TINJAUAN PUSTAKA 1

Download Kajian Ekologi Kebudayaan di Tiga Desa. Oleh: Nurcahyo Tri Arianto. Departemen Antropologi, FISIP Unair. 2012. A. Masalah Ekologi Kebudayaa...

0 downloads 214 Views 249KB Size
1

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Penggunaan Lahan Alang-alang di Lereng Tambora-Sumbawa: Kajian Ekologi Kebudayaan di Tiga Desa Oleh:

Nurcahyo Tri Arianto Departemen Antropologi, FISIP Unair 2012

A. Masalah Ekologi Kebudayaan Masalah pola penggunaan lahan dan sistem eksploitasi padang alang-alang di lereng Tambora diteliti dan dianalisis melalui pendekatan ekologi kebudayaan (cultural ecology) dan holistik (holistic) manusia

mengenai dan

hubungan

lingkungan

yang

saling

hidupnya.

tergantung

Ekologi

antara

kebudayaan

mempelajari proses adaptasi masyarakat pada lingkungannya. Pendekatan ekologi kebudayaan, yang diperkenalkan oleh Julian H. Steward (1955:41-42), seorang ahli antropologi ekologi, mempunyai tiga unsur dasar dalam penganalisisannya, yaitu : 1. Menganalisis hubungan antara hubungan antara eksploitasi atau teknologi produksi dengan lingkungannya, 2. Menganalisis peranan pola-pola kelakuan dalam mengeksploitasi suatu wilayah tertentu dengan mempergunakan teknologi yang khusus, dan 3. Mengamati

semua

eksploitasi

pola

tersebut,

kelakuan yang

yang

diperlukan

mempengaruhi

dalam

aspek-aspek

kebudayaan yang lain. Prosedur yang ketiga ini memerlukan pendekatan yang holistik, yaitu dengan memperhatikan faktorfaktor

demografi,

pemilikan

tanah,

pola

pemukiman,

tata

guna

lahan,

struktur dan

kekerabatan,

lain-lain

aspek

kebudayaan.

1

Tulisan ini merupakan hasil editing dari Bab I Skripsi penulis, yang dipertahankan dalam ujian di Jurusan Antropologi UGM, pada tanggal 16 Juii 1986, dengan judul “Pola Penggunaan Lahan Alang-alang di Lereng Tambora: Studi Ekologi Kebudayaan di Tiga Desa”. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-November 1982, yang dibimbing oleh Dr. Michael R. Dove dan Dr. Kodiran, MA dan dibiayai oleh The Ford Foundation.

1

Model ekologi kebudayaan ini dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan analisisnya pada Bab VI. Pendekatan secara holistik merupakan suatu teknik deskripsi, dan bukan suatu teori (Heider 1972:208). Pendekatan secara holistik mengenai hubungan manusia dengan lingkungannya ini diartikan sebagai suatu cara memandang unsur-unsur dalam lingkungan hidup (biotis dan abiotis) secara terintegrasi sebagai komponen

yang

berkaitan

dalam

suatu

sistem

(Soemarwoto

1983:17). Pendekatan holistik dalam suatu analisis diartikan sebagai usaha untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin aspek kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan lingkungan dalam suatu analisis (Steward 1955:37; Johnson 1978:11; Vredenbregt 1978:4; Rambo 1982:91). Ketiga aspek itu memang saling tergantung dan saling berkaitan. Gambar 1. Model Ekologi Kebudayaan Julian Steward

2

Ada dua pengertian dasar yang dapat membantu menganalisis hubungan sebab-akibat masalah pola penggunaan lahan (alangalang), pertumbuhan dan kepadatan penduduk, serta kondisi lingkungan

setempat

kebudayaan.

Dua

berdasarkan

macam

pada

pengertian

pendekatan

dasar

itu

ekologi

meliputi:

(1)

hubungan antara asal mula dan sifat padang alang-alang dengan intensifikasi dalam bidang pertanian, dan (2) hubungan antara perubahan populasi manusia dengan perubahan sifat lingkungan. Kedua pengertian dasar itu mempunyai hubungan yang erat atau saling berkaitan. Pengertian

dasar

yang

pertama,

secara

ringkas

dapat

dikemukakan sebagai berikut. Pertama, padang alang-alang itu pada dasarnya bersifat antropogenik, karena keberadaannya itu sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan atau peranan manusia dalam

sistem

pembakaran

perladangan

alang-alang

dan

(Bartlett

penggunaan 1956:703;

api

Sauer

untuk 1956:55;

1969:17; Sears 1956:475; Stewart1956:129; Spencer 1966:38-40; Seavoy 1975:49-51, 1980:67; Geertz 1976:27; Keen 1978:212; Komkris 1978:62; Kunstadter 1978:91; Smitinand et al. 1978:38-39; Harris 1980c:12; Ivens 1980:150; Medina 1980:298; Sherman 1980:140-141, 1987:100-107; Dove 1981c:187, 1984a:2, 1984b:3, Tjitrosoedirdjo et al. 1984:61-73; Rambo 1982:97; Just 1983:4). Kedua,

kegiatan

berhubungan

atau

peranan

dari

manusia

dengan

masalah

intensifikasi

itu

terutama

dalam

bidang

pertanian yang disebabkan oleh pertambahan dan kepadatan penduduk (Sears 1956:475; Conclin 1957:62; Boserup 1965:20-23, 43, 116-117, 1976:25, 1980:141, 1981:15,31; Dumond 1965:311; Clarke 1966:347; Maude 1970:63-64; Brookfield 1972:31; Smith dan Young 1972:15,53; Spooner 1972:xvii; Bennet 1973:41; Seavoy 1973a:225, 1980:63,67; Grigg 1974:5; Netting 1974:37, 1977:68,71; Geertz 1976:27-28,34,84; Levi 1976:63,72; Rutz 1976:170; Turner et al. 1977:384,395; Kunstadter dan Chapman 1978:16; Morgan 1978:30,32;

Pelzer

1978:275;

Burnham

1980:159-160;

Harris

1980a:295; Sherman 1980:114,124,141, 1987:109; Weiner 1980: 434-435; Dove 1981c:198; Metzner 1982:14; Rambo 1982:92; Just 1983:4; Soemarwoto 1983:201; Booth 1985:142-143).

3

Intensifikasi pertanian ini berupa suatu perubahan sistem penggarapan lahan, yaitu dengan cara: 1. memperpendek masa bera atau masa istirahat lahan tersebut (dari jangka waktu yang lama ke jangka waktu yang lebih singkat), 2. mempercepat atau memperbanyak masa tanam, dan 3. kemungkinan mengubahnya menjadi lahan pertanian yang permanen. Akibat dari perubahan cara penggarapan itu adalah berubahnya pola penutupan vegetasi pada lahan tersebut, yaitu yang dulunya berupa hutan, maka dalam perkembangan lebih lanjut lahan tersebut dapat berubah menjadi semak belukar atau padang alangalang. Masalah kedua pada pengertian dasar yang pertama di atas, yaitu hubungan sebab-akibat antara intensifikasi pertanian dengan pertambahan dan kepadatan penduduk, merupakan teori dan pendekatan dari Ester Boserup, seorang ahli ekonomi. Boserup (1965) mengemukakan teorinya bahwa adopsi teknologi produksi pertanian secara lebih intensif itu disebabkan oleh adanya tekanan penduduk (population pressure) atas sumber-sumber daya alam setempat.

Penduduk

lebih

merupakan

variabel

pengaruh

(independent variable) daripada hanya sebagai variabel terpengaruh (dependent variable). Boserup juga berpendapat bahwa secara historis persediaan produksi pertanian itu memeiliki elastisitas yang

tinggi

dalam

menanggapi

tekanan

(pertumbuhan

dan

kepadatan) penduduk. Boserup mengemukakan alasannya bahwa hasil per hektar yang tinggi itu tentunya didukung oleh tambahan tenaga

kerja

yang

lebih

intensif.

Dikemukakan

pula

bahwa

intensitas tata guna lahan itu diukur berdasarkan lamanya masa bera atau pengistirahatan lahan (length of fallow). Hal ini dapat dilihat sebagai kesinambungan yang dinamis (dynamic continuum) dari pengistirahatan hutan yang panjang atau lama (long forestfallow) ke tanaman tahunan (annual cropping) dan tumpangsari atau penganekaragaman tanaman (multiple cropping). Sehubungan dengan uraian di atas, Boserup (1965:15-16) telah mengemukakan tipe intensitas penggunaan lahan, yang dapat diperinci seperti di bawah ini. 4

1. Pengelolaan lahan dengan pengistirahatan hutan (forest-fallow cultivation). Sistem ini berupa membersihkan tempat yang akan ditanami dan menanaminya dengan periode tanam yang pendek (satu sampai dua tahun), kemudian diberakan kembali untuk mengembalikan kesuburan tanah (paling sedikit 20-25 tahun). 2. Pengelolaan lahan dengan pengistirahatan semak belukar (bushfallow cultivation). Masa bera pada sistem ini lebih pendek (biasanya berkisar antara enam sampai sepuluh tahun), sehingga suksesi vegetasi yang terjadi tidak berupa hutan, tetapi berupa semak belukar dan kadang-kadang juga disertai pohon-pohon kecil. Masa tanam pada sistem ini sangat bervariasi yaitu ada yang satu sampai dua tahun dan bahkan ada yang enam sampai delapan tahun. 3. Pengelolaan lahan dengan pengistirahatan yang pendek (shortfallow cultivation). Periode masa beranya sangat pendek (satu sampai dua tahun), sehingga hanya alang-alang yang dapat tumbuh kembali pada masa bera yang pendek itu (disebut juga grass-fallow cultivation). 4. Tanaman

tahunan

(annual

cropping).

Sistem

ini

dapat

diklasifikasikan dengan sistem pengistirahatan lahan, karena lahan dibiarkan untuk tidak ditanami (biasanya hanya beberapa bulan, yaitu antara masa panen suatu tanaman dan penanaman berikutnya), dan biasanya berupa rotasi tahunan. 5. Tumpangsari atau penganekaragaman tanaman (multi cropping). Ini merupakan sistem tata guna lahan yang lebih intensif, yaitu satu bidang lahan yang ditanami lebih dari dua macam tanaman setiap tahun dan hampir tidak ada masa bera. Menurut Boserup, perubahan penggarapan lahan dari sistem pengistirahatan hutan ke sistem tumpangsari itu diikuti oleh adanya

perubahan

peralatan

pertanian

tradisional

(misalnya:

pelubang tanah) ke peralatan yang lebih baik dan efisien (misalnya: bajak, kuda, dan traktor). Lebih lanjut Boserup berpendapat bahwa perubahan semacam itu hanya dapat terjadi apabila ada tekanan penduduk, karena intensifikasi lahan pertanian itu melibatkan tambahan masukan tenaga kerja dan mundurnya produktifitas orang per jam kerja. Hanya dalam sistem tumpang sarilah terdapat kombinasi dari rendahnya tenaga pada tingkat subsistem dan 5

adaptasi dengan peralatan-peralatan yang lebih efisien dan hewan pekerja, yang pada akhirnya dapat menambah produktifitas orang per jam kerja (Boserup 1965:43-48). Pengertian

dasar

yang

kedua,

yaitu

hubungan

antara

perubahan populasi manusia dengan perubahan sifat suatu lingkungan, secara ringkas dikemukakan seperti di bawah ini. Pertama, karena populasi manusia berubah, maka kebutuhan hidup manusia juga berubah. Kedua, karena kebutuhan hidup manusia berubah maka cara manusia dalam mengeksploitasi lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu juga berubah. Ketiga, karena sistem mengeksploitasi lingkungan berubah, maka sifat dan kondisi lingkungan

juga berubah. Keempat, perubahan yang

terakhir ini kemungkinan besar dapat mengarah ke perubahan populasi

manusia,

yang

memang

diinginkan

ataupun

tidak

diinginkan oleh manusia itu sendiri (cf. Soemarwoto 1983:125). Keempat pernyataan tersebut di atas secara ringkas data dilihat pada Gambar 2. Gambar 2: Hubungan Sebab-Akibat Antara Perubahan Populasi Manusia Dengan Perubahan Sifat dan Kondisi Lingkungan

B. Kebijakan Pemerintah Segi

pengambilan

melaksanakan

keputusan

pembangunannya

oleh

(dalam

pemerintah

hubungannya

dalam dengan

padang alang-alang) antara lain meliputi: usaha penghutanan kembali tanah-tanah kritis (termasuk padang alang-alang) dan pembukaan wilayah transmigrasi. Pengambilan keputusan semacam 6

itu pada dasarnya perlu memperhatikan studi masalah lingkungan padang alang-alang dan sistem pengetahuan masyarakat setempat tentang cara atau teknologi eksploitasi padang alang-alang yang telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama (cf. Sherman 1980:139; Dove 1984b:13-18,32). Dalam hubungannya dengan masalah pembangunan yang menyangkut usaha untuk memperbaiki kondisi dan produktifitas wilayah padang rumput dan alang-alang, Dasmann et al. (1980:75) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “...Kegagalan aktivitas pembangunan ini biasanya ditimbulkan oleh usaha untuk memaksakan pola tingkah laku baru pada orang yang terikat tradisi, tanpa rencana pendidikan yang memadai dan tanpa cukup usaha untuk mendapatkan pengertian dan persetujuan mereka dengan sepenuh hati, dan oleh ketidakmampuan pemerintah untuk mengendalikan gerakan manusia dan praktek-praktek penggunaan tanahnya sebagai akibat usaha itu…. Akan tetapi, yang menjadi dasar masalah, ialah karena kurang terdapatnya pada pihak rakyat, para ahli pembangunan dan pemerintahan yang bersangkutan, mengenai prinsip-prinsip ekologi daerah perumputan dan pengelolaanya...”. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan masalahmasalah dasar mengenai sistem eksploitasi berbagai sumber daya alam di Lereng Tambora. Masalah dasar ini diharapkan dapat terungkap melalui serangkaian pertanyaan dan pernyataan tentang hubungan antara populasi manusia dengan populasi padang alangalang. Pertama, bagaimana populasi serta kebudayaan setempat dapat

menciptakan

padang

alang-alang

serta

bagaimana

hubungannya dengan padang alang-alang itu. Kedua, bagaimana dinamika padang alang-alang yang ada itu dapat mempengaruhi, serta kemungkinan dapat mengubah, kebudayaan setempat. Ketiga, yang bersifat kritis pada penelitian ini adalah pandangan mengenai hubungan antara padang alang-alang dengan populasi dengan kebudayaan setempat itu bersifat dinamis atau statis. Masalah dasar yang ketiga ini diharapkan dapat menjelaskan pada peneliti lain dan pemerintah bahwa perubahan pada salah satu faktor di atas dapat menentukan dan bereaksi tehadap perubahan faktorfaktor lainnya. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara nilai dari faktor-faktor tertentu dalam dunia tumbuh-tumbuhan atau flora 7

(misalnya: padang alang-alang) dengan faktor-faktor tertentu dalam masyarakat

dan

kebudayaannya

itu

(misalnya:

jumlah

dan

perkembangan penduduk). Perkiraan

pertambahan

padang

rumput

dan

alang-alang

seperti tersebut di atas, yaitu sekitar 150.000 Ha hingga 200.000 Ha per tahun, dapat memberikan petunjuk akan adanya dua gambaran yang sangat penting. Pertama, meluasnya padang alang-alang itu apakah merupakan petunjuk akan adanya degradasi lingkungan, yang

diakibatkan

pengetahuan

atau

oleh

praktek

nekad.

para

Pada

petani

umumnya

yang

para

kurang

perencana

pembangunan atau pemerintah telah mempunyai anggapan bahwa para petani atau penduduk pedesaan itu kurang pengetahuan, bodoh, atau nekad. Anggapan mereka yang keliru ini didasarkan pada data statistik bahwa banyak penduduk pedesaan yang berpendidikan rendah ataupun tidak pernah mengalami pendidikan formal sama sekali. Pemerintah juga beranggapan bahwa hanya pemerintahlah

yang

lebih

tahu

akan

keadaan

dan

masalah

lingkungan setempat bila dibandingkan dengan pengetahuan petani atau

penduduk

pedesaan

setempat

mengenai

lingkungannya.

Pemerintah atau para perencana pembangunan juga beranggapan bahwa praktek perladangan dan eksploitasi padang alang-alang, terutama dalam pembakaran alang-alang, merupakan suatu cara yang bodoh dan nekad. Pandangan yang tidak sepenuhnya benar ini juga akan mendapat perhatian khusus dari penulis, karena persepsi semacam ini juga amat menentukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan setempat. Kedua, semakin meluasnya padang alang-alang tersebut apakah merupakan petunjuk akan adanya transformasi lingkungan oleh penduduk, yang pada dasarnya telah direncanakan oleh terlebih dahulu.Transformasi lingkungan oleh penduduk pedesaan ini mempunyai hubungan yang erat dengan sistem intensifikasi pertanian, tekanan penduduk, dan terbatasnya lahan pertanian. Anggapan atau gambaran yang kedua ini akan mendapat tempat yang khusus pula dalam tulisan ini. Pada akhirnya, kebijaksanaan pemerintah terhadap meluasnya padang alang-alang akan berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tergantung pada sistem interpretasi yang dianggapnya benar.

8

DAFTAR PUSTAKA

Bartlett, H.H. 1956 “Fire, Primitive Agriculture, and Grazing in the Tropics.” Thomas, William L., ed., Man’s Role in Changing the Face of the Earth. Chicago: University of Chicago Press, hal. 692-720. Bennet, John W. 1973 “Ecosystemic Effects of Extensive Agricultural.” Annual Review of Anthropology. 2 : 36-45. Booth, Anne 1985 “Accommodating a Growing Population in Javanese Agriculture.” Bulletin of Indonesian Economic Studies. 21(2) : 115-145. Boserup, Ester 1965 The Conditions of Agricultural Growth : The Economics of Agrarian Change Under Population Pressure. Chicago, Aldine. 1976 “Environment, Population, and Technology in Primitive Societies.” Population and Development Review. 2 (1) : 21-36. 1980 “Population Growth and Prospects of Development in Savanna Nations.” Harris, David R., (ed.), Human Ecology In Savanna Environments. London: Academic Press, hal. 407-414. 1981 Population and Technological Change: A Study of Long-Term Trends. Chicago: University of Chicago Press. Brookfield, H. C. 1972 “Intensification and Disintensification in Pacific Agriculture: A Theoretical Approach.” Pacific Viewpoint. 13 : 30-48. Burnham, Philip 1980 “Changing Agricultural and Pstoral Ecologies in the West African Savanna Region.” Harris, David. R., ed., Human Ecology in Savanna Environmets. London: Academic Press, hal. 147-170. Clarke, William C. 1966 “From Extensive to Intensive Shifting Cultivation: A Succession from New Guinea.” Ethnology. 5 : 347-399. Conclin, Harold C. 1957 “Shifting Cultivation and Succession to Grassland Climax.” Proceedings of the Ninth Pacific Science Congress. 7 : 60-62. Dasmann, Raymond F., et al. 1980 Prinsip Ekologi Untuk Pembangunan Ekonomi. Terj. Ny. Idjah Soemarwoto. Cetakan kedua, Jakarta, Gramedia.

9

Dove, Michael R. 1981c “Symbiotic Relationship Between Human Population and Imperata Cylindrica: The Question of Ecosystemic Succession and Preservation in South Kalimantan” Nordin, M., et al., eds., Conservation Inputs From Life Sciences. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, hal. 187-200. 1984a “Dampak Pada Sosial Budaya Alang-alang, Pembangunan, dan Kepercayaan.” Makalah disampaikan pada Kursus Dasar-dasar Analisis Dampak Lingkungan, Yogyakarta, 26 Maret-10 April 1984. Yogyakarta, Pusat Penelitian dan Studi Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. 1984b “Government Versus Peasant Beliefs Concerning Imperata and Eupatorium: A Structural Analysis of Knowledge, Myth, and Agricultural Ecology in Indonesia. Kertas Kerja disampaikan pada Diskusi para Staff di East West Environment and Policy Institute, Honolulu, April 1984. Honolulu: Environment and Policy Institute, East West Center. Dumond, D. E. 1965 “Popuation Growth and Cultural Change.” Southwestern Journal of Anthropology. 21 (4) : 302-324. Geertz, Clifford 1976 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Terj. S. Supomo, Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Grigg, David B. 1974 The Ariculture System of The World: An Evolutionary Approach. Cambridge, Cambridge University Press. Harris, David R. 1980a “Comentary: Ecology, Demography, and Development in Savanna Environment.” Harris, David R., ed., Human Ecology in Savanna Environments. London, Academic Press: Universitas Indonesia, hal. 93-296. 1980b “Tropical Savanna Environments: Definition, Distribution, Diversity, and Development.” Harris, David R., ed., Human Ecology in Savanna Environments. London: Academic Press, Universitas Indonesia, hal. 3-27. Heider, Karl G. 1972 “Environment, Subsistence, Anthropology. 1: 207-266.

and

Society.”

Annual

Review

of

Ivens, G. W. 1980 “Imperata Cylindrica (L.) Beauv. in West African Agriculture.” BIOTROP. 5:149-156. Just, Peter 1983

“Perladangan, Pembangunan, dan Masyarakat di Kecamatan Dongo, Bima, NTB.” Naskah sedang dipersiapkan untuk diterbitkan.

10

Keen, F.G.B. 1978 “Ecological Relationship in Hmong (Meo) Economy.” Kundstadter, Peter, et al., (eds.), Farmer’s in The Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, Honolulu: East-West Center, hal. 210-221. Komkris, Thiems 1978 “Forestry Aspects of Land Use in Areas of Swidden Cultivation”. Kunstadter, Peter, et al., (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand. Honolulu: East-West Center, hal. 61-70. Kunstadter, Peter 1978 “Subsistence Agricultural Economic of Lua’ and Koren Hill Farmers, Mae Sariang District, Northwestern Thailand”. Kunstadter, Peter, et al., (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, Honolulu: East-West Center, hal. 323. Levi, John F. S. 1976 “Population Pressure and Agricultural Change in the Land-Intensive Economy.” Journal of Development Studies. 13(1) : 61-78. Maude, Alaric 1970 “Shifting Cultivation and Population Growth in Tonga.” Journal of Tropical Geography. 31: 57-64. Medina, Ernesto 1980 “Ecology of Tropical American Savannas: An Ecophysiological Approach.” Harris, David R., (ed.), Human Ecology in Savanna Environments, London, Academic Press, hal. 297-319. Metzner, Joachim K. 1982 Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Flores: A Contribution to the Study of Stability of Agricultural Systems in The Wet and Dry Tropics. Canberra: The Australian National University. Morgan, William Basil 1978 Agriculture in The Third World: A Spatial Analysis. Boulder (Colorado): Westview Press. Netting, Robert McC. 1974 “Agrarian Ecology.” Annual Review of Anthropology. 3 : 21-56. 1977 Cultural Ecology. Menlo Park (California): Cummings.

11

Pelzer, Karl J. 1978 “Swidden Cultivation in Southeast Asia: Historical, Ecological, and Economic Perspectives.” Kunstadter, Peter, et al., (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, Honolulu: East-West Center, hal. 271-286. Rambo, A. Terry 1982 Conceptual Approaches to Human Ecology. Laporan Riset No. 14. Honolulu: East-West Center. Rutz, Henry J. 1976 “The Efficiency of Traditional Agriculture, Phoses of Development, and Induce Economic Change in the Waidina Valley, Fiji.” Pitt, David, (ed.), Development From Below: Anthropologist and Development Situations. Paris: Mouton, hal. 167-188. Sauer, Carl O. 1956 “The Agency of Man on The Earth.” Thomas, William L., (ed.), Man’s Role in Changing Face of The Earth. Chicago: University of Chicago Press, hal. 49-69. Sears, Paul B. 1956 “The Processes of Environmental Change by Man.” Thomas, William L., (ed.), Man’s Role in Changing Face of The Earth. Chicago: University of Chicago Press, hal. 471-484. Seavoy, Ronald P. 1973a “The Transition to Continuous Rice Cultivation in Kalimantan.” Annals of the Association of American Geographers. 63(2) : 218-225. 1975 “The Origin of Tropical Grasslands in Kalimantan, Indonesia.” Journal of Tropical Geography. 40 : 48-52. 1980 “Population Pressure and Land Use Change: From Tree Crops to Sawah in Northwestern Kalimantan, Indonesia.” Singapore Journal of Tropical Geography. 3 : 1(2) : 61-67. Sherman, George 1980 “What ‘Green Desert’?: The Ecology of Batak Grassland Farming.” Indonesia. 29 : 113-148. Smith, Philip E. L. dan T. Cuyler Young 1972 “The Evolution of Early Agriculture and Culture in Greater Mesopotamia: A Trial Model.” Spooner, Brian, (ed.), Population Growth: Anthropological Implications. Cambridge: MIT Press, hal. 159.

12

Smitinand, Tem, et al. 1978 “The Environment of Northern Thailand.” Kunstadter, Peter, et al., (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, Honolulu: East-West Center, hal. 2420. Soemarwoto, Otto 1983 Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Jakarta, Djambatan. Spencer, J. E. 1966 Shifting Cultivation in Southeastern Asia. Berkeley: University of California Press, hal. 336-349. Spooner, Brian, ed. 1972 Population Growth: Anthropological Implications. Cambridge: MIT Press Steward, Julian H. 1955 Theory of Culture Change: The Methodology of Multilinear Evolution. Urbana: University of Illinois Press. 1972 “Ecology: Cultural Ecology.” International Encyclopedia of the Social Science. 4 : 337-344. Stewart, Omer C. 1956 “Fire as The First Great Force Employed by Man.” Thomas, William L., (ed.), Man’s Role in Changing Face of The Earth. Chicago: University of Chicago Press, hal. 115-133. Sub Seksi Pemangkuan Hutan Tambora 1978 Laporan Inventarisasi Kawasan Hutan Tambora. Kempo-Pekat: Sub Seksi Pemangkuan Hutan Tambora. Suparlan, Parsudi 1983 “Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya.” Soerjani, Mohamad dan Bahrin Samad, (eds.), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hal. 66-76. Tjitrosoedirdjo, Soekisman, et al. 1984 Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Jakarta, Gramedia. Turner, B. L., et al. 1977 “Population Pressure and Agricultural Intensity.” Annals of the Association of American Geographers. 67(3) : 384-396. Vayda, Andrew P. dan Roy A. Rappaport 1968 “Ecology, Cultural, and Noncultural.” Clifton, James A., (ed.), Introduction to Cultural Anthropology: Essays in the Scope and Methods of the Science of Man. Boston: Boughton Mifflin, hal. 477497. 13

1975

“New Directions in Ecology and Ecological Anthropology.” Annual Review of Anthropology. 4 : 293-306.

Vredenbegt, Jacob 1978 Metode dan Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia. Weiner, J. S. 1980 “Work and Wellbeing in Savanna Environments: Physiological Considerations.” Harris, David R., (ed.), Human Ecology in Savanna Environments. London: Academic Press, hal. 421-437.

----- @ -----

14