UNNES JOURNAL OF PUBLIC HEALTH

Download menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA adalah rendahnya persepsi kerentanan akan menderita suatu penyakit di kemudian h...

1 downloads 1084 Views 152KB Size
Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

HEALTH BELIEF MODEL DAN KAITANNYA DENGAN KETIDAKPATUHAN TERAPI ANTIRETEROVIRAL PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS Abdul Kharis Sisyahid1 , dan Sofwan Indarjo2 RSUD dr. Ashari Pemalang Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia.

1 2

Info Artikel

Abstrak

Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Januari 2017

Pemberian terapi ARV untuk penderita HIV/AIDS dapat menurunkan angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Ketidakpatuhan pasien HIV/AIDS dalam terapi ARV dapat menyebabkan berhentinya terapi, meningkatkan resiko kematian, menyulitkan evaluasi pelayanan terapi ARV, dan meningkatkan resiko resistensi ARV jika ingin memulai kembali. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA di Kabupaten Pemalang. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi dengan 6 pasien HIV/AIDS yang tercatat tidak patuh menjalani terapi ARV. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan metode triangulasi dan analisis data. Hasil analisis mengungkapkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA adalah rendahnya persepsi kerentanan akan menderita suatu penyakit di kemudian hari, rendahnya persepsi kesakitan informan tentang keparahan penyakit yang diderita, rendahnya persepsi manfaat yang dirasakan oleh sebagian besar informan, dan adanya persepsi hambatan adanya efek samping yang dirasakan, ketiadaan sarana untuk mengakses ARV, dan adanya rasa malu apabila status HIV positifnya diketahui oleh orang lain.

Keywords: ARV Therapy; HIV/AIDS; Non-Adherence; PLHIV.

Abstract Antiretroviral (ARV) therapy for people living with HIV/AIDS (PLHIV) may reduce mortality and improve the quality of life among them. Non-adherence of HIV/AIDS patients in ARV therapy may lead to cease of therapy, increase risk of death, complicate evaluation of ARV services, and increase the risk of ARV resistance if they wish to start over. This study aimed to determine the factors that cause nonadherence to ARV therapy among PLHIV in Pemalang Regency. The research used qualitative method with case study approach. Data collection was conducted through in-depth interviews, observations, and documentation to 6 HIV/ AIDS patients who were listed as non-adherence patient in ARV therapy. Data analysis was done descriptively with triangulation method and data analysis. Results revealed that the factors that cause non-adherence to ARV therapy among PLHIV were lack of vulnerability perception to illness in the future, lack of illness perception among informants about the severity of illness, lack of benefit perception perceived by most informants, and barrier perception of side effects, lack of facilities to access ARV, and pudency that their HIV-positive status was known by others.

© 2017 Universitas Negeri Semarang 

Alamat korespondensi: RSUD dr. M. Ashari Kabupaten Pemalang, Jl. Gatot Subroto No. 41 Bojongbata, Pemalang 52319 E-mail: [email protected]

pISSN 2252-6781 eISSN 2584-7604

Abdul K. Sisyahid & Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

terkena HIV. Dari jumlah tersebut dilaporkan 96 orang telah meninggal dunia, 73 orang sudah menjalani terapi ARV dan 13 orang dilaporkan tidak patuh dalam menjalankan terapi ARV. Penelusuran penyebab mengapa ketigabelas orang tersebut tidak patuh menjalani terapi ARV sangat diperlukan sebagai acuan pencegahan agar hal serupa tidak terjadi pada 73 orang yang saat ini sedang menjalani terapi ARV. Hasil penelusuran penyebab ketidakpatuhan terapi ARV juga dapat dijadikan acuan perbaikan untuk mengupayakan mengembalikan kepatuhan terapi ARV pada ODHA yang saat ini telah tidak patuh menjalani terapi ARV.

PENDAHULUAN HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengancam jiwa sehingga sampai saat ini menjadi perhatian yang cukup serius. HIV sendiri adalah nama virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan sekumpulan gejala yang diakibatkan hilangnya kekebalan tubuh. Ditjen Pengendalian Penyakit (PP) dan Penyehatan Lingkungan (PL) Kemenkes RI melaporkan bahwa kasus HIV di Indonesia secara kumulatif sejak tahun 1987 sampai dengan Bulan September 2014 sebanyak 150.296 jiwa, sedangkan untuk kasus AIDS berjumlah 55.799. Provinsi Jawa Tengah sampai akhir tahun 2015 dilaporkan sebanyak 13.567 kasus dengan rincian HIV sebanyak 7.338 kasus dan AIDS sebanyak 6.229 dan yang meninggal sebanyak 1.234 jiwa. (Bidang P2 Dinkesprov Jateng, 2016) Pelayanan HIV/AIDS di Indonesia diberikan secara gratis termasuk penyediaan terapi Antiretroviral (ARV) oleh pemerintah melalui rumah sakit rujukan ARV. Pemberian terapi ARV untuk penderita HIV/AIDS dapat menekan berkembangnya virus HIV di dalam tubuh. ARV tidak membunuh virus HIV, namun dapat melambatkan pertumbuhan virus HIV sehingga secara signifikan dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA. (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2011) Penelitian di Malawi (daratan Afrika Selatan), didapatkan bahwa pasien yang tergolong sebagai pasien tidak patuh jika mereka tidak hadir selama 3 bulan atau lebih pada sarana pelayanan kesehatan (Kwong Leung, et al, 2007). Kementrian Kesehatan RI dalam Petunjuk Pencatatan dan Pelaporan Pasien HIV/AIDS mendefinisikan ketidakpatuhan sebagai pasien yang tidak datang lagi kefasilitas kesehatan selama 3 bulan atau lebih. Ketidakpatuhan pasien dalam terapi ARV dapat menyebabkan berhentinya terapi, meningkatkan resiko kematian, menyulitkan evaluasi pelayanan terapi ARV dan meningkatkan resiko resistensi ARV jika ingin memulai kembali (Zhou, et al, 2014) Kabupaten Pemalang menempati 5 besar temuan kasus HIV di propinsi jawa tengah di tahun 2015. Angka penderita HIV/AIDS di Kabupaten Pemalang dilaporkan semakin bertambah setiap bulannya seiring terlaksananya progam VCT Mobile dan PITC di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. Sampai akhir tahun dilaporkan sebanyak 231 orang positif

METODE PENELITIAN Fokus penelitian ini adalah menelusur faktor dominan yang mempengaruhi ketidakpatuhan terapi ARV oleh penderita HIV/AIDS. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, dengan pendekatan studi kasus. Objek penelitian adalah orang dengan HIV/AIDS yang berhenti menjalani terapi Antireteroviral (ARV) di Kabupaten Pemalang. Data informan didapat dari sarana pelayanan kesehatan yang memberikan terapi ARV di Kabupaten Pemalang yaitu RSUD dr. M. Ashari Pemalang. Dari data yang diperoleh, tercatat ada 13 ODHA (17,8%) yang dinyatakan berhenti berobat. Namun, setelah peneliti melakukan penelusuran di lapangan, hanya bisa menjumpai 6 ODHA yang putus berobat. 7 lainnya dinyatakan lost kontak atau tidak diketahui keberadaannya. Variabel penelitian berdasarkan teori health belief model (HBM) yang meliputi faktor demografi, persepsi kerentanan, persepsi keparahan/kesakitan, persepsi hambatan, persepsi manfaat dan adanya isyarat untuk melakukan tindakan. Teknik pengambilan data dengan wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi lapangan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan metode triangulasi dan analisis kompilasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Demografi Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa keenam informan mempunyai sebaran usia yang berbeda-beda, yaitu antara 21 tahun sampai 50 tahun. Usia informan bervariasi namun semuanya dinyatakan berhenti terapi ARV. Tidak ditemukan suatu pola tertentu yang menunjukkan bahwa ODHA yang telah mencapai usia tertentu akan mengalami ketidakpatuhan terapi ARV. 10

Abdul K. Sisyahid & Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

Tabel 1. Karakteristik dan persepsi informan Karakteristik Usia

Jenis Kelamin

Pendidikan

Pekerjaan

Jenis Tempat Tinggal

Persepsi

f

%

21-30 tahun

3

50%

31-40 tahun

2

33,3%

41-50 tahun

1

16,7%

Laki-laki

3

50%

Perempuan

3

50%

Tidak tamat SD

2

33,3%

SD

1

16,7%

SMP

1

16,7%

SMA

2

33,3%

IRT

2

33,3%

Waria

1

16,7%

WPS

1

16,7%

Lain-lain

2

33,3%

Rumah Sendiri

2

33,3%

Kos

2

33,3%

Lain-lain

2

33,3%

Kerentanan

2

33,3%

Kesakitan

3

50%

Hambatan

1

16,7%

Manfaat

0

0%

karena itu dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa faktor pekerjaan tidak menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini sesuai dengan penelitian Togun, et al (2011) tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara pekerjaan dengan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini dikarenakan ketidakpatuhan tidak hanya dipengaruhi satu faktor saja tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.Tabel 1. Karakteristik dan persepsi informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan keenam informan adalah dua diantaranya tidak tamat Sekolah Dasar (SD), satu lulus Sekolah (SD), satu lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan dua lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada banyak tingkatan pendidikan yang tidak bisa digeneralisasi tingkat pendidikan tertentu akan menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV. Oleh karena itu dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa pendidikan tidak menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini sesuai dengan penelitian Latif, dkk (2014) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan pengobatan ARV. Penelitian Peltzer, et al (2011) juga menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang

Oleh karenanya ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA di Kabupaten Pemalang tidak dipengaruhi oleh faktor usia ODHA tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Latif, dkk (2014), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara faktor usia dengan kepatuhan pengobatan antireteroviral. Menurut hasil penelitian, jenis kelamin dari informan yaitu 3 laki-laki dan 3 perempuan. Terdapat sebaran yang sama antara ODHA yang berhenti terapi ARV baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV yang dilakukan ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian Latif, dkk (2014) juga penelitian Rosiana (2014) bahwa tidak ada pengaruh bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ketidakpatuhan terapi ARV. Hasil penelitian kepada keenam informan, didapatkan hasil bahwa pekerjaan informan berbeda-beda, yaitu 2 diantaranya adalah ibu rumah tangga (IRT), manajer café, waria, wps, dan jobless (narapidana). Beraneka ragamnya pekerjaan ini belum bisa memberikan pola bahwa suatu pekerjaan tertentu bisa menyababkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Oleh 11

Abdul K. Sisyahid & Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini sejalan dengan penelitian Rosiana (2014) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan ketidakpatuhan terapi ARV yang dilakukan ODHA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keenam informan bisa menerima status HIV yang dideritanya. Informan utama Ar1, Fe3 dan It4 menyadari bahwa HIV yang dideritanya disebabkan karena perilaku diri sendiri dan akibatnya harus di tanggung oleh diri mereka sendiri. Informan utama Be2 dan Tu6 menyatakan biasa saja terhadap HIV yang diderita. Sedangkan informan utama Ri5 menyatakan pasrah saja terhadap HIV yang diderita. Disimpulkan bahwa semua informan mempunyai sikap penerimaan yang positif terhadap HIV. Penerimaan yang positif seharusnya menjadikan informan melakukan terapi ARV dengan baik sesuai dengan penelitian Kasumu dan Balogun (2014) yang menyatakan bahwa sikap yang positif akan mendukung kepatuhan terapi ARV. Namun, sikap positif informan tidak mendukung untuk patuh melakukan terapi ARV. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan antara sikap dengan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan mengenai keterbukaan dan dukungan terhadap yang didapatkan ODHA adalah baik. Hal ini dapat dilihat dari 67% informan memberitahu kepada keluarga dan 100% informan mendapat dukungan dari LSM pendamping dan Petugas Kesehatan.

bermakna antara pendidikan formal dengan kejadian ketidakpatuhan terapi ARV. Hal tersebut disebabkan, pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah tidak selalu menjadi pasien yang tidak patuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempat tinggal informan berbeda-beda. Dua informan menempati rumah kos, dua lagi menempati rumahnya sendiri dan seorang menempati mes dan rumah tahanan. Dapat disimpulkan pada penelitian ini bahwa jenis tempat tinggal tidak menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini sesuai dengan penelitian Rosiana (2014) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh bermakna antara tempat tinggal terhadap ketidakpatuhan terapi ARV. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel demografi tidak menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini dapat dilihat dari komponen variabel demografi, yatiu: usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan tempat tinggal yang menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap ketidakpatuhan terapi ARV. Persepsi Kerentanan Dapat diketahui bahwa sebanyak 33,3% informan memutuskan berhenti menjalani terapi ARV dikarenakan adanya persepsi kerentanan yang dirasakannya. Informan Ar1 merasa malu apabila status HIV nya diketahui orang lain. Sedangkan Informan Tu6 merasa malu untuk mendapatkan rujukan di puskesmas mengingat status suami informan Tu6 adalah seorang kepala desa.

“Sebenarnya satu karena faktor malu. Ga pingin ketahuan sama temen lain. Ya sudah saya putuskan ga minum lagi. Ga ada faktor lain sih.” Informan Ar1 “Intine rujukan kemudian yang kedua ibu iki yo koyo nggampangake. Koyo merasa sudah sehat ngrokok meneh.” Informan Utama 6 Persepsi kerentanan secara umum dapat dilihat dari tingkat pengetahuan tentang HIV dan pengobatan HIV yang minim. Lima dari informan utama (83%) menjawab bahwa HIV/ AIDS hanya sekedar virus atau penyakit saja dan menjawab tidak tahu tentang pengertian HIV/AIDS. Sedangkan satu informan utama (17%) menyebutkan bahwa HIV adalah penyakit menular seksual. Dapat disimpulkan minimnya pengetahuan informan tentang HIV dan pengobatan ARV berhubungan dengan

Dukungan sosial yang baik pada informan tidak menjadikan informan melakukan terapi ARV dengan baik. Ini menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak berhubungan dengan ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Khotimah (2014) bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan dukungan tenaga kesehatan terhadap kepatuhan terapi ARV. Informan yang mempunyai dukungan keluarga yang rendah memiliki resiko 6,909 kali lebih besar untuk tidak patuh minum obat bila dibandingkan informan 12

Abdul K. Sisyahid & Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

“Ya penyakit akibat karena perilaku sendiri. Ya malu saja. Sudahlah.” Informan Fe3 ”Yang diberitahu Ibu, mama doang. Kan suami belum nyampe. Sudah sabar saja, masa sih Tuhan ngasih penyakit semua penyakit itu ada obatnya.” “LSM ngasih motivasi untuk terus minum obatnya untuk control. KDS juga dukungannya sangat baik.” Informan Ri5 yang mempunyai dukungan keluarga yang tinggi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa ada faktor selain dukungan sosial yang menyababkan ketidakpatuhan ARV. Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwa semua informan tidak pernah mengalami baik stigma maupun diskriminasi. Hal ini terjadi karena semua informan utama merahasiakan status HIV nya kecuali kepada keluarga mereka. Ini membuktikan bahwa semua informan merasa akan mendapatkan stigma dan diskriminasi jika status mereka diketahui oleh orang lain. Sebanyak 83% informan merasa sedih, shok, putus asa, takut cepat mati dan drop ketika pertama kali mengetahui status HIV positifnya. Perasaan ini membuat informan tidak ingin menceritakan status HIVnya kepada orang lain karena takut mendapat stigma dan diskriminasi.

menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV selain tidak adanya stigma dan diskriminasi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum persepsi kerentanan tidak menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini dapat dilihat dari sikap informan yang positif terhadap HIV, dukungan sosial yang baik yang didapatkan para informan dan tidak adanya stigma dan diskriminasi yang dirasakan oleh informan. Hal ini sesuai dengan penelitian Veronica (2012) bahwa tidak ditemukan hubungan antara persepsi dengan kepatuhan terapi ARV yang dijalani oleh ODHA. Persepsi Kesakitan/Keparahan Dapat diketahui bahwa sebanyak 50% informan memutuskan berhenti menjalani terapi ARV dikarenakan adanya persepsi keparahan/

“Di pergaulan waria belum ada yang tahu. Di Pemalang belum mengalami diskriminasi, karena belum pada tahu.” Informan It4 “Karena pusing mas, efek samping, mau pingsan, ga ada tenaganya, ga bisa bekerja.” Informan Be2 “Karena saya merasa ga ada penyakit, trauma (bengkak2, opname di RS.). Ga mau nyoba lagi. Ga mau lihat yang gituan.” Informan Fe3 “Ya biar bisa ngrawat anak. Kan kalau posisi lemes ngedrop gitu kan ga bisa jagain anak.” “Kalau ada yang lebih beda, maksudnya yang efek sampingnya ga aneh-aneh gitu sih ga masalah. Obatnya tok atau ada cara lain yang ga terlalu mengganggu aktifitas. Ini ganggu banget ga bisa ngapangapain, tiduran saja di tempat tidur.” Informan Ri5 Tidak adanya stigma dan diskriminasi seharusnya dapat menjadikan informan bersikap patuh dalam terapi ARV. Namun, walaupun tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi, semua informan justru berhenti menjalani terapi ARV. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara stigma dan diskriminasi terhadap ketidakpatuhan ARV. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Sanjobo et.al. (2015) yang menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi menjadi hambatan kepatuhan berobat ARV. Perbedaan ini menunjukkan ada faktor lain yang

kesakitan yang dirasakannya. Informan Be2, Fe3 dan Ri5 menyatakan tidak melanjutkan terapi ARV karena merasakan keparahan/kesakitan setelah minum ARV. Efek samping yang dirasakan oleh informan utama, menjadi salah satu alasan mengapa informan memutuskan untuk berhenti menjalani terapi ARV. Lima informan (83%) dapat merasakan efek samping ARV yang diminumnya, yaitu mual, muntah, pusing, gatelgatel bahkan ada yang harus menjalani rawat inap karena justru menimbulkan reaksi alergi 13

Abdul K. Sisyahid & Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

Adanya persepsi hambatan yaitu merasa sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dikarenakan harus antri dengan pasien yang lain. Mereka yang merupakan populasi kunci merasa tidak betah jika harus ikut antri. Hal ini dikarenakan mereka merasa takut bila diantara banyak orang yang ada di rumah sakit ada yang mengenalinya dan menanyakan bermacam hal menganai alasannya datang ke rumah sakit. Namun demikian, lima informan

pada tubuh. Dari lima informan utama yang merasakan efek samping ARV, tiga diantaranya memutuskan untuk berhenti karena alasan efek samping ini, sedangkan dua lainnya tetap melanjutkan terapi ARV dan menyadari bahwa itu adalah efek samping yang bersifat sementara seperti yang telah dijelaskan oleh petugas kesehatan. Sebanyak 83% informan baru menjalani terapi ARV kurang dari 6 bulan. Oleh karena itu

“Setelah minum bengkak-bengkak sampai masuk RS, panas, pingsan, semua bengkak dari ujung rambut sampai ujung kuku deh, bengkak semua.” Informan Fe3 “Bukan malah tambah seger malah ngedrop. Kan mual terus akhirnya ga bisa makan. Apa yang dimakan dikeluarin lagi. Mau ga mau kan jadi lemes kan karena ga ada makanan yang masuk.” Informan Ri5 sangat mungkin merasakan efek samping. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa efek samping ARV umumnya terjadi dalam 3 bulan pertama, namun tidak semua pasien HIV akan mengalami efek samping setelah minum ARV. Pernyataan ini didukung dengan penelitian Eluwa, et al (2012) yang mengungkapkan bahwa efek samping obat lebih mungkin terjadi pada pasien yang menjalani ARV pada 6 bulan pertama pengobatan dibanding dengan yang telah lama melakukan pengobatan ARV. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum persepsi keparahan/ kesakitan dapat menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV. Rasa sakit tersebut merupakan efek samping yang dirasakan setelah minum ARV. Ini menjadikan rasa trauma dan akan berulang apabila kembali apabila menjalani terapi ARV. Hal ini sesuai dengan penelitian Latif, dkk (2014) bahwa efek samping berhubungan signifikan terhadap kepatuhan.

lainnya tidak merasa mengalami kesulitan dalam mendapatkan ARV di rumah sakit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi hambatan tidak menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar informan tidak mengalami hambatan yang berarti dalam mengakses ARV maupun hambatan saat minum ARV. Persepsi adanya hambatan dapat diminimalisir dengan adanya dukungan sosial yang baik yang didapat oleh informan baik dukungan dari keluarga, dukungan dari LSM maupun dukungan dari petugas kesehatan Persepsi Manfaat Dapat diketahui tidak ada informan yang memutuskan berhenti terapi ARV disebabkan adanya persepsi manfaat. Secara personal, sebanyak dua informan (33,3%) menyatakan sudah bisa mengambil manfaat dari terapi yang dijalani. Informan utama Ar1 bahkan merasa bahwa karena rutin minum ARV, istri dan pasangan laki-lakinya sampai sekarang tidak tertular HIV. Informan Tu6 menyatakan ada perubahan setelah minum ARV. Sedangkan empat informan (66,7%) belum merasakan manfaat dari ARV dikarenakan mereka mengalami efek samping setelah minum ARV yaitu merasa mual, muntah, pusing, bengkak-bengkak sehingga belum bisa mengambil manfaat dari terapi ARV yang diberikan.

Persepsi Hambatan Dapat diketahui bahwa sebanyak 16,7% informan memutuskan berhenti menjalani terapi ARV dikarenakan adanya persepsi hambatan yang dirasakan. Informan It4 merasa mempunyai kesulitan dalam mendapatkan ARV dan pelayanan. Kesulitan yang dirasakan adalah karena tidak adanya sarana transportasi.

“Hambatan mendapat ARV di motor sama ngantrinya lumayan sih. Jaraknya juga lumayan, 20 menitan. Aku pinjem motor tetangga.” Informan It4 “Belum ada manfaate, kae sih mual karo ora doyan mangan. Habis mangan itu mual. Kalau habis minum obat kayak gitu.” Informan It4 14

Abdul K. Sisyahid & Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persepsi manfaat tidak menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar informan utama belum bisa mengambil manfaat dari terapi ARV yang dilakukan. Bahkan yang dirasakan adalah hal sebaliknya yaitu efek samping yang membuat informan utama tidak bertahan lama dalam menjalani terapi ARV. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rasmusen, et al (2013) bahwa aspek kemanfaatan terapi ARV yang dirasakan berdampak pada kepatuhan berobat pasien.

Khotimah, M. 2014. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Kusta. Unnes Journal of Public Health, 3 (2): 1-5. Kwong Leung YJ, Chih Cheng CS, Wang Kuo-Yang, Chang Chao-Sung, Makombe SD, Schouten EJ, et al. 2007. True outcomes for patients on Antireteroviral Therapi who are lost to follow up in Malawi. Bulletin of World Health Organization, 85 (7): 550-554. Latif, F., dkk. 2014. Efek samping obat terhadap Kepatuhan Pengobatan Antireteroviral Orang dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9 (2): 101-106.

SIMPULAN

Peltzer, K., Ramlagan, S., Khan, M.S., Gaeda, B. 2011. The Social and Clinical Characteristics of Patients on Antireteroviral Therapy Who Are Lost To Follow Up In Kwazulu-Natal, South Africa: a Procpective Study. Journal des Aspects So Ciaux du VIH/SIDA, 8(4): 179-186.

Faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV pada orang dengan HIV/AIDS di Kabupaten Pemalang adalah adanya persepsi keparahan/kesakitan yang akan dirasa ketika menjalani terapi ARV kembali.

Rasmusen, D.N., Silva, D.T., Rodkjaer, L., Oliveira, I., et al. 2013. Barrier and Facilitators To Antireteroviral Therapy Adherance Among Patients With HIV In Bissau-Guinea Bissau: a Qualitative Study. African Journal of AIDS Research, 12 (1): 1-8.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada RSUD dr. M. Ashari Pemalang, Badan PPSDM Kementrian Kesehatan RI selaku pemberi dana penelitian, serta seluruh informan atas kesediaan berpartisipasi dalam penelitian ini.

Rosiana, A.N. dan Sofro, M.A.U. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi lost to follow up pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV di RSUP dr. Kariadi Semarang. Jurnal Medika Muda, 3 (1): 1-24.

DAFTAR PUSTAKA Dinkesprov Jawa Tengah Bidang P2. 2016. Laporan situasi HIV tahun 2016. Semarang: Dinkesprov Jawa Tengah.

Sanjobo, M.N., Frich, J.C., Fretheim, A. 2008. Barrier and Facilitators To Patients Adherance To Antireteroviral Treatment In Zambia: a Qualitative Study. Journal of Social Aspects Of HIV/ AIDS, 5 (3): 136-143.

Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. 2013. Laporan Situasi Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Ditjen PP dan PL Kemenkes RI.

Togun, T., Peterson, I., Jaffar, S., et al. 2011. Pre Treatment Mortality and Lost To Follow Up In HIV1, HIV-2 and HIV-1/HIV-2 Dually Infected Patients Eligible For Antireteroviral Therapy In The Gambia-West Africa. AIDS Research and Therapy Biomed Central, 8 (24): 1-8.

Eluwa, G.I., Badru, T., Agu, K.A., Akpoigbe, K.J., Chabikuli, O., et al. 2012. Adverse Drug Reactions to ARV Therapy (ARVs): Incidence, Type and Risk Factors in Nigeria. BMC Clinical Pharmacology, 12:7.

Zhou, J., Tanuma, J., Chaiwarith, R., Lee, C.K.C., Law, M.G., Kumarasamy, N., et al. 2012. Lost to follow up in HIV-Infected patients from Asia Pasific Region: Result from TAHOD. Hindawi Publishing Corporation AIDS Research and Treatment, 20(12): 1-10.

Kasumu, L.O., Balogun, M.R. 2014. Knowledge and attitude Towards Antireteroviral Therapy and Adherence Pattern of HIV Patients in Southwest Nigeria. International Journal of Infection Control, 10 (3): 1-8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Dirjen P2PL. 2011. Pedoman Nasional Tata laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antireteroviral. Jakarta: Kemenkes RI.

Veronica, V.I. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan ODHA dalam Menjalani Terapi ARV di RSU Dr. Pringadi Medan Tahun 2012. Skripsi. Universitas Sumatera Utara 15