TINGKAT KECEMASAN PASIEN YANG DILAKUKAN TINDAKAN HEMODIALISA DI

Download 1 orang mengatakan tidak takut dan tidak cemas dengan tindakan hemodialisa karena .... Juga pasien operasi ginjal lebih rentan terhadap pen...

0 downloads 321 Views 368KB Size
TINGKAT KECEMASAN PASIEN YANG DILAKUKAN TINDAKAN HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh : YANI EKO HARGYOWATI NIM : ST 14074

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 i

ii

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, petunjuk dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Tingkat Kecemasan Pasien yang Dilakukan Tindakan Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen”. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak, oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep. Selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep.

Selaku Ketua Prodi S-1

Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep. Selaku Pembimbing Utama yang telah menyetujui, memberikan bimbingan dan arahan pada penyusunan skripsi ini. 4. Rahajeng Putriningrum, SST, M.Kes. Selaku Pembimbing Pendamping yang telah menyutujui, memberikan bimbingan dan arahan pada penyusunan skripsi ini.

iv

5. Fakhrudin Nasrul Sani, S.Kep., Ns., M.Kep. Selaku Pembimbing Penguji yang telah menyutujui, memberikan bimbingan dan arahan pada penyusunan skripsi ini 6. dr. Djoko Sugeng Pujiarto, M.Kes. Selaku Direktur RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen yang telah memberikan ijin belajar dan ijin penelitian. 7. Dosen dan staf Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah banyak memberikan ilmu bermanfaat. 8. Bapak, Ibu, Suami dan Anak-anakku tercinta yang selalu memberikan doa restu dan dorongan kepada penulis selama menjalani pendidikan. 9. Teman-teman seperjuangan Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta, terima kasih atas kerjasamanya selama ini,. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis mengharapkan masukan dan saran demi sempurnanya skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat dijadikan bahan studi dan bermanfaat bagi kita semua. Surakarta, Februari 2016

Penulis

v

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN

ii

PERNYATAAN

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

x

ABSTRAK

xi

ABSTRACT

xii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1

1.2 Rumusan Masalah

4

1.3 Tujuan Penelitian

4

1.4 Manfaat Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori

7

2.2 Keaslian Penelitian

24

2.3 Kerangka Teori

26

2.4 Kerangka Konsep

27

2.5 Hipotesis

27 vi

BAB III

BAB IV

BAB V

BAB VI

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

29

3.2 Populasi dan Sampel

29

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

31

3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran

32

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

32

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

33

3.7 Etika Penelitian

36

HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden

38

4.2 Analisis Univariat

40

4.3 Crosstabulation

42

4.4 Analisis Uji Normalitas

44

4.5 Analisis Bivariat Uji Wilcoxon Test

45

PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden

46

5.2 Analisis Univariat

48

5.3 Analisis Bivariat

51

KESIMPULAN 6.1 Simpulan

54

6.2 Saran

54

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Tabel

Halaman

2.1

Keaslian Penelitian

25

3.1

Definisi Operasional

32

4.1

Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

39

4.2

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

39

4.3

Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

40

4.4

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Dilakukan Tindakan Hemodialisa Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan Pasien Setelah Dilakukan Tindakan Hemodialisa Tabel silang tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa berdasarkan umur Tabel silang tingkat kecemasan setelah tindakan hemodialisa berdasarkan umur Tabel silang tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa berdasarkan jenis kelamin Tabel silang tingkat kecemasan setelah tindakan hemodialisa berdasarkan jenis kelamin Tabel silang tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa berdasarkan pendidikan Tabel silang tingkat kecemasan setelah tindakan hemodialisa berdasarkan pendidikan Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

40

Hasil Wilcoxon Test Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum dan Setelah Tindakan Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen

45

4.5

4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13

viii

41

41 42 42 43 43 44 44

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Gambar

Halaman

2.1

Kerangka Teori

27

2.2

Kerangka Konsep

28

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran 1

Keterangan Surat Permohonan Menjadi Responden

2

Surat Pernyataan Menjadi Responden

3

Identitas Responden

4

Kuesioner (HARS) Hamilton Anxiety Rating Scale

5

Hasil Penelitian

6

Crosstabs

7

Frekuensi

8

Hasil Uji Normalitas

9

Hasil Uji Wilcoxon Test

10

Tabel Wilcoxon Z Tabel

11

Ijin Penelitian

12

Lembar Konsultasi

x

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016

Yani Eko Hargyowati

TINGKAT KECEMASAN PASIEN YANG DILAKUKAN TINDAKAN HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN .

Abstrak

Kecemasan merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders. Seperti kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik stadium terminal sering dianggap sebagai kondisi yang wajar terjadi. Penyakit ginjal kronik (PGK) stadium terminal menyebabkan pasien harus menjalani hemodialisis. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Jenis penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif analitik pada 44 pasien hemodialisa, variabel yang diamati : tingkat kecemasan pasien sebelum dan setelah dilakukan tindakan hemodialisa. Analisis data dengan wilcoxon test. Tingkat kepuasan pasien sebelum dilakukan tindakan hemodialisa sebagian besar memiliki kecemasan sedang 36 responden (81,8%). Tingkat kecemasan pasien setelah dilakukan tindakan hemodialisa sebagian besar memiliki kecemasan sedang sebanyak 22 responden (50%) dan kecemasan ringan 22 responden (50%). Terdapat perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan setelah dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

Kata Kunci : Tingkat Kecemasan, Tindakan Hemodialisa. Daftar Pustaka : 24 (2005-2015).

xi

BACHELOR OF NURSING PROGRAM SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016

Yani Eko Hargyowati

The Anxiety Levels of Hemodialysis Patients at Dialysis Center of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen

Abstract Anxiety is a natural emotion experienced by every person as a normal reaction to threat. However, if this condition takes a long period of time (maladaptive), it will turn into anxiety disorders. The anxiety experienced by patients with end-stage renal failure is often considered to be normal. In fact, this last stage of renal failure requires hemodialysis. This research aims at figuring out the anxiety levels of hemodialysis patients at dialysis center of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen. This research belongs to quantitative research with analytical and descriptive research design. Samples of 44 hemodialysis patients were taken. Some variables observed included the anxiety levels of the patients before and after undergoing hemodialysis. The data were then analyzed using Wilcoxon test. The research findings indicate that most patients with a total number of 36 respondents (81.8%) experience moderate anxiety before undergoing hemodialysis. Meanwhile, this anxiety level diminishes to moderate and mild levels with a number of 22 respondents (50%) respectively after undergoing the hemodialysis. In conclusion, the findings prove that there exists difference between anxiety levels of patients at dialysis center of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen before and after undergoing hemodialysis.

Keywords Bibliography

: anxiety levels, hemodialysis : 24 (2005-2015)

xii

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders. Beberapa hasil penelitian bahkan menengarai bahwa gangguan cemas juga merupakan komorbiditas (James. C, et, al, 2005). Cemas merupakan hal yang akrab dalam hidup manusia. Cemas bukanlah hal yang aneh karena setiap orang pasti pernah mengalami kecemasan dengan berbagai variannya. Cemas sangat berhubungan dengan perasaan tidak pasti dan ketidakberdayaan sebagai hasil penilaian terhadap suatu objek atau keadaan. Keadaan emosi ini dialami secara subjektif, bahkan terkadang objeknya tidak jelas. Artinya, seorang dapat saja menjadi cemas, namun sumber atau sesuatu yang dicemaskan tersebut tidak tampak nyata. Cemas ini dapat terlihat dalam hubungan interpersonal (Asmadi, 2008). Berdasarkan etiologi, gangguan cemas dapat disebabkan oleh faktor genetik, gangguan neurobiokimiawi, aspek kepribadian, dan penyakit fisik. Beberapa gangguan cemas, yaitu gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia, agorafobia dengan atau tanpa gangguan panik, fobia spesifik, 1

2

fobia sosial, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder/PTSD), dan gangguan kecemasan umum. Keluhan yang dirasakan penderita juga bermacam-macam, seperti rasa khawatir, gelisah, sulit tidur, takut mati, sulit membuat keputusan, dan sebagainya (James. C, et, al, 2005). Dampak dari cemas berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi. Dampak dari kecemasan fisik yaitu penurunan tekanan darah, penurunan denyut nadi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan respirasi. Dampak kecemasan psikologis yaitu insomnia, kontak mata kurang, kurang istirahat, iritabilitas, takut, nyeri perut, diare, mual, kelelahan, gangguan tidur, gemetar, anoreksia, mulut kering. Dampak kecemasan interpersonal yaitu bloking dalam pembicaraan dan sulit berkonsentrasi (Baroroh, 2011). Kecemasan pada sakit fisik lainnya, seperti halnya kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik stadium terminal sering dianggap sebagai kondisi yang wajar terjadi. Penyakit ginjal kronik (PGK) stadium terminal menyebabkan pasien harus menjalani hemodialisis, oleh karena penyakit ginjal kronik (PGK) itu sendiri, biaya hemodialisis yang cukup mahal mengakibatkan kecemasan maupun depresi pada pasien bertambah, sehingga sangat dibutuhkan dukungan sosial terhadap para penderita ini (Njah. M, et al, 2005).

3

Adanya kompleksitas masalah yang timbul selama hemodialisis akan berdampak terjadinya kecemasan pada pasien. Gangguan psikiatrik yang sering ditemukan pada pasien dengan terapi hemodialisis adalah depresi, kecemasan, hubungan dalam perkawinan, serta ketidakkepatuhan dalam diet dan obat-obatan. Keterbatasan pola atau kebiasaan hidup dan ancaman kematian. Oleh karena itu banyak pasien dan keluarganya memerlukan dukungan secara emosional untuk mengahadapi kecemasan tentang penyakitnya (Sudirman, 2014). Menurut data di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, jumlah pasien rata-rata tiap bulan terdapat 50 pasien hemodialisa. Fenomena di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap 6 orang pasien hemodialisa, 5 orang pasien hemodialisa berdasarkan gambaran secara fisik terdapat peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi dan peningkatan respirasi, gambaran secara psikologis terlihat kontak mata kurang, pasien mengatakan nyeri perut, mual, gemetar, anoreksia, mulut terasa kering, takut dan cemas dengan tindakan hemodialisa yang akan dilakukan, sesekali bloking dalam pembicaraan. Tingkat kecemasan meningkat di ruang hemodialisa terjadi selama tindakan hemodialisa pertama, pasien hemodialisa mengatakan takut dan cemas akan tindakan yang akan dilakukan karena melihat begitu banyak mesin yang mengeluarkan bunyi nyaring serta dengan banyaknya selang dan kabel yang dihubungkan antara

4

mesin dan tubuhnya, termasuk dalam tingkat kecemasan sedang. 1 orang mengatakan tidak takut dan tidak cemas dengan tindakan hemodialisa karena sudah menjalani tindakan hemodialisa lebih dari tiga kali. Berdasarkan data di atas maka penelitian tentang kecemasan pada pasien hemodialisa perlu dilakukan penelitian. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen?”. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr.

Soehadi

Prijonegoro Sragen. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 1.3.2.2 Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien sesudah dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

5

1.3.2.3 Menganalisis perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 1.3 Manfaat Penelitian 1.3.1 Bagi rumah sakit/masyarakat Hasil penelitian ini bagi RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen pada umumnya dan ruang hemodilisa pada khususnya dapat memanfatkan hasil penelitian ini sebagai rujukan untuk menentukan kebijakan-kebijakan

dalam

hal

peningkatan

kualitas

pelayanan

keperawatan yaitu menurunkan kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa. Sedangkan bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalan bidang perawatan pasien yaitu tingkat kecemasan pasien yang dialkukan tindakan hemodialisa. 1.3.2 Bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini bagi STIKES Kusuma Husada Surakarta dapat digunakan sebagai bahan literatur diperpustakaan atau sumber data, sumber informasi yang dapat dijadikan dokumentasi ilmiah untuk penelitian selanjutnya yang memerlukan masukan berupa data atau pengembangan penelitian dengan topik yang sama.

6

1.3.3 Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk memotivasi

pelaksanaan

penelitian

tentang

kecemasan

pasien

hemodialisa yang lebih baik dimasa yang akan datang. 1.3.4 Bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam bidang perawatan pasien yaitu tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Gagal Ginjal Kronik dan Tindakan Hemodialisa 2.1.1.1 Gagal Ginjal Kronik Gagal ginlal kronis (GGK) adalah gangguan fungsi renal yang progresil dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Dialisis atau transplantasi ginjal kadangkadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien (Husna. C, 2010). 2.1.2.1 Etiologi 1. Glomerulonelritis Berdasarkan

sumber

terjadinya,

kelainan

glomerulonefritis

dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit

dasarnya

berasal

dari

ginjal

sendiri

sedangkan

glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multiple atau amiloidosis.

7

8

2. Diabetes melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. 3. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi). 4. Ginjal polikistik Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun (Husna. C, 2010). 2.1.3.1 Gambaran Klinik Manifestasi kardiovaskular pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi, gagal jantung kongestif dan edema pulmoner sedangkan gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah dan gejala

9

gastrointestinal juga sering terjadi mencakup anoreksia, mual, muntah, dan cegukan. Beberapa gejala dan pemeriksaan yang dapat dijadikan pegangan /indikator telah terjadinya penurunan fungsi ginjal yang signifikan yaitu: 1. Jumlah urin (kemih) berkurang atau tidak ada urin. Jumlah urin < 500 ml/24 iam atau < 20 m/KgBB/jam pada orang dewasa dan <1 ml/KgBBjam pada anak-anak, walaupun jumlah air yang diminum dalam jumlah yang wajar/normal. 2. Puca vanemia, Penderita terlihat pucat pada muka maupun telapak tangannya, bila diukur Hb < 10 g/dl. 3. Mual, muntah dan tidak nafsu makan. 4. Nafas berat, mudah sesak bila banyak minum atau melakukan kerja berat. 5. Rasa sangat lemah. 6. Sering cegukan/ sedakan (hiccup) yang berkepanjangan. 7. Rasa gatal di kulit. Pemeriksaan laboratorium yang penting: ureum darah sangat tinggi (nilai normal ureum < 40 mg/dl), kreatinin darah juga tinggi (nilai normal kreatinin <1,5 mg/dl), Hb sangat rendah (nilai normal Hb 12-15 g/dl perempuan dan 13-17,5 g/dl pada laki-laki) (Husna. C, 2010).

10

2.1.4.1 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik adalah : 1. Anemia Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan. 2. Osteodistofi ginjal Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.

11

3. Gagal jantung Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita gagal ginjal kronis dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left venticular hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal). 4. Disfungsi ereksi Ketidakmampuan

seorang

pria

untuk

mencapai

atau

mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testeron) untuk merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Namun, penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal (Mahesa, 2010).

12

2.1.5.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronik sebagi berikut : 1. Stadium 1 (glomerulo filtrasirate/GFR normal (> 90 ml/min) Seseorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada stadium 1 apabila kadar ureum atau kreatinin berada di atas normal, didapati darah atau protein dalam urin, adanya bukti visual kerusakan ginjal melalui pemeriksaan MRl, CT Scan, ultrasound atau contrast xray, dan salah satu keluarga menderita penyakit ginjal polikistik. Cek serum kreatinin dan protein dalam urin secara berkala dapat menunjukkan sampai berapa jauh kerusakan ginial penderita. 2. Stadium 2 (penurunan GFR ringan atau 60-89 ml/min) Seseorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada stadium 2 apabila kadar ureum atau kreatinin berada di atas normal, didapati darah atau protein dalam urin, adanya bukti visual kerusakan ginjal melalui pemeriksaan MRl, CT Scan, ultrasound atau contrast xray, dan salah satu keluarga menderita penyakit ginjal polikistik. 3. Stadium 3 (penurunan GFR moderat atau 30-59 ml/min) Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.

13

4. Stadium 4 (penurunan GFR parah atau 15-29 ml/min) Pada stadium ini lungsi ginjal hanya sekitar 15-30% saja dan apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana teriadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya. 5. Stadium 5 (penyakit ginjal stadium akhir/terminal atau < 15 ml/min) Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup (Husna, 2010). 2.1.6.1 Pengobatan Gagal Ginjal Kronik Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu : dialisis dan transplantasi ginjal. 1. Dialisis

yang terdiri

dari hemodialisis, dialis

peritoneal

dan

hemofiltrasi. Cuci darah apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga

14

kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis dialisis yaitu : a. Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser) Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser untuk dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perlu dibuatkan akses untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen biasanya dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah balik dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan nama cimino. Untuk memastikan aliran darah pada cimino tetap lancar, secara berkala perlu adanya getaran yang ditimbulkan oleh aliran darah pada cimino tersebut. b. Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut). Adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi

15

dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di rumah pada malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah atau di kantor 2. Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah (cadaver). Cangkok atau transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga yang hubungannya dekat, karena lebih besar kemungkinan cocok, sehingga diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien penerima donor ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi (Jeffrey S Berns, MD, 2013).

16

2.1.2 Kecemasan 2.1.1.1 Pengertian Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan (Alwisol dalam Pratiwi, 2010). Kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain), gejalagejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya), gejala-gejala kognitif (perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, bidang persepsi menurun, kreativitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual dan takut cedera atau kematian) dan gejala-gejala afektif (mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, nervus, ketakutan, alarm, teror, gugup dan gelisah). Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efekivitas

17

dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Mulai munculnya perasaan-perasaan tertekan, tidak berdaya akan muncul apabila orang tidak siap menghadapi ancaman (Taylor dalam Pratiwi, 2010). 2.1.2.1 Tanda dan Gejala Kecemasan Adanya gejala-gejala fisik maupun psikologis yang menyertai kecemasan dapat dijelaskan sebagai berikut : gejala fisik meliputi telapak tangan basah, tekanan darah meninggi, badan gemetar, denyut jantung meningkat dan keluarnya keringat dingin. Gejala fisik yang menyertai kecemasan adalah palpitasi, keringat dingin, telapak tangan basah, denyut jantung meningkat, serta keluarnya keringat dingin (Asmadi, 2008). 2.1.3.1 Tingkat kecemasan Menurut Asmadi (2008), tingkatan kecemasan dibagi menjadi 4, antara lain: 1. Kecemasan ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

18

Kecemasan ringan mempunyai karakteristik : a. Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari. b. Kewaspadaan meningkat. c. Persepsi terhadap lingkungan meningkat. d. Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreatifitas. e. Respon fisiologis : sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berekrut, serta bibir bergetar. f. Respon kognitif : mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, dan terangsang untuk melakukan tindakan. g. Respon perilaku dan emosi : tidak dapat duduk tenang, remor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi. 2. Kecemasan sedang Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak

19

optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis. Kecemasan sedang mempunyai karakteristik : a. Respon biologis : sering nafas pendek, nadi ekstra sistol dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare/konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih. b. Respon kognitif : memusatkan perhatian pada hal yang penting dna mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima. c. Respon perilaku dan emosi : gerakan tersentak-sentak, terlihat lebih tegas, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman. 3. Kecemasan berat Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya

20

sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi. Kecemasan berat mempunyai karakteristik : a. Individu

cenderung

memikirkan

hal

yang

kecil

saja

dan

mengabaikan hal yang lain. b. Respon fisiologis : nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala,penglihatan kabur, serta tampak tegang. c. Respon kognitif : tidak mampu berpikir berat lagidan membutuhkan banyak pengarahan / tuntunan, serta lapang persepsi menyempit. d. Respon perilaku dan emosi : perasaan terancam meningkat dan komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat). 4. Panik Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik mempunyai karakteristik : a. Respons fisiologis : nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.

21

b. Respons kognitif : gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi

terhadap

lingkungan

mengalami

distorsi,

dan

ketidakmampuan memahami situasi. c. Respons perilaku dan emosi : agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali atau kontrol diri (aktifitas motorik tidak menentu), perasaan terancamm serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan atau orang lain. 2.1.4.1 Respon Kecemasan Respon kecemasan menurut Asmadi (2008) yaitu : 1. Psikoanalisis Dalam pandangan psikoanalisis, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakilidorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen tersebut dan fungsi cemas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya. 2. Interpersonal Dalam pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan dan perpisahan dengan seseorang yang dicintai, penolakan

22

terhadap eksistensi diri oleh orang lain ataupun masyarakat akan menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas. 3. Perilaku Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan hasil frustasi. Ketidakmampuan atau kegagagalan dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan akan menimbulkan frustasi atau kepusasaan. Keputusasaan inilah yang menyebabkan sesorang menjadi cemas. 2.1.5.1 Faktor Pencetus Faktor pencetus sesorang menjadi cemas menurut Asmadi (2008) dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) yaitu tidak memiliki keyakinan akan kemampuan diri, maupun dari luar dirinya (faktor eksternal) kemampuan

yaitu diri,

dari

lingkungan

threat

seperti

(ancaman),

ketidaknyamanan

conflik

(pertentangan),

akan fear

(ketakutan), unfuled need (kebutuhan yang tidak terpenuhi). Namun demikian pencetus kecemasan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu : 1. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya. 2. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.

23

2.1.3 Pengukuran Kecemasan Pengukuran derajat kecemasan seseorang menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Ratting Scale for Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala yang masingmasing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masingmasing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya adalah nilai 0: tidak ada gejala (keluhan), nilai 1: gejala ringan, nilai 2: gejala sedang, nilai 3: gejala berat, nilai 4: gejala berat sekali. Masingmasing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu skor <14 = tidak ada kecemasan, skor 14-20 = kecemasan ringan, skor 21 – 27 = kecemasan sedang, skor 28 – 41 = kecemasan berat dan skor 42 – 56 = kecemasan berat sekali. Pengukuran tingkat kecemasan dapat menggunakan pengukuran dengan Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) merupakan alat ukur tingkat kecemasan yang di adaptasi dari barat, telah banyak dipakai di Indonesia dan sudah dibakukan secara Internasional (Nursalam, 2008). 2.1.4 Hubungan Kecemasan dengan Tindakan Hemodialisa Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders. Beberapa hasil

24

penelitian bahkan menengarai bahwa gangguan cemas juga merupakan komorbiditas. Seperti halnya pada sakit fisik lainnya, kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik stadium terminal sering dianggap sebagai kondisi yang wajar terjadi. Penyakit ginjal kronik (PGK) stadium terminal menyebabkan pasien harus menjalani hemodialisis. Selain oleh karena penyakit PGK itu sendiri, biaya hemodialisis yang cukup mahal mengakibatkan kecemasan maupun depresi pada pasien bertambah, sehingga sangat dibutuhkan dukungan sosial terhadap para penderita ini (Luana, 2012). Dengan

adanya

kompleksitas

masalah

yang

timbul

selama

hemodialisis akan berdampak terjadinya kecemasan pada pasien. Gangguan psikiatrik yang sering ditemukan pada pasien dengan terapi hemodialisis adalah

depresi,

kecemasan,

hubungan

dalam

perkawinan,

serta

ketidakkepatuhan dalam diet dan obat-obatan. Keterbatasan pola atau kebiasaan hidup dan ancaman kematian. Oleh karena itu banyak pasien dan keluarganya memerlukan dukungan secara emosional untuk mengahadapi kecemasan tentang penyakitnya (Sudirman, 2014). 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian tentang tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian serupa, tetapi ada beberapa penelitian yang mendukung penelitian ini :

25

Tabel 2.1 Keaslian Penelitian No 1.

Peneliti

Metodologi

Hasil

Lita Purnama Sari Hubungan tingkat kecemasan dengan (2013) mekanisme koping pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Kuantitatif

Ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Pengaruh breathing exercise terhadap level fatigue pasien hemodialisis di RSPAD Gatot Subroto Jakarta

Kuantitatif

Pengaruh breathing exercise terhadap level fatigue pasien hemodialisis di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.

Analisis Faktor- Kuantitatif faktor Yang Berhubungan Dengan Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Ada hubungan antara kulitas hidup dengan depresi. Faktor lain usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, dan dukungan keluarga tidak terdapat hubungan dengan depresi. Untuk peneliti selanjutnya dapat menambah variabel yang belum diteliti dalam penelitian

2.

Cahyu Septiwi (2013)

3.

Anin Astiti (2014)

Judul

26

ini untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap depresi pada pasien gagal ginjal kronik. 4.

Yani Eko Tingkat kecemasan Kuantitatif Hargyowati(2015) pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen

-

27

1.3 Kerangka Teori Kerangka teori merupakan bagan alur berpikir dari teori yang telah dibuat, dapat dibuat kerangka teori penelitian yang dapat dilihat dibawah ini :

Pasien Gagal Ginjal Kronik Faktor Pencetus : · Ancaman terhadap integritas diri (ketidakmampuan fisilogis, gangguan aktivitas sehari-hari) · Ancaman terhadap sistem diri (identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran dan hubungan interpersonal)

Pengobatan

Tindakan Hemodialisa Tingkat Kecemasan

Respon Fisiologis

Respon Psikologis

Respon Kognitif

Gambar 2.1. Kerangka Teori, Sumber Asmadi (2008) dan Taylor dalam Pratiwi (2010)

Ket :

Yang diteliti Yang tidak diteliti

Respon Afektif

28

1.4 Kerangka Konsep Pre-test : Tingkat Kecemasan Pasien

Tindakan Hemodialisa

Post-test : Tingkat kecemasan pasien

Gambar 2.2. Kerangka Konsep 1.5 Hipotesis Ha : Ada perbedaan tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

29

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang banyak menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Demikian juga pemahaman akan kesimpulan penelitian akan lebih baik apabila juga disertai dengan tabel, grafik, bagan, gambar atau tampilan lain (Sugiyono, 2013). Merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian

yang digunakan

untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2013). Desain penelitian cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable subjek pada saat pemeriksaan (Nursalam, 2008). 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Nursalam, 2008). Populasi penelitian ini 29

30

adalah seluruh pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, antara juli sampai dengan agustus 2015 dengan jumlah rata-rata pasien tindakan hemodilisa setiap bulan sebanyak 50 pasien. 3.2.2 Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Penentuan besar sampel dalam penelitian ini, menurut Nursalam (2008) jika populasi kurang dari 1000 maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut : n =

N 1+N(d2)

=

50 50 = 1+50(0,052) 1+50(0,0025)

=

50 1+0,125

= 44

Keterangan n = besar sampel N = besar populasi d = tingkat kepercayaan atau ketepatan yang digunakan yaitu sebesar 5% atau 0,05

Berdasarkan rata-rata jumlah pasien hemodialisa bulan Juni-Agustus 2015 sebanyak 50 pasien, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini menurut rumus diatas adalah 44 responden. Teknik sampel yang digunakan adalah cara accidental sampling adalah teknik penetapan sampel dengan cara mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti

31

dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data dengan kriteria utamanya adalah orang tersebut merupakan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi (Sugiyono, 2013). Adapun kriteria responden sebagai berikut : Kriteria inklusi : 1. Semua pasien hemodialisa yang bersedia menjadi responden. 2. Pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Kriteria eksklusi : 1. Tidak bisa membaca dan menulis. 2. Pengisian dokumen kuesioner yang tidak lengkap. 3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di ruang hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, pada november-desember 2015.

32

3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Tabel 3.1 Definisi Operasional No 1.

Variabel Tingkat Kecemasan

Definisi Tingkat kecemasan adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya.

Alat ukur Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

Parameter 0 : Tidak cemas 1 : Ringan 2 : Sedang 3 : Berat 4 : Panik

Skala Interval

Skoring Tidak cemas : < 14 Cemas ringan : 14-20 Cemas sedang : 21-27 Cemas berat : 28-41 Panik : 45-56

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data 3.5.1 Alat Penelitian Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), merupakan alat ukur manajemen perilaku kecemasan yang di adaptasi dari barat, dan telah banyak dipakai di Indonesia, berisi pertanyaan, dengan alternatif jawaban panik (skor 4), berat (skor 3), sedang (skor 2), ringan (skor 1) dan tidak ada (skor 0). Untuk skoring kecemasan dinyatakan dengan : 1. Tidak cemas skor HARS < 14. 2. Cemas ringan skor HARS 14-20. 3. Cemas sedang skor HARS 21-27. 4. Cemas berat skor HARS 28-41. 5. Cemas panik skor HARS 42-56. Instrumen Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) terlampir.

33

3.5.2 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Pengumpulan data dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), peneliti memberi penjelasan tentang caracara pengisian, kemudian membagikan kepada pasien sebelum tindakan hemodialisa,

sesudah

tindakan

hemodialisa

peneliti

kembali

membagikan kuesioner, kemudian diisi saat itu juga sehingga data yang diperoleh adalah data primer. 3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data 3.6.1 Teknik pengolahan Menurut Notoatmodjo, 2012 setelah data terkumpul, maka langkah yang

dilakukan

berikutnya

adalah

pengolahan

data.

Sebelum

melaksanakan analisa data beberapa tahapan harus dilakukan terlebih dahulu guna mendapatkan data yang valid sehingga saat menganalisa data tidak mendapat kendala. Langkah-langkah pengolahan yaitu : 1. Editing atau mengedit data, dimaksukkan untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian kriteria data yang diperlukan untuk menguji hipotesis atau menjawab tujuan penelitian. Dalam penelitian ini editing dilakukan untuk memeriksa kembali kuesioner yang telah diisi responden, apabila belum lengkap maka

34

peneliti mempersilahkan responden untuk mengisi kuesioner tersebut hingga lengkap. 2. Coding atau mengkode data merupakan suatu metode untuk mengobservasi data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam symbol yang cocok untuk keperluan analisa terhadap hasil observasi yang dilakukan. Dalam penelitian ini coding dilakukan dengan menggunakan angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Dalam penelitian ini coding dilakukan untuk membagi kriteria tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa sebagai berikut : Kecemasan pasien hemodialisa berat/ panik diberi coding 4. Kecemasan pasien hemodialisa berat diberi coding 3. Kecemasan pasien hemodialisa sedang diberi coding 2. Kecemasan pasien hemodialisa ringan diberi coding 1. Kecemasan pasien hemodialisa tidak cemas diberi coding 0. 3. Entri data merupaka proses memasukan data ke dalam komputer, dalam hal ini program excel terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam program SPSS. 4. Tabulasi merupakan proses mengklasifikasikan data menurut kriteria tertentu sehingga frekuensi dari masing-masing item, dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui karakteristik responden, tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa dan tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa.

35

3.6.2 Analisa Data Analisis hasil penelitian ini dilakukan dengan 2 cara yaitu sebagai berikut : 1. Analisa univariat terhadap tiap variabel dari hasil penelitian untuk menghasilkan distribusi dan presentase. Data dianalisa menggunakan statistik deskriptif untuk mendapatkan dalam bentuk tabulasi, dengan cara memasukkan seluruh data kemudian diolah secara statistik deskriptif yang digunakan untuk melaporkan hasil dalam bentuk distribusi frekuensi dan prosentase (%) dari masing-masing item. Penelitian analisis univariat adalah analisa

yang dilakukan

menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian. Analisa univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna. peringkasan tersebut dapat berupa ukuran statistik, tabel, grafik. Analisa univariat dilakukan masing-masing variabel yang diteliti (Notoadmodjo, 2012). 2. Analisa bivariat untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kecemasan rata-rata antara sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisa. Uji statistik pada penelitian ini adalah wilcoxon test (Dahlan, 2014). Analisa wilcoxon test dengan rumus :

36

Keterangan : Z : uji wilcoxon T : total jenjang (selisih) terkecil antara nilai pre test dan post test n : jumlah data sampel

Kaidah keputusan jika nilai p < 0,05 Ho ditolak artinya bahwa ada perbedaan tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa, bila Z hitung > Z tabel, dengan taraf signifikansi 5% atau nilai ρ < 0,05, dilakukan dengan komputer menggunakan SPSS (Statistical program and Service Solution) versi 20.00. 3.7 Etika Penelitian Secara umum prinsip dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek dan prinsip keadilan (Nursalam, 2008). Dalam mendapatkan data dilakukan dengan menekankan etika yang mengacu pada: 1. Lembar persetujuan menjadi responden (informed consent) Lembar persetujuan diberikan kepada subjek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian jika calon responden bersedia untuk diteliti, maka mereka harus mengisi lembar persetujuan tersebut,

37

namun apabila responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksakan dan tetap menghormati hak-hak responden. 2. Tanpa nama (Anonimity) Untuk menjaga kerahasiaan responden maka peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (lembar kuesioner) cukup dengan memberikan kode pada masing-masing lembar kuesioner tersebut. 3. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti karena hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset atau hasil dari penelitian.

38

BAB IV HASIL PENELITIAN

Penelitian ini telah dilakukan di ruang hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, pada bulan november-desember 2015. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 44 responden. Teknik sampel yang digunakan adalah cara accidental sampling adalah teknik penetapan sampel dengan cara mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data dengan kriteria utamanya adalah orang tersebut merupakan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi. Uji analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu pada analisa bivariat untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kecemasan rata-rata antara sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisa. Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio dengan menggunakan uji statistik wilcoxon test. 4.1 Karakteristik Responden Karakteristik responden meliputi : umur, jenis kelamin dan pendidikan terakhir. Berikut ini akan diuraikan mengenai laporan hasil penelitian yang telah dilakukan meliputi :

38

39

4.1.1 Umur Distribusi responden berdasarkan umur di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat di Tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan umur (n = 44) No 1 2 3 4 5

Umur 26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun > 65 tahun Jumlah

Frekuensi 6 12 12 13 1 44

Prosentase (%) 13,6 27,3 27,3 29,3 2,3 100

Sumber : data primer yang diolah, 2015 Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 56-65 tahun sebanyak 13 responden (29,3%). 4.1.2 Jenis kelamin Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat di Tabel 4.2. Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ( n = 44) No 1 2

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah

Frekuensi 29 15 44

Prosentase (%) 65,9 34,1 100

Sumber : data primer yang diolah, 2015 Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 29 responden (65,9%). 4.1.3 Pendidikan Distribusi responden berdasarkan pendidikan di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat di Tabel 4.3.

40

Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan (n = 44) No 1 2 3 4

Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah

Frekuensi 10 14 13 7 44

Prosentase (%) 22,7 31,8 29,5 15,9 100

Sumber : data primer yang diolah, 2015 Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden berpedidikan SMP sebanyak 14 responden (31,8%). 4.2 Analisis Univariat 4.2.1 Tingkat kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan hemodialisa Distribusi responden berdasarkan tingkat kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat di Tabel 4.4. Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan tingkat kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan hemodialisa (n = 44) No 1 2 3 4 5

Kecemasan sebelum Tidak cemas Kecemasan ringan Kecemasan sedang Kecemasan berat Panik Jumlah

Frekuensi 0 6 36 2 0 44

Prosentase (%) 0 13,6 81,8 4,5 0 100

Sumber : data primer yang diolah, 2015 Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa sebagian besar responden sebelum dilakukan tindakan hemodialisa memiliki tingkat kecemasan sedang sebanyak 36 (81,8%).

41

4.2.2 Tingkat kecemasan pasien sesudah dilakukan tindakan hemodialisa Distribusi responden berdasarkan tingkat kecemasan pasien sesudah dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat di Tabel 4.5. Tabel 4.5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat kecemasan pasien sesudah dilakukan tindakan hemodialisa (n = 44) No 1 2 3 4 5

Kecemasan sesudah Tidak cemas Kecemasan ringan Kecemasan sedang Kecemasan berat Panik Jumlah

Frekuensi 0 22 22 0 0 44

Prosentase (%) 0 50 50 0 0 100

Sumber : data primer yang diolah, 2015 Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa sebagian besar responden sesudah dilakukan tindakan hemodialisa memiliki tingkat kecemasan ringan sebanyak 22 responden (50%) dan kecemasan sedang sebanyak 22 responden (50%). 4.3 Crosstabulation 4.3.1 Crosstabulation tingkat kecemasan sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa berdasarkan umur Tabel 4.6 Tabel silang tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa berdasarkan umur (n = 44) Umur

26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun > 65 tahun Total

Tidak cemas å % 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa Kecemasan Kecemasan Kecemasan ringan sedang berat % % % å å å 1 2,3 5 11,4 0 0 3 6,8 9 20,5 0 0 0 0 12 27,3 0 0 2 4,5 9 20,5 2 4,5 0 0 1 2,3 0 0 6 13,6 36 81,8 2 4,5

Total Panik å 0 0 0 0 0 0

% 0 0 0 0 0 0

å 6 12 12 13 1 44

% 13,8 27,3 27,3 29,5 2,3 100

42

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar responden sebelum tindakan hemodialisa berumur 46-55 tahun dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 12 responden (27,3%). Tabel 4.7 Tabel silang tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa berdasarkan umur (n = 44) Umur

26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun > 65 tahun Total

Tidak cemas å % 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa Kecemasan Kecemasan Kecemasan ringan sedang berat % % % å å å 2 4,5 4 9,1 0 0 8 18,2 4 9,1 0 0 6 13,6 6 13,6 0 0 6 13,6 7 15,9 0 0 0 0 1 2,3 0 0 22 50 22 50 0 0

Total Panik å 0 0 0 0 0 0

% 0 0 0 0 0 0

å 6 12 12 13 1 44

% 13,6 27,3 27,3 29,5 2,3 100

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa sebagian besar responden sesudah tindakan hemodialisa berumur 56-65 tahun dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 7 responden (15,9%). 4.3.2 Crosstabulation tingkat kecemasan sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.8 Tabel silang tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa berdasarkan jenis kelamin (n = 44) Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan Total

Tidak cemas % å 0 0 0 0 0 0

Tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa Kecemasan Kecemasan Kecemasan ringan sedang berat % % % å å å 4 9,1 24 54,5 1 2,3 2 4,5 12 27,3 1 2,3 6 13,6 36 81,8 2 4,5

Total Panik å 0 0 0

% 0 0 0

å 29 15 44

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa sebagian besar responden sebelum tindakan hemodialisa berjenis kelamin laki-laki dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 24 responden (54,5%).

% 65,9 34,1 100

43

Tabel 4.9 Tabel silang tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa berdasarkan jenis kelamin (n = 44) Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan Total

Tidak cemas % å 0 0 0 0 0 0

Tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa Kecemasan Kecemasan Kecemasan Panik ringan sedang berat % % % å å å å % 13 29,5 16 36,4 0 0 0 0 9 20,5 6 13,6 0 0 0 0 22 50 22 50 0 0 0 0

Total

% 65,9 34,1 100

å 29 15 44

Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa sebagian besar responden sesudah tindakan hemodialisa berjenis kelamin laki-laki dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 16 responden (36,4%). 4.3.3 Crosstabulation tingkat kecemasan sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa berdasarkan pendidikan Tabel 4.10 Tabel silang tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa berdasarkan pendidikan (n = 44) Pendidikan

SD SMP SMA PT Total

Tidak cemas % å 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tingkat kecemasan sebelum tindakan hemodialisa Kecemasan Kecemasan Kecemasan ringan sedang berat % % % å å å 2 4,5 8 18,2 0 0 1 2,3 12 27,3 1 2,3 2 4,5 11 35 0 0 1 2,3 5 11,4 1 2,3 6 13,6 36 81,8 2 4,5

Total Panik å 0 0 0 0 0

% 0 0 0 0 0

Berdasarkan tabel 4.10 diketahui bahwa sebagian besar responden sebelum tindakan hemodialisa berpendidikan SMP dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 12 responden (27,3%).

å 10 14 13 7 44

% 22,7 31,8 29,5 15,9 100

44

Tabel 4.11 Tabel silang tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa berdasarkan pendidikan (n = 44) Pendidikan

SD SMP SMA PT Total

Tidak cemas % å 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tingkat kecemasan sesudah tindakan hemodialisa Kecemasan Kecemasan Kecemasan ringan sedang berat % % % å å å 3 6,8 7 15,9 0 0 10 22,7 4 9,1 0 0 6 13,6 7 15,9 0 0 3 6,8 4 9,1 0 0 22 40 22 50 0 0

Total Panik å 0 0 0 0 0

% 0 0 0 0 0

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa sebagian besar responden sesudah tindakan hemodialisa berpendidikan SMP dengan tingkat kecemasan ringan sebanyak 10 responden (22,7%).

4.4 Analisis Uji normalitas Tabel 4.12 Hasil uji normalitas kolmogorov-smirnov p-value Kecemasan pre HD

0,000

Kecemasan post HD

0,000

Sumber : data primer yang diolah, 2015 Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan bahwa nilai signifikasi untuk sebelum tindakan hemodialisa sebesar 0,000 dan sesudah tindakan hemodialisa sebesar 0,000 keduanya kurang dari 0,05 sehingga disimpulkan bahwa data tidak memenuhi asumsi distribusi normal. Selanjutnya uji statistik ditentukan dengan wilcoxon test.

å 10 14 13 7 44

% 22,7 31,8 29,5 15,9 100

45

4.5 Analisis Bivariat wilcoxon test Tabel 4.13 Hasil wilcoxoxn test tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Mean

Z-score

p-value

Kecemasan pre HD

1,91

- 4,025

0,000

Kecemasan post HD

1,50

Sumber : data primer yang diolah, 2015

Uji statistik yang digunakan untuk menguji perubahan tingkat kecemasan antara sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa, digunakan uji wilcoxon test. Pada uji tersebut apabila z hitung > z tabel atau

- z hitung < - z tabel, maka Ho ditolak atau dengan taraf

signifikansi 5% atau nilai ρ value < 0,05 yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisa. Berdasarkan tabel 4.13 diatas diperoleh data bahwa nilai ratarata tingkat kecemasan responden sebelum tindakan hemodialisa sebesar 1,91 dan sesudah tindakan hemodialisa sebesar 1,50. Hasil uji wilcoxon test. Pada uji tersebut apabila dengan taraf signifikansi 5% atau nilai ρ value < 0,05 yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

46

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden yang paling banyak berusia 56-65 tahun sebanyak 13 responden (29,3%). Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin

sulit

penyesuaian

diri

pada

masa-masa

selanjutnya.

Penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhankebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru. Terjadi gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi. Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif dan gangguan kecemasan (Widyastuti, 2009).

46

47

Peneliti berasumsi bahwa semakin dewasa umur seseorang, makin terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah sehingga terjadi gangguan kecemasan. 5.1.2 Jenis kelamin Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan, dimana laki-laki 29 responden (65,9%), sedangkan perempuan 15 responden (34,1%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar yang mengalami kecemasan pada tindakan hemodialisa adalah laki-laki. Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik. Gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita daripada pria (Varcoralis, 2010). Pada penelitian ini laki-laki lebih memiliki tingkat kecemasan lebih dibandingkan perempuan hal ini disebabkan karena jumlah sampel laki-laki sebanyak 29 responden (65,9%) lebih banyak dari jumlah sampel perempuan sebanyak 15 responden (34,1%). Peneliti berasumsi bahwa kecemasan pada responden laki-laki ini salah satunya disebabkan karena pada penelitian ini jumlah responden laki-laki paling banyak berumur 56-65 tahun sebanyak 13 responden (29,5%). Pada umur 56-65 tahun adalah kategori masa lansia akhir, pada masa lansia akhir sering terjadi gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan kecemasan, gangguan

48

buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian, terutama selama periode stres fisik atau lingkungan yang tidak mendukung. 5.1.3 Pendidikan Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan terlihat bahwa tingkat pendidikan responden yang tergolong pendidikan dasar (SD dan SMP) lebih banyak dibandingkan pendidikan menengah (SMA) maupun pendidikan tinggi. Jumlah responden yang tergolong pendidikan dasar sebanyak 24 responden (54,5%). Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru (Stuart & Sundeen, 2007). Peneliti berasumsi bahwa semakin rendah pendidikan, semakin kurang informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru sehingga akan mudah terjadi kecemasan. 5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum tindakan hemodialisa. Hasil temuan distribusi frekuensi kecemasan pasien hemodialisa sebelum tindakan hemodialisa 2 responden (4,5%) mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan tindakan hemodialisa, tingkat kecemasan pasien hemodialisa

49

kategori kecemasan sedang 36 responden (81,8%), kecemasan ringan 6 responden (13,6) dan kecemasan berat 2 responden (4,5%). Hal ini ditunjang pula dari sebagian responden adalah berpendidikan dasar, seseorang yang berpendidikan rendah akan menyebabkan semakin kurang informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru sehingga akan mudah terjadi kecemasan. Menurut Brunner & Suddarth dalam Rahman (2013) klien yang akan menjalani hemodialisis mengalami depresi, ketakutan dan kecemasan. Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor biologis maupun fisiologis, baik dari dalam pasien maupun dari luar pasien, penerimaan terhadap pelaksanaan hemodialisis, sosial ekonomi, usia pasien, kondisi pasien lama dan frekuensi menjalani hemodialisis timbul karena ancaman dari pasien sehingga menimbulkan respon psikologis dan perilaku pasien yang dapat diamati, sedangkan ancaman diri pada pasien hemodialisis dapat bersumber dari respon manusia (perawat), interaksi manusia dan lingkungan yang terpapar oleh alat yang digunakan. Peneliti berasusmsi bahwa pasien yang menjalani tindakan hemodialisa jangka panjang maka akan merasa khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat di ramalkan dan berefek terhadap gaya hidup sehingga mengalami kecemasan.

50

5.2.2 Tingkat kecemasan pasien hemodialisa sesudah tindakan hemodialisa. Hasil hemodialisa

penelitian sesudah

menunjukkan dilakukan

tingkat

tindakan

kecemasan

pasien

hemodialisa,

tingkat

kecemasan pasien hemodialisa kategori kecemasan sedang sebanyak 22 responden dan kategori kecemasan ringan sebanyak 22 responden (50%). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa. Menurut Rahman (2013), hubungan tindakan hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien terletak pada siklus/lama pasien melakukan tindakan hemodialisis, pasien yang melakukan tindakan hemodialisis satu kali tingkat kecemasannya sedang, sedangkan pasien yang melakukan tindakan hemodialisis dua kali tingkat kecemasannya ringan atau Semakin lama pasien menjalani tindakan hemodialisis maka tingkat kecemasannya berkurang oleh karena pasien sudah mencapai tahap accepted (menerima) terhadap pelaksanaan hemodialisa. Peneliti berasumsi bahwa perbedaan tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa ini terjadi karena siklus/lama pasien melakukan tindakan hemodialisis, semakin sering dan lama melakukan hemodialisa maka akan semakin berkurang tingkat kecemasannya.

51

5.3 Analisis Bivariat 5.3.1 Tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa nilai rata-rata tingkat kecemasan responden sebelum tindakan hemodialisa sebesar 1,91 dan sesudah tindakan hemodialisa sebesar 1,50. Hasil uji wilcoxon test tersebut apabila z hitung > z tabel atau – z hitung < - z tabel (-4,025 < -1,645, maka Ho ditolak atau dengan taraf signifikansi 5% atau nilai ρ value < 0,05 yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum dan sesudah tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Kecemasan merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders. Beberapa hasil penelitian bahkan menengarai bahwa gangguan cemas juga merupakan komorbiditas. Seperti halnya pada sakit fisik lainnya. Kecemasan seperti halnya pada pasien penyakit ginjal kronik stadium terminal disebabkan karena pasien harus menjalani hemodialisis, oleh karena penyakit ginjal kronik (PGK) itu sendiri, biaya hemodialisis yang cukup mahal mengakibatkan kecemasan maupun depresi pada pasien bertambah (Njah. M, et al, 2005).

52

Kompleksitas masalah yang timbul selama hemodialisis akan berdampak terjadinya kecemasan pada pasien. Keterbatasan pola atau kebiasaan hidup dan ancaman kematian. Oleh karena itu banyak pasien dan keluarganya memerlukan dukungan secara emosional untuk mengahadapi kecemasan tentang penyakitnya (Sudirman, 2014). Untuk mempertahankan hemostasis pada kelangsungan tubuh di perlukan filtrasi yang baik salah satunya adalah ginjal, pada penelitian yang dilakukan terdapat pasien yang menjalani tindakan hemodialisa akut dan kronik dengan tingkat kecemasan yang bervariasi. Tingkat kecemasan di pengaruhi oleh bagaimana pasien menjalani tindakan hemodialisa. Pada pasien yang baru menjalani tindakan hemodialisa rata-rata yang di dapatkan adalah tingkat kecemasan berat karena pada periode awal pasien merasa berputus asa dan tidak dapat sembuh seperti sedia kala. Setelah terapi berkelanjutan pasien mulai dapat beradaptasi dengan baik serta tingkat kecemasan mulai sedang dan ringan (Watilisna, 2015). Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh Rahman (2013) dalam penelitian ini ada hubungan antara tindakan hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien di ruangan hemodialisa RSUD Labuang Baji Pemprov Sulawesi Selatan. Hasil analisis bivariat uji chi- square didapatkan ada hubungan anatara tindakan hemodialisis dengan tingkat kecemasan dengan nilai p = 0,027 lebih kecil dari α = 0,05 (p < 0,05).

53

Peneliti berasumsi adanya perbedaan tingkat kecemasan pasien hemodialisa sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisa, ratarata tingkat kecemasan responden sebelum tindakan hemodialisa sebesar 1,91 dan sesudah tindakan hemodialisa sebesar 1,50 dikarenakan, sebelum tindakan hemodialisa pasien belum mengetahui prosedur tindakan yang akan dilakukan, kekhawatiran akan tindakan dan prognosa pengobatan, sesudah dilakukan tindakan hemodialisa pasien hemodialisa sudah mulai mengerti prosedur tindakan yang dilakukan dan sudah mulai beradaptasi dengan tindakan hemodialisa sehingga tingkat kecemasan pasien hemodialisa menjadi berkurang.

54

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 6.1.1 Tingkat kecemasan pasien sebelum tindakan hemodialisa sebagian besar memiliki kecemasan sedang 36 responden (81,8%), kecemasan ringan sebanyak 6 responden (13,6%) dan kecemasan berat 2 responden (4,5%). 6.1.2 Tingkat kecemasan pasien sesudah tindakan hemodialisa sebagian besar memiliki kecemasan sedang 22 responden (50%) dan kecemasan ringan 22 responden (50%). 6.1.3 Hasil uji wilcoxon test didapatkan nilai ρ value = 0,000 < 0,05 yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan setelah dilakukan tindakan hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 6.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu di perhatikan adalah sebagai berikut : 6.2.1 Bagi pasien. Hasil penelitian ini bagi RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen pada umumnya dan ruang hemodilisa pada khususnya dapat memanfatkan 54

55

hasil penelitian ini sebagai rujukan untuk menentukan kebijakankebijakan dalam hal peningkatan kualitas pelayanan keperawatan yaitu menurunkan kecemasan pasien yang dilakukan tindakan hemodialisa. Sedangkan bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalan bidang perawatan pasien yaitu tingkat kecemasan pasien yang dialkukan tindakan hemodialisa. 6.2.2 Bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini bagi STIKES Kusuma Husada Surakarta dapat digunakan sebagai bahan literatur diperpustakaan atau sumber data, sumber informasi yang dapat dijadikan dokumentasi ilmiah untuk penelitian selanjutnya yang memerlukan masukan berupa data atau pengembangan penelitian dengan topik yang sama. 6.2.3 Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk memotivasi

pelaksanaan

penelitian

tentang

kecemasan

pasien

hemodialisa yang lebih baik dimasa yang akan datang. 6.2.4 Bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam bidang perawatan pasien yaitu tingkat kecemasan

pasien

yang

dilakukan

tindakan

hemodialisa.

DAFTAR PUSTAKA . Anin, Astiti. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Skripsi :Yogyakarta. Asmadi. (2008). Teknik Prosedural keperawatan Konsep Aplikasi kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika. Baroroh. (2011). Intervensi Keperawatan : NANDA-NIC-NOC (NNN). Based on NIC and NOC book. Proses Dokumentasi Keperawatan (semester 2) PSIK FIKES UMM April 2011. Cahyu, Septiwi. (2013). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Level Fatigue Pasien Hemodialisis di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Skripsi : Jakarta. Dahlan. (2014). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Deskriptif, Bivariat dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi Menggunakan SPSS. Seri 1 Edisi 6. Jakarta : Epidemiologi Indonesia. Depkes RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depertemen Republik Indonesia. Husna, C. (2010). Gagal Ginjal Kronis dan Penanganannya : Literature Review. Fikkes. Jurnal Keperawatan vol 3 No 2. September 2010 : 67-73. James, C, et, al. (2005). Consensus Statement on Generalized Anxiety Disorder from the International Consensus Group on Depression and Anxiety. J Clin Psychiatry 2005, 62 (suppl 11). Jeffrey S Bersns, MD. (2013). Patient Information: Dialysis or Kidney Transplantation-Which is Right for me? (Beyond the Basics). Perelman School of Medicine at the University of Pennsylvania. Luana. (2012). Kecemasan pada Pasien Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RS Universitas Kristen Indonesia. Jurnal Media Medika Indonesiana. Volume 46, nomor 3, tahun 2012 (151-156).

Mahesa. (2010). Penyakit Ginjal Kronis (chronic kidney disease). Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran. Universitas Padjadjaran. Rumah sakit Hasan sadikin Bandung. Narbuko, C. (2007). Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. Njah. M, e, al. (2005). Anxiety and Depression in the Hemodialysis Patient. Nephrologie. 2005, 22 (7) : 353-7. Notoatmodjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Ardi Mahasatya. Nursalam. (2008) Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Pratiwi. (2010). Pengertian Kecemasan. Diakses 6 juni 2015, http://www. Psikologi.or.id. Rahman. (2013). Hubungan Tindakan Hemodialisais Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Di Ruangan Hemodialisa Rsud. Labuang Baji Pemprov Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosisi Volume 4Nomor 5 Tahun 2014. ISSN : 2302-1721. Sari, L. P. (2013). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping pada Pasien Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi : Yogyakarta. Sudirman. (2014). Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat Kecemasan Pasien di Ruangan Hemodialisa RSUD Labuang Baji Pemprov Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosisi Volume 4 nomor 5 tahun 2014. ISSN : 2302-1721. Sugiyono. (2013). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfa Beta. Stuart & Sundeen (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC Varcoralis. (2010). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing: A Clinical Approach. Sixth Edition. Missouri: Elsevier, Inc.

Wartilisna.(2015). Hubungan Tindakan Hemodialisa Dengan Tingkat Kecemasan Klien Gagal Ginjal Di Ruang Dahlia RSUP Prof Dr.R.D.Kandou Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3. Nomor 1. Februari 2015. Widyastuti, Yani et al. (2009). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitrimaya.