978. Isinya menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi objektif dari persoalan wakaf yang terdapat di Sulawesi Selatan, juga terdapat di dalamnya saran-saran yang perlu dipertimbangkan 28 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, h. 6, lihat juga Membumikan al-Qurân, Pengantar penulis
28
Sekembalinya ke kampung halaman, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1984 babak baru bagi karir Quraish Shihab, dimulai saat pindah tugas dari IAIN Alaudin, Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disinilah Quraish Shihab aktif mengajar bidang tafsir dan ulum Al-Qur‟ân di program SI, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Selain menjadi Rektor IAIN Jakarta dua periode (1992-1996 dan 19971998), ia juga dipercaya menjadi menteri agama selama kurang dua bulan di awal tahun 1998, pada cabinet terakhir Soeharto, cabinet pembangunan VI. Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Rebpublik Indonesia untuk Negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo.29 Pada tahun 1993 Quraish Shihab mendapatkan jabatan sebagai Menteri Agama RI cabinet pembangunan VII (1998), akan tetapi jabatan tersebut tak lama dipegangnya, kurang lebih dua bulan dan ia juga sekaligus merangkap jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Nama Quraish Shihab pun tak lekam begitu saja karena pada masa pemerintahan transisisonal Habibi tahun 1999, lagi-lagi Quraish mendapat jabatan baru sebagai Duta Besar Mesir.
Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang perolehnya itu telah menjadikannya ia seorang yang mempunyai kajian dan wawasan yang mendalam menonjol dalam khazanah tafsir di Indonesia. Atau seperti apa
Ia merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor di bidang Ilmu Tafsir, sementara dalam lingkup keluarga, ia merupakan dokter keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri. 29 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.2, 2002, h. 172
29
yang dikatakan Howard M. Federsfiel30, telah menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Populer Indonesia Literature Of The Quran.31 Al-Qur‟ân merupakan media petunjuk untuk manusia secara umum mengetahui berbagai perihal informasi dari Allah SWT. mengenai perintah, larangan, ancaman, cobaan, balasan, imbalan, dan lain-lain. Dan tafsir sebagai metodologi menjembatani usaha manusia untuk memahami kandungan ayatayat Al-Qur‟ân sesuai dengan keluasan ilmu yang dimilikinya. Hal ini berarti, bukan hal yang mudah untuk menterjemahkan pesan Tuhan secara aktual, ilmu dan kemampuanlah yang menjadi tolak ukur dalam mentafsirkan Al-Qur‟ân. Sedangkan menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur‟ân adalah penjelasan tentang maksud firman-firman sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al-Qur‟ân bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jika fulan memiliki kecenderungan hukum, tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau fulan adalah seorang filosof, maka tafsir yang dihidangkan bersifat filosofis.
30
Howard M. Federsfiel adalah Profesor di Institut studi-studi islam, universits MCGill di Montreal, Kanada, juga sebagai Profesor ilu politik di universitas Negara bagian Ohio di AS. Ia lahir di New York AS pada tahun 1932, ia melanjutkan studinya di Universitas MC Gill di mana ia belajar di bawah bimbingan willfred Cantwell Smith, Fazlur Rahmân, John Alden Williams, M. Yani Barkes dan Muhammad Rasyidi. Lihat Kajian al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terbitan Mizan 31 Howard M. Fiderspiel, Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-1, h.295
30
Kalau studi yang diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang aspek-aspek kebahasaan demikian seterusnya.32 Menyadari begitu luas dan dalamnya makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur‟ân, Quraish Shihab pun mengoptimalisasi berbagai ilmu dengan masyarakat luas yang ditumpahkan dalam karya-karyanya. Di harian Media Massa surat kabar Pelita, pada setiap hari rabu ia menulis dalam rublik Pelita Hati. Ia juga mengasuh rublik Tafsir Amanah. Begitu pula fatwa-fatwanya di Harian Republik dan majalah Ummat. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Majalah „Ulumul Qurân dan Mimbar „Ulama, Indonesia Journal For Islamic Studies, Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Keempatnya terbit di Jakarta. Di luar kegiatan di atas, ia juga sering berceramah lewat media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan.33
Tanggapan Federspiel juga tentang karya Quraish Shihab yaitu bahwa tafsir tersebut ditunjukan bagi kaum muslim awam, sekalipun sebenarnya karya tersebut ditunjukan kepada pembaca yang cukup terpelajar. Federspiel mengklasifikasikan tafsir karya Quraish Shihab sebagai karya yang sangat kuat dan merupakan batu ujian bagi pemahaman yang lebih baik tentang Islam.34 Berbagai pujian dan karya ilmiah yang diluncurkannya mencerminkan ia seorang yang aktif dan produktif sebagai penulis dan pandangannya dalam menggambarkan permasalahan yang menjadi kegelisahan masyarakat, khususnya wilayah agama dan sosial keagamaan.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Ke-1, Vol.1, h.xvii 33 Kusma, Membangun Citra Institusi, h. 259 34 Federspiel, Kajian al-Qurân di Indonesia, h. 298
31
Tulis pengantar Redaksi Kompas (Minggu 18 Februari 1996) sewaktu menurunkan wawancara panjang dengan Muhammad Quraish Shihab pandangan tafsir Al-Qur‟ân bergelar doktor ini dari Universitas al-Azhar, Kairo, memang senantiasa membimbing untuk menemukan jalan keluar yang arif dengan tidak mengurangi dan menghakimi.35 Karya-karya Quraish Shihab yang lain secara global terbagi kepada dua judul besar, Pertama, karya-karya dengan metode Maudhû‟i (tematik), manyajikan pesan-pesan ayat Al-Qur‟ân yang berbicara satu topic dalam satu kesatuan. Seperti, Mahkota Tuntunan Ilahi (1996), Membumikan Al-Qur‟ân (1992), dan Lentera Hati,36 Untaian Permata Buat Anakku; Pesan Al-Qurân untuk Mempelai (1995), Wawasan Al-Qurân (1996), Mu‟jizat Al-Qurân (1997), Haji Mabrur bersama Quraish Shihab (1997), Menyikap Tabir Ilahi; Asmaul Husna Dalam Perspektif Al-Qurân (1998), Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mu‟amalah (1999), Fatwa-fatwa Seputar Agama (1999), Fatwa-fatwa Seputar al-Qurân dan Hadis (1999) Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Qurân dan Sunnah (1999), Shaum Bersama Quraish Shihab di RCTI/Presenter Arif Rahman (1999), Menuju haji Mabrûr, Ed. D. Rohadi (2000) dan Membumikan Al-Qurân (2001), Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Dalam Pandangan Ulama dan Cendikiawan Kontemporer (2004), Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan dibalik Setiap Fenomena (2005), Perempuan (2005), Rasionalitas Al-Qurân (2006),37 Logika Agama (2006),
35
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maudû‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996) cet. Ke-3, h. pengantar 36 Kedua buku ini merupakan makalahnya dan ceramahnya sejak tahun 1975 37 Merupakan hasil revisi dari karya Quraish yang berjudul Tafsir Al-Manâr (1999)
32
Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah (2007). Mistik, Seks, dan Ibadah (2007), Pengantin Al-Qurân (2007). Kedua, karya dengan metode Tahlili (uraian) atau dinamai Tajzi‟i yaitu menjelaskan ayat dari berbagai seginya, ayat demi ayat sebagaimana urutan dalam mushaf Al-Qur‟ân, antara lain seperti, Tafsir al-Amanah (1992), Tafsir Al-Qurân Al-Karîm Dr. Quraish Shihab; Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (1997), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlili (1997), Tafsir Al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurân (2003), Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil (2000).
Sedangkan kategori yang lain dari karya Quraish Shihab yang berbicara tokoh dapat kita jumpai pada karyanya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manâr Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Rido (1994). Dan karyanya
juga dalam bidang ilmu tafsir yaitu Sejarah dan „Ulum al-Qurân (1999). Demikian karya Quraish Shihab yang tidak dibilang kecil dan relative dekatnya masa waktu pengkaryaan, ia pun termasuk ulama sekaligus mufassir yang produktif, terlebih dalam konteks keindonesiaan. b. Sistematika dan Metodologi Tafsir Sistematika penulisan di sini adalah teknik penyaian suatu penafsiran dalam bentuk tulisan (dalam bentuk kitab/buku). Setiap penulisan suatu karya, sistematika merupakan hal yang cukup urgen yang dipakai dalam sebuah penulisan, juga hal ini diterapkan dengan maksud untuk mempermudah penyusunan dalam sebuah karya.
33
Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai Qur‟âni sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya,
sehingga
al-Qur‟ân
dapat
benar-benar
berfungsi sebagai petunjuk, pemisah, antara yang hak dan yang batil, serta jalan keluar bagi setiap problema kehidupan yang dihadapi. Di samping itu, mufassir dituntut pula menghapus kesalahpahaman terhadap Al-Qur‟ân atau kandungan ayat-ayatnya, sehingga pesan-pesan Al-Qurân diterapkan dengan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.38 Menghidangkan tafsir Al-Qur‟ân berdasarkan kronologi turunnya diharapkan dapat mengantarkan pembaca untuk mengetahui runtutan petunjuk Ilahi yang dianugrahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya. Menurutnya menguraikan tafsir Al-Qur‟ân berdasarkan urutan surat-surat dalam mushaf seringkali menimbulkan banyak pengulangan, jika kandungan kosa kata atau pesan ayat atau suratnya sama atau mirip dengan ayat atau surat yang telah ditafsirkan. Ini mengakibatkan diperlukannya waktu yang cukup banyak untuk memahmi dan mempelajari kitab suci. Karena itu, dalam tafsir Al-Qur‟ân al-Karîm dan tafsir al-Misbâh ia memaparkan makna kosa kata sebayak mungkin dan kaedah-kaedah tafsir yang menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat digunakan untuk memahmi ayat-ayat yang tidak ditafsirkan.39 Sistematika penulisan dalam tafsir Quraish pun menjadi hal yang urgen untuk menghilangkan kejenuhan serta kesulitan pembaca dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟ân. Hal ini berdasarkan keinginannya untuk bisa 38
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.3, h.3 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Qurân Al-Karîm (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), cet. Ke-1, h. VI 39
34
dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas. Antara lain yang menjadi sistematika tafsirnya adalah: 1. Dalam upaya menjelaskan Al-Qur‟ân, pertama-tama Quraish Shihab berusaha dalam karyanya menampilkan penjelasan gobal setiap Surah kemudian beliau menguraikan keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah turunnya surah, kemudian menjelaskan penjelasan tentang nama surat, serta tema tujuan surat, dan berjumlah jumlah ayat-ayatnya (pada beberapa temat). Beliau menjelaskan masa turunnya sebuah surah.40 Menjelaskan nama-nama lain – kalau ada – dari sebuah surat, dan sebagainya. 2. Metode interteks pun dalam hal ini menjadi pengembaraannya, beliau banyak mengutip pendapat para ulama tafsir sebelumnya. 41 Hal ini dilakukan baik untuk menguatkan pendapatnya maupun benar-benar dalam rangka untuk menafsirkan ayat yang sedang ditafsirkan. 3. Setelah
melakukan
penukilan
terhadap
beberapa
ulama
juga
menjelaskan pada munasabah (keserasian) antara ayat-ayat dan surat dalam Al-Qur‟ân. Kadang-kadang juga keserasian itu ditempatkan di akhir pembahasan pengelompokan ayat. 4. Ketika
menafsirkan
ayat
demi
ayat,
beliau
terlebih
dahulu
mencantumkan ayat-ayatnya ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan
40
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h.81-83 Di antara para mufassir yang menjadi bahan rujukannya adalah Ibrahim Umar al-Biqa‟i, Sayyid Muhammad Tantawi, Syaikh Mutawali as-Sya‟rawi, Sayyid Qutb, Muhammad Tahir Ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i, serta beberapa ahli tafsir lainnya. 41
35
pemahamannya sendiri, artinya beliau tidak berpedoman pada salah satu terjemahan Al-Qur‟ân. 5. Langkah selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan kandungan ayat demi ayat secara berurutan, kemudian beliau memisahkan terjemahan makna Al-Qur‟ân dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan terjemah maknanya dengan tulisan Italic dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan Normal, kadang-kadang juga Quraish menghadirkan penggalan teks ayat sebagai penguat keserasian al-Qur‟ân. 6. Al-Qur‟ân dan hadis dijadikan dalil yang fundamen atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis terjemahnya saja. Hal ini diduga sengaja dilakukan Quraish untuk mempermudah pemahaman dan dikarenakan tafsir yang berbahasa Indonesia. Syatibi dalam kitab al-Muwafaqât memaparkan kurang lebih bahwa tafsir adalah kepastian makna satu kosa kata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pndangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri. Karena untuk menafsirkan satu kata dalam Al-Qur‟ân sangatlah luas, dan media untuk menafsirkan juga sangat banyak, oleh karena itu, bahasa Al-Qur‟ân merupakan bahasa paling kaya akan makna, bahasa yang paling bagus akan segala bahasa. Metode
mengandung
arti
cara
kerja
yang
bersistem
untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan tertentu.42 Dalam pengertian ini metode tafsir berarti sistem yang dikembangkan untuk 42
WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) h. 649
36
memudahkan dan memperlancar proses penafsiran Al-Qur‟ân secara keseluruhan. Dr. Ahsin Muhammad Asyrofuddin mengemukakan bahwa metode terjemahan dalam bahasa arab yaitu al-Manhâj atau Tanawiyah adalah jalan yang ditempuh oleh seorang mufasir dalam tafsirnya untuk menuangkan ide-ide atau kecenderungan.43 Sekian banyak ulama tafsir yang sudah membuahkan hasil karyanya, tentunya didukung dengan pisau metodologi yang bisa membuka makna Al-Qur‟ân sejauh mufasir pahami. Metodologi tafsir Al-Qur‟ân, secara umum terbagi kepada tiga macam, Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan, Tafsir bi al-Ra‟yi adalah tafsir yang didasarkan pada nalar atau pengetahuan dan Tafsir al-Isy‟ârî adalah tafsir berdasarkan pada isyarat (indikasi).44 Bila kita melihat dari karya-karya Quraish Shihab yang sudah dipaparkan di atas, dapatlah kita menyimpulkan dengan cara apa beliau menafsirkan karya-karyanya, dan bagaimana beliau memberikan titik pusat dalam sistematisasi penafsirnya. Kebanyakan karya-karya yang ditulisnya adalah menggunakan metode maudû‟i yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟ân, yang tentunya masih dalam permasalahan yang sama (memiliki munasabah ayat atau korelasi) dalam berbagai surat, kemudian menekankan pesan moral yang ingin disampaikan, dan selanjutnya mengambil benang merah dari berbagai ayat-ayat tersebut. 43
Ahsin Muhammad Asrofuddin, Corak dan Metode Tafsir Yang Perlu Dikembangkan; Makalah Pada Seminar Pengembangan dan Pengajaran Tafsir di Perguruan Tinggi Agama (Ciputat: Perpustakaan IAIN Jakarta, 1992), h.30 44 Thameem Ushma‟, Metodologi Tafsîr Al-Qur‟ân; Kajian Kritik Objek dan Komprehensif (Jakarta: Riora Cipta, 2000), cet. I, h. 5
37
Hal ini didorong upaya Quraish Shihab dalam mendapatkan pandangan dan pesan Al-Qur‟ân secara praktis dan mendalam menyangkut tema-tema yang dibicarakan juga mengungkapkan pendapat-pendapat Al-Qur‟ân tentang berbagai masalah kehidupan sekaligus dapat menjadikan bukti bahwa ayatayat Al-Qur‟ân sejalan dengan perkembangan IPTEK dan kemajuan peradaban masyarakat.45 Kecenderungan Quraish Shihab menggunakan metode ini, karena metode maudu‟i memiliki sejumlah keistimewaan. Antara lain, pertama, dapat mengindari kelemahan atau problem metode lain. Kedua, menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, merupakan satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur‟ân. Ketiga, bahwa kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena dia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur‟ân tanpa mengemukakan berbagai pembahasan dalam satu disiplin ilmu. Keempat, metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dengan Al-Qur‟ân. Dia juga sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Qur‟an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.46 Selain metode Maudu‟i yang dikembangkan di dalam karyanya, juga metode Tahlili yang menjadi peran utama dalam menafsirkan Al-Qur‟ân. Upaya Quraish Shihab dalam menyambut tamunya yang terlihat ingin puas
45
M. Quraish Shihab dalam upaya menerjemahkan ayat-ayat al-Qur‟ân adalah dengan cara melihat problem apa yang berkembang dalam masyarakat, lalu dicari bagaimana penjelasannya dalam al-Qur‟ân. Untuk upaya ini, Quraish menggunakan metode maudu‟i, sebuah metode yang ia kenalkan pertama kali Indonesia dan ia pulalah yang pertama kali menggunakan metode ini dalam konteks Indonesia. 46 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h. 117
38
dan ingin santai. Maka, Quraish Shihab menyajikan cara prasmanan. Yang dimaksud prasmanan di sini adalah kiasan dari tafsir yang menggunakan metode Tahlili.47 Metode yang ingin menguraikan dari semua segi, bermula dari kosa kata, asbab al-nuzûl, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan yang diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat yang lain.48 Seorang tokoh al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur‟ân dengan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur‟ân. Penafsir juga membahas mengenai Asbab al-Nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, para tabi‟in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya.49 Selanjutnya Quraish Shihab menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang tersusun dalam Tafsîr al-Misbâh ini sepintas seperti terjemahan Al-Qur‟ân, maka hendaknya jangan dianggap sebagai terjemahan. Oleh karena itu Quraish Shihab berusaha sedapat mungkin memisahkan terjemahan makna al-Qur‟ân dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjermahan makna dengan italic letter (dengan tulisan miring) dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal. 47
Metode Tahlili ini dapat dibedakan ke dalam beberapa contoh, antara lain: Tafsir bi alMatsûr, Tafsir bi al-Ra‟yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqh, Tafsir Falsafi, Tafsir „Ilmi dan Tafsir Adab al-Ijtima‟i 48
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h. 86 Abd. Al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsîr Mauduî; suatu pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h.12 49
39
Quraish Shihab menggunakan dua metode sekaligus dalam Tafsîr al-Misbâh, karena dari segi teknik, metode tahlili yang menafsirkan ayat demi ayat yang terpisah antara satu dengan lainnya sehingga tidak disuguhkan kepada pembaca secara menyeluruh sehingga membutuhkan waktu lama bagi pembaca untuk memahami isi Al-Qur‟ân. Oleh karena itu ia menambahkan metode maudu‟î. Cara ini dipilih oleh Quraish Shihab karena ia menilai bahwa ia mesti menguraikan seluruh ayat al-Qur‟ân sesuai dengan mushaf usmani (tahlili( tetapi ia mesti pula mengelompokan ayat-ayat sesuai dengan temanya, agar kandungan ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya (Maudu‟î).50 B. Penafsiran Surat Al-Wâqi’ah Ayat 7 - 56 1. Penafsiran Al-Marâghî Surat al-Wâqi‟ah ayat 7.
“Dan kamu menjadi tiga golongan.” Ada beberapa hal yang menjadi perbincangan dalam surat ini yaitu membicarakan singkat tentang berakhirnya alam dan mulianya perhitungan amal. Ketika kiamat terjadi, maka tidak ada seorangpun yang mendustakan atau mengingkari Allah. Penjelasannya diakhiri dengan status keberadaan manusia dengan penjelasan akibat-akibat atau ganjaran yang akan didapat oleh ketiga golongan. Al-Marâghî menafsirkan ayat 7 bahwa manusia di waktu itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri dan orang-orang 50
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsîr al-Misbâh, h.188
40
yang bersegera kepada kebaikan. Menurut al-Marâghî, setiap golongan yang disebutkan bersama golongan lain disebut Zauj. Seperti halnya „Ainain dan Rijlain (dua mata dan dua kaki). Masing-masing dari keduanya disebut Zaujan. Dan bila kedua-duanya disebut bersama-sama, maka disebut Zaujân. Sedang pada ayat ini disebutkan Azwâjan Tsalâtsah (tiga golongan).51 Adapun analisa penafsiran mengenai ketiga golongan yang dimaksud di dalam surat al-Wâqi‟ah adalah sebagai berikut: a. Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn Ayat 10 - 26 Surat al-Wâqi‟ah ayat 10 - 14.
ََََََََ “Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, mereka Itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” Al-Marâghî menafsirkan ayat ke 10 di atas bahwa orang-orang yang mendahului lainnya kepada ketaatan-ketaatan, merekalah yang bersegera kepada rahmat Allah SWT. Maka barang siapa yang bersegera di dunia ini untuk melakukan kebaikan, maka di akhirat ia tergolong orang-orang yang bersegera ke negeri kehormatan (surga). Jadi balasan itu sesuai dengan amal
51
Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, (Mesir:1973), Juz.27, h.133
41
perbuatan, sebagaimana seseorang memberi hutang, maka ia akan mendapat bayarannya.52 Diriwayatkan dari „Aisyah RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda;
َ،َع ْن َر ُس ْوِل َاهللِ َصلَّىَاهللَعلْي ِو َوسلَّم،ع ْن َعائِشة َر ِضي َاهللَُعْن ها ِ ِالساَبَُِق َو َنََإ َ:؟َقاَلُْوا َ َىلَظَ ِّلََاهللَعَّزَوج َّلََيَ َْومَََاْ َِلقيَ َام ِة ْ ََّ ََأَتَ َْدَُرَْو َنَ َم َِن:َقال ِ ِ ِ َََُسَئَِلََُْوه َ ُ َاَلَّ َذيَْ َن َإَ َذا َأَُ َْع َطُوا ََاْ َل ََّق َقَبَِلََُْو َاهُ َ َوإَ َذا:َ َقَال،اهللُ ََوَر َُس َْولََُوُ َأَ َْعلَ َُم 54 . أخرجوَأمحد53.اسََكَ ُحَ َْك َِم َِه َْمَلَنَْ َُف ِسَ َِه َْم َِ ََّاَلِلن َ بَ َذلََُْوهَََُو َح َك َُمَْو Dari „Aisyah RA. berkata, dari Rasulullah SAW. bersabda: “Tahukah kalian siapakah orang-orang yang segera menuju naungan Allah pada hari kiamat?” Para sahabat menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasul bersabda, “Orang-orang yang apabila diberi hak, maka mereka menerimanya, apabila mereka dimintai hak, maka mereka memberikannya. Dan mereka memberikan keputusan kepada orang lain seperti memberi keputusan untuk dirinya sendiri.”(Hadis Riwayat Ahmad). Kemudian ayat ke 11 dan 12 bahwa orang-orang yang mempunyai sifat mulia tersebut (As-Sâbiqûn), al-Marâghî menafsirkannya dengan orangorang yang mendapatkan pangkat di sisi Allah. Mereka berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dimana mereka menikmati kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah dilihat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati seorang manusia pun.55 Pada ayat 13 dan 14, al-Marâghî menafsirkan makna Tsullatun min al-awwalîn ( ) ثلّة من األولينdengan segolongan besar umat-umat terdahulu, dan menafsirkan makna wa qalîlun min al-âkhirîn ( ) وقلي ٌل من اآلخرينialah sedikit 52
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.134 Muhammad bin Abdullah al-Khatîb at-Tabrîzî, Musykâtul Mashâbih, kitâb al-imârah wa al-qadâ‟, Juz 2, Dârul Fikr.1991, h. 341 54 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.134 55 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.134 53
42
dari umat Muhammad SAW. Beliau (Rasulullah) merasa senang menerima hal ini dan menyatakan dengan sabdanya, “Kita adalah umat yang terakhir segera kepada kebaikan pada hari kiamat.”56 Surat al-Wâqi‟ah ayat 15 - 17.
ََ َ َ َ َ َ َ َ ََََ Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata, Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda” Makna al-maudûnah ( – ) الموضونةpada ayat 15 – dari kata al-wahnu, yang artinya menenun (menatahkan). Al-Marâghî menafsirkan ayat ini bahwa mereka para al-sâbiqûn, yakni orang-orang yang bersegera kepada kebaikan, mereka berada di atas dipan-dipan yang bertahtakan emas, berjalin dengan mutiara dan permata. Al-A‟sya ketika mensifati baju perang mengatakan: “Di antara baju perang itu ada yang bertahtakan emas dan mutiara (al-maudûnah). Ia berjalan menyertai kabilah itu kafilah demi kafilah.”57 Lalu ayat 16, al-Marâghî menafsirkan bahwa mereka para al-sâbiqûn sambil bertelekan pada dipan-dipan, mereka saling memandang antara satu dengan yang lain. Mereka berada dalam kejernihan dan penghidupan yang luas. Di samping pergaulan yang baik, dalam hati mereka tidak terdapat dendam maupun kebencian yang menyebabkan perpisahan.
56 57
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h. 136
43
Selanjutnya makna mukhalladûn ( – ) مخلدونpada ayat 17 – diartikan dengan dikekalkan selamanya pada sifat ini (sifat kekanakan). Al-Marâghî menafsirkannya ayat ini, bahwa mereka para al-sâbiqûn dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang sama sifatnya, yaitu tidak mengalami ketuaan dan perubahan. Mereka senantiasa pada sifat yang menggembirakan kepada yang dilayani apabila ia melihat kepada pelayannya.58 Surat al-Wâqi‟ah ayat 18 - 21
ََ ََََََََ َ ََ ََََََََ “Dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” Pada ayat 18, makna ka‟sin min ma‟în ( أس ِمنْ َم ِعيْن ٍ ) َكmenurut Ibnu Abbas dan Qatadah diartikan dengan arak yang mengalir dari sumbernya. Maksudnya bahwa arak itu bukan hasil perasan seperti halnya arak di dunia.59 Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa para pelayan itu berkeliling disekitar mereka (al-sâbiqûn) dengan alat minum yang sempurna, yang terdiri dari gelas-gelas dan kendi-kendi, serta khamr yang mengalir dari sumbersumbernya dan tidak perlu diperas lagi. Jadi khamr itu adalah khamr yang jernih, bersih tidak terputus buat selama-lamanya. Ketika meminumnya
58 59
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.135
44
mereka tidak akan hilang akal (mabuk) seperti halnya terjadi akibat meminum khamr di dunia.60 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Bahwa khamr di dunia memuat empat hal, yaitu mabuk, pening, muntah-muntah dan kencing. Allah SWT. membersihkan khamr surga dari hal-hal seperti itu semua.”61 Kemudian ayat 20 dan 21, al-Marâghî memberi penafsirannya bahwa para pelayan itu berkeliling dengan bermacam-macam buah-buahan yang beraneka ragam cita rasanya. Mereka para al-sâbiqûn boleh memilih di antaranya yang mereka sukai. Dan juga membawa bermacam-macam daging burung yang lezat dan enak. Mereka boleh mengambil di antaranya yang mereka sukai dan senangi. Surat al-Wâqi‟ah ayat 22 - 26
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ “Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, Laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang Telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, Akan tetapi mereka mendengar Ucapan salam.” Selanjutnya, makna hûrun ( – ) ح ُْو ٌرpada ayat 23 – merupakan bentuk jama‟ dari haura‟, yang artinya baida‟ (putih). Penafsiran Al-Marâghî pada ayat 22 dan 23 ialah bahwa mereka menikmati istri-istri yang putih cemerlang 60 61
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136
45
wajahnya tampak pada mereka kesegaran yang nikmat. Seolah-olah mereka adalah mutiara yang begitu jernih dan megah. Ayat 24 beliau tafsirkan bahwasanya Allah memberi balasan kepada mereka atas apa yang telah mereka lakukan, di samping memberi pahala kepada mereka atas apa yang telah mereka lakukan semasa di dunia, dan atas amal-amal soleh yang dengan itu mereka mensucikan jiwa mereka, juga atas apa yang mereka tegakan, berupa pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama dengan cara yang paling sempurna dan paling lengkap. Mereka adalah orangorang yang gemar melakukan salat malam dan saum di siang hari. Firman Allah SWT. dalam Surat Az-Zâriyât/15 ayat 17 - 19: “Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Kemudian ayat 25 - 26, beliau (al-Marâghî) menafsirkannya bahwa mereka para al-sâbiqûn tidak mendengar perkataan yang sia-sia yang tiada mengandung kebaikan dan tidak pula perkataan kotor maupun perkataan yang dirasa menjijikan oleh jiwa yang tinggi, yang mempunyai akhlak luhur. Akan tetapi mereka mendengar ucapan salam yang paling baik dan perkataan tinggi yang dirasa enak sebagaimana firman Allah SWT. di dalam al-Qurân surat Yunus ayat ke-10 yang artinya: “Salam penghormatan mereka ialah salam.”62
62
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.137
46
b. Ashâb Al-Yamîn Ayat 8, 27 - 40 Surat al-Wâqi‟ah ayat 8
ََََََ “Yaitu golongan kanan. alangkah mulianya golongan kanan itu.” Ayat 8 menjelaskan golongan yang kedua, yakni golongan kanan. Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa golongan kanan adalah yang mengambil buku-buku catatan mereka dengan tangan kanan mereka. Betapakah keadaan, sifat dan kebahagiaan mereka. Maksudnya, bahwa mereka berada dalam keadaan yang sangat baik dan sempurna.63 Surat al-Wâqi‟ah ayat 27 - 34
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََََ ََََََ ََََ “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), Dan naungan yang terbentang luas, Dan air yang tercurah, Dan buah-buahan yang banyak, Yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya. Dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.” Al-Marâghî menafsirkan ayat 27 ini, bahwa golongan kanan adalah mereka yang berada dalam puncak kemegahan dan berderajat tinggi, serta berkedudukan luhur.64 Uslub seperti ini terdapat dalam bahasa arab untuk memberi pengertian Mubalâghah (bersangatan dalam memuji ataupun
63 64
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.133 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.138
47
mengecam). Orang Arab mengatakan Fulan mâ fulan (si fulan, siapakah fulan itu?).65 Selanjutnya Allah SWT. menerangkan lebih lanjut tentang hal ihwal Ashâbu al-Yamîn yang tadi dinyatakan secara mubham. Ayat 28 sampai 33 ditafsirkan oleh al-Marâghî secara rinci bahwa mereka menikmati surga-surga yang di dalamnya terdapat pohon bidara yang tiada berduri lagi, tidak seperti pohon bidara liar di dunia. Di sana terdapat pohon pisang yang penuh dengan buah, sehingga tampaknya tidak mempunyai batang buah. Dan terdapat pula naungan rindang yang melindungi mereka dari sengatan panas dan deraan matahari. Kemudian terdapat air yang tercurah bagi penghuni surga agar tidak perlu bersusah payah memperolehnya. Ada pula di sana bermacam-macam buah-buahan yang tiada terputus buat selama-lamanya, dan tidak terlarang bagi mereka, kapan saja mereka menginginkan dan menghendakinya. Ayat 34, kata furusy ( ْ ) فُرُشditerjemahkan dengan kasur, yakni bentuk jama‟ dari firasy. Beliau menafsirkan ayat ini, bahwa mereka duduk di atas kasur-kasur empuk yang tersusun tinggi, tidak melelahkan orang yang duduk di atasnya.66 Surat al-Wâqi‟ah ayat 35 - 40
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََََََ “ Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung, Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. 65 66
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.138 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.139
48
Penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” Makna„uruban ( – ) ُع ُربًاpada ayat 37 – merupakan bentuk jama‟ dari „urub yang berarti penuh cinta. Al-Marâghî menafsirkan ayat 35 sampai 38 bahwa, sesungguhnya Allah telah menyediakan bidadari-bidadari itu sebagai wanita-wanita gadis, perawan yang dicintai oleh suami mereka. Karena mereka melayani suami mereka dengan baik. Mereka semua sebaya umurnya, yang satu tidak berbeda dari yang lain. Dan kami berikan bidadari-bidadari itu untuk golongan kanan (Ashâb al-Yamîn). Pada ayat 38 terjadi pengulangan kata Ashâb al-Yamîn ( ْن ِ ) ألَصْ َح ِ ب ْال َي ِمي yang artinya untuk golongan kanan. Menurut penafsiran al-Marâghî, penyebutan Ashâb al-Yamîn di sini diulangi sebagai penguat dan pernyataan, bahwa hal itu benar-benar akan terjadi (tahqîq).67 Lalu ayat 39 dan 40 menjelaskan bahwa Ashâb al-Yamîn adalah segolongan besar dari kaum mukminin dari umat terdahulu dan segolongan besar dari kaum mukminin umat Muhammad SAW. Kemudian al-Marâghî menambahkan bahwa Allah tidak menyatakan tentang Ashâb al-Yamîn itu Jazâ‟an bimâ kânû ya‟malûn, seperti halnya yang dikatakan tentang para Sâbiqûn pada ayat 24. Hal itu tak lain sebagai isyarat bahwa amal dari Ashâb al-Yamîn, belumlah apa-apa jika dibanding dengan amal para Sâbiqûn.68
67 68
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.139 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.139
49
c. Ashâb Al-Syimâl Ayat 9, 41 - 56 Surat al-Wâqi‟ah ayat 9
ََ َََ َ “Dan golongan kiri. alangkah sengsaranya golongan kiri itu.” Ayat 9 menjelaskan golongan yang ketiga, yakni golongan kiri. Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa golongan kiri adalah mereka yang diseret ke dalam neraka. “Bagaimanakah keadaan mereka?” Bentuk sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena bermaksud memberi gambaran, bahwa mereka mencapai keadaan yang paling buruk.69
Surat al-Wâqi‟ah ayat 41- 44
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ ََََََ “Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan( angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih, Dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.” Al-Marâghî menafsirkan ayat 41 yang serupa pertanyaan, menanyakan siapakah golongan kiri itu?. Maksudnya bahwa golongan kiri itu berada dalam keadaan yang tidak bisa digambarkan dan tidak bisa dikira-kira tentang kesengsaraan, penderitaan dan nasib mereka yang buruk. Namun kemudian Allah SWT. menafsirkan hal yang masih mubham ini dengan ayat 42 sampai 44. Penafsiran beliau (al-Marâghî) mengenai ayat ini, bahwa Ashâb al-Syimâl (golongan kiri) berada dalam panas yang menembus pori-pori tubuh, air yang amat panas, naungan dari asap hitam
69
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.133
50
yang tidak enak hembusannya dan tidak indah dipandang. Karena asap itu adalah asap dari kobaran neraka jahannam yang menyakitkan orang yang bernaung di bawahnya.70 Ibnu Jarir mengatakan: “Orang Arab senantiasa mengikutkan kata karim dalam kalimat negatif (manfi). Mereka mengatakan, Hâdza ta‟âmun lais bi Tayyibin wala Karîm (daging ini tidak gemuk dan tidak menyenangkan), Hâdzihi Dâr laisat Wâsi‟atin wala Karîmah (rumah ini tidak luas dan tidak menyenangkan(.”71 Allah SWT. menyebutkan al-Samûm dan al-Hamîm (panas neraka dan air panas). Sedangkan nerakanya itu sendiri tidak disebutkan, dengan tujuan menyatakan sesuatu yang lebih tinggi dengan cara menunjuk sesuatu yang lebih rendah. Yakni kalau udara bagi penghuni neraka itu saja sudah merupakan angin panas dan air yang mereka minta berupa air panas, padahal udara dan air adalah barang yang paling dingin dan paling bermanfaat. Maka bagaimana pendapat manusia tentang api bagi mereka. Jadi seolah Allah SWT. berfirman, “Sesungguhnya barang yang paling dingin bagi penghuni neraka adalah yang paling panas. Maka bagaimanakah pendapatmu tentang barang yang paling panas untuk mereka?” Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT.: “(Dikatakan kepada mereka pada hari kiamat(: „Pergilah kamu mendapat-kan azab yang dahulunya kamu mendustakannya. Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang72, Yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka‟. Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar 70
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.141 Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h. 141 72 Yang dimaksud dengan naungan di sini bukanlah naungan untuk berteduh akan tetapi asap api neraka yang mempunyai tiga gejolak, yaitu di kanan, di kiri dan di atas. Ini berarti bahwa azab itu mengepung orang-orang kafir dari segala penjuru. 71
51
dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (Q.S. Al-Mursalat/77: 29 - 34) Kesimpulannya, bahwa angin panas menerpa mereka, sehingga merasa haus dan kadang melahap isi perut mereka, lalu mereka meminum air panas yang merantaskan usus-usus mereka. Dan mereka ingin bernaung di bawah suatu naungan namun ternyata naungan itu berupa asap hitam. Surat al-Wâqi‟ah ayat 45 - 48
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََََ َََََ “Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar. Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah Sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (juga)?" Penjelasan ayat 45 sampai 48 di atas ditafsirkan oleh al-Marâghî bahwa mereka (Ashâb al-Syimâl) semasa di dunia adalah orang-orang yang diberi nikmat dengan bermacam-macam makanan, minuman, tempat tinggal yang enak dan tempat-tempat bermukim yang menyenangkan. Mereka tenggelam dalam menuruti syahwat. Sehingga tidaklah mengherankan bila mereka diazab dengan hal-hal yang berlawanan dengan nikmat-nikmat tersebut. Di samping itu, mereka dulu juga mengingkari hari ini. Mereka mengatakan: “Apakah bila kami mati kemudian menjadi tanah dan tulang
52
belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (juga(?”. Kesimpulannya bahwa dulu mereka (Ashâb al-Syimâl) mendapat sesuatu berupa kenikmatan-kenikmatan yang banyak dan karunia-karunia yang besar. Namun demikian mereka terus-terusan kafir dan tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada mereka. Sehingga mereka patut mendapat hukuman dari Allah. Dan dulu mereka juga mendustakan hari ini dengan menganggap tidak mungkin terjadi. Mereka tidak peduli apa pun, berkelana dalam lembah-lembah kesesatan dan berjalan di jalan yang menyimpang seolah tiada yang mengawasi dan tiada yang menghitung. Mereka menganggap hari kebangkitan ini tak mungkin terjadi dengan menyebutkan sebab-sebab berikut: 1. Hidup sesudah mati 2. Masa yang begitu lama sesudah kematian terjadi, sehingga dagingdaging telah menjadi tanah dan tulang-tulang telah hancur luluh. 3. Begitu ingkarnya mereka, sampai berkata dengan penuh keheranan, “Apakah bapak-bapak kami terdahulu pun dibangkitkan kembali?”73 Kemudian Al-Marâghî menafsirkan bahwa Allah SWT. menjawab semua ini dan menyuruh rasul-Nya agar menyampaikan jawaban tersebut kepada mereka pada ayat 49 dan 50.
73
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.142
53
َََََ ََ َََ “Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian, Benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.” Beliau menafsirkan ayat ini dengan ungkapan, Jawablah wahai rasul yang mulia, dengan mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya orang-orang yang
terdahulu
yang
kamu
anggap
tidak
mungkin
sejauh-jauhnya
dibangkitkan kembali, dan orang-orang yang kemudian yang kamu sangka juga takan dibangkitkan, Mereka benar-benar akan dikumpulkan disatu tanah lapang pada waktu tertentu pada hari yang dikenal. Dan tidak diragukan bahwa dikumpulkannya bilangan manusia yang tiada terhingga banyaknya itu lebih mengherankan lagi dari pada kebangkitan itu sendiri.74 Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT. yang artinya: “Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja, Maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.” (Q.S. an-Nazi‟at/79: 13 - 14) Surat al-Wâqi‟ah ayat 51- 56
َََ ََََََََ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََََ “Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, Benar-benar akan memakan pohon zaqqum, Dan akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta 74
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.143
54
yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan”. Kemudian al-Marâghî menafsirkan Ayat 51 sampai 55 dengan kalimat teguran kepada mereka (Ashâb al-Syimâl), Hai orang-orang yang sesat, yang terus melakukan dosa besar. Karena kamu tidak mengesakan Allah dan mendustakan hal-hal yang wajib diagungkan, lalu kamu mendustakan para Rasul Allah. Kamu mengingkarinya dan pembalasanlah pada hari ini. Sesungguhnya kamu benar-benar memakan pohon zaqqum. Lalu kamu memenuhi perutmu dengannya, lalu sesudah itu meminum air panas karena kamu sangat kehausan. Akan tetapi minuman itu adalah minuman yang tidak memuaskan orang yang kehausan. Oleh karena itu kamu meminum tanpa puas-puasnya. Seolah-olah kamu adalah unta yang ditimpa penyakit “kehausan” yang tiada terpuasi hausnya dengan meminum air.75 Dapat disumpulkan bahwa untuk menambah azab, maka mereka takan merasa puas dengan meminum air busuk lagi panas. Sehingga mereka takan berhenti meminumnya. Hal itu merupakan awal dan sebagian dari azab. Ditutup dengan penafsiran ayat 56 bahwa, pohon zaqqum yang dimakan ini dan air panas yang dimunum ini, adalah suguhan pertama yang disuguhkan kepada mereka, sebagaimana tamu yang disuguhi suguhan yang ada dihadapannya.
75
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, h.143
55
2. Penafsiran Quraish Shihab Surat al-Wâqi‟ah ayat 7
َََ “Dan kamu menjadi tiga golongan” Sebelum kepada penafsiran, Quraish Shihab menyatakan bahwa ayatayat yang lalu menjelaskan apa yang bakal terjadi saat kiamat menyangkut bumi tempat hunian manusia. Dan kini ayat-ayat di atas menjelaskan keadaan dan kelompok-kelompok penghuni bumi. Ia menyatakan ketika terjadi peristiwa itu semua wahai manusia akan memperoleh balasan dan ganjaran setimpal dan manusia seluruhnya terbagi menjadi tiga golongan.76 Diantaranya; a. Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn Ayat 10 – 26 Surat al-Wâqi‟ah ayat 10 - 14.
ََ َ َ َ َ َ َ ََََََََََ “Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka Itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian” Ayat di atas menguraikan kelompok pertama dari manusia, setelah ayat yang lalu menyebut dua kelompok. Ayat 10 seakan menyatakan; Dan kelompok ini adalah orang-orang yang mendahului mereka yang mukmin dalam segala bidang kebajikan, mereka itulah yang mendahului siapa pun
76
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h.545
56
memasuki surga dan meraih kenikmatan abadi. Selanjutnya ayat 11 sampai 14 ditafsirkan bahwa, mereka itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang merupakan orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Masing-masing mereka ditempatkan di dalam surga-surga na‟îm yakni yang penuh kenikmatan. Mereka para al-sâbiqûn adalah sekelompok besar dari umat terdahulu yang bersama Nabi mereka masing-masing dan sedikit dari umat yang kemudian yakni dari umat Nabi Muhammad SAW. Mereka kecil jika dibandingkan dengan jumlah umat Nabi Muhammad secara keseluruhan.77 Surat al-Wâqi‟ah ayat 15 - 21.
ََََََ َََ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََ َََ ََ َََ “Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata, Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, Dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” Ayat 15 sampai 19 ditafsirkan bahwa ayat di atas menggambarkan sekelumit dari nikmat atau keadaan mereka para al-sâbiqûn. Ia menyatakan: Mereka berada di atas dipan-dipan yang terakit dengan kukuh dan indah
77
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 547
57
berlapikan emas dan permata. Seraya bertelekan dengan santai di atasnya lagi berhadap-hadapan dengan mesra dan penuh kasih. Berkeliling yakni senantiasa berbolak balik guna melayani dan memenuhi permintaan mereka, pelayan-pelayan dalam bentuk remaja-remaja yang tetap muda belia tidak disentuh oleh ketuaan. Dengan membawa gelas kosong dan ceret-ceret penuh aneka minuman serta seloki yang berisi khamr surgawi yang diambil dari sumber yang mengalir dan tidak pernah habis-habisnya. Mereka tidak pening karena meminumnya
dan tidak pula mabuk kehilangan akal
dan
keseimbangan.78 Kemudian ayat 20 dan 21 menjelaskan makanan yang dihidangkan. Anak-anak muda yang menjadi pelayan-pelayan itu berkeliling membawakan aneka buah yang lezat dari apa yang mereka pilih sebelumnya. Lalu dihidangkan kepada mereka daging burung dari apa yang mereka inginkan dari jenis burung dan cara masakannya.79 Surat al-Wâqi‟ah ayat 22 - 26.
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ “Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, Laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang Telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, Akan tetapi mereka mendengar Ucapan salam.”
78 79
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 550 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 550-551
58
Selanjutnya, ayat 22 sampai 24 menyebut pendamping mereka. Karena kenikmatan baru dapat dikatakan sempurna begitu pula makan dan minum baru terasa lezat bila ada yang mendampinginya, maka Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas diyatakan bahwa: Di samping apa yang telah disebut sebelum ini, ada juga di dalam surga itu, pendamping-pendamping penghuninya yaitu wanita-wanita surgawi yang bermata indah; kebeningan dan kecemerlangan mata mereka laksana mutiara yang tersimpan baik sehingga tidak disentuh oleh sedikit kekeruhan pun. Dan itu semua sebagai balasan bagi apa yang telah mereka (al-sâbiqûn) kerjakan.80 Ayat 25 dan 26 – secara singkat – menafikan segala macam kekurangan yang boleh jadi terbayang dalam benak seseorang dengan menyatakan bahwa, mereka tidak mendengar di dalam surga itu perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi yang mereka dengar hanyalah ucapan – sikap dan perlakuan yang mengandung makna – salam yang disusul lagi secara bersinambung tanpa putus dengan salam sejahtera serupa.81 Pengulangan kata salâm di sini, bukan saja mengandung makna pengukuhan ucapan, tetapi juga mengisyaratkan terulang dari saat kesaat ucapan tersebut karena silih bergantinya anugrah Ilahi kepada mereka. Dan menurut Quraish Shihab, salam ini adalah salâm aktif yang bermakna anugerah dan kesejahteraan.
80 81
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 551 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 552
59
Salah satu cara memuji dalam bahasa Arab adalah mengungkapkan satu keistimewaan lalu mengecualikannya. Pengecualian biasanya bertolak belakang maknanya dengan yang disebut sebelumnya. Ini yang dinamai, ّ )تأكيد المدح بما يشبهta‟kîd al-madh bimâ yusybihu adz-dzam / menentukan (الذم pujian dengan gaya yang serupa dengan celaan. Ayat di atas menggunakan gaya tersebut. Setelah memuji dengan menafikan adanya lagw dan ta‟tsîm, ayat di atas menyebut kata „tetapi‟. Yang disebut sesudahnya bukannya celaan atau kekurangan, tetapi justru sesuatu yang sangat terpuji yakni salâm.82 b. Ashâb Al-Yamîn Ayat 8, 27 – 40 Surat al-Wâqi‟ah ayat 8.
ََََََ “Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.” Quraish Shihab memaknai kata al-maimanah serupa dengan kata al-yamîn / kanan. Ia terambil dari kata yumn yang berarti keberkatan. Sedangkan kata al-masy‟amah merupakan antonim dari kata al-maimanah. Arah kanan biasa digunakan sebagai isyarat tentang kebaikan dan kebahagiaan. Demikian banyak bahasa menggunakan istilah itu. Seperti juga dalam bahasa Indonesia ketika berkata langkah kanan yakni mujur dan untung. Maka ayat di atas ditafsirkan; yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu. Surat al-Wâqi‟ah ayat 27 - 34.
َََََ َ ََََ 82
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 553
60
ََََََََََ ََََََ ََََ “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), Dan naungan yang terbentang luas, Dan air yang tercurah, Dan buah-buahan yang banyak, Yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya. Dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.” Ayat-ayat di atas menguraikan kelompok penghuni surga yang kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lalu. Namun itu bukan berarti kenikmatan yang mereka raih tidak sempurna. Quraish Shihab menafsirkan ayat-ayat ini bahwa kelompok kedua adalah Ashâb al-Maimanah yaitu golongan kanan; alangkah bahagianya mereka. Tidak terbayang betapa kenikmatan yang diraih golongan kanan itu. Mereka berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang atau kurma yang buahnya bersusun-susun dengan indah dan menarik. Kemudian naungan yang terbentang luas sepanjang masa dan di seluruh tempat. Lalu air yang tercurah setiap diinginkan. Buah-buahan yang banyak jenis, rasa dan ragamnya, tidak putus-putusnya seperti halnya di dunia yang hanya ditemukan pada musim musim tertentu dan tidak juga terhalangi untuk mengambilnya. Kemudian kasur-kasur yang diangkat ke atas ranjang-ranjang tidur, atau bersusun satu dengan yang lain sehingga terasa empuk.83
83
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 554-555
61
Surat al-Wâqi‟ah ayat 35 - 40.
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََََََ “Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung, Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” Hubungan ayat di atas dengan uraian ayat-ayat yang lalu sangatlah jelas. Tetapi jika dipahami, kata furusy dalam arti kasur-kasur tempat pembaringan, maka untuk sementara ulama, ketika disebut hal tersebut muncul di dalam benak pertanyaan tentang siapa yang menjadi teman para penghuni surga pada kasur-kasur yang empuk itu. Nah, ayat di atas menjawab dengan menyatakan bahwa ada teman-teman yang menyertai mereka. Beliau menafsirkan ayat 35 sampai 40 bahwa Allah menciptakan mereka yakni wanita-wanita surgawi yang menjadi teman dan pasangan penghuni surga dengan penciptaan sempurn. Lalu Allah jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. Bentuk badannya satu dengan yang lain sebaya dengan pasangan-pasangan mereka. Mereka Allah ciptakan untuk golongan kanan (Ashâb al-Yamîn). Mereka itu sekelompok dari umat yang terdahulu, yang hidup pada masa para nabi yang lalu dan sekelompok besar pula dari umat yang kemudian yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW. serta generasi sesudah mereka.84
84
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 556
62
c. Ashâb Al-Syimâl Ayat 9, 41 – 56 Surat al-Wâqi‟ah ayat 9.
ََ َََ َ “Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.” Kata al-masy‟amah serupa dengan kata syimâl / kiri. Ia terambil dari kata syu‟m. Sedangkan kata al-maimanah terambil dari kata yumn yang berarti keberkatan. Kata yumn merupakan antonim dari kata syu‟m. Arah kiri biasa digunakan sebagai isyarat tentang kejahatan dan kesengsaraan. Demikian banyak bahasa menggunakan istilah itu. Seperti juga dalam bahasa Indonesia ketika berkata langkah kiri berarti yang sial atau serba salah. Maka ayat di atas ditafsirkan; yaitu golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Surat al-Wâqi‟ah ayat 41 - 44.
َََََََََ
َََ ََََََ “Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan( angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih, Dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.” Ayat-ayat ini menguraikan keadaan golongan manusia yang ketiga yakni penghuni neraka, setelah sebelumnya telah menguraikan kedua golongan penghuni surga. Quraish Shihab menafsirkan ayat 41 sampai 44 yang menyatakan bahwa kelompok ketiga yang akan hadir di hari kemudian, adalah Ashâb al-Masy‟amah yaitu golongan kiri; alangkah buruk dan ngeri apa yang dialami oleh golongan kiri itu. Mereka berada dalam wadah siksaan
63
berupa angin yang amat panas yang menembus pori-pori, air panas yang mendidih dan dalam naungan asap hitam yang panas dari hembusan neraka Jahannam. Tidak sejuk sehingga meringankan panasnya udara dan tidak menyenangkan bila dihirup.85 Surat al-Wâqi‟ah ayat 45 - 50.
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََََ ََ َ َ َ َ َ َ ََََََََ “Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar. Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah Sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (juga)?" Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian, Benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.” Selanjutnya ayat 45 sampai 50 menjelaskan beberapa sebab utama dari siksa tersebut. Beliau (Quraish) menafsirkan ayat tersebut bahwa, secara mendarah daging sebelum siksa menimpa mereka, yakni ketika masih di dunia ini, mereka hidup berlebih-lebihan atau berfoya-foya. Angkuh sambil melupakan Allah Pemberi nikmat dan mengabaikan tuntunan-Nya. Di samping itu mereka juga terus-menerus bersikeras mengerjakan dosa yang besar. Dan mereka juga mengingkari keniscayaan kiamat serta senantiasa dari 85
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 558
64
saat kesaat mengatakan; “Apakah apabila kami telah mati dan kelak menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu, juga akan dibangkitkan?” Padahal keadaan mereka jauh lebih mustahil dari kebangkitan kami. Karena pastilah setelah sekian lama mereka mati, tulang belulang mereka telah punah dan tidak ada bekas-bekasnya lagi. Kemudian Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk menjawabnya pada ayat 49 dan 50 bahwa, “Katakanlah kepada mereka dan yang semacam mereka bahwa tidak ada bedanya di sisi Allah dalam hal membangkitkan manusia, tidak ada yang sulit dan lebih sulit baginya. Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu mati dan yang kamu kira lebih sulit dibangkitkan dan orang-orang yang mati kemudian – termasuk kamu – benar-benar akan sama-sama dan bersamaan dikumpulkan dengan sangat mudah di waktu dan tempat tertentu pada hari yang ditentukan oleh Allah SWT.”86 Surat al-Wâqi‟ah ayat 51 - 56.
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََََ َ “Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, Benar-benar akan memakan pohon zaqqum, Dan akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan 86
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13,h. 560
65
meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan". Ayat 51 sampai 55 diuraikan bahwa siksaan yang akan dialami para pendurhaka dengan menjelaskan sebab utamanya. Quraish Shihab menafsirkan bahwa mereka (Ashâb al-Syimâl) orang-orang sesat, yang tidak bahkan enggan mengikuti jalan yang benar lagi para pengingkar kebenaran. Benarbenar mereka semua pasti akan memakan makanan yang diambil dari pohon zaqqûm. Yaitu pohon yang sangat buruk bentuk, rasa dan aromanya serta yang akarnya tumbuh di jurang neraka. Kemudian mereka juga secara mantap tetapi terpaksa akibat lapar yang mereka derita pasti memenuhi perutnya dengan memakan pohon itu. Mereka pun akan meminum air yang sangat panas dan yang tidak menghilangkan dahaga. Meminumnya dengan sangat banyak seperti unta yang sangat haus. Namun demikian dahaganya tidak juga hilang.87 Setelah lengkap apa yang harus disampaikan oleh Nabi SAW. kepada para pendurhaka itu, ditutuplah dengan ayat 56 bahwa, inilah aneka siksa yang disebut itu merupakan hidangan selamat datang untuk mereka pada hari Pembalasan dan tentu saja hidangan pokoknya jauh lebih buruk dari itu.”88
87 88
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 561-562 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 562
BAB III ANALISA PERBANDINGAN DAN IMPLIKASINYA
A. Pengertian Umum Ayat 7 - 56 1. Persamaan Dan Perbedaan Ada benang merah yang dapat ditarik diantara keduanya, baik itu penafsiran Al-Marâghî maupun penafsiran Quraish Shihab, yaitu bahwa kajian fenomenal tentang surat al-Wâqi‟ah mengenai tiga golongan manusia ketika hari kiamat merupakan bahan wacana yang seharusnya menjadi kajian yang urgen dalam setiap rentan waktu yang tak terbatas. Selain menambah kamajemukan berpikir juga merupakan wadah setiap manusia untuk meningkatkan setiap detik kesadaran religinya dan meningkatkan kepada mereka bahwa kiamat itu semakin dekat. Penafsiran surat al-Wâqi‟ah yang menggambarkan tentang tiga golongan ini, di antara keduanya – baik penafsiran al-Marâghî maupun Quraish Shihab – tidak jauh berbeda secara global, bahwa Allah SWT. merendahkan suatu kaum dan mengangkat derajat kaum yang lain. Dan bumi ketika itu bergoncang sehingga gunung-gunung dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya roboh. Kemudian gunung-gunung berhamburan seperti debu yang berhamburan di udara. Lalu manusia di waktu itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri, dan orang-orang yang bersegera kepada kebaikan. Kemudian di ikuti dengan penjelasan rinci tentang
66
67
kenikmatan dan siksaan yang sesuai dengan kadar kesalehan dan kekafiran masing-masing golongan. Adapun perbedaannya itu hanya terdapat dari segi penafsiran dan keterangan redaksi pada sebagian ayat-ayat tertentu saja, tetapi tidak jauh berbeda secara maksud dan tujuannya. Perbedaan latar belakang juga berpengaruh terhadap penafsiran di antara keduanya, sehingga penulis perlu menggarisbawahi setidaknya ada enam perbedaan maupun persamaan penafsiran perihal tiga golongan manusia ini sebagai berikut; Pertama, Makna Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn pada ayat 10 dalam surat al-Wâqi‟ah, al-Marâghî menafsirkannya dengan orang-orang yang mempunyai pangkat dan kemuliaan di sisi Tuhan mereka. Dengan penegasan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendahului lainnya kepada ketaatan atau bersegera untuk melakukan kebaikan selama di dunia.1 Sedangkan Quraish Shihab hanya sedikit berbeda dari redaksi penafsir sebelumnya. Dalam memahami ayat tersebut, beliau (Quraish) menafsirkan kata Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn yang disebutkan dua kali dengan memisahkan makna keduanya. Kata Al-Sâbiqûn yang pertama adalah mereka yang bergegas dalam melaksanakan kebajikan. Sedangkan makna Al-Sâbiqûn yang kedua adalah mereka yang mendahului yang lain masuk ke surga.2 Menurut penulis, berkenaan dengan kedua penafsiran tersebut bila disatukan maknanya bahwa Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn adalah golongan yang paling dulu sampai di hadapan Allah SWT. Mereka inilah yang paling khusus, 1
Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir:1973), Juz.27, h.131 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân, (Jakarta :Lentera Hati, 2000), cet. Ke-1, Vol.13, h.548 2
68
lebih terhormat, dan lebih dekat daripada orang-orang yang berada di sebelah kanan yang merupakan pemuka mereka semua. Sebab di antara mereka adalah para Rasul, para Nabi, orang-orang yang benar (al-Siddîqûn), dan para Syuhada yang jumlahnya lebih sedikit dari Ashâb al-Yamîn. Merujuk kepada sabda Rasulullah SAW. mengenai kriteria orang-orang yang paling dulu sampai kepada naungan Allah pada hari Kiamat kelak adalah mereka yang jika diberi kebenaran, mereka segera menyambutnya, dan jika diminta, mereka segera memberikannya, serta memberikan keputusan kepada orang lain layaknya memberi keputusan untuk diri mereka sendiri. Kedua, pada ayat 13 dan 14, al-Marâghî menafsirkan makna Tsullah min al-awwalîn dengan segolongan besar umat-umat terdahulu, dan makna wa qalîl min al-âkhirîn ialah sedikit dari umat Muhammad SAW. Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan uraian, bahwa orang-orang yang mendahului siapa pun memasuki surga adalah mereka sekelompok besar dari umat yang terdahulu bersama Nabi mereka masing-masing, dan sedikit dari umat yang kemudian dari umat Nabi Muhammad SAW. Sedikit penulis mengambil referensi penafsiran di luar kedua mufassir di atas, dari kitab Lubâb al-Tafsîr min Ibn Katsîr.3 Setidaknya bisa dijadikan perbandingan dalam memahami ayat ini. Allah berfirman seraya menjelaskan tentang orang-orang yang paling dulu masuk Surga dan didekatkan kepadaNya, bahwa mereka adalah sekelompok besar dari orang-orang terdahulu dan sebagian kecil dari orang-orang yang hidup terakhir. Para ulama telah berbeda 3
„Abdullah bin Muhmmad Alu Syaikh, Lubâb al-Tafsîr min Ibni Katsîr, trjmh. M.Abdul Ghoffar, (Bogor:Pustaka Imam Syafi‟i(, 2007, Cet.Ke-4, jld.8, h.7
69
pendapat tentang maksud firman Allah : األوليهdan اآلخريه. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan األوليهadalah umat-umat terdahulu, dan اآلخريهadalah umat yang ada sekarang ini. Pendapat kedua lebih kuat mengenai hal di atas, bahwa yang dimaksud dengan firman Allah “ ثلّة من األولينSegolongan besar dari orang-orang yang terdahulu.” adalah generasi pertama dari umat ini. Kemudian وقلي ٌل من اآلخرين “Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian,” adalah dari kalangan umat ini juga.4 Penulis berpendapat bahwa ayat tersebut bersifat umum meliputi seluruh umat – umat-umat terdahulu maupun umat Nabi Muhammad SAW. –, yang masing-masing mempunyai kedudukan tersediri. Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang pertama dari suatu umat selalu lebih baik dari pada mereka yang terakhir dari umat yang sama. Berpegang kepada sabda Rasulullah SAW.:
ََالس َّما ُن َ ِحدَّث ِ ِْن َاْلس ُن َبْ ُن َعلِ ٍّي َاْلُْلو َّ َحدَّث ناَأ ْزىُر َبْ ُن َس ْعد:اني ِ ِ ََِّب ِّ َِع ْن َعْبد َاهللَع ِن َالن،َع ْن َعُب ْيدة،َع ْن َإِبْراىْيم،ع ْن َابْ ِن َع ْون َََّ ُُث،ََ ُُثََّالَّ ِذيْنَي لُ ْون ُه ْم،ن َْ َِّاسَق ْر َِ َخْي ُرَاْلن:َصلَّىَاهللَُعلْي ِوَوسلَّمَقال ِ َ...َ5م َإىلَآخ ِرَاْل ِديْث َْ الَّ ِذيْنَي لُ ْون ُه
al-Hasan bin „Ali al-Hulwâniy berkata: Azhar bin Sa‟ad al-Sammân dari Ibn „Aun berkata, dari Ibrâhîm, dari „Ubaidah, dari Abdillâh dari Nabi SAW. Bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah kurunku, kemudian kurun setelahnya, dan kemudian kurun setelahnya”. Sampai hadis selengkapnya.
4
Alu Syaikh, Lubâb al-Tafsîr min Ibni Katsîr, jld.8, h.7 Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûry, Sahih Muslim, fadâ‟il al-Sahâbah, Riyâd: Dâr al-Salâm,1998, hadis ke-6472, h. 1111 5
70
Dan umat ini merupakan umat yang paling baik seperti yang ditegaskan didalam nas Al-Qur‟an, sehingga sangat jauh sekali jika yang dimaksud dengan orang-orang yang didekatkan oleh Allah itu sebagian besar bukan dari umat Muhammad ini. Kecuali jika yang dimaksudkan itu adalah perbandingan antara umat terdahulu dengan umat ini. Yang jelas, bahwa orang-orang yang didekatkan dari umat ini lebih banyak daripada umat-umat sebelumnya. Ketiga, makna Al-Maimanah pada ayat 8, secara bahasa al-Marâghî menafsirkannya dengan “sebelah kanan”. Dengan penjelasan bahwa golongan kanan adalah yang mengambil buku catatan amal ibadahnya selama di dunia dengan tangan kanan mereka, dalam keadaan bahagia seraya berada dalam kondisi yang sangat baik dan sempurna.6 Namun Quraish Shihab dalam menafsirkan kata ) (الميمنةal-Maimanah itu serupa dengan kata ) (اليمينal-Yamîn yakni kanan. Ia terambil dari kata ) (يمنYumn yang berarti keberkatan. Dengan keterangan selanjutnya bahwa arah kanan biasa digunakan sebagai isyarat tentang kebaikan dan kebahagiaan.7 Keempat, al-Marâghî dalam menafsirkan makna Ashâb Al-Yamîn pada ayat 27 dengan keterangan, bahwa golongan kanan adalah mereka yang berada dalam puncak kemegahan dan derajat tinggi, serta berkedudukan luhur.8 Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan uraian, bahwa kelompok ini merupakan penghuni surga yang kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lalu (Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn). Namun, itu bukan berarti kenikmatan yang mereka raih tidak sempurna. 6
Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h.131 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, h.546 8 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h.139 7
71
Dengan penekanan ayat Mâ Ashâb Al-Yamîn yakni alangkah bahagianya mereka itu, tidak terbayang betapa kenikmatan yang diraih oleh golongan kanan.”9 Kelima, al-Marâghî menafsirkan makna Al-Masy‟amah pada ayat 9 secara bahasa adalah sebelah kiri. Kemudian dalam menafsirkan Ashâb al-Masy‟amah pada ayat ini sebagai golongan yang diseret ke kiri masuk ke neraka, dengan keterangan, bahwa mereka mencapai keadaan yang paling buruk. Sedangkan dalam tafsir al-Misbâh, kata ) (المشأمةal-Masy‟amah terambil dari kata ) (شؤمSyu‟um yang merupakan antonim dari Yumn. Arah kiri biasa digunakan sebagai isyarat tentang kesialan dan kesengsaraan. Gaya pertanyaan yang diajukan di atas serta pengulangannya pada masing-masing kelompok (antara Ashâb al-Maimanah dan Ashab al-Masy‟amah) mengandung isyarat tentang kedudukan mereka yang sangat mengagumkan bagi kelompok kanan dan memprihatinkan bagi kelompok kiri.10 Keenam, Mustafa al-Marâghî dalam menafsirkan Ashâb Al-Syimâl pada ayat 41 bahwa golongan kiri itu berada dalam keadaan yang tidak bisa digambarkan dan tidak bisa dikira-kira tentang kesengsaraan, penderitaan dan nasib mereka yang buruk.11 Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan uraian, bahwa kelompok ketiga yang akan hadir di hari kemudian adalah golongan kiri dalam keadaan sangat buruk dan mengerikan apa yang dialami oleh golongan itu.12
9
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, h.554 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v.13, h.546 11 Mustafa Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz.27, h.141 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, h.558 10
72
Penulis perlu menggaris bawahi bahwa pada ayat yang menjelaskan antara Ashâb al-Yamîn dan Ashâb al-Syimâl, dari segi maksud keadaan kedua golongan ini. Antara kedua penafsir itu tidak jauh berbeda, hanya saja yang membedakan adalah dari segi redaksi penafsiran. Menurut al-Marâghî, bagi Ashâb al-Yamîn, mereka akan menerima catatan (buku) amalnya dengan tangan kanannya. Dan akan pada saatnya nanti mereka akan dikumpulkan bersama kaum yang berada di barisan kanan, yakni kedalam Surga. Sedang bagi Ashâb al-Syimâl adalah sebaliknya. Dan menurut Quraish Shihab, kedua golongan ini berada pada golongannya masing-masing. Bagi Ashâb al-Yamîn adalah keberkatan dan kenikmatan yang mereka raih. Dan bagi Ashâb al-Syimâl adalah kesengsaraan dan penderitaan yang mereka peroleh. 2. Balasan Bagi Ketiga Golongan Bagi golongan pertama, secara umum bahwa ayat 10 sampai dengan ayat 26 memberi pengertian bahwa Allah SWT. menerangkan keberadaan penghuni surga dari al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn adalah segolongan dari umat-umat terdahulu yang beriman dan segolongan kecil dari umat kemudian. Maka Ganjaran yang mereka raih adalah surga yang berisi tempat tidur yang bertahtakan emas permata, dengan penghuni yang cantik jelita yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik. Meraih minuman dan makanan, juga buah-buahan dan daging-daging burung yang rasanya lezat, dengan pelayanpelayan surganya adalah anak-anak muda yang tidak berubah, yang menyenangkan bila dipandang. Dan di dalamnya tidak terdengar kata-kata
73
yang tidak layak diucapkan oleh orang-orang baik yang mempunyai akhlak tinggi dan perasaan yang halus. Selanjutnya, bagi golongan kedua secara umum bahwa ayat 27 sampai dengan ayat 40 mengenai Ashâb Al-Yamîn, memberi pengertian bahwa Allah menerangkan keberadaan mereka nanti di dalam surga yang ditumbuhi pohon bidara yang tidak berduri dan pohon pisang yang tersusun buahnya. Satu di atas yang lain dengan buah-buahan yang banyak. Tidak pernah berhenti berbuah untuk selama-lamanya, dan tidak terlarang bagi mereka kapan saja mereka menghendaki. Di dalam surga juga terdapat kasur-kasur yang empuk dan tersusun tinggi, di samping bidadari yang cantik yang masih perawan, penuh dengan rasa cinta lagi sebaya umurnya. Dalam ayat lain terdapat gambaran kenikmatan yang di peroleh para penghuni Surga.13
“Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, Yaitu buah-buahan. dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, Di dalam surgasurga yang penuh nikmat. Di atas tahta-tahta kebesaran berhadaphadapan. Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari 13
h.623
Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta:PT.Rineka Cipta,1992, cet.1, Jld.II,
74
sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya. Di sisi mereka ada bidadaribidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, Seakanakan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik. Lalu sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain sambil bercakap-cakap.” (Q.S. Al-Saffat/37:41 - 50) Dan terakhir adalah golongan ketiga, secara umum bahwa ayat 41 sampai dengan ayat 56 mengenai Ashâb al-Syimâl, memberi pengertian bahwa Allah menerangkan bencana dan kesengsaraan, serta keadaan buruk yang diterimanya. Golongan ini terbakar dalam panas neraka, meminum air panas bagaikan kotoran minyak yang membakar wajah. Makanan mereka adalah berupa pohon zaqqum, yang memenuhi perut mereka. Kemudian mereka akan meminum air tanpa ada puas-puasnya, bagai unta yang kehausan. Ini adalah penghormatan dan suguhan terbaik yang Allah sediakan untuk mereka pada hari tersebut. Perihal Zaqqum atau makan penghuni neraka pada ayat 52 dari surat al-Wâqi‟ah, juga termaktub dalam al-Qur‟ân surat al-Dukhân yang berbunyi;
“Sesungguhnya pohon zaqqum itu, Makanan orang yang banyak berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, Seperti mendidihnya air yang amat panas. Peganglah dia Kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka. Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari( air yang amat panas.” (Q.S. Al-Dukhân/44:43 - 48)
75
Dalam Al-Qur‟ân disebutkan, bahwa Zaqqum itu makanan orang berdosa yang menjadi isi neraka. Urat pohon Zaqqum itu dalam neraka, buahnya bagai kepala syaitan (ular). Zaqqum dimakan oleh isi neraka sepenuh perutnya dan dalam perut mendidih bagai hancuran tembaga. Sesudah itu orang yang memakan buah Zaqqum diberi minuman dengan air yang mendidih dan tetap menderita pembakaran api neraka.14 Dari analisa ayat di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa orang yang memakan buah Zaqqum, meminum air yang sedang mendidih dan menggelegak dalam perut bagai hancuran tembaga, itu semua disebutkan dalam Al-Qur‟ân untuk membuat perbandingan. Mana yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang mendiami surga kesenangan, memperoleh rezeki yang mudah diterima, buah-buahan segala rupa, mendapat kehormatan dan pelayanan yang amat baik. Diam dalam taman kesenangan, duduk di atas kursi kebesaran, berhadapan satu sama lain. Disuguhi minuman yang lezat cita rasanya, anggur yang tiada menimbulkan mabuk, pening atau sakit kepala. B. Implikasi Penafsiran (Ayat 7 - 56 ) Dalam Kehidupan Di Masyarakat Dalam skripsi ini, sengaja penulis sajikan beberapa pesan moral maupun implikasi yang ada dalam kehidupan di masyarakat. Pertama, keterangan kedua mufassir – Ahmad Mustafa al-Marâghî dan M. Quraish Shihab – tentang tiga golongan manusia dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 memberikan penjelasan, bahwa ayat-ayat tersebut termasuk bagian dari petunjuk Allah SWT. untuk manusia agar mempersiapkan perihal 14
h.621-622
Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta:PT.Rineka Cipta,1992, cet.1, Jld.II,
76
kejadian di hari kemudian. mengenai perintah, larangan, ancaman dan balasan. Pada firman-Nya (“ (والسببقون السببقونDan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga(,” Al-„Auza‟i menceritakan dari „Utsman bin Abi Saudah, bahwa ia pernah membaca ayat ini, ( أولئك المقرّبون،“ (والسببقون السببقونDan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga), mereka itulah yang didekatkan (kepada Allah(”. Kemudian ia mengatakan, “Yakni, orang-orang yang pertama kali pergi ke masjid dan orang-orang yang pertama kali pergi (berjuang( di jalan Allah.”15 Mereka itu adalah orang-orang yang menunaikan kewajibannya mematuhi perintah Allah dan menjauhkan diri dari laranganlarangan-Nya. Mereka bangun tengah malam melakukan salat, memuji, berdzikir, merenungkan kebesaran Allah, dan memohon ampunan-Nya, serta berpuasa pada siang harinya. Semua pendapat dan ungkapan di atas adalah Sahih, karena yang dimaksud dengan al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn adalah orangorang yang bersegera untuk berbuat kebaikan seperti yang telah diperintahkan kepada mereka. Kemudian, Ashâb al-Yamîn dan Ashâb al-Syimâl, kedua golongan ini merupakan sebuah pilihan bagi setiap manusia. Mau mengikuti jejak kebaikan para Ashâb al-Yamîn. Mereka adalah orang-orang yang suka berbuat baik, sebagaimana yang dikatakan oleh Maimun bin Mihran16 bahwa kedudukan Ashâb al-Yamîn itu berada di bawah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Atau justru jauh dari rahmat Allah dengan sebab lalai dari 15
„Abdullah bin Muhmmad Alu Syaikh, Lubâb al-Tafsîr min Ibni Katsîr, jld.8, h.5 Maimun bin Mihran al-Jazariy adalah golongan tabi‟in yang lahir di kufah tahun 40 H. dan wafat tahun 117 H. Beliau dikenal dengan nama Abu Ayub al-Râqy. 16
77
kewajiban seperti para Ashâb al-Syimâl. Mereka semasa di dunia adalah orang-orang yang berkemewahan, yang tenggelam dalam dosa-dosa. Mereka mengingkari hari ini (hari pembalasan). Dan jika mereka mati itu termasuk golongan para pembohong dan pengingkar kebenaran. Semoga semua umat Islam terhindar dari hal-hal yang demikian. Kedua, perihal surat al-Wâqi‟ah dikenal di kalangan masyarakat dari dulu hingga kini sebagai suatu surat yang memiliki nilai fadilah tersendiri bagi yang membacanya. Sebab dipercaya sebagai amalan wirid dengan harapan fadilah dimurahkannya rizki. Dalam hal ini, mengunggulkan beberapa surat tertentu dalam Al-Qur‟an bukan lah hal yang baru didengar di masyarakat. Bersandarkan kepada sabda Rasulullah SAW. yang sering disampaikan oleh kalangan guru agama maupun asâtidz kepada masyarakatnya, bahwa surat Yâsîn, al-Rahmân, al-Mulk dan termasuk salah satunya ialah surat al-Wâqi‟ah yang merupakan sebagian dari surat-surat yang memiliki keutamaan. Pengalaman penulis semasa bermukim di Madrasah Islamiyah Tangerang, kegiatan rutinitas yang biasa dilaksanakan para santri dan masyarakat sekitar bahwa setelah salat dzuhur itu disambung dengan pembacaan surat al-Mulk secara berjama‟ah. Dengan harapan fadilahnya kelak terhindar dari siksa kubur dan api neraka. Kemudian setelah salat „ashr disambung dengan membaca surat al-Wâqi‟ah, dengan harapan fadilahnya kelak dimudahkan dalam urusan rizki. Termasuk di daerah tempat penulis tinggal, bahwa pada setiap malam jumat, kegiatan rutinitas di Masjid-masjid masih berkumandang hingga kini pembacaan surat Yâsîn berikut Dzikirnya.
78
Dengan harapan bahwa fadilah surat tersebut kelak pada setiap hurufnya menjadi cahaya di hari kemudian serta menerima catatan amalannya dengan tangan kanan. Kritikan penulis terhadap pernyataan di atas, bahwa sebagai umat Islam, agar seharusnya selalu berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur‟ân. Serta membacanya dan berusaha mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan, dengan tanpa mengesampingkan ayat-ayat yang lain dari sekian banyak surat. Sebab, Al-Qur‟ân seluruhnya adalah Kalam Allah SWT. yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, yang mana membaca dan mempelajarinya adalah bernilai ibadah. Ketiga, adapun hikmah yang dapat dipetik dari kandungan ayat-ayat dalam surat al-Wâqi‟ah ialah senantiasa kajian ini menjadi motivasi dalam beribadah, berbuat kebajikan, serta amalan-amalan saleh lainnya dengan semata-mata hanya mengharap keridaan Allah SWT. Karena setiap umat seluruhnya berharap sekali untuk menjadi golongan al-Sâbiqûn, yang bersegera masuk ke dalam surga. Tentunya dengan bersegera berbuat kebajikan sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟ân, Karena ia merupakan sumber utama ajaran Islam yang memiliki autentisitas yang tak terbantahkan.17 Dengan tidak menjadikannya sebagai barang antik yang harus disakralkan, tetapi bagaimana Al-Qur‟ân itu secara kultural dapat dihayati, dan secara
17
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.2002), Jld.1, h.143
79
sosiologis ajaran-ajarannya dapat diamalkan.18 Sebagaimana petunjuk AlQur‟ân serta kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW., telah mampu mengubah segi negatif adat-istiadat masyarakat jahiliyah tersebut, dalam waktu yang sangat singkat sehingga pada akhir generasi mereka itu berubah dan dinilai sebagai khairul qurn (sebaik-baik generasi).19 Namun, sekiranya upaya yang dilakukan dalam beribadah masih jauh dari kategori golongan Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn, kemungkinan adanya harapan – penulis pada khususnya, seluruh umat Muslim pada umumnya – agar bisa tergolong sebagai Ashâb al-Yamîn. Semoga kajian ini senantiasa bermanfaat, juga menjadi pelajaran bagi mereka yang mau untuk mengamalkan isi kandungan Al-Qur‟ân, serta peringatan bagi mereka yang senantiasa masih bergelimang dosa.
18
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur‟an, (Jakarta:Penamadani.2005), Cet: Ke-3, h.41 19 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an, h.81-82
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari bab ke bab, mengenai tiga golongan manusia ketika hari Kiamat dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 menurut analisa perbandingan antara tafsir Al-Marâghî karya dari Ahmad Mustafa al-Marâghî dengan tafsir Al-Misbâh Karya M. Quraish Shihab, maka penulis menyimpulkan bahwa penjabaran mengenai hal-hal di atas sebagai berikut; Persamaan antara kedua mufassir dalam memahami ayat-ayat ini adalah pada penekanan aspek pelajaran atau pesan yang terkandung dalam kisah tersebut. Jadi, yang perlu digali adalah pesan yang ingin Allah sampaikan melalui kisah ini, bukan pada persoalan waktu kejadiannya, serta mengetahui tentang tiga golongan itu. Menurut analisa penulis, melihat dari uraian penafsiran al-Marâghî dalam menjelaskan beberapa ayat pada surat al-Wâqi‟ah berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun secara lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok dari surat ini, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial yang sejalan dengan perkembangan masyarakat, dan ini adalah bentuk corak penafsiran Adabi Ijtima‟i. Berbeda sedikit dengan Quraish Shihab yang menjelaskan ayat demi ayat secara berurutan, serta memahami bahasa ayat
80
81
dari segi asal kosa kata itu. Lalu memisahkan terjemahan makna al-Qurân dengan sisipan penafsiran. Perbedaan yang menonjol dari analisa penulis antara kedua mufassir dalam menafsirkan surat al-Wâqi‟ah ayat 7-56 ialah ketika menafsirkan dua perkara. Pertama, dalam memahami makna ketiga golongan manusia yakni, Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl, al-Marâghî menafsirkannya secara lugas dan menekankan tujuan pokok sesuai dengan wawasan keilmuan beliau. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkannya sesuai dengan asal kosa kata ayat tersebut dengan menjelaskan beberapa ayat itu agar sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kedua, al-Marâghî menafsirkan makna Tsullah min al-awwalîn dengan segolongan besar umat-umat terdahulu, dan makna wa qalîl min al-âkhirîn ialah sedikit dari umat Muhammad SAW. Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan mereka sekelompok besar dari umat yang terdahulu bersama Nabi mereka masing-masing, dan sedikit dari umat yang kemudian dari umat Nabi Muhammad SAW. Adapun implikasinya dalam kehidupan dimasyarakat, ialah ketika sebagian ulama menyampaikan fadilah (keutamaan) beberapa surat dalam Al-Qur‟ân, bahwa dengan membacanya setiap saat serta menjadikannya sebagai wiridan tetap, kepercayaan itulah yang mereka jalankan. Dan itu diyakini sebagai keutamaan yang final. Bila dibandingkan dengan memahami isi kandungan serta mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat, itu jauh lebih memilki nilai keutamaan yang tak terhingga.
82
B. Saran-saran 1. Dalam al-Qur‟an mengandung 114 surat. Maka, jangan hanya terfokus pada satu surat saja, seperti surat al-Wâqi‟ah yang menjadi tumpun kebanyakan masyarakat Muslim dalam mengamalkan bacaan dan memetik fadilahnya. Tapi yang perlu diingat bahwa semua surat yang ada dalam al-Qur‟ân itu perlu dibaca, dipahami, dihayati dan diamalkan seluruhnya dalam kehidupan di masyarakat. Agar senantiasa menjadi petunjuk yang mampu menyelamatkan setiap insan, baik di dunia dan terlebih di akhirat. 2. Dalam Al-Qur‟ân terdapat banyak kisah yang diceritakan oleh Allah. Tujuan utama dari kisah yang terdapat di dalamnya adalah agar manusia dapat mengambil pelajaran, karena kisah-kisah tersebut sarat dengan petunjuk. Oleh karena itu penelitian terhadap kisah yang terdapat dalam al-Qur‟ân harus diambil perhatian supaya pelajaran yang terkandung di dalamnya dapat dipetik. 3. Kepada peneliti yang tertarik untuk membahas tentang kisah ini, agar bisa membahas lebih lengkap dan dalam lagi, karena dalam penelitian ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. 4. Penelitian terhadap tokoh Ahmad Mustafa al-Marâghi dan M. Quraish Shihab sudah banyak dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan diteliti. Oleh karena itu, peneliti sarankan supaya pengkaji tafsir al-Qur‟ân semakin mengembangkan kajiannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam dan menjadikan al-Qur‟ân semakin praktis dan mudah dipahami bagi para pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.2002, Jld.1
Akram, Ahmad, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992, Cet. Ke-2 Âlu Syaikh, Abdullah bin Muhammad, Lubâbu al-Tafsîr min Ibni Katsîr, penterjemah. M. Abdul Ghoffar E.M Dkk., (Bogor:PUSTAKA IMAM SYAFI‟I(, 2007, cet.ke-4, jld.8 Anwar, Hamdani, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.2, 2002 Asrofuddin, Ahsin Muhammad, Corak dan Metode Tafsir Yang Perlu Dikembangkan; Makalah Pada Seminar Pengembangan dan Pengajaran Tafsir di Perguruan Tinggi Agama, Ciputat: Perpustakaan IAIN Jakarta, 1992
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jakarta: t.p., 1993, Jld. 2 Dewan Redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996, Jilid 2 Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, t.p. 1986, Cet.Ke-2, jilid 2 Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA,1992, cet.1, Jld.II Al-Farmawî, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Mauduî; suatu pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. Ke-2
83
84
Fiderspiel, Howard M., Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-1 Ghazali, Muhammad. Tafsir Tematik dalam al-Qur‟an. Jakarta: Gaya Media, 2004 Al-Hindi, Ibn Hisân Al-Dîn, Kanzun Al-Umâl, fî sunani al-aqwâl wa al-af‟âl, Juz.1, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989 Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002, Cet. Ke-1, hal.254 Al-Marâghî, Abdullah Mustafa, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn, Beirut: Muhammad Amin, 1993 Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Marâghî, Penterjemah. Bahrun Abubakar Dkk. Juz XXVII. PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989 Cet. Ke-2 ----------, Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, Mesir:1973, Juz.27 Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur‟ân Kontemporer, Jakarta: al-Izzah, 1997, cet. 1 al-Naisâbûry, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairy, Sahih Muslim, Riyâd: Dâr al-Salâm,1998 Nasuhi, Hamid, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2 Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. Ke-12 Naufal, Abdurrazaq, Hari Kiamat, Surabaya. Mutiara Ilmu, 1993
85
Ridwan, Kafrawi, et. Al (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1994, cet. Ke-3 Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, tanpa penerbit, 2005, cet. Ke-1 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-22 ----------, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. Ke-1, Vol.13 ----------, Tafsir al-Qur‟an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet. Ke-1 ----------, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maudû‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,1996, cet. Ke-3 Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur‟an, Jakarta:Penamadani, 2005, Cet: Ke-3 Smith, Jane Idelman dan Haddad, Yvone Yazbeck, Maut, Barzakh, Kiamat, dan Akhirat, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004, cet. Ke-1 Syahin, Abdussabur, Sejarah Al-Qur‟ân,Trjmh. Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc., Jakarta:PT.Rehal Republika,2008,Cet.1, Jld.3 Al-Tabrîzî, Muhammad bin Abdullah al-Khatîb, Musykâtul Mashâbih, Juz 1, Dârul Fikr.1991 Ushma‟, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur‟ân; Kajian Kritik Objek dan Komprehensif, Jakarta: Riora Cipta, 2000, cet. I WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Yusuf, M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ân di Indonesia Abad Keduapuluh, Tanpa Penerbit (tt, tnp, tth) Zaini, Hasan, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, Cet. I