UTILIZING CROPPING CALENDAR IN COPING WITH CLIMATE CHANGE

Download Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri pada Penggunaan Batu bara sebagai .... Analisis dilakukan dengan menggunakan data curah huj...

0 downloads 276 Views 5MB Size
___________________________________________________________________________ Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 – 44

KATA PENGANTAR

Pembaca yang terhormat, Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, Jurnal Ecolab telah memperoleh status akreditasi LIPI kategori B, dengan sertifikat No. 294/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010. Harapan kami ke depan Jurnal Ecolab dapat terus meningkatkan kualitas penyajiannya. Mulai penerbitan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2010, Jurnal Ecolab mengalami beberapa perubahan. Pertama, perubahan warna pada logo kalpataru disesuaikan dengan warna logo baru Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Kedua, substansi tulisan yang dimuat tidak hanya terbatas pada hasil pemantauan tetapi juga kajian ilmiah yang mencakup aspek lingkungan hidup. Dalam penerbitan edisi ini, Jurnal Ecolab memuat lima tulisan dengan judul sebagai berikut: • Utilizing Cropping Calendar in Coping With Climate Change • Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri pada Penggunaan Batu bara sebagai Bahan Bakar • Sebaran Timbal dan Kadmium dalam Terumbu Karang Perairan Kepulauan Seribu • Kajian Potensi Biosurfaktan Isolat Bakteri Terseleksi untuk Dimanfaatkan Dalam Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak Bumi • Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar TiO2Anatase Secara Sonolisis Untuk penerbitan volume mendatang kami mengharapkan partisipasi para pembaca dan praktisi di bidang lingkungan hidup untuk turut serta menyajikan tulisan mengenai kajiankajian yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup. Terimakasih.

Salam, Redaksi

i

ISSN 1978-5860 Akreditasi No. 294/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010

Jurnal Pemantauan Kualitas Lingkungan Volume 5, Nomor 1, Januari 2011

DAFTAR ISI Kata Pengantar …...................................................................................................................... i Daftar Isi ….............................................................................................................................. iii Utilizing Cropping Calendar in Coping With Climate Change…............................................. 1 Eleonora Runtunuwu, Haris Syahbuddin, Irsal Las, and Istiqlal Amien

Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri pada Penggunaan Batu bara sebagai Bahan Bakar…............................................................................................................. 15 Isa Ansyori

Sebaran Timbal dan Kadmium dalam Terumbu Karang Perairan Kepulauan Seribu….................................................................................................................. 20 June Mellawati, dan Ramadian Bachtiar

Kajian Potensi Biosurfaktan Isolat Bakteri Terseleksi untuk Dimanfaatkan Dalam Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak Bumi…....................................................................... 28 Nida Sopiah, Mulyono, dan Susi Sulistia

Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar TiO2Anatase Secara Sonolisis…....................................................................................................... 35 Zilfa, Hamzar Suyani, Safni, dan Novesar Jamarun

Eleonora Runtunuwu, Haris Syahbuddin......: Untilizing Cropping Calender in Coping with Climate Change

UTILIZING CROPPING CALENDAR IN COPING WITH CLIMATE CHANGE Eleonora Runtunuwu1, Haris Syahbuddin2, Irsal Las1, and Istiqlal Amien1 (Diterima tanggal ...........; Disetujui tanggal .............)

ABSTRAK Salah satu implikasi dari perubahan iklim adalah pergeseran waktu tanam yang tentunya mempengaruhi pola tanam dan produktifitas, terutama tanaman pangan. Untuk memandu petani menyesuaikan pola dan waktu tanam, maka analisis kalender tanam sangat diperlukan. Tujuan study ini adalah untuk mengembangka n peta kalender tanam tanaman padi di Jawa berdasarkan keragaman iklim (tahun basah, tahun normal dan tahun kering). Peta kalender tanam dikembangkan beberapa tahap, yaitu: (a) analisis waktu tanam eksisting, (b) analisis waktu tanam potensial, and (c) pembuatan peta kalender tanam. Analisis dilakukan dengan menggunakan data curah hujan harian dari tahun 1983 sampai dengan 2006, dan data realisasi tanam padi bulanan dari tahun 2003 sampai dengan 2005 untuk seluruh pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu tanam pada kondisi basah, normal dan kering. Waktu tanam tertinggi untuk musim tanam pertama (MT I) pada tahun basah hampir sama dengan kondisi normal yaitu pada Okt 2/Okt 3, sedangkan pada tahun kering terjadi pada Des 2/Des 3. Intensitas tanam juga bervariasi antar provinsi. Kondisi ini mengakibatkan distribusi input pertanian seperti benih dan pupuk harus dijadwalkan sesuai kondisi setempat. Agar perencanaan waktu tanam dapat dilakukan dengan mudah, informasi peta kalender tanam telah dipetakan dalam skala 1:250.000 pada skala kecamatan. Peta kalender tanam selanjutnya dikompilasi menjadi satu atlas yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi penyuluh dan petani di dalam penentuan kalender tanam. Kata kunci: waktu tanam, tanaman pangan, pulau Jawa.

ABSTRACT One implication of climate change is shifting of the onset and the end of the season that has adverse impacts on cropping pattern and crop productivity, particularly seasonal crops. To assist farmers in adjusting cropping pattern and planting time, produced of cropping calendar maps is imperative. The objective of this study was to develop new cropping calendar map for seasonal crop, principally paddy rice field in Java based on climate variability (wet, normal and dry years). The cropping calendar map was developed through several steps: (a) actual planting time analysis, (b) potential planting time analysis, and (c) completion of cropping calendar map. The analyses were made by using climatic data from 1983 to 2006 and rice planted area period data from 2003 to 2005 in Java Island. The results showed that there was a considerable different of cropping calendar among wet, normal, and dry climate conditions. The peak of cropping calendar of first crop (MT I) in wet year are almost the same within normal year i.e. on Oct 2/Oct 3. For dry year, the peak of cropping calendar is on Dec 2/Dec 3. Analytical results also show the intensity of cropping practices in Java differ among provinces particularly West, Central and East Java. The differences indicate the season onset in each region varies significantly. This condition implies to the agricultural inputs distribution schedule. Hence, untimely distributions of seed, fertilizer and other inputs can be avoided, because the proper time of germination the seed can be expired, cost of storing fertilizer and degradation of fertilizer quality. For a better planning of cropping time and pattern, these cropping calendar maps were developed at the scale of 1:250.000 at the sub-district level and furnished with a detail description of cropping time. Those cropping calendar maps which were compiled in an atlas can be used as a guideline for extension workers and farmers in exercising their farming practices. Keywords: cropping calendar, food crop, Java

Indonesian Agroclimate and Hydrology Research Institute. Jl. Tentara Pelajar 1a Bogor 16111. Telp. 0251-8312760, email: [email protected] 2 Indonesian Research Institute for Swampy Area, Jl. Kebun Karet, Lok Tabat. Kotak Pos 31. Banjarbaru 70712. 1

1

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

INTRODUCTION Climate dynamics materializes in the spatial and temporal (seasonal, intra-seasonal, annual, inter-annual) are one of the challenges in increasing agriculture production. These challenges will become harsher when the global temperature keeps increasing as the main driver of climate change(1). The rising trend of air temperature in Jakarta during the period of 1880-2000 with mean increase of 1.4°C in July and 1.04°C in January (Figure 1) (2). Because of the lack of long historical data, the increasing temperature in archipelagic tropical country like Indonesia is difficult to quantify (3, 4).

rainfall(8) but also the shifting of the onset of rainy or dry seasons(9). The increasing frequency and intensity of variability and climate change has significant effects on rice production due to decreasing planted and harvested areas as well as the yield (10, 11).

Climate change can be observed in increasing frequency and intensity of climate anomaly, exceedingly wet during La Nina phenomenon or dry during El Nino phenomenon (5, 6, 7). The uncertainty of rainfall with the changing climate causes not only the change in the

Climate anomaly has been observed during the last several years has caused natural disaster El Nino events of 1972/1973, 1976/1977, 1982/1983, 1986/1987, 1991/1992, 1994/1995, 1997/1998, 2002/2003, 2006/2007, and 2009 in decreasing national rice and secondary crops

Climate anomaly also affects cropping pattern both in irrigated and rainfed areas. Therefore, climate change is a grave challenge to national food self-sufficiency and security including the implementation of National Rice Improvement Program through increasing productivity and expansion of the planted areas (12).

Figure 1. Trends of increasing air temperature in Jakarta during the period of 1860-2000 (Boer, 2007) 2

Eleonora Runtunuwu, Haris Syahbuddin......: Untilizing Cropping Calender in Coping with Climate Change

production. Therefore, in order to strengthen food self-sufficiency and security the climate change has to be anticipated by adjusting cropping pattern and planting time for each agro-ecology based on climate condition (13). Traditionally the farmers in West Java use Pranatamangsa, in Bali use Kertamasa, and in South Sulawesi used Palontara in planning crop cultivation as an indigenous knowledge, inherited from generation to generation(14). Presently the indigenous knowledge are not applicable anymore because change in the irrigation and the farmers’ farming systems, and the lost fauna and flora used as indicators. Considering that condition, it is necessary to adjust cropping pattern and planting time that are appropriate for condition affected by climate variability and climate change. Therefore, a more comprehensive guideline that based on rainfall is imperative. This study attempts to develop the new cropping calendar map for paddy rice field in

Java Island that are appropriate for condition affected by climate variability and condition (wet, normal, and dry years). Cropping calendar atlas was compiled at technical scale of 1:250.000, to be used as guideline in determining the commencement of planting season at sub-district level in different climate conditions. MATERIAL AND METHODS Cropping calendar maps were delineated based on the actual field condition and its potential based on climate analyses (Figure 2). Cropping calendar delineation was compiled started by spatial analysis of the actual time of planting practiced by the farmers based on monthly planted area from 2003 to 2005 compared to paddy field area at sub district level. The monthly planted and paddy area data was supplied by Badan Pusat Statisik(15). Considering the dynamics of climate cropping potential is also determined for wet (WY), normal (NY), and dry years (DY), by using

Figure 2. Flow chart of (a) actual and (b) potential cropping calendar map delineation. WY is wet year, NY is normal year, and DY is dry year. 3

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Table 1. The criteria of climate variability Climate Variability

Class

Wet Year (WY)

>115%

Normal Year (NY)

85-115%

Dry Year (DY)

<85%

Note Comparison with long term average rainfall

Source: BMKG (2006).

daily days rainfall data from 1983 until 1996 of more than 500 stations over Java that supplied by Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) and Ministry of Agriculture. Peta Rupa Bumi Digital Maps scale 1:250.000 for whole Java Island published by Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional from 1990 to 2002 along with paddy field digital map of Java Island published by Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat on 2002 have been used together for mapping. Analysis of Actual Cropping Calendar Actual cropping calendar information described the actual time of planting practiced by the farmers based on monthly planted area from 2003 to 2005 compared to paddy field area at sub district level. Season onset actual for first crop (MT I), second crop (MT II), and third crop (MT III) was determined when 8%, 6%, and 2% respectively of paddy area has been planted. In order to get more accuracy result, the time planting was determined in ten days period. Analysis of Potential Cropping Calendar The main components of potential cropping map are rainfall. The first task are managing climate resource data, and then analyze to determine the rainfall characteristic such as variability, the season onset as eventually planting time potential, and cropping intensity.

4

Climate Variability Rainfall characteristic used as the primary variable in differentiating the climate variability is based on BMKG criteria(16). Based on the criteria there are three classes of climate variability i.e. dry (mainly El-Nino), normal, and wet (mainly La-Nina), Table 1. These criteria are very helpful to show the variation of rainfall spatially. Season Onset Potential Rainy season onset characterizes the time of planting for the first crop. The onset of rainy season begin when the rainfall exceeding 50 mm/dekad (1 dekad = 10 days) consecutively in three dekads. With the criteria starting September (First Crop, MT I) until February the following year divided into eight zones of cropping calendar onset, Table 2.

Table 2. The eight zones of cropping calendar onset of first crop (MT I) Zone

Onset

1

SEP 1/2

2

SEP 3/OCT 1

3

OCT 2/OCT 3

4

NOV 1/2

5

NOV 3/DEC 1

6

Dec 2/Dec 3

7

Jan 1/Jan 2

8

Jan 3/Feb 1

Note: Roman 1, 2, and 3 indicate date 1-10, 11-20 and 21-30 of each month

Eleonora Runtunuwu, Haris Syahbuddin......: Untilizing Cropping Calender in Coping with Climate Change

Table 3. The classes of LGP and crop rotation NO

LGP Class

CI

Crop rotation

1.

LGP < 120 DAYS

0

FALLOW

2.

120 < LGP < 170 days

1

Paddy – Fallow – Fallow

3.

170 ≤ LGP < 300 days

2

Paddy – paddy/Secondary crop – Fallow

4.

LGP ≥ 300 days

3

Paddy-paddy/ Secondary crop – Secondary crop

Notes: LGP is Length Growth Period; CI is cropping intensity

Cropping Intensity (CI) Cropping intensity is informing how many crop rotations can be executed in one year based on rainfall data, Table 3. This is closely related the number of dekad within a year with rainfall more than 50 mm/dekad (LGP, length growth period). The LGP of cropping season will start with the same time of cropping calendar (Table 2) and end when the rainfall below than 50 mm/dekad. Data Processing The climate data are of the particular points where the weather stations are located. Therefore, it is necessary to upscale areas represented by the stations spatially. Spatial delineation was done using three the climate classes’ i.e. wet, normal and dry condition. Each layer was then overlaid with administration boundary. The results are the database for the cropping calendar to be used to determine the onset of the seasons in each sub-district using the higehst intensity of time of the onset. Further, to be more informative the maps are overlaid again with land use map particularly rice fields in each sub-district.

Completion of Cropping Calendar Map Geographic information system (GIS) was applied to facilitate analyses and the completion of spatial information of the cropping calendar maps. The final map was overlaid among four layers i.e. paddy field distribution, administration boundary, rupa bumi map, and cropping calendar layers. RESULTS AND DISCUSSION Distribution of Actual Cropping Calendar The present cropping calendar is what being currently practiced by the farmers in the field. Analytical results show the intensity of cropping practices (%) in Java (Figure 3) differ among provinces particularly West, Central and East Java. The difference indicates the season onset in each region varies significantly. This condition implies to the agricultural inputs distribution schedule. Hence, untimely distributions of seed, fertilizer and other inputs can be avoided, because the proper time of germination the seed can be expired, increase cost of storing fertilizer and degradation of fertilizer quality.

5

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Figure 3. Temporal distributions of the peak actual rice planting times in (a) each provinces and (b) the whole Java.

Distribution of Potential Cropping Calendar based on Climate Events

two dekads earlier compared to the present condition with similar pattern (Figure 4).

Wet Year

However, there was no significant different in East Java. Stark difference found in the second and third crops where the peak of planting time differs among provinces. West Java (March 1/2) 4 to 8 dekads earlier than Central Java (April 2/3) and East Java (May 1/2).

When considering the percentage of planting area in Java Island, the provinces of East Java, West Java and Central Java have the largest area. Provinces of Banten and DIY have paddy field area but not as large as other provinces in Java. Distribution of planting time based on climate events, shows the times in three different climate conditions namely wet, normal and dry years. In wet year the peak of planting season for the first crop in West and Central Java is

6

In East Java in the second crop there are two peaks of planting season with similar distribution pattern of West and central Java. This means that in wet year there is opportunity to plant crop any time in all provinces.

Eleonora Runtunuwu, Haris Syahbuddin......: Untilizing Cropping Calender in Coping with Climate Change

Figure 4. Peak of distribution pattern in wet year in different seasons in (a) each province and (b) the whole Java.

Normal Year The peak of planting time in normal year is similar to the wet year, where in West Java 4-8 dekads earlier than Central and East Java either in the first crop, second and third crops. The peak planting time in Banten is almost similar to Central Java, particularly the second and third crops. In normal year the peak time of planting of the first crop was 2-4 dekads earlier for both Banten and Central Java compared to those practiced by the farmers (Figure 5a). Even in normal year planting time practiced by the

farmers is later than the onset of rainy season. This among others is the inadequate water from the only rainfall for land tillage. Farmers usually wait until high rainfall for consecutive three days. On other hand in the second and third crops the peak planting time practiced by farmers in Banten, Central Java, Yogyakarta, and East Java was 1-3 dekads earlier than normal year. This is because the farmers try to utilize the remaining rain in the transition period for second and third crop planting. Earlier planting in the second and third crops is practiced in the whole Java (Figure 5b).

7

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Figure 5. Peak of distribution pattern in normal year in different seasons in (a) each province and (b) the whole Java.

Dry Year Differs with distribution in wet and normal years, peak planting time in dry year in each province is almost similar either in the first crop in December 1/2. Advanced planting time was practiced in all provinces except in East Java because of its dryer climate (Figure 6a). The shift in the peak planting season of 6-8 dekads happened in all provinces for second and third crops from March 1/2 to May 1/2. Because of the delay in the peak planting time in dry year, it is vulnerable of losing the opportunity to have the third crop because it

8

already the beginning of the coming rainy season. West Java with relatively more humid climate has two peaks where the third crop can compensate the earlier loses although with slightly less areas (Figure 6b). The delay of planting time during dry year was observed during field verification in all the provinces of Java. The rice fields that are far from irrigation canals or other water sources are risking of the opportunity to plant rice or losing the season. One attempt that was done to cope with dry years is new high yielding crop varieties improvement that adapt to drought, for instance Dodokan and Silugonggo (12).

Isa Ansyori: Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri Pada Penggunaan Batubara Sebagai Bahan Bakar

Figure 6. Peak of distribution pattern in dry year in different seasons in (a) each province and (b) the whole Java.

Cropping calendar map The legend of cropping calendar maps is divided in 8 season onset potential (zone). The maps are furnished with legends providing information on cropping calendar potential and crop rotation in each sub-district. For a better planning of cropping time and pattern, these cropping calendar maps were delineated at the scale of 1:250.000 and furnished with a detail description of cropping time at the sub-district level for the whole Java Island as shown in Figure 7 and Table 6. Those cropping calendar maps which were compiled in an atlas can be used as a guideline for extension workers and farmers in exercising their farming practices of Java(17). Besides that, the research results are the

database for the cropping calendar to be used to determine the onset of the seasons in each sub-district using the highest intensity of time of the onset. Further, to be more informative the maps are overlaid again with land use map particularly rice fields in each sub-district. The area without paddy field area will fill up by agroclimatic zone. CONCLUSIONS We have developed new cropping calendar map for seasonal crop, particularly paddy rice field in Java based on climate variability (wet, normal and dry years). The maps of cropping calendar in this atlas were arranged in a simple way to be easily understood by extension workers, technical staff of agricultural offices, farmer groups, and farmers. 9

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

There are several expediencies of cropping calendar atlas: (1) providing spatial and tabular cropping pattern at the sub-district level, (2) determining cropping rotation in each sub-district based on the existing climate and water resources, and (3) supporting the planning of cropping season and pattern for seasonal food crops. In utilizing the cropping

10

calendar maps on the future, a reliable seasonal climate forecast from BMKG is becoming very essential. Both are complementary tools in the planning the cropping time and pattern for annual crops adjustable to the climate conditions in minimizing losses. Therefore, it is necessary to disseminate this information along with climate forecasting.

Figure 7. An example of cropping calendar map in Indramayu District.

Note: Roman I, 2, and 3 indicate date 1-10, 11-20 and 21-30 of each month. FC: first crop, SC: second crop, and TC: Third crop.

Table 6. Food Crop Calendar of Indramayu District, West Java (Normal Year)

Isa Ansyori: Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri Pada Penggunaan Batubara Sebagai Bahan Bakar

REFERENCES (1) E. Runtunuwu and Kondoh A. 2008. Assessing global climate variability and change under coldest and warmest periods at different latitudinal regions. Indonesian Journal of Agricultural Science 9(1), 7-18. (2) R. Boer. 2007. Fenomena perubahan iklim: Dampak dan strategi menghadapinya. Dipre-sentasikan pada Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan, Bogor, 8 November 2007. (3) IPCC, 1992. Climate Change 1992: The Supplementary Report to the IPCC Scientific Assessment. J.T. Houghton, B.A. Callander and S.K. Varney, Eds., Cambridge. University Press, Cambridge, 200 pp. (4) IPCC, 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK. (5) T. Zhang, Zhu, J., Yang X. and Zhang X. 2008. Correlation changes between rice yields in North and Northwest China and ENSO from 1960 to 2004. Agricultural and Forest Meteorology, 148(6-7), 1021-1033. (6) H. Paeth, Scholten A., Friederichs P. and Hense A. 2008. Uncertainties in climate change prediction: El Niño-

Southern Oscillation and monsoons. Global and Planetary Change, 60(34), 265-288. (7) V.W Keener, Feyereisen G.W., Lall U., Jones J.W., Bosch D.D. and Lowrance R. 2010. El-Niño/Southern Oscillation (ENSO) influences on monthly NO3 load and concentration, stream flow and precipitation in the Little River Watershed, Tifton, Georgia (GA). Journal of Hydrology, 381(3-4), 352-363. (8) E. Runtunuwu dan Syahbuddin H. 2007. Perubahan pola curah hujan dan dampaknya terhadap potensi periode masa tanam. Jurnal Tanah dan Iklim, 26, 1-12. (9) R.L Naylor, Battisti D.S., Vimont D.J., Falcon W.P. and Burke M.B. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceedings of the NASA. PNAS 104(19), 7752-7757. (10) Z. Q Jin and Zhu D. W. 2008. Impacts of changes in climate and its variability on food production in Northeast China. Acta Agronomica Sinica, 34(9), 1588-1597. (11) Y. Masutomi, Takahashi K., Harasawa H. and Matsuoka Y. 2009. Impact assessment of climate change on rice production in Asia in comprehensive consideration of process/parameter uncertainty in general circulation models Agriculture. Ecosystems & Environment, 131(3-4), 281-291. (12) I. Amien and Runtunuwu E. 2010. 13

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Capturing the Benefit of Monsoonal and Tropical Climate to Enhance National Food Security. Jurnal Penelitian dan Pengembangan 29(1): 10-18. (13) N.V Viet, Liem N.V. and Giang N.T. 2001. “Climate change and strategies to be adapted in agriculture for sustainable development in Vietnam”. (http://sedac. ciesin.org, accessed on March 2010). (14) D. Wiriadiwangsa. 2005. Pranata Mangsa, masih penting untuk pertanian. Tabloid Sinar Tani, 9 – 15 Maret 2005.

14

(15) Bad an P u s at S tatis tik ( BP S ) , Luas Tanam Padi Sawah Tingkat Kecamatan Pulau Jawa. Biro Pusat Statistik, Jakarta. 2003-2005. (16) Badan Meteorologi dan Geofisika, 2006. Pemutakhiran prakiraan musim hujan 2006-2007 dan gejala cuaca ekstrim saat pancaroba. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. (17) I. Las, Unadi A., Subagyono K., Syahbuddin H. dan Runtunuwu E. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balitklimat. Bogor.

Isa Ansyori: Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri Pada Penggunaan Batubara Sebagai Bahan Bakar

PENGENDALIAN EMISI MERKURI DI CEROBONG INDUSTRI PADA PENGGUNAAN BATU BARA SEBAGAI BAHAN BAKAR Isa Ansyori1 (Diterima tanggal : 03-01-2011; Disetujui tanggal : 18-05-2011)

ABSTRACT The mercury emission control in coal depends on several factors including type of coal, emission control equipment, configuration, mixing 2 types of coal, and the use of Active Carbon Injection Technologies. Keywords: Mercury emissions, coal, emissions control.

ABSTRAK Pengendalian emisi merkuri pada pemanfaatan batu bara sebagai bahan bakar bergantung beberapa faktor yaitu jenis batubara, alat pengontrol emisi, pencampuran 2 jenis batubara, dan penggunaan teknologi injeksi karbon aktif (Activated Carbon Injection). Kata kunci: Emisi merkuri, batubara, pengontrol emisi.

PENDAHULUAN Merkuri merupakan logam berat yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Merkuri berbahaya bagi lingkungan karena bersifat persisten. Karena berbahaya merkuri telah diatur di peraturan pemerintah.. Di dalam peraturan pemerintah tersebut bahan yang berbahaya dan beracun terbatas untuk digunakan. Sumber – sumber merkuri yang dilepaskan ke lingkungan antara lain dari pengolahan emas, almalgam gigi dan pembakaran batubara. Emisi merkuri yang dihasilkan dari pembakaran batubara seperti pada unit boiler harus diperhatikan karena berpotensi untuk merusak lingkungan dan menjadi ancaman bagi kesehatan makhluk hidup. Jenis merkuri yang diemisikan ke udara bervariasi yaitu dalam bentuk uap merkuri (Hg°), Oksida merkuri dan partikulat. Uap merkuri (Hg°) mempunyai waktu tinggal yang lama di udara 1

yaitu bisa mencapai satu tahun, sehingga dapat menyebar pada jarak yang sangat jauh dari sumbernya. Ketika Hg° terdeposit di tanah atau air , maka dapat mengalami transformasi menjadi merkuri organik yaitu metil merkuri yang dapat memasuki rantai makanan seperti ikan. Pengendalian merkuri dari cerobong pembakaran batubara belum dilakukan penelitian, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengendalian dan efektifitasnya. METODOLOGI DAN TUJUAN Metode yang digunakan yaitu observasi di PLTU Unit Bisnis Pembangkitan Listrik PT. Indonesia Power Suralaya , data sekunder dari literatur dan pengambilan contoh uji mekuri di cerobong 6 PLTU Suralaya dengan metode 29 USEPA yang dilakukan pada 4 November 2010.

Fungsional Pedal Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan-Deputi VII KLH, Kawasan Puspiptek Gedung 210, Serpong, Banten, [email protected] 15

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Tujuan untuk mengetahui efektifitas pengendalian merkuri di cerobong pada pembakaran batubara terhadap emisi merkuri. HASIL DAN PEMBAHASAN Batubara di unit bisnis pembangkitan listrik Suralaya yang digunakan sebagai bahan bakar yaitu subbituminous dari Sumatera Selatan dan digunakan Low NOx Burners.

Fabrik Filter dan Elektrostatik Presipitator(1) .(7) . Tabel 1. Data Reduksi Merkuri dengan Teknologi ECO Inlet

Out let

% Reduksi

mg/m3

mg/m3

merkuri

0.0069

0.00078

88%

Batu bara digiling menjadi serbuk. Serbuk batubara dicampur dengan udara panas dari Primary Air Fan dan dibawa ke Coal Burner yang menyemburkan batubara tersebut ke dalam ruang bakar untuk proses pembakaran dan terbakar seperti gas, untuk mengubah air menjadi uap.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah emisi merkuri dari cerobong udara yaitu jenis batubara,, alat pengontrol emisi dan pencampuran 2 jenis batubara, serta penggunaan teknologi injeksi karbon aktif (Activated Carbon Injection).

Udara pembakaran yang digunakan pada ruang bakar dipasok dari Forced Draft Fan (FDF) yang dialirkan melalui Air Heater. Hasil proses pembakaran yang terjadi menghasilkan limbah berupa abu. Abu secara periodik dikeluarkan ke Ash Valley.

Konfigurasi Alat dan Jenis Batubara

Debu dan gas hasil pembakaran dihisap keluar dari boiler oleh Induce Draft Fan (IDF) dan dilewatkan melalui Electrostatik Presipitator. Debu yang terkumpul di Electrostatik Presipitator diambil dengan alat pneumatic gravity conveyor selanjutnya dihembuskan ke udara melalui cerobong. Pengukuran merkuri dilakukan pada ketinggian 121 m dengan 4 lubang sampling. Data yang didapat yaitu 0,028 mg/dsm atau 0.0003 mg/m3. Data pengukuran tersebut hampir sama dengan penelitian di Cleveland Ohio Amerika dari inlet dan outlet RE Burger Plant dengan teknologi Elecktro Catalitic Oxidation pada table 1. Teknologi ECO merupakan gabungan 16

Pengontrol merkuri pada emisi cerobong bahan bakar batu bara yaitu : 1. Teknologi co benefit yaitu teknologi yang didesain untuk mengontrol polutan lain selain merkuri , yaitu NOx , SOx dan bahan partikulat (PM) tetapi dalam hal ini dapat juga digunakan sebagai alat pengontrol merkuri(2) . NOx dapat dikontrol menggunakan pengendap elektrostatik (Elektrostatik Presipitator). Selain berfungsi sebagai pengontrol NOx , Electrostatik Presipitator dapat juga digunakan sebagai pengontrol emisi merkuri dengan cara mengoksidasi uap merkuri. SOx adalah polutan yang dikontrol menggunakan Wet Scrubber Gas Desulfurization). Selain berfungsi sebagai pengontrol SOx, Wet Scrubber Gas Desulfurization dapat juga digunakan sebagai pengontrol emisi

Isa Ansyori: Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri Pada Penggunaan Batubara Sebagai Bahan Bakar

merkuri dengan cara melarutkan Oksida merkuri di dalam air(5)(2). Bahan partikulat (PM), baik yang berasal dari partikulat merkuri atau partikulat lain dapat dikontrol dengan alat seperti CS-Elektrostatic Presipitator HSElektrostatic Presipitator,, Fabrik Filter dan Scrubber debu (6). Pada tabel 2 terlihat bahwa alat pengontrol polutan yang paling efisien untuk batubara bituminous adalah Fabrik Filter dengan jumlah merkuri yang dibuang 1,78 %. Dari tabel 3 terlihat bahwa konfigurasi alat pengontrol polutan yang paling efisien untuk batubara sub-bituminous adalah Fabrik Filter dengan jumlah merkuri yang dibuang 27,57 %. Dari tabel 4 terlihat bahwa konfigurasi alat pengontrol polutan yang paling efisien untuk batubara lignit adalah ESP dan Wet Scrubber dengan jumlah merkuri yang dibuang 62,52 %. Tabel 2. Pengaruh alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang dibuang ke udara untuk batu bara bituminous Jenis Batubara

Lignit

Teknologi Activated Carbon Injection (ACI) Teknologi yang spesifik untuk merkuri yaitu injeksi karbon aktif (Activated Carbon Injection) yaitu Tabel 3. Pengaruh alat pengontrol terhadap jumlah merkuri yang dibuang ke udara untuk batubara subbituminous Jenis Batubara

Bituminous

Alat Pengontrol Pencemar Udara

% Merkuri yang dibuang ke udara

SDA/FF

1,78

SCR dan SDA/FF

2,44

CS-FF dan FGD

3,59

Scrubber

9,1

SNCR dan CS-ESP

16,90

FF

18,77

Wet FGD Scrubber

44,95

HS-ESP Wet FGD

53,52

Scrubber

55,11

CS-ESP

87,98

Tabel 4. Pengaruh alat pengontrol terhadap jumlah merkuri yang dibuang ke udara untuk batubara lignit Jenis Batubara

Alat Pengontrol Pencemar Udara

% Merkuri yang dibuang ke udara

CS/FF

27,57

CS-ESP/ SDA

62,06

CS-ESP dan Wet

64,88

FGD Scrubber

67,38

HS-ESP dan Wet

74,60

FGD Scrubber FF

85,52

Alat Pengontrol Pencemar Udara

% Merkuri yang dibuang ke udara

CS/ESP dan Wet

62,52

FGD Scrubber

67,23

SDA/FF

86,54

PM-Scrubber

82,62

CS-ESP

85,57

SDA-FF

67,38

CS-ESP dan FF

95,07

SDA/FF

98,53

Sub bituminous

17

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

penginjeksian karbon aktif kering berbentuk bubuk ke dalam cerobong. ACI ditempatkan antara pemanas udara (air preheater) dan Electrostatik Presipitator atau Fabrik Filter. Hasil penelitian pengaruh kecepatan injeksi karbon aktif terhadap % merkuri menggunakan 2 alat pengontrol polutan yaitu Electrostatik Presipitator dan Fabrik Filter untuk batu bara bituminous dan sub bituminous, pada Gambar 1 (1). Keterangan: CS-ESP SCR HS-ESP FGD FF SNCR PM DSI SDA

: Cold-Side Electrostatic Precipitator : Selective Catalitic Reduction : Hot-Side Electrostatic Precipitator : Flue gas Desulfurization : Fabric Filter : Selective Non Catalitic Reduction : Pariculate Matter : Duct Sorbent Injection :Spray Dryer Absorber

Pada gambar 1 terlihat bahwa untuk alat pengontrol ESP pada batubara bituminous,

pengurangan merkuri sampai dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi karbon aktif sekitar 20 lb/Macf (million actual cubic feet) sedangkan untuk alat pengontrol FF untuk batubara yang sama penangkapan merkuri sampai dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi 4 lb/ Macf(1). Untuk mencapai 90% pengurangan merkuri, diperlukan 5 kali lebih banyak penyerap karbon aktif bila menggunakan ESP dibanding FF. Hal ini disebabkan karena terbentuknya lapisan karbon pada fabrik filter sehingga penyerapan lebih maksimal(2). Pada penggunaan alat pengontrol ESP untuk jenis batubara sub bituminous diperoleh hasil bahwa pengurangan emisi maksimum sekitar 60% dan terjadi mulai dari kecepatan injeksi sekitar 7 lb/Macf. Kenaikan kecepatan injeksi karbon aktif tidak dapat menaikkan persentase pengurangan merkuri.

Gambar 1. Pengaruh kecepatan injeksi karbon aktif terhadap % pengurangan merkuri

18

Isa Ansyori: Pengendalian Emisi Merkuri di Cerobong Industri Pada Penggunaan Batubara Sebagai Bahan Bakar

Pengaruh pencampuran 2 jenis batubara Untuk meningkatkan kemampuan penangkapan merkuri dengan mencampurkan 2 jenis batubara yaitu batubara yang mengandung klorin atau bromin yang tinggi dengan batubara yang mengandung klorin atau bromin rendah.

DAFTAR PUSTAKA 1.Durham, M.D., 2005. “Mercury Control for PRB and PRB/Bituminous Blends” www.icac.com. 2.Praveen, A., 2003, “Mercury Emissions From Coal– Fired Power Plants”, www.nescaum.org. 3.Boilers”, Century: Impacts of Fuel Quality and Operations Engineering Foundation Conference,Snowbird, UT, www.reaction_eng.com. 4 . Z h u a n g , Y. , 2 0 0 6 , M e r c u r y Transformations in Coal Combustion Flue Gas”, www.undeerc.org.

Gambar 2. Hubungan batubara bituminous berklorin tinggi dengan % pengurangan merkuri.

Pada Gambar 2 memperlihatkan pengaruh pencampuran batubara bituminous berkadar klorin tinggi dengan batubara sub bituminous berkadar klorin rendah, bertambahnya komposisi batubara bituminous dalam campuran maka semakin besar persentase merkuri yang dapat yang diadsorsi(1).. KESIMPULAN Emisi merkuri yang paling rendah dari cerobong pada pembakaran batubara yaitu terjadi pada batubara bituminous dan sub bituminous dengan fabric filter, serta batubara lignit dengan ESP dan Wet Scubber.

5.Environmental Protection Agency, 2003, “Performance and Cost of Mercury and Multi pollutant Emission Control Technology Aplication on Electric Utility Boilers”, EPA/600/R-03/110, www.epa.gov. 6.Environmental Protection Agency, 2000, “Electric Utility Steam Generating Units Hazardous Air Pollutant Emission Study (Mercury ICR), 7. David CF, 2005. Air Pollution Control and Monitoring Technology. www. icac.com. 8. US-EPA Method 29 – Determination of Metals Emissions from Statioanry Sources. 9. Kep-205/BAPEDAL/07/1996 Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak, BAPEDAL

19

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

SEBARAN TIMBAL DAN KADMIUM DALAM TERUMBU KARANG PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU June Mellawati 1, dan Ramadian Bachtiar

2

(Diterima tanggal : 10-01-2011 ; Disetujui tanggal : 18-05-2011)

ABSTRACT The increasing of human activities in Jakarta and surrounding areas will contribute to environmental metal pollution at Kepulauan Seribu waters. As a group of small islands reefs, the Kepulauan seribu are potentially affected and is feared to disrupt the life of these reefs. The aim of research is to know how far the concentration of Pb and Cd can be recorded on the skeleton so that the coral reefs can provide a pollution description in the waters of the Kepulauan Seribu. This research used Porites stephensoni massive coral samples that obtained from waters around Bokor, Tikus, and Tidung Island of Kepulauan Seribu, North Jakarta. Analysis of Pb and Cd using atomic absorption spectrophotometer at wavelength 283 and 228 nm, and the circumference of the year was done to determine the approximate age of the coral reefs, before. The results showed that the massive coral of Porites stephensoni each of which is expected to form in 1979, 1951, and 1972 is able to record a number of Pb and Cd metals. The ability of the massive coral Porites stephensoni record Pb and Cd showed that it have potential as a bioindicator of metal pollutants in the waters. Trend of the increasing Pb and Cd in the upper 2000s allegedly associated conditions Thousand Islands waters are getting worse, but have not seen the influence of Pb and Cd on the growth of coral Porites stephensoni significantly. Keywords: Coral reef, Pb and Cd heavy metals, Seribu Island

ABSTRAK Meningkatnya berbagai kegiatan manusia di Jakarta dan sekitarnya akan memberikan kontribusi pencemaran logam ke lingkungan perairan Kepulauan Seribu. Sebagai sekelompok pulau karang-karang kecil, kepulauan Seribu sangat berpotensi terkena dampaknya dan dikhawatirkan dapat mengganggu kehidupan karang-karang tersebut. Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana konsentrasi Pb dan Cd dapat terekam pada skeleton terumbu karang sehingga terumbu karang dapat memberikan gambaran kondisi pencemaran di perairan Kepulauan Seribu. Pada penelitian ini digunakan sampel terumbu karang masif Porites stephensoni yang diperoleh dari perairan di sekitar Pulau Bokor, Pulau Tikus, dan Pulau Tidung Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Analisis Pb dan Cd menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 283 dan 228 nm, dan sebelumnya dilakukan analisis lingkar tahun untuk mengetahui umur terumbu karang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terumbu karang masif Porites stephensoni yang masing-masing diperkirakan terbentuk tahun 1979, 1951, dan 1972 mampu merekam sejumlah logam Pb dan Cd. Kemampuan terumbu karang masif Porites stephensoni merekam Pb dan Cd menunjukkan ada potensi sebagai bioindikator bahan pencemar logam di perairan. Kecenderungan peningkatan Pb dan Cd di atas tahun 2000an diduga terkait kondisi perairan kepulauan Seribu yang makin memburuk, namun belum terlihat pengaruh logam Pb dan Cd terhadap pertumbuhan terumbu karang Porites stephensoni secara signifikan. Kata Kunci: Terumbu karang, logam berat Pb dan Cd, Pulau Seribu

PENDAHULUAN Struktur terumbu karang didominasi oleh endapan batu kapur bersifat masif mengandung kalsium karbonat (CaCO3) hasil metabolisme biota laut (zooxanthellae) yang mensekresi kapur dan alga melalui proses kalsifikasi. 1 2

Salah satu jenis koral atau karang keras (hard coral) yaitu Porites sp yang berbentuk hampir membulat dan ukurannya cukup besar. Umumnya jenis karang Porites sp dipilih karena mempunyai kecepatan/laju

Pusat Pengembangan Energi Nuklir- BATAN, Jl. Kuningan Barat, Mampang Jakarta Selatan. [email protected] Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor

20

June Mellawati dan Ramadian Bachtiari: Sebaran Timbal dan Kadmium Dalam Terumbu Karang...

pertumbuhan relatif besar, tahan terhadap kerusakan dan erosi, dan mampu merekam data lingkungan secara alami(1). Pertumbuhan karang yang bersifat akresi atau lapis demi lapis tersebut secara terus menerus akan memungkinkan sejumlah logam yang terlarut dalam perairan terperangkap. Kepulauan Seribu adalah sekelompok pulau karang kecil yang terletak sepanjang barat laut dari Teluk Jakarta, dan berjarak ± 80 km dari kota Jakarta. Sejak beberapa dekade yang lalu, pulau-pulau ini mengalami tekanan terhadap lingkungannya akibat dampak kegiatan manusia. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dan perkembangan pembangunan industri di Jakarta menyebabkan tekanan terhadap lingkungan hidup sekitar perairan Kepulauan Seribu semakin berat. Beberapa kegiatan tersebut diantaranya adalah pembuangan limbah industri, sampah rumah tangga dan penggunaan pupuk pertanian di daratan, serta penambangan minyak sangat berpotensi memberikan kontribusi logam ke lingkungan perairan yang cukup signifikan. Hasil penelitian sebelumnya dilaporkan kandungan Cd dan Pb dalam sampel air laut perairan Kepulauan Seribu masing-masing 0,0014-0,0040 ppm dan 0,0062-0,0074 ppm, dalam sedimen masing-masing 0,1536-3,0244 ppm dan 0,4260-1,5770 ppm, dalam biota kerang masing-masing 0,0067-0,0110 ppm dan 0,0043-0,0090 ppm, dan Cd dalam ikan bandeng 0,0080 – 0,0090 ppm (2). Berdasarkan alasan tersebut dilakukan

penentuan kandungan logam berat Pb dan Cd dalam terumbu karang dari perairan sekitar Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Tidung, Bokor dan Tikus. Diharapkan data yang diperoleh dapat memberikan gambaran kemungkinan terumbu karang sebagai alat untuk mengetahui kondisi pencemaran perairan sekitar teluk Jakarta oleh berbagai kegiatan manusia. Kawasan Pulau Bokor luasnya 18 Ha dan secara geografis letaknya ± 3,5 mil laut di sebelah barat Jakarta, yang secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Pulau Lancang (3). Pulau Tidung luasnya 100 Ha dan dikelilingi oleh pantai dangkal yang bergradasi putih karena ditumbuhi karang. Sebagai salah satu desa di Kepulauan Seribu bagian selatan terbagi dua yaitu Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil (4). Pulau Tikus dan Pulau Bokor termasuk Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, sedangkan Pulau Tidung termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan (5). METODOLOGI Lokasi Penelitian. Perairan Kepulauan Seribu, yaitu sekitar perairan Pulau Tidung (050 48’ 22.0” LS, 1060 31’ 55.2” BT), Pulau Tikus (050 51’ 52.8” LS, 1060 35’ 07.5” BT) dan Pulau Bokor (050 56’ 38.1” LS, 1060 37’ 38.1” BT) (Gambar 1), merupakan tempat pengambilan sampel terumbu karang.

21

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel terumbu karang.

Bahan dan Peralatan. Pada penelitian digunakan sampel karang jenis masif dari genus Porites sp. Bahan penelitian yaitu larutan HNO3 (65 %), NaOH (1N), serta larutan standar masing-masing mengandung Pb dan Cd 1000 ppm. Beberapa peralatan penelitian yaitu peralatan selam SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), gergaji belah, palu, kikir, pisau diamond, dan lampu flouresen. Peralatan untuk menentukan lingkar tahun adalah mesin X-ray, sedangkan untuk menentukan logam Pb dan Cd adalah Spektrometer Serapan Atom. Pengambilan Sampel. Mula-mula dilakukan survei karang, dan dilanjutkan identifikasi karang secara in situ berdasarkan morfologi calice karang untuk mengetahui jenis karang masif yang 22

dikehendaki. Sampel karang diperoleh secara acak di masing-masing pulau (stasiun) dan disampling pada kedalaman 2-5 meter dengan Scuba dan Snorkling. Sampel karang dipilih sebagai karang yang sudah cukup tua, berwarna agak gelap dan bentuknya hampir membulat. Pertumbuhan karang Porites sp ditunjukkan dari adanya pertumbuhan karang yang berselang seling dengan lapisan-lapisan gelap terang. Preparasi Sampel. Sampel karang spesies Porites stephensoni diperoleh dengan cara drilling menggunakan bor khusus, yaitu mata bor besi berbentuk tabung panjang 30 cm. Alat bor digerakkan dengan bantuan tekanan udara dari tabung selam, secara tegak lurus atau miring dengan sudut kemiringan 45 derajat. Potongan sampel terumbu karang yang terkumpul

June Mellawati dan Ramadian Bachtiari: Sebaran Timbal dan Kadmium Dalam Terumbu Karang...

diberi label, nomor dengan urutan dari atas ke bawah dan dibawa ke permukaan serta dimasukkan kedalam cooled box untuk dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel terumbu karang direndam dalam air tawar selama ± 1 jam dan dikering anginkan. Selanjutnya dipotong secara vertikal dengan ketebalan ± 1 cm dengan pisau diamond, untuk keperluan analisis lingkar tahun. Analisis Lingkar Tahun Karang. Analisis lingkar tahun dilakukan dengan teknik Radiografi sinar-X, mula-mula potongan terumbu difoto dengan sinar-X dari MPCU X-Ray berkekuatan 50 kVp dengan periode 12 detik dan jarak fokus 1 meter. Hasil proses dalam bentuk film X-ray hitam putih direproduksi dengan kamera digital Nikon D70S untuk selanjutnya diolah dengan Adobe Photoshop CS2 dan Corel Draw. Hasil olahan foto dicetak dengan ukuran sebenarnya di atas plastik transparansi yang selanjutnya untuk pedoman lingkar tahun. Sebagian potongan terumbu karang dimasukkan ke dalam kantong plastik guna keperluan analisis kandungan logam Pb dan Cd. Analisis Kandungan Pb dan Cd. Potongan sampel karang dari setiap lapisan

terumbu karang masing-masing dihaluskan hingga berbentuk serbuk dan dikeringkan dalam oven. Selanjutnya sampel serbuk ditimbang secara seksama, didestruksi menggunakan beberapa tetes larutan HNO3 (65%) dan H2O2 (30%) hingga jernih, lalu disaring dan ditepatkan volumenya dengan air destilata. Pengukuran Pb dan Cd dilakukan menggunakan metode spektroskopi serapan atom pada panjang gelombang masing-masing 283 dan 228 nm. Selain dilakukan preparasi sampel juga dilakukan preparasi deret standar Pb dan Cd, serta blanko. Perhitungan konsentrasi menggunakan metode relatif dengan pembanding standar. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Lingkar Tahun. Hasil analisis terumbu karang dari Pulau Tidung menunjukkan bahwa ditemukan sebanyak 28 lapisan dengan tebal setiap lapisan berkisar antara 8-12 mm, sedangkan terumbu karang dari Pulau Tikus sebanyak 35 lapisan dengan tebal setiap lapisan berkisar antara 8-12 mm, dan terumbu karang dari Pulau Bokor sebanyak 56 lapisan dengan tebal setiap lapisan berkisar antara 6-8 mm (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil pemotretan irisan terumbu karang dengan X-Ray, terumbu karang dari Pulau Tidung (A), Pulau Tikus (B) dan Pulau Bokor (C). 23

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Gambar 3. Pola sebaran logam Pb pada setiap lapisan/lingkar tahun terumbu karang spesies Porites stephensoni dari perairan sekitar Pulau Bokor, Tidung dan Tikus.

Terumbu karang dari Pulau Tidung (Gambar 2A) mempunyai pita lingkar tahun sebanyak 28 lapisan, sehingga diperkirakan terbentuk sejak tahun 1979. Laju pertumbuhan karang ditunjukkan lebar pita lingkar tahun yang berfluktuasi setiap tahunnya dan berkecenderungan lebih lebar di awal tahun pertumbuhan dibandingkan tahun-tahun menjelang 2006. Terumbu karang dari Pulau Tikus (Gambar 2B) mempunyai pita lingkar tahun 35 lapisan, sehingga diperkira kan terbentuk sejak tahun 1972. Laju pertumbuhan karang di Pulau Tikus ini maih relatif baik seperti halnya di Pulau Tidung. Terumbu karang dari Pulau Bokor (Gambar 2C) mempunyai pita lingkar tahun sebanyak 56 lapisan sehingga diperkirakan terbentuk sejak tahun 1951. Pulau Bokor adalah pulau terdekat dengan daratan Jakarta dibandingkan ke dua pulau lainnya (Pulau Tidung dan Tikus), laju pertumbuhan karang relatif lamban, hal ini 24

diduga terkait dengan perairn sebagai media tumbuhnya yang banyak dipengaruhi oleh kegiatan daratan di Jakarta. Hasil Analisis Kandungan Pb dan Cd Data sebaran logam Pb pada terumbu karang Porites stephensoni yang diperoleh dari perairan sekitar Pulau Bokor, Tidung dan Tikus Kepulauan Seribu ditunjukkan pada Gambar 3, sedangkan kadar rata-rata di setiap lingkar tahun ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar rerata Pb pada terumbu karang Lingkar Tahun 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 td = tidak terdeteksi

Pulau Tidung 0,98 29,27 19,88 0,88 4,75 1,07 9,25 16,14 td td

Pulau Tikus td td 1,02 4,30 10,56 4,15 td 7,63 1,03 1,11

Pulau Bokor 22,76 14,39 1,32 29,94 td 1,42 2,64 1,35 0,65 1,19

June Mellawati dan Ramadian Bachtiari: Sebaran Timbal dan Kadmium Dalam Terumbu Karang...

Tabel 1 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun (1997–2006), terumbu karang Pulau Tidung, Pulau Tikus dan Pulau Bokor mampu merekam sejumlah Pb. Konsentrasi tertinggi Pb pada terumbu karang dari Pulau Tikus ditemukan pada lingkar tahun 2004–2005 (19,88–29,28 ppm) (Gambar 3). Konsentrasi tertinggi Pb pada terumbu karang dari Pulau Tikus ditemukan pada lingkar tahun 2002 (10,56 ppm), sedang dari Pulau Bokor tertinggi ditemukan pada lingkar tahun 2003 (22,76 ppm) dan 2006 (29,95 ppm). Peneliti Yordania melaporkan, terumbu karang Porites sp. dari teluk Aqaba Yordania dan Venezuela yang umurnya 35 tahun (19601995) mampu merekam sejumlah Pb, peneliti India melaporkan, terumbu karang dari Kepulauan Appa di perairan Teluk Mannar India mampu merekam Pb hingga 4,56 ppm, sedangkan terumbu karang dari Wadi ElGemal laut Merah Mesir mampu merekam Pb hingga 32 ppm (Porites lutea) dan 30,8 ppm (Porites compressa)(6,7,8,9). Pola sebaran logam Cd pada terumbu karang Porites stephensoni dari perairan sekitar Pulau Bokor, Tidung dan Tikus Kepulauan Seribu

ditunjukkan pada Gambar 4 dan data pada Tabel 2. Tabel 2. Kadar rerata Cd pada terumbu karang Lingkar Tahun 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997

Pulau Tidung 1,72 0,83 1,83 1,31 1,80 2,24 1,08 1,38 0,45 1,56

Pulau Tikus 0,10 1,14 0,48 0,22 0,98 2,29 3,64 1,69 0,86 1,32

Pulau Bokor 4,78 1,43 0,24 1,14 0,23 0,34 0,57 1,20 1,16 1,73

Tabel 2 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun (1997–2006) terumbu karang dari perairan sekitar Pulau Tidung, Pulau Tikus dan Pulau Bokor mampu merekam sejumlah Cd. Konsentrasi Cd tertinggi pada terumbu karang dari Pulau Tikus pada lingkar tahun 2000 (3,64 ppm), dari Pulau Bokor pada lingkar tahun 2006 (4,78 ppm), dan dari Pulau Tidung pada lingkar tahun 2001 (2,24 ppm) (Gambar 4). Peneliti India melaporkan, terumbu karang dari Kepulauan Appa di perairan Teluk Mannar di India mampu merekam Cd hingga

Gambar 4. Pola sebaran logam Cd pada setiap lapisan/lingkar tahun terumbu karang spesies Porites stephensoni dari perairan sekitar Pulau Bokor, Tidung dan Tikus . 25

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

1,31 ppm, terumbu karang dari Wadi El-Gemal perairan laut Merah Mesir (Porites lutea dan Porites compressa) mampu merekam Cd masing-masing 0,2 ppm(8,9). Secara umum kandungan logam Cd dalam terumbu karang massif Porites stephensoni relatif lebih rendah dibandingkan logam Pb. Dibandingkan hasil penelitian dari India maupun Mesir, terumbu karang dari perairan Kepulauan Seribu Jakarta Indonesia juga mempunyai kemampuan merekam sejumlah Pb maupun Cd walaupun konsentrasinya sedikit berbeda. Hasil penelitian Pb dan Cd dalam terumbu karang menunjukkan relatif lebih tinggi bila dibandingkan Pb dan Cd dalam air dan sedimen perairan Kepulauan Seribu yang dilaporkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa terumbu karang masif Porites stephensoni dimungkinkan sebagai perekam cemaran logam di suatu perairan. Seperti diketahui������������������������ , Cd dan Pb banyak ditemukan pada mineral-mineral sulfida. Dalam kegiatan industri, Cd banyak digunakan dalam industri electroplating, baterai, cat pigmen, stabilisator untuk PVC dan bahan paduan, sedangkan Pb dalam industri baterai, mobil, bahan pewarna keramik dan cat. Logam Cd juga terdapat sebagai unsur pengotor pupuk fosfat, deterjen dan produk minyak olahan (10). Keberadaan logam Pb dan Cd di perairan Jakarta Utara diduga terkait dengan pemanfaatan bahan yang mengandung logamlogam tersebut oleh berbagai industri di Utara Jakarta yang umumnya kurang tertib dalam pengolahan limbahnya.

26

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: • Skeleton terumbu karang jenis masif mampu merekam sejumlah logam Pb dan Cd selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun dengan konsentrasi relatif bervariasi. • Kecenderungan terjadinya peningkat -an kandungan Pb dan Cd di terumbu karang pada tahun-tahun di atas tahun 2000 diduga terkait adanya perubahan kondisi perairan di Kepulauan Seribu yang lebih tercemar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. • Dimungkinkannya terumbu karang masif Porites stephensoni sebagai perekam cemaran logam, maka ada potensi sebagai bioindikator bahan pencemar. • Sejauh ini, belum terlihat secara signifikan adanya pengaruh logam Pb dan Cd terhadap pertumbuhan terumbu karang Porites sp. DAFTAR PUSTAKA 1. Thierry Correge. 2006. “Monitoring of Terrestrial Input By Massive Corals”. Journal of Geochemical Exploration, 88: 380-383. 2. Harry Sudradjat Johari, 2009, “Analisis Pencemaran Logam Berat Cu, Cd Dan Pb Di Perairan Kabupaten Administrasi Kepulau an Seribu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Studi kasus Pulau Panggang

June Mellawati dan Ramadian Bachtiari: Sebaran Timbal dan Kadmium Dalam Terumbu Karang...

dan Pramuka”, Tesis pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkung an, Sekolah Pasca Sarjana, IPB Bogor.

Marine Pollution Bulletin Volume 54(12):1912-1922

3. BKSDA, 2009. “Cagar Alam Pulau Bokor”,. (http://bksdadki jakarta. com/?page_id=22. July - 10 – 2009. Diakses Juli 2010).

7. C. Bastidas, E. García. 1999. ”Metal Content on the Reef Coral Porites astreoides: an Evaluation of River Influence and 35 Years of Chronology”. Marine Pollution Bulletin. Volume 38: 10, 899-907.

4. Wikipedia. 2009. “Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Selatan, Kepulauan Seribu”. (http://id.wiki pedia.org/ wiki/Pulau_Tidung,_Kepulauan_ Seribu_Selatan,_Kepulauan_Seribu. Diakses Juli 2010).

8. S. Krishna Kumar, N. Chandrasekar, P. Seralathan.2010. “Trace Elements Contamination in Coral Reef Skeleton, Gulf of Mannar India”. Bulletin Environ -mental Contamination Toxicology 8: 141-146.

5. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, No. 4 Tahun 2001 tentang Pembentuk kan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta.

9. Hashem Abbas Madkour. 2005. “Geochemical And Environmental Studies Of Recent Marine Sediments And Some Hard Corals Of Wadi ElGemal Area of The Red Sea, Egypt”, Egyptian Journal of Aquatic Research Volume 31(1): 69-91

6. Saber A. Al-Rousan, Rashid N. AlShloul, Fuad A. Al-Horani, Ahmad H. Abu-Hilal. 2007. “Heavy metal contents in growth bands of Porites corals: Record of anthropogenic and human developments from the Jordanian Gulf of Aqaba”,

10. Sofia Banu Shah. 2008. Study of Heavy Metal accumulation in scleractinian Corals of Viti Levu, Fiji Islands. Master Thesis School of Marine Sciences Faculty of Islands and Oceans University of the South Pacific Suva, Fiji Islands, February 2008.

27

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

KAJIAN POTENSI BIOSURFAKTAN ISOLAT BAKTERI TERSELEKSI UNTUK DIMANFAATKAN DALAM BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR MINYAK BUMI Nida Sopiah1, Mulyono1, Susi Sulistia1 (Diterima tanggal : 13-10-2010; Disetujui tanggal : 13-12-2010)

ABSTRACT Biosurfactants are surface-active substances derived from living organisms, especially microorganisms. Bacterial strains used are consisted of four bacterial strains, coded I, LESR 1, LESR 2 and LESR 3, which previously isolated from petrochemical wastes. Two isolates, coded I and LESR 3 respectively, were potential biosurfactant producers. Both were identified as Gram-positive bacteria. Isolate I is a mixture of streptobacilli and diplobacilli, while isolate LESR3 is streptobacilli. Both isolates were able to emulsify gasoline at temperature of 280C and 800C, respectively, at salinity of 4% . The biosurfactant ability to increase the solubility of hydrophobic compounds enhances the bacterial performance in remediation of oil-contaminated soil. Keywords: Biosurfactant, remediation, microorganisms, oil-contaminated soil

ABSTRAK Biosurfaktan merupakan bioproduk yang dihasilkan makhluk hidup, khususnya mikroba, yang mempunyai sifat dapat menurunkan tegangan permukaan dan antar muka. Isolat bakteri yang digunakan terdiri dari empat isolat bakteri dengan kode isolat I, LESR 1, LESR 2 dan LESR 3, yang diisolasi dari tanah yang tercemar minyak bumi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa isolat I dan LESR3 merupakan isolat yang berpotensi menghasilkan biosurfaktan. Kedua isolat ini merupakan bakteri Gram positif. Uji morfologi sel bakteri diketahui bahwa isolat I merupakan campuran bakteri yang berbentuk batang berantai (streptobasil) dan batang berpasangan (diplobasil), sedangkan isolat LESR3 merupakan bakteri berbentuk batang berantai (streptobasil). Hasil uji emulsifikasi terhadap bensin, kedua bioproduk isolat ini mampu melakukan proses emulsi pada suhu kamar, suhu 800C ataupun pada salinitas 4%. Kemampuan biosurfaktan tersebut dapat membantu kinerja bakteri dalam meremediasi tanah yang tercemar minyak karena biosurfaktan mampu meningkatkan kelarutan senyawa hidrofobik Kata kunci : Biosurfaktan, remediasi, mikroba, tanah tercemar minyak

PENDAHULUAN Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 128 Tahun 2003 tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis menyatakan bahwa limbah minyak bumi yang dihasilkan usaha atau kegiatan minyak, gas dan panas bumi atau kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan 1

dengan baik(1). Salah satu upaya pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi dapat dilakukan dengan pengolahan secara biologis (bioremediasi). Bioremediasi merupakan suatu teknologi yang ramah lingkungan, yang mana mikroba memegang peranan yang sangat penting dalam proses degradasi limbah biologi. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan aplikasi bioremediasi adalah tersedianya mikroba yang mampu mendegradasi limbah tersebut. Mikroba berinteraksi dan beradaptasi dengan

Balai Teknologi Lingkungan BPPT Gedung 412 Kawasan Puspiptek Serpong, 15314. Telp 021-7560919/7563116

28

Nida Sopiah, Mulyono..... : Kajian Potensi Biosurfaktan Isolat Bakteri Terseleksi untuk Dimanfaatkan dam....

lingkungannya akan memberikan efek positif maupun negatif. Hal ini didasarkan bahwa di antara mikroba itu ada yang mampu menghasilkan bahan kimia berupa biosurfaktan, biopolimer, biofilm, biosolven, bioasam, dan biogas (2). Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja mikroba dalam meremediasi lahan tercemar minyak yaitu memperbaiki kondisi mikro lingkungan (intrinsic) dan pendekatan yang lainnya adalah dengan menambahkan strain-starin unggulan (bioaugmentation). Perbaikan kondisi lingkungan dapat dilakukan dengan menambahkan bahan tertentu (umumnya nutrient) atau dengan cara memperbaiki suplai oksigen. Teknik bioaugmentation dilakukan dengan melakukan pengembangan strain-strain unggul (3) yang menghasilkan biosurfaktan yang berfungsi untuk meningkatkan emulsifikasi hidrokarbon, sehingga kontak antara bakteri dengan hidrokarbon akan lebih efektif. Biosurfaktan memiliki karakteristik mereduksi tegangan permukaan dan antarmuka dengan mekanisme yang sama seperti pada surfaktan kimia. Secara struktural, biosurfaktan merupakan kelompok molekul dengan gugus permukaan aktif yang beragam. Biosurfaktan menjadi produk mikroba bernilai tinggi karena aksinya yang spesifik, toksisitas rendah, biodegradibilitas tinggi, efektif pada berbagai suhu, pH, salinitas dan struktur uniknya beragam dibandingkan surfaktan sintetik(4)(5). Biosurfaktan yang dihasilkan dapat diklasifikasikan ke dalam delapan kelompok yaitu biosurfaktan jenis glikolipid, lipopeptida/ lipoprotein, fosfolipid, antibiotik aktif permukaan, asam lemak/lipid netral, surfaktan

polimer, ornitin-lipid, surfaktan partikulat(4). Faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap produksi biosurfaktan adalah sumber karbon, sumber nitrogen, trace element dan faktor lingkungan seperti pH, suhu, agitasi, dan ketersediaan oksigen. Beberapa mikroba penghasil biosurfaktan yang pernah diteliti diantaranya adalah Pseudomonas sp, Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis strain JF-2, Pseudomonoas aeruginosa, dan Pseudomonas fluorescens(2),(6). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji potensi biosurfaktan dari isolat yang telah diseleksi dari beberapa isolat potensial yang berasal dari tanah tercemar minyak bumi. METODOLOGI Bahan Isolat bakteri Isolat bakteri yang digunakan sebanyak empat isolat dengan kode I, LESR1, LESR2 dan LESR3. Isolat ini merupakan koleksi Isolat dari Balai Teknologi Lingkungan BPPT yang diisolasi dari tanah tercemar minyak bumi yang berasal dari Kabupaten Siak, Riau. Media Percobaan Media percobaan yang digunakan dikelompokkan dalam dua kelompok. Media Bushnell-Haas yang dimodifikasi dengan Yeast Extract 0.12 % ditambah gliserol 2%, media Bushnell-Haas lainnya hanya ditambah gliserol 2%. Kedua media tersebut digunakan untuk mendapatkan media pertumbuhan yang cocok bagi bakteri untuk menghasilkan biosurfaktan. Komposisi dari media Bushnell-Haas adalah sebagai berikut : KH2PO4 0.5 gram, K2HPO4 29

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

0.5 gram, FeCl3 0.025 gram, CaCl2 0.01 gram, MgSO4 0.1 gram. Bahan-bahan tersebut di atas dilarutkan dengan 500 mL aquadest ke dalam botol media dan dihomogenkan untuk kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 120 o C dan tekanan 15 psi. Media Nutrient Agar (NA), Kedalam 1 L akuades dimasukkan 15 g pepton, 3 g ekstrak ragi, 6 g NaCl, 1 g glukosa, dan 15 g agar sambil dipanaskan dan diaduk hingga larut. Setelah semua bahan larut, media disterilisasi pada tekanan 15 psi selama 15 menit. Media NA yang telah steril kemudian dituang ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Masing-masing isolat bakteri diinokulasikan ke media NA dalam cawan petri dengan metode gores kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28oC. Media NA digunakan untuk menumbuhkan isolat pada media padat untuk selanjutnya isolat tersebut digunakan untuk diidentifikasi morfologi sel bakterinya. Alat yang digunakan Neraca analitik digunakan untuk menimbang secara analitis bahan-bahan media yang diperlukan untuk media tumbuh bakteri. Autoklaf digunakan untuk sterilisasi media tumbuh bakteri(Bushnell-Haas dan Nutrient Agar). Oven digunakan untuk sterilisasi peralatan gelas (tabung reaksi, cawan petri, pipet takar 10 mL dan pipet takar 5 mL). Prosedur Kerja : Inokulasi bakteri • Disiapkan sebanyak delapan buah labu Erlenmeyer 250 mL. Empat labu Erlenmeyer ini diisi dengan 100 mL media 30

Bushnell-Haas yang telah ditambahkan dengan 2 % gliserol dan Yeast extract 0,12% dan empat buah labu Erlenmeyer lainnya diisi 100 mL media BushnellHaas cair yang hanya ditambah gliserol 2%. Ke delapan labu Erlenmeyer ini selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 120 oC dan tekanan 15 psi selama 15 menit. Media diangkat dari autoklaf apabila suhu autoklaf telah mencapai suhu kamar. Inokulasi keempat isolat yaitu isolat I, LESR 1, LESR 2 dan LESR 3, dilakukan dengan mengambil masing-masing sebanyak satu ose secara aseptik dimasukkan kedalam kedua media Bushnell-Haas yang berbeda dan diletakkan di atas shaker selama 1x24 jam. Pengujian indeks emulsifikasi • Setelah 1x24 jam keempat bakteri dikulturkan pad media Bushnell-Haas yang dimodifikasi dengan yeast extract 0,12% ditambah gliserol 2% dan media Bushnell-Haas lainnya yang dimodifikasi hanya dengan penambahan gliserol 2%, masing-masing kultur pada kedua media selanjutnya disentrifugasi untuk memisahkan biakan bakteri dengan supernatannya. Supernatan yang diperoleh diuji indeks emulsifikasinya dengan cara menambahkan 1 mL bensin pada masing-masing 3 mL supernatan. Masing-masing campuran supernatan dan bensin ini selanjutnya dikocok menggunakan alat vortex, dan disimpan pada 3 perlakuan yang berbeda yaitu pada suhu kamar, suhu 80OC dan larutan salin (NaCl 4%, suhu kamar).

Nida Sopiah, Mulyono..... : Kajian Potensi Biosurfaktan Isolat Bakteri Terseleksi untuk Dimanfaatkan dam....

Gambar 1. Inokulasi Bakteri biosurfaktan dan Uji Emulsifikasi biosurfaktan.

Identifikasi morfologi sel bakteri Koloni bakteri yang telah diinokulasikan selama 1 x 24 jam diambil dengan menggunakan jarum ose secara aseptis, dipindahkan ke atas slide bersih yang telah diberi setetes air di atasnya, kemudian dibuat apusan kering. Apusan diwarnai dengan kristal violet selama 1 menit kemudian dicuci dengan akuades. Apusan ditetesi dengan iodine selama 2 menit, dialiri dengan akuades, dicuci dengan alkohol 95% setetes demi setetes hingga tetesan alkohol menjadi bening. Apusan dibilas lagi dengan akuades kemudian diwarnai dengan safranin selama 45 detik, dibilas lagi, dan diblot dengan kertas hisap secara hati-hati. Apusan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 100x

dengan bantuan minyak imersi. HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteri mampu mensisntesis tipe atau mengekskresikan biosurfaktan yang berbeda ketika ditumbuhkan pada beberapa sumber karbon maupun nitrogen dengan komposisi yang berbeda. Perbedaan dari jenis dan komposisi ini akan menyebabkan peningkatan produksi pada beberapa jenis bakteri, serta menyebabkan perubahan komposisi biosurfaktan yang dihasilkan. Hidrokarbon dan substrat tak-larut air (hidrofobik) dapat menginduksi produksi biosurfaktan, contohnya n-alkana, minyak zaitun, heksadekana, minyak biji bunga matahari, sedangkan penggunaan glukosa dan 31

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

metabolit primer lainnya dapat menyebabkan terjadinya represi katabolik(4). Penambahan s��������������������������� umber nitrogen yang digunakan juga dapat mempengaruhi biosurfaktan yang dihasilkan. Sumber nitrogen yang biasa digunakan dalam kultur bakteri adalah garam amonium, nitrat, dan urea. Produksi biosurfaktan akan meningkat dengan adanya penambahan asam amino (Asp, Glu, Asn, Gly). Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah faktor lingkungan yaitu pH, suhu, agitasi, dan ketersediaan oksigen. Tabel 1. Pengaruh media tumbuh pada bakteri terhadap produksi biosurfaktan Kode Isolat I LESR1 LESR2 LESR3

Media BushnellHaas + gliserol -

Media BushnellHaas + gliserol + yeast extract + + + +

Keterangan : (-) = bakteri tidak menghasilkan biosurfaktan (+) = bakteri menghasilkan biosu

Pada Tabel 1, dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh media tumbuh terhadap produksi biosurfaktan yang diekskresikan bakteri sangat berpengaruh nyata. Penambahan yeast extract pada media Bushnell-Haas dapat mempengaruhi produksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh keempat isolat yang diujikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya emulsifikasi dari masing-masing supernatan pada media cair Bushnell-Haas yang ditambahkan yeast extract 0.12 % dan gliserol 2%. Keempat isolat bakteri pada media BushnellHaas yang dimodifikasi dengan penambahan yeast extract menghasilkan uji emulsifikasi 32

positif sedangkan pada media Bushnell-Haas tanpa modifikasi penambahan yeast extract memberikan uji emulsifikasi negatif. Yeast extract mengandung asam-asam amino yang mampu menginduksi bakteri untuk menghasilkan biosurfaktan yang ditunjukkan dengan hasil positif pada uji emulsifikasi. Emulsifikasi terjadi karena adanya senyawa biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri atau diekskresikan secara ekstrasel yang memiliki sifat aktif-permukaan, mengandung bagian hidrofobik dan hidrofilik yang memungkinkan terakumulasi di antara fase cair, mampu membentuk

misel yang mampu mereduksi tegangan permukaan dan antarmuka sehingga meningkatkan kelarutan senyawa yang kurang larut dalam air. Dari data tersebut maka media BushnellHaas yang ditambahkan gliserol 2% dan yeast extract 0,12 % digunakam untuk pengujian emulsifikasi terhadap senyawa hidrofobik dari bakteri-bakteri yang diuji. Uji biosurfaktan pada supernatan yang dihasilkan dari inokulasi masing-masing bakteri pada media Bushnell-Haas + gliserol + yeast extract terhadap keempat isolat tunggal I, LESR1, LESR2, dan LESR3, menunjukkan bahwa supernatan yang dihasilkan dari isolat I dan LESR3 mampu mengemulsikan bensin baik pada suhu kamar, suhu 800C maupun dalam lingkungan yang salin (4%), sedangkan LESR 1 dan LESR 2 setelah disimpan selama 1 x 24 jam hampir tidak mengalami emulsifikasi. Uji biosurfaktan terhadap bakteri campuran LESR1, LESR2 dan LESR3 (Mix Culture) mengalami emulsifikasi pada masing-masing perlakuan akan tetapi daya emulsifikasinya lebih rendah daripada kode isolat I dan LESR3 (tabel 2)

Nida Sopiah, Mulyono..... : Kajian Potensi Biosurfaktan Isolat Bakteri Terseleksi untuk Dimanfaatkan dam....

Dari data tersebut diatas tampak bahwa enzim ekstraselular yang dihasilkan oleh keempat isolat baik tunggal maupun campuran memberikan respon yang hampir sama. Tabel 2. Kemampuan emulsifikasi bakteri t erhadap bensin setelah disimpan selama 1 x 24 jam Kode Isolat

Bensin, 270C

Bensin, 800C

Bensin , NaCl 4%, 270C

I LESR1 LESR2 LESR3 MixLESR3

++ +/+/++ +

++ ++ +

++ ++ +

Keterangan : (-)

= tidak terjadi emulsifikasi

(+/-) = emulsifikasi terjadi sedikit (+) = emulsifikasi terjadi sedang (++) = emulsifikasi terjadi banyak

Pengaruh suhu dan salinitas terhadap aktivitas biosurfaktan untuk mengemulsikan senyawa hidrofobik tidak memberikan efek negatif, sehingga biosurfaktan tersebut baik pada suhu kamar, maupun suhu 800C masih mampu mengemulsikan senyawa hidrofobik, begitu pula pada lingkungan yang mempunyai salinitas yang cukup tinggi, biosurfaktan masih mampu bekerja untuk mengemulsikan senyawa hidrofobik. Identifikasi koloni dari ke������������������� empat isolat ������������� menunjukkan bahwa isolat I mempunyai morfologi sel bakteri berupa batang berantai (streptobasil), dan sebagian lagi berupa batang berpasangan (diplobasil), dari uji pewarnaan Gram yang diamati dengan mikroskop, isolat I ini termasuk kedalam golongan Gram positif,

hal ini terlihat dari warna sel bakteri berwarna merah keunguan. Isolat LESR1 dan LESR3 mempunyai morfologi sel bakteri berupa batang berantai (streptobasil) dan dari uji pewarnaan Gram yang diamati dengan mikroskop, kedua isolat ini termasuk kedalam golongan Gram positif, hal ini terlihat dari warna sel bakteri berwarna merah keunguan. Isolat LESR2 mempunyai morfologi sel bakteri berupa bulat (coccus) dan dari uji pewarnaan Gram yang diamati dengan mikroskop, isolat LESR 2 ini termasuk kedalam golongan Gram negatif, hal ini terlihat dari warna sel bakteri berwarna merah pucat (tabel 3). Tabel 3. Identifikasi Morfologi sel bakteri Kode Isolat I

Morfologi Sel

Gram

Batang berantai (streptobasil), sebagian

+

batang berpasangan LESR1

(diplobasil) Batang berantai

+

(streptobasil) LESR2 Bulat (kokus)

-

LESR3 Batang berantai

+

(streptobasil)

33

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

KESIMPULAN Perbedaan dari jenis dan komposisi media tumbuh bakteri akan mempengaruhi produksi dan enzim ekstraselular yang diekskresikan oleh bakteri. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap aktivitas biosurfaktan yang dieksresikan isolat I dan LESR3 memberikan respon yang positif dalam mengemulsikan senyawa hidrofobik. B��������������������������������������� iosurfaktan mempunyai sifat dapat menu����� runkan tegangan permukaan dan antarmuka, tolerans terhadap pH, suhu, dan ion. Biosurfaktan meningkatkan kelarutan senyawa hidrofobik sehingga mampu meningkatkan dan mempercepat laju degradasi polutan oleh mikroba. Pemanfaatan biosurfaktan dapat digunakan dalam meremediasi tanah maupun air yang tercemar minyak karena biosurfaktan mampu ����������������������������������� meningkatkan emulsifikasi hidrokarbon, sehingga kontak antara bakteri dengan hidrokarbon akan lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA 1. K e p u t u s a n M e n t e r i N e g a r a Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis, 2003. 2.

Kadarwati,S., Sri A.R. dan Sugihardjo, (2004), Lembaran Publikasi , LEMIGAS vol 38 (2)

3.

Kardena, E. 2003, Persistent Organic Pollutans (POPs) dan Peran Organisme dalam Proses Detoksifikasi di Lingkungan, Buku Abstrak ”Peran Mikrobiologi dalam Pemanfaatan Biodiversitas Tropis bagi Pengembangan Industri, Pertanian, Lingkungan dan Pengendalian Penyakit”, Pertemuan Ilmiah tahun 2003, Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, hal. 28-29.

4.

K. Muthusamy, S. Gopalakrishnan, T.K. Ravi,dan P. Sivachidambaram (2008), Biosurfactants: Properties, commercial, production and application, Current Sci.Vol(94(6) : 736-747

5.

Al-Araji, L., Abd.-Rahman, R.N.Z.R., Basri, M. dan Salleh, A.B. 2007, Microbial surfactant. Asia Pacific J. Mol. Biol. and Biotech. (15) : 99-105.

6.

G. C. Okpokwasili dan A. A. Ibiene (2006), Enhancement of recovery of residual oil using a biosurfactant slug, African Journal of Biotechnology Vol. 5 (5), 453-456

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan Balai Teknologi Lingkungan BPPT, khususnya rekan-rekan di Laboratorium Mikrobiologi dan Proses atas fasilitas dan keramahan yang diberikan. Penulispun menghaturkan ucapan terima kasih kepada mbak Eko dan mas Sandri atas jerih payahnya dalam mengisolasi bakteri sehingga kajian terhadap keempat isolat ini dapat terlaksana.

34

Zilfa, hamzar Suyani.....: Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar......

DEGRADASI SENYAWA PERMETRIN DENGAN MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM TERPILAR TiO2-ANATASE SECARA SONOLISIS Zilfa, Hamzar Suyani, Safni, Novesar Jamarun Laboratorium Kimia Analisa Terapan MIPA UNAND e-mail: [email protected] (Diterima tgl : 01-11-2010; Disetujui tgl : 18-05-2011)

ABSTRACT Permethryn is a synthetic pyrethroid pesticides which is lees toxic to mammals and very toxic to fish, water insects and microorganisms. The permethryn compound degradation research had been done by sonolysis method using natural zeolyte supported TiO2-anatase as catalyst on the treatment of certain condition. Degradation is done sonolysis method using ultrasonic wave with at frequency 45 KHz. The samples are permethryn 96,1 % and narural zeolyte supported TiO2-anatase as catalyst which can accelerate the degradation quickly and efficiently. Meanwhile, UV spectrophotometer is used to analyze samples at a wavelength of 272 nm. As a result, using the sonolysis could degrade the permethryn compound 20 mg/L at 40oC and 120 minutes of irradiation time, without the addition of natural zeolyte supported TiO2-anatase reached 22,23 %, and the degradation permethryn 20 mg/L at 40oC and irradation time 75 minutes with the addition of 50 mg natural zeolyte supported TiO2-anatase up to 81,10 % by 75 minutes of radiation time. Keywords: Degradation, permethryn, TiO2-anatase, zeolyte, sonolysis.

ABSTRAK Permetrin merupakan golongan insektisida piretroid sintetik yang kurang toksik bagi mamalia tapi sangat toksik bagi ikan, serangga dan mikroorganisme air Penelitian tentang degradasi senyawa permetrin telah dilakukan dengan menggunakan zeolit alam terpilar TiO2-anatase secara sonolisis pada beberapa kondisi perlakuan.. Degradasi dilakukan secara sonolisis menggunakan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 45 KHz. Sampel yang digunakan adalah permetrin 96,1%. Sedangkan zeolit alam terpilar TiO2-anatase digunakan sebagai katalis untuk membantu degradasi secara cepat dan efisien. Hasil iradiasi dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 272 nm. Degradasi permetrin 20mg/L pada suhu 40oC dan waktu iradiasi 120 menit, tanpa penambahan zeolit alam terpilar TiO2- anatase mencapai 22,23%. Sedangkan degradasi permetrin 20 mg/L pada suhu 40oC dan waktu iradiasi 75 menit dengan penambahan 50 mg zeolit alam terpilar TiO2- anatase menghasilkan 81,10 %. Kata kunci: Degradasi, permetrin, TiO2-anatase, zeolit, sonolisis.

PENDAHULUAN Pestisida merupakan salah satu hasil teknologi modern yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penggunaan pestisida perlu dikelola sedemikian rupa, sehingga manfaatnya dapat dioptimalkan dan efek samping yang membahayakan dapat ditekan sekecil mungkin1,6. Mengingat pestisida merupakan zat yang beracun, maka penggunaan yang tidak bijaksana jelas akan menimbulkan efek samping bagi kesejahteraan manusia, sumber daya hayati dan lingkungan1,2,16.

Pestisida yang sering dipakai adalah permetrin, karena harganya murah dan mudah didapatkan. Permetrin adalah suatu piretroid sintetik yang telah digunakan sebagai pembasmi serangga yang efektif yang mempunyai sifat tidak berbau, dan dapat membasmi serangga apabila sudah berkontak dengan serangga tersebut. Permetrin termasuk jenis pestisida organoklorin yang mempunyai dua diastomer dengan bahan kimia dan berbeda secara fisik dan toxikologikal. Teknik penentuan permetrin telah dilaporkan yang lebih baik 35

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Gambar 1. Struktur Senyawa Permetrin adalah dengan menggunakan peralatan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan gas kromatografi3,4,5. Munawir Khasanah telah melakukan penelitian organoklorin di perairan Indonesia yaitu di muara-muara sungai Sumatera, Teluk Jakarta dan lain-lain ternyata kadar pestisida yang diperoleh sudah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk kehidupan biota laut seperti yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup3,7. Untuk menanggulangi limbah pestisida ini telah banyak dilakukan penelitian seperti membakar, namun akan menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya pembentukan senyawa baru seperi senyawa klorin, karbon monoksida dan lain-lain2,4,8. Telah dilakukan penelitian degradasi permetrin dengan menggunakan 200 mg zeolit alam persen degradasi 52 % dan 8 mg TiO2-anatase persen degradasi 45 % pada suhu 40o C selama waktu iradiasi 120 menit secara sonolisis. 36

Untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat degradasi lebih baik dan lebih tinggi telah dilakukan penelitian dengan menggunakan zeolit alam terpilar TiO 2-anatase secara sonolisis9,11. Zeolit alam sangat banyak terdapat di Indonesia karena sifatnya yang unik yaitu mempunyai struktur sangkar dan mempunyai molekul air didalamnya melalui pemanasan menyebabkan molekul air mudah lepas dan juga zeolit merupakan padatan asam Bronsted melalui pengaturan perbandingan Si/Al dalam kerangka kristal sehingga zeolit spesifik sebagai katalisator 20 . Dengan demikian maka zeolit berpotensi besar digunakan untuk penanggulangan limbah diantaranya limbah pestisida5,8. Sedangkan material yang sering digunakan lagi adalah TiO2-anatase karena bersifat semikonduktor sehingga dapat mengoksidasi pencemar senyawa organik yang mengakibatkan terjadinya

Zilfa, hamzar Suyani.....: Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar......

degradasi senyawa tersebut6,11,19. Terjadinya pensuportan oleh TiO2-anatase pada zeolit akan menghasilkan degradasi lebih banyak dan efisiensi pemakaian material, dengan adanya getaran ultrasonik pada media air maka terbentuk radikal OH dan dengan adanya zeolit terpilar TiO2 maka terjadi pembentukan OH yang banyak dan terlebih dahulu melalui adsorpsi oleh zeolit sehingga penguraian pencemar semakin banyak dan degradasi semakin tinggi7,9,10. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Dan Alat Bahan Senyawa Permetrin 96,1% v/v, acetonitril p.a, TiO2–anatase (Ishihara Sangya LTD.Japan, dan zeolit alam jenis mordenit berasal dari tasikmalaya yang telah diaktifkan, akuades Alat Sonikator dengan kuat getar 45 KHz, spektrofotometer,Uv-Vis, sentrifuse 6500 rpm, dan alat gelas lainnya Zeolit terpilar TiO2 Preparasi katalis zeolit terpilar TiO2 Tahap ini meliputi preparasi Na-zeolit, pilarisasi zeolit dengan TiO2 . Preparasi Na-Zeolit Zeolit alam asal Tasikmalaya jenis mordenit (Laniwati,1999) diayak menggunakan pengayak berukuran 250 mesh. Kemudian dicuci dengan aquades, disaring, dan dikeringkan dalam oven. Zeolit ini kemudian dijenuhkan dengan NaCl sambil diaduk selama 24 jam, kemudian dicuci dengan air bebas mineral. Pencucian ini bertujuan

untuk menghilangkan ion klorida yang mungkin terdapat pada permukaan Na-Zeolit dan dilakukan sampai filtrat yang diperoleh menjadi jernih dan menunjukkan uji negatif terhadap larutan AgNO3. Pilarisasi Zeolit Na-Zeolit didispersikan ke dalam air bebas ion (deionized water) dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 jam. Na-Zeolit yang telah terdispersi kedalam air bebas ion dituangkan sedikit demi sedikit ke larutan Titan sampai diperoleh perbandingan tertentu. Hasil interkalasi dipisahkan dengan penyaringan vakum kemudian dicuci beberapa kali dengan air bebas ion sampai terbebas dari ion klorida. Zeolit alam asal tasikmalaya jenis mordenit yang telah terinterkalasi kompleks titan dikeringkan dalam oven pada temperatur 110oC-120°C. Setelah kering, sampel digerus sampai halus kemudian diayak menggunakan pengayak ukuran 100 mesh. Hasil ayakan dikalsinasi pada temperatur 350°C selama 12 jam hasil ini disebut zeolit terpilar TiO2. Prosedur Kerja. Larutan induk dibuat dengan cara mengencerkan 5 mikroliter permetrin 96,1% (b/b) dengan acetonitril ke dalam labu ukur 25 ml. Pengukuran panjang gelombang dilakukan dengan membuat beberapa variasi konsentrasi permetrin yaitu (10, 20, 30, 40, 50) ppm, lalu diukur absorban serapan maksimum dari senyawa permetrin dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Larutan permetrin dengan konsentrasi 20 mg/L disonolisis dengan variasi suhu, lalu diukur absorban dengan Spektrofotometer UV-VIS. Pada kondisi suhu optimum 20 mg/L permetrin 37

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Gambar 2. Spektrum Panjang Gelombang Maximum Permetrin dengan Variasi Konsentrasi dari Bawah ke Atas adalah 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm.

disonolisis dengan variasi waktu, lalu diukur absorban dengan spektrfotometer UV-VIS. Selanjutnya dilakukan sonolisis dengan variasi jumlah, waktu zeolit alam terpilar TiO2-anatase. Hasil sonolisis disentrifus selama 15 menit untuk memisahkan TiO2anatase terpilar zeolit alam dengan larutannya, filtratnya lalu diukur absorbanya dengan spektrofotometer UV-VIS. Perbedaan serapan awal dengan serapan akhir setelah disonolisis yang dideteksi dengan spektrofotometer UVVIS menunjukkan adanya senyawa permetrin yang telah terdegradasi.

38

HASIL DAN DISKUSI Penentuan Panjang Gelombang Senyawa Permetrin Pengukuran serapan maksimum permetrin dilakukan pada daerah panjang gelombang 200-400nm. Dari hasil spektrum beberapa variasi konsentrasi didapatkan panjang gelombang maksimum pada 272-274 nm. Pada Gambar 2 memperlihatkan dengan kenaikan konsentrasi didapatkan kenaikan absorban secara kontinyu pada panjang gelombang 272 nm. Dengan ini dapat dikatakan bahwa senyawa permetrin menyerap sinar UV pada panjang gelombang 272 nm4. Untuk proses degradasi selanjutnya dilihat dari spektrum linier maka konsentrasi yang dipakai adalah 20 mg/L. Hal ini diasumsikan bahwa seandainya terdegradasi 100 % masih terlihat absorban paling kecil adalah 0,00213.

Zilfa, hamzar Suyani.....: Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar......

Pengaruh Suhu Terhadap Degrad

Gambar 3. Pengaruh Suhu Terhadap Degradasi Permetrin 20 mg/ L dengan Waktu Irradiasi 60 menit.

Gambar 3 memperlihatkan bahwa % degradasi terbesar adalah pada suhu 40 o C,hal ini disebabkan bahwa degradasi senyawa permetrin paling banyak pada suhu 40oC, sedangkan sebelum suhu 40 o C belum terdegradasi secara sempurna setelah lebih dari 40oC % degradasi menurun. Sebenarnya permetrin terdegradasi lebih sempurna tapi absorban sudah dipengaruhi oleh intermedietintermediet yang lain yang mempengaruhi atau memperbesar absorban, atau biasa juga disebabkan oleh sifat scattering12,14.

Pengaruh Waktu Terhadap Irradiasi Gambar 4 memperlihatkan pengaruh waktu degradasi, semakin lama waktu degradasi maka senyawa permetrin semakin banyak terdegradasi, namun perubahan terbesar adalah pada waktu 120 menit maka diambil waktu optimum adalah 120 menit dan untuk efisien alat juga disini lebih bagus pada 120 menit karena setelah 120 menit alat ultrasonik memperlihatkan getaran agak lemah. Terjadinya degradasi akibat dipengaruhi oleh reaksi dialisis pada air oleh getaran ultrasonic11,15.

Gambar 4. Pengaruh Waktu Irradiasi Terhadap Degradasi Permetrin 20 mg/L dengan Suhu 40oC 39

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Reaksi homolisis air yang terjadi dalam proses sonolisis H2O

H• + •OH

H• + O 2

HO2•

2 •OH

H 2O 2

2 HO2•

H2O2+O2



OH + ½ O2

Air diubah menjadi radikal H+ dan radikal OH- sebagai radikal bebas utama yang berperan dalam reaksi degradasi dan kecepatan pembentukan OH- tersebut dipengaruhi oleh efisiensi sonolisis. Radikal ���������������������� ini mampu menguraikan limbah organik karena potensial oksidasinya yang tinggi. Radikal OH- yang dihasilkan tersebut juga dapat bergabung satu sama lain membentuk H 2O 2 . Untuk meningkatkan efisiensi degradasi sonolisis ditambahkan katalis yang dapat meningkatkan produksi radikal OH- sehingga mempercepat proses degradasi16,18.

Pengaruh Penambahan TiO2-anatase Terpilar Zeolit Alam Terhadap Degradasi Gambar 5. Memperlihatkan pengaruh penambahan zeolit alam terpilar TiO2-anatase (katalis) pada waktu sonolisis 75 menit, bahwa persen degradasi bertambah seiring pertambahan jumlah katalis, dimana jumlah katalis yang optimal adalah 50 mg sementara semakin besar jumlah katalis persen dengradasi adalah tetap. Berarti disini terjadi antar aksi antara zeolit dan TiO2-anatase, dimana fungsi dari TiO2-anatase adalah mengoksidasi dan memperbanyak radikal OH, sedangkan zeolit berfungsi sebagai peningkatan mineralisasi, karena pada pengikatan zeolit dengan TiO2 adalah berbentuk Ti-O-Si, dengan demikian terjadi proses yang sinergis antara zeolit dan TiO27,8.

Gambar 5. Pengaruh Jumlah TiO2-zeolit Terhadap Degradasi Permetrin 20 mg/L dengan Waktu Irradiasi 120 Menit dan Suhu 40 oC.

40

Zilfa, hamzar Suyani.....: Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar......

Gambar 5. Pengaruh Variasi Waktu Setelah Penambahan 0.05 g TiO2-zeolit dengan Suhu 40oC.

Pengaruh Waktu Irradiasi Setelah Penambahan TiO2-anatase Terpilar Zeolit Alam Terhadap Tingkat Degradasi. Pengaruh waktu dengan penambahan zeolit alam terpilar TiO2-anatase pada proses iradiasi adalah semakin lama waktu persen degradasi semakin tinggi. Gambar 6 memperlihatkan bahwa waktu yang menghasilkan persen degradasi terbesar adalah pada waktu 75 menit yaitu 81,10 %, sedangkan semakin lama waktu iradiasi persen degradasi agak menurun ini disebabkan semakin lama proses irradiasi larutan semakin jenuh sehingga mengakibatkan terjadinya efek scattering, penurunan degradasi tidak terlalu signifikan.

KESIMPULAN Dari hasil yang didapatkan ternyata degradasi permetrin 40 derjat celcius tanpa penambahan zeolit alam terpilar TiO2-anatase waktu iradiasi

120 menit adalah 22,23 %, sedangkan dengan pemakaian 50 mg zeolit alam terpilar TiO2anatase adalah 81,10 % pada waktu iradiasi 75 menit. Disini dapat direkomendasikan bahwa pemakaian zeolit alam yang dipilar dengan TiO2anatase menghasilkan degradasi lebih besar dan pemakian waktu lebih pendek, dan juga dapat diasumsikan bahwa zeolit alam Indonesia dapat berpotensi lebih besar pemanfaatannya. DAFTAR PUSTAKA 1. H. Lutnicka, Degradation of Pyrenthroids in An Aquatic, J.Wat. Res, 33(16): 341-346, (1999). 2. V. T. Riza dan Gayatri, IngatlahBahaya Pestisida, Bunga Rampai Residu Pestisida dan Alterntifnya, Pestisida, Action Net Work (PAN), Jakarta, 1994. 3. K. Munawir, Pemantauan Kadar Pestisida Organoklorin, J. Osenologi dan 41

Ecolab Vol. 5 No. 1 Januari 2011: 1 - 44

Tabel 1. Perbedaan Hasil Degradasi Tanpa dan Dengan Penambahan 0,05 g TiO2-anatase Terpilar Zeolit Alam

Limnologi di Indonesia, 37: 13-23, (2005). 4. E. Garcia, Validated HPLC methode for quantifying permethrin in pharmaceutical formulation, J. Pharmaceutical, 24, (2001). 5. J. Wang, B. Guo, X. Zhang, J. Han, J. Wu, Sonocatalytic Degradation of Methyl Orange in the presence of TiO2 Catalysts and Catalytic Activity Comparison of Rutile and Anatase, J. Ultrasonic Sonochemistry, 12: 331337, (2005). 6. M. Chun Lu, Effect of Adsorbents COATED With Titanium Dioxide On The Photocatalytic Degradation Of Propoxur J. Chemosphere, 38(3):617627,(1999) 7. G. Tezcanly-Guyer, N. H. Ince, Degradation and toxicity reduction of textile, J. Ultrasonic Sonochemistry, 10:235240. (2003). 8. H. Destaillats, Application of Ultrasound in NAPL, J. Environ. Sci. Technol., 35: 3019-3024, (2001). 9. Zilfa, Safni, H. Suyani, N. Jamarun, 42

Degradasi Senyawa Permetrin Dengan Menggunakan TiO2-Anatase Dan Zeolit Alam Secara Sonolisis, J. Ris. Kim, 2, 2, 194-199 (2009). 10. S. Javier, The Combination of Heterogeneous Photocatalysis With Chemical and Physical Operation: A Tool for Improving the Photoproses Performance, J, of Photochemistry and Photobiology C: Photchemistry Revieus, 7 (2006) 127-144. A. Hiskia, Sonolytic, Photolytic, and Photocatalytic decomposition of Atrazine in the presence of Polyoxometalates, J. Environ. Sci. Technol., 35: 2358-2364, (2001). 11. D. Setiawan, P. Handoko. Preparasi Katalis Cr / Zeolit Melalui Modofikasi Zeolit Alam FMIPA Jember. 12. K. Tanaka. Improved Photocatalytic activity of Zeolit- and SilicaIncorporated TiO 2. J.of Hazardous Materials B 137 (2006) 947-951 13. M.B. Kasiri, Degradation Of Acid Blue 74 using Fe-ZSM5 Zeolite as a heterogeneous photo-Fenton Catalyst. J.Applied Catalysis B: Environmental 84 (2008) 9-15.

Zilfa, hamzar Suyani.....: Degradasi Senyawa Permetrin dengan Menggunakan Zeolit Alam Terpilar......

14. A. Hiskia, Sonolytic, Photolytic, and Photocatalytic decomposition of Atrazine in the presence of Polyoxometalates, J. Environ. Sci. Technol., 35: 2358-2364, (2001). 15. Safni, Maizatisna, Zulfarman, dan T. Sakai, Degradasi Zat Warna Naphtol Blue Black Secara Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO2-anatase, J. Ris. Kim., 1(1): 43-48, (2007). 16. Safni, U. Lukman, F. Febrianti, Degradasi Zat Warna Sudan I Secara Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO2-anatse, J. Ris. Kim., 1(2): 164170, (2008). 17. Safni, Z. Zuki, C. Haryati, Maizatisna, Degradasi Zat Warna Alizarin Secara

Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO2-anatase, J. Pilar Sains, 17(1): 31-38, (2008). 18. Safni, Zulfarman, D. F. Wulandari, Maizatisna, Degradasi Indigo Carmin Secara Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO 2-anatase, J. Sains MIPA, 14(3): 143-149, (2008). 19. Safni, Zulfarman, F. Sari, Degradasi Methanil Yellow Secara Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO­2anatase, (2009), will be submitted. 20. Y. Era, Safna, H. Suyani, T. Sakai, Degradasi Senyawa Paraquat Dalam Pestisida Gramoxone® Secara Fotolisis Dengan Penambahan TiO2-Anatase, J. Ris. Kim. 2, 2, 94-100 (2008).

43

Suplemen

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. RTM. Sutamihardja 2. Dr. Ir. Ning Purnomohadi,MS 3. Ir. Isa Karmisa Ardiputera 4. Dr. Yanni Sudiyani Sebagai Mitra Bestari atas kesediaannya melakukan review pada Jurnal Ecolab Volume 4 tahun 2010.

Januari 2011 Dewan Redaksi Jurnal Kualitas Lingkungan Hidup Ecolab

44