TRADE-OFF

Download 4 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI. Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini d...

0 downloads 681 Views 3MB Size
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/298787545

Analisis Trade-Off Konsep dan Aplikasi Book · November 2015

CITATIONS

0 1 author: Suaedi Fachruddin Universitas Cokroaminoto Palopo 8 PUBLICATIONS   4 CITATIONS    SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Survey of employment Palopo city View project

All content following this page was uploaded by Suaedi Fachruddin on 18 March 2016. The user has requested enhancement of the downloaded file.

SUAEDI

ANALISIS ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

PT Penerbit IPB Press

KONSEP DAN APLIKASI

Lingkungan

Kampus IPB Taman Kencana Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected] Penerbit IPB Press

TRADE-OFF

@IPBpress

ISBN : 978-979-493-882-9

SUAEDI

ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

SUAEDI

ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

SUAEDI

Penerbit IPB Press

Kampus IPB Taman Kencana, Kota Bogor - Indonesia

C.01/11.2015

Judul Buku: Analisis Trade-Off Konsep dan Aplikasi Penulis: Suaedi Editor:

Gani Kusnadi

Desain Sampul dan Penata Isi: Ikrar Bey Khubaib Korektor:

Nia Januarini Jumlah Halaman: 178 + 16 halaman romawi Edisi/Cetakan: Cetakan 1, November 2015 PT Penerbit IPB Press Anggota IKAPI Kampus IPB Taman Kencana Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected] ISBN: 978-979-493-882-9 Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan © 2015, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Prakata

Mari kita bersama menghaturkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena buku ini hadir di tangan pembaca berkat karunia-Nya. Buku ini ditulis untuk memenuhi harapan rekan peneliti akan perlunya pendekatan baru dalam sistem pengambilan keputusan yang partisipatif. Beberapa hal yang melatarbelakangi penulisan buku ini, yaitu Pertama, selama ini para stakeholder masih kesulitan memilih sistem pendukung keputusan dalam penentuan kebijakan yang dapat diterima oleh semua pihak dan mudah implementasinya. Kedua, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan karena dipengaruhi oleh dua sumber aktivitas manusia, yakni dari darat dan laut dengan keadaan ekonomi masyarakat relatif rendah, sedangkan sumber daya pesisir menyimpan kekayaan yang sangat tinggi nilainya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Sebagai sebuah tulisan, tentunya diharapkan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan buku ini. Semoga bimbingan, saran, dan masukan yang diberikan dengan ikhlas dapat membuahkan sebuah karya yang bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan serta kemaslahatan umat manusia khususnya bagi masyarakat wilayah pesisir. Palopo, April 2013 Suaedi

Ucapan Terima Kasih

Melalui buku ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Bunasor Sanim, Bapak Sugeng Budiharsono, dan Ibu Rina Oktaviani yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran serta bimbingannya sehingga dapat menyelesaikan kajian ini. Kepada Bapak Surjono Hadi Sutjahjo dan Ibu Etty Riani juga saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan waktunya dalam memberikan dorongan juga semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi di IPB. Kepada teman-teman PSL IPB, teman-teman dari Politeknik Pertanian Pangkep, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Cokroaminoto Palopo, serta semua pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam proses studi yang telah memberikan perhatian penuh, bantuan moril, serta semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda Sitti Aujah (alm), doa kepada Ayahanda Fachruddin (alm), kakak, dan adik beserta seluruh keluarga atas doa yang tulus untuk penulis. Palopo, Maret 2014 Suaedi

Daftar Isi

Prakata ..............................................................................................................v Ucapan Terima Kasih .................................................................................... vii Daftar Isi . ....................................................................................................... ix Daftar Tabel ................................................................................................... xi Daftar Gambar . ............................................................................................ xiii BAGIAN SATU: PROLOG 1. Mengapa Perlu Trade-Off? ........................................................................... 2 2. Kerangka Berpikir Logis ............................................................................... 6 3. Pembelajaran dari Subang........................................................................... 12 BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF 4. Pembangunan Berkelanjutan . .................................................................... 16 5. Pengelolaan Wilayah Pesisir........................................................................ 18 6. Perencanaan Partisipatif.............................................................................. 24 BAGIAN TIGA: KONSEP TRADE-OFF 7. Analisis Stakeholder...................................................................................... 34 8. Analisis Multi Kriteria . ............................................................................. 36 9. Analisis Trade-off......................................................................................... 38 10. Penerapan Analisis Trade-off...................................................................... 40

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS 11. Prosedur Penelitian................................................................................... 46 12. Analisis Data ............................................................................................ 50 BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH 13. Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder....................................................... 67 BAGIAN ENAM: PEMETEAAN STAKEHOLDER DAN SRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH 14. Skenario Pembangunan Wilayah Pesisir.................................................... 74 BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 15. Pengembangan dan Penerapan Sistem Budi Daya Perikanan Berkelanjutan yang Adaptif dan Ekonomis............................................. 104 16. Pengembangan Kawasan Wisata secara Terpadu dan Pemberdayaan Masyarakat............................................................... 109 17. Pengelolaan Lingkungan Pesisir dengan Melakukan Perbaikan Kualitas Perairan, Pengelolaan DAS, dan Konservasi Kawasan Mangrove............ 112 18. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia secara Berkesinambungan........................................................................ 115 19. Penguatan Kelembagaan Masyarakat dan Peningkatan Koordinasi antar Lembaga........................................................................................ 120 BAGIAN DELAPAN: IKHTISAR 20. Ikhtisar.

.................................................................................................. 126 Ikhtisar

Daftar Pustaka ............................................................................................. 131 Lampiran...................................................................................................... 141 Profil Penulis................................................................................................. 177

Daftar Tabel

Tabel 1 Tipologi konflik pengelolaan wilayah pesisir . .................................. 8 Tabel 2 Jenis-jenis partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam............ 29 Tabel 3 Konflik interest dan komplementaritas di antara stakeholder DAS Phu Wiang, North-East Thailand .......................................... 41 Tabel 4 Jenis dan sumber pengambilan data sekunder................................. 48 Tabel 5 Banyaknya responden pengambilan data pendapatan masyarakat...................................................................................... 49 Tabel 6 Banyaknya responden pengambilan data akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir.......................................................... 49 Tabel 7 Indikator pengaruh stakeholder terhadap pembangunan wilayah pesisir........................................... 51 Tabel 8 Matkris perbandingan berpasangan dalam penentuan kriteria pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang........................... 54 Tabel 9 Skala perbandingan berpasangan ................................................... 55 Tabel 10 Matriks dampak masing-masing skenario pembangunan wilayah pesisir terhadap kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial . ................... 57 Tabel 11 Luas areal budi daya perikanan menurut status tanah (ha) di Kabupaten Subang tahun 2004.................................................. 64 Tabel 12 Pengunjung objek wisata pantai Pondok Bali tahun 2000–2003.... 66 Tabel 13 Stakeholder pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang......... 67 Tabel 14 Rangkuman skenario kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang........................... 75 Tabel 15 Kriteria dan teknik pengukuran yang digunakan dalam skenario pembangunan wilayah pesisir Subang..................... 77

Daftar Isi

Tabel 16 Nilai parameter kualitas air di perairan pesisir Kabupaten Subang......................................................................... 80 Tabel 17 Karakteristik sedimen daerah pantai di Kabupaten Subang............. 82 Tabel 18 Kondisi substrat perairan laut dan sungai di Kabupaten Subang..................................................................... 83 Tabel 19 Pendapatan masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Subang......................................................................... 84 Tabel 20 PDRB atas dasar harga berlaku dan distribusinya berdasarkan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Subang tahun 2001–2003................. 86 Tabel 21 Akses masyarakat terhadap sumber daya di wilayah pesisir.............. 89 Tabel 22 Persentase penduduk menurut pendidikan yang ditamatkan.......... 90 Tabel 23 Dampak skenario terhadap kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial........................................................................................ 94 Tabel 24 Matriks dampak dari masing-masing skenario pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang........................... 95 Tabel 25 Matriks dampak dengan skor dan bobot untuk masing-masing skenario....................................................... 96 Tabel 26 Hasil analisis pembobotan kriteria pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang.................................................. 98 Tabel 27 Hasil perhitungan dengan menggunakan bobot hasil judgement stakeholder............................................................ 100 Tabel 28 Kondisi masa depan wilayah pesisir hasil skenario terpilih............ 100 Tabel 29 Satuan wilayah sungai berdasarkan daerah aliran sungai di wilayah Kabupaten Subang....................................................... 114 Tabel 30 IPM Kabupaten Subang tahun 2000–2003.................................. 116 Tabel 31 Standar konsumsi gizi per kapita dan pencapaian konsumsi ikan di Kabupaten Subang 2000–2004................................................ 117

xii

Daftar Gambar

Gambar 1 Kerangka berpikir logis .............................................................. 11 Gambar 2 Permasalahan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang...................................................................... 13 Gambar 3 Ekologi penyusunan kebijakan publik wilayah pesisir ................ 23 Gambar 4 Tujuan pengelolaan ekosistem pesisir . ....................................... 23 Gambar 5 Langkah-langkah dalam analisis trade-off ................................... 39 Gambar 6 Tahapan pelaksanaan penelitian dan analisisnya.......................... 46 Gambar 7 Ketegori stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan......................................................................... 52 Gambar 8 Kriteria penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang............................................. 53 Gambar 9 Grafik kepentingan dan pengaruh relatif stakeholder pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang....................... 69 Gambar 10 Perkembangan luas hutan mangrove di Kabupaten Subang tahun 1988–2003..................................... 79 Gambar 11 Kondisi pantai di wilayah Patimban yang mengalami abrasi........ 82 Gambar 12 Perkembangan PDRB Kabupaten Subang atas dasar harga berlaku............................................................... 86

BAGIAN SATU: PROLOG

2 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

1. Mengapa Perlu Trade-Off ? Proses pembangunan di berbagai daerah belum dapat menjadikan wilayah berkembang sesuai dengan arah dan orientasi pengembangan yang diharapkan, yakni kesejahteraan, kelestarian, serta kemakmuran bangsa. Pembangunan yang dilaksanakan cenderung menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan sumber daya alam. Hal ini terlihat pada kondisi ekologi dan sosial yang cenderung mengalami penurunan kualitas. Dikaitkan dengan konsepsi pembangunan berkelanjutan, kondisi wilayah juga menunjukkan belum tercapainya keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial. Berkelanjutan secara ekonomi berarti suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Secara lebih spesifik, pembangunan wilayah dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi tiga kriteria keberlanjutan pembangunan, yakni ekologi, ekonomi, dan sosial. Kriteria ekologi antara lain tekanan terhadap lahan kurang, kualitas air, udara, tanah memenuhi baku mutu lingkungan, ada kegiatan konservasi, produktivitas tidak menurun, dan metode budi daya yang ramah lingkungan. Kriteria ekonomi antara lain kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tinggi, pendapatan masyarakat relatif tinggi terhadap upah minimum regional, penyerapan tenaga kerja tinggi, distribusi pendapatan merata, pasar berskala nasional, pola kemitraan ada dan berfungsi, serta perkembangan sarana ekonomi meningkat. Kriteria sosial antara lain pengetahuan terhadap lingkungan yang memadai, tingkat pendidikan masyarakat relatif tinggi, frekuensi konflik rendah, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumber daya alam tinggi, ada alternatif usaha selain pemanfaatan sumber daya alam, kesehatan masyarakat meningkat, ketersediaan peraturan pengelolan, dan ada transparansi dalam pengambilan keputusan, serta pengembangan kelembagaan lokal atas inisiatif masyarakat (Pitcher 1999).

PROLOG | 3

Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumber daya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dan karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce dan Tannis 1999). Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus, yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang ataupun generasi yang akan datang. Untuk mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle). Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumber daya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya, serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, serta pengembangan kelembagaan.

4 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Sementara itu, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan, antara lain CIFOR mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif, tetapi juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan. Hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui proses-proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan 2003). Salah satu faktor yang diidentifikasi sebagai penyebab tidak berkelanjutannya pembangunan adalah perencana dan pembuat kebijakan kurang mempertimbangkan kompleksitas dan dinamika wilayah dalam proses pengambilan kebijakan. Sistem pengambilan keputusan tidak didasarkan

PROLOG | 5

pada kondisi sekarang dan kondisi masa depan yang diinginkan (dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial) sehingga sulit mengukur kinerja pencapaian secara akurat. Selain itu, keterkaitan antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial tidak dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan sehingga sering kali mengalami kesulitan dalam implementasinya. Dalam proses perencanaan pembangunan wilayah terdapat dua hal penting, yakni (1) menentukan keadaan yang diinginkan di masa depan dan (2) memikirkan strategi serta tindakan untuk mencapai keadaan tersebut (Lawrence 1998). Sifat wilayah pesisir yang multi objektif, multi stakeholder, dan berbagai konflik kepentingan mengakibatkan dilema dalam proses pengambilan keputusan (Brown et al. 2001). Hal ini berarti bahwa fokus pembangunan wilayah pesisir tertuju pada kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Persoalan pemanfaatan inilah yang kemudian memicu konflik antar stakeholder, baik vertikal maupun horizontal. Untuk itu, diperlukan suatu sistem manajemen yang efektif yang dapat meresolusi konflik dan membuat trade-off di antara berbagai stakeholder. Membuat keputusan tentang bagaimana cara mengatur pemanfaatan sumber daya alam yang melibatkan banyak stakeholder, mempunyai gagasan berbeda tentang bagaimana sumber daya harus diatur, dan faktor mana yang paling utama dalam proses pengambilan keputusan merupakan hal yang rumit. Untuk itu, diperlukan suatu kerangka yang dapat digunakan di dalam mempertimbangkan kriteria serta indikator keberlanjutan pembangunan yang tepat. Kerangka ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam proses pengambilan keputusan pada suatu format yang menghasilkan trade-off dari ketiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni pilar ekonomi, ekologi, dan sosial.

6 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

2. Kerangka Berpikir Logis Konsep pembangunan berkelanjutan telah diadopsi oleh setiap negara untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Dalam kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Keberlanjutan merupakan pernyataan ideal di mana masyarakat hidup untuk menikmati kebutuhan mereka yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial, bukan kompromi dari kemampuan manusia untuk melakukan hal yang sama di masa kini dan akan datang. Dalam praktiknya, keberlanjutan lebih pada proses penerimaan, pengimplementasian, dan pengembangan kebijakan strategi, institusi, serta teknologi yang sesuai untuk memajukan masyarakat menuju kondisi yang ideal (WCED 1987). Untuk mencapai keberlanjutan, keterpaduan lingkungan, dan keadilan sosial harus direalisasikan serta ditegakkan secara simultan. Dalam kaitan dengan pembangunan wilayah pesisir, terdapat karakteristik dan dinamika masyarakat pantai serta faktor-faktor ekonomi, ekologi, sosial, dan pranata-pranata yang berlaku pada masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Wilayah pesisir memiliki karakteristik khusus yang lebih kompleks dibandingkan dengan daratan atau lautan. Hal ini karena terdapat interaksi antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga interaksi masyarakat wilayah peisisir yang sangat dinamis, baik antar masyarakat sendiri maupun interaksi antara masyarakat dan ekosistem pesisir. Paradigma pembangunan wilayah pesisir telah berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Sifat kunci dari pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan di antaranya peningkatan fokus terhadap pengelolaan lingkungan yang komprehensif, restorasi lingkungan, dan perhatian terhadap partisipasi masyarakat. Konsep keberlanjutan mengandung tiga dimensi yakni ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Sebagai sebuah ‘way of thinking’ keberlanjutan tidak hanya menjadi bagian dari mainstream proses pengambilan keputusan, tetapi juga harus menjadi realitas politik. Prinsip pembangunan berkelanjutan

PROLOG | 7

mempunyai empat efek utama (satu yang umum dan tiga yang khusus) dalam mengelola sumber daya pesisir. Efek umum adalah pengaruh sustainability thinking terhadap keseluruhan konteks pengambilan keputusan dengan mengintegrasikan konsep keadilan, lingkungan, dan ekonomi. Tiga dampak khusus terdapat pada dimensi ekonomi, pengelolaan sumber daya lingkungan, serta pembangunan sosial dan budaya (Kay and Alder 1999). Secara ekologis, ekosistem pesisir (coastal ecosystem) saling terkait dan bergantung dengan ekosistem teresterial (teresterial ecosystem) dan ekosistem laut (marine ecosystem) sehingga degradasi fungsi ekosistem pesisir akan berpengaruh terhadap ekosistem lainnya. Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, cepat atau lambat akan memengaruhi ekosistem lainnya (Bengen 2000). Di samping itu, wilayah pesisir bersifat open acces sehingga rentan terhadap upaya-upaya eksploitasi (Anwar 1992). Karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem pesisir yang secara ekologis saling terkait satu sama lain serta beranekaragamnya sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan mensyaratkan konsepsi pembangunan wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yakni sektoral, bidang ilmu, dan ekologis (Dahuri 2001). Dalam proses pembangunan wilayah pesisir, diperlukan pendekatan berbagai disiplin ilmu, baik yang berkaitan langsung dengan ekologi, ekonomi, dan sosial di wilayah pesisir maupun di luar wilayah pesisir dan laut. Di samping itu, dalam proses perencanaan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan pembangunan wilayah pesisir perlu melibatkan semua pihak yang terkait, baik yang akan memperoleh manfaat maupun yang akan menerima dampak dari kebijakan tersebut di masa kini ataupun di masa yang akan datang. Pada prinsipnya, pengelolaan wilayah pesisir berkaitan erat dengan faktor lingkungan ekologis, lingkungan ekonomi, dan lingkungan sosial yang saling berhubungan satu sama lain, serta diatur melalui hukum, aturan-aturan lokal dan tradisi. Timbulnya masalah dalam pengelolaan pesisir antara lain karena ketiga faktor tersebut tidak berjalan secara harmonis, yang pada akhirnya menimbulkan konflik pengelolaan, baik dalam hal pemanfaatan maupun kewenangan pengelolaan. Tipologi konflik pada wilayah pesisir seperti pada Tabel 1.

8 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 1 Tipologi konflik pengelolaan wilayah pesisir Mekanisme pengelolaan Konflik siapa yang Konflik bagaimana berhak mengatur kebijakan akses terhadap: diputuskan: pemanfaatan format optimal pengelolaan jangka pendek, dan peraturan penegakan pemerintah dalam hukum, dan proses sistem pesisir konsultasi Yurisdiksi

Alokasi internal

Alokasi eksternal

Konflik yang bersumber dari interaksi di antara stakeholder

Konflik yang bersumber dari interaksi pemanfaataan wilayah pesisir dengan aktivitas di luar wilayah pesisir

Sumber: Mardle et al. (2003), dimodifikasi

Pendekatan pengelolaan wilayah pesisir sedapat mungkin berorientasi pada tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain (1) peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha; (2) pengembangan program dan kegiatan yang mengarah pada peningkatan pemanfaatan secara optimal serta lestari sumber daya di wilayah pesisir dan lautan; (3) peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan; serta (4) peningkatan pendidikan, latihan, riset, dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan (Dahuri 2001). Dari beberapa tujuan tersebut maka pemanfaatan secara optimal dan lestari adalah salah satu yang menjadi pertimbangan utama di dalam pengelolaan sumber daya. Pemanfaatan secara lestari hanya akan dicapai jika sumber daya dikelola secara baik, proporsional, dan transparan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alam, buatan, dan sosial (Keraf 2000). Pendekatan terhadap pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan membutuhkan teknik analisis pengelolaan lingkungan, sistem pemerintahan, serta aturan dalam pengambilan keputusan dan proses perencanaan. Kegiatan tersebut membutuhkan perencanaan yang tepat dan berkesinambungan agar tercapai pemanfaatan sumber daya (alam, finansial, dan teknologi) yang efisien dan efektif. Untuk itu, diperlukan kajian yang komprehensif dan mendalam dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan kegiatan pembangunan tersebut. Pada saat merencanakan suatu kegiatan, banyak stakeholder yang terkait sehingga partisipasi menjadi isu yang sangat penting dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan (Suhandi 2001; Takeda 2001). Para stakeholder

PROLOG | 9

berbeda dalam beberapa hal yakni keinginan, kebutuhan dan tata nilai, tingkat pengetahuan, motivasi, serta aspirasi. NRTEE (1998) menyatakan bahwa pembangunan partisipatif potensial memberikan manfaat karena mendorong kolaborasi dan konsultasi antar stakeholder sehingga menyediakan kesempatan bagi stakeholder untuk memfokuskan kembali pengelolaan secara bersama untuk mencapai tujuan dalam kerangka yang lebih luas. Optimisme terhadap harapan pencapaian tersebut lebih tinggi karena partisipasi pengelolaan akan dapat memberikan keluaran bagi kepentingan bersama, mendorong perubahan hubungan yang lebih akrab, mendorong penguatan kerja sama yang bertanggung jawab, mendukung otonomi dan transparansi, mendukung perubahan sistem pengambilan keputusan, serta lebih mampu merespons kebutuhan regional. Terdapat beberapa alasan bahwa perencanaan dan implementasi suatu kegiatan harus mengutamakan partisipasi stakeholder dalam proses pelaksanaannya (Suhandi 2001) yaitu (1) kualitas sumber daya yang digunakan dalam pembangunan akan terjaga, jika masing‑masing stakeholder memahami posisinya sebagai perencana dan pengelola sumber daya. Partisipasi dan komitmen terhadap keberlanjutan akan menjadi pionir terhadap keberlanjutan kualitas sumber daya; (2) stakeholder, terutama masyarakat memiliki kapasitas untuk mengelola kualitas sumber daya guna meningkatkan kualitas hidupnya sehingga konflik antar stakeholder terhadap penggunaan sumber daya akan menurunkan kualitas sumber daya; (3) lebih tingginya harapan keberhasilan jika seluruh stakeholder terlibat dalam perumusan rencana dan implementasi program; serta (4) pengalaman dan pengetahuan setiap stakeholder terhadap sumber daya alam di sekitarnya dapat merupakan nilai tambah bagi program pembangunan. Dalam suatu sistem perekonomian, optimalitas akan dicapai apabila produksi dan distribusi tidak dapat ditata kembali untuk meningkatkan utilitas seseorang atau kelompok orang tanpa mengurangi utilitas orang atau kelompok lainnya. Jika keadaan ini dicapai, pengalokasian sistem produksi dan distribusi dikatakan Pareto Optimal. Ekonomi kesejahteraan mengasumsikan bahwa kesejahteraan ekonomi-sosial dianggap sebagai penjumlahan kesejahteraan yang dinyatakan oleh para individu dalam masyarakat. Berdasarkan Kriterium Kesejahteraan Pareto, alokasi sumber daya akan efisien secara ekonomis bila tidak mungkin lagi akan mengadakan peningkatan kesejahteraan individu yang satu tanpa merugikan individu yang lain (Hufschmidt

10 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI et al. 1996). Anggapan dasar dalam analisis ini ialah tingkat kepuasan atau tingkat kesejahteraan ekonomi yang dialami oleh para individu diukur berdasarkan harga yang mereka siap bayar di dalam mengonsumsikan barang dan jasa. Di samping itu, kesejahteraan masyarakat dapat diukur menggunakan uang dengan cara menjumlah nilai uang perorangan sehingga kriterium Pareto tidak dapat diterapkan jika perubahan dalam alokasi sumber daya mengakibatkan seseorang menjadi lebih baik keadaannya, sedangkan orang lain makin menderita. Berdasarkan pendekatan ini, suatu perubahan dianggap baik secara ekonomi bila seseorang yang memperoleh keuntungan bersedia memberikan kompensasi atau imbalan pada mereka yang menderita kerugian. Salah satu pendekatan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan tersebut adalah analisis trade-off yang merupakan pendekatan pembangunan wilayah yang dapat mengintegrasikan faktor ekologi, ekonomi, dan sosial secara simultan dengan melibatkan semua stakeholder. Pendekatan ini dimulai dengan analisis stakeholder lalu dilanjutkan dengan analisis multi kriteria. Dengan pendekatan ini dapat dirumuskan trade-off di antara ketiga pilar pembangunan berkelanjutan untuk dijadikan alternatif kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Analisis ini merupakan alat yang dapat membantu pengambil kebijakan memahami konflik penggunaan sumber daya dan preferensi stakeholder dalam upaya pengelolaan sehingga dikenal pula sebagai sistem pendukung keputusan (decision support system) untuk mengkuantifikasi trade-off di antara indikator kunci keberlanjutan di dalam alternatif skenario kebijakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut untuk merumuskan kebijakan pembangunan wilayah pesisir secara partisipatif dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait, mulai dari tingkat nasional, regional, hingga lokal. Rumusan kebijakan yang dihasilkan akan mencapai kondisi Pareto optimum yang merupakan trade-off dari kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial. Kebijakan ini akan menjamin pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Secara visual, kerangka ini disajikan pada Gambar 1.

PROLOG | 11

Sistem ekologi wilayah pesisir

Sistem ekonomi wilayah pesisir

Sistem sosial wilayah pesisir

Kondisi sekarang wilayah pesisir yang dikaji Stakeholder: Nasional Regional Lokal off-site Lokal on-site Kriteria/indikator Pembangunan: ƒ Ekonomi ƒ Ekologi ƒ Sosial

Kebijakan Pemerintah: ƒ Tata ruang ƒ Pembangunan ekonomi ƒ Pengembangan SDM ƒ Prasarana wilayah

Proyeksi: ƒ Pertumbuhan ekonomi ƒ Kualitas lingkungan ƒ Kesejahteraan masyarakat

Pareto Optimum

Prioritas Kebijakan Pembangunan Wilayah Peisisir yang Dikaji

Pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan

Gambar 1 Kerangka berpikir logis Keunggulan metodologi ini dibandingkan dengan metodologi penyusunan kebijakan yang lain adalah bahwa semua proses pelaksanaan rancang bangun kebijakan melibatkan stakeholder secara substansial, mulai dari perumusan skenario kebijakan, penyusunan kriteria pembangunan, dan penentuan dampak kebijakan terhadap kriteria pembangunan yang telah disepakati. Selanjutnya, hasil simulasi dari setiap skenario kebijakan pembangunan mengenai kondisi masa depan wilayah pesisir Kabupaten Subang dapat langsung dilihat oleh stakeholder. Skenario ini disusun dalam bentuk kuantitatif sehingga pengukuran dampaknya terhadap kriteria yang ditentukan lebih mudah. Stakeholder dapat langsung mengetahui dampak kebijakan apabila hanya mempertimbangkan satu atau dua aspek saja. Kelemahan dari metodologi ini adalah analisis keterkaitan

12 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI antar sistem ekonomi, sosial, dan ekologi tidak dikaji secara mendalam sehingga kuantifikasi skenario serta dampaknya belum mencerminkan kondisi sebenarnya dari setiap skenario kebijakan. Namun demikian, dalam penentuan prioritas, hal ini dapat tereduksi karena dilakukannya pembobotan untuk setiap kriteria secara partisipatif yang mencerminkan preferensi stakeholder.

3. Pembelajaran dari Subang Kebijakan pemerintah Kabupaten Subang untuk mengoptimalkan potensi wilayah pesisir yang telah dilaksanakan selama ini belum memperlihatkan hasil yang dapat menjadikan wilayah pesisir sebagai primadona dalam kegiatan pembangunan di Kabupaten Subang. Apabila dilihat dari paradigma pembangunan berkelanjutan, wilayah pesisir belum menunjukkan adanya pemerataan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, bahkan memperlihatkan kecenderungan penurunan kualitas ekologi, ekonomi, dan sosial. Masyarakat di wilayah pesisir sebagian besar hidup dalam kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, terbatas dalam penguasaan modal dan akses informasi usaha, adopsi teknologi yang rendah, serta kelembagaan ekonomi yang belum optimal. Struktur ekonomi Kabupaten Subang didominasi oleh sektor pertanian (42,80%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (29,28%), serta sektor jasajasa (9,36%), sedangkan sumbangan sektor perikanan hanya 1,18% terhadap total PDRB. Peranan sektor pariwisata dan sektor jasa di wilayah pesisir belum signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Subang. Dari seluruh penduduknya, tercatat 54,67% saja yang terserap dalam berbagai lapangan pekerjaan, terutama di ketiga sektor dominan tersebut. Penduduk yang bekerja sebagai petani tambak 4,23% dan nelayan 3,69%. Rendahnya minat masyarakat untuk bekerja di sektor perikanan menunjukkan rendahnya produktivitas sektor ini. Hal ini merupakan indikasi belum optimalnya pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Indikator lainnya adalah tingkat pendidikan masyarakat yang 78,6% hanya tamat SD serta akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang rendah. Selain itu, permasalahan sosial yang krusial dalam pembangunan wilayah pesisir saat ini adalah terjadinya konflik pengelolaan tanah timbul di wilayah pesisir antar instansi dan antar masyarakat.

PROLOG | 13

Secara ekologi, ekosistem pesisir di wilayah Kabupaten Subang juga mendapat tekanan yang semakin kompleks dan mengancam kelestariannya. Tekanan tersebut antara lain eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hayati, khususnya ekosistem mangrove, degradasi fisik ekosistem pesisir seperti laju abrasi pantai yang tinggi dan pencemaran perairan akibat aktivitas manusia, baik di darat maupun di laut. Terjadi penurunan kualitas air di wilayah pesisir dan sedimentasi, abrasi dan akresi, degradasi kawasan mangrove serta alih fungsi lahan. Berdasarkan data dan informasi tersebut dirangkum beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Subang seperti disajikan pada Gambar 2. Permasalahan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak negatif di masa mendatang yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak.

sumber daya

Gambar 2 Permasalahan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang Saat ini terdapat berbagai institusi, baik pemerintah, pemerintah daerah, maupun swasta yang mengelola bagian-bagian kawasan pesisir Kabupaten Subang secara sendiri-sendiri dengan mekanisme yang tumpang tindih. Kegiatan yang ada seperti pertanian, wisata, perikanan, pemukiman, dan sebagainya belum menunjukkan keterpaduan sebagaimana persyaratan pembangunan wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem yang kompleks.

14 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Berbagai kajian telah dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, namun belum diperoleh solusi optimal yang dapat diterima oleh semua pihak, baik di kalangan pemerintah, masyarakat, pengusaha, maupun organisasi non-pemerintah. Permasalahan utamanya adalah belum adanya mekanisme pengambilan keputusan yang partisipatif dan disepakati oleh semua stakeholder dalam rangka menentukan alternatif kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang secara terpadu dengan mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi, kelestarian fungsi ekologis, dan kelestarian sosial-budaya masyarakat untuk menjamin kelestarian sumber daya pesisir serta masyarakatnya di masa mendatang. Pembahasan buku ini difokuskan pada sistem rancang bangun kebijakan pembangunan wilayah dengan mencari jawaban terhadap dua masalah utama, yakni bagaimana mekanisme pelibatan stakeholder dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang partisipatif serta bagaimana strategi implementasi kebijakan pembangunan wilayah yang berkelanjutan.

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

16 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

4. Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation’s conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED 1987). Komisi Brundtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, melainkan lebih merupakan suatu proses perubahan dengan eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumber daya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dan karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce dan Tannis 1999). Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus, yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 17

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Sementara itu, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan, antara lain CIFOR mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, serta pertahanan keamanan. Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas karena bukan saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan, melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif, tetapi juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan. Hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui prosesproses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan 2003).

18 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

5. Pengelolaan Wilayah Pesisir Pendekatan wilayah dalam pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah menjadi signifikan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis antara satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Melalui pendekatan wilayah, upaya pembangunan dapat dilaksanakan untuk memacu pembangunan sosial-ekonomi, mengurangi kesenjangan ekonomi, serta menjaga kelestarian lingkungan pada suatu wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berbeda dengan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara merata dan menyeluruh secara nasional, bukan pendisagregasian dari pembangunan nasional karena memiliki peranan dan tujuan yang berbeda (Budiharsono 2001). Berbeda pula dengan pendekatan pembangunan sektoral yang hanya bertujuan mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan satu sektor tertentu tanpa memerhatikan kaitannya dengan sektor lain. Konsep pembangunan wilayah memerlukan berbagai teori dan ilmu terapan seperti geografi, ekonomi, sosiologi, statistika, ilmu politik, ilmu lingkungan, dan sebagainya. Hal ini karena pembangunan itu merupakan fenomena multifaset yang memerlukan pendekatan dari berbagai bidang ilmu (Budiharsono 2001). Pembangunan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pembangunan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya secara harmonis, serasi melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan (Misra 1982). TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menetapkan langkah yang harus dilakukan dalam optimasi pengelolaan sumber daya alam, yaitu (1) mewujudkan optimasi pemanfaatan sumber daya alam harus melalui tahapan identifikasi dan investasi kualitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional dan (2) perlu disusun strategi pemanfaatan sumber daya alam (termasuk perencanaan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir) yang didasarkan pada optimasi manfaat dengan memerhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat, serta kondisi daerah ataupun nasional. Salah satu ruang lingkup kajian pembangunan wilayah adalah pesisir dan laut. Wilayah pesisir dalam pengertian ekosistem didefinisikan sebagai suatu zona yang ke arah darat dibatasi sampai dengan pengaruh laut masih ada dan ke arah laut

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 19

hingga pengaruh darat masih ada. Secara ekstrem, wilayah pesisir dapat dibatasi sampai garis pantai dan unsur-unsur geomorfologis yang berdekatan/berbatasan dengannya yang ditentukan oleh aksi laut terhadap batas darat (Rais 2001). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat air laut, seperti pasang, angin laut, perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, ataupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri dkk. 1996). Wilayah pesisir memiliki karakteristik khusus yang lebih kompleks dibandingkan dengan daratan atau lautan. Hal ini karena terdapat interaksi antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga interaksi masyarakat wilayah pesisir yang sangat dinamis, baik antar masyarakat sendiri maupun interaksi antara masyarakat dan ekosistem pesisir. Kompleksitas tersebut menyebabkan wilayah pesisir rentan terhadap konflik pengelolaan, baik dalam hal pemanfaatan (antar shareholder) maupun kewenangan pengelolaan (antar stakeholder). Karakteristik khusus wilayah pesisir antara lain (1) mengandung habitat dan ekosistem (estuaria, terumbu karang, padang lamun) yang menyediakan barang (ikan, minyak, mineral) dan jasa (perlindungan alami dari badai dan gelombang pasang, rekreasi) terhadap masyarakat pesisir; (2) dicirikan dengan kompetisi penggunaan sumber daya lahan dan laut serta ruang oleh berbagai stakeholder yang sering kali menimbulkan konflik dan destruksi keutuhan fungsi dari sistem sumber daya; (3) sebagai sumber atau tulang punggung perekonomian nasional bagi pemerintahan di wilayah pesisir di mana proporsi substansial dari GNP bergantung pada aktivitas pelayaran, pembangunan minyak dan gas, wisata pesisir, dan sejenisnya; serta (4) senantiasa padat penduduk dan menjadi daerah tujuan urbanisasi (Scura et al. 1992). Sumber daya pesisir dan laut merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pembangunan. Data menunjukkan bahwa hasil produksi sumber daya pesisir dan laut telah menyumbang kepada pembangunan sebesar 22% dari GDP (gross domestic product). Di samping itu, di wilayah pesisir terdapat jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi,

20 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, serta sistem penunjang kehidupan dan fungsi fisiologis lainnya. Pembangunan wilayah pesisir memerlukan penanganan secara komprehensif yang melibatkan berbagai instansi terkait. Semua sektor pembangunan yang berkaitan dengan wilayah pesisir, seperti kehutanan, perikanan, pertambangan, perhubungan, pariwisata, dan lingkungan berhubungan dengan pengembangan dan pembinaan wilayah, baik secara fisik, ekonomi, sosial, maupun politik. Banyaknya sektor yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir dapat menimbulkan konflik kewenangan (Cicin-Sain dan Knecht 1998; Kay dan Alder 1999). Di sisi lain, terdapat berbagai kelompok stakeholder yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir. Setiap kelompok ini memiliki interest yang beragam dalam rangka pemanfaatan wilayah pesisir secara optimal, baik berdasarkan pertimbangan ekonomi maupun ekologi dan sosial politik. Kondisi ini dapat memicu terjadinya konflik kepentingan antar stakeholder (baik vertikal maupun horizontal) dalam pemanfaatan sumber daya pesisir (Brown et al. 2001a). Pengelolaan wilayah pesisir merupakan konsep yang relatif baru, mencakup berbagai perbedaan opini tentang bagaimana mengelola sumber daya yang kompleks dan multiple use. Beberapa pendekatan telah diusulkan untuk pengelolaan wilayah pesisir, termasuk pengaturan hak pengelolaan dan hak kepemilikan yang membawa pada persoalan pengelolaan swasta atau negara. Hak pengelolaan diajukan sebagai upaya meminimalkan kemungkinan over-use dan over-exploitation terhadap sumber daya pesisir dengan menjamin pengelolaan yang berkelanjutan bagi masyarakat. Berdasarkan karateristik dan dinamika kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan dalam upaya mencapai pembangunan secara optimal dan berkelanjutan, dituntut pendekatan pengelolaan wilayah secara terpadu (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Karena bila dikaji secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional antar ekosistem di dalam kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, cepat akan memengaruhi ekosistem lainnya (Bengen, 2002).

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 21

Berikut ini merupakan pendekatan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang umum dijumpai. 1. Alokasi hak-hak kepemilikian (allocation of property rights) merupakan strategi pengelolaan wilayah pesisir dengan menswastakan kepemilikan sumber daya milik umum atau pengelolaannya di bawah pengawasan pemerintah dengan tujuan mencegah over-use sumber daya. 2. Daerah perlindungan laut (exclusive marine protected area or restrictive zone) merupakan pengelolaan wilayah pesisir menggunakan perangkat aturan/ hukum untuk menjaga bagian atau keseluruhan dari suatu lingkungan tertentu. Strategi ini sering kali merupakan bagian dari strategi pengelolaan perikanan, seperti penentuan wilayah perairan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) untuk spesies ikan yang penting. 3. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal zone management) merupakan strategi pengelolaan wilayah pesisir yang mempertimbangkan proses-proses dinamik dan berkelanjutan di dalam unit-unit pemerintah dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan pengelolaan, sektoral dan interest masyarakat dalam menyiapkan serta mengimplemetasikan rencana terpadu untuk melindungi juga mengembangkan ekosistem dan sumber daya pesisir. 4. Pengelolaan wilayah pesisir yang co-operative (co-operative coastal zone management) merupakan suatu kerangka panduan mengakomodasi perbedaan dan konflik kepentingan individu ke dalam keputusan-keputusan kolektif yang co-operative dengan memanfaatkan dukungan maksimum dan mendorong keinginan stakeholder agar secara sukarela bekerja sama dalam implementasinya. 5. Pengelolaan wilayah pesisir berbasis pembelajaran (learning based coastal zone management) berupa inisiatif pengelolaan berdasarkan pengalamanpengalaman yang harus di jadikan subjek kajian ilmiah yakni mengembangkan hipotesis, menggunakan site-site kendali, dokumentasi percobaan, dan analisis. 6. Pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management), merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, misalnya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu, mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion).

22 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Dalam kaitan dengan pengelolaan berbasis masyarakat, Carter (1996) mendefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dengan fokus pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasiorganisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya, yakni masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan, dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Pengelolaan sumber daya yang baik harus mengikuti kaidah keseimbangan dan kelestarian sehingga dalam pengembangannya diperlukan kombinasi antara peningkatan kualitas hubungan antar manusia dan tujuan pelestarian lingkungan (Supriatna et al. 2000). Dalam pengelolaan suatu sumber daya alam, harus mempertimbangkan keterkaitan antara stakeholder pemanfaat wilayah dan stakeholder sektor pembangunan lainnya. Dengan demikian, hasil yang diperoleh merupakan kolaborasi pengelolaan yang komprehensif. Pembangunan wilayah pesisir dapat dilakukan melalui pendekatan sistem yang menghubungkan (1) masyarakat yang hidup, menggunakan, dan hal lainnya (kepercayaan atau perilaku) dengan lingkungan pesisir; (2) pengambil kebijakan serta pengelola yang keputusan dan aksinya memengaruhi perilaku masyarakat pesisir; serta (3) kelompok masyarakat ilmiah seperti natural scientists yang konsen terhadap lingkungan pesisir dan social scientists yang konsen terhadap perilaku masyarakat pesisir (Orbach 1995). Sistem ini merupakan hubungan yang disebut cultural ecology of coastal public policy making yang digambarkan seperti pada Gambar 3.

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

Konstituen Manusia (Stakeholder) Langsung: ƒ Industri di pesisir ƒ Permukiman di pesisir ƒ Kelompok kepentingan Tidak langsung: ƒ Permukiman di darat ƒ Kelompok kepentingan

| 23

Lingkungan Pesisir Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Sosial

Masyarakat Ilmiah

Kebijakan dan Organisasi Pengelolaan

Internasional Nasional Regional

Pemerintah Masyarakat Sektor swasta

Gambar 3 Ekologi penyusunan kebijakan publik pada wilayah pesisir Pembangunan partisipatif berpedoman pada tujuan yang ingin dicapai yakni melakukan pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan ekonomi dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan ekosistem, memerhatikan keseimbangan ekologi (konservasi), dan ruang partisipasi masyarakat lokal. Tujuan pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dengan memerhatikan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial disajikan pada Gambar 4. Pendapatan dan partisipasi masyarakat lokal

Manfaat untuk konservasi

Perlindungan Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat

Sumberdaya yang berkelanjutan

Gambar 4 Tujuan pengelolaan ekosistem pesisir

Keuntungan pengusaha

24 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Dari hubungan tersebut terlihat bahwa dalam pembangunan pesisir yang partisipatif sangat banyak aspek yang dilibatkan dalam lingkup yang luas. Seluruh aspek tersebut diupayakan untuk diakomodir dalam suatu manajemen yang terpadu dan partisipatif sehingga semuanya dapat berjalan secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini maka dalam suatu pembangunan pesisir beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) pembangunan harus mencakup berbagai kepentingan stakeholder secara multi sektoral dan pembangunan tata guna lahan secara komprehensif; (2) kebijakan didasarkan pada kebutuhan lokal, regional, nasional dalam alokasi sumber daya; dan (3) analisis dampak lingkungan yang harus diterapkan dengan ketat dalam proyek pengelolaan (Marsh 1991). Partisipasi pengelolaan pesisir harus dilakukan secara kontinu dan bersifat saling sinergis dalam bentuk kerja sama antara pihak wilayah pesisir dan stakeholder terkait. Mekanisme ini dirasakan sangat tepat jika merujuk pada strategi pelestarian yang menekankan perlunya perpaduan antara pelestarian dan pembangunan wilayah melalui promosi‑promosi aktif yang mengusung isu antara pengelolaan kawasan lindung dan pembangunan berkelanjutan yang sesuai. Untuk mewujudkannya, perlu dirumuskan suatu strategi bagi partisipasi pengelolaan yang tepat. Gunn (1994) menyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan harus berpegang pada dua konsep yaitu partisipasi dalam membangun sumber daya dan memperluas permintaan terhadap sumber daya tersebut. Pengembangan wilayah pesisir sebaiknya juga mengacu pada konsep tersebut. Berdasarkan berbagai pandangan tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam proses pembangunan wilayah pesisir diperlukan pendekatan berbagai disiplin ilmu, baik yang berkaitan langsung dengan ekologi, ekonomi, dan sosial di wilayah pesisir maupun di luar wilayah pesisir dan laut. Di samping itu, dalam proses perencanaan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan pembangunan wilayah pesisir, perlu melibatkan semua pihak yang terkait, baik yang akan memperoleh manfaat maupun yang akan menerima dampak dari kebijakan tersebut di masa kini ataupun di masa yang akan datang.

6. Perencanaan Partisipatif Pada awalnya, pendekatan partisipatif lahir sebagai kritik terhadap metodemetode penelitian konvensional. Dua di antara banyak metode penelitian konvensional yang menjadi sasaran kritik antara lain penelitian-penelitian yang terlalu banyak menggunakan logika sains dan penelitian-penelitian etnometodologis.

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 25

Penelitian menggunakan pendekatan sains dinilai banyak mengandung kelemahan antara lain (1) hanya menghasilkan pengetahuan yang empirisanalitis dan cenderung tidak mendatangkan manfaat bagi objek, dalam hal ini masyarakat lokal, (2) banyak bermuatan kepentingan teknis untuk melakukan rekayasa sosial, dan (3) memungkinkan terjadinya “pencurian” terhadap kekayaan pengetahuan lokal oleh peneliti sehingga sangat berpotensi untuk menyebabkan penindasan terhadap masyarakat lokal. Sementara itu, pendekatan etnometodologis, meskipun berusaha memahami kehidupan seharihari masyarakat, mencoba menghasilkan pengetahuan yang bersifat historishermeuneutik dan meyakini adanya makna di balik fenomena sosial cenderung untuk menghasilkan pengetahuan yang hanya bisa memaafkan realita. Sebagai alternatif dimunculkan pendekatan partisipatif. Kepentingan pendekatan ini adalah pelibatan masyarakat. Pendekatan ini menekankan pentingnya proses sharing of knowledge antara peneliti dan masyarakat. Demikian pula proses analisis dilakukan bersama peneliti dan masyarakat setempat. Hasil analisis tersebut langsung dikembalikan kepada masyarakat untuk selanjutnya disusun rencana tindakan bersama. Ukuran dari pendekatan ini adalah terjadinya perubahan sosial. Partisipasi dapat didefinisikan sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan. Partisipasi berdasarkan tingkat keterlibatan masyarakat dibagi menjadi empat tahap sebagai berikut. 1. Mobilisasi; partisipasi tahap ini dicirikan oleh adanya penggunaan teknologi luar tanpa meminta pendapat dari masyarakat, dan masyarakat dikerahkan untuk melaksanakannya. Mobilisasi dikritik karena dianggap bukan menyertakan masyarakat, melainkan mengerahkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam suatu kegiatan tidak lahir secara sukarela, tetapi dengan cara diperintah atau dipaksa. Oleh karena itu, tahap mobilisasi dianggap tidak partisipatif, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip partisipatif. Dengan mobilisasi, sering kali masyarakat dijadikan objek pembangunan. 2. Pengenalan partisipasi; tahap partisipasi jenis ini memiliki ciri adanya penggunaan teknologi luar yang tanpa meminta pendapat dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam hal ini sering kali sebagai objek percobaan penggunaan teknologi baru. Masyarakat diminta untuk melakukan uji coba

26 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI secara terbatas sebelum memutuskan apakah sesuatu kegiatan atau teknologi akan diterapkan secara lebih luas. Rancangan kegiatan dan keputusan tentang jenis kegiatan atau teknologi yang diadopsi masih ditentukan oleh pihak luar, bukan oleh masyarakat sendiri sehingga nyaris menempatkan mereka sebagai pelaksana kegiatan saja. 3. Pemberdayaan masyarakat; tahap ini memiliki ciri adanya teknologi tepat guna dari luar yang diperkenalkan dan masyarakat didorong atau diberikan motivasi untuk meningkatkan kemampuannya. Pada tahap ini, keterlibatan masyarakat mulai menjadi pertimbangan utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, ataupun penilaian hasil program. Namun, karena selama ini masyarakat jarang diberi kesempatan untuk berperan aktif, pihak luar (lembaga program) masih harus memotivasi masyarakat agar mau berperan aktif dan mampu menentukan pilihan teknologi atau kegiatan. 4. Kemitraan; ciri-ciri pokok partisipasi dalam tahapan ini, antara lain teknologi lokal dipergunakan, teknologi tepat guna dari luar diperkenalkan, dan masyarakat sudah mampu memilih teknologi yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Tahap ini bisa disebut sebagai bentuk partisipasi yang paling ideal. Orang luar menjadi mitra sejajar masyarakat (orang dalam). Masyarakat sudah memiliki kemauan serta kemampuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Program direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai bersama masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pada empat tahapan, yaitu (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan, (3) partisipasi dalam manfaat, dan (4) partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah partispasi dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan ditetapkan. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat serta ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi dalam mengevaluasi pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 27

menilai dan mengawasi kegiatan pembangunan serta memelihara hasil-hasil pembangunan yang dicapai (Cohen dan Uphoff 1977). Mengharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan kemandirian mengandung konsekuensi bahwa suatu kegiatan sebaiknya merupakan perwujudan dari tanggapan masyarakat atas masalah-masalah yang cukup dimengerti masyarakat dan dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima masyarakat tersebut. Melibatkan masyarakat secara aktif berarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat untuk merumuskan masalahmasalah mereka, memobilisasi sumber-sumber setempat, dan mengembangkan kelompok organisasi setempat. Pemberian tanggung jawab ini tidak mudah. Oleh karena itu, dilakukan secara bertahap melalui suatu proses yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan sendiri. Pembangunan partisipatif penting untuk dapat mengetahui kebutuhan dan opini stakeholder terhadap program pembangunan yang akan dilaksanakan. Dalam kaitan ini terdapat empat elemen kunci menuju kesuksesan pembangunan partisipatif oleh stakeholder, yaitu informasi, intermediasi, institusionalisasi, dan inisiatif (Takeda 2001). 1. Peran informasi sangat esensial sebagai wahana untuk memfasilitasi partisipasi. Tanpa informasi, stakeholder tidak dapat mengetahui apa, kapan, dimana, siapa, dan bagaimana berpartisipasi dalam proses perencanaan kebijakan serta implementasinya. Informasi yang baik dan tepat sasaran sering kali menjadi pionir bagi keberhasilan suatu program. 2. Intermediasi guna memfasilitasi partisipasi sehingga di dalamnya membutuhkan individu atau organisasi untuk memainkan fungsi intermediasi. 3. Mekanisme partisipasi harus diinstitusionalisasikan. Hak‑hak dan proses partisipasi harus didefinisikan dalam pedoman teknis, regulasi, atau kebijakan pemerintah. Dalam taraf pelaksanaan, misalnya dengan melakukan “forum lintas pelaku” sebagai bentuk dari institusionalisasi partisipasi stakeholder. Kerja sama yang erat antar stakeholder dapat juga merupakan bentuk forum partisipasi stakeholder. Prinsip pokoknya adalah agar dapat memfasilitasi partisipasi stakeholder dalam perencanaan dan implementasi pembangunan maka dibutuhkan kesediaan di antara stakeholder untuk melakukan koordinasi, konsultasi, dan negosiasi.

28 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI 4. Inisiatif stakeholder untuk berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan sangat krusial kaitannya dengan proses pembangunan tersebut. Dalam hal ini pemerintah harus menyediakan dan memberdayakan stakeholder agar mampu menempatkan perannya dalam membuat inisiatif. Informasi mengenai kasus‑kasus partisipasi yang sukses merupakan insentif bagi masyarakat untuk melakukan aksi yang serupa. Bock (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan jika menggunakan proses partisipatif dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan yakni: l) hasilnya bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, serta 3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih transparan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partisipasi stakeholder merupakan konsep kunci guna membuka transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan. Di samping itu, dapat mempromosikan efektivitas penggunaan sumber daya lokal dan menjadi aspek penting untuk mencapat kebijakan yang tepat. Visi dari pembangunan partisipatif yang berkelanjutan adalah suatu proses lokal, terinformasi baik, dan partisipatif yakni terlihat kerja sama stakeholder dalam mencapai keseimbangan antara keberlanjutan pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial (Charter 2001). Pembangunan partisipatif harus dilihat sebagai suatu aktivitas banyak pihak dan merupakan kerja sama antara pemerintahan lokal dan berbagai aktor dalam berbagai tingkatan serta merupakan suatu proses yang terpadu dari berbagai dimensi pembangunan (Edgington dan Fernandez 2001). Model ini merupakan suatu adaptasi manajemen yang bersifat fleksibel yang didasarkan pada partisipasi aktif, konsensus bersama, dan koordinasi antar pihak. Dalam implementasi sering kali dibatasi oleh beberapa faktor pembatas, seperti sumber daya lokal yang kurang, pemerintahan yang lemah, serta kapasitas pemerintahan lokal yang kurang handal (Stohr 2001). Pada level yang paling sederhana, perencanaan partisipatif menciptakan kesempatan kepada stakeholder yang memiliki kepentingan langsung pada suatu wilayah perencanaan untuk memberikan kontribusi informasi kepada perencana. Pada level yang lebih tinggi, perencanaan partisipatif menekankan kekuatan kepada Stakeholder untuk memerhatikan proses perencanaan dan membuat keputusan

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 29

kebijakan penting. Dalam pendekatan ini sekelompok stakeholder telah dibentuk melalui dialog yang teratur, pertemuan‑pertemuan sehingga anggota dapat saling berbagi pengalaman, diskusi, mengajukan keberatan, dan lain sebagainya. Perencanaan partisipatif dapat melibatkan setiap level dari stakeholder, baik yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung (Takeda 2001). Pengelolaan pembangunan akan lebih baik jika sejak awal sudah mengikutsertakan masyarakat sebagai pihak yang menikmati hasil pembangunan dalam setiap jenis kegiatan karena hasilnya akan dapat terjadi sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial-budaya, dan kemampuan ekonomi masyarakatnya. Partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam dapat berbentuk dalam berbagai jenis. Pada tingkat partisipasi paling bawah dapat berupa konsultasi pasif dan tingkat partisipasi yang paling aktif adalah seluruh masyarakat dan stakeholder membagi kekuasaan/kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam (Brown et al. 2001). Jenis-jenis partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis-jenis partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam Bentuk Partisipasi Partisipasi pasif

Partisipasi dalam pemberikan informasi Partisipasi dalam bentuk konsultasi

Ciri-ciri Setiap Jenis Partisipasi Masyarakat membicarakan apa yang sedang terjadi atau yang baru saja terjadi. Administrator melakukan penjelasan tanpa mekanisme tanggapan saran. Partisipasi masyarakat dengan menjawab pertanyaan dari manajemen proyek melalui kuesioner atau pendekatan sejenis. Stakeholder tidak mempunyai kesempatan untuk memengaruhi keadaan yang terjadi sebagaimana yang ditemui pada saat penelitian.

Stakeholder memberikan penjelasan dan agen eksternal mendengarkan penjelasan tersebut, kemudian agen eksternal mengemukakan formulasi masalah dan solusi. Dalam proses konsultatif tidak ada “share” dalam pembuatan keputusan. Masyarakat berpartisipasi karena insentif, seperti makanan, Partisipasi karena uang, atau materi lainnya. insentif material Partisipasi fungsional Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek pengelolaan SDA. Masyarakat membentuk institusi yang pada awalnya bergantung pada asistensi eksternal, tetapi nantinya akan mandiri.

30 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 2 Jenis-jenis partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam (Lanjutan) Bentuk Partisipasi

Ciri-ciri Setiap Jenis Partisipasi Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam hal kerja sama analisis yang membentuk lembaga lokal baru atau menguatkan lembaga lokal yang sudah ada. Kelompok ini melakukan kontrol terhadap keputusan lokal. Mobilisasi diri Masyarakat berpartisipasi dengan inisiatif bebas dari sendiri/partisipasi institusi eksternal untuk mengubah sistem. aktif Sumber: Brown et al. (2001a)

Dari uraian jenis dan tipe partisipasi, dapat dinyatakan bahwa tipe partisipasi masyarakat yang diharapkan muncul dalam suatu program pembangunan adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Sementara itu, tahapan partisipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat terlibat dalam semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam suatu kegiatan, dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung jawab moral terhadap keberhasilan pelaksaan kegiatan yang dilaksanakan. Partisipasi masyarakat secara nyata dan langsung dianggap dapat mengoreksi kekurangan-kekurangan pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada pemerintah maupun mekanisme pasar. Sebagai bagian instrumen pembangunan, fungsi dan proses partisipasi diharapkan dapat mengungkapkan kebutuhan masyarakat secara nyata serta mobilisasi sumber daya lokal (Midley et al. 1986). Kunci sukses­ dari pembangunan partisipatif dapat ditentukan oleh tiga hal prinsip yakni kuatnya dukungan institusi yang terkait yang mampu mengikat stakeholders secara efektif, mampu membangun stakeholder secara efektif, dan mampu membangun kelembagaan yang tepat (NRTEE 1998). Berdasarkan hal tersebut maka dalam proses penyusunan rencana sangat penting untuk melakukan identifikasi dan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang akan didefinisikan, terlebih mengingat partisipasi stakeholder akan dapat meningkatkan distribusi manfaat.

BAGIAN DUA: KONSEP TRADE-OFF

| 31

Dalam pendekatan partisipatif, keterlibatan masyarakat tidak hanya terbatas dalam pengertian ‘ikut serta’ secara fisik, tetapi juga keterlibatan yang memungkinkan mereka melaksanakan penilaian terhadap masalah serta berbagai potensi yang terdapat dalam lingkungannya sendiri, kemudian menentukan kegiatan yang mereka butuhkan. Keterlibatan masyarakat ini adalah keterlibatan yang mengarah pada tumbuhnya kemampuan-kemampuan mereka untuk lebih berdaya menghadapi berbagai tantangan hidup tanpa harus bergantung kepada orang lain. Ketika masyarakat semakin kuat, peran pihak luar semakin dikurangi. Dalam membangun partisipasi masyarakat pada perancangan  kebijakan, tidak terlepas dari kinerja masyarakat, lembaga pendamping, dan kemampuan pemerintah dalam mengartikulasikan serta mengakomodasi konsep pembangunan partisipatif. Masalah dalam perumusan kebijakan publik yang partisipatif tidak dapat dijawab tanpa dialog yang melibatkan semua stakeholder dan rujukan kasuskasus empiris di berbagai daerah. Telaah antar pihak berkenaan dengan penerapan pendekatan partisipatif di berbagai program di tengah proses penumbuhan hubungan multi-skala antara pranata desa, kabupaten, kota, provinsi, dan nasional dapat menjadi salah satu cara untuk mengenali dan memberi solusi.

BAGIAN TIGA: Metode Analisis Trade-off

34 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

7. Analisis Stakeholder Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pejabat publik sesuai dengan kewenangannya. Masalah dalam perumusan kebijakan publik terletak pada aktor, mekanisme dan proses kebijakan publik, serta substansi. Untuk itu, dalam mencapai tujuan terciptanya suatu kebijakan publik yang berpihak pada rakyat serta lahirnya kebijakan  yang menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi. Strategi yang perlu dilakukan adalah penguatan organisasi kelompok masyarakat. Advokasi kebijakan dengan merancang aturan main dalam formulasi kebijakan publik yang proposional dan partisipatif, komunikasi politik dengan memperbanyak ruang interaksi antar pihak dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan merupakan perpaduan elemen-elemen dari berbagai disiplin seperti ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, ilmu terapan lain, dan termasuk ilmu lingkungan. Analisis kebijakan bersifat deskriptif, valuatif, serta dapat pula bersifat normatif yang bertujuan menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan untuk generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang (Dunn 2000). Freeman (1984) yang mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi posisi penting serta pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez 1999). Stakeholder merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumber daya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumber daya tersebut. Stakeholder berbeda dengan pelaku (actor). Stakeholders adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian, sedangkan pelaku adalah semua masyarakat dalam suatu wilayah yang memainkan suatu peran dalam suatu sektor tertentu. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian. Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekadar menjawab pertanyaan siapa stakeholder suatu isu, tetapi juga sifat hubungan stakeholder dengan isu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Aspek-aspek ini sangat penting dianalisis untuk mengenal stakeholder.

BAGIAN TIGA: KONSEP ANALISIS TRADE-OFF

| 35

Identifikasi stakeholder sangat rumit dengan melihat kenyataan bahwa para stakeholder cenderung berada pada lebih dari satu kategori. Menemukan posisi yang tepat bagi stakeholder dan interest-nya merupakan hal yang penting untuk proses analisis trade-off. Dengan demikian, digunakan pendekatan partisipatif dalam menentukan stakeholder yang disebut sebagai analisis stakeholder. Analisis stakeholder (atau multi-stakeholder) didefinisikan sebagai suatu pendekatan dan prosedur untuk memperoleh pemahaman dari suatu sistem melalui identifikasi stakeholder kunci dari sistem tersebut dan melakukan assessment terhadap interest mereka terhadap sistem (Grimble dan Chan 1995). Dalam hal konflik sumber daya alam, analisis stakeholder menyediakan framework untuk mengetahui siapa yang terkait, di mana kepentingannya, dan bagaimana kaitan mereka dengan stakeholder lainnya dalam penentuan keputusan. Analisis ini memberikan cara pemahaman yang baik tentang siapa yang memengaruhi dan siapa yang berhak terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam (Buckles 1999). Analisis stakeholder digunakan untuk menentukan posisi stakeholder berdasarkan kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) dalam kerangka sistem secara keseluruhan. Dalam beberapa sisi, analisis stakeholder mulai menjadi populer sebagai dasar analisis kebijakan, terutama yang bersifat partisipatif. Analisis ini dapat menjelaskan interest dari setiap pelaku, baik yang nyata maupun tidak nyata vis-à-vis kebijakan, sesuai dengan derajat dan pengaruh mereka atau kemampuan organisasinya untuk mencapai tujuan bersama. Stakeholder sangat bervariasi derajat pengaruh dan kepentingannya serta dapat dikategorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumber daya alam. Brown et al. (2001) mengategorikan stakeholder sebagai berikut. 1. Stakeholder primer, yakni mereka yang mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan, tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan. 2. Stakeholder sekunder, yakni mereka yang dapat memengaruhi keputusan yang dibuat karena mereka adalah sebagaian besar dari pengambil kebijakan dan terlibat dalam implementasi kebijakan. Secara relatif mereka tidak penting, demikian pula dengan tingkat kesejahteraannya bukan suatu prioritas. 3. Stakeholder eksternal, yakni individu atau kelompok yang dapat memengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan, tetapi interest mereka tidak begitu penting.

36 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu isu, stakeholder dapat diketegorikan ke dalam beberapa kelompok. ODA (1995) mengelompokkan ke dalam kelompok, yaitu stakeholder primer, sekunder, dan stakeholder kunci. 1. Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya, masyarakat, tokoh masyarakat, dan manajer publik. 2. Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara serta berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Misalnya, lembaga pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung; lembaga pemerintah yang terkait dengan isu, tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan; lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat; perguruan tinggi; dan pengusaha (badan usaha) yang terkait. 3. Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai level, legislatif, dan instansi. Kelompok-kelompok stakeholder sering digolongkan menurut aspek sosialekonomi, seperti tingkatan pendapatan, kelompok pekerja, dan status ketenagakerjaan, atau menurut tingkat keterlibatan formal di dalam proses pengambilan keputusan, tingkat kohesi kelompok, struktur formal atau informal.

8. Analisis Multi Kriteria Suatu kebijakan merupakan hasil kesepakatan dari berbagai kepentingan. Untuk mencapai kesepakatan tersebut, diperlukan alat analisis yang tepat dalam pengambilan keputusan. Analisis multi kriteria (multi criteria analysis, MCA juga dikenal sebagai multi attribute analysis, multi goal analysis, dan multi criteria decision making) merupakan salah satu kerangka analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang kompleks. MCA mengasumsikan bahwa dimungkinkan untuk mengidentifikasi tingkat pencapaian suatu kebijakan yang

BAGIAN TIGA: KONSEP ANALISIS TRADE-OFF

| 37

dinyatakan dalam bentuk tujuan yang terukur. Jika tidak memungkinkan adanya ukuran langsung, diperlukan beberapa skala pendapat bagi pencapaian tujuan. MCA merupakan prosedur keputusan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah identifikasi tujuan atau sasaran kemudian mencari trade-off di antara sasaransasaran untuk kebijakan-kebijakan yang berbeda atau cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu yang berbeda. Tahap kedua adalah mengidentifikasi kebijakan ‘terbaik’ melalui pemberian bobot (skor) terhadap berbagai tujuan tersebut (Powell, 1996; Chung dan Poon, 1996). Simon dalam Young (1989) mendeskripsikan bahwa proses pengambilan keputusan, meliputi tahap-tahap: (1) kegiatan inteligensi, yang mencakup pengenalan masalah dan mencari sebab-sebab masalah serta kemungkinan pemecahannya; (2) kegiatan merancang, merumuskan, dan menilai berbagai alternatif cara bertindak dari sudut positif atau negatif hasilnya; serta (3) kegiatan pilihan atau keputusan. Pengambilan keputusan biasanya dianggap sebagai sebuah proses. Salusu (2002) menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi. Ada dua unsur yang patut diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, yaitu (1) membuat keputusan yang lebih dapat diterima, artinya kebanyakan kelompok cenderung menyetujuinya karena mereka berperan serta dalam proses pengambilan keputusan itu sendiri dan (2) membuat keputusan yang lebih baik. Keputusan yang lebih baik inilah yang mendekati jawaban terbaik terhadap suatu masalah, yaitu yang bermanfaat sesuai informasi yang diperoleh pada saat proses berlangsung. Dengan demikian, keputusan dapat dibuat berdasar konsensus, bisa juga berdasar fakta. Jadi pengambilan keputusan adalah proses memilih alternatif tindakan dengan metode yang efisien menuju pada persetujuan atau kesepakatan bersama. Konsepsi peran serta dalam pengambilan keputusan telah banyak dilakukan dalam penentuan kebijakan secara partisipatif. Peran serta menunjukkan suatu proses antara dua atau lebih pihak yang memengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijakan, dan keputusan. Keputusan dalam hal ini merupakan sesuatu yang akan berpengaruh di kemudian hari bagi pihak pembuat keputusan, bagi pihak-pihak lain yang diwakili ataupun bagi lingkungannya. Tuntutan berperan serta tidak hanya timbul dari perorangan, tetapi organisasi pun mensyaratkan bahwa keputusan-keputusan itu harus memperhitungkan pengetahuan dan pendapat dari orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya.

38 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Peran serta menurut Salusu (2002) adalah suatu aktivitas, proses, atau sistem pengambilan keputusan. Dengan demikian, peran serta adalah mempertemukan kepentingan yang berbeda dalam suatu proses pengambilan keputusan tanpa mempertahankan sifat dan pentingnya keputusan itu. Pengertian peran serta bagi setiap organisasi tidak selalu sama. Peran serta tidak dapat dianggap sebagai gejala on-off (ada-tidak), tetapi harus dipahami dalam arti keberadaan pada skala antara peran serta penuh (participation) dan tidak berperan serta (no-participation). Pentingnya peran serta dalam proses pengambilan keputusan juga diakui oleh Alutto dan Belasco dalam Petrus (2001). Dengan demikian, ada jaminan bahwa pemeran tetap mempunyai kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil.

9. Analisis Trade-off Teknik analisis kebijakan sangat dinamis, selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Salah satu metodologi analisis kebijakan adalah multi kriteria decision making (MCDM) yang populer digunakan terutama untuk kajian kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Salah satu metodologi MCDM adalah analisis trade-off. Tradeoff mengandung makna preferensi dan pilihan. Trade-off dapat pula diartikan sebagai kesepakatan atau kompromi. Melakukan trade-off diartikan sebagai suatu keinginan untuk membuat suatu pertukaran keuntungan yang bernilai lebih dengan beberapa tingkat kerugian yang dapat diterima (Edmunds dan Letey 1973). Analisis trade-off (trade-off analysis, TOA) merupakan sebuah proses di mana stakeholder dilibatkan untuk mempertimbangkan strategi-strategi pengelolaan yang berbeda dan secara tegas menentukan prioritas kegiatan (Brown et al. 2001). Proses ini membutuhkan informasi untuk dapat menjawab pertanyaan stakeholder mengenai dampak dari setiap kegiatan yang berbeda terhadap sumber daya yang dipermasalahkan. Mengorganisasi informasi sedemikian rupa sehingga mudah dipahami dan digunakan merupakan sifat utama dari analisis tradeoff. Dengan kata lain, analisis trade-off merupakan alat yang dapat membantu pengambil kebijakan memahami konflik penggunaan sumber daya dan preferensi stakeholder dalam upaya pengelolaan.

BAGIAN TIGA: KONSEP ANALISIS TRADE-OFF

| 39

Terdapat dua langkah penting dalam analisis trade-off yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis stakeholder dan analisis multi kriteria. Ilustrasi analisis trade-off disajikan pada Gambar 5. Analisis stakeholder

Membangun alternatif skenario masa depan

Menyepakati kriteria pembangunan dengan para stakeholder

Para stakeholder menyatakan prioritas manajemennya

Kuantifikasi skenario masa depan dan dampaknya Merangking alternatif kebijakan secara partisipatif

Gambar 5 Langkah-langkah dalam analisis trade-off Sumber: Brown et al. (2001)

Analisis ini dikenal sebagai sistem pendukung keputusan (decision support system) untuk mengkuantifikasi trade-off di antara indikator kunci keberlanjutan di dalam alternatif skenario kebijakan. Hasil analisis digambarkan pada kurva tradeoff yang intuitif dan mudah dipahami bagi pengambil kebijakan. Kurva trade-off ini memenuhi kuantifikasi aktual dari konsep pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis trade-off memiliki kekuatan prediktif yang lebih tinggi dibanding beberapa model eksploratif dan prediktif. Aplikasinya dapat menjadi analisis subsekuen di mana perubahan kebijakan akibat perubahan teknologi akan memengaruhi penggunan lahan dan dampaknya terhadap lingkungan (Stoorvogel et al. 2001). Analisis trade-off menyediakan suatu prinsip-prinsip pengaturan dan model konseptual berupa desain dan organisasi penelitian multi disiplin untuk mengkuantifikasi dan menilai tujuan yang kompetitif dalam pengelolaan sumber daya alam. Input dari stakeholder digunakan untuk mengidentifikasi dimensi kritis dari masalah ekonomi, ekologi, dan sosial, berupa kriteria-kriteria berkelanjutan dari sistem pengelolaan sumber daya. Berdasarkan kriteria ini, dirumuskan hipotesis yang merupakan trade-off di antara tujuan yang kompetitif. Apabila tidak ditemukan trade-off; win-win solusi dapat pula diakomodasi.

40 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

10. Penerapan Analisis Trade-off Analisis trade-off merupakan konsep yang relatif baru sebagai metode pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria. Metodologi analisis trade-off telah diseminarkan pada berbagai konferensi internasional, khususnya untuk pengelolaan sumber daya dan secara langsung diterapkan pada pengelolaan taman nasional laut di beberapa negara. Pendekatan analisis trade-off saat ini digunakan untuk pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di Kanada (NRSP 2004). Jennings (2003) menggunakan analisis stakeholder dan pemetaan sosial dalam pengelolaan wilayah pesisir di Australia. Penelitian Jennings difokuskan pada konflik yang cenderung meningkat di antara stakeholder menggunakan framework dan kontibusi analisis stakeholder serta pemetaan sosial untuk mengelola dan mereduksi konflik. Analisis stakeholder dan pemetaan sosial adalah alat partisipatif yang digunakan sebagai dokumen dan umpan balik nilai, interest, sikap, serta aspirasi stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis stakeholder memberikan dasar bagi resolusi dan pencegahan konflik. Newman (2001) menggunakan analisis trade-off (disebut juga sebagai conjoint analysis atau stated chioce analysis) dalam pengambilan keputusan pengelolaan rekreasi. Analisis ini digunakan untuk mengevaluasi preferensi pengunjung mengenai trade-off antara berbagai tingkatan akses ke kawasan lindung, dampak sumber daya, konflik, dan peraturan kunjungan. Grimble dan Chan (1995) melakukan penelitian mengenai konflik dan trade-off pengelolaan taman DAS Phu Wiang, Thailand. Grimble dan Chan menggunakan analisis stakeholder untuk mengidentifikasi konflik serta komplementari (saling melengkapi) di antara stakeholder. Hasil identifikasi ini memperjelas trade-off di antara berbagai tujuan yang hendak dicapai (Grimble 1998). Matriks konflik dan komplementari stakeholder dapat dilihat pada Tabel 3.

BAGIAN TIGA: KONSEP ANALISIS TRADE-OFF

| 41

Tabel 3 Konflik interest dan komplementaritas di antara stakeholder DAS Phu Wiang, North-East Thailand (Grimble and Chan 1995) Pemerintah

LSM

Industri perkayuan

Pemilik lahan

Penduduk lokal

Pemerintah X☺ LSM X☺ Industri perkayuan X☺ X Pemilik lahan X Penduduk lokal √ X☺ X☺ X X Keterangan: X = konflik interest; √ = komplementaritas; ☺ = kegiatan kerjasama

Proctor (2000) menggunakan analisis multi kriteria untuk kebijakan hutan Australia dalam rangka pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Penelitian Proctor menguraikan kompleksitas dan menunjukkan perdebatan pengelolaan hutan di Australia sebagai sebuah konflik besar yang bermuara pada trade-off antara konservasi alam dan pemanfaatan hasil hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menanggulangi permasalahan yang kompleks mencakup pencapaian pembangunan berkelanjutan secara ekologis, seperti membandingkan multiple values dan menggabungkan partisipasi stakeholder ke dalam proses pengambilan keputusan dapat diselesaikan menggunakan multi kriteria analisis. Renard et al. (2001) melakukan penelitian dalam pengelolaan sumber daya alam di Caribia untuk pengembangan dan penguatan pendekatan partisipatif untuk pengelolaan sumber daya alam. Studi kasus dilakukan di enam wilayah dengan tipe sumber daya yang berbeda, yakni hutan pegunungan (Blue and John Crow Mountain National Park), perikanan (Gulf of Paria), pesisir (Folkstone Park and Marine Reserve dan Negril), air terjun (El Limon), laut (Soufriere). Renard menyimpulkan bahwa pendekatan stakeholder merupakan bagian penting dari proses partisipasi. Agar memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, inisiasi perencanaan dan pengelolaan membutuhkan metode yang jangkauannya lebih luas, tidak cukup hanya dengan identifikasi dan analisis stakeholder.

42 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Mander (2003) mengevaluasi teknologi rendah karbon menggunakan Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) dengan dua studi kasus yang berbeda. Mander menyatakan bahwa MCDA terbukti berguna dalam eksplorasi persepsi stakeholder. MCDA juga membantu mengidentifikasi faktor-faktor kunci melalui prosedur pembobotan, di mana stakeholder dapat menyatakan kepentingan relatif dalam hubungannya dengan viabilitas, efektivitas, dan akseptabilitas teknologi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fleksibilitas metodologi MCDA dapat diaplikasikan pada berbagai kasus yang berbeda untuk merumuskan berbagai skenario atau pilihan-pilihan teknologi, mulai dari usulan-usulan pengembangan energi yang detail sampai dengan deskripsi macro-level jalur pemanfaatan energi jangka panjang. Brown (2001b) menggunakan analisis trade-off untuk kasus Bucco Reef Marine Park (BRMP) di Tobago. Analisis stakeholder digunakan untuk mengidentifikasi kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial serta mengembangkan skenario pembangunan BRMP. Hasil penelitian Brown menyatakan bahwa analisis trade-off dapat digunakan untuk memanfaatkan data kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan dalam pengambilan keputusan guna me-ranking skenario pembangunan berdasarkan penilaian stakeholder. Selanjutnya, dinyatakan bahwa analisis stakeholder merupakan representasi dari pendekatan konstruktivis sosial untuk pengambilan keputusan yang dapat diaplikasikan pada MPA-MPA, perencanaan pembangunan, serta pengelolaan sumber daya alam secara luas. Di Indonesia, berbagai penelitian di kawasan pesisir telah dilakukan. Khusus mengenai partisipasi masyarakat, Khazali dkk. (2002) pada penelitian di Indramayu menyimpulkan bahwa partisipasi yang optimal dari seluruh stakeholder sangat penting dalam pengelolaan hutan mangrove. PKSPL IPB (1998) pada studi di Jawa Timur menyatakan bahwa untuk menjaga kelestarian sumber daya pesisir dan laut diperlukan pendekatan pengelolaan yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya yang dikenal dengan istilah co-operative management. Tulungen dkk. (1999) menyatakan bahwa melalui pendekatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir berbasis masyarakat dalam kegiatan penanaman kembali hutan mangrove di Minahasa berjalan dengan baik. Hal ini karena partisipasi masyarakat diintegrasikan sejak awal proses perencanaan dengan keterlibatan secara aktif dari lembaga pemerintah. Hasan (2004) pada penelitian di Indramayu dan Subang menyimpulkan bahwa keberhasilan rehabilitasi hutan

BAGIAN TIGA: KONSEP ANALISIS TRADE-OFF

| 43

mangrove yang dilakukan oleh pemerintah dan LSM dengan melibatkan partisipasi masyarakat cenderung lebih baik dibanding tanpa pelibatan masyarakat. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif lebih menjamin keberhasilan program pembangunan. Analisis stakeholder memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai pemetaan sosial dan resolusi konflik dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Multi kriteria analisis sangat efektif dalam merumuskan kebijakan dan memilih alternatif yang terbaik berdasarkan preferensi stakeholder. Secara umum dapat dikatakan bahwa analisis trade-off dengan pendekatan analisis stakeholder dan analisis multi kriteria tepat digunakan untuk permasalahan pengelolaan sumber daya alam secara luas, termasuk pengelolaan sumber daya wilayah pesisir. Dalam kaitan dengan perencanaan pembangunan di wilayah pesisir, Renard et al. (2001) menggunakan pendekatan stakeholder dalam proses partisipasi dan menyarankan bahwa inisiasi perencanaan dan pengelolaan membutuhkan metode yang jangkauannya lebih luas, tidak cukup hanya dengan identifikasi dan analisis stakeholder. Hal ini telah dilakukan oleh Brown et al. (2001b) pada Bucco Reef Marine Park (BRMP) di Tobago dan memperlihatkan bahwa proses perencanaan partisipatif dengan pendekatan multi kriteria sangat efektif dan lebih menjamin keberlanjutan pembangunan. Namun demikian, kasus BRMP lebih spesifik pada kawasan taman nasional yang secara formal telah dikelola oleh pemerintah sehingga memudahkan implementasi kegiatan. Di Indonesia, pendekatan partisipatif untuk wilayah pesisir masih terbatas pada kegiatan pengelolaan salah satu sumber daya, misalnya pengelolaan mangrove, pengelolaan budi daya perikanan, pengelolaan wisata bahari, dan sebagainya. Dalam kaitan dengan perencanaan pembangunan yang mengombinasikan berbagai kegiatan secara terpadu di wilayah pesisir belum dikaji secara mendalam.

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

46 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

11. Prosedur Penelitian a. Tahapan Penelitian Penelitian ini bertujuan merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang yang berkelanjutan secara partisipatif. Kebijakan dan strategi pembangunan wilayah didasarkan pada kondisi sekarang wilayah pesisir, kecenderungan perkembangan wilayah, dan preferensi semua stakeholder. Untuk merumuskan kebijakan dan strategi tersebut, digunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan semua stakeholder dalam menentukan kriteria dan kondisi masa depan wilayah pesisir Kabupaten Subang yang diinginkan. Kondisi masa depan tersebut merupakan dampak dari pembangunan yang dilaksanakan terhadap keadaan ekonomi, ekologi, dan sosial yang dideskripsikan dalam bentuk skenario-skenario pembangunan secara kuantitatif. Secara rinci tahapan penelitian ini adalah (1) meneliti dan menganalisis kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial wilayah pesisir; (2) mengidentifikasi dan memetakan stakeholder yang terkait dengan kebijakan pembangunan wilayah pesisir, baik kepentingan maupun pengaruhnya; (3) menentukan kriteria, skenario kebijakan dan dampaknya terhadap wilayah pesisir; serta (4) menentukan prioritas kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir secara partisipatif. Secara detail disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Tahapan pelaksanaan penelitian dan analisisnya

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

| 47

b. Pengumpulan Data Data yang digunakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Semua jenis data yang dikumpulkan digunakan untuk mendeskripsikan keadaan ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya wilayah pesisir Kabupaten Subang yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam menentukan stakeholder, kriteria, skenario dan dampaknya, serta prioritas kebijakan pembangunan wilayah pesisir. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, kuesioner, dan diskusi dengan pakar serta stakeholder kunci. Berikut ini merupakan metode pengambilan data primer. 1. Pengambilan data pendapatan rumah tangga dilakukan melalui survei terhadap masyarakat di wilayah pesisir menggunakan kuesioner. Jenis data yang diperoleh adalah pendapatan rumah tangga (Rp/tahun). 2. Pengambilan data akses penduduk terhadap sumber daya pesisir dilakukan melalui survei terhadap masyarakat di wilayah pesisir menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Data yang diperoleh dalam bentuk kategori: sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. 3. Pengambilan data kepentingan dan pengaruh stakeholder dilakukan melalui survei terhadap stakeholder pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Jenis data yang diperoleh adalah skor tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam lima kategori yakni skor 1 = sangat rendah dan 5 = sangat tinggi. 4. Pengambilan data aspirasi dan preferensi stakeholder terhadap skenario kebijakan dan strategi implementasinya dilakukan focus group discussion (FGD). FGD dilaksanakan di Kota Subang dengan melibatkan semua stakeholder, pakar, dan peneliti. Data sekunder dikumpulkan melalui teknik dokumentasi, baik dari berbagai laporan instansi maupun dari hasil-hasil penelitian terkait. Data yang dikumpulkan, antara lain data statistik, potensi wilayah, hasil-hasil penelitian, rencana tata ruang, kebijakan, dan data hasil olahan lainnya. Untuk jelasnya, jenis dan sumber pengambilan data sekunder disajikan pada Tabel 4.

48 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 4 Jenis dan sumber pengambilan data sekunder No Jenis Data 1. Penggunaan lahan (budi daya, wisata, konservasi, permukiman) 2.

Ekosistem (spesies, flora, fauna, mangrove, terumbu karang, padang lamun) 3. Perikanan tangkap dan budi daya (jumlah tangkapan, harga, trip, rumah tangga petani, jumlah alat tangkap, produksi, sarana dan prasarana perikanan) 4. Pariwisata (kawasan wisata, objek, jumlah pengunjung, tarif, sarana dan prasarana wisata) 5. Usaha informal (jenis usaha dan pendapatan) 6. Ekonomi wilayah, GDP, pendapatan per kapita 7. Sosial budaya (jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, kemiskinan, tenaga kerja, kesehatan, pendidikan, perumahan) 8. Biogeofisik (iklim, musim, curah hujan, dan oceanografi) 9. Kualitas perairan (kualitas air, konsentrasi zat pencemar) 11. Kebijakan

Sumber Bappeda, dinas tata ruang, dinas perikanan dan kelautan, BPLHD BPLHD, dinas perikanan dan kelautan, peneliti Dinas perikanan dan kelautan, BPS

Dinas pariwisata dan kebudayaan BPS, dinas tenaga kerja BPS, Bappeda Observasi, BPS, kantor kecamatan BPS, instansi teknis, peneliti Peneliti, BPLHD, Dinas Perikanan dan Kelautan Bappeda

c. Pengambilan Sampel Data primer yang diambil berkaitan dengan kondisi sekarang wilayah pesisir yang digunakan sebagai dasar dalam perumusan skenario pembangunan dan dampaknya. Teknik pengambilan sampel data tersebut secara rinci adalah sebagai berikut. 1. Pendapatan masyarakat. Teknik pengambilan sampelnya adalah cluster stratified random sampling. Responden dibagi ke dalam cluster pekerjaan: nelayan, petani tambak, buruh, pedagang, industri pengolahan, dan karyawan. Setiap cluster diwakili oleh strata pendapatan tinggi (>Rp18 juta per tahun), sedang (Rp6 juta–Rp18 juta per tahun), dan rendah (
BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

| 49

Tabel 5 Banyaknya responden pengambilan data pendapatan masyarakat Jenis pekerjaan Nelayan Petani tambak Buruh Pedagang Industri pengolahan Karyawan Jumlah

Banyaknya respoden menurut strata pendapatan (orang) Rendah Sedang Tinggi Jumlah 3 3 3 9 5 5 5 15 3 3 3 9 4 4 4 9 3 3 3 9 2 2 2 6 20 20 20 60

2. Akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah area cluster purposive sampling. Responden dipilih pada setiap area berdasarkan kecamatan yang proporsional terhadap jumlah desa pesisir. Pada tiap kecamatan tersebut responden dibagi ke dalam cluster: pengusaha dan pedagang, nelayan dan petani tambak, buruh dan karyawan, serta ibu rumah tangga. Penentuan responden terpilih dilakukan secara sengaja melalui konsultasi dengan tokoh masyarakat. Rincian banyaknya responden menurut area dan cluster disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Banyaknya responden pengambilan data akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir Kecamatan

Jumlah Desa Pesisir

Pamanukan Pusakanegara Legonkulon Blanakan Jumlah

1 1 5 7 14

Banyaknya responden menurut strata (orang) Petani/ Pengusaha/ Ibu Buruh/ Jumlah nelayan pedagang rumah karyawan tangga 0 2 2 0 4 0 2 2 0 4 4 2 2 2 10 6 4 4 6 20 10 10 10 10 40

3. Pengambilan data mengenai kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang dilakukan melalui survei menggunakan kuesioner dan wawancara. Responden dibagi ke dalam kelompok masyarakat dan institusi: pemerintah, masyarakat, pengusaha, dan peneliti. Jenis data yang diperoleh adalah skor tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder. Penentuan responden terpilih

50 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI dilakukan secara purposive. Jumlah responden untuk penentuan stakeholder adalah 20 orang yang terdiri atas: tingkat nasional (DKP, KLH, dan LPP Mangrove), regional (Bappeda Jawa Barat, Bapeda Subang, Perum Perhutani, Dinas Perikanan dan Kelautan Subang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Subang, BPLHD Subang, Dinas Penataan Ruang Subang, DPRD Subang), local off-site (koperasi, camat, peneliti, LSM Pantura), dan local in-site (petani, nelayan, wisatawan, pedagang). 4. Pengambilan data mengenai bobot kriteria yang digunakan dalam penentuan alternatif kebijakan digunakan teknik survei dengan kuesioner AHP. Responden dipilih secara purposive yakni prominent person yang memahami secara mendalam mengenai kebijakan pembangunan di wilayah pesisir. Jumlah responden adalah 14 orang yang terdiri atas: wakil pemerintah (Bapeda Subang, Dinas Perikanan dan Kelautan Subang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Subang, BPLHD Subang, dan Perum Perhutani), wakil pengusaha (pengusaha perikanan, pengusaha wisata, industri kecil, dan koperasi), wakil masyarakat (Komisi B DPRD Kabupaten Subang, kepala desa, LSM lokal, dan kelompok tani), dan peneliti.

12. Analisis Data a. Analisis stakeholder Analisis data menggunakan sistem yang dibentuk melalui pendekatan pengintegrasian antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Data sekunder mengenai keadaan umum wilayah penelitian dianalisis secara deskriptif. Data primer ataupun sekunder mengenai keadaan ekonomi, ekologi, dan sosial yang digunakan dalam penentuan skenario kebijakan dianalisis menggunakan trade-off analysis. Trade-off analysis dimulai dengan analisis stakeholder kemudian analisis multi kriteria. Analisis stakeholder adalah suatu sistem pengumpulan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off (Brown et al. 2001). Proses penentuan stakeholder dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman dalam pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan pemerintah) dan (2) mengidentifikasi berdasarkan hasil identifikasi dan verifikasi stakeholder lain (teknik snowball). Berdiskusi dengan

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

| 51

stakeholder yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan stakeholder penting lain yang berkaitan dengannya. Metode ini juga dapat membantu pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan stakeholder. Untuk memudahkan identifikasi stakeholder, setiap stakeholder dikategorikan ke dalam lima kategori yakni pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), swasta (pengusaha dan lembaga donor), tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi sosial lainnya, serta pakar dan profesional. Selanjutnya, kategori ini dibagi ke dalam empat tingkatan stakeholder (level of continuum) yakni nasional, regional, local off-site, dan local in-site. Berdasarkan tabel stakeholder tersebut dilakukan analisis kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) masing-masing stakeholder dalam kaitan dengan kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Kepentingan dalam hal ini merujuk pada peran seorang stakeholder di dalam pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus pertimbangan terhadap keputusan yang akan dibuat, sedangkan pengaruh merujuk pada kekuatan yang dimiliki seorang stakeholder untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu kebijakan (IIED 2001; Mardle 2003). Kegiatan ini dilakukan dengan teknik wawancara dan kuesioner terhadap wakil dari semua stakeholder yang teridentifikasi dari hasil identifikasi stakeholder. Indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kepentingan adalah: (1) sumber daya alam, (2) sumber daya manusia, (3) ekonomi/finansial, (4) informasi dan teknologi, dan (5) kelembagaan. Sementara, indikator dalam menilai pengaruh stakeholder disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Indikator pengaruh stakeholder terhadap pembangunan wilayah pesisir Organisasi Formal Hierarki resmi (perintah dan pengawasan, pemegang anggaran) Otoritas kepemimpinan (formal dan informal, kharisma, politis, kekeluargaan) Kendali terhadap sumber daya strategis dalam pembangunan wilayah Penguasaan terhadap pengetahuan/ keterampilan khusus Posisi negosiasi (kekuatan memengaruhi stakeholder lainnya)

Kelompok Informal Status sosial, ekonomi, dan politik Tingkat organisasi, konsensus, dan kepemimpinan dalam kelompok Tingkat pengendalian terhadap sumber daya strategis Pengaruh informal melalui hubungan dengan stakeholder lain Tingkat ketergantungan terhadap stakeholder lain

52 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Skor yang diperoleh dari setiap responden dianalisis dengan statisitik deskriptif yakni modus (untuk setiap item pertanyaan) dan rata-rata untuk total skor. Hasil dari penentuan kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan akan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara tingkat kepentingan dan pengaruh yang disebut stakeholder grid. Grafik stakeholder grid menunjukkan posisi stakeholder dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang seperti disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kategori stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan Sumber: Brown et al. (2001)

Kategori stakeholder dari hasil pemetaan tersebut, selanjutnya digunakan untuk penentuan stakeholder yang terlibat dalam penentuan kriteria, skenario, dan perumusan strategi pembangunan wilayah pesisir. Preferensi stakeholder primer dan sekunder sangat penting karena merupakan stakeholder yang memiliki derajat kepentingan yang relatif tinggi.

b. Analisis Multi Kriteria Analisis multi kriteria (multi criteria analysis, MCA) digunakan untuk mengidentifikasi rangking dari alternatif skenario masa depan yang diinginkan.

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

| 53

Untuk tujuan trade-off analysis, MCA merupakan salah satu tahap dari proses menuju pengambilan keputusan partisipatif. MCA digunakan dalam membangun kerangka kerja untuk menampilkan skenario dan dampaknya, merangking skenario dari yang lebih diinginkan hingga yang kurang diinginkan, dan memperlihatkan pengaruh preferensi para stakeholder (dalam bentuk bobot). Brown (2001) menjelaskan tahapan MCA yakni: (1) mendesain alternatif skenario pembangunan; (2) mengklarifikasi alternatif skenario pembangunan; (3) menentukan kriteria pembangunan; dan (4) mengumpulkan data untuk analisis multi kriteria. Skenario alternatif dijelaskan dalam bentuk kualititatif ataupun kuantitatif, bergantung pada tipe dan banyaknya data yang tersedia. Dalam penelitian ini, hanya stakeholder primer dan sekunder yang dilibatkan dalam proses analisis multi kriteria, yakni mulai dari penentuan kriteria kebijakan pembangunan, skenario masa depan yang diinginkan, penentuan bobot masingmasing kriteria, hingga strategi implementasi kebijakan yang memiliki prioritas tertinggi. Mekanisme ini dibangun melalui diskusi dengan stakeholder yang dilakukan, baik pada tingkat lokal (wawancara mendalam) maupun pada tingkat regional (FGD). Penentuan kriteria pembangunan wilayah pesisir didasarkan pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekologi, ekonomi, dan sosial. Ketiga aspek tersebut dirinci berdasarkan kondisi wilayah pesisir Kabupaten Subang yang paling dominan pengaruhnya terhadap pembangunan wilayah. Kriteria pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang digambarkan pada diagram pohon sebagai berikut (Gambar 8).

Gambar 8 Kriteria penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang

54 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Selanjutnya, dilakukan pembobotan terhadap ketiga kriteria ekonomi berdasarkan judgement stakeholder. Analisis yang digunakan untuk penentuan bobot kriteria adalah metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan pendekatan analytical hierarchy process (AHP) secara partisipatif. AHP merupakan salah satu analisis dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan yang diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. AHP membantu menyelesaikan permasalahan dengan kriteria yang sangat kompleks yang diprioritaskan pada kriteria yang paling dominan (Saaty 1993). Berikut ini adalah angkah-langkah analisis data dengan AHP. 1. Mendefinisikan topik yang menjadi fokus pembahasan. Dalam penelitian ini fokusnya adalah penentuan kriteria pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang. 2. Membuat struktur hierarki dengan 2 level yaitu level 1 fokus dan level 2 kriteria yakni ekologi, ekonomi, dan sosial. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap tujuan di atasnya. Terdapat 3 komparasi yang diajukan yakni perbandingan berpasangan antara kriteria ekologi dan ekonomi, ekologi dan sosial, serta ekonomi dan sosial dalam kaitan dengan penentuan kriteria pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan. Matriks perbandingan berpasangan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Matriks perbandingan berpasangan dalam penentuan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang Kriteria 9 8 7 Ekologi Ekologi Ekonomi



6

5

Skala Kepentingan 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7

kriteria

Kriteria 8 9 Ekonomi Sosial Sosial

Skala kepentingan digunakan untuk mengkuantifikasi data kualitatif. Nilai skala komparasi digunakan skala angka Saaty (1993) seperti pada Tabel 9.

4. Melakukan perbandingan berpasangan; perbandingan berpasangan dilakukan dengan menghitung matriks pendapat individu pada setiap elemen matriks, kemudian menghitung matriks pendapat gabungan untuk

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

| 55

memperoleh hasil secara keseluruhan. Skala perbandingan didasarkan pada judgment para stakeholder dengan menilai tingkat kepentingan satu kriteria dibandingkan dengan kriteria lainnya.

Tabel 9 Skala perbandingan berpasangan Skala 1 3

Definisi Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap tujuan Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya (moderately importance) 5 Elemen satu lebih penting daripada elemen lainnya (strongly importance) 7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya (very strongly importance) 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya (extremely importance) 2, 4, 6 dan 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan (intermediate value) Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i Sumber: Saaty (1993)

5. Menguji konsistensi judgement stakeholder dengan menghitung indeks konsistensi. Jika tidak konsisten (nilainya > 0,1), pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Perhitungan indeks konsistensi menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Skor yang dianalisis adalah hasil judgement stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan untuk mengetahui preferensi setiap kelompok stakeholder dan combined dari seluruh judgement stakeholder untuk menentukan bobot kriteria yang digunakan dalam penentuan ranking alternatif. Pengolahan data berbasis komputer menggunakan software expert choice 2000. Expert choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi decision-making yakni AHP. Kelebihan perangkat lunak ini antara lain (1) memudahkan identifikasi tujuan, (2) memudahkan identifikasi full range solusi-solusi alternatif, (3) evaluasi kunci trade-off di antara tujuan dan alternatif, serta (4) memungkinkan membuat keputusan yang dipahami sepenuhnya dan didukung oleh seluruh stakeholder.

56 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Dalam proses partisipasi stakeholder dilakukan beberapa tahap pertemuan guna membangun konsensus bersama. Langkah dalam membangun konsensus adalah menganalisis isu yang merupakan sumber permasalahan, masyarakat yang terkait dengan permasalahan, kelompok pemerhati, serta institusi yang terkait dengan permasalahan. Dari semua kriteria detail yang telah diidentifikasi, didiskusikan dengan stakeholder dan pakar, terutama berkaitan dengan teknik pengukuran serta dampaknya dalam pembangunan wilayah pesisir. Penentuan skor dari setiap kriteria dan subkriteria dalam penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir digunakan metode kuantifikasi untuk setiap jenis data yang diperoleh dari masing-masing kriteria. Penentuan skor untuk setiap kriteria dilakukan dengan mengonversi nilai-nilai yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut: 1) Untuk kategori skor semakin besar maka semakin baik digunakan rumus:

Skor =

x - xmin xmax - xmin

x 100

2) Untuk kategori skor semakin kecil maka semakin baik digunakan rumus:

Skor =

xmax - x xmax - xmin

x 100

keterangan: x xmax xmin

= = =

nilai yang akan ditransformasi ke dalam skor nilai maksimum nilai minimum

Hasil pengukuran terhadap kondisi ekonomi, ekologi, dan sosial dikalkulasi dan dibobot, kemudian dimasukkan ke dalam skenario pembangunan yang telah disepakati. Perhitungan dampak masing-masing skenario kebijakan pembangunan terhadap kondisi ekonomi, ekologi, dan sosial wilayah pesisir Kabupaten Subang dilakukan hingga 10 tahun mendatang (tahun 2013) dengan asumsi bahwa

BAGIAN EMPAT: DATA DAN ANALISIS

| 57

perubahan-perubahan kondisi wilayah pesisir dapat dilihat minimal 10 tahun untuk mengukur keberlanjutan. Hasil kalkulasi disajikan pada matriks dampak skenario pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang terhadap masingmasing kriteria seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Matriks dampak masing-masing skenario pembangunan wilayah pesisir terhadap kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial Kriteria

Kondisi 2003

A

Skenario (kondisi 2013) B … L

Ekologi Luas kawasan mangrove (ha) Kualitas air (mg DO/l) Abrasi dan sedimentasi (mg TTS/l) Rata-rata ekologi Ekonomi

āekologi

бekologi



ĺekologi

āekonomi

бekonomi



ĺekonomi

āsosial ΠA

бsosial ΠB

… …

ĺsosial ΠL

Pendapatan masyarakat (Rp/thn) Pertumbuhan sektor informal (skor) Sumbangan terhadap PDRB (%) Rata-rata ekonomi Sosial Tingkat partisipasi angkatan krja (%) Akses masyarakat (%) Pendidikan (tahun) Rata-rata sosial Jumlah

Formula yang digunakan untuk menghitung rata-rata setiap kriteria adalah ratarata geometri dengan rumus: rata-rata kriteria ke-i (āi) = jumlah skor subkriteria ke-i dibagi banyaknya subkriteria ke-i. Skor rata-rata setiap kriteria (āi) kemudian dikalkulasi dengan bobot setiap kriteria yang diperoleh dari hasil analisis AHP sehingga diperoleh nilai akhir berupa jumlah skor dari setiap skenario (Π). Formula yang digunakan adalah:

Πj = Σ άij x boboti

58 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Keterangan: = jumlah skor skenario j Πj = skor rata-rata kriteria i untuk skenario j άij boboti = skor bobot kriteria ke-i (hasil analisis AHP) j = 1, 2, ..., 12. i = 1, 2, 3. Skor tertinggi menunjukkan ranking prioritas kebijakan yang terpilih. Hasil perhitungan ini kemudian disosialisasikan kepada semua stakeholder untuk memperoleh tanggapan sekaligus penguatan akan implementansi kebijakan. Selanjutnya, untuk implementasi kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang memiliki skor tertinggi dilakukan FGD dengan melibatkan pakar dan semua stakeholder. Pada FGD ini dirumuskan langkah-langkah strategis, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan, dan stakeholder yang terlibat dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

60 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang produktif dan kompleks, baik dinamika sistem ekologinya maupun sistem sosial-ekonomi masyarakatnya. Ekosistem pesisir menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga, dan industri yang bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting bagi beragam biota laut sekaligus berperan sebagai pelindung pantai dan penahan abrasi bagi wilayah daratan. Sebagian besar wilayah pesisir merupakan tempat tinggal bagi masyarakat pesisir yang memiliki beragam pola hidup dan preferensi. Karakteristik ini menjadi daya tarik untuk dikaji, terutama dalam konteks pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Kabupaten Subang memiliki wilayah pesisir potensial dengan perairan yang berhubungan langsung dengan Laut Jawa. Luas lahan pesisirnya adalah 13.682,88 ha yang terdiri atas lahan mangrove 5.328,60 ha (38,94%) dan tambak 8.354,28 ha (61,06%) (DPK Subang 2003). Produktivitas wilayah pesisir Subang cenderung mengalami penurunan (Saridewi 2003). Luas kawasan mangrove yang bernilai ekonomi dan ekologi mengalami degradasi fisik serta memicu konflik pemanfaatan. Wilayah pantai dan atraksi budaya belum berperan optimal dalam menunjang kesejahteraan masyarakat di sekitarnya serta bagi kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir, pemerintah Kabupaten Subang telah menyusun kebijakan pembangunan wilayah pesisir dengan arahan pengembangan perikanan, pariwisata, dan perdagangan. Pada rencana tata ruang wilayah (RTRW), wilayah pesisir ditetapkan sebagai wilayah pengembangan II dengan pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan di Kecamatan Pamanukan. Kota Pamanukan ditetapkan sebagai pusat perdagangan, sedangkan wilayah pesisir di sekitarnya ditetapkan sebagai pusat kegiatan pertanian (padi), perikanan laut, dan pariwisata pantai (Bapeda Subang 2002). Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang menyusun kebijakan perikanan-kelautan dengan sasaran pengembangan, yaitu (1) peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi budi daya perikanan serta pengembangan usaha penangkapan, (2) pengembangan perikanan rakyat sebagai terobosan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nelayan, peningkatan kesejahteraan nelayan, dan pengadaan benih unggul, serta (3) pengembangan agribisnis komoditas unggulan dengan mendorong kemandirian nelayan melalui pelatihan kewirausahaan manajemen kelompok yang dinamis, memantapkan

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

| 61

kelembagan kelompok tani ikan, dan nelayan, meningkatkan prasarana perikanan, penangkapan, budi daya, pengolahan, hingga pemasaran (DPK Subang 2003). Dalam kaitan dengan arah kebijakan tersebut, disepakati program pembangunan perikanan di Kabupaten Subang mengacu pada peningkatan pemanfaatan sumber-sumber potensi perikanan yang tersedia melalui penajaman program intensifikasi dan ekstensifikasi budi daya perikanan, pengembangan usaha penangkapan di laut dan di perairan umum, penerapan teknologi penangkapan, serta pengembangan kemitraan usaha yang dinamis berorientasi agribisnis dan agroindustri. Selain itu, dikembangkan pula pariwisata di wilayah pesisir dengan arahan pengembangan: pelestarian dan promosi nilai seni dan budaya, pengembangan pendidikan, kemampuan teknis dan manajerial tenaga kerja pariwisata, penataan objek wisata unggulan pengembangan potensi wisata daerah, pengembangan paket wisata, serta peningkatan prasarana dan sarana pariwisata. Arah pengembangan pariwisata tersebut dititikberatkan pada nilai-nilai pembangunan berwawasan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat (DKP Subang 2003). Sesuai dengan kondisi biogeofisik dan arahan pemanfaatan lahan pesisir Kabupaten Subang maka potensi wilayah pesisir dan laut yang dapat dikembangkan adalah perikanan tangkap, budi daya perikanan, pariwisata bahari, dan konservasi mangrove.

a. Perikanan Tangkap Pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Subang dapat diarahkan pada pemanfaatan sumber daya ikan yang mengutamakan kelestarian sumber daya dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Potensi sumber daya ikan mengalami degradasi sehingga dalam pemanfaatan harus lebih bijaksana. Produktivitas perikanan di wilayah pesisir mengalami penurunan yang cukup signifikan. Potensi hasil maksimum lestari (MSY) mengalami penurunan setiap tahun. Pada tahun 2001, potensi lestarinya sekitar 15.667,35 ton/tahun, sedangkan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan berdasarkan hasil tangkapan mencapai 89,9% dari nilai MSY perairan Kabupaten Subang atau sekitar 14.070 ton/tahun. Potensi lestari ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 1999 yang mencapai 19.753 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan 66,28 persen.

62 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Penurunan potensi lestari ini disebabkan oleh degradasi lingkungan pesisir akibat aktivitas pembangunan. Kualitas air makin menurun akibat sedimentasi dan limbah dari sungai. Kawasan mangrove rusak akibat alih fungsi lahan menjadi tambak dan pembangunan sarana permukiman dan pariwisata. Berdasarkan hasil analisis, korelasi nilai cath per unit effort dengan upaya penangkapan diketahui cenderung menurun (DPK Subang 2003). Hal ini menunjukan bahwa produktivitas alat tangkap yang digunakan nelayan menurun jika dilakukan peningkatan upaya penangkapan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah restocking di wilayah yang sesuai dan perbaikan kualitas lingkungan. Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan laut wilayah Kabupaten Subang berdasarkan hasil perhitungan Dinas Perikanan dan Kelautan Subang menggambarkan bahwa tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh nelayan masih berada di bawah batas maksimum lestari, tetapi tingkat upaya penangkapan telah melampaui batas maksimum lestari (DPK Subang 2003). Dengan demikian, untuk pengembangan ekonomi perikanan tangkap, diarahkan pada peningkatan kapasitas armada penangkapan dan bukan penambahan armada penangkapan. Hal ini layak dilakukan karena potensi lestari perikanan tangkap untuk wilayah perairan laut Jawa Barat masih cukup potensial, khususnya untuk ikan demersal. Dilihat dari kondisi perikanan tangkap dengan aktivitas penangkapan ikan terkonsentrasi di wilayah kurang dari 4 mil dan juga kondisi sumber daya ikan yang ada maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah (1) pengembangan armada penangkapan ikan yang lebih besar sehingga aktivitas penangkapan dapat mencapai daerah penangkapan yang lebih jauh; (2) pengayaan sumber daya ikan, dilakukan dengan cara pemasangan rumpon dan terumbu karang buatan; serta (3) pengelolaan prasarana-sarana perikanan tangkap dengan mengoptimalkan prasarana-sarana perikanan yang ada. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan laut Kabupaten Subang ataupun di luar perairan Kabupaten Subang. Produksi ikan hasil tangkapan di laut oleh nelayan yang mendarat di TPI cenderung stabil dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 13,77 ribu ton pada tahun 1996–2001. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan terdiri atas 30 jenis ikan. Dari 30 jenis ikan yang tertangkap tersebut, terdapat 23 jenis ikan yang hampir selalu tertangkap pada setiap tahunnya (Lampiran 18).

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

| 63

b. Budi Baya Perikanan Pengembangan budi daya perikanan diarahkan pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara berkelanjutan. Pemanfaatan potensi lahan dilakukan untuk komoditas budi daya yang bernilai ekonomis dan memiliki pangsa pasar yang luas. Upaya pemanfaatan dilakukan secara terpadu dan mempertimbangkan keselarasan dengan aktivitas ekonomi lainnya yang sudah ada. Kabupaten Subang memiliki potensi lahan budi daya tambak yang cukup luas dan potensial. Akibat degradasi ekosistem dan penurunan kualitas perairan secara umum di Pantura, kegiatan budi daya memperlihatkan perkembangan produksi yang fluktuatif dan cenderung menurun. Namun, dibandingkan dengan kegiatan penambakan daerah lainnya di Pantura Jawa, penambakan di Kabupaten Subang masih relatif lebih baik. Hal ini dimungkinkan karena masih adanya hutan mangrove di sebagian besar pesisir pantai. Pemanfaatan areal penambakan hingga saat ini telah mencapai 82,55% dari potensi yang ada seluas 10.000 ha. Budi daya perikanan merupakan kegiatan yang memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat. Budi daya perikanan saat ini menggunakan sistem tambak, baik yang intensif, semi intensif, maupun tradisional. Selain sistem tambak, masyarakat melakukan budi daya ikan di lahan milik perhutani dengan sistem sylvofishery (tumpang sari). Kelebihan sistem budi daya sylvofishery yaitu dari segi lingkungan yang memungkinkan suatu kegiatan budi daya dapat berkelanjutan dan dari segi produk budi daya yang dihasilkan seperti udang lebih kompetitif diterima pasar ekspor. Dalam sistem ini, tambak yang digunakan untuk budi daya dibuat dengan pola empang parit, yaitu tambak yang dibuat berupa parit yang mengelilingi hutan bakau, dengan luas parit 20% dari luas anak petak. Luas anak petak berkisar antara 0,3 sampai 3 ha dengan luas garapan yang berbeda untuk masing-masing petambak. Pada umumnya luas garapan 2 ha bagi setiap penggarap. Luas lahan untuk budi daya perikanan disajikan pada Tabel 11.

64 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 11 Luas areal budi daya perikanan menurut status tanah (ha) di Kabupaten Subang tahun 2004 Kecamatan

Tanah Milik

Tanah Timbul

116 527 897 622 2.162 26,19

45 213 750 873 1.881 22,79

Pamanukan Pusakanagara Legonkulon Blanakan Total Persentase

Tanah Perhutani 478 64 2.309 1.361 4.212 51,02

Total 639 804 3.956 2.856 8.255 100,00

Sumber: BPS Subang (2005)

Pemanfaatan mangrove dengan sistem sylvofishery ini sudah dimulai sejak tahun 1968 dan dilakukan pada seluruh areal hutan mangrove pada tahun 1986. Jenis ikan yang dibudidayakan umumnya adalah ikan bandeng, mujair, nila, dan udang yang dipelihara dengan sistem tradisional, baik monokultur maupun polikultur. Biaya yang dibutuhkan pada sistem ini selain sewa lahan juga untuk pengangkatan tanah, pengapuran, obat, dan bibit. Kegiatan pengolahan ikan juga telah dilakukan oleh masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Subang meliputi pembuatan bandeng presto, penggaraman, pemindangan dan pembuatan terasi ataupun penjualan ikan dalam bentuk fillet ikan.

c. Wisata Bahari Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah Kabupaten Subang. Hal ini dapat dilihat dari potensi wisata yang ada, mempunyai keunggulan komparatif dengan keindahan alam dan pemandangan yang menarik. Kondisi ini mendapat dukungan dengan visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, yaitu terwujudnya Kabupaten Subang sebagai daerah tujuan wisata andalan pada tahun 2010. Objek wisata di kawasan pesisir antara lain penangkaran buaya di Blanakan, wisata pantai Pondok Bali, wisata pantai Patimban, dan ekowisata Pondok Putri. Kawasan wisata pantai Pondok Bali terletak di Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon.

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

| 65

Kawasan wisata Pantai Kelapa (pantai Patimban) terletak di Desa Patimban, Kecamatan Pusakanagara. Sebagian besar kawasan di Pantai Kelapa dan sekitarnya masih merupakan lahan sawah, tambak, areal penggaraman, dan lahan kosong. Vegetasi yang terlihat banyak adalah pohon kelapa. Atraksi wisata utama saat ini adalah menikmati pemandangan laut, sedangkan aktivitas lainnya adalah hiburan yang disediakan oleh warung-warung di sekitar pantai. Kawasan wisata pantai Pondok Putri terletak di Desa Legonkulon, Kecamatan Legonkulon. Kawasan Pondok Putri dan sekitarnya masih merupakan lahan tambak. Vegetasi yang terlihat banyak adalah bakau, rumput liar, semak belukar dan berbagai jenis tanaman air. Daya tarik objek wisata ini adalah keindahan pemandangan laut, sedangkan aktivitas lainnya adalah memancing. Kawasan wisata Pantai Sarewang/Cirewang terletak di desa Legonkulon, Kecamatan Legonkulon. Sebagian besar kawasan di Pantai Kelapa dan sekitarnya masih merupakan lahan tambak dan lahan kosong. Selain vegetasi yang terlihat banyak adalah bakau, juga terdapat rumput liar, semak belukar, dan vegetasi lainnya. Daya tarik Pantai Sarewang adalah pemandangan laut serta kondisi alam yang masih asri. Selain itu, terdapat aktivitas budi daya tambak di sekitar pantai. Kondisi pantai yang cukup luas dan perairan yang tenang menjadikan kawasan ini menjadi objek wisata yang menyenangkan. Wisata pemancingan merupakan wisata alternatif lain yang menjadi objek wisata di wilayah pesisir. Lokasi pemancingan terdapat di sekitar Kecamatan Blanakan dan Pamanukan. Di samping itu, lokasi pelelangan ikan dapat menjadi salah satu alternatif untuk menjadi daerah wisata belanja bagi para wisatawan sehingga perlu dikelola menjadi wisata yang berbasis masyarakat lokal. Penunjang pariwisata Kabupaten Subang adalah keragaman budaya dan kesenian yang dapat menarik wisatawan. Budaya khas daerah Kabupaten Subang berupa kesenian daerah, yaitu gotong sisingaan, tari jaipongan, gemyung buhun, toleat, doger kontrak, dan wayang golek beluk. Potensi wisata wilayah pesisir antara lain: seni karawitan di Pamanukan, seni kliningan di Pamanukan dan Pusakanagara, perdalangan dan wayang golek di Legonkulon dan Pusakanagara, serta seni musik orkes melayu di semua wilayah pesisir. Gambaran kondisi lokasi wisata saat ini adalah belum adanya penempatan bagi para pedagang sehingga menimbulkan kesan kumuh atau kotor, tidak tersedianya penginapan, belum ada akses jalan menuju muara, dan minimnya sarana pelayanan umum, seperti klinik kesehatan, balai informasi, toilet umum,

66 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI penerangan jalan umum, dan taman. Sebagian besar pengunjung menggunakan kendaraan pribadi, hal ini merupakan indikator minimnya sarana transportasi umum untuk mencapai lokasi. Untuk pengelolaan wisata, saat ini terdapat 1 perusahaan yang mengelola kawasan wisata pantai yakni PT Matahari Terbit yang mengelola kawasan wisata pantai Pondok Bali dan 1 perusahaan yang mengelola objek wisata penangkaran buaya yakni PT Perhutani. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini hingga Agustus 2003 telah mencapai 49.598 orang. Pada tahap awal beroperasi, objek wisata ini dapat menyerap pengunjung dengan cukup baik, tetapi berdasarkan data time series, terlihat penurunan jumlah pengunjung (Tabel 12). Tabel 12 Pengunjung objek wisata pantai Pondok Bali tahun 2000–2003 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Okober November Desember Jumlah

2000 4.862 6.533 8.407 5.898 3.665 7.151 2.075 16.889 55.481

Tahun 2001 9.375 3.451 7.114 4.502 5.792 7.786 12.294 7.546 4.570 6.462 3.462 51.952 124.306

2002 1.939 1.262 2.867 2.288 3.812 8.031 11.249 4.675 3.812 4.697 2.646 42.076 89.354

2003 9.699 2.867 3.863 4.148 4.728 7.739 10.263 6.291 49.598

Sumber: CV Matahari Terbit (2004)

d. Konservasi Hutan mangrove dibutuhkan untuk pemeliharaan larva (nursery ground), pemijahan induk udang dan ikan (spawning ground), serta tempat mencari makanan (feeding ground) bagi biota laut. Di wilayah pesisir Kabupaten Subang, areal pesisir yang berstatus sebagai kawasan hutan yaitu seluas 5.521 ha (BPS Kabupaten Subang 2004). Rata-rata tegakan bakau pada seluruh areal hutan

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

| 67

sekitar 36,75 m3/ha (Fachruddin 1996). Keberadaan hutan mangrove dapat meredam arus dan gelombang laut sehingga dapat mencegah abrasi. Pembukaan hutan mangrove menjadi tambak dapat mengakibatkan kondisi perairan menjadi jenuh sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan. Pembatasan alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan tambak atau pertanian perlu dilakukan. Keberadaan hutan mangrove yang berada di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai potensi wisata dalam bentuk ekowisata. Kegiatan ekowisata belum dilakukan oleh masyarakat. Faktor rendahnya pendidikan dan pemahaman masyarakat mengenai manfaat ekowisata yang menyebabkan kegiatan ini belum dilaksanakan. Di masa yang akan datang, kegiatan ekowisata dapat memberikan keuntungan jangka panjang yang lebih menjanjikan kesejahteraan masyarakat, keberlanjutan usaha, dan kelestarian ekosistem.

13. Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Identifikasi stakeholder dilakukan secara partisipatif menggunakan teknik snowball, yakni setiap stakeholder mengidentifikasi stakeholder lainnya. Stakeholder yang teridentifikasi dikategorikan berdasarkan level of continuum, mulai dari tingkat lokal, regional, hingga nasional. Hasil identifikasi disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Stakeholder pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang Tingkat Nasional

Regional

Stakeholder Departemen Kelautan dan Perikanan Kementerian Lingkungan Hidup LPP Mangrove

Interest Pengembangan manajemen kelautan dan perikanan dan wilayah pesisir Koordinasi nasional manajemen lingkungan dan konservasi Kelestarian lingkungan dan kepedulian masyarakat IPB Konservasi dan pendidikan publik Bappeda Provinsi Koordinasi pembangunan antar wilayah Perum Perhutani Subang Kelestarian hutan mangrove Dinas Perikanan dan Kelautan Pengembangan manajemen sumber Subang daya perikanan dan wilayah pesisir

68 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 13 Stakeholder pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang (Lanjutan) Tingkat

Stakeholder BPLHD Subang

Dinas Tata Ruang Subang Dinas Perkebunan dan Kehutanan Subang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Subang Bapeda Subang

Lokal

DPRD Subang Camat Koperasi dan lembaga ekonomi mikro Pengusaha Pedagang sektor informal Nelayan Masyarakat lokal Wisatawan LSM lokal Organisasi sosial

Interest Konservasi sumber daya alam, pengendalian kawasan, kelestarian ekosistem Koordinasi pemanfaatan lahan, penataan ruang Pengembangan manajemen kehutanan, kelestarian sumber daya hutan Pengembangan manajemen pariwisata, kelestarian objek wisata Kesejahteraaan, keberlanjutan, integrasi pembangunan Stabilitas dan penegakan hukum PAD, kesejahteraan masyarakat, dan ketenteraman Kesejahteraan anggota dan keberlanjutan usaha Pendapatan dan keberlanjutan usaha Pendapatan Pendapatan dan kelestarian Kelestarian sumber daya dan kesejahteraan Keindahan alam dan keamanan Pemberdayaan masyarakat Partisipasi dan ketenteraman

Tabel 13 memperlihatkan bahwa stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang bervariasi sesuai dengan motif, cakupan wilayah, dan orientasi tujuan pembangunan. Berkenaan dengan kepentingan pembangunan berkelanjutan, setiap stakeholder memiliki motif tertentu, seperti pengembangan manajemen (instansi pemerintah, badan perencana, dan dinas teknis daerah), ekologi (LSM, peneliti, dinas teknis daerah, wisatawan), ekonomi (pengusaha, koperasi, camat, dan masyarakat), dan sosial (organisasi sosial, peneliti, LSM lokal, dan DPRD).

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

| 69

Pemetaan stakeholder dilakukan dengan menghitung skor kepentingan dan pengaruh stakeholder, kemudian dipetakan ke dalam grafik stakeholder. Stakeholder dikelompokkan menurut kategori primer, sekunder, dan eksternal yang dianalisis berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Sebaran posisi setiap stakeholder sehubungan dengan tingkat pengaruh dan kepentingannya dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang disajikan pada Gambar 9. 5.0 Nelayan

Masyarakat lokal Wisatawan

Bapeda Subang

Koperasi

Kepentingan .

Pedagang

Camat Industri kecil

2.5

LSM Pantura

DPRD Subang BPLHD Subang

Perhutani Subang DKP Subang Disbudpar Subang Dishutbun Subang

Peneliti

DKP Dinas TR Subang KLH Bappeda Provinsi Organisasi sosial LSM Pusat

0.0 0.0

2.5 Pengaruh

5.0

Gambar 9 Grafik kepentingan dan pengaruh relatif stakeholder pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang Kelompok stakeholder primer memiliki kepentingan yang relatif tinggi terhadap wilayah pesisir, tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah dalam pengambilan keputusan dan hubungan dengan stakeholder lain. Stakeholder ini merupakan yang penting, namun memerlukan pemberdayaan dalam pembangunan wilayah pesisir. Kelompok stakeholder primer adalah masyarakat lokal, nelayan, wisatawan, pedagang. Dari keempat stakeholder ini, masyarakat lokal yang memiliki pengaruh dan kepentingan paling tinggi. Bagi masyarakat lokal, kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial sangat besar terhadap keberadaan wilayah tersebut. Masyarakat lokal dan nelayan memanfaatkan sumber daya pesisir untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di sisi lain, wilayah pesisir

70 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI telah membentuk pola sosial-budaya spesifik (kearifan lokal dan ritual) sehingga membedakan tingkat ketergantungan masyarakat akan sumber daya pesisir dengan masyarakat wilayah lainnya. Nelayan dan petani tambak lebih fokus pada usaha perikanan dan kurang memiliki akses terhadap penentuan kebijakan. Pedagang memiliki kepentingan lebih tinggi pada aspek ekonomi. Wisatawan relatif hanya memiliki kepentingan untuk berwisata atau memanfaatkan waktu luang sambil menikmati keindahan alam. Walaupun wisatawan mengeluarkan sejumlah biaya untuk kepentingan wisata dan menyarankan beberapa hal berkenaan dengan perbaikan sarana dan prasarana wisata di wilayah pesisir serta keberlanjutan sumber daya, dari sisi partisipasi yang dilakukan belum merupakan hal utama yang berpengaruh terhadap stakeholder lainnya. Pelibatan stakeholder primer dalam proses pembangunan selama ini hanya bersifat prosedural sehingga aspirasi dan preferensinya tidak tersalurkan dan tidak tercermin dalam kebijakan pembangunan wilayah. Pada umumnya, stakeholder ini mengetahui suatu kegiatan pada saat sosialisasi dan pelaksanaan kegiatan, sedangkan pada tahap perencanaan dan evaluasi, stakeholder ini tidak dilibatkan. Mereka dijadikan sebagai objek pembangunan oleh pemerintah dan pengusaha. Ketidakmampuan stakeholder dalam mengakses informasi dan menyampaikan aspirasi secara baik menyebabkan kondisi ini terjadi. Dalam proses pembangunan partisipatif, stakeholder primer harus dilibatkan secara substansial dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pelibatan stakeholder ini adalah melalui teknik pengkajian secara mendalam bersama masyarakat yang dilakukan secara terbuka oleh pihak independen. Teknik yang dapat digunakan antara lain participatory rural appraisal, rapid rural appraisal, kaji bersama masyarakat akar rumput, dan pertemuan masyarakat dengan tokoh adat atau pimpinan dalam kelompok masyarakat. Kegiatan ini dapat difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, peneliti, atau lembaga independent lainnya. Untuk proses pengambilan keputusan, tokoh masyarakat atau pimpinan kelompok dapat mewakili untuk hadir dan menyampaikan aspirasi stakeholder primer pada pertemuan dengan kelompok stakeholder lainnya dalam setiap forum diskusi yang dilaksanakan dalam kaitan dengan pembangunan wilayah pesisir. Stakeholder sekunder pada umumnya adalah instansi pemerintah, industri, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga ekonomi mikro. Bagi

BAGIAN LIMA: POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH

| 71

instansi pemerintah, tingkat kepentingannya yang tinggi berkenaan dengan realisasi program kerja dan strategi pengelolaan. Dalam perlaksanaannya juga memiliki pengaruh tinggi karena dapat memainkan peran intermediasinya dengan stakeholder lain, termasuk dengan masyarakat lokal dan lembaga keuangan. Bapeda Kabupaten Subang memiliki pengaruh dan kepentingan yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Bapeda Kabupaten Subang memiliki posisi yang kuat dalam pengambilan keputusan. Pengaruhnya berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki dalam perencanaan pembangunan wilayah, sedangkan kepentingannya berkaitan tugas dan fungsi untuk integrasi kegiatan pembangunan serta keberpihakan pada kesejahteraaan masyarakat. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memiliki otoritas yang tinggi dalam hal perumusan kebijakan pariwisata. Sementara itu, Dinas Perikanan dan Kelautan memiliki otoritas dalam hal perumusan kebijakan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Subang. PT Perhutani memiliki peran strategis dalam pengembangan budi daya dengan sistem silvofishery dan konservasi kawasan mangrove. Stakeholder ini memiliki pengaruh yang tinggi terhadap beberapa kelompok stakeholder primer secara langsung. LSM Pantura memiliki pengaruh tinggi karena mampu memainkan peran dalam fungsi intermediasi dan penyebaran informasi dengan stakeholder lainnya. Di samping kapasitasnya sebagai lembaga swadaya masyarakat, LSM ini juga merupakan pemilik kawasan wisata di Pondok Bali. Dengan demikian, LSM ini merupakan pihak yang paling tepat untuk menjembatani perumusan keputusan dan opini stakeholder. Dinas Kehutanan dan Perkebunan memiliki pengaruh dan kepentingan yang relatif paling rendah di antara stakeholder sekunder lainnya karena pengelolaan hutan mangrove sepenuhnya oleh Perhutani. Secara umum pemerintah dan pengusaha merupakan stakeholder yang penting dalam perumusan kebijakan pembangunan wilayah pesisir. Pemerintah berkaitan dengan peran otoritas pengelolaan wilayah yang dimiliki. Pengusaha berkenaan dengan pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks perencanaan partisipatif, pemerintah dan pengusaha dapat menjadi pionir untuk mengajak stakeholder lainnya dalam berpartisipasi secara aktif, membangun konsensus bersama dalam merencanakan pembangunan wilayah pesisir bagi kepentingan bersama dan generasi mendatang. Keberlanjutan sumber daya wilayah pesisir dan keberlanjutan manfaat yang dapat diberikan kepada seluruh stakeholder, terutama masyarakat lokal dapat terlaksana dengan baik dalam konteks keadilan dan pemerataan.

72 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Stakeholder sekunder secara langsung terlibat dalam proses pembangunan, baik dari perencanaan maupun pelaksanan dan evaluasi karena kegiatan stakeholder ini berkaitan langsung dengan wilayah pesisir. Setiap stakeholder ini melakukan kegiatan pembangunan secara parsial dan sektoral karena keterpaduan pembangunan belum terwujud sebagaimana mestinya. Teknik pelibatan semua stakeholder sekunder dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan adalah melalui serangkaian forum disuksi dan pertemuan antar stakeholder. Setiap stakeholder ini harus pro aktif dalam menggagas pembangunan di wilayah pesisir dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan pembangunan. Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang memiliki pengaruh relatif tinggi, tetapi kepentingannya rendah. Stakeholder eksternal dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang adalah instansi pemerintah di luar wilayah pesisir Subang, peneliti, dan LSM yang tidak berkaitan langsung dengan keberadaan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Kelompok ini memiliki pengaruh dalam hal keberlanjutan sumber daya dan pengaruh terhadap stakeholder lainnya. Untuk kegiatan perencanaan pembangunan wilayah, stakeholder ini penting untuk dilibatkan karena pandangan yang lebih berwawasan jangka panjang, perencanaan pembangunan yang terintegrasi dengan sektor dan wilayah lain serta memiliki pengaruh terhadap banyak stakeholder lainnya. Partisipasi stakeholder ini sangat diharapkan oleh kelompok stakeholder primer maupun sekunder, namun selama ini kurang mendapat respons dari stakeholder eksternal karena berkaitan dengan mekanisme hubungan kerja dan pembiayaan. Teknik pelibatan stakeholder ini dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan adalah melalui mekanisme diskusi terfokus dengan seluruh stakeholder, baik sebagai narasumber ahli maupun sebagai stakeholder pembangunan. Selaku stakeholder, seharusnya memiliki informasi berkaitan dengan rencana kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Kabupaten Subang. Namun, apabila informasi tersebut belum tersosialisasi dengan baik, penyampaian informasi kegiatan pembangunan dapat dilakukan oleh pihak pemerintah kepada semua stakeholder eksternal sebagai wujud tanggung jawab dan transparansi kegiatan pembangunan. Selain itu, dapat pula partisipasi stakeholder eksternal melalui forum ilmiah, seperti seminar, lokakarya, pendampingan, atau kajiankajian mendalam pada berbagai bidang dalam kaitan dengan pembangunan wilayah pesisir. Sumber dana untuk memfasilitasi partisipasi stakeholder ini dapat dari pemerintah dan pengusaha, dapat pula bersumber dari stakeholder ini sendiri atau lembaga donor.

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

74 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

14. Skenario Pembangunan Wilayah Pesisir Sesuai dengan kondisi wilayah pesisir, potensi pengembangan wilayah, permasalahan pembangunan, dan keinginan stakeholder dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang dirumuskan skenario kebijakan pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan secara partisipatif. Skenario kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang yang dianalisis adalah kegiatan pembangunan berbasis sumber daya lahan, yaitu kegiatan perikanan tangkap, budi daya perikanan, wisata bahari, dan konservasi. Kegiatan perikanan tangkap mencakup wilayah tangkapan di perairan Kabupaten Subang ataupun di luar wilayah perairan Subang yang hasilnya di jual ke salah satu TPI di Kabupaten Subang. Pengembangan perikanan tangkap diasumsikan dapat mencapai tingkat pertumbuhan 15% per tahun dari kondisi saat ini. Aspek yang dapat dikembangkan adalah peningkatan kualitas alat tangkap dan peningkatan produktivitas perairan melalui perbaikan kondisi lingkungan perairan. Dampak dari pengembangan perikanan tangkap ini adalah peningkatan aspek-aspek ekonomi dan sosial. Pengembangan budi daya perikanan yang dapat dilakukan adalah pengembangan sistem budi daya secara intensif melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan permodalan dan pengembangan sistem silvofishery melalui perluasan kawasan mangrove. Pengembangan ini diasumsikan dapat ditingkatkan hingga 15% per tahun dari kondisi saat ini. Peningkatan ini dapat berpengaruh positif terhadap aspek-aspek ekonomi dan ekologi secara umum, tetapi dapat menurunkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya dan merusak kualitas perairan. Pengembangan wisata bahari yang dapat dilakukan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan prasarana dan sarana pendukung, serta pengembangan manajemen pariwisata. Pengembangan wisata ini diasumsikan dapat ditingkatkan hingga 15% dari kondisi saat ini. Peningkatan ini dapat berpengaruh positif pada aspek sosial dan ekonomi, tetapi dapat berpengaruh negatif terhadap lingkungan, khususnya kualitas air dan luas kawasan mangrove. Pengembangan konservasi sumber daya wilayah mencakup perluasan kawasan mangrove dan perbaikan kualitas air. Diasumsikan dapat ditingkatkan hingga 20% per tahun. Perluasan kawasan mangrove dilakukan dengan kerja sama antar

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 75

stakeholder diharapkan dapat mengurangi laju abrasi dan sedimentasi, sedangkan perbaikan kualitas air melalui pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kondisi perairan dari aktivitas di wilayah daratan. Berdasarkan kondisi dan asumsi tersebut, dirumuskan skenario kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang secara partisipatif. Jumlah skenario yang disepakati oleh stakeholder adalah 12 skenario yang terdiri atas status quo dan 11 skenario alternatif. Skenario-skenario ini merupakan kombinasi paling ideal dan memungkinkan dari 4 kegiatan yang sesuai dengan rencana tata ruang dan arahan pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Subang, yaitu perikanan tangkap, budi daya perikanan, wisata bahari, dan konservasi. Rangkuman skenario kebijakan tersebut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Rangkuman skenario kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang No

A B

C D E F

G H I

Skenario Perikanan Tangkap Status quo alami Perikanan tangkap meningkat berkelanjutan 10% Perikanan tangkap yang meningkat didukung oleh budi daya 10% perikanan Perikanan tangkap dan meningkat budi daya perikanan 5% secara berkelanjutan Budi daya perikanan alami Budi daya perikanan yang berkelanjutan Budi daya perikanan dan wisata bahari Budi daya perikanan dan wisata bahari secara berkelanjutan Wisata bahari berkelanjutan

alami alami

alami alami

Aktivitas Wisata Bahari alami alami

Budi daya Perikanan alami alami

Konservasi alami meningkat 10% alami

meningkat 10%

alami

meningkat 10%

alami

meningkat 5%

meningkat 15% meningkat 10% meningkat 10% meningkat 10%

alami

meningkat 5% meningkat 10% alami

alami

alami

meningkat 10% meningkat meningkat 5% 5% meningkat 10%

meningkat 10%

76 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 14 Rangkuman skenario kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang (Lanjutan) No

Skenario Perikanan Tangkap

J

K

L

Wisata bahari yang meningkat didukung budi daya 5% perikanan dan perikanan tangkap Budi daya perikanan, meningkat perikanan tangkap, 5% dan wisata bahari secara simultan serta berkelanjutan Konservasi alami

Aktivitas Wisata Konservasi Bahari alami meningkat 10%

Budi daya Perikanan meningkat 5%

meningkat 5%

meningkat 5%

meningkat 5%

alami

alami

meningkat 20%

Untuk mengukur pencapaian setiap skenario, digunakan berbagai kriteria berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder dan berbagai kajian pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan. Saridewi (2003) yang melakukan studi pembangunan ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Subang menyimpulkan bahwa kriteria dalam pembangunan wilayah pesisir adalah peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan pendapatan asli daerah, dan posisi tawar masyarakat. Hasil kuesioner mengenai isu pembangunan wilayah pesisir yang harus diperhatikan juga mengisyaratkan hal yang sama, yakni untuk aspek ekologi, perlu perhatian mengenai kualitas air, penurunan lahan mangove, abrasi, akresi, sedimentasi, dan pendangkalan di muara sungai. Aspek sosial-budaya yang paling banyak disoroti adalah pendidikan masyarakat yang rendah, pola hidup nelayan yang konsumtif, adopsi teknologi penangkapan, dan budi daya yang rendah, serta rendahnya pemahaman mengenai konservasi lingkungan. Selain itu, rendahnya partisipasi angkatan kerja di sektor perikanan dan kelautan karena kurangnya daya tarik dari sektor ini juga menjadi perhatian. Kriteria dan teknik pengukuran kriteria disajikan pada Tabel 15.

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 77

Tabel 15 Kriteria dan teknik pengukuran yang digunakan dalam skenario pembangunan wilayah pesisir Subang Kriteria

Ekologi

Ekonomi

Subkriteria Luas kawasan mangrove Kualitas air

Konsentrasi oksigen terlarut di perairan (mg DO/l) Abrasi dan sedimentasi Konsentrasi sedimen tersuspensi di air (mg TSS/l) Pendapatan masyarakat Pendapatan yang diperoleh masyarakat dari Pertumbuhan sektor informal Sumbangan terhadap PDRB

Sosial

Pengukuran Persentase perubahan kawasan mangrove (ha)

Partisipasi angkatan kerja Akses masyarakat Pendidikan

hasil kegiatan usaha (Rp/tahun) Perubahan dalam manfaat sektor informal (%) Persentase sumbangan sektor perikanan dan kelautan dari wilayah pesisir terhadap PDRB Kabupaten Subang (%) Persentase jumlah tenaga kerja yang terserap di lapangan pekerjaan (%) Tingkat kemampuan masyarakat dalam mengakses sumber daya (skor) Rata-rata lama sekolah penduduk di wilayah pesisir (tahun)

Penentuan teknik pengukuran dan pengumpulan data dari setiap kriteria didasarkan atas pertimbangan: secara teknis dapat dilakukan pengukuran, didukung oleh teori, kemudahan pengambilan data, dan secara ilmiah dapat menggambarkan keadaan kriteria yang dimaksudkan. Misalnya, paramater kualitas air digunakan dissolved oxygen (DO) karena parameter DO sudah dapat menggambarkan kualitas air, meskipun sifatnya sangat fluktuatif harian dan musiman (Saeni 1989; Efendi 2003). Dalam penentuan skenario kebijakan pembangunan, digunakan batasan pertumbuhan berdasarkan rentang pertumbuhan alami setiap parameter yang digunakan. Pertumbuhan minimal diperoleh dari data time serie yang ada. Sementara itu, pertumbuhan maksimal disesuaikan dengan faktor pertumbuhan yang mungkin dapat dicapai dengan sumber daya yang ada, atau tingkat optimal yang dapat dicapai dalam kondisi ideal. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pengukuran dampak dari setiap skenario adalah sebagai berikut:

78 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Skenario A (status quo) Skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir dilakukan seperti yang telah dilaksanakan selama ini tanpa perubahan yang signifikan sehingga perkembangan parameter yang diukur bersifat alami. Parameter yang diukur dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Aspek ekologi yang diamati adalah perubahan luas kawasan mangrove, kualitas air, dan sedimentasi. Aspek ekonomi yang diamati adalah pendapatan masyarakat, perkembangan sektor informal, serta sumbangan terhadap PDRB Kabupaten Subang. Aspek sosial yang sosial yang diamati adalah aspek partisipasi angkatan kerja, akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir, dan tingkat pendidikan masyarakat.

• Perubahan luas hutan mangrove Luas hutan mangrove mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Selain itu, kerusakan hutan mangrove menimbulkan permasalahan bagi kepentingan perikanan dan garis pantai. Penurunan luas hutan mangrove disebabkan kegiatan konversi lahan untuk tambak dan lahan pertanian. Data degradasi hutan mangrove belum diketahui secara pasti, namun estimasi degradasi ini relatif besar. Luas areal kawasan mangrove yang berstatus sebagai kawasan hutan negara seluas 5.521 ha (BPS Subang 2004). Hutan mangrove ini berada di bawah otoritas pengelola Perum Perhutani BPKH Ciasem-Pamanukan. Berdasarkan data Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang, hutan mangrove di kawasan ini pada periode 1998–1992, mengalami pengurangan luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988, turun menjadi 1.729,9 ha pada tahun 1990, dan menjadi 958,2 ha pada tahun 1992. Perkembangan luas hutan mangrove disajikan pada Gambar 10.

Ha

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

5500 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1988

| 79

Tambak tumpangsari

Mangrove 1990

1992

1995

2003

Tahun

Gambar 10 Perkembangan luas hutan mangrove di Kabupaten Subang tahun 1988–2003 Pengurangan luasan hutan mangrove di Kabupaten Subang berhubungan dengan kegiatan konversi lahan termasuk perluasan areal pertambakan. Antara tahun 1992–1995 terjadi penambahan luas hutan mangrove, yaitu menjadi 3.074,3 ha. Penambahan luas pada periode ini karena digalakkan (diselenggarakan) program perhutanan sosial (social forestry) melalui tambak tumpang sari yang pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Pada tahun 2003, areal pesisir yang masih berfungsi sebagai hutan mangrove seluas 1.390,9 ha, sedangkan yang digunakan sebagai tambak tumpang sari seluas 4.211 ha yang berarti bahwa persentase luas mangrove terhadap tambak tumpangsari adalah 24%. Hal ini menunjukkan bahwa rasio mangrove: tambak adalah 24 : 76 yang telah melampaui rasio mangrove tambak yang dipersyaratkan untuk sistem tumpang sari yakni 80 : 20. Rata-rata tegakan pada seluruh areal hutan mangrove menjadi lebih sedikit. Apabila tidak dilakukan pengelolaan kawasan yang baik, akan mengalami penurunan setiap tahun dengan laju penurunan alami 2% per tahun.

• Kualitas air Kondisi air yang baik sangat diperlukan dalam pengembangan budi daya tambak dan untuk pengelolaan sumber daya perairan. Penurunan kualitas air dapat

80 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI menghambat pengembangan dan pemanfaatan sumber daya perairan. Kualitas air pada beberapa muara-muara sungai mengalami penurunan. Pengamatan yang dilakukan secara visual adalah adanya penumpukan sampah plastik dan kondisi air yang keruh. Pada perairan pantai terjadi penurunan kualitas air yang teridentifikasi dari aliran jelaga garis kuning (aliran yang bergabung endapan dan sedimentasi). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya sedimentasi di suatu tempat dan abrasi ditempat lainnya sehingga transfer sedimen oleh aliran di sepanjang pantai semakin besar. Pada beberapa lokasi di perairan payau dan laut mempunyai sifat kekeruhan yang cukup tinggi, seperti di Pondok Bali, Mayangan, dan Blanakan. Kondisi ini merupakan karakteristik perairan Laut Jawa yang banyak dipengaruhi oleh sedimen yang dibawa oleh beberapa sungai yang bermuara ke Pantai Utara Jawa. Selain itu, sifat oseanografi di daerah pasang surut (intertidal) memungkinkan terjadi sedimentasi dan abrasi. Di sisi lain, kondisi ini merupakan suatu hal yang menguntungkan perairan pesisir karena mendapat suplai nutrien dari daratan sehingga menjadi subur. Hal ini dapat dilihat dari tipe subtrat yang didominasi oleh liat dan debu, serta kandungan C-organik pada subtrat yang relatif tinggi (69,07 mg/l). Hasil analisis kualitas air di wilayah perairan pesisir menunjukkan adanya beberapa parameter yang kurang mendukung kehidupan biota laut seperti disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Nilai parameter kualitas air di perairan pesisir Kabupaten Subang Sumber Kawaroe (2000) Bapeda (2001) Bapeda (2002) Baku mutu

DO (mg/l) 7,18–8,48 2,56–7,29 1,98–8,07 >5

Parameter BOD (mg/l) TSS (mg/l) 8,07–12,94 7,00–48,00 0,25–3,24 0,6–5,73 5,06–112,78 10 20

Kecerahan (cm) 1,12–1,37 10–174 10–174 >6

Pada tahun dasar, konsentrasi oksigen terlarut di perairan pesisir adalah 5,93 mg/l. Hal ini mengalami penurunan dari tahun ke tahun sehingga dengan sistem pengelolaan yang sekarang akan menurunkan konsentrasi DO sebesar 0,9% per tahun. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus-menerus, konsentrasi DO sudah tidak memenuhi syarat untuk keperluan perikanan. Kurangnya DO berakibat fatal terhadap sebagian besar biota akuatik (Saeni 1989).

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 81

• Sedimentasi Sedimentasi di sepanjang pantai utara Jawa Barat banyak terjadi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya tanah-tanah timbul, seperti yang terdapat di Kecamatan Blanakan, Legonkulon, dan Pusakanagara. Sedimentasi mengganggu aktivitas perikanan tangkap, salah satunya yaitu mengakibatkan adanya pendangkalan di sekitar muara sungai yang dapat menghambat jalur transportasi kapal atau perahu. Di muara Sungai Cipunegara, penggerusan garis pantai ini menyebabkan tersumbatnya mulut sungai sehingga menghambat lalu lintas perahu nelayan ikan. Di Sungai Blanakan, untuk mengatasi pendangkalan ini dilakukan pengerukan secara rutin. Wilayah Pantai Blanakan yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimentasi dari sungai dan angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar sehingga di wilayah ini laju pendangkalan perairan sangat besar. Beberapa wilayah pantai yang mengalami akresi, seperti di Teluk Blanakan dan Ciasem mengakibatkan munculnya tanah timbul yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat (melalui Perhutani) untuk dijadikan lahan budi daya tambak. Luas lahan timbul yang terdapat di Pantai Blanakan mencapai 400 ha. Di sepanjang Pantai Subang terdapat beberapa wilayah yang mengalami abrasi maupun akresi. Wilayah yang mengalami abrasi adalah Pantai Mayangan (Pondok Bali), Pantai Tanjung Sijan, dan Muara Sungai Cipunegara. Sementara itu, wilayah yang mengalami akresi adalah Muara Tanjungjaya, Muara Cipunagara, Teluk Sarewang Timur, Pantai Legonwetan, Teluk Ciasem Barat, Teluk Blanakan, dan Pantai Cilamaya Timur.

82 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Gambar 11 Kondisi pantai di wilayah Patimban yang mengalami abrasi Karakteristik sedimen dasar pantai sangat menentukan dalam proses erosi dan akresi. Sedimen dasar pantai di wilayah antara Cipunegara dan Ciasem terdiri atas pasir dan lumpur yang sebagian berasal dari sungai-sungai di sekitarnya. Sedimen melayang berupa partikel lempung yang lebih kecil dari 2 mm dan terbawa arus ataupun gelombang dalam keadaan melayang (suspensi). Karakteristik sedimen di sepanjang pantai dan sungai disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Karakteristik sedimen daerah pantai di Kabupaten Subang No. Lokasi 1. Antara Sungai Ciasem– Sungai Poncol 2. Antara Sungai Poncol– Sungai Cipunegara 3. Antara Sungai Cipunegara– Genteng

Karakteristik Sedimen Lanau Kasar dan Pasir Sedang Lanau Kasar dan Pasir Halus Lanau Sedang dan Pasir Sedang

Keterangan Berat jenis sedimen berkisar antara 17.200– 2.585 Konsentrasi sedimen dalam suspensi berkisar antara 21,6–231,8 mg/l

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 83

Proses abrasi dan akresi ini menyebabkan karakteristik substrat perairan menjadi berubah. Hal ini dapat dilihat dari parameter kekeruhan dan total suspended solid dalam badan air (Tabel 18). Tabel 18 Kondisi substrat perairan laut dan sungai di Kabupaten Subang Parameter

Satuan

Perairan

Kekeruhan

NTU

Total suspended solid (TSS)

mg/l

Laut Sungai Laut Sungai

Kualitas air Rentang Rata-rata 1,6–30,0 12,02 0,7–53,0 3,32 7,0–48,0 25,25 4,0–368,0 82,00

Berdasarkan perbandingan peta garis pantai antara tahun 1989 dan 1999 (sekitar 10 tahun) terlihat bahwa di sepanjang Pantai Subang terdapat beberapa wilayah yang mengalami abrasi maupun akresi. Proses abrasi dan akresi ini menyebabkan karakteristik substrat perairan menjadi berubah. Hal ini dapat dilihat dari parameter total suspended solid dalam badan air. Pada tahun dasar, total padatan terlarut diperairan bervariasi menurut lokasi. Rata-rata konsentrasi padatan terlarut adalah 53,63 mg/l. Dengan sistem pengelolaan yang ada saat ini, konsentrasi padatan terlarut akan meningkat sebesar 1,05% per tahun.

• Pendapatan masyarakat Pendapatan masyarakat pesisir secara umum didominasi oleh kegiatan perikanan dan sektor informal. Mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir antara lain nelayan, petani tambak, pengusaha informal, seperti industri pengolahan perikanan, warung makan, toko, buruh dan ojek, serta karyawan. Aktivitas budi daya perikanan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang paling tinggi. Pendapatan nelayan masih tergolong rendah, terutama untuk buruh dan nelayan kecil. Budi daya perikanan yang dilakukan di wilayah pesisir terdiri atas sistem tambak dan sistem tumpang sari (sylvofishery). Pada umumnya luas garapan 2 ha bagi setiap penggarap. Pendapatan dari kegiatan ini relatif tinggi, khususnya petani intensif dan semi intensif. Kegiatan pengolahan ikan telah dilakukan oleh masyarakat, meliputi pembuatan bandeng presto, penggaraman, pemindangan, dan pembuatan terasi ataupun penjualan ikan dalam bentuk fillet ikan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara tradisional dan skala rumah tangga.

84 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Pedagang di sekitar kawasan wisata memiliki pendapatan yang juga bervariasi. Pedagang makanan yang memiliki warung yang cukup besar di lokasi strategis memperoleh yang lebih besar dibandingkan dengan pedagang yang berada di lokasi yang kurang strategis. Dari seluruh pendapatan masyarakat pesisir tersebut, apabila dirata-ratakan, diperoleh pendapatan per rumah tangga yaitu Rp953.003,00 per tahun. Pendapatan ini akan mengalami pertumbuhan alami sebesar 9,11% per tahun. Tingkat pendapatan masyarakat pesisir disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Pendapatan masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Subang Jenis Pekerjaan Budi daya perikanan Tambak intensif Tambak semi intensif Tambak tradisional Tambak sylvofishery Penangkapan ikan Nelayan besar Nelayan sedang Nelayan kecil Sektor informal Industri terasi Industri pengeringan Warung makan besar Warung makan kecil Toko Ojek Buruh dan karyawan Buruh Karyawan

Pendapatan rata-rata (Rp/tahun) Tahun D Tahun D-1 Laju (%) 91.656.000 75.409.100 7.260.500 11.907.000   11.375.000 13.122.000 19.635.414   6.970.000 9.687.000 75.000.000 10.750.000 15.000.000 9.720.000   8.549.000 7.200.000

79.536.000 72.267.450 6.260.500 11.410.875   10.500.000 12.029.000 18.124.998   6.000.000 9.000.000 65.000.000 9.750.000 14.800.000 9.500.000   8.500.000 7.200.000

0,15 0,04 0,16 0,04   0,08 0,09 0,08   0,16 0,08 0,15 0,10 0,01 0,02   0,01 0,00

Dari pendapatan rumah tangga tersebut, yang digunakan untuk konsumsi sangat tinggi, sedangkan untuk investasi dan tabungan relatif kecil. Sementara itu, untuk pengusaha rumah makan dan toko tingkat konsumsi serta investasi cukup tinggi, tetapi untuk tabungan juga relatif rendah. Persentase pengeluaran untuk bahan makanan 68,1% dan pengeluaran untuk bukan makanan 32,9%.

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 85

• Perkembangan sektor informal Sektor informal di wilayah pesisir belum berkembang dengan baik. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakat, namun hasilnya belum optimal. Pembinaan terhadap kelompok tani nelayan telah dilakukan, namun kontribusi terhadap perekonomian dari kelompok ini belum signifikan. Sektor informal yang belum berkembang antara lain jasa pendukung industri pariwisata, seperti transportasi, suvenir, rumah makan, dan pelayanan lainnya. Penunjang subsektor perikanan dan kelautan yakni industri pengolahan perikanan belum dapat menjanjikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Industri pengolahan ikan yang dilakukan oleh rumah tangga perikanan masih tergolong tradisional. Sektor informal yang saat ini diidentifikasi dapat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat pesisir adalah pengolahan hasil perikanan, jasa wisata, rumah makan dan toko, serta transportasi lokal. Pada tahun 2003, sektor informal memberikan sumbangan terhadap perekonomian masyarakat sebesar 9%. Sumbangan sektor ini meningkat alami sebesar 5% per tahun.

• Sumbangan terhadap PDRB Kabupaten Subang Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2003 sebesar 5,89 triliun rupiah sedangkan atas dasar harga konstan 1993 sebesar 1,95 triliun rupiah. Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2003 mencapai 4,55%. PDRB Kabupaten Subang dari tahun 2000–2003 memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,7% per tahun (Gambar 12). PDRB per kapita dari tahun 2000–2003 juga menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003 PDRB per kapita di Kabupaten Subang telah mencapai Rp4.374.069,00 per tahun.

86 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Subang dan kecamatan pesisir 2000-2003 8

Pamanukan Pusakanagara Legonkulon

7

Persen

6 5

Blanakan Kab. Subang Rata-rata Pesisir

4 3 2 1 0 2000

2001

Tahun

2002

2003 Sumber: BPS Kab. Subang 2004

Gambar 12 Perkembangan PDRB Kabupaten Subang atas dasar harga berlaku Secara kuantitatif, sektor pertanian merupakan sektor dominan dengan kontribusi sebesar 38,01%, diperingkat kedua adalah perdagangan hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 31,30%. Subsektor perikanan menyumbangkan hanya 1,19% dari total PDRB Kabupaten Subang. Subsektor yang paling rendah kontribusinya adalah kehutanan (0,02%), perorangan dan rumah tangga (0,03%), penggalian (0,04%), serta hiburan dan rekreasi (0,05%). Kontribusi wilayah pesisir terhadap PDRB Kabupaten Subang disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 PDRB atas dasar harga berlaku dan distribusinya berdasarkan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Subang tahun 2001–2003 Kecamatan Pamanukan Pusakanagara Legonkulon Blanakan Total Kab. Subang

2001 Absolut 266.047 274.304 131.516 217.877 889.744 4.525.593

% 5,88 6,06 2,91 4,81 19,66

2002 Absolut 310.901 309.241 148.078 242.046 1.010.266 5.180.104

% 6,00 5,97 2,86 4,67 19,50

2003 Absolut 361.043 345.252 162.330 263.549 1.132.174 5.842.283

% 6,18 5,91 2,78 4,51 19,38

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 87

Pemanfaatan sumber daya perikanan laut didominasi oleh para nelayan dari luar Kabupaten Subang, tetapi kegiatan yang dilakukan oleh nelayan tersebut memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah Kabupaten Subang karena proses pendaratan dan penjualannya di PPI dan TPI yang ada di Kabupaten Subang. Kegiatan penangkapan dan budi daya di tambak telah mampu memberikan masukan pada anggaran pendapatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. Jenis pendapatan yang diperoleh melalui retribusi pasar ikan laut mencapai Rp235.502.949,00 dan melalui retribusi pasar ikan tambak yang mencapai Rp143.298.882,00­. Sumbangan wilayah pesisir terhadap PDRB Kabupaten Subang dapat dilihat dari sumbangan sektor perikanan, pariwisata, dan jasa di wilayah pesisir. Namun, data ini tidak dapat diidentifikasi sehingga digunakan sumbangan 4 kecamatan pesisir terhadap PDRB Kabupaten Subang. Pada tahun 2003, kontribusi 4 kecamatan di wilayah pesisir terhadap PDRB Kabupaten Subang sebesar 19,38% dengan laju pertumbuhan alami mencapai 3,62% per tahun.

• Partisipasi angkatan kerja Hasil Susenas tahun dasar penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja di Kabupaten Subang sebanyak 607.774 jiwa (52,93% dari angkatan kerja) dan 58.130 jiwa (5,06%) sedang mencari kerja. Lapangan pekerjaan yang dominan adalah pertanian (51,30%), yang mengalami penurunan sebesar 2,88% dari tahun 1999 (BPS Kabupaten Subang 2004). Aktivitas ekonomi masyarakat di kecamatan pesisir didominasi oleh kegiatan pertanian, meliputi pertanian pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan buruh tani. Persentase penduduk yang bekerja di sektor perikanan relatif kecil. Di Pamanukan, perbandingan masyarakat yang bekerja pada sektor perikanan dengan sektor pertanian secara keseluruhan sebesar 1,1%, Legonkulon sebesar 4,4%, Blanakan sebesar 3,2%, dan Pusakanegara sebesar 2,3%. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pantai sebagian besar bekerja pada sektor perikanan, baik sebagai nelayan maupun petani tambak. Perkembangan RTP dan RTBP di Kabupaten Subang dari tahun mengalami peningkatan, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 1,76%. Jumlah RTP laut 645 dan tambak 2.718 RTP, sedangkan jumlah RTBP laut 2.778 dan tambak 5.113 RTBP (BPS Kabupaten Subang 2004).

88 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tingkat partisipasi angkatan kerja di wilayah pesisir pada tahun 2003 telah mencapai 55,65% dengan laju peningkatan sebesar 1,76% per tahun. Namun, persentase penduduk yang bekerja di sektor perikanan dan kelautan rata-rata 2,75%. Hal ini menujukkan bahwa sektor ini belum menjadi primadona dalam mencari pekerjaan. Hanya masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pantai yang sebagian besar bekerja pada sektor perikanan. Sebagian besar angkatan kerja memilih untuk bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri dengan pertimbangan pendapatan yang tinggi.

• Akses masyarakat terhadap sumber daya. Beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai kondisi sosial budaya masyarakat pesisir Kabupaten Subang menyatakan bahwa tingkat aksesibilitas masyarakat pesisir terhadap sumber daya relatif rendah. Pemanfaatan perairan laut oleh nelayan pada umumnya hanya di sekitar perairan terdekat yang produktivitas perikanannya rendah, sedangkan perairan umum yang produktivitas perikanannya masih tinggi dimanfaatkan oleh nelayan dari luar, meskipun pada saat penjualan datang ke TPI Subang. Penggunaan alat tangkap dan perahu motor juga relatif rendah. Pada tahun 2000, armada penangkapan ikan yang dioperasikan adalah perahu tanpa motor (40 unit), perahu motor tempel (520 unit), dan kapal motor hanya 5 unit. Secara keseluruhan jumlah armada penangkapan ikan cenderung menurun selama periode 1994–2000, dengan persentase penurunan sekitar 1,3% per tahun. Alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan dari tahun 1998–2001 cenderung mengalami peningkatan. Dari jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan, hanya 7 jenis alat tangkap yang dioperasikan setiap tahunnya, yaitu payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jarik kilitik, dan alat pengumpul kerang, sedangkan untuk alat tangkap dogol mulai digunakan pada tahun 2000. Secara keseluruhan selama periode tahun 1998–2001 perkembangan alat tangkap mengalami pertumbuhan rata-rata 11,51 % per tahun. Akses masyarakat terhadap sumber-sumber permodalan formal relatif rendah, mengingat sistem permodalan formal memiliki persayaratan baku dan ketat yang sulit diadopsi oleh masyarakat perikanan. Nilai pinjaman yang diberikan oleh KUD relatif masih sedikit karena permodalan yang digunakan berasal dari simpanan anggota KUD. Nilai pinjaman kepada KUD menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan tidak meminjam modal ke KUD karena modal terbatas.

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 89

Untuk itu, nelayan meminjam modal kepada bakul besar. Sistem yang digunakan dalam peminjaman ini umumnya bagi hasil dengan perbandingan bervariasi sesuai dengan kesepakatan bersama. Meskipun meminjam kepada bakul, ternyata penjualan hasil tangkapan tetap dijual melalui sistem lelang di TPI atau dengan kata lain bakul tidak mengikat. Akses terhadap prasarana kesehatan dan pendidikan juga relatif rendah. Keadaan gizi balita di kecamatan pesisir tergolong baik (87,07%), kurang (10,64%), buruk (0,74%), dan lebih baik (1,56%). Namun demikian, untuk standar konsumsi gizi penduduk wilayah pesisir Kabupaten Subang berdasarkan konsumsi gizi per kapita masih rendah dibandingkan dengan pencapaian konsumsi ikan Jawa Barat. Secara umum berdasarkan hasil kuesioner terhadap 40 responden menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap sumber daya lahan dan perairan, sumber permodalan, pendidikan dan kesehatan, teknologi dan informasi, serta kesempatan kerja tergolong rendah (skor rata-rata 3,46) dengan laju pertumbuhan 4% per tahun. Secara detail dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Akses masyarakat terhadap sumber daya di wilayah pesisir Rata-rata Tingkat Aksesibilitas Responden (orang) Tahun 2003 Tahun 2002 Laju (%) Sedang (5,2) Sedang (5,1) 1,96 Lahan dan perairan Rendah (3,4) Rendah (3,0) 16,67 Sumber permodalan Rendah (2,7) Sangat rendah (2,6) 3,85 Pendidikan dan kesehatan Sangat rendah (2,0) Sangat rendah (2,0) 0,00 Teknologi dan informasi Rendah (4,0) Rendah (4,0) 0,00 Kesempatan kerja 3,46 3,34 Rata-rata 4,00 Sumber daya

• Tingkat pendidikan Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah memberikan hasil yang cukup signifikan untuk peningkatan partisipasi murid mengikuti pendidikan, khususnya tingkat sekolah dasar. Faktor utama rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan selama ini adalah biaya dan ketersediaan sarana pendidikan. Hal ini terbukti dengan adanya dana bantuan operasional sekolah, angka partisipasi murid untuk SD mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun dasar, rata-rata lama sekolah penduduk wilayah pesisir adalah 5,23 tahun. Angka

90 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI ini mengalami peningkatan 0,06% dari tahun sebelumnya. Persentase penduduk kecamatan pesisir menurut pendidikan pada tahun dasar dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 22. Tabel 22 Persentase penduduk menurut pendidikan yang ditamatkan Kecamatan Pamanukan Pusakanagara Legonkulon Blanakan Rata-rata Kab. Subang

Pendidikan yang Ditamatkan (%) Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA 14,0 55,3 17,9 12,4 34,4 47,8 11,0 4,7 43,6 43,5 6,6 6,2 38,0 47,0 10,8 3,9 32,5 48,4 11,6 6,8 39,3 39,3 13,0 5,9

PT 0,4 2,1 0,1 0,3 0,7 1,9

Skenario status quo merupakan basis data yang digunakan dalam perhitungan 11 skenario yang telah disepakati. Fokus pengembangan, kegiatan yang dilakukan dan dampaknya terhadap wilayah pesisir, serta asumsi yang digunakan untuk masing-masing skenario dijelaskan sebagai berikut.

Skenario B (Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan) Skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada pengembangan perikanan tangkap dengan memerhatikan aspek konservasi sumber daya alam, yakni menjaga kualitas perairan laut, ekosistem pesisir, pengembangan alat tangkap ramah lingkungan, dan aplikasi kapal motor berkapasitas besar.

Skenario C (Optimalisasi perikanan tangkap dan budi daya perikanan) Skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada optimalisasi perikanan tangkap dan budi daya perikanan melalui kegiatan pengembangan teknologi penangkapan yang efisien, perluasan wilayah penangkapan melalui pengoperasian kapal motor berkapasitas besar, pengembangan sistem budi daya perikanan (intensifikasi), ekstensifikasi lahan budi daya, serta peningkatan kapasitas sumber daya nelayan dan petani tambak.

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 91

Skenario D (Pengembangan perikanan tangkap dan budi daya perikanan secara berkelanjutan) Pada skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada pengembangan perikanan tangkap dan budi daya perikanan secara berkelanjutan melalui kegiatan pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan, perluasan wilayah penangkapan melalui perbaikan kualitas lingkungan, pengembangan sistem budi daya perikanan berkelanjutan melalui teknik sylvofishery, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan, penguatan sistem agribisnis, serta peningkatan kualitas nelayan dan petani tambak.

Skenario E (Optimalisasi budi daya perikanan) Pada skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada optimalisasi budi daya perikanan melalui kegiatan intensifikasi tambak milik masyarakat, peningkatan kapasitas petani tambak melalui pelatihan, dan penyediaan bibit unggul secara kontinu melalui pembangunan hatchery.

Skenario F (Pengembangan budi daya perikanan berkelanjutan) Pada skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada pengembangan budi daya perikanan melalui peningkatan teknik budi daya yang efisien dengan memerhatikan aspek konservasi sumber daya lahan yakni menjaga kualitas perairan laut dan ekosistem pesisir. Peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk pengembangan sistem budi daya di lahan mangrove secara berkelanjutan dan pembangunan prasarana pendukung, seperti pusat kegiatan budi daya perikanan ramah lingkungan.

Skenario G (Optimalisasi budi daya perikanan yang didukung wisata bahari) Pada skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada optimalisasi budi daya perikanan tangkap dan pengembangan wisata bahari. Prioritas kegiatan pada skenario G adalah budi daya perikanan sehingga kegiatan wisata merupakan supporting factor kegiatan budi daya perikanan. Pembangunan prasarana dan sarana budi daya perikanan dimanfaatkan sebagai fasilitas wisata selama tidak mengganggu aktivitas budi daya perikanan.

92 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Skenario H (Pengembangan budi daya perikanan dan wisata bahari secara berkelanjutan) Pada skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada pengembangan budi daya perikanan dan wisata bahari dengan tetap memerhatikan aspek koservasi sumber daya alam, yakni menjaga kualitas perairan, ekosistem pesisir, pengembangan budi daya ramah lingkungan, dan aplikasi teknologi. Kegiatan yang dilakukan dalam skenario H selain untuk pengembangan budi daya dan wisata, juga melakukan kegiatan yang dapat mensinergikan kedua kegiatan tersebut. Kegiatan budi daya perikanan dikembangkan sehingga dapat dijadikan sebagai objek wisata. Fasilitas budi daya perikanan diarahkan untuk mendukung wisata bahari.

Skenario I (Pengembangan wisata bahari berkelanjutan) Skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada pengembangan pariwisata bahari dengan memerhatikan kelestarian fungsi ekologis, keberlanjutan usaha, dan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat pesisir, pengembangan industri pendukung wisata seperti seni kerajinan, dan penataan ruang kawasan wisata secara terpadu. Kegiatan ekowisata didorong dengan melibatkan masyarakat. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan sumber-sumber ekonomi.

Skenario J (Optimalisasi wisata bahari yang didukung budi daya perikanan dan perikanan tangkap) Skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada optimalisasi wisata bahari yang didukung oleh kegiatan budi daya perikanan dan perikanan tangkap. Kegiatan pembangunan pada skenario J adalah pembangunan prasarana dan sarana wisata di wilayah pesisir, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dapat menunjang kegiatan wisata, pengembangan kegiatan perikanan tangkap serta budi daya perikanan yang dapat dijadikan objek wisata seperti pembuatan model perahu yang unik, penangkapan ikan di sekitar pantai, dan pengembagan wisata pemancingan. Aktivitas pembangunan perikanan dan kelautan diarahkan pada aspek keindahan sebagai daya tarik wisata.

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 93

Skenario K (Pengembangan perikanan tangkap, budi daya perikanan, wisata bahari secara simultan dan berkelanjutan) Skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada pengembangan perikanan tangkap, budi daya perikanan, dan wisata bahari secara simultan dengan memerhatikan aspek konservasi sumber daya alam. Keberlanjutan usaha, pelibatan masyarakat, dan kelestarian ekosistem merupakan inti dari skenario K.

Skenario L (Optimalisasi konservasi kawasan) Pada skenario ini diasumsikan bahwa pembangunan wilayah pesisir difokuskan pada aspek konservasi sumber daya alam yakni menjaga kualitas perairan laut, perairan tawar (sungai), ekosistem pesisir, pelibatan masyarakat, peningkatan sumber daya manusia, dan pengembangan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Konservasi lahan mangrove diupayakan mencapai tingkat yang dapat berfungsi secara optimal. Pengelolaan kualitas air melalui pengurangan laju sedimentasi, khususnya di daerah yang potensial. Pelibatan masyarakat secara substansial mulai dari proses perencanaan hingga pengawasan untuk mendukung keberlanjutan pembangunan wilayah. Dukungan pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat secara bertahap. Dampak dari setiap skenario tersebut pada dasarnya saling terkait. Peningkatan atau penurunan satu parameter akan berdampak terhadap beberapa paramater lainnya dan selanjutnya akan berdampak terhadap kondisi wilayah pesisir secara umum. Keterkaitan antar komponen ini merupakan dinamika wilayah pesisir yang kompleks. Perkiraan dampak dari setiap skenario diasumsikan linear karena keterbatasan data dan informasi yang dimiliki. Matriks dampak skenario terhadap kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial disajikan pada Tabel 23.

-2,00 26,80 0,50 21,50 -4,80 5,80 5,80 5,80 16,30 0,50 11,00 32,00

Dampak terhadap kriteria pada tahun ke-10 (%) Ekonomi Sosial budaya TSS PendaSektor PDRB Tenaga Akses Pendipatan Informal Kerja dikan -0,90 1,05 9,10 5,00 3,62 1,76 4,00 0,06 4,25 -4,94 8,75 3,80 1,88 0,75 1,50 1,80 0,50 0,38 14,00 9,00 4,38 1,00 2,30 2,70 3,50 -3,88 8,75 3,75 1,88 1,13 2,30 2,70 -0,25 1,44 15,00 10,0 5,00 1,13 2,30 3,00 1,25 -0,69 8,75 3,75 1,88 2,25 4,50 5,40 1,25 -0,69 11,25 6,25 3,13 1,50 3,00 3,60 1,25 -0,69 10,00 5,00 2,00 1,88 3,80 4,50 2,75 -2,81 6,25 1,25 0,63 2,25 4,50 5,40 0,50 0,38 11,25 6,25 3,13 1,88 3,80 4,50 2,00 -1,75 10,00 5,00 2,50 1,50 3,00 3,60 5,00 -6,0 6,25 1,25 0,63 1,13 2,30 2,70

Ekologi Mangrove DO

Selanjutnya, dilakukan perhitungan nilai masing-masing alternatif kebijakan pada setiap kriteria hingga tahun ke-10 berdasarkan kondisi sekarang dan dampak dengan skor dan bobot untuk masing-masing skenario. Asumsi yang digunakan adalah pertumbuhan linear per tahun. Hasil perhitungan diperlihatkan pada Tabel 24 dan Tabel 25.

A B C D E F G H I J K L

Skenario

Tabel 23 Dampak skenario terhadap kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial 94 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

0,09

19,38

2. Perkembangan sektor informal (%)

3. Sumbangan terhadap PDRB (%)

55,65

3,46

5,23

1. Partisipasi angkatan kerja (%)

2. Akses masyarakat (skor)

3. Pendidikan (tahun)

Sosial Budaya

9.530,3

1. Pendapatan masyarakat (Rp000/thn)

Ekonomi

5,93

53,63

2. Kualitas air (mg DO/l)

1.309,9

Kondisi 2003

3. Substrat perairan (mg TSS/l)

1. Luas kawasan mangrove (ha)

Ekologi

Kriteria

27,13

8,45

4.813,8

B

55,66

6,23

1.375,4

C

32,82

8,01

4.126,2

D

5,78 61,35

49,92

6,67

2.063,1

F

5,26

4,84

65,44

26,40

0,14

6,17

3,98

59,82

23,02

0,12

6,64

4,24

61,94

27,87

0,17

6,64

4,24

61,94

23,02

0,12

6,64

4,24

61,94

29,07

0,18

8,05

5,02

68,17

23,02

0,12

49,92

6,67

2.063,1

H

7,11

4,50

64,00

25,45

0,15

7,58

4,76

66,11

23,26

0,14

20.251,3 19.060,1

49,92

6,67

2.063,1

G

Skenario (kondisi tahun ke-10)

687,7

E

18.211,8 17.868,8 22.633,8 17.868,8 23.825,1 17.868,8

59,26

5,40

1.047,9

A

55,66

6,23

1.375,4

J

44,24

7,12

2.750,8

K

21,45

8,90

5.501,6

L

8,05

5,02

68,17

20,60

0,19

7,58

4,76

66,11

25,45

0,15

7,11

4,50

64,00

24,23

0,14

6,64

4,24

61,94

20,60

0,10

15.486,3 20.251,3 19.060,1 15.486,3

38,56

7,56

3.438,5

I

Tabel 24 Matriks dampak dari masing-masing skenario pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang

| 95

Ekologi 1. Luas kawasan mangrove 2. Kualitas air 3. Substrat perairan Skor rata-rata ekologi Ekonomi 1. Pendapatan masyarakat 2. Pertumbuhan sektor informal 3. Sumbangan terhadap PDRB Skor rata-rata ekonomi Sosial-budaya 1. Partisipasi angkatan kerja 2. Akses masyarakat 3. Pendidikan Skor rata-rata sosial budaya Skor rata-rata keseluruhan

Kriteria

86 87 86 86 29 29 29 29 0 15 33 16 44

33 43 68 48 67 86 0 51 34

B

7 0 5 4

A

25 36 49 37 47

86 86 86 86

14 24 14 17

C

25 36 49 37 46

29 29 29 29

71 75 72 73

D

25 36 49 37 47

100 100 100 100

0 11 0 4

100 100 100 100 53

29 29 29 29

29 36 29 31

50 57 66 58 49

57 57 57 57

29 36 29 31

75 79 83 79 50

43 43 31 39

29 36 29 31

Skenario (kondisi tahun ke-10) E F G H

Tabel 25 Matriks dampak dengan skor dan bobot untuk masing-masing skenario

100 100 100 100 53

0 0 0 0

57 62 57 59

I

75 79 83 79 51

57 57 57 57

14 24 14 17

J

50 57 66 58 49

43 43 43 43

43 49 43 45

K

25 36 49 37 46

0 0 0 0

100 100 100 100

L

96 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 97

Hasil perhitungan tersebut menujukkan bahwa skenario F dan I merupakan skenario yang memiliki skor tertinggi. Apabila bobot ketiga kriteria sama, kebijakan yang harus dikedepankan dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang adalah budi daya perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari berkelanjutan. Kebijakan ini sesuai dengan kondisi wilayah pesisir Kabupaten Subang yang memiliki potensi pengembangan yang paling potensial adalah budi daya perikanan dan pariwisata bahari. Pengembangan perikanan tangkap sudah mendekati tingkat MSY sehingga sulit untuk dikembangkan secara intensif. Diharapkan peningkatan kualitas alat tangkap dan kapal motor, namun hal ini membutuhkan investasi yang relatif besar dan dukungan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Dampak terhadap aspek ekologi, ekonomi, dan sosial dari pelaksanaan kebijakan ini pada tahun ke-10 dapat dilihat pada Tabel 24. Skenario kebijakan F (pengembangan budi daya perikanan berkelanjutan) memperlihatkan kondisi wilayah pesisir yang lebih tinggi pada aspek ekonomi, sedangkan kebijakan I (pengembangan pariwisata bahari berkelanjutan) lebih menekankan pada kondisi ekologi pesisir yang lebih baik. Kedua kebijakan tersebut memberikan dampak sosial-budaya yang sama. Penentuan prioritas kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder. Pelibatan stakeholder dilakukan dengan memberikan kesempatan memilih kriteria yang digunakan dalam pembangunan dan menentukan bobot masing-masing kiteria yang telah disepakati. Analisis yang digunakan untuk penentuan bobot kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya adalah metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Banyaknya stakeholder yang memberikan judgement adalah 14 orang. Judgement dari semua stakeholder dikalkulasi dan dikombinasi dengan menggunakan software expert choice 2000. Bobot ketiga kriteria berdasarkan hasil analisis, yaitu ekonomi (0,361), ekologi (0,327), dan sosial (0,312) dengan nilai indeks konsistensi 0,00. Hasil analisis secara detail disajikan pada Tabel 26. Hasil perhitungan ini disampaikan kepada stakeholder pada saat pelaksanaan FGD.

98 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 26 Hasil analisis pembobotan kriteria pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang Stakeholder Pemerintah Bapeda Kabupaten Subang Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Subang

Dinas Pariwisata Kabupaten subang BPLHD Kabupaten Subang Perum Perhutani Pengusaha Pengusaha perikanan Pengusaha wisata Industri kecil Koperasi Mina Bahari Masyarakat DPRD Kabupaten Subang Kepala Desa LSM Lokal Kelompok tani Peneliti Bobot rata-rata

Ekologi 0,387 0,297 0,528 0,163 0,625 0,540 0,291 0,594 0,333 0,260 0,140 0,200 0,088 0,157 0,594 0,196 0,260 0,327

Bobot Kriteria Ekonomi Sosial 0,310 0,204 0,540 0,163 0,140 0,333 0,540 0,297 0,238 0,136 0,297 0,163 0,388 0,234 0,249 0,157 0,528 0,140 0,327 0,413 0,528 0,333 0,262 0,418 0,243 0,669 0,249 0,594 0,157 0,248 0,493 0,311 0,327 0,413 0,361 0,312

Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian dinyatakan diterima dan sesuai dengan kenyataan bahwa kriteria ekonomi merupakan prioritas utama dalam penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan adalah pendapatan masyarakat, pertumbuhan sektor informal, serta sumbangan sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB. Hasil ini sejalan dengan kondisi wilayah pesisir Kabupaten Subang yang tergolong miskin dengan tingkat pendapatan rumah tangga ratarata Rp953.003,00 per tahun. Angka ini lebih rendah dari pengeluaran per kapita Kabupaten Subang sebesar Rp165.900,00 per bulan dengan garis kemiskinan Rp113.611,00/kapita per bulan (NHDR 2004). Persentase penduduk miskin di wilayah pesisir Subang relatif lebih besar dibandingkan dengan penduduk miskin di Kabupaten Subang. Kondisi masyarakat yang pola hidupnya konsumtif ini masih sulit untuk ditingkatkan taraf kesejahteraannya. Pertumbuhan sektor

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 99

informal relatif rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan seperti di Pamanukan dan Kota Subang. Sumbangan sektor perikanan dan kelautan juga relatif rendah (1,18%) serta sektor pariwisata dari wilayah pesisir belum berperan optimal. Dari potensi wilayah yang ada, logis apabila stakeholder menjadikan aspek ekonomi sebagai pertimbangan utama. Prioritas kedua adalah ekologi. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran stakeholder dalam pelestarian sumber daya dan keberlanjutan usaha. Kriteria ini berkaitan dengan konservasi kawasan mangrove, produktivitas perikanan tangkap dan budi daya, pencegahan abrasi dan sedimentasi, serta menjaga kualitas air. Upaya perbaikan kualitas lingkungan dan taraf hidup masyarakat berkaitan erat dengan permasalahan ekonomi. Alasan utama perusakan lingkungan adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin meningkat dan tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan. Aspek sosial menjadi pertimbangan ketiga. Aspek ini berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Apabila diperhatikan berdasarkan kelompok stakeholder, setiap stakeholder memiliki preferensi yang berbeda-beda. Pemerintah memprioritaskan aspek ekologi dan ekonomi, sedangkan pengusaha memprioritaskan aspek ekonomi, masyarakat memprioritaskan aspek sosial, serta peneliti memprioritaskan aspek sosial dan ekonomi. Dari preferensi tersebut terlihat bahwa dalam proses pengambilan kebijakan apabila hanya dilakukan oleh pemerintah maka aspek sosial akan menjadi prioritas terakhir. Demikian pula apabila pemerintah hanya melibatkan pengusaha, aspek sosial juga kurang mendapat perhatian. Kondisi ini akan berdampak terhadap kesenjangan sosial yang dapat mengancam konflik antar masyarakat. Namun, dari semua stakeholder, hanya pemerintah yang memprioritaskan aspek ekologi sehingga peran otoritas pemerintah diperlukan untuk menjamin kelestarian lingkungan. Dengan demikian, pengusaha, masyarakat, dan peneliti harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga aspek ekonomi, ekologi, dan sosial dapat dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan pembangunan. Hasil analisis tersebut digunakan dalam penentuan alternatif kebijakan yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Perhitungan skor jumlah setiap skenario adalah: Π = (0,361 x Ekonomi) + (0,327 x Ekologi) + (0,312 x Sosial). Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 27.

100 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 27 Hasil perhitungan menggunakan bobot hasil judgement stakeholder Skor ratarata Ekologi

Ekonomi Sosial Jumlah (Π)

A 4 48 51 35

B 86 29 16 43

C 17 86 37 48

Skenario (kondisi tahun ke-10) D E F G H I 73 4 31 31 31 59 29 100 29 57 39 0 37 37 100 58 79 100 46 49 52 49 49 50

J 17 57 79 51

L 100 0 37 44

K 45 43 58 48

Hasil simulasi skenario dengan bobot tersebut memberikan hasil bahwa skenario F (pengembangan budi daya perikanan berkelanjutan) merupakan alternatif pertama. Sementara itu, alternatif kedua adalah skenario J (optimalisasi wisata bahari dan budi daya perikanan) dan alternatif ketiga adalah skenario I (pengembangan pariwisata bahari berkelanjutan). Dampak skenario terpilih terhadap kondisi masa depan wilayah pesisir Kabupaten Subang dapat dilihat pada aspek-aspek ekologi, ekonomi, dan sosial seperti pada Tabel 28 berikut. Tabel 28 Kondisi masa depan wilayah pesisir hasil skenario terpilih Kriteria Ekologi 1. Luas kawasan mangrove (ha) 2. Kualitas air (mg DO/l) 3. Substrat perairan (mg TSS/l) Ekonomi 1. Pendapatan masyarakat (Rp000/thn) 2. Perkembangan sektor informal (%) 3. Sumbangan terhadap PDRB (%) Sosial-Budaya 1. Partisipasi angkatan kerja (%) 2. Akses masyarakat (skor) 3. Pendidikan (tahun)

Kondisi Kondisi Tahun ke-10 Saat ini Status quo F I

J

1.309,9

1.047,9

2.063,1

3.438,5

1.375,4

5,93 53.63

5,40 59,26

6,67 49,92

7,56 38,56

6,23 55,66

9.530,3

18.211,8

0,09

0,14

0,12

0,19

0,15

19,38

26,40

23,02

20,60

25,45

55,65

65,44

68,17

68,17

66,11

3,46 5,23

4,84 5,26

5,02 8,05

5,02 8,05

4,76 7,58

17.868,8 15.486,3 20.251,3

BAGIAN ENAM: PEMETAAN STAKEHOLDER DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH

| 101

Hasil tersebut menggambarkan kondisi wilayah pesisir pada tahun 2013. Kondisi ekologi yang paling ideal diperoleh dengan skenario I (pengembangan wisata berkelanjutan) dengan luas kawasan mangrove dan kualitas air yang paling baik. Namun, dari aspek ekonomi kurang memberikan peningkatan yang signifikan, bahkan lebih rendah dibanding kondisi dengan skenario status quo. Skenario J (optimalisasi wisata bahari dan budi daya perikanan) memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang relatif tinggi, tetapi dari aspek ekologi kurang mendukung kelestarian ekosistem. Luas kawasan mangrove yang hanya 1.375 ha belum memenuhi persyaratan ideal untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, skenario ini pada dasarnya memenuhi syarat kualitas air untuk kegiatan budi daya perikanan, perikanan tangkap, dan wisata bahari. Skenario F (pengembangan budi daya perikanan berkelanjutan) memberikan kondisi ekologi dan sosial yang relatif tinggi dengan tetap berkontribusi terhadap kondisi ekonomi. Skenario ini memberikan dampak sosial yang tinggi. Keberlanjutan skenario ini dapat dilihat pada indikator-indikator: lama rata-rata sekolah 8 tahun (SLTP), pendapatan masyarakat (Rp17,8 juta), dan luas mangrove (2.063 ha). Selain itu, dalam jangka waktu 10 tahun terjadi peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya dari rendah menjadi sedang (skor 5,02) dan sumbangan terhadap PDRB dari 19,38% menjadi 23,02%. Berdasarkan kondisi masa depan tersebut, pada FGD disepakati untuk mengelaborasi skenario yakni pengembangan budi daya berkelanjutan dan pariwisata bahari berkelanjutan secara simultan. Hasil ini disepakati oleh semua stakeholder dan menyatakan dukungan untuk pelaksanaannya. Selanjutnya, dilakukan diskusi terfokus mengenai strategi implementasi kebijakan yang memiliki prioritas tertinggi. Sistem pengambilan kebijakan yang dilakukan pada penelitian ini merupakan hal yang baru bagi stakeholder di Kabupaten Subang. Secara umum disepakati bahwa sistem ini lebih memberikan jaminan keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan dibandingkan dengan sistem konvensional. Pelibatan masyarakat selama ini hanya dilakukan secara prosedural dan kurang aspiratif sehingga menimbulkan banyak tantangan pada saat implementasi kegiatan. Di antara tantangan tersebut adalah kurang siapnya sumber daya manusia (masyarakat) untuk melakukan kegiatan yang direncanakan sehingga pada umumnya kurang berhasil dan sifatnya jangka pendek. Biaya untuk mobilisasi masyarakat dan

102 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI sosialisasi kegiatan menjadi lebih besar karena memerlukan mekanisme yang kompleks seperti diadakannya kegiatan pendampingan, baik untuk pelaksanaan maupun evaluasi. Dalam kegiatan pengendalian dan evaluasi, sistem pengambilan keputusan yang dilakukan dalam penelitian ini lebih mudah karena indikator keberhasilan serta kemungkinan risiko yang akan terjadi telah dipahami secara detail oleh seluruh stakeholder, termasuk masyarakat sebagai pelaksana. Dengan demikian, dalam proses pelaksanaan akan senantiasa dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan dan menghindari dampak negatif.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

104 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI FGD yang dilaksanakan di Subang membahas mengenai aspirasi dan preferensi semua stakeholder dalam kaitan dengan kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Diskusi difokuskan pada topik mengenai langkah-langkah strategis yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan budi daya perikanan dan pariwisata secara berkelanjutan. Selain itu, pada kuesioner diperoleh masukan mengenai faktor-faktor ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya dalam upaya implementasi kebijakan secara umum. Hasil FGD, wawancara, dan kuesioner dideskripsikan sebagai berikut. Strategi implementasi kebijakan pembangunan wilayah pesisir harus memerhatikan kondisi wilayah pesisir sekarang, baik permasalahan maupun potensinya dan kondisi masa depan yang diinginkan. Secara umum, permasalahan pembangunan wilayah pesisir adalah (1) aspek ekologi, yaitu abrasi dan akresi, sedimentasi, kualitas air, tambak tumpang sari, pendangkalan Sungai, penyakit udang, MSY menurun; (2) aspek ekonomi, yaitu kontribusi sektor perikanan rendah, kesenjangan pendapatan antara nelayan koperasi dan pemilik, pendapatan masyarakat rendah, sektor informal belum berkembang, industri pengolahan masih tradisional, dan sektor pariwisata belum berkembang; serta (3) aspek sosial, yaitu pemberdayaan masyarakat rendah, pola hidup nelayan yang konsumtif, keterampilan hidup dan adopsi teknologi rendah, aksesibilitas masyarakat rendah, konflik pemanfaatan lahan, pendidikan masyarakat rendah, dan konflik antar nelayan. Kegiatan budi daya perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari yang berkelanjutan merupakan prioritas utama dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Hal ini merupakan pilihan stakeholder dari 12 alternatif skenario kebijakan. Strategi implementasi kebijakan ini akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan sumber daya, ketersediaan biaya, dan daya dukung lingkungan.

15. Pengembangan dan Penerapan Sistem Budi Daya Perikanan Berkelanjutan yang Adaptif dan Ekonomis Kegiatan budi daya perikanan yang dapat dikembangkan adalah budi daya perikanan air payau (aquaculture) pada tambak milik masyarakat dengan sistem intensif dan pada lahan milik Perhutani dengan sistem sylvofishery (tumpang sari). Selanjutnya, untuk mendukung keberlanjutan penerapan teknologi ini

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 105

maka perlu pengelolaan kualitas air dan DAS, pengembangan teknologi pasca panen yang aplikatif, serta sistem agribisnis yang menguntungkan. Beberapa kawasan perairan memenuhi syarat untuk kegiatan budi daya laut (mariculture). Namun demikian, kegiatan budi daya laut tidak direkomendasikan untuk dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan dengan pertimbangan teknik budi daya laut membutuhkan keterampilan yang tinggi, sedangkan masyarakat pesisir memiliki keterbatasan dalam adopsi teknologi tinggi. Selain itu, kegiatan budi daya laut lebih peka terhadap perubahan kualitas air dan juga lebih membahayakan kualitas lingkungan. Sistem ini juga dapat mengganggu sistem budi daya sylvofishery yang telah dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Subang.

a. Pengembangan sistem sylvofishery yang berkelanjutan Pengembangan kegiatan budi daya tambak dengan sistem sylvofishery merupakan model pengembangan yang memungkinkan untuk diwujudkannya kegiatan budi daya air payau yang berkelanjutan. Alternatif pola pemanfaatan yang memberikan nilai manfaat terbaik adalah dengan sistem (40%) tambak tumpang sari dan (60%) hutan mangrove (Handayani 2004). Spesies yang dapat dikembangkan antara lain udang, bandeng, nila gift, dan mujair. Pengembangan spesies lain dapat dilakukan dengan memerhatikan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan, keterampilan masyarakat dalam teknik budi daya, dan ketersediaan pasar untuk jenis tersebut. Kawasan pengembangan sistem sylvofishery sebaiknya diatur secara ketat dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan guna keberlanjutan usaha budi daya. Zonasi kawasan mangrove yang dapat dijadikan tambak perlu segera dibuat. Koordinasi antara Perhutani dan Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas Perkebunan dan Kehutanan perlu segera dilakukan dalam kaitan dengan pengelolaan kawasan. Masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan budi daya ini perlu memahami aspek teknis budi daya agar kualitas produk dan kondisi lahan tetap terjaga. Selain itu, pemahaman mengenai hak dan kewajiban dalam pemanfaatan kawasan perlu diperjelas sehingga tidak menimbulkan konflik antar masyarakat dan instansi terkait.

106 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

b. Pengembangan budi daya tambak milik masyarakat Berdasarkan data dan rencana tata ruang Kabupaten Subang bahwa di beberapa lokasi memungkinkan untuk dikembangkan sebagai areal pertambakan intensif (DPK Subang 2002). Komoditas yang dapat dikembangkan pada areal tersebut adalah udang windu, bandeng, dan nila. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendukung pengembangan tambak intensif adalah kajian kelayakan tambak intensif di lokasi Legonkulon dan Pusakanagara, pengembangan saluran irigasi tambak, penggunaan pakan yang tidak merusak ekosistem (misalnya pakan organik), serta peningkatan kualitas petani tambak melalui pelatihan dan magang. Intensifikasi usaha budi daya pada tambak milik masyarakat dilakukan dengan pemberian pakan yang sesuai disertai dengan pengelolaan kualitas air dan pencegahan terhadap hama penyakit. Peningkatan kualitas petani tambak dalam teknik budi daya perlu dilakukan, terutama dalam kaitan dengan upaya pencegahan dampak negatif sistem intensif dan keberlanjutan usaha budi daya. Pengembangan usaha yang dilakukan harus memerhatikan ketersediaan benih, nilai jual, pasar, dan teknologi yang adaptif. Kegiatan ini harus dilakukan secara selektif oleh petani tambak yang telah profesional dan berpengalaman. Kegiatan ekstensifikasi sebaiknya dihindari karena penggunaan lahan mangrove untuk budi daya dapat merusak fungsi mangrove yang kemudian menurunkan produktivitas perairan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fachruddin (1996) di lahan pesisir Kabupaten Subang yang menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan nilai ekonomi total lahan pesisir Kabupaten Subang lebih baik dengan cara meningkatkan produktivitas 3.420 ha tambak dari 8.354 ha yang sudah ada, bukan memperluas areal pertambakan.

c. Pembangunan prasarana dan sarana penunjang budi daya perikanan Salah satu permasalahan yang dihadapi petani dalam kegiatan budi daya adalah ketersediaan benih atau bibit secara kontinu. Adanya kesulitan memperoleh benih yang berkualitas dirasakan oleh petani masih sulit dan umumnya diperoleh dari wilayah lain. Benih atau bibit yang diproduksi oleh instansi perikanan masih belum dapat memenuhi kebutuhan petani di Kabupaten Subang. Selain itu, terbatasnya prasarana dan sarana pendukung sistem budi daya.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 107

Pembangunan prasarana penunjang kegiatan perikanan budi daya di wilayah sentra produksi perikanan perlu segera direalisasikan. Prasarana tersebut antara lain pusat informasi perikanan yang dapat diakses oleh masyarakat, pabrik pengolahan produk perikanan, lembaga keuangan mikro, pusat pelatihan tenaga kerja, jaringan transportasi yang memadai, dan jaringan telekomunikasi. Pengembangan pusat usaha budi daya perikanan dapat dikembangkan di Legonkulon dan Blanakan. Kedua kecamatan ini mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif dalam sektor perikanan budi daya (Saridewi 2000). Pembangunan hatchery sedini mungkin guna menopang ketersediaan benih. Hatchery ini dapat dibangun oleh pemerintah dan dapat pula oleh pengusaha. Lokasi yang sesuai untuk pembangunan hatchery yaitu di wilayah Legonkulon dan Pusakanagara.

d. Pengelolaan sistem drainase dan penanggulangan pencemaran Sungai Penanganan irigasi tambak belum dilakukan secara terpadu guna mencegah kerusakan lingkungan perairan akibat penggunaan bahan kimia serta pemberian pakan buatan terus-menerus yang berpotensi mencemari perairan. Sistem inlet dan outlet belum dibedakan sehingga menurunkan produktivitas usaha perikanan. Untuk menanggulangi pencemaran dari kegiatan pertanian di wilayah hulu, perlu dilakukan pembangunan irigasi yang sistem pembuangannya diarahkan langsung ke Sungai sehingga tidak mencemari perairan tambak. Selain itu, perlu dilakukan desain konstruksi tambak dengan sistem inlet dan outlet yang memerhatikan dinamika pasang surut dan arus perairan. Agar kegiatan ini terlaksana dengan baik, redesain tambak harus dilakukan dengan memerhatikan kondisi geofisik dan sifat oseanografi perairan di sekitarnya melalui bantuan tenaga ahli. Kegiatan ini dilakukan secara terpadu dengan melibatkan pemilik lahan dan instansi teknis terkait, yakni Dinas Penataan Ruang, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan dan kelautan, dan Dinas Pekerjaan Umum yang dikoordinasikan oleh Bapeda Kabupaten Subang. Redesain konstruksi tambak ini dilakukan di wilayah Legonkulon dan Blanakan yang menjadi daerah pengaliran Sungai. Penanggulangan pencemaran Sungai akibat limbah industri dilakukan melalui mekanisme punishment and reward yang ditetapkan secara musyarawah

108 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI berdasarkan aturan baku mutu lingkungan. Kegiatan ini dilakukan oleh BPLHD Subang secara partisipatif melibatkan industri dan masyarakat. Pencemaran dari limbah rumah tangga ditanggulangi dengan melakukan kegiatan rekayasa sosial secara bertahap sesuai dengan tingkat daya serap penduduk terhadap informasi dan perubahan. Kegiatan ini di mulai dengan penyuluhan dampak pencemaran Sungai dan manfaat kebersihan Sungai pada tingkat desa, membangun rumah contoh yang menjadikan Sungai sebagai beranda, dan memfasilitasi masyarakat untuk melakukan kegiatan pembersihan Sungai. Lokasi kegiatan ini dilakukan pada semua wilayah yang memiliki daerah pengaliran Sungai secara bertahap.

e. Pengembangan teknologi pasca panen yang ekonomis dan adaptif Kegiatan budi daya perikanan perlu didukung dengan teknologi pascapanen yang lebih baik dan teknik pemasaran yang profesional. Kegiatan pengolahan pascapanen merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dapat dijadikan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup dan kehidupan keluarga nelayan. Kegiatan ini perlu dilakukan dengan perencanaan yang tepat agar dapat memberikan peningkatan nilai tambah atau mutu serta dapat memanfaatkan komoditas perikanan yang tidak terserap pasar. Kegiatan pengolahan ikan telah dilakukan oleh masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Subang, meliputi pembuatan bandeng presto, penggaraman, pemindangan, dan pembuatan terasi ataupun penjualan ikan dalam bentuk fillet ikan, namun masih bersifat tradisonal. Pengembangan dan adopsi teknologi pengolahan hasil perikanan. Upaya ini dimulai dengan penyediaan coldstorage dengan kapasitas yang memadai di sentra penghasil perikanan (Blanakan dan Legonkulon) guna menjamin ketersediaan bahan baku dan kepastian harga, menyediakan pabrik-pabrik es di fishing base, meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pelabuhan perikanan, serta pendaratan ikan di 4 kecamatan pesisir. Selanjutnya, perlu dikembangkan teknologi pengolahan hasil perikanan yang ekonomis dan berdasarkan permintaan pasar (demand driven).

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 109

f. Pengembangan dan penerapan sistem agribisnis perikanan Pengembangan sistem budi daya dan pengolahan hasil ditujukan untuk menumbuhkan bisnis yang dapat menggerakan perekonomian lokal. Oleh karena itu, diharapkan terjadi proses jual beli antar sistem dan di dalam sistem dengan intensitas yang lebih tinggi serta saling mendukung. Melalui strategi tersebut diharapkan tumbuh pelaku-pelaku bisnis budi daya. Banyaknya pelaku bisnis budi daya yang saling mendukung diharapkan dapat mendorong agribisnis budi daya menjadi kuat dan lestari. Kondisi ini dapat dicapai melalui beberapa upaya, yaitu menyiapkan pasca panen yang mendukung sesuai dengan kualifikasi produk yang diinginkan konsumen (pasar), identifikasi kualifikasi produk yang diinginkan oleh konsumen, adanya dukungan pendidikan/ pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia, dan pembuatan profil hasil industri pengolahan hasil perikanan.

16. Pengembangan Kawasan Wisata secara Terpadu dan Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan pariwisata bahari yang berbasis masyarakat diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan upaya yang tepat sehingga pengelolaan kawasan wisata bahari dapat dilakukan secara serasi dan seimbang. Upaya yang dapat dilakukan antara lain penataan ruang untuk kawasan pariwisata terpadu, pengembangan objek wisata dan atraksi wisata, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pariwisata, serta pengembangan prasarana dan sarana penunjang. Dalam kaitan dengan pengembangan budi daya perikanan yang berada dalam kawasan pariwisata maka dalam pengembangannya disesuaikan dengan peruntukan kawasan tersebut sebagai zona pemanfaatan pariwisata, seperti tidak mengganggu alur pelayaran wisata, memerhatikan aspek estetika lingkungan, sistem budi daya yang diterapkan adalah yang ramah lingkungan, dan mendukung pengembangan pariwisata di sekitarnya antara lain menyuplai kebutuhan ikan laut bagi restoran. Selain itu, dalam penentuan zona wisata dan zona perikanan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Pihak pengelola wisata dapat juga memberikan insentif kepada nelayan untuk mencegah timbulnya konflik pemanfaatan. Insentif tersebut dapat juga digunakan untuk modal, pembinaan kelompok, dan pengembangan sistem budi daya.

110 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

a. Pengembangan objek wisata berbasis sumber daya lokal Kawasan wisata di pesisir telah diupayakan pengembangannya, baik oleh pemerintah maupun pengusaha, namun belum berkembang secara optimal. Pengembangan objek wisata bahari perlu dilakukan dengan memerhatikan sumber daya lokal. Hal ini akan menjamin keberlanjutan aktivitas wisata. Salah satu atraksi wisata yang dapat dijadikan sarana promosi wisata adalah pesta laut yang dilakukan sekali setahun. Acara ini perlu dikembangkan dan dipadukan dengan berbagai kegiatan lainnya seperti lomba perahu unik, wisata pemancingan di laut, dan atraksi seni budaya tradisional sehingga menarik wisatawan untuk menyaksikannya. Pelaksanaanya secara periodik (musiman atau tahunan) sehingga akan menjadi atraksi wisata yang dikenal secara luas. Kegiatan ini dilakukan oleh lembaga seni dan budaya yang ada di wilayah pesisir melalui koordinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang. Untuk meningkatkan kunjungan maka keterpaduan kawasan wisata di pesisir perlu dilakukan dengan membangun sistem transportasi mulai dari Pamanukan menuju pantai Patimban, menyusuri pantai Kelapa, objek wisata pantai Pondok Bali, hingga objek wisata penangkaran buaya di Blanakan. Demikian pula dengan sarana penginapan dengan sistem home stay di rumah penduduk yang layak. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memfasilitasi melalui pembangunan rumah contoh di lingkungan yang sesuai.

b. Pengembangan kawasan wisata pendidikan melalui konservasi mangrove Rencana pengembangan wisata khusus yaitu pengembangan kawasan hutan mangrove dengan menanam berbagai jenis mangrove yang ada sehingga dapat bermanfaat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan perlu segera direalisasikan. Kegiatan ini akan dilaksanakan di wilayah Legonkulon dan Blanakan seluas 100 ha. Kawasan ini nantinya akan mempunyai nilai ekosistem tinggi dan nilai ekonomi dan sosial yang tinggi pula. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada awal tahun 2008 yang dikerjakan atas kerja sama kelompok tani dan Perhutani. Kegiatan ini merupakan salah satu pengembangan dari pemanfaatan lahan untuk kegiatan penangkaran buaya di Blanakan.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 111

Kebijakan perluasan kawasan wisata pada lokasi yang sesuai juga untuk menghindari terjadinya abrasi akibat hilangnya hutan bakau. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak abrasi, di antaranya (1) menghindari pembangunan fisik di wilayah yang rawan terhadap abrasi dan akresi; (2) mengkaji sistem bersaing bangunan yang saat ini sudah terlanjur berada di sisi pantai; dan (3) rehabilitasi dan reboisasi hutan mangrove di sepanjang pantai yang berfungsi untuk mencegah abrasi dan akresi serta mempertahankan nilai estetika pantai sebagai coastal city.

c. Mendorong perkembangan sektor informal yang mendukung pariwisata Sektor informal di wilayah pesisir belum berkembang dengan baik. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memberdayakan masyarakat, namun hasilnya belum optimal. Pembinaan terhadap kelompok tani nelayan telah dilakukan, namun kontribusi terhadap perekonomian dari kelompok ini belum signifikan. Sektor informal yang belum berkembang antara lain jasa pendukung industri pariwisata, seperti transportasi, souvenir, rumah makan, dan pelayanan lainnya. Fasilitas wisata dan gangguan terhadap objek wisata dapat dihindari melalui pelibatan masyarakat lokal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia lokal, baik melalui program pelatihan maupun praktik lapang (magang) bermitra dengan pengelola wisata untuk umum. Selain itu, dilakukan pula peningkatan peran serta masyarakat lokal sehingga terlibat dalam kegiatan pariwisata. Salah satu bentuknya adalah pemberian akses informasi wisata yang mudah dipahami, mudah didapat, dan mudah dilakukan sehingga informasi menjadi efektif dan efisien.

d. Pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata Optimalisasi fasilitas yang telah tersedia dan pengelolaan lingkungan seperti pengolahan limbah, air bersih, pemeliharaan sarana jalan dan telekomunikasi serta pemeliharaan pantai agar tidak terjadi abrasi dan sedimentasi. Khusus sarana transportasi, perlu dilakukan peningkatan keterpaduan sistem transportasi yang ada. Di samping itu, juga dilakukan penataan dan perawatan lingkungan di sepanjang tepi jalan menuju objek wisata. Pengaturan pembangunan sarana

112 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI pendukung seperti rumah makan, restoran, dan penginapan di kawasan wisata dengan mempertimbangkan daya dukung kawasan untuk kegiatan pariwisata. Sistem informasi pariwisata perlu dibangun sebagai upaya untuk evaluasi dan monitoring kegiatan pariwisata.

17. Pengelolaan Lingkungan Pesisir dengan Melakukan Perbaikan Kualitas Perairan, Pengelolaan DAS, dan Konservasi Kawasan Mangrove Proses pengelolaan lingkungan pesisir memerlukan keterpaduan dari aspek wilayah, sektor, dan stakeholder. Keterpaduan ini memiliki makna bahwa pengelolaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive asessment), merencanakan tujuan dan sasaran, serta merencanakan dan mengelola kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan (Bengen 2004). Perencanaan dilakukan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial serta aspirasi stakeholder untuk menghindari konflik kepentingan dan pemanfaatan.

a. Perbaikan kualitas air dan pengendalian abrasi dan sedimentasi Kualitas perairan yang baik sangat diperlukan dalam pengembangan budi daya perikanan, pariwisata, serta untuk pengelolaan sumber daya perairan. Faktorfaktor yang memengaruhi kualitas air antara lain adalah sifat oseanografi, kondisi geofisik, dan perilaku masyarakat di sekitar perairan. Sedimentasi di sepanjang pantai utara Jawa Barat banyak terjadi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya tanah-tanah timbul, seperti yang terdapat di Kecamatan Blanakan, Legonkulon, dan Pusakanagara. Sedimentasi mengganggu aktivitas perikanan tangkap, salah satunya adalah mengakibatkan adanya pendangkalan di sekitar muara sungai yang dapat menghambat jalur transportasi kapal atau perahu. Di muara Sungai Cipunegara, penggerusan garis pantai ini menyebabkan tersumbatnya mulut sungai sehingga menghambat lalu lintas perahu nelayan ikan. Di alur Sungai Blanakan untuk mengatasi pendangkalan ini dilakukan pengerukan secara rutin.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 113

Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu dibangun breakwaters dan terumbu buatan di wilayah yang mengalami abrasi yaitu Pantai Mayangan (Pondok Bali), Pantai Tanjung Sijan, dan Muara Sungai Cipunegara. Selanjutnya, dilakukan reboisasi mangrove untuk daerah yang masih memungkinkan hutan mangrove, sedangkan daerah yang sudah kritis dilakukan pembangunan jetty. Di pantai Mayangan telah dibangun groyne dengan material batuan yang tegak lurus garis pantai untuk mengatasi abrasi. Beberapa wilayah pantai yang mengalami akresi, seperti Muara Tanjungjaya, Muara Cipunagara, Teluk Sarewang Timur, Pantai Legonwetan, Teluk Ciasem Barat, Teluk Blanakan, dan Pantai Cilamaya Timur. Akresi telah mengakibatkan munculnya tanah timbul yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat (melalui Perhutani) untuk dijadikan lahan budi daya tambak. Pemanfaatan lahan ini perlu dipertimbangkan dengan seksama karena dapat merusak ekosistem pesisir.

b. Pengelolaan daerah aliran Sungai Dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, daerah aliran Sungai mempunyai peran penting yakni selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman (water provision for regional economy), juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Sungai merupakan sarana vital bagi masyarakat karena berfungsi sebagai sarana transportasi, sumber air bagi masyarakat, perikanan darat, pertanian, ekosistem, dan lahan basah. Di wilayah Kabupaten Subang mengalir Sungai-Sungai besar yang membentuk daerah aliran Sungai (DAS). Potensi DAS dan satuan wilayah Sungai (SWS) selengkapnya disajikan pada Tabel 29. Sungai utama yang bermuara ke pantai, antara lain Sungai Cilamaya, Sungai Blanakan, Sungai Ciasem, Sungai Cileuleu, dan Sungai Cipunagara. Umumnya sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai jalur perahu untuk melakukan penangkapan ikan di perairan pantai. Sungai Blanakan merupakan jalur yang paling ramai sebagai tempat keluar/masuk kapal penangkapan ikan dari luar Kabupaten Subang untuk mendaratkan hasil tangkapan di tempat pelelangan ikan (TPI) Blanakan.

114 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Tabel 29 Satuan wilayah Sungai berdasarkan daerah aliran Sungai di wilayah Kabupaten Subang DAS SWS Citarum 1. Sungai Citarum

2. Kali Bekasi SWS Cimanuk 1. Sungai Cimanuk 2. Sungai Cimalaya 3. Sungai Ciasem 4. Sungai Cipunegara 5. Sungai Cilalanang

Luas DAS (Ha)

Potensi air (juta m3/tahun)

658.500 144.200

13.000

316.100 149.200 87.100 149.300 156.800

4.000 1.888 1.102 1.889

2.500

1.984

Sumber: Bapeda Kabupaten Subang (2001)

Kondisi sungai-sungai tersebut pada umumnya mengalami sedimentasi cukup tinggi yang terlihat dari tingkat kekeruhan yang relatif tinggi di sepanjang badan sungai dan muaranya. Beberapa sungai mengalami pendangkalan alami, seperti di Muara Sungai Blanakan sehingga perlu dilakukan pengerukan secara rutin untuk memelihara alur bagi lalu lintas perahu penangkapan ikan. Selain itu, proses angkutan sedimen secara musiman di pantai oleh arus perairan dapat menyumbat alur di mulut sungai seperti di muara Sungai Cipunegara. Pengelolaan daerah aliran Sungai mencakup kawasan hulu, hilir, dan cacthment area. Pengelolaan DAS perlu dilakukan secara terpadu dengan semua stakeholder. Penatagunaan lahan di sekitar DAS perlu dilakukan dengan prinsip-prinsip one river, one plan, dan one management. Peran Bapeda, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Penataan Ruang Kabupaten Subang dibutuhkan untuk arahan dan pengendalian pemanfaatan. Kegiatan pengerukan Sungai di Blanakan perlu didukung oleh pengusaha perikanan dan pariwisata. Aktivitas pembuangan limbah ke Sungai oleh masyarakat harus dicegah melalui program kali bersih. Sistem irigasi pertanian padi sawah perlu ditata ulang agar wilayah pesisir tidak mengalami kebanjiran setiap tahun. Sistem pengendalian banjir yang dilakukan untuk mitigasi bencana banjir di lahan pertanian harus mempertimbangkan lokasi budi daya tambak milik masyarakat sehingga tidak mengalami banjir.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 115

c. Melakukan konservasi dan rehabiltasi kawasan mangrove yang terdegradasi Luas hutan mangrove mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Penurunan luas hutan mangrove disebabkan kegiatan konversi lahan untuk tambak dan lahan pertanian. Data degradasi hutan mangrove belum diketahui secara pasti, namun estimasi degradasi ini relatif besar. Di Kecamatan Legonkulon terjadi kemunduran pantai (retrogation coast) sepanjang 20 km. Di daerah PatimbanEretan terjadi pengurangan pantai hingga 500 m ke arah darat. Konservasi dan rehabilitasi merupakan program yang harus dilaksanakan karena kondisi lingkungan pesisir yang sudah terdegradasi akibat kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Rehabilitasi dilakukan secara bertahap di kawasan mangrove yang mengalami kerusakan yakni di Desa Legonkulon, Mayangan, Legon Wetan, dan Desa Patimban di Pusakanegara. Teknik rehabilitasi dapat dilakukan dengan membangun groyne pada wilayah yang pengaruh gelombangnya sangat tinggi, kemudian melakukan penanaman secara bertahap sedangkan pada wilayah yang pengaruh gelombangnya rendah dapat langsung melakukan penanaman. LSM, BPLHD, Perhutani, dan instansi pusat diharapkan melakukan upaya ini secara terpadu dengan melibatkan masyarakat sekitar. Konservasi kawasan mangrove dilakukan, khususnya di kawasan yang tegakan mangrovenya masih padat. Lokasi ini umumnya merupakan kawasan wisata pantai dan lahan budi daya sylvofishery sehingga kegiatan konservasi dapat dipadukan dengan aktivitas masyarakat, baik untuk ekowisata maupun budi daya. Kegiatan ini harus mendapat pengawasan yang ketat dari Perhutani dan BPLHD karena sebagian masyarakat pesisir masih menggunakan pohon bakau sebagai sebagai kayu bakar atau untuk kepentingan pembangunan rumah.

18. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia secara Berkesinambungan Peningkatan kualitas sumber daya manusia dilakukan dengan program jangka panjang yang diarahkan kepada seluruh masyarakat pesisir yang berusia sekolah dan program jangka menengah yang diarahkan pada pelaku usaha serta subjek pembangunan. Untuk program jangka menengah, sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan kualitasnya adalah petani/nelayan, pengusaha perikanan,

116 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI pengusaha pariwisata, pelaku usaha sektor informal, dan aparatur pemerintah. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari faktor pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Faktor pendidikan mencakup pendidikan formal dan non-formal. Peningkatan angka partisipasi sekolah melalui berbagai program bantuan pemerintah akan mempercepat pencapaian target tersebut. Pelatihan dan pemberdayaan masyarakat akan menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia dari aspek pendidikan. Peningkatan kesehatan mencakup pengetahuan pola hidup sehat, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, dan keluarga berencana. Pencapaian aspek kesehatan ini melalui program pemerintah yang langsung kepada masyarakat, baik yang sifatnya temporal maupun yang permanen. Peningkatan daya beli dapat dicapai melalui peningkatan keterampilan hidup, kemampuan berusaha, dan pola konsumsi yang ideal. Kualitas sumber daya manusia diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Kabupaten Subang tahun 2003 mencapai 67,42. Bila dibandingkan dengan tahun 2002 yaitu sebesar 66,65 maka mengalami peningkatan 2,31 persen. Secara detail dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 30 IPM Kabupaten Subang tahun 2000–2003 Komponen IPM Angka harapan hidup

Angka melek huruf Rata-rata lama sekolah Daya beli IPM

2000 66,20 85,00 5,84 538,75 64,10

2001 66,43 86,80 5,99 545,32 65,64

2002 67,21 87,53 6,14 549,23 66,65

2003 67,40 87,78 6,51 553,64 67,42

Sumber: Bapeda-BPS Kabupaten Subang (2003)

IPM di wilayah pesisir lebih rendah dibandingkan dengan IPM Kabupaten Subang. Hal ini ditunjukkan dengan hasil stratifikasi kecamatan berdasarkan stratum IPM. Untuk stratum kesejahteraan menengah atas (65 ≤ IPM < 80) ada 18 kecamatan, dua di antaranya kecamatan pesisir yakni Pamanukan dan Legonkulon, sedangkan kesejahteraan menengah bawah (50 ≤ IPM < 65) ada 4 kecamatan, serta dua di antaranya kecamatan pesisir yakni Pusakanagara dan Blanakan. Dengan demikian, IPM wilayah pesisir Kabupaten Subang berada pada kisaran ≤65.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 117

a. Peningkatan pola hidup sehat dan akses masyarakat Peningkatan kualitas masyarakat pesisir perlu diarahkan pada peningkatan angka harapan hidup melalui peningkatan pola hidup sehat. Salah satu indikator kesehatan masyarakat adalah status gizi penduduk. Keadaan gizi balita di kecamatan pesisir tergolong baik (87,07%), kurang (10,64%), buruk (0,74%), dan lebih baik (1,56%). Namun, untuk standar konsumsi gizi penduduk, wilayah pesisir Kabupaten Subang berdasarkan konsumsi gizi per kapita masih rendah dibanding pencapaian konsumsi ikan Jawa Barat (Tabel 31). Tabel 31 Standar konsumsi gizi per kapita dan pencapaian konsumsi ikan di Kabupaten Subang 2000–2004 Konsumsi Ikan

Standar konsumsi ikan (Jawa Barat) Pencapaian konsumsi ikan (Kabupaten Subang)

2000 15,7 15,4

Kg per kapita per tahun 2001 2002 2003 17,1 17,5 17,9 16,1

16,7

17,3

2004 22,0

18,6

Sumber: BPS Subang 2005

Strategi yang dapat dilakukan adalah penyuluhan tentang pentingnya konsumsi ikan bagi masyarakat, khususnya di Kecamatan Legonkulon dan Blanakan. Wilayah ini merupakan sentra produksi perikanan, namun tingkat konsumsi ikan masyarakatnya relatif rendah. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh PPL dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang terkait. Selain itu, perlu pula penyebaran informasi melalui media massa atau papan informasi mengenai pentingnya konsumsi ikan. Target pencapaian konsumsi ikan per kapita per tahun meningkat 25 kg pada tahun 2008 dan 32 kg pada tahun 2013. Salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya konsumsi ikan adalah daya beli masyarakat yang rendah. Peningkatan daya beli masyarakat dapat diupayakan melalui peningkatan angka partisipasi kerja dan penciptaan lapangan usaha alternatif bagi ibu rumah tangga. Upaya sosialisasi pola hidup hemat dan menabung perlu dilakukan agar sikap hidup konsumtif dapat dikurangi secara bertahap. Peningkatan akses terhadap lembaga keuangan untuk membiasakan menabung dilakukan melalui strategi kemudahan menabung yang dilakukan oleh pihak perbankan di kecamatan atau lembaga keuangan di tingkat lokal.

118 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

b. Peningkatan angka partisipasi sekolah Upaya peningkatan pendidikan melalui pencapaian angka melek huruf dan ratarata lama sekolah yang tinggi dapat dilakukan dengan partisipasi masyarakat secara substansial serta pelibatan pengusaha atas inisiasi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Jumlah sekolah dan guru, baik negeri maupun swasta telah memenuhi kebutuhan masyarakat, namun tingkat putus sekolah masih tinggi. Alasan utama masyarakat adalah faktor biaya sekolah yang relatif mahal pada tahun ajaran baru dan pertengahan tahun ajaran (awal semester). Selain itu, faktor budaya masyarakat yang menikah pada usia muda dan peluang bekerja di luar negeri atau di industri menghambat upaya peningkatan angka partisipasi sekolah. Pemberian beasiswa lanjut pendidikan merupakan salah satu alternatif yang dapat memotivasi peserta didik untuk melanjutkan pendidikan. Konsistensi anggaran pendidikan hingga mencapai 20% dari APBD akan sangat membantu upaya tersebut. Diperlukan peran Bapeda dan DPRD Subang dalam hal ini untuk mendukung upaya tersebut. Untuk jangka panjang, perlu memberikan aksesibilitas yang tinggi kepada generasi muda nelayan agar memperoleh pendidikan yang terjangkau, akses terhadap pelayanan kesehatan yang murah, dan akses terhadap lembaga keuangan yang mudah khususnya lembaga keuangan mikro di pedesaan. Upaya ini tentu saja harus dimulai dengan program pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat (pembinaan, pendampingan, penyuluhan) secara bertahap hingga mencapai tingkat mandiri.

c. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan pengembangan ekonomi dan kelestarian lingkungan Dalam pembangunan wilayah pesisir, masyarakat harus ikut dilibatkan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam penentuan arah, strategi, dan pelaksanaan pengembangan usaha di kawasan pesisir. Selain itu, masyarakat pun harus terlibat dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan. Keterlibatan aktif masyarakat akan timbul apabila masyarakat merasa bahwa kegiatan tersebut merupakan kebutuhannya. Masyarakat belum banyak yang memahami dan mengerti akan pentingnya pengelolaan sumber daya secara lestari sehingga bimbingan dari pemerintah dan

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 119

institusi lainnya perlu dilakukan. Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya yang muncul dari adat dan budaya masyarakat setempat perlu terus digali dan disesuaikan sehingga lebih efektif dalam pembangunan. Kegiatan peningkatan pengetahun dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan percontohan. Kegiatan ini diharapkan dapat membekali masyarakat tentang cara melakukan usaha, melakukan kegiatan penanganan hasil perikanan, mengembangkan tempat pelelangan, memasarkan hasil yang diperoleh, dan mengelola unit usaha yang handal di kawasan tersebut. Dengan demikian, dapat mendorong penyerapan tenaga kerja serta pertumbuhan ekonomi wilayah. Dalam program pelatihan, perhatian sebaiknya difokuskan pada definisi kebutuhan pelatihan, perbedaan kebutuhan (langkah pertama yaitu analisis kebutuhan pelatihan untuk membuat apa yang telah sesuai dan apa yang tidak mungkin dicakup oleh program yang ada), target masyarakat (penyuluhan kepada masyarakat umum dan pembuat kebijakan untuk pelatihan profesional bagi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan wilayah pesisir), serta subjek (manajer dan administrator dengan pengetahuan dan pelaksanaan konsep pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan). Kegiatan pelatihan ini bersifat katalistik, melibatkan organisasi pemerintah/non-pemerintah, dan memberikan pengetahuan. Pendidikan dan penyuluhan terhadap masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang bijaksana berbeda dengan pelatihan untuk staf profesional. Kegiatankegiatan yang diperlukan, di antaranya memilih peserta didik yang tepat (seperti pemilik lahan, pegawai pemerintah setempat, masyarakat yang bergantung pada sumber daya sebagai mata pencahariannya, dan masyarakat umum), melakukan penelitian bersama masyarakat tentang teknik-teknik penyuluhan yang adaptif dan efisien, serta melakukan kampanye pendidikan dan penyuluhan.

d. Peningkatan kualitas pelaku usaha dan aparatur pemerintah Pengembangan sumber daya manusia bagi pelaku usaha perikanan dan pariwisata ditujukan pada aspek manajemen dan pengembangan usaha. Konsep yang perlu ditanamkan adalah pengembangan usaha perikanan dan pariwisata harus memerhatikan integrasi antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya untuk mencapai keberlanjutan usaha. Kegiatan ini difasilitasi oleh pemerintah bersama dengan lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat.

120 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Pengembangan kualitas aparatur pemerintah khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang serta aparatur di Kecamatan Blanakan dan Legonkulon yang merupakan sentra produksi perikanan. Arah pengembangannya adalah kemampuan manajerial, kemampuan menjalin kerja sama dengan dunia usaha, baik dalam maupun luar negeri, kemampuan rekayasa teknologi pembudi dayaan dan pengolahan, serta penanggulangan berbagai hama dan penyakit ikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan latihan di kabupaten yang telah maju penerapan teknologinya.

19. Penguatan Kelembagaan Masyarakat dan Peningkatan Koordinasi antar Lembaga Pengelolaan kawasan pesisir memerlukan keterpaduan antar sektor, terutama instansi yang terlibat secara langsung dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan. Keterpaduan ini memerlukan mekanisme koordinasi yang jelas. Saat ini belum ada mekanisme yang mengatur mengenai pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dan komprehensif.

a. Peningkatan koordinasi antar lembaga pemerintah Pengelolaan kawasan mangrove berada di bawah otoritas BKPH Ciasem yang bermitra dengan masyarakat memanfaatkan kawasan mangrove untuk budi daya perikanan dengan sistem sylvofishery. Budi daya sylvofishery relatif kurang mendapat perhatian dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. Keadaan ini karena tambak sylvofishery menjadi wewenang Perum Perhutani sedangkan pengelolaan budi daya perikanan tambak milik masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antar lembaga. Guna mencegah timbulnya konflik pemanfaatan lahan, perlu dilakukan koordinasi antara Perum Perhutani, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Subang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan mangrove, tanah timbul, lahan tambak milik petani, dan kawasan wisata. Koordinasi ini diwujudkan dalam bentuk kesepakatan mengenai mekanisme pembangunan yang dilakukan secara terpadu

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 121

dan bertanggung jawab. Pertimbangan utamanya lebih diarahkan pada tanggung jawab keberlanjutan pemanfaatan kawasan serta menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan wilayah sehingga mereduksi konflik kepentingan antar lembaga pemerintah. Bapeda Subang yang memiliki otoritas atas kegiatan lintas sektor ini sehingga perlu mengoordinasikan kegiatan di wilayah DAS untuk mencegah konflik dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kegiatan yang perlu dilakukan adalah menyusun mekanisme kerja sama antar instansi dan sistem koordinasi kelembagaan yang transparan. Mekanisme ini menjadi blue print pengelolaan sumber daya pesisir yang disusun dan disepakati secara bersama-sama dan dilengkapi dengan mekanisme kerja sama, tata laksana, serta aspek intensif/disinsentif dan seleksi. Untuk efektivitas manajemen wilayah pesisir, perlu dibangun sistem informasi eksekutif pembangunan wilayah pesisir. Sistem ini berbasis teknologi informasi yang dapat di akses oleh semua instansi, baik untuk memperoleh informasi maupun memberikan informasi. Potensi dan kondisi wilayah pesisir dapat diketahui dengan cepat dan akurat sehingga dapat meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang.

b. Peningkatan akses masyarakat terhadap lembaga permodalan untuk kegiatan produktif Akses masyarakat terhadap sumber-sumber permodalan formal relatif rendah, mengingat sistem permodalan formal memiliki persyaratan baku dan ketat yang sulit diadopsi oleh masyarakat. Akibatnya, selama ini masyarakat (khususnya nelayan) memilih kepada lembaga keuangan informal, meskipun bunga yang diberlakukan sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu dibangun sumber-sumber permodalan baru dengan sistem baru yang disesuaikan dengan karakteristik produksi yang bersifat musiman, alokasi waktu kerja, dan kemampuan tingkat pengembalian (antara lain bunga rendah). Pengembangan kelembagaan membantu dalam mengakses permodalan dan pemasaran yang biasanya menjadi kendala bagi pengembangan usaha. Kegiatan ini meliputi peningkatan kemampuan lembaga-lembaga yang sudah berada di wilayah pesisir dalam mengembangkan usaha dengan mendapatkan permodalan, baik yang berasal dari pemerintah seperti kredit, modal bergulir dan bantuan hibah lainnya maupun bantuan pinjaman dari pihak swasta.

122 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Model pengembangan kelembagaan diharapkan dapat muncul dari masyarakat, sedangkan pemerintah diharapkan menjadi fasilitator sehingga lembaga yang berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut diharapkan kelembagaan ekomomi wilayah pesisir dapat berkembang dengan baik dan mendukung pembangunan pengembangan ekonomi yang berkembang di wilayah pesisir Kabupaten Subang.

c. Penguatan kelembagaan ekonomi mikro melalui regulasi dan permodalan Untuk mendukung pembangunan di wilayah pesisir, diperlukan pengembangan kelembagaan ekonomi mikro yang berbasis masyarakat. Lembaga ekonomi mikro diarahkan pada fungsi fasilitasi masyarakat dalam usaha di bidang perikanan dan pariwisata. Pengembangan lembaga ekonomi mikro untuk usaha perikanan diarahkan pada optimalisasi lembaga-lembaga pendukung yang ada, seperti tempat pelelangan ikan (TPI), tempat pelelangan ikan hasil tambak (TPIHT), koperasi unit desa (KUD), dan pasar. Cara yang dapat dilakukan antara lain (1) peningkatan prasarana dan sarana TPI, TPIHT, dan KUD, penyediaan air bersih, dukungan keamanan, tempat tambat kapal yang nyaman dan daya saing harga yang kompetitif; (2) pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang ada, seperti lembaga ekonomi mikro mitra mina di Blanakan dan Legonkulon ke arah lembaga yang lebih profesional dalam melayani para nelayan dalam permodalan dan membantu akses pasar; serta (3) perlu untuk mengembangkan lembaga keuangan mikro untuk usaha perikanan. Penguatan kelembagaan pasar yang ada di desa-desa pantai meliputi kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal yang ada adalah KUD Mina yang mengelola tempat pemasaran milik pemerintah. Penguatan peran KUD Mina dilakukan dengan peningkatan sistem manajemen koperasi yang berbasis teknologi informasi. Kelembagaan pemasaran ikan secara informal dilakukan oleh masyarakat secara pribadi. Proses pendistribusian ikan dalam pasar ini adalah dari nelayan ke pemilik tempat pelelangan dan kemudian langsung pada pedagang pengecer. Peran informasi harga sangat vital pada proses ini sehingga diperlukan campur tangan pemerintah.

BAGIAN TUJUH: STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

| 123

Pengembangan lembaga ekonomi mikro untuk usaha pendukung pariwisata diharapkan dapat dirintis oleh koperasi. Pembuatan suvenir, pembangunan rumah makan dan restoran di wilayah pesisir, serta jasa transportasi dapat difasilitasi oleh lembaga ini sehingga mendorong munculnya usaha baru yang produktif. Untuk tahap awal, sebaiknya difasilitasi oleh Dinas Koperasi dan Perdagangan melalui bantuan teknis dan permodalan. Pada tahap selanjutnya, diupayakan kemandirian lembaga ini seperti yang dilakukan pada KUD Mina Bahari. Kegiatan ini dapat dilakukan pada keempat kecamatan.

BAGIAN DELAPAN: EPILOG

126 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

20. Ikhtisar Penyusunan kebijakan dan strategi yang dilakukan dalam kajian ini lebih menjamin keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir dibandingkan dengan proses penyusunan kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten yang menjadi subjek penelitian ini. Terdapat beberapa hal substansial yang membedakan proses penyusunan kebijakan dan strategi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan proses konvensional yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah kabupaten telah merumuskan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan telah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Penyusunan kebijakan pembangunan wilayah pesisir didasarkan pada berbagai acuan, yakni pola dasar, program pembangunan daerah, rencana strategis daerah, dan rencana strategis setiap instansi yang terkait dengan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Pembangunan senantiasa mengedepankan keberpihakan terhadap kepentingan seluruh komponen masyarakat serta tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, implementasi kebijakan secara nyata dan bertanggung jawab berorientasi pada sifat gotong royong sehingga diharapkan lebih terarah serta tepat sasaran sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat. Metode yang digunakan dalam penyusunan kebijakan pembangunan yaitu secara partisipatif dengan melibatkan pimpinan instansi terkait sebagai penanggung jawab, pimpinan bagian, seksi, serta staf-staf lainnya. Aspirasi dari pihak lain (eksternal) diharapkan mendukung kebijakan dan strategi yang dirumuskan, seperti halnya masukan pada saat kegiatan pembinaan ke lembaga di tingkat lokal serta pembinaan langsung kepada masyarakat. Hasil dari rumusan kebijakan, strategi, dan rencana kegiatan tersebut, selanjutnya disajikan dalam bentuk matriks rencana kegiatan tahunan (atau 5 tahunan) sebagai arahan pelaksanaan kegiatan. Matriks ini juga menjadi rujukan penilaian kinerja aparatur menggunakan lima tolok ukur, yaitu masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Namun demikian, dalam proses penyusunan kebijakan dan strategi belum melibatkan stakeholder secara substansial. Pelibatan stakeholder hanya secara prosedural yakni dilibatkan pada kegiatan pembangunan dalam bentuk mobilisasi massa, kegiatan sosialisasi, dan pelibatan untuk menangani permasalahan jika

BAGIAN DELAPAN: EPILOG

| 127

terjadi dampak negatif dari kebijakan yang telah dilakukan. Hal ini terjadi karena belum adanya mekanisme pelibatan stakeholder yang efisien dan efektif yang dapat dipedomani. Di sisi lain, masyarakat belum memiliki kapabilitas untuk melibatkan diri secara langsung. Lembaga swadaya masyarakat belum berperan dalam melibatkan masyarakat secara substansial. Peran legislatif juga belum optimal dalam proses penyusunan kebijakan partisipatif. Pada penelitian ini dilakukan pelibatan seluruh stakeholder terkait dalam proses penyusunan kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir. Mulai dari penentuan stakeholder, penentuan indikator pembangunan, penentuan skenario kebijakan, dan pemilihan prioritasnya, hingga penentuan strategi implementasi. Mekanisme pelibatan stakeholder dilakukan sesuai dengan tingkat pengaruh dan kepentingan masing-masing stakeholder sehingga lebih menjamin aspirasi stakeholder sampai pada pengambilan keputusan. Faktor lainnya yang memberikan hasil berbeda dari rumusan kebijakan dan strategi yang dirumuskan adalah penentuan hasil serta dampak kebijakan terhadap kondisi masa depan wilayah pesisir. Informasi mengenai kondisi masa depan yang akan terjadi sebagai dampak dari kegiatan pembangunan memberikan alasan yang logis dalam memilih alternatif kebijakan. Aspek ini belum dikaji oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan sehingga ukuran keberhasilan kegiatan selama ini masih bersifat parsial dan sesaat. Target-target pencapaian selama ini, bahkan kadang melebihi target kuantitatif yang telah ditetapkan. Hal ini dianggap sebagai suatu prestasi bagi instansi pelaksana. Aspek-aspek yang lebih penting seperti proses, hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact) belum dikaji secara mendalam. Kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial yang digunakan dalam penelitian ini telah menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Keberhasilan suatu program seharusnya dinilai dari ketiga aspek ini yang merupakan indikator keberlanjutan pembangunan. Kondisi masa depan wilayah pesisir dari ketiga aspek tersebut telah diperhitungkan dalam rumusan kebijakan. Substansi kebijakan ini merupakan jaminan keberlanjutan pembangunan. Proses analisis yang dilakukan secara runtun mulai dari analisis stakeholder yang bertujuan memetakan stakeholder berdasarkan pengaruh dan kepentingannya serta merumuskan mekanisme pelibatan stakeholder dalam proses pembangunan,

128 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI dilanjutkan dengan analisis multi kriteria dan pembahasan strategi implementasi kebijakan melalui focus group discussion. Terdapat 7 tahapan yang dilakukan dalam menentukan kebijakan pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan secara partisipatif. Hasil yang diperoleh dari setiap proses tersebut secara ringkas sebagai berikut. 1. Proses pemetaan stakeholder berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. Hasilnya adalah peta stakeholder menurut kategori primer, sekunder, dan eksternal digunakan sebagai pertimbangan dalam perumusan mekanisme pelibatan stakeholder. 2. Proses perumusan mekanisme pelibatan stakeholder dalam proses pembangunan. Hasilnya bahwa stakeholder sekunder memiliki peran strategis dalam pengambilan kebijakan karena memiliki pengaruh dan kepentingan yang relatif tinggi. Dengan demikian, stakeholder sekunder menjadi kunci pelibatan stakeholder primer dan eksternal dalam pengambilan keputusan. Hasil ini merupakan masukan dalam penentuan kriteria, skenario, dan strategi. 3. Proses penentuan kriteria dan teknik pengukurannya. Kriteria yang digunakan adalah ekologi (kawasan mangrove, kualitas air, abrasi, dan sedimentasi); ekonomi (pendapatan masyarakat, pertumbuhan sektor informal, sumbangan terhadap PDRB); dan sosial (partisipasi angkatan kerja, akses masyarakat, pendidikan). Kriteria ini digunakan untuk mengukur dampak setiap skenario terhadap kondisi wilayah pesisir. 4. Proses penentuan skenario dan dampaknya terhadap kondisi wilayah pesisir hingga tahun ke-10. Terdapat 12 skenario yang disepakati yakni 1 skenario status quo dan 11 skenario pengembangan berdasarkan kombinasi optimal dari kondisi serta potensi wilayah pesisir. Dampak setiap skenario hingga tahun ke-10 diukur menurut 9 subkriteria. Skenario ini merupakan alternatif yang disepakati bersama sehingga skenario terpilih akan dilaksanakan secara konsisten. 5. Proses penentuan bobot kriteria menurut preferensi stakeholder menggunakan AHP. Hasil AHP menunjukkan bahwa krtieria ekonomi lebih diprioritaskan dibanding ekologi dan sosial. Stakeholder pemerintah lebih memerhatikan aspek ekologi dan ekonomi, pengusaha memprioritaskan ekonomi, sedangkan masyarakat memprioritaskan sosial, serta peneliti memprioritaskan sosial dan

BAGIAN DELAPAN: EPILOG

| 129

ekonomi. Bobot kriteria ini digunakan dalam perhitungan ranking alternatif skenario. Preferensi ini menunjukkan perlunya pelibatan semua stakeholder dalam pembangunan. 6. Perhitungan prioritas skenario berdasarkan bobot kriteria dengan simulasi multi kriteria. Skenario terpilih adalah pengembangan budi daya perikanan berkelanjutan yang didukung dengan pengembangan pariwisata bahari. Skenario kebijakan ini merupakan topik pembahasan diskusi kelompok terfokus oleh stakeholder primer dan sekunder. 7. Pembahasan strategi implementasi kebijakan skenario terpilih. Strategi implementasi kebijakan yang disepakati oleh stakeholder adalah pengembangan dan penerapan teknologi budi daya perikanan yang adaptif dan berkelanjutan; pengembangan sistem pariwisata terpadu dan peningkatan kualitas objek wisata dan fasilitas pendukungnya; pengelolaan lingkungan pesisir, laut, dan DAS secara terpadu; peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan penguatan kelembagaan. Setiap strategi tersebut dilengkapi dengan upaya yang harus dilakukan secara detail pada setiap kawasan yang sesuai. Komitmen bersama dalam bentuk strategi dan upaya yang akan dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah, pengusaha, serta masyarakat. Tahapan tersebut bukanlah hal yang baku dalam penerapannya. Proses yang dilakukan perlu disesuaikan dengan model analisis, karakteristik wilayah, tingkat pengetahuan stakeholder, kebijakan pembangunan wilayah, dan berbagai karakteristik spesifik lainnya. Dalam proses perencanaan pembangunan perlu dilakukan penentuan prioritas kegiatan yang memberikan dampak yang relatif lebih besar terhadap aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara bersama-sama. Dampak tersebut harus terukur dalam suatu periode waktu dengan indikator yang disepakati bersama oleh stakeholder. Kelemahan dari metodologi ini adalah analisis keterkaitan antar sistem ekonomi, sosial, dan ekologi tidak dikaji secara mendalam sehingga kuantifikasi skenario dan dampaknya belum mencerminkan kondisi sebenarnya dari setiap skenario kebijakan. Dengan demikian, untuk kepentingan penelitian lebih lanjut disarankan mengkaji sistem keterakitan tersebut dan dinamikanya secara dinamis. Selain itu, perlu pula mengkaji keterkaitan kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang

130 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI menjadi fokus kajian dengan kondisi wilayah pesisir di sekitarnya dan wilayah perkotaan. Kajian faktor sosial-budaya yang memengaruhi stakeholder dalam pengambilan keputusan perlu pula dilakukan. Akhirnya, mari kita mendisain kebijakan pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Memerhatikan kepentingan generasi saat ini dan kepentingan generasi mendatang. Kita mewujudkan tugas kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Semoga buku ini bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

[ACBF] African Capacity Building Foundation. 2001. Capacity Needs Assesment: A Conceptual Framework. In: ACBF Newsletter 2 (1): 9–11. [di unduh pada 24 Februari 2004].www.acbf-pact.org. Alaerta G, SS Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional. Alikodra HS. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Makalah Pelatihan dosen PTN se Sumatera dalam Bidang Amdal, 1–10 November. Anwar A. 1992. Beberapa Permasalahan dan Hak-hak Pakai Teritorial dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Bahari Indonesia. Prosiding Agriculture Planning. 1 (1992). Lombok: Universitas Mataram. [Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. 2001. Penyusunan Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. [Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. 2002. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Subang. [Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. 2003. Kajian Studi Pengendalian Banjir di Wilayah Pantura Kabupaten Subang. [Bapemdes Subang] Badan Pemerintahan Desa Kabupaten Subang. 2002. Daftar Isian Data Dasar Profil Desa/Kelurahan. [Bapeda-BPS Subang] Badan Perencanaan Daerah-Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2000. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Subang 1996–2000. Subang. [Bapeda-BPS Subang] Badan Perencanaan Daerah-Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2004. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Subang 2003. Subang. Barton DN. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources SMR-Report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources. Norway: University of Bergen.

132 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Bengen DG. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Pedoman Teknis. Bogor: PKSPL-IPB. Bengen DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: PKSPL-IPB, Bock JG. 2001. Towards participatory communal appraisal. Community Development Journal. 36(2): 146–153. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia 2003. Jakarta: BPS. [BPS Subang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2004. Subang Dalam Angka 2003. BPS Kabupaten Subang. [BPS Subang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2005. Kabupaten Subang Dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. Brown K, E Tompkins, WN Adger. 2001a. Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision-Making. Overseas Development Group. University of East Anglia, Norwich U.K. Brown K, WN Adger, E Tompkins, P Bacon, D Shim, and K Young. 2001b. Trade-off analysis for marine protected area management. Ecological Economics. 37 (2001): 417-434. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramitha. Buckles D. [Ed.] 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resource Management. Ottawa: IDRC. Carter, J. 1996. Recent Approaches to Participatory Forest Resource Assessment. London: ODI. Cellura M, G Beccali, M Mistretta. 2003. A Decision Support System Software based on Multi-Criteria Analysis for the Selection of Urban Sustainability Scenarios. Italy: Dipartimento di Energetica e Applicazioni di Fisica Palermo University. Cernea MM. 1988. Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan Variabelvariabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Publikasi Bank Dunia. Cernea MM. 1993. Social Science Research and the Crafting of Policy on Population Resettlement. Knowledge and Policy. Vo1. 6, No. 3–4. Chambers R. 1996. Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

DAFTAR PUSTAKA

| 133

Charles AT. 2001. Suatainable Fiseheries Systems. UK: Blackwell Science. Chung S, C Poon. 1996. Evaluating waste management alternatives by the multiple criteria approach. Resources, Conservation and Recycling. 17: 189– 210. Cicin-Sain B, RW Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Washington DC: Island Press. Cohen JM, N Uphoff. 1977. Rural Development Participation: Rural Development Committee. Cornell University. Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R. 2000. Strategi dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor, 21–26 Februari. Dahuri R. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Darsono. 2004. Kondisi terumbu karang di jawa barat memprihatinkan. Republika. 03/November/2004. [DTR Subang] Dinas Penataan Ruang Kabupaten Subang. 2003. Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Kelapa, Sarewang, dan Pondok Putri di Kawasan Pantai Utara Kabupaten Subang. [DPK Subang] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. 2005. Evaluasi Progam Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2004. [DPK Subang] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. 2002. Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang 2002–2005. [DPK Subang] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. 2003a. Pemetaan Potensi Kelautan dan Perikanan (ATLAS) Kabupaten Subang. [DKP Subang] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang. 2003b. Laporan Evaluasi Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang. [DPU Subang] Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Subang. 1985. Sedimentasi di Sepanjang Sungai Cipunagara. Puslitbang Pengairan Dinas Pekerjaan Umum.

134 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi 2. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Edgington D, A Fernandez. 2001. The Changing Context of regional Development. In: Edgington D, Fernandez A, Hoshino C, editor. New Regions‑Concepts, Issues and Practices. New Regional Development Paradigms Vol 2. Connecticut: Greenwood Press. Edmund S, J Letey. 1973. Environmental Administration. California: McGrawHill Book Company. Fahruddin A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Pascasarjana IPB. Freeman RE. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman Publishing Inc. Goldberg EB. 1994. Coastal Zone Space – Prelude to Conflict? Paris: UNESCO. Grimble R. 1998. Stakeholder Methodologies In Natural Resource Management. Socio-Economic Methodologies Best Practice Guidelines. Natural Resources Institute, The University of Greenwich. Grimble R, MK Chan. 1995. Stakeholder analysis for natural resource management in developing countries. Natural Resources Forum 19 : 113–124. Gunn CA. 1994. Tourism Planning: basic, Concept, Eases. Third Edition. Washington D.C: Taylor & Francis. Hadi SP. 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada Press. Haeruman H. 1995. Administrasi Lingkungan. Bogor: IPB. Handayani YD. 2004. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove menjadi Tambak Tumpangsari (Studi kasus Desa Muara Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hasan R. 2004. Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove: Studi Kasus di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat. [Disertasi] Pascasarjana IPB. Bogor. Hufschmidt MM, DE James, AD Meister, BT Bower, & JA Dixon. 1996. Environmental, Natural Systems, and Development. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

DAFTAR PUSTAKA

| 135

[IIED] International Institute for Environment and Development. 2001. Power Tools: Tools for Working on Policies and Institutios. UK. Jennings SF, S Lockie. 2003. Application of Stakeholder Analysis and Social Mapping for Coastal Zone Management in Australia. Cooperative Research Centre for Coastal Zone, Estuary, and Waterway Management, Central Queensland University. Rockhampton Qld Australia. Jorgensen SE. 1983. Lake Management. New York: Pergamon Press. Kawaroe M. 2000. Kontribusi Ekosistem Mangrove terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Pascasarjana IPB. Kay R, J Alder. 1999. Coastal Planning and Management. London: E & FN Spon. Keraf AS. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Khazali M, DG Bengen, Nikijuluw, VPH. 2002.Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Mangrove: Studi Kasus di Kecamatan Karangsong, Kabupaten Indramayu. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 No.3. Bogor: PKSPL IPB. Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lawrence D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Australia: Great Barrier Reef Marine Park Authority. Mander S, C. Gough. 2003. Multi Criteria Evaluation of Low Carbon Energy Technologies. The Tyndall Centre for Climate Change Research. UK: University of Manchester Institute of Science and Technology. Mardle S, E Bennett, S Pascoe. 2003. Multiple Criteria Analysis of Stakeholder Opinion: A Fisheries Case Study. Centre for the Economics and Management of Aquatic Resources. UK: University of Portsmouth. Marsh WM. 1991. Landscap Planning: Environmental Applications. 2nd edition. New York: John Wiley. Mikkelsen B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Misra RP. 1982. Regional Development. London: Maruzen Asia.

136 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. Washington D.C: The World Bank. Newman P, JL Marion, K. Cahill. 2001. Integrating resources, social, and managerial indicators of quality into carrying capacity decisoin-making. The George Wright Forum: 18 (3). Virginia. [NHDR] National Human Development Report. 2004. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [NRSP] The Natural Resources Systems Programme. 2004. Final technical report to DFID NRSP Land-Water Interface Programme. Overseas Development Group, University of East Anglia. [NRTEE] National Round Table on the Environment and the Economy. 1998, Sustainable Strategies for Oceans: A Co-management Guide. Ontario: NTREE. [ODA] Overseas Development Adminstration. 1995. Guidance Note on How To Do Stakeholder Analysis of Aid Projects abd Programmes. London: Sosial Development Departement. Orbach M. 1995. Social Scientific Contributions to Coastal Policy Making. In improving Interactions between Coastal Science Policy. Proceedings of the California Symposium 49–59. Washington, D.C: National Academy Press. Pearce D, H Tannis. 1999. Review of Technical Guidance on Environmental Appraisal Department of the Environment, Transport and the Regions. A Report by EFTEC (Economics for the Environment Consultancy). [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor. 2001. Atlas Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Subang. Bogor. Pitcher TJ. 1999. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome. Powell JC. 1996. The evaluation of waste management options. Waste Management and Research. 14 (1996). 515–526. Proctor W. 2000. Towards Sustainable Forest Management: An Application of Multi-criteria Analysis to Australian Forest Policy. Canberra: Centre for Resource and Environmental Studies, Australian National University.

DAFTAR PUSTAKA

| 137

Ramírez R. 1999. Stakeholder Analysis and Conflict Management. in: Buckles, D. (ed). Conflict and collaboration in natural resource management. IDRC/ World Bank Institute, Ottawa and Washington D.C. Rais J. 2001. Dinamika Pesisir dan Geomorfologi. ITB. Bandung. Renard Y, N Brown, T Geoghegan. 2001. Stakeholder Approaches to Natural Resources Management in the Carribean. Carribean Natural Resources Institute. Canari Communication No. 286. Rifqi M, DG Bengen, VPH Nikijuluw. 2003. Analisis kebijakan pengembangan perikanan wilayah pesisir kabupaten padang pariaman. Jurnal Pesisir dan Lautan. 5 (1). Bogor: PKSPL-IPB. Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Di dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S, editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Kajian Konsep dan Pengembangan. Pusat Pengkajian Kebijakan Jakarta: Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT. Robinson J, T Jon. 1996. Reconciling Ecological, Economic and Social Imperatives: Towards an Analytical Framework. Sustainable Development Research Institute. University of British Columbia. Rose CD. 1999. A Review of The Mechanisms Structuring Sea Grass Communities. Seagrass Biology: Proceedings of an International Workshop. Florida: Florida International University, Department of Biology. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk pengambilan Keputusan dalam Situasi yang kompleks (terjemahan). Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor: PAU-IPB. Salusu J. 2002. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Gramedia. Sekartjakrarini S. 1993. The Coordination Between Public and Private Sectors: The Role of Partnership in Ecotourism Development (Tesis). Texas A & M University. Saridewi TR. 2003. Studi Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir di Kabupaten Subang. [Tesis]. Bogor: Pascasarjana IPB. Scura LF, TE Chua, MD Pido, JN Paw. 1992. Lessons for Integrated Coastal Zone Management: the ASEAN Experience. ICLARM Proceeding 37. Manila: International Centre for Living Aquatic Resources Management.

138 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Serageldin I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations: First Steps in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No.5. Washington D.C: The World Bank.   Setiawan B. 2003. Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Pengelolaan Lingkungan. dalam Seminar Penyusunan Pedoman Mekanisme Kerjasama Pengelola Lingkungan Antar Daerah. 10 Juli 2003. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Simon SKL, XP Chen. 2002. Pengambilan Keputusan Partisipatif dan Kinerja Karyawan Dalam Kultur Berbeda: Efek Moderator Dari Allosentrisme/ Idiosentrisme dan Efikasi. Academy Of Management Journal 2002, Vol. 45. No. 5. 905-914. Soemarwoto O. 2001. Atur-diri-Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jogyakarta: Gadjah Mada University Press. Stohr W. 2001. Introduction. In W. Stohr, J. Edralin and D. Mani. New Regional Development Paradigms. Vol. 3: Decentralization, Governance and the New Planning for Local-Level Development. Westport. CT: Greenwood Press, Chapter 1, 1–19. Stoorvogel JJ, JM Antle, CC Crissman, W Bowen. 2001. The Tradeoff Analysis Model Version 3.1: A Policy Decision Support System for Agriculture. Laboratory of Soil Science and Geology Wagenigen University. Netherlands. Suhandi AS. 2001. The Indonesian Experience on Community Based Ecotourism Development. Paper Presented in Sustainable Community Based Tourism Seminar; Jakarta June 27, 2001. Jakarta: ESCAP, WTO and The Indonesian Ministry of Culture and Tourism. Supriatna J, A Sanjaya, I Setiawati, MR Syachrizal. 2000. Ekowisata Sebagai Usaha Pemanfaatan yang Berkelanjutan di Kawasan Lindung. Makalah Disampaikan Dalam Workshop Komisi Koordinasi pemanfaatan Obyek Wisata Alam. Balikpapan, 6‑8 Maret. Departemen Kehutanan. Supriyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan. Takeda N. 2001. People Participation in Regional Development Management. Japanese Experiences. Paper presented for the Seminar on Regional Developmnet and Management Policy to Support Autonomy. 29 March 2001. Jakarta:

DAFTAR PUSTAKA

| 139

Todes A. 2003. Regional Planning and Sustainability: Reshaping Development Through Integrated Development Plans in the Ugu District of South Africa. Paper presented to the Regional Studies Associated Conference, Reinventing Region in Global Economy. 12–15th April 2003. Regional Studies Association. Pisa. Tjokroamidjojo B. 1993. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: CV Haji Masagung. Tomascik T, MA Nontji, MK Mooosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas. Periplus Edition (HK). Ltd Tulungen JJ, B Crawford, I Dutton. 1999. Pengelolaan sumberdaya wilaya pesisir berbasis masyarakat di Sulawesi Utara sebagai salah satu contoh otonomi daerah dalam pembangunan pesisir di Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Ilmiah Hasil-hasil Penelitian Unggulan di Likupang Sulawesi Utara, 15 Desember. [UU 23/97] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. [UU 32/04] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. van NM, TP Tomich, J Gockowski, S Vosti. 2001. Analysis Of Trade-offs between Local, Regional, and Global Benefits of Land Use. International Centre for Research in Agroforestry. Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor. [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. United Nations World Commission on Environment and Development. London: Oxford University Press. Yoe C. 2002. Trade-Off Analysis Planning and Procedures Guidebook. U.S. Army Corps of Engineers, Institute for Water Resources. Casey Building Telegraph Road Alexandria. Young LF. 1989. Decision Support and Idea Processing Systems. Iowa: Wm. C. Brown Publishers. Dubuque.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Nama desa pada 4 kecamatan pesisir di Kabupaten Subang No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Nama Desa Kecamatan Blanakan Blanakan Cimalaya Hilir Rancamekar Jayamukti Langensari Cimalaya Girang Muara Ciasem Rawameneng Tanjung Tiga Kecamatan Pamanukan Sukasari Mulyasari Rancasari Curugreja Ranca Hilir Pamanukan Seberang Pamanukan Hilir Sukareja Sukamaju Lengkongjaya Anggasari Batangsari Mundusari

Luas (Ha) 977.712 303.650 274.000 1.499,00 787.950 730.034 993.961 391.000 Bad 790.935 198.122 440.798 635.225 333.227 321.700 466.960 885.547 237.000 Bad Bad Bad Bad

142 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 1 Nama desa pada 4 kecamatan pesisir di Kabupaten Subang (Lanjutan) No.

14 1

2 3 4 5 6 7 8 1

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Nama Desa Bongas Kecamatan Legon Kulon Legon Wetan Bobos Mayangan Anggasari Karang Mulya Pangarengan Tegal Ukung Legon Kulon Kecamatan Pusakanegara Karang Anyar Rangdu Bojong Tengah Bojong Jaya Kotasari Kebon Danas Kalentambo Patimban Pusaka Jaya Pusaka Ratu Ranca Duka Gempol Cigugur Kaler Cigugur

Sumber: Data Potensi Desa (2002)

Luas (Ha) Bad 715.000 397.654 513.850 1.164 367 286.000 1.638.610 607.170 750 318.519 551.125 483.910 330.556 634.401 693.029 1.406.455 514.228 448.355 978.525 353.315 509 618

LAMPIRAN

| 143

Lampiran 2 Rata-rata penduduk per desa, per kilometer persegi, per rumah tangga dan sex ratio di Kabupaten Subang No.

Kecamatan

1 Pamanukan 2 Pusakanagara 3 Legonkulon 4 Blanakan Jumlah 4 Kecamatan Jumlah Seluruh Kecamatan di Subang

Rata-rata Penduduk per Desa Km2 Rumah Tangga 5.958,57 1.031,28 3,35 5.662,73 910,67 3,50 3.810,40 386,96 3,34 6.324,67 663,35 3,43 5.439,09 748,07 3,41 6.324,67 650,46 3,38

Sex Ratio 100,77 97,27 100,46 94,86 78,67 98,81

Sumber: BPS Subang (2004)

Lampiran 3 Jumlah rumah tangga dan penduduk hasil registrasi menurut kecamatan di Kabupaten Subang tahun 2003 No.

Kecamatan

1 Pamanukan 2 Pusakanagara 3 Legon Kulon 4 Blanakan Jumlah 4 Kecamatan Jumlah Seluruh Kecamatan di Subang Sumber: BPS Subang (2004)

Rumah Tangga 24.899 17.818 11.394 16.573 70.684 394.608

Laki-laki 41.869 30.714 19.096 27.710 119.389 663.286

Penduduk Perempuan 41.551 31.576 19.008 29.212 121.347 671.302

Jumlah 83.420 62.290 38.104 56.922 240.736 1.334.588

144 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003 Kelompok Umur 0–4 5–9 10–14 15–19 20–24 25–29 30–34 35–39 40–44 45–49 50–54 55–59 60+ Jumlah

Laki-laki 59.461 57.046 58.206 64.701 52.171 56.630 54.610 51.838 49.591 40.412 33.586 22.477 62.557 663.286

Perempuan 68.471 65.741 56.852 58.472 58.913 62.148 54.921 53.822 45.952 35.115 29.334 20.405 61.156 671.302

Jumlah 127.932 122.787 115.058 123.173 111.084 118.778 109.531 105.660 95.543 75.527 62.920 42.882 123.713 1.334.588

Sumber: BPS Subang (2004)

Lampiran 5 Persentase penduduk menurut kemampuan membaca dan menulis di Kabupaten Subang dan sekitarnya di Jawa Barat Tahun 2001 – 2003 Tingkat Kemampuan

Subang

Purwakarta

Karawang

Indramayu

Jawa Barat

2001

2002

2003

Dapat baca tulis huruf Latin

86,80

87,53

87,13

94,01

86,76

77,50

93,65

Dapat Baca Tulis Huruf Lainnya

0,62

0,70

0,65

1,70

1,49

1,74

0,87

Tidak Dapat Baca Tulis

12,58

11,77

12,20

4,29

11,75

20,76

5,48

Jumlah

2003

100

100

100

100

100

100

100

1.106.231

1.133.214

1.148.269

604.350

1.522.509

1.338.582

30.462.625

Sumber: BPS, Susenas (2003)

LAMPIRAN

| 145

Lampiran 6 Persentase penduduk usia 10 tahun keatas menurut partisipasi sekolah di Kabupaten Subang dan sekitarnya di Jawa Barat tahun 2001–2003 Tingkat Kemampuan

Subang

Purwakarta

Karawang

Indramayu

Jawa Barat

2001

2002

2003

13,90

14,59

12,39

4,45

12,49

20,15

5,61

Masih sekolah

14,41

14,88

14,80

15,26

16,26

15,95

17,66

Tidak

71,69

70,53

72,81

80,29

71,25

63,90

76,73

Tidak/Blm Pernah Sekolah

2003

Bersekolah Lagi Jumlah

100

100

100

100

100

100

100

1.106.231

1.133.214

1.148.269

604.350

1.522.509

1.338.582

30.462.625

Sumber : BPS, Susenas (2003)

Lampiran 7 Indikator pembangunan manusia terpilih di Kabupaten Subang tahun 2001–2003 Indikator Indeks Pembangunan Manusia

1. Angka Harapan Hidup 2. Angka Melek Huruf 3. Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 4. Daya Beli (Rp. 000) Kependudukan 1. Jumlah Penduduk 2. TFR 3. Rasio Jenis Kelamin 4. Angka Ketergantungan Pendidikan 1. Angka Partisipasi Sekolah - SD (7-12 tahun) - SLTP (13-15 tahun) - SLTA (16-18 tahun) 2. Penduduk 10 tahun keatas yang berpendidikan SLTP + (%)

2001 65,64 66,43 86,80 5,96 545,32

2002 66,65 67,21 87,53 6,14 549,23

2003 67,42 67,42

1.334.588 2,00 98,81 47,07

1.352.354 1,98 98,76 45,97

1.371.005 1,83 98,73

95,46 80,25 32,96 20,48

95,80 83,40 49,42 20,21

97,26 80,50 36,41

87,78 6,51 553,64

44,49

29,96

146 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 7 Indikator pembangunan manusia terpilih di Kabupaten Subang tahun 2001–2003 (Lanjutan) Indikator Kesehatan 1. Angka Kematian Bayi (per 1000 kelahiran

2. Penolong Persalinan Tenaga Medis (%) 3. Jumlah Penduduk Per Puskesmas Ketenagakerjaan (%terhadap penduduk 10 tahun keatas) 1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 2. Tingkat Pengangguran Tebuka (TPT) 3. Pekerja <35 jam seminggu (%) 4. Lapangan Usaha Sektor Pertanian 5. Lapangan Usaha Sektor Industri **) 6. Lapangan Usaha Sektor Jasa-Jasa ***) 7. PDRB Sektor Pertanian (%) 8. PDRB Sektor Industri (%) 9. PDRB Sektor Jasa-Jasa (%) 10.Berusaha sendiri/pengusaha bebas 11.Berusaha dibantu buruh tetap 12.Berusaha dibantu buruh tidak tetap 13.Buruh/karyawan 14.Pekerja Keluarga Perumahan 1. Rumah berlantai bukan tanah (%) 2. Rumah dengan atap beton dan genteng (%) 3. Rumah dengan dinding tembok (%) 4. Rumah dengan penerangan listrik (%) 5. Rumah dengan ir minum ledeng (%) 6. Rumah dengan air minum bersih ****) (%) 7. Rumah berjamban dengan tangki septik (%) Sumber: Susenas (2003)

2001

2002

2003

49,36 54,32 10,111

47,67 54,25 9,648

42,39 59,00

9,227

56,08

57,40

57,99

5,44 37,60 57,42 11,12 31,46 44,40 10,36 45,24 16,49 26,18 0,83 44,71 11,80

4,33 43,64 51,30 13,09 35,61 42,80 10,13 47,07 19,07 30,42 2,82 16,69 12,11

8,73 37,37 57,82 9,49 32,69 40,77 9,89 49,34 24,45 26,69 2,37 35,50

10,99

85,54 99,68

85,56 99,46

85,12 97,73

67,95 98,28 8,30 77,96

67,03 98,92 7,55 82,75

72,01 98,33 7,41 87,38

38,09

32,81

42,95

LAMPIRAN

| 147

Lampiran 8 Jangkauan rambatan pasut dan kondisi salinitas di beberapa sungai di pesisir Kabupaten Subang Nama Sungai S. Poncol S. Batang Kecil S. Kamal S. Mayangan S. Ciasem S. Cipunegara S. Batang Gede

Jarak Jangkauan Pasut ke Arah Hulu Sungai (km) 2,0 2,0–3,5 0,5–1,0 1,5–2,5 1,0 0,5 0,5

Beda Pasut (m) 0,00 0,20 0,50 0,30 0,00 0,50 0,25

Kisaran Salinitas (0/00) 0,20–32,00 0,00–34,00 0,00–30,00 20,0–33,0 0,00–30,00 0,15–0,60 0,15–0,80

Sumber: Puslitbang Pengairan Subang (1985)

Lampiran 9 Karakteristik sedimen daerah pantai di Kabupaten Subang No. 1. 2. 3.

Lokasi

Karakteristik Sedimen Antara S. Ciasem – S. Lanau Kasar dan Poncol Pasir Sedang Antara S. Poncol – S. Lanau Kasar dan Cipunegara Pasir Halus Antara S. Cipunegara – Lanau Sedang dan Genteng Pasir Sedang

Keterangan Berat jenis sedimen berkisar antara 1.7200 – 2.585 Konsentrasi sedimen dalam suspensi berkisar antara 21.6 – 231.8 mg/l

Sumber: Puslitbang Pengairan (1985)

Lampiran 10 Karakteristik sedimen sungai di Kabupaten Subang No. 1. 2.

Lokasi

Karakteristik Sedimen Antara S. Ciasem – S. Lanau Kasar dan Mayangan Pasir Sedang Antara S. Mayangan – S. Lanau Kasar dan Cipunegara Pasir Halus

Sumber: Puslitbang Pengairan (1985)

Keterangan Berat jenis sedimen (Y) : Antara 1.2116 – 2.3704 Berat jenis sedimen (Y) : Antara 1.5165 – 2.8656

148 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 11 Karakteristik konsentrasi sedimen tersuspensi sungai di Kabupaten Subang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Nama Sungai Konsentrasi Sedimen Tersuspensi (mg/l) Ciasem 168,60–264,40 Batang Gede 63,20–160,20 Batang Kecil 33,10–67,60 Kamal 33,40–82,90 Poncol 26,10–61,10 Mayangan 44,80–64,50 Cipunegara 112,40–181

Keterangan

Sumber: Puslitbang Pengairan (1985)

Lampiran 12 Hasil perhitungan dengan program CRESS No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Lokasi Muara Sungai Cipunegara Pantai Tanjung Sijan Pantai Mayangan Muara Tanjung Jaya Muara Cipunegara Teluk Sarewang Timur Pantai Legonwetan Teluk Ciasem Barat Teluk Blanakan Pantai Cimalaya Timur

Sumber: DPK Subang (2003)

S (m3/tahun) 135.094 134.470 150.019 83.840 145.749 149.429 38.882 144.523 11.183 101.722

Perbandingan Peta 1989 dan 1999 Abrasi Abrasi Abrasi Akresi Akresi Akresi Akresi Akresi Akresi Akresi

LAMPIRAN

| 149

Lampiran 13 Analisis kualitas air perairan laut Kabupaten Subang No.

Parameter

Satuan Tambak Jayamukti

I 1 2 II 1 2 3 4

FISIKA Kekeruhan Total Suspensi Solid (TSS) KIMIA Amonia (NH3+NH4) Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Ortho Phosphat

Stasiun Pengamatan Tambak Pondok Mayangan Bali

NTU mg/l

1,6 7

8,5 24

mg/l mg/l mg/l mg/l

0,110 0,002 0,072 0,004

0,132 <0,001 0,081 0,003

30 48 0,050 0,004 0,004 0,074 0,002

Laut Blanakan

8,0 22 0,068 0,002 0,059 0,003

Sumber: DPK Subang (2003)

Lampiran 14 Analisis sedimen pantai di Kabupaten Subang No.

1 2

Stasiun Pengamatan

Tambak Jaya Mukti Delta Truntung

Parameter C Organik (mg/kg) Tekstur (%) Pasir Liat Debu 112,40 0,28 49,10 50,62 25,75 85,34 0,46 14,20

Sumber: Data Hasil Pengamatan (2003_

Lampiran 15 Analisis kualitas air perairan (air tawar) Kabupaten Subang No.

I 1 2 II 1

Parameter

FISIKA Kekeruhan Total Suspensi Solid (TSS) KIMIA Amonia (NH3+NH4)

Satuan

Stasiun Pengamatan Kolam Kolam Situ Delta Kolam Sumur Cijambe Citapea Truntung Tanjung Gintung Siang Pagaden

NTU mg/l

3,8 12

0,7 4

53 368

7,2 18

1,9 8

mg/l

0,023

0,045

0,315

0,214

0,045

150 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 15 Analisis kualitas air perairan (air tawar) Kabupaten Subang (Lanjutan) No.

2 3 4

Parameter

Satuan

Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3 – N) Ortho Phosphat

mg/l mg/l mg/l

Stasiun Pengamatan Kolam Kolam Situ Delta Kolam Sumur Cijambe Citapea Truntung Tanjung Gintung Siang Pagaden 0,102 0,077 0,008 0,162 0,018 0,327 1,122 0,048 0,535 0,183 0,023 0,023 0,006 0,004 0,003

Sumber : DPK Subang (2003)

Lampiran 16 Satuan wilayah sungai (SWS) berdasarkan daerah pengaliran sungai (DPS) di wilayah Kabupaten Subang DPS SWS Citarum 1. Sungai Citarum 2. Kali Bekasi SWS Cimanuk 1. Sungai Cimanuk 2. Sungai Cimalayan 3. Sungai Ciasem 4. Sungai Cipunegara 5. Sungai Cilalanang Sumber : Bapeda Subang (2001)

Luas DPS (Ha)

Potensi Air (Juta m3/tahun)

658.500 144.200

13.000 2.500

316.100 149.200 87.100 149.300 156.800

4.000 1.888 1.102 1.889 1.984

LAMPIRAN

| 151

Lampiran 17 Perkembangan produksi (ton) per jenis ikan di Kabupaten Subang tahun 1996–2001 No.

Jenis Ikan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Pepetek Manyung Bambangan Kakap Tigawaja Cucut Pari Bawal Hitam Bawal Putih Layang Selar Belanak Kuro Julung-julung Teri Tembang Lemuru Kembung Teng Papan Tenggiri Layur Cakalang Tongkol Ikan Lainnya Jerbung Putih Udang Dogol Udang Lain Rajungan Kerang Darah Cumi-cumi Jumlah

Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 576,3 459,8 598,5 620,9 491,7 277,6 688 619,3 540,6 513,6 1158,3 1005,4 582,3 541,8 592,8 540,3 148,8 247,7 50,2 76,4 77,3 73,8 33,6 774,6 642,0 649,1 625,1 601,6 470,8 521,5 456,6 474,1 508,3 558,9 310,1 150,9 431,8 286,0 416 320,8 306,6 234,2 267,6 216,3 608,2 1070 139,4 158,6 189,0 130,2 154,2 170 352,4 616 508,4 76,8 697,1 589,6 597,6 1259 665,5 691,4 777,7 667,8 915,4 611,1 594,5 591,7 388,9 298 190,4 89,9 264,6 165,5 671,5 723,5 108,9 234,2 101,1 77,3 172,1 110 225,2 124,8 1620 1364 1291,2 1110,2 1475,6 2049 358,3 384,5 263,8 184,3 608,5 567,6 716,8 696,4 599,9 822 369,6 403,2 332,0 375,1 511,9 550,2 361,1 550,3 491,3 504,0 529,9 559,3 426 166,5 198,7 114,1 184,7 127 0 0 0 0 0 0 930,3 1123,6 762,7 812,7 550,3 481,9 1101,7 600,4 464,7 501,7 919,6 965,8 366,7 282,4 255,0 231,9 331,3 331,5 532,7 715,6 628,4 708,1 411,6 409,6 566 507,2 485,2 708,1 54,2 90,1 762,7 712,7 1050,3 1384,3 1491 1552,4 1380 1204,2 22,3 69,5 72 97,0 34,1 29,7 14.182,5 14.675,7 13.632,9 13.103,2 13.574,7 14.070,7

Sumber: Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat dan Data Olahan FPIK – IPB (1999); Dinas Perikanan Kabupaten Subang (1999) dan (2001)

152 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 18 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kabupaten Subang tahun 1994–2001 Tahun

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Perahu Tanpa Motor 105 96 90 60 55 45 40

Armada Perahu Kapal Motor (GT) Motor Sub-jml 0-5 Tempel 506 4 4 519 5 5 540 5 5 535 5 5 500 5 5 508 5 5 520 5 5 Rata-rata Pertumbuhan (%)

Jumlah

Pertumbuhan (%)

615 620 635 600 560 536 567

0,8 2,4 -5,5 -6,7 -4,3 5,5 -1,3

Sumber: Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat 1995 – 1996b; Dinas Perikanan Kabupaten Subang 1999 -2000

Lampiran 19 Perkembangan alat tangkap ikan di Kabupaten Subang tahun 1998–2001 No.

Jenis Alat Tangkap

1998

1999

2000

2001

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Payang Dogol Pukat Pantai Jaring Insang Hanyut Jaring Klitik Jaring Insang Tetap Pancing yang lain Alat Pengumpul Kerang Lain-lain Jumlah Pertumbuhan (%)

45 88 69 85 89 71 91 44 582 -

45 70 112 131 160 100 100 35 753 22,71

47 62 74 117 135 165 100 100 35 835 9,82

50 65 77 120 140 165 100 100 35 852 2,00

Sumber: DPK Subang (2003)

Rataan Pertumbuhan (%) 3,42 150 -3,72 15,05 13,88 15,20 9,67 3,00 -6,82 11,51 11,51

LAMPIRAN

| 153

Lampiran 20 Produksi perikanan tangkap di laut (C), upaya penangkapan (E) dan hasil tangkapan per upaya (CPUE) di Kabupaten Subang Tahun

Kegiatan Penangkapan Ikan di Laut Produksi (ton) Upaya (trip) CPUE(ton/trip) 13.103 111.214 0,11781790 13.574 183.686 0,07389785 13.103 116.052 0,11290628 13.574 142.198 0,09545845 14.070 299.922 0,04691220

1997 1998 1999 2000 2001 Sumber: DPK Subang (2003)

Lampiran 21 Luas areal tambak menurut status tanah (ha) di Kabupaten Subang tahun 2004 No.

Kecamatan

1

Blanakan

2

Legonkulon

3

Pamanukan

Desa Tanjungtiga Langensari Blanakan Jayamukti Muara Rawameneng Jumlah Pangerengan Legonwetan Mayangan Legonkulon Tegalurung Anggasari Jumlah Sukamaju Batangsari Jumlah

Tanah Milik 134,0 114,0 77,5 165,5 120,0 7,0 662,0 42,5 205,0 120,0 90,3 369,7 52,3 906,8 26,0 80,0 106,0

Tanah Timbul 222,0 114,0 155,6 243,6 112,1 25,4 873,0 250,0 200,0 200,0 100,0 750,0 15,0 30,0 45,0

Tanah Kehutanan 431,0 171,0 215,0 318,5 124,0 101,0 1.360,5 703,3 217,0 376,1 185,2 827,4 2.309,0 213,0 265,1 478,1

Jumlah 787,0 399,0 448,1 727,6 356,1 133,4 2.855,5 995,8 622,0 486,1 90,3 781,9 979,7 3.965,8 254,0 375,1 629,1

154 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 21 Luas areal tambak menurut status tanah (ha) di Kabupaten Subang tahun 2004 (Lanjutan) No.

Kecamatan

Desa

4

Pusakanagara

Patimban Jumlah

Jumlah total Persentase

Tanah Milik 527,6 527,6 2.162,4 26,2

Tanah Timbul 212,8 212,8 1.880,8 22,8

Tanah Kehutanan 63,5 63,5 4.211,1 51,0

Jumlah 803,9 803,9 8.254,3 100,0

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Subang, 2002

Lampiran 22 Perkembangan produksi ikan hasil tambak No.

1 2 3 4 5 6 7 8

Jenis Ikan

Mujair/Nila Bandeng Belanak Kakap Ikan Lainnya Udang Windu Udang Putih Udang Api-api Jumlah

Produksi (Ton) 1998 1999

2.734,1 700,8 250,4 67,5 146,7 419,3 301,1 1.589,0 6.308,9

2.418,1 647,2 272 425,7 153,6 1.707,8 820,1 374,2 6.819,0

2000

2.188,3 1.250,5 544,0 679,0 250,1 759,1 456,3 125,1 6.252,4

2001

1.511 1.725,1 413,9 427,8 268,3 1.719,7 715,8 357,9 7.158,3

Perkembangan (%)

11,0 31,3 11,4 210,7 19,3 99,9 61,6 14,3 4,0

Sumber: DPK Subang (2003)

Lampiran 23 Hasil produksi pengolahan ikan tahun 20002001 (ton) No. Jenis Pengolahan 1 2 3 4

2001 2000 Berat Basah Berat Olahan Berat Basah Berat Olahan Dikonsumsi Segar 88,542 66,838 Pengeringan/garam 51,948 32,253 52,057 32,193 Pemindangan 17,649 15,329 15,057 13,116 Terasi 2,239 2,270 1,771 1,676 Jumlah 140,707 49,852 135,747 46,335

Sumber: DPK Subang (2003)

LAMPIRAN

| 155

Lampiran 24 Lokasi pangkalan pendaratan ikan (PPI) dan tipe pelabuhan di Kabupaten Subang No. 1 2 3 4 5 6 7

Nama PPI Genteng Patimban Mayangan Muara Ciasem Blanakan Cilamaya Girang Cirewang

Type D D C B A D D

Alamat Ds. Patimban Kec. Pusakanegara Ds. Patimban Kec. Pusakanegara Ds. Mayangan Kec. Legonkulon Ds. Muara Ciasem Kec. Blanakan Ds. Blanakan Kec. Blanakan Ds. Cilamaya Girang Kec. Blanakan Ds. Pangarengan Kec. Legonkulon

Sumber: DPK Subang (2003)

Lampiran 25 Keadaan tempat pelelangan ikan (TPI) di Kabupaten Subang tahun 2001 No.

Nama TPI

1 2

Blanakan Muara Ciasem

3

Cilamaya Girang

4

Mayangan

5

Patimban

6

Cirewang

Sumber: DPK Subang (2001)

Alamat Ds. Blanakan Kec. Blanakan Ds. Muara Ciasem Kec. Legonkulon Ds. Cilamaya Girang Kec. Blanakan Ds. Mayangan Kec. Legonkulon Ds. Patimban Kec. Pusakanegara Ds. Pangarengan Kec. Legonkulon

Kondisi

KUD Mina

Baik Baik

Pengelola TPI Inti Fajar Sidik Mina Bahari

Baik Baik

Mina Jaya Laksana Saluyu Mulya

Baik

Misaya Guna

Baik

Sinar Agung

156 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 26 Keadaan tempat pelelangan ikan hasil tambak (TPIHT) di Kabupaten Subang tahun 2001 No. 1 2 3 4 5 6 7 8

Nama TPI Mina Laksana Karya Mukti Karya Bhakti Tambak Jaya Subur Jaya Karya Laksana Karya Bhukti Sejati Karya Baru

Alamat Ds. Anggasari Kec.. Legonkulon Ds. Blanakan Kec. Blanakan Ds. Muara Ciasem Kec. Blanakan Ds. Tanjungtiga Kec. Blanakan Ds. Pangaerangan Kec. Legonkulon Ds. Tegalurung Kec. Legonkulon Ds. Jayamukti Kec. Blanakan Ds. Rawameneng Kec. Blanakan

Kondisi Baik Baik Sedang Baik Baik Baik Baik Baik

Sumber: DPK Subang (2001)

Lampiran 27 Perkembangan jumlah RTP dan RTBP di wilayah pesisir Kabupaten Subang tahun 2001 Tahun

1998 1999 2000 2001 Jumlah Rata-rata

Laut

Tambak

RTP

RTBP

535 530 540 544 2.153 537

2.391 2.380 2.400 2.450 9.621 2.405

Sumber: DPK Subang (2001)

Rawa

Jumlah

Pertum buhan RTP RTBP RTP RTBP RTP RTBP (%) 2.448 4.909 175 189 3.158 7.489 2.460 4.915 183 195 3.173 7.490 0,15 2.660 5.015 230 250 3.430 7.665 3,89 2.700 5.050 235 255 3.479 7.755 1,24 10.268 19.889 823 889 13.240 30.399 5,28 2.572 4.972 201 222 3.310 7.600 1,76

LAMPIRAN

| 157

Lampiran 28 Jumlah, kontribusi sektor, dan pertumbuhan PDRB Kabupaten Subang tahun 2003 atas dasar harga konstan 1993 No.

Sektor/Sub Sektor

1

Pertanian a. Tanaman pangan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan/konstruksi Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa Jumlah

2

3 4 5 6 7 8 9

Jumlah (juta rupiah) 743.654 608.135 70.913 29.000 464 35.141 11.876 94.280 21.157 70.708 612.403 71.767 31.877 298.591 1.956.312

Kontribusi Pertumbuhan (%) (%) 38,01 1,65 31,09 -1,16 3,62 24,20 1,48 20,74 0,02 1,01 1,80 1,19 0,61 20,20 4,82 1,56 1,08 12,00 3,61 4,00 31,30 6,55 3,67 7,68 1,63 6,92 15,26 100,00

7,69 4,63

Sumber: BPS Kabupaten Subang (2003)

Lampiran 29 Keadaan ketenagakerjaan dan kemiskinan penduduk Kabupaten Subang dan Provinsi Jawa Barat tahun 2002 Indikator Tingkat partisipasi angkatan kerja Pengangguran terbuka (%) Tenaga kerja yang bekerja <14 jam per minggu (%) Tenaga kerja yang bekerja < 35 jam per minggu (%) Pekerja pada sektor informal (%) Total pengeluaran per kapita (ribu rupiah/bulan) Pengeluaran untuk makanan per kapita (% dari total)

Subang 63,7 9,7 8,42 42,49 80,4 165,9 68,1

Jawa Barat 64,0 12,9 7,31 31,84 59,0 195,9 60,6

158 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 29 Keadaan ketenagakerjaan dan kemiskinan penduduk Kabupaten Subang dan Provinsi Jawa Barat tahun 2002 (Lanjutan) Indikator Garis kemiskinan (rupiah per kapita per bulan) Angka kemiskinan masyarakat miskin (ribu) Tingkat kemiskinan

Subang 113.611 224,3 16,6

Jawa Barat 112.389 4.938,2 13,4

Sumber: National human development report 2004

Lampiran 30 Persentase pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok makanan dan kelompok bukan makanan di Kabupaten Subang Kelompok Makanan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan jadi Minuman beralkohol Tembakau dan sirih Jumlah Sumber: Susenas (2003)

Persentase 22,42 1,27 6,18 4,66 4,92 5,04 4,31 4,09 3,45 3,29 2,94 1,98 16,85 0,00 18,60 100,00

Kelompok bukan makanan Perumahan, bahan bakar, penerangan

Persentase 57,08

Aneka barang dan jasa Biaya pendidikan Biaya kesehatan Pakaian, alas kaki, dan tutup kepala

8,97 6,49 4,90 14,29

Barang-barang tahan lama Pajak pemakaian dan premi asuransi

4,12 2,18

Keperluan pesta dan upacara keagamaan

1,97

100,00

LAMPIRAN

| 159

Lampiran 31 Presentase pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok bukan makanan, di Kabupaten Subang tahun 2000-2003 Jenis Komoditi Perumahan bahan bakar, penerangan Aneka barang dan jasa Biaya pendidikan Biaya kesehatan Pakaian, alas kaki dan tutup kepala Barang-barang tahan lama Pajak pemakaian dan premi asuransi Keperluan pesta dan upacara keagamaan Jumlah

2000 51,47 8,45 6,52 4,68 18,88 3,97 3,72 2,31 100,00

Tahun 2001 2002 48,57 54,21 8,08 9,86 5,19 4,82 8,75 5,36 18,04 15,28 6,68 6,26 2,41 2,02 2,28 2,19 100,00 100,00

2003 57,08 9,97 6,49 4,90 14,29 4,12 2,18 1,97 100,00

Sumber: Susenas (2003)

Lampiran 32 Gini rasio Kabupaten Subang, beberapa kabupaten di Jawa Barat dan Propinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 Kabupaten Subang Purwakarta Karawang Indramayu Jawa Barat

2000 0,171 0,190 0,194 0,197 0,245

Sumber: BPS, Susenas (2003)

200 0,183 0,181 0,184 0,180 0,235

2002 0,153 0,152 0,167 0,166 0,201

2003 0,148 0,151 0,165 0,164 0,189

160 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 33 Desa/kelurahan yang mempunyai lembaga keuangan di Kabupaten Subang No

Lembaga Keuangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat Koperasi Unit Desa (KUD) Kopinkra Koperasi Simpan Pinjam Koperasi Pondok Pesantren Koperasi tahu tempe Koperasi non KUD lainnya

Desa/Kelurahan Jumlah Persen *) 38 15,2 42 16,8 65 26,0 9 3,6 130 52,0 30 12,0 6 2,4 99 39,6

Sumber: BPS Kabupaten Subang Pendataan Podes SP2000 *) Persentase terhadap total desa/kelurahan di kabupaten Subang

Lampiran 34 Data desa pesisir di Provinsi Jawa Barat tahun 2004 Kabupaten

Jumlah Penduduk

Sukabumi 239.826 Cianjur 109.421 Garut 93.318 Tasikmalaya 58.750 Ciamis 86.892 Cirebon 188.049 Kota Cirebon 64.995 Indramayu 255.345 Subang 88.643 Karawang 106.018 Bekasi 97.092 Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Rata-rata PHI Provinsi

Jumlah KK 66.748 25.201 25.330 17.602 26.004 66.032 15.372 68.083 25.537 30.497 24.198

Jumlah Desa Pesisir 28 16 20 14 20 41 6 45 16 22 12

PHI

0,2444 0,4087 0,3688 0,2372 0,2020 0,3119 0,3467 0,2682 0,1589 0,2372 0,2078

Sumber: Kompilasi data BPD hasil sensus tahun 2002 dan data smeru 2004

Jumlah Penduduk Miskin 58.613 44.720 34.416 13.936 17.552 58.652 22.534 68.484 14.085 25.147 20.176 378.316 0,2720

LAMPIRAN

| 161

Lampiran 35 Skor kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Subang Stakeholder

Kepentingan

Pengaruh

Departemen Kelautan dan Perikanan Kementerian Lingkungan Hidup Bappeda Provinsi Jawa Barat Perhutani Subang LSM (Walhi dan LPP Mangrove) Peneliti (IPB) Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Subang BPLHD Subang Dinas Tata Ruang Kab. Subang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Subang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Subang

1,80 1,60 1,40 2,60 1,20 1,20 2,60 3,20 1,80 2,80 2,40

3,20 3,00 3,20 2,40 2,20 1,40 3,80 3,40 3,80 3,20 3,20

Bapeda Subang DPRD Subang Camat Koperasi dan lembaga keuangan mikro Industri kecil dan pengolahan Pedagang dan sektor informal lainnya Nelayan dan petani tambak Masyarakat lokal Wisatawan LSM Pantura Organisasi sosial (paguyuban, karang taruna)

4,00 3,60 3,40 3,80 2,80 3,60 4,40 4,40 4,20 3,60 1,40

4,20 3,20 2,00 2,40 1,20 1,00 1,00 1,80 1,40 2,80 2,20

Sumber: Hasil analisis (2004)

162 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

Lampiran 36 Hasil analisis AHP 1. Hasil judgement Bappeda Kabupaten Subang

2. Hasil judgement Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang

3. Hasil judgement Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang

LAMPIRAN

4. Hasil judgement BPLHD Kabupaten Subang

5. Hasil judgement Perum Perhutani

6. Hasil judgement pengusaha perikanan

| 163

164 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI 7. Hasil judgement pengusaha pariwisata

8. Hasil judgement industri kecil

9. Hasil judgement koperasi mina bahari

LAMPIRAN

10. Hasil judgement DPRD Kabupaten Subang

11. Hasil judgement kepala desa

12. Hasil judgement LSM lokal

| 165

166 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI 13. Hasil judgement kelompok tani

14. Hasil judgement peneliti

LAMPIRAN

KUESIONER PENENTUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

| 167

168 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI IDENTITAS RESPONDEN

Nama

: ________________________________________

Pekerjaan / Instansi

: ________________________________________

Jabatan

: ________________________________________

Telp/Hp

: ________________________________________

Tanggal

: ________________________________________

Yth. Para STAKEHOLDER Masing-masing di tempat Sejalan dengan semangat otonomi daerah dan penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan, penentuan kebijakan perlu memerhatikan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial dengan melibatkan partisipasi semua stakeholder mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pengawasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep tersebut sangat efektif dalam menentukan kebijakan pembangunan wilayah secara berkelanjutan sehingga kami berupaya menerapkannya dalam penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir. Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan partisipasi Bapak untuk mengisi kuesioner ini sesuai dengan pandangan dan kondisi apa adanya. Kuesioner ini merupakan salah satu instrumen untuk menentukan kriteria pengelolaan wilayah pesisir yang selanjutnya digunakan dalam menentukan alternatif kebijakan pembangunan wilayah pesisir.

LAMPIRAN

| 169

STAKEHOLDER dalah kelompok/individu yang memiliki pengaruh dan kepentingan terhadap pembangunan wilayah pesisir Subang WILAYAH PESISIR Kabupaten Subang mencakup 4 wilayah kecamatan yang secara geografis memiliki wilayah pesisir dan laut yakni Pamanukan, Pusakanagara, Legonkulon, dan Blanakan. Wilayah pesisir dan laut meliputi wilayah permukiman dan pemanfaatan lainnya, pantai, kawasan budi daya, kawasan mangrove, dan ke arah laut hingga perairan Laut Jawa.

Terima kasih atas partisipasi Bapak, semoga pesisir Subang maju dan lestari

170 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

KUESIONER PENENTUAN KRITERIA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN SUBANG

Semua pertanyaan berikut berkaitan dengan wilayah pesisir Kabupaten Subang. Mohon dijawab sesuai dengan persepsi dan berdasarkan kondisi yang bapak ketahui! 1. Hal apa yang paling sering bapak dengar dari masyarakat tentang wilayah pesisir dan laut Kabupaten Subang?

…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………………………………………………



Apakah bapak setuju dengan hal tersebut? (ya / tidak)

2. Apa isu ekonomi yang paling penting bagi bapak?

…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………



Mengapa hal tersebut menjadi issu ekonomi yang paling penting?



…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………………………………………………

3. Apa isu sosial yang paling penting bagi bapak?

…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………

LAMPIRAN

| 171



Mengapa hal tersebut menjadi isu sosial yang paling penting?



…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………………………………………………



…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………

4. Apa isu lingkungan yang paling penting bagi bapak?

…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………



Mengapa hal tersebut menjadi isu lingkungan yang paling penting?



…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ….......................................................................………………................. .................................................................................................................... ...................

5. Dari semua isu tersebut, mana issu yang paling tinggi pengaruhnya terhadap bapak? (ekonomi / sosial / lingkungan)

Mengapa?



………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………



………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………

6. Jika bapak memiliki kekuasaan atau kemampuan dana untuk mengembangkan hanya satu hal pada wilayah pesisir Kabupaten Subang, bagaimana cara agar hal tersebut dapat terwujud?

172 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI

…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………….………………………………………………………… ………………………………………………………



…………………………………………………………………………… ………………………….……………………………………………… ……………………………

7. Dalam kaitan dengan kegiatan/usaha bapak di wilayah pesisir Kabupaten Subang, hal apa saja yang sangat bapak butuhkan? 1.

………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………….……………………………………………… …………………………………………………

2.

………………………………………………………………………………………………… …….…………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………

3.

…………………………………………………………………………………………….…… ……………………………………………………………………………………….………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………

4.

…………………………………………………………………………………………….…… ……………………………………………………………………………………….………… ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………

TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI BAPAK, SEMOGA PESISIR SUBANG MAJU DAN LESTARI

LAMPIRAN

| 173

KUESIONER PENENTUAN STAKEHOLDER PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN SUBANG

Yth. Para STAKEHOLDER Kami telah melakukan identifikasi terhadap stakeholder yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir subang. Mohon bantuan bapak untuk menentukan apakah stakeholder ini sudah tepat atau masih kurang! (lihat tabel) Dari semua kelompok stakeholder tersebut, terdapat nama instansi/usaha bapak. Mohon jelaskan apa saja KEPENTINGAN bapak di wilayah pesisir Subang! 1.

………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………



………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………

2.

………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………

3.

………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………

TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI BAPAK SEMOGA PESISIR SUBANG MAJU DAN LESTARI

174 | ANALISIS TRADE-OFF KONSEP DAN APLIKASI Daftar Stakeholder Potensial Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Subang Tingkat

Pemerintah

Pengusaha

Lsm dan Tokoh Masyarakat

Peneliti

NASIONAL

REGIONAL

LOKAL

Mohon ditambahkan nama individu/badan usaha/instansi yang belum tercantum sebagai stakeholder

LAMPIRAN

| 175

FORMAT PENENTUAN STAKEHOLDER Stakeholder yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir Subang: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Stakeholder Direktorat Konservasi DKP Perhutani Bappeda Dinas Kelautan dan Perikanan BPLH DKP Subang BPLH Subang Dinas Perhubungan Subang Dinas Tata Ruang subang Perhutani Subang Dishutbun Subang SubDinas Pariwisata Subang Bappeda Subang Camat Pamanukan Camat Pusakanagara Camat Legonkulon Camat Blanakan KUD Mina Bahari KUD Fajar KUD PT Matahari LSM Pantura AKKI LPP Mangrove Walhi Unwim UNPAD IPB

Interest Kunci

Kepentingan

Pengaruh

Penulis

Suaedi lahir di Suli, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan pada 31 Desember 1969. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (1983), Madrasah Tsanawiyah (1986), dan Sekolah Menengah Atas (1989) di Kabupaten Luwu. Menyelesaikan pendidikan Diploma Dua (1991) dan Sarjana (1993) pada jurusan pendidikan matematika di IKIP Ujungpandang (sekarang UNM). Menyelesaikan pendidikan Magister pada program studi ilmu ekonomi sumber daya di Universitas Hasanudin (2000), serta menyelesaikan pendidikan Doktor pada program studi ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Buku yang telah ditulis, di antaranya Metode Kuantitatif untuk Analisis Kebijakan (2013), Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (2006), Pendekatan Sistem dan Perencanaan Pengembangan Wilayah (editor) (2010). Karya ilmiah yang dipublikasikan, yaitu Penerapan analisis stakeholder dalam perencanaan pembangunan secara partisipatif (Jurnal Studi Pembangunan: Interdisiplin, Vol. XVIII No.1 2006); Analisis trade-off untuk pengambilan keputusan partisipatif (Jurnal Edukasi Vol. 5 [1] 2004); Pendekatan stakeholder dalam desain kebijakan pembangunan (Jurnal Edukasi Vol. 4 [2] 2003); Penerapan konsep keseimbangan bahan dalam sistem pengelolaan lingkungan: (Jurnal Edukasi Vol.2 [2] 2001); Model pertumbuhan penduduk Kota Makassar: pendekatan sistem dinamik (Jurnal Edukasi Vol. 1 [2] 2000). Penelitian yang pernah dilakukan antara lain: kajian peluang investasi komoditas perdagangan strategis di Kabupaten Pacitan, desain kebijakan pengelolaan DAS Cidanau Kabupaten Serang yang berkelanjutan, advisory pengembangan kawasan agropolitan pasca tiga tahun fasilitasi, pengembangan ekonomi kawasan andalan dalam mendukung pembangunan nasional, penyusunan kebijakan spasial untuk acuan dan pengendalian pembangunan nasional, kajian kelembagaan lingkungan hidup pusat serta pengendalian dampak lingkungan di masa mendatang, penyusunan management plan kawasan konservasi laut Pulau Kakaban dan sekitarnya.

View publication stats