Tumbuhan Obat Indonesia THE JOURNAL ON INDONESIAN MEDICINAL PLANTS VOLUME 3
1996
NOMOR 1
EFEK IMUNOMODULATOR DARI TUMBUHAN OBAT Su~owo
(FAKULTAS KEDOKTERAN, Universitas Padjadjaran. Bandung) PENDAHULUAN ElAK jaman Paul Ehrlich (1854 - 1915) dan K. Landsteiner (1868-1943). para ilmuwan mempelajari aspek imunokimia dan biologi dari suatu respons imun dengan suatu keinginan untuk mencari jawaban tentang masalah yang selalu membayangi mereka. Masalah tersebut yaitu: bagaimana cara agar orang dapat mengendalikan respons imun dalam tubuh (1). Walaupun pada awalnya orang sangat berminat akan hal tersebut karena dorongan ingin mengungkapkan mekanisme penolakan jaringan cangkok, nanun kini minat akan kajian tentang imunosupresi dan imunopotensi lebih dipusatkan untuk memperolah gambaran yang lebih jelas tentang mekanisme yang bekeja pada sistem imun. Untuk mernahami apa dan bagaimana mekanisme respons itu. lebih dahulu perlu diketahui dan dipahami mengenai konsep-konsep, modem dalam imunologi itu sendiri, sebab imunologi bukanlah sekedar ilmu yang mempelajari kekebalan tubuh terhadap infeksi mikroorganisme saja, namun juga mempakan ilmu yang mencakup wawasan yang lebih has. Walaupun demikian kita tidak dapat mengabaikan sejarah perkembangan imunologi itu sendiri, oleh karena pada awal kelahirannya orang mernang memusatkan perhatiannya untuk mengatasi infeksi, sehingga usaha tersebut sangat berkaitan dengan apa yang disebut imunitas. Pada masa kini, orang memberikan batasan tentang imunitas bukan lagi mengenai kekebalan sematamata, melainkan mencakup selumh mekanisme faali pada hewan dan manusia untuk mampu mengenal bahan yang terpapar kepada tubuh sebagai benda asing terhadap dirinya dan kemudian menanggapinya Tanggapan itulah yang disebut sebagai respons imun, sedang tanggapan itu sendiri tidak selalu memberikan keuntungan dan perlindungan tubuh, namun sebaliknya dapat pula memgkan sebagai antigen atau imunogen (2). Imunogen dapat bempa sebagai organisme hidup seperti virus, bakteri, jamur, cacing dan sebagainya, ataupun sebagai molekul protein, lipid atau karbohidrat. Apapun bentuk atau konfigurasi antigen tersebut, apabila tubuh atau sistem imun mengenal sebagai asing. maka terbangkitlah respons imun. Seperti diungkapkan di atas, respons imun itu sendiri tidak selalu melindungi tubuh terhadap serbuan antigen. Sehingga timbulah masalah: bagaimana cara mengendalikan respons imun agar dapat menguntungkan tubuh. Masalah ini dapat diperluas. misalnya: apakah kualitas dan intensitas respons imun dapat dimodulasikan. Bahan apakah yang dapat bertindak sebagai modulator. Tujuan makalah ini yakni membahas masalah telrsebut, khususnya dikaitkan dengiui tumbuhan obat.
S
1RESPONS IMUN
"-----ncspurlr : Imun dalam pengertian modem dapat dipisahkan menjadi: Respons lmun Alamiah yang bersifat tidak spesifik dan Respons lmun Adaptif yang bersifat spesifik. Respons imun kategori pertama
disebut alamiah, oleh karena kemampuan respons imun tersebut sudah terdapat pada hewan tingkat rendah dan secara evolusioner tetap dipertahankan pada hewan tingkat tinggi dan manusia. Sifat ini berbeda dengan respons imun adaptif, oleh karena respons imun ini h m s menyesuaikan terhadap antigen yang dipaparkan kepada tubuh. Oleh sebab itulah respons ini sangat spesifik terhadap masing-masing antigennya. Dalam perkembangan evolusi sistem imun, respons imun adaptif bam timbul kemudian sesudah adanya kemampuan respons imun alamiah. Mekanismenya lebih rumit dan canggih kalau dibandingkan dengan respons imun alami. Walaupun demikian dalam kenyataannya, kedua jenis respons imun tersebut saling membantu dan terkait membentuk suatu jaringan sistem yang mmit. Respons imun pertama yang berlangsung apabila tubuh menghadapi konfigurasi yang dikenal asing, biasanya dalam bentuk alamiah yang bersifat non spesifik dengan mekanisme yang bersifat stereotifik. Biasanya apabila respons imun ini tidak berhasil dalam mengatasi antigen bersangkutan, maka bekejalah respons imun spesifik yang akan melengkapi respons imun terhadap antigen yang terpapar kepada tubuh. Mekanisme.efektor yang bekeja pada kedua jenis respons imun dapat berbentuk Humoral dan Seluler.
.
,,.GATURAN RESPONS IMUN
Di dalam proses respons imun tejadilah serangkaian proses seluler yang dimulai dengan pengenalan melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel-sel yang terlibat. Pada proses tersebut, sel-sel tertentu menghasilkan berbagai jenis substansi yang dinamakan Mediator. Mediator ini biasanya dinamakan juga sebagai Sitokin (3). Dalam proses tersebut bekeja berbagai sitokin yang saling berinteraksi. Apabila mekanisme pengaturan tersebut mempunyai efek menghambat respons imun, maka dikatakan bahwa mekanisme pengaturan negatif. sedang mekanisme pengaturan positif dimaksudkan apabila memberikan efek mendorong respons imun. Gangguan pada sistem pengaturan ini dapat mengakibatkan manifestasi gejala penyakit. Contoh paling menonjol, misalnya tejadinya gejala penyakit AIDS yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang menyerang salah satu jenis komponen regulator pada sistem imun yang dinamakan limfosit T helper. Sel limfosit T helper ini pada umumnya mengatur secara positif pada proses respons imun. Dalam mekanisme pengaturannya, sel T helper ini menghasilkan berbagai sitokin, sehinggga apabila sel ini msak karena infeksi virus HIV, kemampuan pengaturannya akan sangat terganggu. Gangguan ini menyebabkan defisiensi imun dengan akibat bahwa penderita mudah Angalami infeksi, bahkan daiat menderita beberapa jenis tumor tertentu. Sebaliknya, apabila intensitas respons imun terlalu besar karena pengaturan positif atas respons imun, maka gangguan pada sistem imun dapat menyebabkan gejala penyakit otoimup atau jenis penyakit imun lain. Pada penyakit otoimun, sistem imun ~~-
~
Warta Tumbuhan Obat Indonesia terganggu dalam mengenal, sehingga mengenal jaringan tubuhnya sendiri sebagai asing. Berbagai bahan tertentu telah dikenal dapat menginduksi pelepasan sitokin oleh sel-sel dari sistem imun. Misalnya sitokin IL-I (InterleukinI) yang - - diketahui dihmilkan oleh sel makrofag (sel penyaji antigen kepada limfosit T helper), pada percobaan temyata dapat dibangkitkan pelepasannya oleh berba~aibahan tertentu, misalnya: lipopolisakarida (LPS). muiamil d i p e p t i d ( ~ p ~partikel ), urat atau silikat, almunium hidroksid, berbagai mikroorganisme tertentu dan bahkan iradiasi ultraviolet (3). Seb&\nya terdapat pula bahan yang dapat menghambat pelepasan sitokin. Misalnya kortikosteroid yang sangat luns digunakan untuk meredam mdang, sebenamya bekerja menghambat pelepasan IL-l oleh sel-sel makrofag. Prostagladin yang juga mempakan mediator dalam pemdangan bekeja menghambat produksi IL-l (misalnya prostagladin E2). Tetapi sebaliknya leukotrien yang mempakan mediator yang berasal dari membran sel dapat merangsang produksi IL-I. (3). Dengan mengetahui sifat dan efek bahan-bahan yang mempengaruhi sitokin tertentu orang dapat mengaplikasikan untuk pengobatan terhadap beberapa penyakit tertentu. Jelaslah pendekatan pengobatan disini bukan seperti halnya pengobatan dengan antibiotika atau kemoterapika yang mekanismenya bertindak sebagai sebagai efektor. Antibiotika. misalnya akan membunuh mikroorganisme secara langsung, sedang kortikosteroid akan menekan radang melalui hambatan terhadap produksi IL-I. Seperti diungkapkan di atas, IL-l bekerja sebagai regulator sistem imun, sehingga dalam ha1 ini dapat digolongkan sebagai imunomodulator. '
TUMBUHAN OBAT Masyarakat h a s yang menggunakan tumbuhan sebagai obat, bukan saja terbatas di Indonesia, melainkan hampir seluruh masyarakat di dunia seperti: India, Sri Langka, Cina, Korea, Mesir, Afrika dan Eropa. Bahkan sekarang terdapat kecenderungan penelitian tumbuhan obat pada tingkat seluler ataupun molekuler. Mungkin tumbuhan merupakan sumber pertama yang dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat, oleh karena tumbuhan selalu tersedia di lingkungan kehidupan manusia. Bahkan sampai sekarangpun di berbagai bagian dunia tertentu, manusia masih mempertahankan tanaman sebagai sumber obat, seperti di, Cina, Indonesia, Sri Langka, India, Mesir dan lainlainnya. Hal ini mendorong p a n pakar untuk lebih jauh meneliti secara mendalam dan meluas. Tentu saja khasiat tumbuhan obat untuk tubuh dapat bermacammacam mekanisme kerjanya dan khasiatnya. Tumbuhan dapat bekeja pada sistem endokrin (seperti: Paenoiae Radix, Analismatis Rhizoma, Coptidis Rhizoma, Seutellariae Radix) (4), bekeja pada sistem kardiovaskuler (Camellia sinensis, Atropa belladona, Papaver somm~ferum)(5). bekeja pada sistem imunitas (Azadirachta indicu. Asparagus ,faltaca) (6) don sebagainya. Selain bekerja pada sistem tubuh, tumbuhan obat juga dapat bekeja langsung pada mikroorganisme (lateks Jatropha muttifida menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureuy dan E. coli) (7). Tumbuhan obat yang bekeja pada sistem imunitas bukanlah bekerja sebagai efektor yang langsung menghadapi penyebab penyakitnya, seperti halnya antibiotika, melainkan bekeja melalui pengaturan sistem imunitas. Bahan-bahan yang bekerja demikian digolongkan sebagai imunomodulator. Jadi apabila kita mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dengan imunomodulator, maka imunomodulator tersebut tidak akan menghadapi langsung mikroorganismenya, melainkan sistem imunitas akan didorong untuk menghadapi melalui efektor sistem imunitas. Demikian pula halnya apabila dipakai imunomodulator untuk mengatasi kanker, maka sistem imunitas akan didorong untuk menghadapi sel-sel kanker. Kemajuan ilmiah dalam penelitian tumbuhan obat sebagian besar (Labadic 1989) (8) ditujukan untuk mengungkap aspek biologi dan kimiawi tumbuhan tersebut. Dengan mengabaikan pengkajian ilmiah
1996
terhadap data kedokteran tradisional yang berkaitan dengan aspek kimiawi dan ilmu tanamannya, akan mendorong pengetahuan ini makin menjahui sumber yang sangat kaya akan informasi. Pengkajian Ilmiah kedokteran tradisional ditambah dengan keperluan akan pencarian yang lebih terarah terhadap komponen aktif dalam tumbuhtumbuhan, sudah pasti bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan dalam mengeksplorasi pengetahuan tradisional jamu-jamuan yang digunakan oleh suku-suku tertentu. Maka berkembanglah ilmu etnofarmakologi dan etnofarmakognosi yang mencerminkan adanya orientasi kesukuan d a l m eksplorasi ilmiah akan hasil alami yang digunakan secim tradisional. Pendekatan ini akan melibatkan para ahli fannakognosi dalam suatu kerja sama antar ahli dari berbagai disiplin lain, misalnya antropologi, sosiologi kedokteran, ahli bahasa, ahli ilmu pengetahuan alamiah dan tentu saja ahli ilmu kedokteran. Perlu disadari bahwa para ahli farmakognosi yang terlibat dalam penelitian etnofarmakognosi akan terikat dengan pengumpulan data lapangan di samping pengkajian tulisan ilmiah kuno maupun modem yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pengobatan tradisional di masyarakat. Lokasi geografis untuk kerja lapangan pada dasarnya hanya merupakan masalah pilihan saja. Tentu saja dalam pemilihan ini akan dipengmhi oleh faktor lain, seperti ekonomi, politik dan tentu saja faktor ilmiahnya. Di Indonesia, penelitian dasar untuk pengkajian tumbuhan obat, khususnya yang menyangkut tentang imunomodulator masih sangat terbatas. Keputusan untuk memusatkan perhatinn kepada kandungan tumbuh-tumbuhan yang dapat mempengaruhi respons imun, menimbulkan pertanyaan: apakah pada penelitian kedokteran tradisional tersebut terdapat dasar konseptual, seperti misalnya aktiviitas biologiknya. Dengan kata lain: npakah konsep-konsep patogenesis dan metode pengobatan yang dipakai sebagai dasar sistem pengobatan kedokteran tradisional menyajikan suatu pendekatan yang relevan? Hal ini dapat kita simak kedokteran tradisional yang digunakan di India, dan Srilangka. Dalam sistem kedokteran tndisional India dan Srilangka yang tersusun dalam Ayurveda tidak ditemukan istilah-istilah sistem imun atau imunomodulator seperti yang diketemukan dalam kedokteran modern. Seperti juga metode pengobatan tradisional Cina, pendekatan pangobatan tradisional biasanya tidak melalui pendekatan sistem organ, namun menganggap bahwa tubuh sebagai suatu kesatuan fungsional dan struktural atau dapat dikatakan menggunakan pendekatan holistik. Seperti diungkapkan di depan, fungsi utama sistem imun adalah mengenal apa yang dianggap asing dan memusnahkan, sehingga salah satu fungsi sistem imun adalah pertahanan terhadap bahan dari luar tubuh. Namun oleh karena fungsi sistem imun didasarkan pada pengenalan, maka respons imun tidak selalu h m s ditujukan kepada bahan dari luar tubuh, melainkan selama sistem imun mengenalnya sebagai asing, maka walaupun bahan tersebut milik tubuh sendiri akan terjadi pula respons imun. Dalam memfungsikan sistem imun, sistem ini membentuk jalinan dengan sistem komunikmi dalarn tubuh, yaitu sistem endoknn dan sistem s m f . Marilah kita simak beberapa titik persamaan antara Ayurveda dan sistem imun sebagai salah satu bagian dari sistem kedokteran modem. Menurut Ayurveda: penyebab umum dari penyakit, yaitu adanya kontak dengan faktor lingkungan, faktor kejiwaan (misalnya ketidakseimbangan pengenddian diri) dan proses penuaan. Ayurveda menyadari, bahwa proses penuaan tidak dapat dicegah atau dihindari, sedang penyebab kedua, yaitu faktor kejiwaan hanya dapat dihindari dengan cara hidup pola kemurnian dan kebersihan jiwa. Sebaliknya Ayurveda yakin dapat mengatasi penyakit yang disebabkan oleh faktor penyebab pertama, yaitu faktor lingkungan (8). Dibandingkan dengan sistem imun dalam ilmu kedokteran modem, yaitu yang didasarkan pada kemampuan pengenalan teihadap bahan di lingkungannya maka terdapat titik persamaan. Seperti juga ilmu kedokteran modem yang memilahkan jenis penyakit menjadi: penyakit infeksi, penyakit degenerasi, penyakit ketumnan, dan penyakit karena ruda paksa (irauma), tidak semuanya sudah dapat di atasi dengan baik.
3
Volume 3 No. 1
Obat Indonesia
Apabila lebih jauh lagi dikaji dasar filsafati Ayuweda dan konsep modem imunologi, maka akan ditemukan persamaan pula. Dalam konsep imunologi, fungsi imunitas bukan saja untuk pertahanan terhadap paparan dari luar tubuh, melainkan juga ikut terlibat dalam fungsi homeostatis dan surveillance. Homeostatis tidak lain adalah suatu kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara sistem yang ada dalam tubuh. Sedang surveillunce dimaksudkan kemampuan sistem imun untuk meronda atau memantau pembahan yang terjadi pada tubuh sendiri. Berdasarkan konsep filsafat imunologi, maka pendekatan pengobatan melalui sistem imun, yaitu mengembalikan keseimbangan ke kedudukan yang stabil. Pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan konsep Ayuweda yang menyatakan bahwa keadaan kesehatan akan dipertahankan apabila keseimbangan antara lima unsur pokok tubuh ("bhuta": udara, air, tanah, api dan angin), tidak mengalami gangguan. Mencari titik persamaan dasar filsafati dari suatu pendekatan mempunyai arti penting untuk menyelusuri obat asal dari tumbuhan yang telah lama digunakan, agar penelitian dasar khususnya pada aspek efek imunomodulatomya dapat dilakukan lebih terarah dan efisien. Langkah ini akan lebih penting lagi bagi pengembangan obat asal dari tumbuhan yang mempunyai efek imunomodulator yang masih sangat lamban kemajuannya. Hal ini rnerupakan tantangan tersendiri bagi para pakar yang berminat besar dalam pengembangan fitomedika.
dan jenis sediaan ekstrak kasar yang akan dimasukkan dalam program skrining. Karena aktivitas imunomodulator dapat diekspresikan pada sistem imun dalam berbagai faktor yang sangat berbeda, maka dalam tahap program skrining perlu diikutsertakan sejumlah pengukuran laboratorik. Strategi ini dapat memberikan keuntungan terdeteksinya aktivitas imunomodulator secara dini. Berdasarkan penemuan adanya aktivitas immomodulator dalam tahap skrining ini, dapat direncanakan fraksinasi dan pemumian ekstrak kasar sampai dapat dipisahkan satu atau lebih senvawa aktif. Perhatian utama selama ~elaksanaant a h a ~tersebut dituiukan pa& adanya peningkatan terus-minerus aktivitas &dasarkan pertambahan berat. Hal ini memberikan petunjuk adanya penambahan komponen aktifnya. Setelah identifikasi dan analisis s t ~ k t usenyawa r aktifnya, barulah dikaji mekanisme kejanya. Pada tahap pengkajian ini tentu saja perlu diperhatikan masalah spesifitas, selektivitas dan toksisitasnya. Dalam memperhatikan toksisitas perlu dipusatkan pada fungsi normal dari sel-sel yang terlibat dalam respons imun. Untuk mulai program penelitian tumbuhan obat yang mempunyai efek imunomodulator. oleh Labadic (8) . . disarankan memoerhatikan beberapa masalah yang perlu mendapatkan jawabannya, yaitu: 1). Masalah mengenai etnobotani Dalam masalah ini menyangkut menetapkan identitas dari spesies tumbuhan yang dimaksud, baik atas dasar nama daerah maupun atas dasar klasifikasi dan identifikasi ilmiah. Dalam ha1 ini perlu diperhatikan apabila muncul nama yang sama yang tidak jarang berbeda tumbuhannya 2). Masalah etnofarmasi Pettanyaaan ditujukan untuk mendapat jawaban masalah: sifat dan kualitas sediaan jamu tradisional yang berasal dari tumbuhan. Juga perlu diperhatiki mengenai kondiii bahan tumbuhan, bagaimana cara pengumpulannya. cara penyimpanannya, cara ekstraksinya dan bagaimana cara menentukan~dosis kngobaf mnya. 3) ~ a s a l a hetnofannakologi Pertanyaan ditujukan untuk mendapat jau vaban mengenai aktivitaIS biologi dan khasiat pengobatan berdasarkan pendapat masyarakat. 4). Masalah etnomedis Masalah ini meliputi aplikasi obat yang berasal dari tumbuhan yang dikenal untuk pengobatan penyakit. Perlu diperhatikan kondisi patologik atau penyakitnya bedasarkan konsep kedokteran modem yang hendak diobati dengan bahan yang dimaksud. Analisis data yang diperoleh dari lapangan d m tinjauan pustaka akan memberikan bahan untuk menyusun hipotesis yang diperlukan untuk percobaan di laboratorium. Pertanyaan tentang jamu yang dipakai untuk mengobati penyakit dapat diajukan pada para profesional kesehatan, para produsen jamu dan tentu saja kepada para pemakai (8). Tanya jawab tersebut hendaknya meliputi penyakit yang mungkin terkait dengan adanyp gangguan sistem imun atau faktomya, misalnya penyakit kulit, radang. gejala rematik, infeksi, luka, alergi. Perlu diperhatikan pula sediaan jamu yang digunakan untuk "obat kuat", obat perangsang tubuh, obat ringan dan organ. "pembers
PENDEKATAN PENELITIAN TANAMAN OBAT YANG BEREFEI 'OR Di berbagai pusat pe ~ r t di i Indiia, Srilangka, Cina, .. ... Jepang dan Eropa telah dilakukan penyelidikan kandungan bahan yang mempunyai efek imunomodulator dalam tumbuhan, melalui penelitian lapangan maupun penelitian dasar. Labadic (8) mengusukan suatu cara pendekatan dan strategi untuk mendapatkan bahan yang mempunyai efek imunomodulator. Prasyarat yang diajukan oleh Labadic; data yang diperoleh dari pengamatan empirik pada sifat-sifat fannako-medik produk alami, haruslah ditinjau dan dianalisis berdasarkan konsep tradisional yang cocok. Untuk memenuhi persyaratan ini, haruslah dibuat rancangan Ian~gkahpeneli,tian etnofarmakognostik. Menurut para pakar tersebut, d engan ~ pendek:atan dernikian akan lebih mudah mendapatkan peluang me:ncapai perc~lehan: 1) Spesies tanaman yang mendapatkan prioritas untuk diteliti, 2) Jenis sediaan yang mengandung dan memenuhi syarat akan kandungan aktif. 3) Dasar pemilihan uji fannakologi yang lebih cocok, dan 4) Kategori atau sub-kategori farmako-terapetik yang cocok atau indikasi untuk kepentingan medik. Dengan pendekatan tersebut, rnaka dapat ditetapkan strategi untuk memperoleh data yang relevan melalui tahap pengkajian pustaka d an tahap pen gkajian di Ilapangan. Pengkajim i sistem pusatkan pada aspek ko disional me1ngenai tumt~uhanbersmigkutan, ser da jamu . . aan rumbuhan . .. tenenru obar yang pernan a~umrcan penggunaannya ; tertentu atau aktivitas biologiknya Pengkajian di ~utipenilaian pemakaian obat pada saat ini dan peninjaun sistem kedokteran dan peninjauan atas data dalam
.
.
.I
Setelah dilalui tahap laplfngan. maka barulah ditempuh tahap eksperimental tennasuk penelitian di laboratorium dengan memanfaatkan hasil-hasil penyelidikan etnofannakognostik sebagai tuntunan arah penelitian. Karena kegiatan pengkajian aktivitas imunomodulator kandungan bahan obat &lam tumbuhan dan sediaan jamu yang sedang dilaksanakan. maka penelitian ini disebut Imunofannakognosi. Pada kenyataannya spesies tumbuhan yang terpilih pada awalnya diskrin untuk aktivitas imunomodulatomya secara in vitro. Sifat penyediaan jamu secara tradisional yang sedang diselidiki menentukan: bagian tanaman yang akan digunakan, cara dan kondisi pengolahan
PEF Dari uraian di atas dapatlah kita mengembangkan penelitian obat yang mempunyai efek imunomodulator, yang bersumber dari tumbuhan. Namun untuk mendapatkan bahan aktif tersebut dari tumbuhan obat yang pemah digunakan di Indonesia. diperlukan penelitian yang sistematis dan terarah melalui pendekatan dan strategi yang cocok. Penelitian ini akan melibatkan berbagai disiplin ilmu, sehingga kegiatan tersebut memerlukan kerja sama yang dikoordinasikan s e w a baik. Di Indonesia, penelitian tumbuhan obat yang bertujuan mencari bahan yang berefek imunomodulator perlu dimulai dengan sungguhi sungguh dan terencana, oleh karena khazanah tumbuhan obat di