Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
ISSN : 2528-3057
MADURANCH JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN Terbit 2 kali setahun (Agustus dan Februari)
Ketua Redaksi Desi Maharani Agustini Sekretaris Redaksi Bambang Kurnadi Redaksi Pelaksana Riszqina Malikah Umar Joko Purdiyanto Suparno Desi Kurniati Agustina
Mitra Bestari Syarif Imam Hidayat (UPN. Veteran Jatim) Sudiyarto (UPN. Veteran Jatim) Edhy Sudjarwo (Universitas Brawijaya Malang) Puguh Surjowardojo (Universitas Brawijaya Malang) Wehandaka Pancapalaga (Universitas Muhamadiyah Malang) Irma Susanti (Universitas Sulawesi Barat) Sekretariat Selvia Nurlaila
Diterbitkan oleh Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Madura Alamat Redaksi Program Studi Peternakan Kampus Universitas Madura Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327418 e-mail :
[email protected]
MADURANCH JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
ISSN : 2528-3057
ANALISIS POTENSI TERNAK SAPI POTONG MELALUI PENDEKATAN LAHAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA DI KECAMATAN GALIS KABUPATEN PAMEKASAN Zainal Arifin dan Riszqina ………………………………………………………………… PEMANFAATAN FERMENTASI BATANG PISANG (GEDEBOG) SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK KELINCI Miftahur Rizkiyah dan Desi Kurniati Agustina………………………………………….. EVALUASI KUALITAS DENDENG YANG BEREDAR DI PASARAN KABUPATEN PEMEKASAN DENGAN METODA UJI SENSORIS
1 - 12
13 - 16
17 - 22
Joko Purdiyanto ……………………………………………………………………………...
POTENSI LIMBAH AMPAS TAHU SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMEKASAN KABUPATEN PAMEKASAN Suparno dan Moh. Muhlasin……………………………………………………………… PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI BIBIT MADURA MELALUI PENDEKATAN ONE TAMBON ONE PRODUCT (OTOP) DI PULAU MADURA Farahdilla Kutsiyah…………………………………………………………………………. MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU PROPINSI SULAWESI SELATAN Yudi Adinata, L. Affandhy, dan A. Rasyid ………………………………………………...
23 - 28
29 - 39
41 - 46
1
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG MELALUI PENDEKATAN LAHAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA DI KECAMATAN GALIS KABUPATEN PAMEKASAN Arifin M.Z. dan Riszqina Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail :
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian yaitu: 1) mengetahui potensi pengembangan ternak sapi potong 2) mengetahui potensi sumber daya alam, 3) mengetahui potensi Sumber Daya Manusia dan 4) mengetahui dukungan kelembagaan pendukung bagi pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Penelitian dilakukan mulai tanggal 30 Juni hingga tanggal 12 Juli 2015, menggunakan metode survey pada sampel penelitian. Sampel penelitian sebanyak 306 peternak, ditentukan dengan rumus Slovin terhadap peternak dan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari wawancara dengan peternak dan pihak-pihak terkait. Data sekunder didapat dari Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pamekasan. Analisis data menggunakan analisis Location Quation (LQ) dan analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) serta analisis deskriptif terhadap karakteristik usaha ternak dan peternak sapi potong. Hasil LQ menunjukkan bahwa pada desa-desa di Kecamatan Galis yang memiliki nilai LQ > 1 merupakan wilayah basis, meliputi desa Pagendingan, Galis, Bulay, Polagan dan Konang. Desa-desa yang memiliki LQ < 1 merupakan wilayah non basis, terdiri dari desa Artodung, Tobungan, Ponteh, Lembung dan Pandan. Nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) efektif di Kecamatan Galis diperoleh sebanyak 590,39 ST, terdiri dari 547,60 ST (Desa Konang), 30,05 ST (Desa Ponteh) dan 12,74 ST (Desa Pandan). Analisis deskriptif menjelaskan bahwa sumber daya manusia, kelembagaan pendukung dan infrastruktur yang ada, kurang mencukupi dan belum optimal untuk pengembangan ternak sapi potong. Kata Kunci: Potensi Pengembangan, Sapi Potong, Kecamatan Galis-Pamekasan
PENDAHULUAN Permintaan akan produk daging sapi di Jawa Timur hingga saat ini cenderung meningkat, sementara itu pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi meningkatnya jumlah permintaan dalam negeri (Winarso, 2005). Penurunan daya dukung sumberdaya alam (pakan) untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian serta perubahan pola budidaya ternak menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ternak (Hartono, 2012). Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Jawa Timur, memiliki luas daerah atau luas wilayah Kabupaten Pamekasan 79.230 Ha. Populasi sapi Madura di Kabupaten Pamekasan tahun 2013 berjumlah 149.855 ekor. Kecamatan Galis merupakan salah satu daerah sentra pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Pamekasan dengan luas wilayah 31,86 km2. Populasi sapi potong di Kecamatan Galis pada tahun 2013 berjumlah 3.519 ekor. Tujuan penelitian, antara lain: (1) mengetahui potensi
pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis. (2) mengetahui potensi Sumber Daya Alam di kecamatan Galis sebagai salah satu kawasan untuk pengembangan ternak sapi potong (3) mengetahui potensi Sumber Daya Manusia di Kecamatan Galis sebagai salah satu kawasan untuk pemeliharaan sapi potong (4) mengetahui dukungan kelembagaan dan infrastruktur bagi pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan mulai tanggal 30 Juni hingga tanggal 12 Juli 2015. Materi Penelitian adalah peternak dan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis serta ketersediaan pakan (sumber daya alam) dan pola tanam tanaman pangan (BPS Kabupaten Pamekasan, 2014). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode survey terhadap peternak sapi potong dengan menggunakan kuesioner sebagai alat panduan wawancara.
2 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
Jumlah peternak yang digunakan sebagai populasi penelitian sebanyak 1.617 peternak (Dinas peternakan Kecamatan Galis, 2014). Topografi beberapa desa di Kecamatan Galis terdapat perbedaan, yaitu wilayah Desa Bukan Tepi Pantai (DBTP) dan wilayah Desa Tepi Pantai (DTP). Perbedaan topografi menyebabkan perbedaan ketersediaan hijauan, sehingga penentuan sampel disesuaikan dengan pembagian wilayah (Sugiyono, 2011). Penentuan sampel dari wilayah DBTP dan DTP menggunakan Rumus Slovin, (Setiawan, 2007) sebagai berikut: Rumus Slovin: Keterangan :
(1) n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan (5%)
Total sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 306 peternak di Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan. terdiri dari 283 peternak dalam wilayah DBTP dan 23 peternak dalam wilayah DTP. Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, data primer dan data sekunder; 1. Data primer diambil melalui survey lokasi dan wawancara langsung terhadap responden (peternak sapi potong di kecamatan Galis, kabupaten Pamekasan). 2. Data sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh dari Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan BPS Kabupaten Pamekasan. Variabel yang diukur: 1. Location Quation (LQ) Menurut Budiharsono dan Sugeng (2001) bahwa, metode ini bisa melihat keadaan wilayah, apakah suatu wilayah merupakan sektor berbasis atau tidak basis khususnya dalam hal populasi ternak sapi potong. Menurut Hartono (2012), bahwa metode LQ digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan di suatu wilayah dengan rumus sebagai berikut: (2)
Keterangan: vi = Total Populasi Sapi Potong Desa vt = Total Jumlah Kepala Keluarga Desa Vi = Total Populasi Sapi Potong Kecamatan Vt = Total Jumlah Kepala Keluarga Kecamatan Hendayana (2003) menjelaskan hasil perhitungan LQ menghasilkan 3 kriteria sebagai berikut: a. LQ > 1 artinya : komoditas tersebut menjadi sumber pertumbuhan hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat di ekspor keluar wilayah. b. LQ = 1 artinya : komoditas tersebut tergolong non basis. Tidak memiliki keunggulan kooperatif. Hasilnya hanya dapat memenuhi kebutuhan wilayah itu sendiri dan tidak dapat di ekspor keluar wilayah. c. LQ < 1 artinya : komoditas tersebut juga tergolong non basis. Hasilnya hanya dapat memenuhi kebutuhan wilayah itu sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar wilayah. 2. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia Untuk menganalisis potensi pengembangan usaha sapi potong di Kecamatan Galis, menggunakan perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR). Metode ini merujuk pada Fariani (2008) dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Potensi Maksimum berdasarkan Sumber Daya Alam/PSML (Daya Dukung Wilayah) dirumuskan: PSML = Daya Dukung Lahan Pertanian + Daya Dukung Tanaman Pangan (3) Keterangan: 1. Daya Dukung Lahan Pertanian = Kontribusi Lahan Pertanian x 3,75. Daya dukung lahan pertanian diperoleh dari kontribusi padang rumput dan non padang rumput (sawah, perkebunan, hutan dan tegalan). 2. Kontribusi Lahan Pertanian = Luas Lahan x Koefisien Kontribusi lahan.
Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 3
3. 3,75 adalah koefisien yang dihitung sebagai kapasitas dukung lahan pertanian dalam satuan ternak. 4. Daya Dukung Tanaman Pangan = Produksi Limbah Pertanian/2,3. Daya dukung tanaman pangan diperoleh dari kontribusi produksi limbah pertanian tanaman pangan (padi, jagung, kacang tanah, kacang ijo, ubi kayu, ubi jalar dan kedelai). 5. Produksi Limbah Pertanian = Luas Panen x Koefisien Kontribusi Luas Panen. 6. 2,3 adalah koefisien yang dihitung sebagai kebutuhan berat kering (ton/tahun) untuk satu satuan ternak. b. Potensi Maksimum berdasarkan Keluarga Petani (PMKK) dirumuskan: PMKK = c x KK (4) Keterangan: c : Koefisien yang dihitung berdasarkan jumlah satuan ternak (ST) dapat dipelihara oleh suatu keluarga yaitu 2,33 ST/KK. KK : Kepala Keluarga petani c. Nilai KPPTR: KPPTR (SL) = PSML – Popril KPPTR (KK) = PMKK – Popril
(5) (6)
Keterangan: KPPTR (SL): Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan sumber daya alam. KPPTR (KK): Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (ST) berdasarkan kepala keluarga petani. Popril: Populasi riil (populasi ternak lokasi penelitian) d. KPPTR Efektif: KPPTR (SL), jika KPPTR (SL) < KPPTR (KK) KPPTR Efektif: adalah Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Sumber Daya Alam, jika Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Sumber Daya Alam lebih kecil dari Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Kepala Keluarga petani. e. KPPTR Efektif: KPPTR (KK), jika KPPTR (KK) < KPPTR (SL) KPPTR Efektif: adalah Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Kepala Keluarga petani, jika Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Kepala Keluarga petani lebih kecil dari Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Sumber Daya Alam. KPPTR Efektif ditetapkan sebagai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di daerah penelitian, yaitu KPPTR (SL) atau KPPTR (KK) yang mempunyai nilai lebih kecil. Perhitungan KPPTR, Nell dan Rollinson (1974) dalam Suyitno (2014) memberikan ketentuan-ketentuan seperti yang terlihat pada kedua tabel berikut: Tabel 1. Kemampuan Lahan Dalam Menghasilkan Rumput Jenis Lahan Padang rumput Sawah Galengan sawah Perkebunan Hutan sejenis Hutan sekunder Tepian jalan Tegalan
Kontribusi Lahan (Ha) 100 % dari luas lahan 2 % dari luas lahan 2,5 % dari luas lahan 5 % dari luas lahan 5 % dari luas lahan 3 % dari luas lahan 0,5 % dari panjang jalan 1 % dari luas lahan
Sumber : Nell dan Rollinson (1974) dalam Suyitno (2014) Tabel 2. Produksi Hijauan Makanan Ternak Yang Dapat Dihasilkan Dari Luas Panen. Hasil Limbah Jerami Padi Jerami jagung Jerami ubi kayu Jerami ubi jalar Jerami kedelai Jerami kacang tanah
Produksi Jerami 0,23 Ton BK/Ha/Tahun 10,9 Ton BK/Ha/Tahun 5,05 Ton BK/Ha/Tahun 1,2 Ton BK/Ha/Tahun 1,07 Ton BK/Ha/Tahun 1,44 Ton BK/Ha/Tahun
Sumber : Nell dan Rollinson (1974) dalam Suyitno (2014) Perhitungan jumlah ternak memakai satuan ternak (Soekardono, 2009) yaitu: 1. 1 ekor sapi dewasa, umur > 2 tahun = 1 ST 2. 1 ekor sapi dara, umur 1-2 tahun = 0,5 ST 3. 1 ekor anak sapi, umur < 1 tahun = 0,25 ST
4 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
3. Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur Sumber daya manusia dan infrastruktur pengembangan usaha sapi potong dianalisis secara deskriptif, untuk menganalisis karakter peternak dan lembaga-lembaga pendukung yang ada di Kecamatan Galis. Data yang diperoleh ditabulasikan, kemudian dilakukan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dengan menampilkan rataan, persentase dan standar deviasi (Elburdah, 2008). Data sekunder yang diperlukan ditabulasikan untuk masing-masing tujuan. Data primer diperoleh melalui kuesioner. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kecamatan Galis Kecamatan Galis terletak antara 1130 19’ 0 113 58’ BT dan 60 51’ – 70 31’ LS. Luas wilayah Kecamatan Galis mencapai 31,86 Km2 yang terdiri dari 10 desa dan masing- masing luas wilayah tiap desa yaitu: Desa Artodung 1,33 Km2, Desa Bulay 2,20 Km2, Desa Galis 2,03 Km2, Desa Konang 4,47Km2, Desa Lembung 3,54 Km2, Desa Pagendingan 1,18 Km2, Desa Pandan 8,37 Km2, Desa Polagan 5,89 Km2, Desa Ponteh 1,30 Km2 dan Desa Tobungan 1,55 Km2. Batas Wilayah Kecamatan Galis disebelah Utara Kecamatan Larangan, sebelah Selatan Kecamatan Pademawu, sebelah Barat Kecamatan Pademawu dan sebelah Timur selat Madura dan Kecamatan Pademawu. Kemiringan tanah Kecamatan Galis berkisar antara 00 – 150 dan ketinggian dari permukaan laut 0 – 16 m dpl (dari permukaan laut). (BPS Kecamatan Galis, 2014). Keadaan Agroklimat merupakan salah satu faktor pendukungnya. Kecamatan Galis beriklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 280 C sampai 300 C (BPS Kecamatan Galis, 2014). Suhu lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan sapi potong di Indonesia adalah 170 sampai 270 C (Soeprapto dan Abidin, 2006). Sehingga suhu di Kecamatan Galis sudah melewati batas suhu optimal bagi pertumbuhan sapi potong. Suhu yang terlalu tinggi sepanjang hari akan berpengaruh negatif bagi pertumbuhan sapi. Soeprapto dan Abidin (2006) menjelaskan, bahwa Saat terjadi cekaman panas, sapi akan lebih banyak minum daripada makan, sehingga nafsu makan sapi potong akan berkurang. Selain itu, energi yang seharusnya diubah menjadi daging akan dialokasikan untuk mempertahankan suhu tubuh.
Kelembaban di Kecamatan Galis berkisar 80% (BPS Kecamatan Galis, 2014). Kelembaban yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak berkisar antara 60% sampai 80%, karena diatas angka itu populasi jamur dan parasit yang potensial menjadi sumber penyakit cenderung akan meningkat (Soeprapto dan Abidin, 2006). Curah hujan secara langsung berkaitan erat dengan ketersediaan air dan suhu udara. Tingginya curah hujan akan diikuti dengan rendahnya suhu lingkungan dan tingginya ketersediaan air. Lokasi peternakan sapi potong yang ideal memiliki curah hujan 800 sampai 1.500 mm/tahun (Soeprapto dan Abidin, 2006). Curah hujan di Kecamatan Galis 20,82 mm per tahun dan rata-rata hari hujan 2,4 hari per tahun dengan keadaan musim hujan jatuh pada bulan Oktober sampai April dan musim kemarau jatuh pada bulan April sampai Oktober (BPS Kecamatan Galis, 2014). Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pendukung pembangunan dan perkembangan perekonomian. Secara umum semakin mudah ketersediaan air di suatu daerah, maka makin besar potensi untuk pengembangan peternakan, karena air dibutuhkan untuk berbagai aktifitas produksi peternakan. Keberadaan sumber air akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Kebutuhan air untuk setiap ternak sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan, jenis dan bangsa ternak serta kondisi pakan (kering atau basah). Kondisi sungai di semua desa se Kecamatan Galis tidak mencukupi untuk kebutuhan ternak sapi potong karena sungai-sungai di semua desa se Kecamatan Galis mayoritas sungai tadah hujan jadi ketika musim kemarau datang sungai menjadi kering. Ketersediaan air di Kecamatan Galis untuk ternak sapi potong didapat dari sumur bor yang ada di sekitar perumahan warga. Populasi Ternak Populasi ternak merupakan indikator umum yang dapat dijadikan ukuran bagi kondisi perkembangan peternakan, karena populasi dapat menggambarkan kecocokan ternak dengan lingkungan agroekologis, tingkat penerimaan masyarakat terhadap ternak, penguasaan teknis ternak, dinamika populasi serta keberhasilan sistem reproduksinya. Populasi sapi potong di Kecamatan Galis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 5
Tabel 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Galis Tahun 2012-2014 Jantan
Tahun
ST 765,75 913,50 957,50
2012 2013 2014
Betina ST % 1355,75 63,9 1619,25 63,9 1697,75 63,9
% 36,1 36,1 36,1
Total Populasi ST % 2121,50 100 2532,75 100 2655.25 100
Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan (2012, 2013, 2014) Tabel 4. Populasi Sapi Potong Berdasarkan Sampling pada Kelompok Umur di Kecamatan Galis dari Hasil Penelitian (Juli 2015) Desa Artodung Bulay Galis Konang Lembung Pagendingan Pandan Polagan Ponteh Tobungan Kecamatan Galis
Pedet ST % 4,00 17,39 3,25 9,77 2,50 11,63 2,50 7,69 2,25 7,44 1,50 4,11 0,25 3,33 6,75 13,85 3,25 11,30 4,00 17,78
Muda ST % 6,00 26,09 9,00 27,07 7,00 32,56 6,00 18,46 2,00 6,61 8,00 21,92 0,25 3,33 12,00 24,62 7,50 26,09 6,50 28,89
Dewasa ST % 13,00 56,52 21,00 63,16 12,00 55,81 24,00 73,85 26,00 85,95 27,00 73,97 7,00 93,33 30,00 61,54 18,00 62,61 12,00 53,33
30,25
64,25
190,00
10,63
Populasi ternak sapi potong di Kecamatan Galis lebih banyak ternak sapi potong yang dewasa karena peternak yang ada hanya melakukan sistem penggemukan untuk tabungan atau kerja. Sapi-sapi di beli dari Pasar Keppo untuk seluruh desa se Kecamatan Galis kemudian di lakukan penggemukan oleh peternak di masing-masing desa se Kecamatan Galis. Setiap tahun populasi sapi potong betina dewasa mendominasi daripada jantan dewasa ditunjukkan pada Tabel 3, karena sapi betina dewasa sekarang digunakan pembibitan untuk mengembangkan potensi sapi potong di Kecamatan Galis.
22,58
66,78
Total Populasi ST % 23,00 100 33,25 100 21,50 100 32,50 100 30,25 100 36,50 100 7,50 100 48,75 100 28,75 100 22,50 100 284,50
100
Berdasarkan dari hasil penelitian bahwa ternak sapi potong yang pedet 10,63%, muda 22,58% dan dewasa 66,78% dimana populasi ternak sapi yang dewasa mendominasi populasi ternak sapi potong di Kecamatan Galis seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Populasi ternak sapi potong berdasarkan sampling jenis kelamin yaitu: 80,35% jantan, dan 19,65% betina, sehingga di Kecamatan Galis perlu ditingkatkan lagi/perlu penambahan ternak sapi potong betina dewasa supaya pengembangan sapi potong di Kecamatan Galis meningkat. Jenis sapi potong yang mendominasi Kecamatan Galis adalah bangsa sapi Madura.
Tabel 5. Populasi Sapi Potong Berdasarkan Sampling pada Jenis Kelamin di Kecamatan Galis dari Hasil Penelitian (Juli 2015) Desa Artodung Bulay Galis Konang Lembung Pagendingan Pandan Polagan Ponteh Tobungan Kecamatan Galis
Jantan ST 15,75 32,00 21,50 32,50 8,75 36,25 2,00 40,25 20,50 19,50 229,00
% 68,48 96,24 100,00 98,48 28,93 99,32 26,67 82,56 71,30 86,67 80,35
Betina ST 7,25 1,25 0,00 0,50 21,50 0,25 5,50 8,50 8,25 3,00 56,00
% 31,52 3,76 0,00 1,52 71,07 0,68 73,33 17,44 28,70 13,33 19,65
Total Populasi ST % 23,00 100,00 33,25 100,00 21,50 100,00 33,00 100,00 30,25 100,00 36,50 100,00 7,50 100,00 48,75 100,00 28,75 100,00 22,50 100,00 285,00
100,00
6 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
Location Quation (LQ) Hasil perhitungan Location Quation ditunjukkan dalam Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan LQ maka wilayah Kecamatan Galis mempunyai 5 desa yang sangat berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong / basis, dan 5 desa merupakan wilayah non basi. Nilai LQ terbesar dimiliki oleh desa Pagendingan. Desa Pagendingan memiliki nilai LQ terbesar yaitu 1,54. Jumlah penduduk desa Pagendingan tidak sepadat desa yang memiliki nilai LQ rendah dan memiliki populasi ternak sapi yang cukup banyak, sehingga pengembangan peternakan sapi potong masih berpotensi untuk dilakukan pada desa Pagendingan tetapi tidak menutut kemungkinan wilayah/desa yang lain masih sangat berpotensi untuk dilakukan pengembangan peternakan sapi potong. Tabel 6. Wilayah Basis dan Nilai LQ Ternak Sapi Potong Kecamatan Galis Desa Pagendingan Galis Bulay Polagan Konang Artodung Tobungan Ponteh Lembung Pandan
Nilai LQ 1,54 1,31 1,20 1,15 1,14 0,87 0,87 0,63 0,36 0,10
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Galis dikutip melalui nilai KPPTR Efektif (E). Berdasarkan nilai KPPTR efektifnya Kecamatan Galis adalah 590,39 ST, berarti bahwa Kecamatan Galis masih berpotensi jika akan dilakukan penambahan ternak ruminansia hingga nilai KPPTR tersebut. Pelaksanaan di lapangan perlu memperhatikan berbagai faktor fisik, bilogi, teknis, dan sosial budaya serta keterampilan peternak dalam pola tata laksana pemeliharaan ternak khususnya ternak sapi potong. KPPTR efektif di Kecamatan Galis yaitu KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan (SL) karena KPPTR (SL) lebih kecil daripada KPPTR berdasarkan kepala keluarga petani (KK). Total populasi riil ruminansia Kecamatan Galis adalah 2217,5 ST dengan populasi tertinggi
pada desa Polagan sebesar 475,25 ST. Populasi riil terendah yaitu desa Pandan 6,25 ST. Jumlah populasi juga dipengaruhi oleh tingkat penyebaran ternak yang tidak merata sehingga terjadi wilayah/ desa padat populasi sedangkan kemampuan wilayah/desa untuk menghasilkan hijauan makanan ternak semakin berkurang. Jumlah riil ternak ruminansia dan nilai KPPTR (SL) disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Riil Ternak Ruminansia dan Nilai KPPTR (SL) Kecamatan Galis
Desa Artodung Bulay Galis Konang Lembung Pagendingan Pandan Polagan Ponteh Tobungan
Populasi Riil Ternak Ruminansia (ST) 167,75 344,50 197,25 270,75 27,75 207,75 6,25 475,25 222,50 298,75
KPPTR (SL) (ST) -97,13 -86,26 -157,03 547,60 -16,62 -43,77 12,74 -58,01 30,05 -180,59
Kelompok Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong Kecamatan Galis Wilayah pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis jika dilihat dari analisis deskriptif tentang potensi sumber daya, hasil perhitungan LQ dan perhitungan KPPTR dapat diketahui bahwa Kecamatan Galis masih memungkinkan untuk dilakukan pengembangan ternak sapi potong. Kondisi setiap wilayah/desa sangat beragam namun, beberapa wilayah mempunyai sumber daya sangat potensial yang didukung fasilitas dan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan ternak sapi potong. Kecamatan Galis yang terdiri atas 10 desa bisa dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan tingkat KPPTR (E) dan LQ. Kelompok I dengan kriteria nilai KPPTR (E) positif dan nilai LQ > 1. Kelompok II dengan kriteria nilai KPPTR (E) positif dan nilai LQ < 1. Kelompok III dengan kriteria nilai KPPTR (E) negatif dan nilai LQ > 1. Kelompok IV dengan kriteria nilai KPPTR (E) negatif dan nilai LQ < 1. Pengelompokan wilayah Kecamatan Galis dapat dilihat pada Tabel 8.
Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 7
Tabel 8. Pengelompokan Wilayah Berdasarkan Nilai KPPTR dan LQ No 1
2
Kelompok I
II
3
III
4
IV
Kriteria KPPTR (E) Positif, LQ >1 KPPTR (E) Positif, LQ <1 KPPTR (E) Negatif, LQ >1 KPPTR (E) Negatif, LQ <1
Desa Konang Pandan Ponteh Bulay Galis Pagendingan Polagan Artodung Lembung Tobungan
Kelompok I merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) positif dan LQ > 1. Wilayah / desa yang termasuk kelompok I yaitu desa Konang. Desa Konang masih tersedia kapasitas daya tampung ternak sapi potong, karena desa Konang mempunyai daya dukung sumber daya alam/masih tersedia hijauan dan limbah pertanian untuk kegiatan peternakan. Desa Konang dapat menjadi konsentrasi pemerintah Kabupaten Pamekasan sebagai wilayah yang masih berpotensi untuk dilakukan pengembangan peternakan sapi potong, dengan penambahan sebesar 547,6 ST. Kelompok II merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) positif dan LQ < 1. Wilayah yang termasuk kelompok II yaitu Desa Pandan dan Desa Ponteh. Desa Pandan dan Desa Ponteh mempunyai kekuatan dimana masih tersedianya lahan sebagai kapasitas tampung ternak ruminansia. Apabila ingin dilakukan penambahan ternak sapi potong di wilayah ini masih dimungkinkan yaitu desa Ponteh sebesar 30,05 ST dan desa Pandan 12,74 ST. Kelompok III merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) negatif dan LQ > 1. Wilayah yang termasuk kelompok III yaitu Desa Bulay, Desa Galis, Desa Pagendingan dan Desa Polagan. Pada desa yang termasuk dalam kelompok ini tidak memungkinkan dilakukan penambahan ternak berdasarkan daya tampung lahan. Namun, kelompok ini termasuk basis ternak sapi potong karena populasi sapi potong sangat tinggi meskipun daya dukung lahan minus (-), untuk mendapatkan hijauan bagi ternaknya para peternak harus mencari rumput keluar desa terdekat yang mempunyai hijauan melimpah, ditambah wilayah kelompok III ini berdekatan
dengan pasar ternak yang terdapat di dusun Keppo desa Polagan Kecamatan Galis. Kelompok IV merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) negatif dan LQ < 1. Wilayah yang termasuk kelompok IV yaitu Desa Artodung, Desa Lembung dan Desa Tobungan. Dimana kelompok ini tidak memungkinkan dilakukan penambahan ternak berdasarkan daya tampung lahan, karena ketiga desa ini sudah kelebihan kapasitas daya tampung ternak dan termasuk wilayah non basis. Untuk mengatasi masalah di ketiga desa ini dapat dilakukan dengan cara mengekspor (mengurangi populasi sapi potong tersebut) ternak sapi potong ke desa terdekat yaitu Desa Konang, Desa Ponteh dan Desa Pandan yang masih mempunyai kapasitas daya dukung lahan hijauan dan limbah pertanian. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia tidak akan terlepas dari suatu pengembangan peternakan. Sumber daya manusia yang sangat berkaitan erat dengan suatu usaha ternak adalah peternak. Peternak mempunyai peranan yang sangat penting untuk kemajuan, kelanjutan dan perkembangan usaha ternak dimasa yang akan datang. Karakteristik pemelihara sapi potong, sapi karapan dan sapi sonok sebagian besar terdiri dari petani/peternak, laki-laki yang telah berkeluarga, dengan jumlah anggota keluarga kurang lebih dari 4 orang. Peternak sapi lebih kurang dari 80% berusia 20 – 59 tahun, merupakan kelompok usia produktif (Sani dkk, 2010), kelompok usia/angkatan kerja, sehingga memiliki kemampuan bekerja lebih produktif dan berpikir lebih arif dalam menerima inovasi untuk pengembangan usaha ternaknya (Riszqina, 2014). Usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis umumnya dilakukan sebagai usaha sambilan karena umumnya pekerjaan utama para peternak adalah sebagai Petani.. Karakteristik peternak di Kecamatan Galis dapat dilihat pada Tabel 12. Peternak sapi potong di Kecamatan Galis masih tergolong usia produktif, dengan usia rata-rata peternak yaitu 46 tahun. Tingkat pendidikan peternak masih rendah yaitu hanya menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 57,51%. Sebesar 0,98% peternak berpendidikan Perguruan Tinggi (PT) / Akademi. Para peternak tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan pendidikannya, bahkan ada yang tidak sekolah yaitu sebesar 6,86%, mereka lebih
8 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
memilih untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Peternak di Kecamatan Galis masih minim untuk mengikuti pendidikan nonformal di bidang peternakan, berdasarkan penelitian diperoleh bahwa 72,54% peternak, belum mengikuti pendidikan di bidang peternakan, sedangkan yang mengikuti pendidikan di bidang peternakan seperti penyuluhan dan pelatihan ini masih sedikit. Hasil penelitian ini sesuai dengan Riszqina (2014) bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi peternak dalam mendukung dan menerima pengetahuan zooteknik usaha ternaknya, teknologi serta inovasi baru. Walaupun tingkat pendidikan peternak masih tergolong rendah di bidang peternakan tetapi kondisi ini tidak menghambat terhadap adopsi dan penyerapan maupun penyebaran informasi, karena pada umumnya peternak sudah biasa diajak kerjasama oleh pemerintah maupun sesama peternak, ditambah kebiasaan dan budaya masyarakat di Kecamatan Galis telah menangani usaha peternakan yang sudah turun-temurun sejak dulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Riszqina (2014), bahwa peternak sapi Madura masih bersifat tradisional, karena pengetahuan dan kemampuannya diperoleh dari orang tua dan keluarganya dan hanya sebagian yang memperoleh dari pelatihan atau penyuluhan pengembangan usaha ternak sapi. Pekerjaan utama peternak yaitu sebagai petani dan pedagang. Mayoritas pekerjaan utama para peternak adalah sebagai petani yaitu sebesar 99,02%. Peternak di Kecamatan Galis hamapir semuanya merangkap menjadi petani, beternak sapi potong hanya dijadikan pekerjaan sambilan. Peternak di Kecamatan Galis memelihara hanya sebagai tabungan/simpanan di kemudian hari apabila dibutuhkan untuk bercocok tanam bahkan untuk biaya anaknya untuk sekolah. Ternak sapi potong dianggap dapat memberikan tambahan pendapatan dan pemeliharaannya dapat dilakukan pada waktu senggang setelah melakukan pekerjaan utama. Jumlah tanggungan keluarga peternak sebanyak 1 orang sebesar 3,92%, 2 orang sebesar 14,37%, 3 orang sebesar 29,41%, 4 orang sebesar 32,67% dan yang 5 orang sebesar 24,50%. Jumlah tanggungan keluarga peternak yang paling tinggi adalah 4 orang. Aktivitas usaha ternak seperti pencarian rumput, pemberian makan sapi, memandikan sapi dan membersihkan kandang umumnya dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Curahan waktu yang digunakan
peternak untuk mengurus ternak sapi potong adalah rata-rata 3 jam per hari, sesuai dengan pendapat Riszqina (2014), bahwa semakin banyak jumlah ternak yang dipelihara semakin banyak waktu yang harus digunakan untuk mencari pakan dan membersihkan kandang. Bantuan istri dan anak masih sangat minim. Walaupun demikian peranan tenaga kerja keluarga sangat membantu dalam pengembangan ternak sapi potong. Jumlah kepemilikan ternak berpengaruh terhadap curahan waktu peternak dalam mengurus ternak sapi potong mereka, rata-rata kepemilikan ternak peternak di Kecamatan Galis adalah 1 ekor ternak dengan persentase 66,44%. Pemanfaatan tenaga kerja masih belum efisien sehingga masih memungkinkan untuk ditambah jumlah ternak sapi potong yang harus dipelihara. Pengalaman beternak dapat menjadi indikator untuk keberhasilan peternak. Semakin banyak pengalaman beternak akan semakin memudahkan peternak dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan proses produksi. Secara umum pengalaman beternak yang dimiliki peternak kurang lebih 6 tahun dan dianggap sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha peternakan sapi potong. Sedangkan di Kecamatan Galis pengalaman beternak dari 10 tahun kebawah yaitu sebesar 19,60%, jadi di Kecamatan Galis dianggap sudah berpengalaman untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa pengalaman beternak sangat berarti bagi usaha sapinya (Riszqina, 2014). Dikarenakan sebagian besar peternak memulai usaha ternak sapi potong sejak mereka masih muda usia yaitu setelah lulus Sekolah Dasar (SD) telah mengikuti jejak orang tua dalam beternak meski hanya membantu. Para peternak mengaku jarang mendapatkan pengetahuan beternak baik dari penyuluh maupun dari Dinas Peternakan setempat. Para peternak memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari teman sesama peternak. Tingkat pendidikan yang cukup dan tenaga kerja yang permanen merupakan modal dalam menyerap berbagai tingkatan teknologi dan manajemen usaha ternak secara keseluruhan (Riszqina, 2014). Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, di dalam hasil penelitian Saleh, dkk. (2006) menunjukkan bahwa, umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga dan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong.
Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 9
Tabel 9. Karakteristik Peternak di Kecamatan Galis No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Uraian Umur (tahun) 30 – 40 41 – 50 51 – 60 61 – 70 71 – 85 Pendidikan Formal Tidak Sekolah (Non) Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi / Akademi Pendidikan Non formal Tidak Pernah Penyuluhan Pelatihan Penyuluhan dan Pelatihan Pekerjaan Utama Petani Pedagang Pengalaman Beternak (tahun) 1 – 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 55 Jumlah Tanggungan Keluarga 1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang 5 Orang
Frekuensi (orang)
Kelembagaan Kelembagaan peternak dapat dilihat dari kelompok petani/peternak, petugas dan lembaga pelayanan serta pola pemasaran. Kelembagaan ternak merupakan dukungan lain yang sangat menunjang wilayah pengembangan usaha peternakan, yang harus terus dibangun agar dapat mendukung pengembangan wilayah Kecamatan Galis. Kelembagaan peternak yang mendukung pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis belum tersebar di setiap wilayah / desa.
Persentase (%)
52 105 89 47 13
16,94 34,20 28,99 15,30 4,23
21 176 56 50 3
6,86 57,51 18,30 16,33 0,98
222 64 6 14
72,54 20,91 1,96 4,57
303 3
99,02 0,98
60 100 78 47 21
19,60 32,67 25,49 15,35 6,86
12 44 90 100 75
3,92 14,37 29,41 32,67 24,50
Kelompok peternak memudahkan dalam pembinaan yang dilakukan melalui penyuluhan, pengawasan pemasukan atau pengeluaran ternak dan penambahan populasi ternak. Kegiatan penyuluhan diarahkan terhadap manajemen pemeliharaan dan usaha ternak sapi potong, peningkatan penerapan IB, pengelohan limbah ternak dan pengetahuan pencegahan pemotongan ternak betina produktif. Kelompok petani ternak sapi potong di Kecamatan Galis disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Nama Kelompok Petani Ternak di Kecamatan Galis Tahun 2016 No.
Kelompok Tani
Desa
1. 2. 3. 4.
Abadi Artomoro Sinar Harapan Sumber Alam
Konang Artodung Tobungan Pagendingan
Jumlah Anggota (orang) 40 36 35 75
Kelas Kelompok Pemula Pemula Pemula Pemula
Sumber : Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB UPT III Galis (2015)
Pola Pembinaan Pembinaan Pembinaan Pembinaan
10 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kecamatan Galis (2013) disebutkan bahwa di Kecamatan Galis untuk kelompok tani ada 41 kelompok dimana tiap dusun mempunyai 1 kelompok tani. Dari hasil penelitian di Kecamatan Galis data yang dikumpulkan sebanyak 306 sampel menghasilkan 167 peternak
mengikuti kelompok tani atau sebesar 54,57% dan yang tidak mengikuti 139 peternak/sebesar 45,42%. Namun dari 54,57% yang mengikuti kelompok tani belum tentu mengikuti penyuluhan dan pelatihan beternak seperti ditunjukkan pada tabel 11.
Tabel 11. Persentase Peternak Yang Mengikuti Kelompok Tani di Kecamatan Galis Desa Artodung Bulay Galis Konang Lembung Pagendingan Pandan Polagan Ponteh Tobungan Kecamatan Galis
Ikut Poktan (orang) 13 18 11 13 9 24 0 41 25 13 167
% 59,10 42,86 42,31 37,14 50,00 85,31 0 64,06 83,33 36,11 54,58
Tidak Ikut (orang) 9 24 15 22 9 4 5 23 5 23 140
Kelompok tani yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan ada 4 kelompok tani ternak yaitu Abadi, Artomoro, Sinar Harapan dan Sumber Alam, termasuk dalam kelas kelompok pemula dimana 4 kelompok tersebut masih dalam pola pembinaan dinas peternakan Kabupaten Pamekasan. Kelompok petani ternak tersebut mendapatkan bantuan ternak sapi yaitu Abadi sebanyak 10 ekor sapi betina muda Madura, Artomoro sebanyak 27 ekor sapi betina muda Madura, dan Sumber Alam sebanyak 27 ekor sapi betina muda Madura. Kelompok Sinar Harapan mendapat bantuan berupa uang tunai sebesar 500 juta apabila dijadikan ternak sapi sebanyak 50 ekor sapi betina muda Madura. Kelompok tani ternak di Kecamatan Galis perlu ditambah lagi supaya tingkat pengetahuan masyarakat akan manejemen pemeliharaan, pengelolaan dan cara pengendalian penyakit terhadap sapi potong. Sumber daya manusia yang mendukung pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Galis tidak hanya peternak yang secara langsung terlibat dengan usaha dan manajemen pengelolaan ternak sapi potong, tetapi terdapat petugas pelayanan di Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB UPT III Galis, dimana UPT III Galis ini menaungi 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Galis, Kecamatan Larangan, Kecamatan Kadur dan Kecamatan Pademawu.
% 40,90 57,14 57,69 62,86 50,00 14,29 100 35,94 16,67 63,89 45,42
Total (orang) 22 42 26 35 18 28 5 64 30 36 306
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Karyawan di Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB UPT III Galis disajikan pada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 11 ada 6 orang sebagai Inseminator, 2 orang sebagai Inseminator / pemeriksa kebuntingan serta 4 orang sebagai Inseminator, Pemeriksa kebuntingan dan paramedis. 12 karyawan di UPT III Galis tersebut bukan hanya bertugas di Kecamatan Galis saja tetapi mencakup Kecamatan Larangan, Kadur dan Pademawu. Jumlah itu belum mencukupi karena harus melayani 4 Kecamatan, jadi perlu adanya penambahan petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan. Jumlah petugas di Kecamatan Galis sebanyak 3 orang yang harus melayani 1593 peternak di Kecamatan Galis, kekurangannya tenaga pelayanan di penuhi dengan bantuan tenaga yang ada di UPT III. Lembaga pelayanan yang dapat mendukung pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis yaitu tersedianya Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB yang berada di Desa Galis, Tempat Pemotongan Hewan di desa Konang, Pasar Ternak merupakan tempat jual beli ternak sapi potong yang berada di dusun Keppo desa Polagan, serta 2 toko peternakan (poultry shop) di desa Pagendingan dan desa Ponteh. Pola pemasaran pemasaran disini berkaitan dengan transaksi jual-beli antara peternak dengan blantik, pedagang pengumpul ataupun peternak bisa menjual langsung ke pasar.
Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 11
Tabel 12. Pola Pemasaran Peternak di Kecamatan Galis Desa Artodung Bulay Galis Konang Lembung Pagendingan Pandan Polagan Ponteh Tobungan Kecamatan Galis
%
Total
%
90,90 92,86 88,46 91,43 100 85,71 100 84,38 93,33 83,33
Di jual sendiri 2 3 3 3 0 4 0 10 2 6
9,10 7,14 11,54 8,57 0 14,29 0 15,62 6,67 16,67
22 42 26 35 18 28 5 64 30 36
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
89,22
33
10,78
306
100
Blantik
%
20 39 23 32 18 24 5 54 28 30 273
Pemasaran disini bisa terjadi langsung di kandang ataupun di pasar ternak berikut data pola pemasaran peternak di Kecamatan Galis disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12. Pola pemasaran peternak di Kecamatan Galis lebih menyukai memakai jasa blantik (jasa penjual sapi) sebesar 89,22% dikarenakan beberapa pertimbangan yaitu karena peternak di Kecamatan Galis pekerjaan utamanya adalah sebagai petani yang harus mengurus lahan areal pertaniannya, melihat resiko apabila dijual sendiri ke pasar ternak dan tidak laku dijual, peternak harus membawa pulang dimana peternak rugi uang karena harus mengeluarkan ongkos untuk membawanya pulang kembali serta peternak rugi waktu. Jadi lebih efisien waktu dan efisien materi (uang) masyarakat lebih memilih jasa blantik. Pola pemasaran di Kecamatan Galis semuanya bertumpu pada pasar ternak yang terdapat di dusun Keppo desa Polagan yang tersedia pada hari Selasa dan hari Sabtu dimulai dari pagi kurang lebih jam 08:00 wib sampai sore hari jam 16:00 wib. Pasar ternak merupakan tempat transaksi jual-beli ternak sapi potong dari pedet, muda dan dewasa, ada jantan serta betina yang dilakukan oleh penjual, pembeli, peternak, blantik dan pedagang pengumpul. Semua jenis sapi (Madura, persilangan, Limousin dan Simental) terdapat di pasar ternak ini. KESIMPULAN 1. Kecamatan Galis memiliki 5 wilayah/Desa yang merupakan wilayah basis yaitu: Desa Pagendingan, Desa Galis, Desa Bulay, Desa Polagan dan Desa Konang. 2. Total KPPTR Efektif Kecamatan Galis sebesar 590,39 ST, terdiri dari 547,60 ST di
Desa Konang, 30,05 ST di Desa Ponteh dan 12,74 ST di Desa Pandan yang masih mempunyai daya tampung ternak sapi potong. 3. Pemanfaatan sumber daya manusia belum optimal. Oleh sebab itu tenaga kerja yang ada harus diefisienkan lagi untuk bisa dilakukan penambahan ternak. 4. Kelembagaan pendukung dan Infrastruktur untuk pengembangan sapi potong yang ada di Kecamatan Galis belum optimal untuk membantu usaha pengembangan sapi potong.
DAFTAR PUSTAKA Budiharsono dan Sugeng, 2001. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta BPS 2014. Kabupaten Pamekasan dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik, Pamekasan BPS 2014. Kecamatan Galis dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik, Pamekasan. Dinas Pertanian Kecamatan Galis, 2015. Buku Data, Dinas Pertanian Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Dinas Peternakan Kecamatan Galis, 2014. Buku Data Ternak Sapi Potong, Dinas Peternakan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Dinas Peternakan Kecamatan Galis, 2014. Buku Data, Dinas Peternakan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan. Elburdah, R. P. 2008. Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Wilayah Kota Pekanbaru. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor Fariani, A. 2008. Pengembangan Ternak Ruminansia Berdasarkan Ketersediaan Lahan Hijauan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. J.Indon.Trop.Agric. 33(2):145 - 157
12 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
Hartono, B. 2012. Peran Daya Dukung Wilayah Terhadap Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Madura. Jurnal Ekonomi Pembangunan 13(2): 316-326 Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Questiont (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. 12: 1 – 21 Riszqina. 2014. Performa Usaha Ternak Sapi Madura Sebagai Sapi Potong, Sapi Karapan dan Sapi Sonok di Pulau Madura. Ringkasan Disertasi Program Studi Doktor Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang. Sani, L.O.A., K.A. Santosa dan Ngadiyono. 2010. Curahan tenaga kerja keluarga transmigran dan lokal pada pemeliharaan sapi potong di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Buletin Peternakan. 34(3): 194-201
Setiawan, N. 2007. Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan Tabel KrejcieMorgan: Telaah Konsep Dan Aplikasinya. Makalah disampaikan pada Diskusi Ilmiah Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta Soeprapto, H. dan Z. Abidin. 2006. Cara tepat penggemukan sapi potong. PT Agro Media Pustaka. Jakarta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung Winarso, B, Sajuti, R. dan Muslim, C. 2005. Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong di Jawa Timur. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(1): 61-71
13
PEMANFAATAN FERMENTASI BATANG PISANG (GEDEBOG) SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK KELINCI Miftahur Rizkiyah dan Desi Kurniati Agustina Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fermentasi batang pisang (gedebog) sebagai pakan alternatif ternak kelinci terhadap pertambahan bobot badan. Materi penelitian menggunakan 32 ekor ternak kelinci lokal sebagai objek yang akan diteliti, sedangkan batang pisang (gedebog), dedak padi, dedak jagung, gaplek, hijauan (rumput, kangkung, bayam dan daun pepaya), molases sebagai bahan pakan, dan EM4 Peternakan sebagai bahan fermentor. Metode penelitian yang digunakan adalah RAK Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu: 1. fermentasi batang pisang (gedebog) yang dicacah kasar, 2. fermentasi batang (gedebog) pisang yang dicacah halus, setiap perlakuan terdiri dari 4 taraf yaitu: 0%, 10%, 20% dan 30% dengan 2 ulangan dan 2 kelompok dan dilanjutkan dengan uji BNT (beda nyata terkecil). Variabel yang diamati meliputi pertambahan bobot badan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode fermentasi (cacah kasar dan cacah halus) berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan, pada pakan fermentasi batang (gedebog) pisang dengan taraf pemberian yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badandan interaksi antara metode fermentasi (cacah kasar dan cacah halus) dengan taraf pemberian yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai informasi untuk mengembangkan manfaat pakan fermentasi batang pisang (gedebog) sebagai pakan pakan alternatif ternak kelinci. Kata Kunci: Kelinci lokal, pakan fermentasi batang pisang (gedebog), pertambahan berat badan.
PENDAHULUAN Kelinci adalah hewan yang termasuk dalam jenis ternak pseudoruminan, yaitu hewan herbivora yang tidak dapat mencerna serat-serat dengan baik. Kelinci melakukan fermentasi pakan di usus belakangnya. Kelinci adalah salah satu jenis ternak yang mulai dikembangkan di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan yang rawan gizi, karena kelinci dapat memanfaatkan berbagai jenis hijauan sebagai makanan pokoknya, dan modal usaha untuk memulainya relatif kecil. Pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ternak baik untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Tiga faktor penting dalam kaitan penyedian hijauan bagi ternak adalah ketersedian pakan harus dalam jumlah yang cukup, mengandung nutrien yang baik, dan berkesinambungan sepanjang tahun. Ketersedian hijauan umumnya berfluktuasi mengikuti pola musim, dimana produksi hijauan melimpah di musim hujan dan sebaliknya terbatas dimusim kemarau (Lado, 2007). Kebutuhan pakan kelinci di musim kemarau sangat sulit.
Untuk mengurangi hal tersebut ada alternatif lainnya, yaitu membuat pakan dari fermentasi tanaman pisang (Musaparadisiaca), Wina (2000) Produk samping tanaman pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan adalah batang pisang bagian bawah (bongkol), tengah dan bagian atas termasuk daunnya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fermentasi batang (gedebog) pisang sebagai pakan alternatif ternak kelinci terhadap pertambahan bobot badan. Hipotesa Ada perbedaan pengaruh pemberian pakan fermentasi batang (gedebog) pisang terhadap pertambahan pertambahan bobot badan. H0 : (αβ)ij = 0 (Tidak ada pengaruh interaksi antara metode fermentasi dengan taraf pemberian terhadap pertambahan bobot badan ) H1 : (αβ)ij ≠ 0 (ada pengaruh interaksi antara metode fermentasi dengan taraf pemberian terhadap pertambahan bobot badan)
14 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
H0 : αi = 0 (Tidak ada pengaruh metode fermentasi terhadap pertambahan bobot badan ) H1 : αi ≠ 0 (ada pengaruh metode fermentasi terhadap pertambahan bobot badan) H0 : βj = 0 (Tidak ada pengaruh taraf pemberian terhadap pertambahan bobot badan ) H1 : βj ≠ 0 (ada pengaruh taraf pemberian terhadap pertambahan bobot badan) MATERI DAN METODE Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 32 ekor ternak kelinci lokal sebagai objek yang akan diteliti, dimana dari 32 ekor ternak tersebut merupakan jumlah keseluruhan dari populasi dengan umur 10 bulan dan berat badan yang mendekati sama yatu ± 2000 gr. Sedangkan batang pisang (gedebog), dedak padi, dedak jagung, gaplek, hijauan (rumput, kangkung bayam dan daun pepaya), molases sebagai bahan pakan,dan EM4 Peternakan sebagai bahan fermentor. Alat yang digunakan yaitu kandang individual tiga puluh dua unit,tempat pakan dan tempat minum, timbangan untuk menimbang bobot hidup dan timbangan menimbang pakan, celurit dan pisau untuk mencacah batang pisang dan hijauan, alat tulis, kalkulator dan alat penerangan, terpal plastik untuk mencampur bahan pakan, dan kantong pelastik besar untuk tempat fermentasi, pencatat data selama penelitian, alat kebersihan (karung sak, sapu lidi, sekop). Pembuatan Fermentasi Batang Pisang Produk samping tanaman pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan adalah batang pisang bagian bawah (bongkol), tengah dan bagian atas termasuk daunnya. Seluruh bahan dilakukan fermentasi sesuai dengan perlakuan yang direncanakan. Pembuatan fermentasi batang pisang (gedebog) seperti diterangkan pada diagram alir berikut.
Pencampuran larutan EM4 Peternakan + air + molases
Dengan perbandingan 1 liter air : 1 tutup botol EM4 Peternakan dan ¼ gelas molases
Batang pisang di cacah kasar dan halus dan hijauan dicacah biasa
Dedak padi, dedak jagung, gaplek, cacahan hijauan dan cacahan batang pisang di campur rata
Campuran bahan pakan disiram larutan EM4 Peternakan
Pakan fermentasi dimasukkan dalam kantong plastik (ditutup rapat)
Pakan fermentasi siap diberikan pada ternak kelinci
Gambar 1 Diagram Alir Pembuatan Fermentasi Batang Pisang (Gedebog) Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 perlakuan: perlakuan (1) Fermentasi batang (gedebog) pisang yang di cacah kasar dengan 4 taraf pemberian yaitu 0%, 10%, 20%, 30%. Perlakuan (2) Fermentasi batang (gedebog) pisang yang di cacah halus dengan 4 taraf pemberian yaitu 0%, 10%, 20%, 30%. Dengan 2 kelompok. Setiap perlakuan2 ulangan. Perlakuan yang diteliti adalah: Metode rancangan acak kelompok pola faktorial adalah rancangan acak kelompok yang terdiri dari dua peubah bebas (faktor) dalam klasifikasi silang yaitu faktor A yang yang terdiri dari a taraf dan faktor B yang terdiri dari b taraf dan kedua faktor tersebut di duga saling berinteraksi.
Riskiyah, Pemanfaatan Fermentasi …15
Tabel 1. Perlakuan Fermentasi Batang Pisang (Gedebog) Perlakuan 1
1 0
Gedebog (%) Gedebog Kasar (%) Dedak Padi (%) Dedak Jagung (%) Gaplek (%) Hijauan (%)
50 20 20 10
Perlakuan 2
1 0
Gedebog (%) Gedebog Kasar (%) Dedak Padi (%) Dedak Jagung (%) Gaplek (%) Hijauan (%)
50 20 20 10
Taraf Pemberian 2 3 10 45 20 20 5
20 45 15 15 5
Taraf Pemberian 2 3 10 45 20 20 5
20 45 15 15 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
4 30 35 15 15 5 4 30 35 15 15 5
Model linier yang tepat untuk Rancangan Acak Kelompok Faktorial adalah: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ðk(j) + ε(ijk) Dengan : Yijk = hasil pengamatan pada kelompok ke-k, yang menerima taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari Faktor B µ = nilai tengah umum αi = pengaruh faktor A pada taraf ke-i βj = pengaruh faktor B pada taraf ke-j (αβ)ij = pengaruh interaksi AB pada taraf ke-i (dari faktor A), dan taraf ke-j (dari faktor B) ðk = pengaruh kelompok ke-k εm(ijk) = pengaruh acak pada taraf ke-i (faktor A), taraf ke-j (faktor B) dan interaksi AB yang ke-i dan ke-j, serta pada kelompok ke-k
Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan a. Pengaruh Metode Fermentasi terhadap Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan suatu refleksi dari akumulasi konsumsi, fermentasi, metabolisme dan penyerapan zat-zat makanan di dalam tubuh ternak (Antonius, 2009). Hasil uji BNT menunjukan bahwa pada metode pakan fermentasi batang pisang (gedebog) yang di cacah halus menunjukkan berpengaruh nyata (P>0,05), tingkat konsusmsi pada ternak kelinci terhadap pakan fermentasi batang pisang (gedebog) yang dicacah halus lebih tinggi dari pada yang dicacah kasar, adapun pakan yang dicacah halus dikonsumsi ternak kelinci dalam satu bulan adalah: 4.145 gram, sedangkan pakan yang dicacah kasar adalah: 40,016. Ini disebabkan adalah karena bentuk fisik pakan tersebut, pakan yang dicacah halus dapat menaikkan tingkat konsumsi, mempercepat pengunyahan dimana dilaporkan bahwa panjang cacahan yang lebih pendek memungkinkan terjadinya pemadatan pada saat pembuatan silase, sehingga terjadi proses fermentasi yang lebih sempurna oleh microorganisme. Pada umumnya tingkat kecernaan silase yang dicacah lebih tinggi dari pada yang tidak dicacah (Thomas et al., 1976). Ini sesuai dengan pendapat Church dan Pond (1988), menyatakan bahwa palatabilitas yang meliputi tekstur, bau, rasa, dan suhu dari pakan yang diberikan, mempengaruhi tingkat konsumsi dari kelinci.
Tabel 1 Analisis Sidik Ragam KT
F Hitung
F Tabel 0,05 0,01
SK
db
JK
Kelompok
1
638662,375
Perlakuan
7
33066046,875
Metode Taraf pemberian Metode x Taraf Galat
1
32714966,375
32714966,375
294,66
12,25
5,59
3
47887,625
15962,54
0,14
8,48
4,35
3
303192,875
101064,29
0,91
8,48
4,35
7
777172,68
111024,66
Jumlah
15
34481881,87
16 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
b. Pengaruh Taraf Pemberian Pertambahan Bobot Badan
terhadap
Dari hasil analisis ragam pengaruh taraf pemeberian pakan fermentasi batang pisang (gedebog) 0%, 10%, 20%, 30% menunjukkan nilai tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, karena pemberian pakan yang hanya memiliki selisih sedikit sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, selain itu lama fermentasi yang hanya satu hari yang menyebabkan taraf pemberian tidak berpengaruh. Tapi dilihat dari segi ekonomis taraf pemberian pakan yang paling efektif digunakan yaitu pada taraf 30%, pada taraf tersebut harga pembuatan pakan lebih murah dari taraf pemberian yang lain. Walaupun batas pemberian batang pisang pada kelinci tidak diketahui, maka penggunaan pada taraf ini sudah maksimal mengingat kelinci merupakan ternak pseudoruminan. c. Pengaruh interaksi Metode x Taraf Pemberian terhadap Pertambahan Bobot Badan Dari hasil analisis ragam pengaruh interaksi metode x taraf pemeberian pakan fermentasi batang (gedebog) pisang menunjukkan nilai tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, karna dilihat dari tabel rataan pertambahan berat badan (tabel 3) menunjukkan nilai yang sama, ini terjadi karena interaksi antara metode dengan taraf pemberian tidak saling mempengaruhi, apalagi kelinci yang digunakan sebagai penelitian berumur 10 bulan dimana pada umur tersebut pertambahan bobot badan sangat lambat ini sesuai dengan pendapat Sanford dan Woodgate (1979) bahwa pertambahan bobot badan harian berhubungan erat dengan umur. Semakin tua umur kelinci, maka PBBH yang dicapai semakin rendah. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan padametode RAK Faktorial fermentasi pakan yang di cacah halusmemberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot
badandimana pakan yang dikonsumsi ternak kelinci selama satu bulan dalah: 4.145 gr dengan pertambahan berat badan 259,06 gr.
DAFTAR PUSTAKA Ahira 2013, Kandungan Gizi Kankung dan Keistimewaannya, diakses 1 September 2013, Alex, s. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Kelinci & Hamster. Pustaka Baru Press. Yogyakarta Anggorodi, R. 1980. Ilmu Makan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta. Anonim., 1998. Teknologi EM dalam Berita. IPSA. Denpasar, Bali. Diakses pada bulan 8 Juli 2010 Anonim. 2011. Mengenal Dedak sebagai Bahan Baku Pakan Ternak. Tanggal akses : 17 Mei 2011 Antonius. 2009. Pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai subtitusi rumput Gadjah dalam ransum. JITV 14(4): 8 – 16, pada skripsi herlina halim DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI TANAMANHORTIKULTURA. 2003. Statistik Hortikultura. Grist, D.H. 1972. Rice 4th Ed. Lowe and Brydine Ltd., London. Haros, M, O. E. Perez, and C.M. Hartadi H., S. Reksohadiprojo, AD. Tilman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Cetakan Keempat, Gadjah Mada Uivesity Press, Yogyakarta. Kamaruddin, M. dan Salim. 2006. Pengaruh Pemberian Air Perasan Daun Pepaya Pada Ayam : Respon Patofisilogik Hepar J. Sain Vet. : 37 –43. Lado. L . 2007. Evaluasi Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum Sudanense) Pada Penambahan Berbagai Macam Aditif Karbohidrat Mudah Larut. Tesis. Pasca sarjana Program studi ilmu peternakan. Universitas gadjah mada, Yogyakarta. McIlroy, R.J. 1977. Pengantar Budi Daya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita. Jakarta. Mansyur W. 2013. Balai Penyuluhan Kalori, Bayam Tanaman Sayuran Bergizi Tinggi.
17
EVALUASI KUALITAS DENDENG YANG BEREDAR DI PASARAN KABUPATEN PEMEKASAN DENGAN METODA UJI SENSORIS Joko Purdiyanto Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail :
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dendeng yang paling diminati oleh konsumen di Kabupaten Pamekasan, sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bagi para pengusaha dendeng untuk pengembangan produk olahannya. Sampel berupa dendeng dari berbagai merek yang dibeli di Toko Swalayan atau Pasar yang ada di Kabupaten Pamekasan. Dendeng hasil pembelian di pasaran, digoreng dan disajikan dalam cawan untuk dilakukan uji sensoris di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Madura. Jumlah Responden sebanyak 100 orang. Variabel yang dinilai :Tekstur, Warna, Rasa, dan Aroma. Pengujian Sensoris dengan menggunakan Metoda Hedonic Scale Test, masing-masing merek dendeng diberi kode dengan tiga angka untuk dilakukan penilaian. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam atau Analisa Varians (Anova) serta dilanjutkan dengan Uji Rentang Newman-Keuls. Dendeng yang disukai konsumen di Kabupaten Pamekasan adalah dendeng yang berwarna coklat bersih, beraroma sedap, berasa manis dengan tekstur tidak keras. Kata Kunci: Kualitas, Dendeng, Uji Sensoris
PENDAHULUAN Daging adalah salah satu hasil ternak yang mudah rusak akibat dari komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme. Disamping itu juga daging merupakan bahan pangan asal ternak yang baik digemari masyarakat karena keragaman yang luas dalam pengolahannya. Sebagaimana bahan mentah hasil hewani lainnya, daging kalau dibiarkan begitu saja, lama-kelamaan akan mengalami perubahan akibat pengaruh-pengaruh fisiologik, mekanik, fisik, kimiawi atau mikrobiologik. Pengolahan daging bertujuan untuk menambah keragaman pangan sedangkan pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Di dalam pengawetan daging, perubahan-perubahan yang sifatnya merusak atau merugikan dihambat, dicegah, dihindari, atau dihentikan sehingga daya guna bahan pangan ini dapat dipertahankan. Segala usaha yang dilakukan untuk mengawetkan daging sejak ternak dipotong sampai kegunaan terakhir oleh konsumen disebut teknologi daging. Jadi teknologi daging mempelajari tentang bagaimana mengelola dan mengawetkan daging ditinjau dari aspek pengolah, sedangkan dari aspek konsumen adalah penyediaan bahan pangan bergizi tinggi dan enak dimakan.
Sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, pola konsumsi bahan pangan juga mengalami perubahan yaitu dari “makan asal kenyang” menjadi “makan enak”. Perubahan ini membawah akibat meningkatnya kesadaran konsumen untuk memilih bahan pangan yang lebih baik mutunya. Oleh karena itu peran penanganan dan pengawetan daging sangat besar artinya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan asal ternak sebagai sumber protein hewani. Dengan peningkatan konsumsi daging, maka tentunya dibutuhkan kenaikan produksi ternak yang akan sejalan dengan perkembangan populasi ternak. Hal ini menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi oleh pakar-pakar peternakan dalam usaha memenuhi kebutuhan protein hewani. Permasalahan yang dihadapi di samping penyediaan pakan ternak, kualitas dan kuantitas bibit ternak, penyaluran harga sarana produksi juga masalah penanganan pasca panen. Pertumbuhan dibidang industri pangan termasuk pengolahan hasil ternak khususnya daging akhirakhir ini mulai berkembang dengan pesat yaitu usaha pengolahan yang bertaraf tradisional secara bertahap berkembang menuju industri yang lebih maju seperti pembuatan dendeng. Sehingga banyak ragam dan merek dendeng yang beredar di pasaran.
18 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 Dendeng merupakan salah satu bentuk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional dan telah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu. Menurut SNI 01-2908-1992 (Badan Standarisasi Nasional, 1992), dendeng merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir (Purnomo, 1996). Dendeng dapat dikategorikan sebagai bahan pangan semi basah (Intermediate Moisture Food) karena dendeng memiliki kadar air yang berada dalam kisaran kadar air bahan pangan semi basah, yaitu 25%. Bahan pangan semi basah merupakan campuran suatu bahan pangan ang pada umumnya ditambah dengan bahan pengikat air yang dapat menurunkan daya ikat air produk, sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat (Purnomo, 1996). Bahan pangan semi basah memiliki aktivitas air antara 0,60 sampai 0,91 (Salguero et al, 1994). Purnomo (1996) mengemukakan, ditinjau dari cara pembuatanya, dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer) dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging, gula merah 30%, garam 5%, ketumbar 2%, bawang putih 2%, sendawa 0,2%, lengkuas 1%, dan jinten 1% (Hadiwiyoto, 1994). Selama pembuatan dan pengeringan akan terjadi pula pembentukan komponen-komponen citarasa, yang akan menambah rasa dan aroma dendeng menjadi lebih sedap. Bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng dapat berasal dari daging sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan ayam; sedangkan yang lazim terdapat dipasaran adalah dendeng daging sapi (Purnomo, 1979, 1987). Proses pembuatan dendeng belum dibakukan karena merupakan seni memasak yang bersifat rahasia, tetapi pada dasarnya menyangkut pengirisan daging tipistipis diikuti dengan perendaman dan pengeringan. Sifat-sifat yang menguntungkan dalam pembuatan secara tradisional ialah bahwa produk-produk tersebut disesuaikan benar dengan kebiasaan-kebiasaan makan dari masyarakat di daerah dimana produk itu dibuat dan semua produk yang dibuat dengan teknik industri rumah akan memberikan kesempatan kerja dalam suatu daerah tertentu. Kerugiannya ialah bahwa dalam
hal stabilitas maupun mutu tidak dapat dicapai titik tertinggi dan pada proses pengolahannya tidak dilakukan pengawasan mutu yang mungkin dapat mengecilkan biaya dan menjamin mutu produk akhir. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi kualitas dendeng seperti apa yang paling diminati oleh konsumen di Kabupaten Pamekasan, sehingga dapat dipakai sebagai dasar bagi para pengusaha dendeng untuk pengembangan produk olahannya. MATERI DAN METODE Materi Dendeng dari berbagai merek yang dibeli di Toko, Swalayan atau Pasar yang ada di Kabupaten Pamekasan Tahun 2014 Metoda 1. Dendeng hasil pembelian di pasaran, digoreng dan disajikan dalam cawan untuk dilakukan uji sensoris di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Madura 2. Jumlah Responden : 100 orang 3. Variabel yang dinilai : a. Warna b. Rasa c. Aroma d. Tekstur (tingkat kekerasan) 4. Pengujian Sensoris dengan menggunakan Metoda Hedonic Scale Test. Masing-masing merek dendeng diberi kode dengan tiga angka. Untuk penilaian digunakan skala penilaian : 9 = sangat suka sekali 8 = sangat suka 7 = suka 6 = sedikit suka 5 = medium 4 = sedikit tidak suka 3 = tidak suka 2 = sangat tidak suka 1 = sangat tidak suka sekali 5. Metode Analisa Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam atau Analisa Varians (Anova) serta dilanjutkan dengan Uji Rentang Newman-Keuls (Sudjana, 1989) HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Uji Sensoris Warna Dendeng Pengujian sensoris untuk warna dari berbagai merek dendeng dilakukan dengan cara
Purdiyanto, Evaluasi Kualitas Dendeng ….19 memberikan penilaian instensitas warna masingmasing dendeng dengan metoda Hedonic Scale Test. Perhitungan dengan statistik menggunakan AnalisaVarians, kemudian dilanjutkan dengan pengujian tingkat nyata dengan Uji Rentang Newman- Keuls, dengan hasil seperti pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Hasil Analisa Sensoris Warna Pada Berbagai Merek Dendeng Kode Sampel 452 374 168 231 513 625
452
374
168
231
513
625
+ + +
+ + +
+ + +
+ + + -
+ + + -
+ + + -
Keterangan : + 452 374 168 231 513 625
: Berbeda Sangat Nyata : Tidak Berbeda Sangat Nyata : Dendeng Jamila : Dendeng Camilan Madura 1 : Dendeng Camilan Madura 2 : Dendeng SAE : Dendeng Kultum : Dendeng Pangestu
Hasil analisa sensoris untuk warna pada enam merek dendeng menunjukkan bahwa ada perbedaan kesukaan di dalam warna dendeng, yaitu Dendeng Jamila, Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Camilan Madura 2 dengan Dendeng SAE, Dendeng Kultum, Dendeng Pangestu. Untuk Dendeng Jamila, Dendeng Camilan Madura 1 dan Dendeng Camilan Madura 2 tidak ada perbedaan kesukaan terhadap warna dengan nilai uji sensoris antara 5, 83 sampai dengan 5,99. Sedangkan untuk Dendeng SAE, Dendeng Kultum, Dendeng Pangestu tidak ada perbedaan kesukaan panelis dengan nilai uji sensoris antara 6,71 sampai dengan 6,93. Jika dilihat dari skala penilaian adalah antara sedikit suka sampai dengan suka. Pembentukan warna ini ada hubungannya dengan adanya penambahan sendawa yang akan memberikan pewarnaan yang baik pada daging, dendeng yang dihasilkan berwarna lebih menarik dan stabil. Disamping itu juga dipengaruhi oleh adanya reaksi maillard yaitu reaksi antara asam amino yang ada pada protein daging dengan gula reduksi, sehingga terbentuk warna coklat.
Pengunaan gula kelapa juga mempengaruhi pembentukan warna pada dendeng. Jika kualitas gula yang digunakan baik dalam arti warna gulanya baik dan bersih, maka dendeng yang dihasilkan juga akan berwarna baik dan bersih. b. Hasil Uji Sensoris Aroma Dendeng Pengujian sensoris untuk aroma dari berbagai merek dendeng dilakukan dengan cara mencium dan memberikan nilai aroma masingmasing dendeng dengan metoda Hedonic Scale Test. Perhitungan dengan statistik menggunakan AnalisaVarians, kemudian dilanjutkan dengan pengujian tingkat nyata dengan Uji Rentang Newman-Keuls, dengan hasil seperti pada Tabel 2 berikut : Tabel 2. Hasil Analisa Sensoris Aroma Pada Berbagai Merek Dendeng Kode Sampel 168 513 374 452 231 625
168
513
374
452
231
625
+ +
+ +
+ +
-
+ + + -
+ + + -
Keterangan : + 168 513 374 452 231 625
: Berbeda Sangat Nyata : Tidak Berbeda Sangat Nyata : Dendeng Camilan Madura 2 : Dendeng Kultum : Dendeng Camilan Madura 1 : Dendeng Jamila : Dendeng SAE : Dendeng Pangestu
Besadarkan uji tingkat kesukaan terhadap aroma dendeng, dari hasil analisa sensoris pada enam merek dendeng menunjukkan adanya perbedaan kesukaan terhadap aroma, yaitu Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Kultum, Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Jamila berbeda dengan Dendeng SAE, Dendeng Pangestu. Untuk Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Kultum, Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Jamila tidak ada perbedaan kesukaan terhadap aroma dengan nilai uji sensoris antara 5,80 sampai dengan 6,29. Dan Dendeng SAE, Dendeng Pangestu tidak ada perbedaan kesukaan terhadap aroma dengan nilai uji sensoris 6,85 dan
20 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 6,88. Jika dilihat dari skala penilaian antara sedikit suka sampai dengan suka. Untuk pembentukan aroma, faktor yang berpengaruh adalah bumbu-bumbu yang ditambahkan pada waktu curing. Seperti diketahui di dalam pengolahan tradisional, penggunaan bumbu belum ada ketentuannya yang pasti baik dalam jumlah maupun jenisnya. Penambahan yang berlebih akan menimbulkan aroma yang lebih tajam (mencolok). Adanya gula akan memberikan aroma yang khas pada dendeng, disamping memberikan rasa manis. Begitu pula penambahan garam dapur dan rempah-rempah. Penambahan ketumbar akan memberi aroma yang sedap dan khas disamping dapat menghilangkan bau anyir dari dendeng. Penambahan jinten, bawang putih, bawang merah, laos akan memberikan aroma yang khas. c. Hasil Uji Sensoris Rasa Dendeng Pengujian sensoris untuk rasa dari berbagai merek dendeng dilakukan dengan cara mencicipi dan memberikan nilai rasa masingmasing dendeng dengan metoda Hedonic Scale Test. Perhitungan dengan statistik menggunakan Analisa Varians, kemudian dilanjutkan dengan pengujian tingkat nyata dengan Uji Rentang Newman-Keuls, dengan hasil seperti pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Hasil Analisa Sensoris Rasa Pada Berbagai Merek Dendeng Kode Sampel 168 374 452 513 231 625
168
374
452
513
231
625
+ +
+ + +
+
+ -
+ + -
+ + + -
Keterangan : + 168 374 452 513 231 625
: Berbeda Sangat Nyata : Tidak Berbeda Sangat Nyata : Dendeng Camilan Madura 2 : Dendeng Camilan Madura 1 : Dendeng Jamila : Dendeng Kultum : Dendeng SAE : Dendeng Pangestu
Besadarkan uji tingkat kesukaan terhadap rasa dendeng, dari hasil analisa sensoris pada
enam merek dendeng menunjukkan adanya perbedaan kesukaan terhadap rasa, yaitu Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Jamila berbeda dengan Dendeng Kultum, Dendeng SAE, Dendeng Pangestu. Untuk Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Jamila, tidak ada perbedaan kesukaan terhadap rasa dengan nilai uji sensoris antara 5,37 sampai dengan 5,74. Dan Dendeng Kultum, Dendeng SAE, Dendeng Pangestu tidak ada perbedaan kesukaan terhadap rasa dengan nilai uji sensoris 6,00 dan 6,51. Jika dilihat dari skala penilaian antara sedikit suka sampai dengan suka. Untuk pembentukan rasa, faktor yang berpengaruh hampir sama dengan faktor pada aroma adalah bumbu-bumbu yang ditambahkan pada waktu curing. Seperti diketahui di dalam pengolahan tradisional, penggunaan bumbu belum ada ketentuannya yang pasti baik dalam jumlah maupun jenisnya. Penambahan yang berlebih akan menimbulkan rasa yang lebih tajam (mencolok). Adanya gula akan memberikan rasa yang khas pada dendeng, disamping memberikan rasa manis. Begitu pula penambahan garam dapur dan rempah-rempah. Penambahan ketumbar akan memberi rasa yang sedap dan khas disamping dapat menghilangkan bau anyir dari dendeng. Penambahan jinten, bawang putih, bawang merah, laos akan memberikan rasa yang khas. d. Hasil Uji Sensoris Tekstur (Tingkat Kekerasan) Dendeng Pengujian sensoris untuk tekstur (tingkat kekerasan) dari berbagai merek dendeng dilakukan dengan cara menggigit dan memberikan nilai rasa masing-masing dendeng dengan metoda Hedonic Scale Test. Perhitungan dengan statistik menggunakan AnalisaVarians, kemudian dilanjutkan denganpengujian tingkat nyata dengan Uji Rentang Newman-Keuls, dengan hasil seperti pada Tabel 4. Besadarkan uji tingkat kesukaan terhadap tekstur (tingkat kekerasan) dendeng, dari hasil analisa sensoris pada enam merek dendeng menunjukkan adanya perbedaan kesukaan terhadap rasa, yaitu Dendeng Jamila, Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng SAE berbeda dengan Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Pangestu, Dendeng Kultum.
Purdiyanto, Evaluasi Kualitas Dendeng ….21 Tabel 4. Hasil Analisa Sensoris Tekstur (Kekerasan) Pada Berbagai Merek Dendeng Kode Sampel 452 374 231 168 625 513
452
374
231
168
625
513
+ + +
+ + +
+ +
+ + -
+ + + -
+ + + -
Keterangan : + 452 374 231 168 625 513
: Berbeda Sangat Nyata : Tidak Berbeda Sangat Nyata : Dendeng Jamila : Dendeng Camilan Madura 1 : Dendeng SAE : Dendeng Camilan Madura 2 : Dendeng Pangestu : Dendeng Kultum
skala penilaian suka. Warna Dendeng Pangestu adalah coklat bersih. Untuk uji sensoris tingkat kesukaan terhadap aroma nilai uji sensorisnya adalah 6,88 dengan skala penilaian suka dengan aroma sedap. Untuk uji sensoris tingkat kesukaan terhadap rasa nilai uji sensorisnya adalah 6,51 dengan skala penilaian suka dengan rasa manis. Sedangkan untuk uji sensoris tingkat kesukaan terhadap tekstur (tingkat kekerasan) nilai uji sensorisnya adalah 6,52 dengan skala penilaian tidak keras. Dendeng yang disukai konsumen di Kabupaten Pamekasan adalah dendeng yang berwarna coklat bersih, beraroma sedap, berasa manis dengan tekstur tidak keras. Sehingga untuk produsen dendeng agar produk dendengnya laku di pasaran untuk memperhatikan tingkat kesenangan konsumen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Untuk Dendeng Jamila, Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng SAE, tidak ada perbedaan kesukaan terhadap tekstur (tingkat kekerasan) dengan nilai uji sensoris antara 5,11 sampai dengan 5,59. Dan Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Pangestu, Dendeng Kultum tidak ada perbedaan kesukaan terhadap rasa dengan nilai uji sensoris 5,90 dan 6,52. Jika dilihat dari skala penilaian antara sedikit suka sampai dengan suka. Untuk tekstur (tingkat kekerasan) dari keenam dendeng contoh, Dendeng Jamila memiliki tekstur yang paling lunak dengan nilai uji sensoris 5,11 yaitu medium. Tingkat kekerasan dendeng dipengaruhi oleh adanya kandungan air dalam dendeng. Kandungan air ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan yang berbeda-beda, misalnya cuaca, lama pengeringan, penetrasi panas. Disamping itu juga bahan makanan seperti dendeng yang berkadar gula tinggi, sehingga dalam proses pengeringannya mengalami sedikit kesulitan karena air sulit untuk diuapkan karena adanya ikatan yang kuat antara gula dan air. KESIMPULAN Dari evaluasi kualitas terhadap enam merek dendeng, maka dapat diambil kesimpulan dendeng yang paling disukai adalah Dendeng Pangestu. Dengan hasil analisa sebagai berikut : untuk uji sensoris tingkat kesukaan terhadap warna nilai uji sensorisnya adalah 6,93 dengan
Aurand, L.W. and Woods, A.E., 1973. Food Chemistry. The Avi Publishing Company.Inc. Wesport, Connecticut. Adnan, M., 1982. Aktivitas Air Dan Kerusakan Bahan Makanan. Bambang Kartiko, Pudji Hastuti dan Wahyu Supartono, 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. -----------------------, 1990, Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. PAU Pangan Gisi UGM. Jogjakarta Edwards, R.A. G.H. Fleet and M. Wooton., 1979. Food Comodity Science dalam Food Science. (Buckle K.A. et al) Watson Ferquson& Co. Brisbane.. Fenemma, D.R. 1976. Principle of Food Science. Marcel Dekker. Inc. New York and Basel. Forrest, J.C; E.D. Arbele; H.B. Hedrik; M.D. Juge and R.A. Markel., 1975. Principle of Meat Science. WH. Freeman Company. San Fransisco. Hadiwijoto, S., 1981. Problema Penggunaan Garam Nitrit dan Nitrat Pada Pengawetan Daging dalam Almanak Nuklir Biologi dan Kimia. Pusat Nuklir Biologi dan Kimia Angkatan Darat. Jakarta. --------------------, 1983. Hasil Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Penerbit Liberty Jogjakarta
22 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 Jutono,
1972. Dasar Dasar Mikrobiologi. Fakultas Peertanian UGM. Jogjakarta.
Sudjana, 2002. Desain Dan Analisis Eksperimen. Tarsito Bandung.
Kramer, A and Twigg, B.A. , 1970. Quality Control for The Food Industry. The Avi Publishing Company.Inc. Wesport, Connecticut.
Vincent Gaspersz, 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk Ilmu Ilmu Pertanian, Ilmu Ilmu Teknik, Biologi. Armico Bandung.
Price, J.F. and B.S. Schweiqert., 1971. The Science of Meat And Meat Product. WH. Freeman and Company. San Fransisco.
Winarno, F.G. dan Betty Sri Laksmi Jenie., 1982. Kerusakan Bahan Pangan Dan Cara Pencegahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjahmada University Press. Jogjakarta.
23
POTENSI LIMBAH AMPAS TAHU SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMEKASAN KABUPATEN PAMEKASAN Suparno dan Moh. Muhlasin Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Madura e-mail:
[email protected],
[email protected] Abstrak Tujuan dari Penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui jumlah ampas tahu yang dihasilkan oleh 24 (dua puluh empat) pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan; (2) untuk mengetahui potensi ampas tahu sebagai sumber pakan ternak sapi potong di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode survei. Penelitian dilakukan pada 24 pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan mulai tanggal 18 Juni sampai dengan 17 Juli 2015. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu (1) Jumlah limbah tahu yang dihasilkan oleh 24 pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan sebanyak 42376,6 kg (limbah padat) dan 92401,9 kg (limbah cair); (2) Potensi sebagai pakan konsentrat untuk ternak sapi 1.895,59 ST (hijauan sedang sampai tinggi) atau 3.811,56 ST (hijauan rendah). Kata Kunci: Limbah Ampas Tahu, Pakan Ternak
PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat lebih dari 12.000 jenis kacang-kacangan, diantaranya adalah kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kapri, koro, dan kedelai. Kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap kedelai berupa tempe dan tahu menyebabkan banyak pabrikpabrik tempe dan tahu didirikan di Indonesia. Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Tahu adalah makanan yang banyak mengandung protein nabati. Tahu merupakan salah satu bahan pangan yang mudah di jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Banyak produsen tahu di indonesia, mulai dari tingkat usaha kecil dan menengah hingga produsen yang mempunyai pabrik tahu, fakta tersebut juga secara tidak langsung menyebabkan surplus produksi ampas tahu atau sisa dari pembuatan tahu. Ampas tahu belum banyak di manfaatkan sebagian besar orang menganggap ampas tahu sebagai limbah yang tidak berguna, oleh sebab itu ampas tahu kurang mempunyai nilai ekonomis. Saat ini banyak peternak yang memanfaatkan ampas tahu sebagai pakan tambahan bagi ternak sapi potong selain konsentrat. Di Kecamatan Pamekasan Kabupaten
Pamekasan terdapat 24 (dua puluh empat) pabrik tahu yang terdapat (1) Desa Bettet sebanyak 8 (delapan) pabrik tahu; (2) Teja Timur sebanyak 5 (lima) pabrik tahu; (3) Teja Barat sebanyak 3 (tiga) pabrik tahu; (4) Kolpajung sebanyak 3 (tiga) pabrik tahu; (5) Bugih sebanyak 1 (satu) pabrik tahu; (6) Nyalabu Laok sebanyak 1 (satu) pabrik tahu; (7) Nyalabu Daya sebanyak 1 (satu) pabrik tahu; (8) Jungcangcang sebanyak 1 (satu) pabrik tahu, dan (9) Kangenan sebanyak 1 (satu) pabrik tahu. Adanya 24 (dua puluh empat) pabrik tahu, akan menghasilkan limbah berupa ampas tahu yang melimpah, harganya pun masih sangat murah. Menurut Joie (2010) pemanfaatan ampas tahu sangat efektif pada sapi potong. Sapi yang diberi pakan ampas tahu akan mengalami perubahan berat badan yang lebih cepat. Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian tentang potensi limbah ampas tahu sebagai sumber pakan ternak sapi potong di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan. Tujuan dari Penelitian ini (1) untuk mengetahui jumlah limbah ampas tahu yang dihasilkan oleh 24 (dua puluh empat) pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan, (2) untuk mengetahui potensi limbah ampas tahu sebagai sumber pakan ternak sapi potong di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan.
24 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian survei yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Penelitian dilakukan pada 24 pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan mulai tanggal 18 Juni sampai dengan 17 Juli 2015. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan alasan ; (1) Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan khususnya di desa Bettet, Teja Timur, Teja Barat, Kolpajung, Bugih, Nyalabu Laok, Nyalabu Daya, Jungcangcang, dan Kangenan banyak berdiri pabrik tahu, (2) Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan belum pernah ada penelitian yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pabrik tahu yang mempunyai potensi limbah ampas tahu sebagai sumber pakan ternak sapi potong di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang berjumlah 24 (dua puluh empat) pabrik tahu, karena populasi pabrik tahu kecil, maka populasi pabrik tahu menjadi sampel. Berdasarkan penelitian, pabrik tahu yang terdapat di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan di 9 (sembilan) desa. Data pabrik tahu sebagai berikut :
narasumber adalah pemilik pabrik Kabupaten Pamekasan. 2. Data sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung. Data tersebut diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik), data di desa. Analisis data guna menjawab masalah dan tujuan penelitian yang telah diajukan, dirumuskan digunakan teknik analisis sebagai berikut : 1. Untuk menjawab tujuan penelitian mengenai jumlah ampas tahu yang dihasilkan 24 pabrik tahu dianalisis dengan menggunakan deskriptif. 2. Menjawab tujuan penelitian kedua, dianalisis dengan : Kemampuan sapi mengonsumsi bahan kering perhari =
× 6,25 kg
a. Asumsi sapi diberi hijauan berkualitas sedang sampai tinggi 40% × BK ransum (kg), Ampas tahu segar ═ % BK ampas tahu × BK konsentrat (kg). b. Asumsi sapi diberi hijauan berkualitas rendah sampai tinggi 55% × BK ransum (kg), Ampas tahu segar ═ % BK ampas tahu × BK konsentrat (kg). HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Pabrik Tahu Di Kecamatan Pamekasan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa Bettet Teja Timur Teja Barat Kolpajung Bugih Nyalabu Laok Nyalabu Daya Jungcangcang Kangenan Jumlah
Jumlah Pabrik Tahu 8 5 3 3 1 1 1 1 1 24
Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu data primer dan sekunder. 1. Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya tanpa melalui perantara. Data primer diambil melalui survey lokasi dan wawancara langsung dengan responden. Dalam penelitian ini yang menjadi
Keadaan Umum Kecamatan Pamekasan Kecamatan Pamekasan merupakan salah satu Kecamatan dari 13 Kecamatan di Kabupaten Pamekasan Propinsi Jawa Timur. Secara administrasi Kecamatan Pamekasan memiliki batas - batas wilayah sebagai berikut : Utara : Kecamatan Palengngaan Selatan : Kecamatan Tlanakan Barat : Kecamatan Proppo Timur : Kecamatan Pademawu Secara geografis Kecamatan Pamekasan terletak pada ketinggian 15 meter dari permukaan laut dengan curah hujan 180 mm/tahun dan suhu udara rata - rata 29 C. Jumlah penduduk di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan sebanyak 85.797 jiwa yang terdiri dari laki - laki 45.407 jiwa, dan perempuan 47.220 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 23.593 KK (BPS Kecamatan Pamekasan, 2014).
Suparno, Potensi Limbah Ampas Tahu …25
Populasi Ternak Populasi ternak sapi potong menurut desa dan jenis ternak di Kecamatan Pamekasan
Kabupaten Pamekasan pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 2. Populasi Ternak Besar Menurut Desa dan Jenis Ternak di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan 2014 Jenis Ternak (ekor) Desa/Kelurahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Teja Barat Teja Timur Jalmak Laden Panempan Kangenan Patemon Barurambat Kota Parteker Jungcangcang Bettet Nyalabu Laok Nyalabu Daya Bugih Gladak Anyar Kolpajung Kowel Toronan Jumlah
Sapi Perah
Sapi Potong
0
502 294 191 71 138 452 8 19 0 121 253 142 241 202 188 205 305 296 3,628
Kuda 2 1 1 1 2 1 8
Kerbau 0
Sumber : Dinas Peternakan 2014 Pada Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa populasi ternak sapi potong di 9 (sembilan) desa dan 9 (sembilan) kelurahan di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang paling tinggi populasi sapi potong berada di desa Teja Barat sebanyak 502 ekor sapi potong, sedangkan pada kelurahan Parteker tidak terdapat peternakan sapi potong. Karakteristik Umur Responden Umur responden pengusaha pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang paling muda adalah 30 tahun dan hanya 1 orang responden dengan persentase 4,16 %, sedangkan yang paling tua adalah 60 tahun dan hanya 2 orang responden dengan persentase 8,33 % dan umur responden paling banyak menjadi pengusaha pabrik tahu terdapat pada usia 35 – 39 tahun sebanyak 8 responden dengan persentase 33,33 %.
Pengalaman Responden Dalam Usaha Pabrik Tahu Pengalaman usaha semakin tinggi maka semakin tinggi pula motivasi, sebaliknya semakin rendah pengalaman usaha, maka semakin rendah pula motivasi usaha. Mereka yang memiliki pengalaman usaha akan semakin meningkatkan motivasi kerja, yang pada akhirnya memperlihatkan keberhasilan dalam kegiatan usaha pabrik tahu (Christian dkk, 2011). Pengalaman usaha pabrik tahu responden di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang paling lama berdasarkan penelitian yang dilakukan di 24 pabrik tahu yaitu 6 - 10 tahun dengan jumlah responden sebanyak 8 orang responden dengan presentase 33,33 % . Pendidikan Responden Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang perlu di perhatikan karena
26 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
mempengaruhi tingkat keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Pendidikan responden Pengusaha Pabrik Tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan mayoritas tamat SMA dan tidak sekolah sebanyak 8 orang responden dengan presentase 33,33 %.
menjalankan tugasnya sehari - hari, juga merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup karyawan dan keluarganya. Ongkos tenaga kerja buruh pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan perhari perorang tergantung pada tahu yang dibuat dipabrik tahu setiap hari. Biasanya sekitar Rp.15.000,-
Pendapatan Responden Pendapatan merupakan jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perorangan dalam rumah tangga. dari 24 pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan ada 12 pabrik yang mempunyai pendapatan kecil yaitu antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 400.000,sebesar 50 %. Pendapatan yang kecil disebabkan pengelolaan kedelai yang diolah menjadi tahu kecil. Tanggungan Keluarga Responden Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari istri, dan anak, serta orang lain yang turut serta dalam keluarga berada atau hidup dalam satu rumah dan makan bersama yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Tanggungan keluarga pengusaha pabrik tahu paling tinggi jumlahnya adalah 7 orang tanggungan dengan jumlah responden 6 orang dengan presentase 25 % dari 24 responden, terendah yaitu jumlah tanggungan keluarga 3 orang dengan jumlah responden 2 orang dengan presentase 8,33 %. Tenaga Kerja Responden Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja responden di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan dari data diatas dapat kita ketahui bahwa yang paling banyak yaitu 8 tenaga kerja dengan responden sebanyak 2 orang responden dengan persentase 8,33 % dan terendah jumlah tenaga kerja di pabrik tahu yaitu 2 tenaga kerja dengan jumlah responden yaitu 2 orang dengan presentase 8,33 %. Ongkos Tenaga Kerja Ongkos / upah tenaga kerja sangat besar pengaruhnya terhadap para pekerja dalam
Pembelian Kedelai Kedelai merupakan bahan dasar dalam pembuatan tahu yang mengandung zat organik tinggi (Kasyanto, 1987). pembelian kedelai di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan ada yang langsung dari pabrik, dan ada yang langsung dari distributor. Membeli kedelai yang langsung dari pabrik langsung ada 6 orang responden dengan presentase 25 % sedangkan yang melalui distributor berjumlah 18 orang responden dengan presentase 75 %. Tahu Yang Dihasilkan Tahu adalah gumpalan protein kedelai yang diperoleh dari hasil penyaringan kedelai yang telah digiling dengan penambahan air. Rata-rata kedelai perhari yang digunakan oleh 24 pabrik tahu sebanyak 153,8 kg yang menghasilkan rata-rata produksi tahu 4,45 cetakan, harga/cetakan Rp 21.000,-. Dari 4,45 cetakan menghasilkan tahu 30,15 dengan harga 1 potong tahu Rp 1.000,Limbah Yang Dihasilkan Limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi 2 (dua) bentuk limbah : (a) limbah padat (ampas tahu) merupakan hasil sisa perasan bubur kedelai; (b) limbah cair tahu adalah limbah yang ditimbulkan dalam proses pembuatan tahu dan berbentuk cairan yang akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang merugikan baik pada produk tahu sendiri maupun tubuh manusia bila dibiarkan (Auliana, 2012). Rata- rata limbah pabrik tahu di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang dihasilkan dari 24 pabrik tahu, limbah padat sebesar 42.376,6 kg dan limbah cair sebesar 92.401,9 kg dengan rata- rata limbah padat pabrik tahu 1765.7 Kg, sedangkan rata - rata limbah cair pabrik tahu 3.850,8 kg.
Suparno, Potensi Limbah Ampas Tahu …27
Bahan Kering Bahan kering adalah bahan yang terkandung di dalam pakan setelah dihilangkan airnya (Tillman et al., 1991). Ampas tahu padat nutrisi/kimia ampas tahu dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 3. Komposisi Nutrisi/Kimia Ampas Tahu Ampas Tahu
Nutrisi Bahan. Kering Protein Kasar Serat. Kasar Lemak kasar Abu BETN
Basah (%) 14,69 2,91 3,76 1,39 0,58 6,05
Kering (%) 88,35 23,39 19,44 9,96 4,58 30,48
Sumber : (Suprapti, 2005)
selain digunakan untuk tempe, sebagian digunakan sebagai pakan ternak, khusus ternak sapi sebagai pakan konsentrat, baik diberikan tunggal atau dicampur dengan dedak. Komposisi Menurut (NCR, 1984), yang disadur oleh Arsyad. A. H, (2012) kebutuhan bahan kering (BK) satu satuan ternak (1 ST) sapi potong dalam satu tahun dimana kebutuhan bahan kering adalah 6,25 kg/hari atau 2,28 ton/tahun, untuk sapi dengan berat hidup mencapai 500 kg. Untuk ternak sapi di indonesia pada umumnya tiap 1 ST memiliki kisaran berat hidup 200 - 250 kg. Jadi kebutuhan pakan/bahan kering minimum untuk 1 ST selama satu tahun dapat berbeda-beda, tergantung berat hidup sapinya. Sapi Madura memiliki kisaran berat badan 300 kg dan pada pemeliharaan kondisi baik untuk perlombaan mampu mencapai lebih 500 kg, dan rata - rata bobot sapi 450 kg (Wijono, 2004).
Tabel 4. Potensi Ampas Tahu Padat Sebagai Bahan Pakan NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Pabrik Tahu
UD. Rajawali UD. Dua Putri UD. Sumber Rejeki UD. Mawar UD. Sumber Murni UD. Anugrah UD. Putri Ayu UD. Sejahtera UD. Maju Jaya UD. Sumber Makmur UD. Kurnia UD. Putri Kembar UD. Bahagia UD. Barokah UD. Anukra UD. Mandiri UD. Kurnia Abadi UD. Bintang Jaya UD. Buya Jaya UD. Dua Sekawan UD. Jaya UD. Fajar Bahari UD. Dua Putra UD. Makmur Sejahtera Jumlah
Sumber : Data primer yang diolah, 2015
BK (Kg) 35,39 35,54 55,25 94,10 78,43 36,33 117,92 35,39 113,52 26,50 35,26 78,28 36,33 35,26 67,46 5041,10 35,37 34,30 42,13 35,39 19,88 78,43 21,52 36,33 6.225,32
Potensi (ST) Hijauan Hijauan Kualitas Sedang Kualitas Sampai Tinggi Rendah 14,16 10,32 14,24 10,36 22,1 16,11 37,7 27,44 31,37 22,87 14,53 10,59 47,17 34,38 14,16 10,32 45,41 33,1 10,6 7,72 14,11 10,28 31,31 22,82 10,59 14,53 10,28 14,11 19,67 26,98 1469,71 2016,5 10,31 14,15 10 13,72 12,31 16,89 10,32 1416 5,8 7.95 22,87 31,37 6,28 8,61 10,59 14,53 1.895,59 3.811,56
28 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
Pada Tabel dapat dilihat bahwa bahan kering (BK) ampas tahu sebagai bahan pakan ternak di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang dihasilkan dari 24 pabrik tahu sebanyak 6.225,32 kg. Bahan kering paling tinggi terdapat di pabrik tahu UD. Mandiri 5.041,1 kg BK, mempunyai potensi sebagai pakan ternak sapi sebesar 1.469,71 ST (diberi hijauan berkualitas sedang sampai tinggi) atau 2.016,15 ST (diberi hijauan berkualitas rendah), sedangkan bahan kering paling rendah terdapat di pabrik tahu UD. Bintang Jaya yaitu 19,88 kg BK mempunyai potensi sebagai pakan ternak sapi sebesar 5,8 ST (diberi hijauan berkualitas sedang sampai tinggi) atau 7,95 ST (diberi hijauan berkualitas rendah). Potensi limbah ampas tahu padat sebesar 6.225,32 kg BK sebagai pakan konsentrat ternak sapi dapat mencukupi 1.892,59 ST (apabila diberi hijauan berkualitas sedang sampai tinggi) atau 3.811,56 ST (apabila diberi hijauan berkualitas rendah) . KESIMPULAN 1. Jumlah limbah ampas tahu yang dihasilkan 24 pabrik tahu sebayak 42.376,6 kg limbah padat dan 92.401,9 kg limbah cair. 2. Produksi limbah tahu padat sebagai pakan ternak sapi 1.895,59 ST (pakan hijauan
sedang sampai tinggi) adalah 3.811,565 ST (pakan hijauan rendah). DAFTAR PUSTAKA Arsyad, A., H. 2012. Analisis Potensi Daya Dukung Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Pohuwato. Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. Auliana, Rizqie. 2012. Pengolahan Limbah Tahu Menjadi Berbagai Produk Makanan. Yogyakarta. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. 2011. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. Surabaya. Suprapti, Lies. 2005. Pembuatan Tahu. Edisi Teknologi Pengolahan Pangan. Kanisius, Yogyakarta. Tillman,
A. D.,S, Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, H. Hartadi dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Wijono Didi, B dan Setiadi Bambang. 2004. Potensi Dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Madura Loka Penelitian Sapi Potong Grati, Pasuruan Dan Balai Penelitian Ternak Bogor.
29
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI BIBIT MADURA MELALUI PENDEKATAN ONE TAMBON ONE PRODUCT (OTOP) DI PULAU MADURA Farahdilla Kutsiyah Jurusan Ekonomi dan Bisnis Islam STAIN Pamekasan e-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian bertujuan mengekplorasi potensi budaya sapi sonok dan pemanfaatannya untuk pengembangan agribisnis sapi bibit madura melalui pendekatan OTOP. Penelitian dilaksanakan di Desa Dempo Barat Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan. Jenis data sebagian besar deskriptif yang digali melalui eksplorasi, observasi, studi pustaka dan indept interview (wawancara mendalam). Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Strategi pengembangan agribisnis sapi bibit madura melalui pendekatan OTOP meliputi village breeding centre, penyuluhan, pendampingan, pertanian terpadu, pengembangan budidaya mengkudu, inovasi teknologi merujuk kelembagaan peternak, corporate farming ala madura, kerajinan & inovasinya terkait dengan sapi sonok, complete feed, home industri jamu sapi, koperasi peternak, penguatan kelembagaan sapi sonok, plot 10 peternak unggulan, pemasaran, evaluator, identifikator & fasilitator, pengolahan mengkudu, rekording & pendataan surat keterangan layak bibit/SKLB, pasar tradisional, desa wisata budaya sapi sonok dan penguatan kelembagaan petani (2) Desa yang bisa diplot untuk target OTOP tahap pertama di Desa Dempo Barat Kecamatan Pasean. Disarankan (1) Pemda memplot dalam renja SKPD (satuan kerja perangkat daerah/RKPD (rencana kerja pembangunan daerah) lingkup ekonomi untuk mengalokasikan anggaran bagi desa yang menjadi target OTOP (2) Kreatifitas dan inovasi dalam pengembangan agribisnis sapi bibit madura harus selalu digali oleh semua SKPD dan pihak-pihak terkait untuk memunculkan kegiatan-kegiatan baru yang aplikatif dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci: Sapi Madura, bibit, agribisnis, OTOP
PENDAHULUAN Kondisi saat ini yang melingkupi pembangunan sapi potong di Pulau Madura penekanannya hanya pada aspek budidaya, begitu pula dengan pembibitan sapi madura. Fakta yang paling nampak dapat dilihat dari empat hal. Pertama, sistem agribisnis (hulu hingga hilir) sapi potong tidak berkembang. Secara umum sasaran pendekatan agribisnis adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya. Dengan pendekatan agribisnis ditangani seluruh aspek siklus produksi, secara seimbang dalam satu paket kebijakan yang masif sejak pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengolahan dan pemasaran (Bappeda Pamekasan, 2015). Hasil penelitian PSP-IPB, (1995) terkait perspektif pengembangan agribisnis, ditunjukkan oleh besarnya potensi nilai tambah pada masingmasing sub sistem agribisnis, dengan kisaran manufaktur sarana produksi 12%, budidaya 9%, pengolahan/agroindustri 17%, perdagangan besar / grosir 21%, pengecer 23% dan distribusi 18%. Kedua, tidak adanya penerapan recording ternak dan surat keterangan layak bibit belum tersedia,
Ketiga, banyaknya pemotongan sapi betina produktif. Keempat, minimnya pengolahan pasca panen (pengolahan produk) untuk sapi penggemukan, sehingga nilai tambah (added value)nya rendah, kondisi ini juga menyebabkan harga komoditas ini sangat fluktuatif (Kutsiyah et al., 2009). Sapi potong dijual dalam bentuk ternak hidup. Kelima, hingga saat ini terbentuknya pasar tradisional masih sangat minim, Banyak desa yang tidak memiliki pasar sehingga mereka membutuhkan biaya lebih besar untuk menjual produknya, sehingga yang banyak terlihat pedagang perantara (Heryadi, 2008). Oleh karena itu, pembangunan sapi potong khususnya Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit Madura di pedesaan di Pulau Maduradiharapkan mengarah pada agrobisnisyang mempunyai nilai tambah tinggi, tidak hanya terfokus pada budidaya atau onfarm saja. Selain itu juga diperlukan pembangunan sikap mental dan budaya masyarakat peternak breeder menjadi berorientasi pasar dan industri, sehingga sektor peternakan dapat menjadi penggerak utama (primemover) bagi perekonomian wilayah. Untuk
30 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 itu Desa sentra sapi bibit Madura harus diubah menjadi desa industri berbasis sapi bibit madura. Salah satu alternatif pengembangan agribisnis sapi bibit madura bisa melalui pendekatan OTOP (one tambon one product). Pendekatan ini merupakan gerakan masyarakat yang mengembangkan potensi yang dimiliki daerah secara terintegrasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan rasa percaya diri serta kebanggaan akan kemampuan sendiri dan daerahnya. OTOP sebagai suatu pendekatan pembangunan dari dalam yang memanfaatkan sebesar-besarnya potensi wilayah sebagai modal dasar dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, sehingga dapat mengembangkan kearifan local setempat dan dengan mendorong berkembangnya industri. Sebagai penjelasan, konsep ini sebenarnya mereplikasi keberhasilan masyarakat dan pemerintah Jepang dan Thailand yang sudah membuktikan kehandalan model satu desa satu komoditas yang dibangun berdasarkan keunggulan komparatifnya. Di Negara jepang, konsep ini dikenal dengan istilah one village one commodity (OVOC) atau one village one product (OVOP) sementara di Thailand, program sejenis dikenal dengan nama one tambon one product atau OTOP (Burhanuddin, 2008). OTOP sangat layak diterapkan untuk pengembangan sapi bibit Madura di Pulau Madura karena (1) setiap wilayah pedesaan yang menjadi sentra pembibitan sapi madura umumnya memiliki kekhasan tersendiri dalam menghasilkan komoditas ini karena kondisi alam, budaya cocok tanam, modal sosial, SDA, dan SDM masyarakat. Sifat unik wilayah atau kawasan tersebut layak dikembangkan (2) Keterbatasan faktor sosial ekonomi masyarakat Pulau Madura. Jika ditilik secara seksama dari dulu hingga sekarang, masalah aspek sosiocultural yang melingkupi peternak adalah : penjualan sapi umur 1-2 bulan, mati mocok dan tingginya proporsi penggaduh sapi (3) SDM adalah faktor kendala paling utama pembangunan peternakan di Pulau Madura. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2014. Penentuan lokasi ditetapkan secara sengaja (purposive) dilakukan
di Desa Dempo Barat Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan. Pertimbangannya bahwa kedua kecamatan tersebut merupakan daerah sentra sapi sonok dan memiliki populasi sapi Madura bibit yang tergolong kategori tinggi di Pulau Madura serta budaya sapi sonok menginternalisasi masyarakatnya. Di samping itu di wilayah ini performan sapi Madura tercakup dalam kategori unggul. Sebagai penjelasan budaya sapi sonok sangat berkontribusi dalam melanggengkan ketersediaan sapi Madura unggul. Di samping itu di wilayah ini performan sapi Madura tercakup dalam kategori unggul. Sebagai penjelasan budaya sapi sonok sangat berkontribusi dalam melanggengkan ketersediaan sapi Madura unggul. Kegiatan penelitian ini berdasarkan tujuannya merupakan penelitian eksploratif, yaitu penelitian yang bermaksud mengekplorasi potensi budaya sapi sonok dan pemanfaatannya untuk pengembangan agribisnis sapi bibit madura. Jenis data sebagian besar deskriptif yang digali melalui eksplorasi, observasi, studi pustaka dan indept interview (wawancara mendalam). PEMBAHASAN Konsep One Tambon One Product (OTOP) OVOP pertama kali dicetuskan oleh Morihiko Hiramatsu saat menjabat sebagai Gubernur Perfektur Oita di timur laut Kyushu, Jepang. Selama 6 periode (24 tahun) masa jabatannya, gerakan OVOP melaju pesat memberikan kontribusi sangat besar bagi pembangunan di wilayah ini. Penerapan OVOP ini bertujuan untuk mengembangkan produk yang mampu bersaing di pasar global dengan tetap menekankan pada nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat. Ketika itu OVOP dicanangkan sebagai kebijakan dalam rangka mengatasi masalah depopulasi yang disebabkan generasi muda yang meninggalkan daerah asalnya dan menyebabkan lesunya industri setempat (Triharini et al., 2014). Di Thailand, program sejenis diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang terinspirasi dan kemudian mengadopsi program tersebut untuk dikembangkan lebih lanjut dengan nama One Tambon One Product (OTOP). Tambon dalam bahasa setempat berarti kecamatan, sehingga
Kutsiyah, Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit….31 OTOP dikenal sebagai suatu konsep atau program untuk menghasilkan satu jenis komoditas atau produk unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu. Pengertian kawasan dalam hal ini bisa meliputi suatu areal wilayah dengan luasan tertentu yang dalam hal ini adalah wilayah kecamatan (Burhanuddin, 2008). Dalam OVOP yang menonjol adalah terintegrasinya semua lembaga terkait, masingmasing dengan kapasitasnya kedalam suatu perencanaan terfokus. Memanfaatkan sumberdaya dan fasilitas yang tersedia, produk lokal yang dihasilkan dengan pendekatan ini harus didorong untuk mampu memberikan nilai tambah dengan bantuan teknis dan pemasaran yang memadai. Tidak kalah pentingnya penekanan pada kerjasama antar berbagai kalangan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi para pelaku usaha mengembangkan produk unggulan spesifik lokasi hingga mencapai kualitas tertentu yang mampu bersaing di pasar global (Pasaribu, 2011). komoditas dikelola dengan basis sumberdaya lokal namun berdaya saing global
kemandirian dan kreativitas
penekanan pada pengembangan SDM
Gambar 1. Prinsip Dasar Dalam Konsep OTOP Tiga prinsip dasar dalam konsep OTOP yang sesungguhnya bisa diterapkan dalam komoditas apapun. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah : (1) komoditas dikelola dengan basis sumberdaya lokal namun berdaya saing global (Think globally, act locally). Setiap wilayah dianugerahi beragam sumberdaya, oleh karena itu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal dan tidak menggunakan sumberdaya dari luar. Sumberdaya local tersebut diolah sehingga dapat menghasilkan produk yang dapat dipasarkan baik lokal maupun global (2) kemandirian dan kreativitas (Self reliance and creativity) yang berkesinambungan. Usaha ini dilakukan secara mandiri dengan kreativitas, inovasi, ketekunan, dalam meracik potensi sumberdaya yang dimilikinya. Masyarakat setempat yang menentukan produk mana yang dikembangkan
yang memiliki kekhasan dan keunikan lokal (3) penekanan pada pengembangan SDM (Human resource development) (Matsushima, 2012). Penerapan OTOP di Indonesia dilaksanakan melalui program Kementerian Perindustrian sejak tahun 2008 untuk mengembangkan potensi industri kecil dan menengah pada berbagai sektor, termasuk di antaranya sektor kerajinan. Sepuluh wilayah yang dipilih oleh Pemerintah untuk dikembangkan dengan pendekatan OVOP yaitu: Purwakarta (gerabah/keramik hias), Tasikmalaya (anyaman), Pekalongan (tenun dan anyaman akar wangi), Boyolali (kerajinan tembaga), Bantul (gerabah/keramik hias), Kulonprogo (anyaman), Bangli (anyaman bambu), Tabanan (gerabah/keramik hias), Lombok Barat (gerabah/keramik hias), dan Lombok Tengah (anyaman rotan) (Cahyani, 2013). Ini tidak berarti di Indonesia penerapannya tidak hanya dikotakkan pada aspek pengolahan produk tetapi perluasan ke aspek agribisnis sangat layak untuk diterapkan. Seperti yang dipaparkan Prayudi (2008), latar belakang munculnya OTOP ada tiga yaitu: pertama, adanya konsentrasi dan kepadatan populasi di perkotaan sebagai akibat pola urbanisasi dan menimbulkan menurunnya populasi penduduk di pedesaan. Kedua, untuk dapat menghidupkan kembali gerakan dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan, maka perlu dibangkitkan suatu roda kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran pedesaan dengan cara memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada didesa tersebut serta melibatkan para tokoh masyarakat setempat. Ketiga, mengurangi ketergantungan masyarakat desa yang terlalu tinggi terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Dengan kata lain tujuan OTOP 1. Sebagai terobosan untuk menggerakkan produksi dengan mengembangkan produk khas lokal 2. Mendorong pemanfaatan sumberdaya lokal (alam, manusia, teknologi) 3. Salah satu alternatif pengembangan agroindustri di perdesaan atau industri kecil & menengah 4. Memudahkan koordinasi hubungan yang saling mengkait antar elemen dari hulu ke hilir
32 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 (antar SKPD) 5. Memajukan ekonomi daerah 6. Terintegrasinya semua lembaga terkait, masing-masing dengan kapasitasnya kedalam suatu perencanaan terfokus Langkah-langkah operasional untuk pelaksanaan OTOP mencakup pemilihan produk unggulan spesifik lokal, mengidentifikasi potensi dan kendala yang dihadapi jika akan mengembangkan produk tersebut hingga mampu meningkatkan kualitas dan menembus pasar global, melaksanakan kegiatan pengembangan (pengolahan dan pemasaran) untuk memperoleh nilai tambah dan meningkatkan pendapatan, dan melaksanakan evaluasi untuk meningkatkan kekuatan produk dan kinerja usaha. Pulau Madura Sebagai Pulau Sapi Tahun 2012 Pemerintah provinsi Jawa Timur memplot bahwa Pulau Madura akan dijadikan sebagai Pulau sapi. Kondisi tersebut insya Allah akan terwujud dengan prasyarat adanya kesungguhan pemerintah melalui penerapan program/kegiatan, insentif dan pendekatan kebijakan serta pendampingan yang berkelanjutan untuk mencerdaskan peternak (ilmu dan keterampilannya) baik dari aspek pembibitan, manajeman pakan, penggemukan, pengolahan produk, penerapan pertanian terpadu hingga pembangunan pedesaan berbasis agribisnis. Potensi sapi luar biasa di Pulau Madura, baik ditinjau dari jumlah populasinya, kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat, hingga keberadaannya terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Pulau garam ini, tidak hanya dari aspek ekonomi tetapi juga sosial dan budaya. Dalam peta peternakan regional dan nasional Pulau Madura merupakan wilayah padat ternak dengan tingkat kepadatan sangat tinggi (1,002 ekor/ha). Bahkan untuk Pulau Sapudi tingkat kepadatannya 303 ekor/km2. Tidak kalah pentingya juga, bahwa sapi madura adalah salah satu bangsa sapi lokal dari tiga bangsa sapi lokal yang dimiliki Indonesia. Dari aspek ekonomi dari dulu hingga saat ini mayoritas orang Madura sebagai petani, disinilah keberadaan sapi benar-benar ada dan menjadi bagian penting. 700 tahun yang lalu ia dimanfaatkan untuk membajak sawah dan begitula saat ini meskipun porsi penggunaannya
untuk mengolah sawah/tegalan sudah banyak tergantikan dengan traktor. Tidak kalah pentingnya ternak sapi memberikan kontribusi sangat signifikan bagi tabungan masyarakat dan wajah perekonomian masyarakat dari dulu hingga sekarang. Tercatat pengeluaran sapi sangat besar yaitu tahun 1926, ± 80.000 ekor sapi diperdagangkan ke luar Madura, sepuluh tahun terakhir mengisi permintaan ± 24% dari penawaran sapi potong di Jawa Timur (Kutsiyah, 2012a). Sementara tahun 2014 ini populasinya sapi di Pulau Madura sebesar 878.669 ekor (lihat Tabel 1 populasi masing-masing per Kabupaten). Tabel 1. Populasi Sapi di Pulau Madura Tahun 2014 No
Kabupaten
1 2 3 4
Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
Populasi (ekor) Jantan
Betina
Total
82.259 73.360
90.317 109.766
78.986 Total
294.126
172.576 183.126 149.855 373.112 878.669
Sumber: Dispet se Madura (2014) Sungguhpun begitu, pendapatan dari pemeliharaan sapi tersebut cukup rendah, karena tidak terlepas dari karakteristik petani di Pulau Madura, yakni faktor manajemen pemeliharaan kurang memadai, interval jarak beranak sapi madura di Pulau Madura kurang efisien, pertambahan bobot badan harian rendah, kelembagaan pemasaran sangat tidak efisien, dan agroindustri sapi potong sangat tidak berkembang. Sebenarnya sapi madura adalah sapi unggul, breed (bangsa) sapi potong lokal ini sangat toleran terhadap stres akibat iklim ekstrim, tahan terhadap serangan caplak, sangat adaptif untuk lingkungan Madura (daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan), kualitas dagingnya bagus dan kulitnya disinyalir terbaik di dunia. Disamping itu, sapi madura mempunyai respon yang baik terhadap perbaikan pakan serta tahan terhadap pakan dengan kandungan serat kasar tinggi. Sungguhpun begitu hingga saat ini pertambahan bobot badan (PBB) dan bobot badan (BB) dewasa sapi madura lebih kecil daripada sapi impor, PBB berkisar 200 – 700 gram perhari dengan capaian bobot badan dewasa 250-700 kg (Kutsiyah, 2012b).
Kutsiyah, Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit….33 Sentra Pembibitan Sapi Madura Sentra pembibitan Sapi Madura tekonsentrasi di pulau Sapudi dan wilayah sentra sapi sonok. Pulau Sapudi ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah konservasi bagi pemurnian plasma nutfah (sumberdaya genetik) Sapi Madura, juga dikenal sebagai sumber bibit sapi kerap atau istilah penduduk setempat adalah kiblat sapi kerap. Karakter wilayah ini khas terlekat dengan sapi, populasi sapi mendekati jumlah penduduk dan setiap KK memiliki 2 hingga 10 ekor. Hasil PSPK tahun 2011 populasi sapi sebanyak 39.997 ekor atau 303 ekor/km2, dengan pengeluaran ternak sekitar 4.000-8.000 ekor per tahun. Sementara data hasil sensus pertanian tahun 2013 populasinya meningkat menjadi 41.371 ekor (Kutsiyah, 2015). Ketersediaan pakan ternak di Pulau Sapudi ini tidak melimpah, bahkan pada musim kemarau ditemui sapi kurus tidak bisa berdiri (empon), karena kekurangan pakan. Tidak mengherankan di wilayah ini didominasi sebagai peternak bibit, sapi dipelihara untuk diambil keturunannya, sementara untuk penggemukan terkendala pakan. Pilihan mereka menjual, menjual dan menjual, umur 4-7 bulan biasanya sudah dijual. Jika pedetnya betina dan memiliki performan bagus akan dipelihara sebagai calon induk. Jarang ditemui peternak memelihara sapi jantan dewasa sebab pakan tidak tersedia cukup, sementara kalau sapi betina diberi pakan seadanya tetap beranak sehingga dapur mereka masih mengepul (Kutsiyah, 2015). Wilayah sentra sapi sonok tersebar di tiga kabupaten yakni Pamekasan, Sumenep dan Sampang. Di Sentra sapi sonok di Kabupaten Pamekasan berada di wilayah Ex Karesidenan Waru yang mencakup empat kecamatan, yaitu Kecamatan Waru, Kecamatan Pasean, Kecamatan Pakong dan Kecamatan Batumarmar. sementara di Sumenep berada di Kecamatan Lenteng, Gending, Rubaruh, Guluk-guluk, Batu putih dan Ambunten, sementara di Sampang berada di Kecamatan Sokobanah (Kutsiyah, 2015; 2014b). Sebagai justifikasi bahwa sentra sapi sonok adalah wilayah sentra sapi bibit Madura dapat dilihat pada profil desa-desa yang terdapat
di wilayah tersebut. Performan populasi sapi lokal (Madura) tergolong unggul dengan bobot badan kisaran 350-600 kg dengan dan populasinya sapi bibitnya tinggi. Budaya Sapi Sonok Memapankan Ketersediaan Sapi Madura Unggul Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 an hingga saat ini, kontes sapi sonok sangat bermanfaat dalam memperbaiki mutu genetik sapi madura atau minimal mengurangi kecenderungan seleksi negatif, karena prinsip dasar dari kesenian ini adalah penerapan seleksi ternak. Performan sapi jantan yang memiliki kualitas unggul dapat dijadikan pejantan/ pemacek, sementara performan sapi betina unggulan dijadikan sapi sonok (Kutsiyah, 2012b; 2014a). Sebagian besar metode seleksi yang diterapkan di sentra sonok didasarkan pada performans tetua atau moyangnya, dan seleksi berdasarkan uji performan. Untuk menjadi sapi sonok, sapi madura betina yang diseleksi dan dipilih dari sapi taccek/sapi pajangan. Kriteria seleksi mencakup bentuk tubuh, warna bulu, tanduk, kuku, kesehatan sapi, tingkat pertumbuhannya berdasarkan umur, tingkah laku dan silsilah keluarganya( Nurlaila et al., 2011). Semakin jinak dan terlihat mudah dilatih akan semakin cepat sapi tersebut dijadikan sapi sonok. Sapi yang tidak terpilih sebagai sapi sonok menjadi sapi induk biasa (Gambar 1). Secara spesifik cara mendapatkan bibit sapi sonok adalah: (1) silsilah, seleksi yang didasarkan pada reputasi yang ditunjukkan oleh nenek moyang sapi yang bersangkutan, yakni asal usul pejantan dan asal usul betina (jika ada); (2) seleksi eksterior/penampilan sapi yang dilaksanakan berdasarkan kriteria seleksi seperti di uraikan sebelumnya (Kutsiyah, 2012b). Budaya sapi sonok mencakup sapi pajangan, kolom taccek, warung taccek, kontes sapi sonok dan pembibitan-pemeliharaan sapi sonok (Kutsiyah, 2015)
34 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
Sapi Madura
Sapi Taccek/Phajangan
Sapi Jantan
Pejantan Unggul
Sapi Betina
Sapi Potong
Sapi Sonok
Gambar 2. Proses Pemilihan Sapi Sonok di Ex Kawedanan Waru Sentra Sapi Sonok Sebagai Target Pengembangan Sapi Bibit Madura Melalui Pendekatan OTOP Desa yang bisa diplot untuk target OTOP tahap pertama untuk wilayah sentra sapi sonok sebaiknya di Desa Dempo barat Kecamatan Pasean. Desa ini mencakup sepuluh dusun yakni Karang Tenga, Toroy, Pandian, Duwa’ Pote, Kembang, Patemon, Kanten, Bence’, Jurang Dalem, dan Potreh. Desa Dempo Barat dapat dikatakan cukup unik, khas dan memiliki potensi besar untuk dijadikan wilayah pengembangan agribisnis sapi bibit Madura karena Wilayah ini memiliki banyak kelebihan yakni: 1. Sebagai salah satu barometer pengembangan sapi Madura di Pulau Madura 2. Budaya sapi sonok terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat sehingga wilayah ini dapat dijadikan pengungkit hadirnya ekonomi kreatif berbasis pertunjukan. a. Frekuensi kegiatan even sapi taccek dan kontes sapi sonok teratur dan mudah ditemui di desa ini. Tempat pelaksanaan perkumpulan sapi taccek ini di lapangan dan halaman rumah penduduk. Banyak lapangan tersedia untuk kegiatan kontes dan kolom taccek. Pelaksanaannya berpindah-pindah dari kelompok-ke kelompok lain. Dempo ada 10 dusun, Setiap dusun memiliki kelompok kecil, Setiap dusun ada 2-3 kelompok kecil dengan anggota minimal 24 orang. Pelaksanaannya secara bergiliran pada setiap kelompok, jadwalnya tergantung pada kecamatan dan kabupaten. untuk taccek tidak harus lapangan karena
dihalaman rumah sudah bisa dilaksanakan. b. Kegiatan kolom taccek untuk satu perkumpulan digelar dua minggu sekali, sehingga diperkirakan pertemuan kolom taccek di desa ini antara 2-3 kali per minggu. Ditambah lagi untuk daerah lain pelaksanaan kolom taceek bisa dipengaruhi musim, seperti musim tembakau, sementara untuk desa ini kolom taccek tetap digelar meskipun musim tembakau, karena justru pertemuan itu untuk melepas kepenatan dengan bercocok sapi. c. Tempat memajang sapi dimiliki per kepala keluarga (KK). Untuk sapi sebagai bercocok tanam taccek dibuat ala kadarnya, sementara khusus sapi sonok dibuat dari cor dan dihiasi pohonpohonan. Jika dirujuk dari jumlah penduduk di Desa ini 5793 jiwa, yakni laki-laki 2727 laki-laki dan 3.066 perempuan, dengan jumlah KK sebanyak 1.563 (BPS Kab Pamekasan, 2013). Ini berarti ada 1.153 KK yang memiliki sapi dengan asumsi kepemilikan setiap KK sebanyak 2 ekor. Kepemilikan sapi 2-8 ekor per KK, rataaan per KK 2 orang. d. Adanya Paguyuban sapi sonok. Lembaga ini memiliki pengaruh yang kuat di lingkup wilayah sentra sapi sonok, oleh karena itu paguyuban tersebut bisa dijadikan pengkoordinasi dan perantara agar para peternak menerapkan recording sapi. e. Desa asal pencetus sapi sonok. Keaslian budaya ini terjamin, ketika tahun 90-an sapi sonok dilombakan di Pulau Madura,
Kutsiyah, Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit….35
f. g.
h.
i.
j.
k.
l.
hanya desa ini yang tidak mau mengadakan lomba, tetapi tetap dalam bentuk kontes. Kondisi ini dilatarbelakangi dari wasiat pencetus kesenian yang melarang sapi sonok diadu atau dilombakan. Adanya warung taccek. Yang memproduksi pengangguy (pakaian dan pernak-pernik ) untuk sapi sonok ada di Dempo barat kecuali Pangonong di Batu Putih Sumenep. Pangangguy ini mencakup hiasan kepala, hiasan kaki, leher dan tubuh sapi. Keunikan perilaku peternak, budaya sapi sonok mendarah daging di wilayah ini, setiap hari pasti ditemui hal-hal yang berkaitan dengan kesenian ini, seperti saat seseorang membeli sapi sonok, dalam perjalanan pulang ke rumah pemilik (pembeli tersebut) diringi saronen dan dilanjutkan dirumahnya, kemudian tanpa diundang masyarakat sekitarnya datang sendiri Populasi sapi sangat padat, berdasarkan hasil sensus tahun 2013, jumlah sapi di desa ini yakni sebanyak 2.306 ekor (proporsi sapi betina 95,6%). Sebagai keterangan tambahan Jumlah penduduk 6.230 dan jumlah KK 1.855 (data tahun 2013) dengan Luas wilayah 758,8 ha Manajeman pembibitan-pemeliharaan tergolong cukup optimal. banyak ditanam mengkudu, daunnya digunakan sebagai pakan ternak khususnya pada musim kemarau Performan populasi sapi lokal (Madura) tergolong unggul dengan bobot badan kisaran 350-600 kg Konsentrasi peternak terampil dalam manajeman produksi dan reproduksi banyak tersedia. Untuk mengetahui peternak terampil dalam aspek perawatan dapat dilihat dari performan produksi dan reproduksi sapi. Dari aspek tersebut ciricirinya sangat mudah dilihat: tubuh bagus, wajah cantik, badannya gemuk dan berkembangbiak. Tiga unsur ini melekat dengan peternak di Desa Dempo Barat, hal ini dapat dibuktikan bahwa daerah-daerah lain seperti Waru, Sumenep, Pakong, Sampang pasti mencari bibit-bibitnya dari wilayah ini.
Tabel 2. Populasi Sapi di Desa Dempo Barat Kecamatan Pasean Tahun 2013 Dusun Potreh Jurang Dalam Patemon Duwe’ Pote Pandian
Jumlah (ekor) 241 218 324 267 158
Dusun Toroy Karang Tenga Kembang Janten Bancek
Jumlah
Jumlah (ekor) 187 201 248 268 194 2.306
Sumber: Hasil Sensus Tahun 2013 m. Pengembangan infrastruktur akan mudah dilaksanakan. Lahan tersedia mudah dan murah sehingga untuk membangun infrastruktur sangat mudah dilaksanakan n. Letak giografis, meskipun jauh tetapi jalannya mudah dan sudah bagus o. Dempo barat dibagi atas bagian barat dan bagian timur. Wilayah barat daerahnya kering dan sulit air, dengan kondisi tersebut tanaman yang paling tahan panas adalah mengkudu. Daun dan buahnya digunakan untuk pakan ternak. Setiap lahan tanah atau setiap KK pasti ada pohon mengkudu. p. Kecamatan Pasean dikelilingi oleh Waru dan Batumarmar. Potensi perikanan di kecamatan Pasean dan Batumarmar dan Waru sebagai kawasan Rupanandur. Oleh karena itu nantinya diharapkan bisa membangkitkan industri kreatif di masyarakat, seperti kerajinan, kuliner, jasa yang berbasis sumberdaya lokal. Strategi Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit Madura Melalui Pendekatan OTOP OTOP sebagai suatu gerakan masyarakat yang membutuhkan partisipasi semua pihak (lembaga terkait) dari hulu ke hilir. Sebagai penegasan kembali, dalam pendekatan OTOP yang menonjol adalah terintegrasinya semua lembaga terkait, masing-masing dengan kapasitasnya kedalam suatu perencanaan terfokus. Memanfaatkan sumber daya dan fasilitas yang tersedia, produk lokal yang dihasilkan dengan pendekatan OTOP harus didorong untuk mampu memberikan nilai tambah dengan bantuan teknis dan pemasaran yang memadai dari pihak ketiga (perusahaan penghela) serta perlu melakukan banyak strategi terapan
36 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 (applied strategies) untuk mendorong peningkatan usaha ekonomi. Diantara yang menonjol adalah kerjasama antar berbagai kalangan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi para pelaku usaha mengembangkan produk unggulan spesifik lokasi hingga mencapai kualitas tertentu yang mampu bersaing di pasar global (Burhanuddin, 2008). Oleh karena itu untuk pengembangan agribisnis sapi bibit Madura perlu terintegrasinya semua lembaga (SKPD) dan pihak-pihak lainnya dalam menggiring dan menerapkan dari hulu hingga hilir. Adapun strategi yang bisa dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Strategi Ppenerapan OTOP Village Breeding Centre Bibit ternak mempunyai peranan penting dalam usaha agribisnis peternakan. Pengembangan perbibitan merupakan langkah strategis untuk pemenuhan kebutuhan bibit ternak di dalam negeri, sekaligus mengurangi ketergantungan bibit impor. Salah satu langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan bibit adalah dengan membentuk, membina dan mengembangkan pembibitan ternak rakyat (Village Breeding Centre atau VBC). Di sub sistem hulu (off farm I) penyediaan bibit sapi selama ini sebagian besar (diduga sekitar 95%) masih dilakukan oleh peternak rakyat, sisanya oleh perusahaan perbibitan. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya kegiatan perbibitan ini yang dilakukan oleh peternakan rakyat, perlu di intervensi oleh pemerintah agar produksinya berdaya saing. Oleh karena itu perlu dilakukan:
1. Pemantauan pelaksanaan pembibitan untuk menghasilkan keturunan unggulan: (bibit unggul dan pejantan unggul = keturunan unggul dalam upaya grading up sapi Madura dengan sapi Madura untuk menghasilkan bobot badan dewasa sapi Madura 400-800 kg) 2. Aplikasi semen cair 3. Pemantauan sebagai barrier masuknya bangsa sapi non madura 4. Pendampingan untuk terbentuk dan berkembangnya kelembagaan perbibitan ternak rakyat Merujuk peraturan Dirjen Peternakan nomor 07007/HK.030/F/05/2008 tentang petunjuk teknis pembibitan ternak rakyat bahwa pemilihan lokasi VBC menurut peraturan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (a)tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana detail tata ruang daerah (RDTRD) setempat; (b)merupakan daerah padat ternak dan atau daerah pengembangan ternak disuatu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sosial budaya untuk mendukung penyediaan bibit bermutu; (c)lokasi mudah dijangkau, terkonsentrasi dalam satu kawasan sehingga mutasi ternak dapat dikendalikan; (d)tersedia sarana dan prasarana perbibitan dan petugas teknis peternakan. Adapun program pemuliaan dan mekanisme pembibitan ternak rakyat yakni pogram pemuliaan di VBC dilaksanakan dengan pendekatan ”program pemuliaan inti terbuka” (Open Nucleus Breeding Scheme) dan ”program pemuliaan Inti tertutup” (Close Nucleus Breeding Scheme). Sementara mekanisme pembibitan ternak di VBC merujuk petunjuk teknis pembibitan ternak rakyat. Untuk penerapan prinsip-prinsip manajemen pemeliharaan bibit ternak di VBC mengacu pada pedoman pembibitan ternak yang baik. Pertanian Terpadu Sistem pertanian terpadu merupakan satu sistem yang menggunakan ulang dan mendaur ulang menggunakan tanaman dan hewan sebagai mitra, menciptakan suatu ekosistem yang meniru cara alam bekerja. Intinya, pertanian pada hakekatnya merupakan pertanian yang mampu menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya sehingga aliran nutrisi (unsur hara) dan energi terjadi secara seimbang.
Kutsiyah, Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit….37
Keseimbangan inilah yang akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dan keberlanjutan produksi yang terjaga secara efektif dan efisien. Pola pertanian terpadu (integrative/ agrotechnopark) merupakan suatu metode pertanian dengan cara memanfaatkan lahan yang tersedia seoptimal mungkin untuk menghasilkan produk pertanian yang beragam dengan kualitas tinggi. Metode ini biasanya dilakukan dengan cara konvensional, yaitu limbah peternakan tertentu didaur ulang secara maksimal sebagai sumber masukan energi untuk melakukan aktivitas pertanian lainnya agar menjadi bahan yang bisa dimanfaatkan kembali atau bahan pakai (Zero Waste). Dalam penerapannya, teknologi tepat guna diaplikasikan untuk menunjang terlaksananya seluruh aktivitas sehingga menghasilkan produk pertanian dan peternakan yang berjalin kelindan.
Satu Tahun Satu Kelahiran Program Intan Satu Saka (inseminasi buatan satu tahun satu kelahiran) adalah program yang pertama kali digagas oleh Dispet Pamekasan tahun 2008. Melalui program ini peternak mendapatkan pendampingan dari Dinas Peternakan Kabupaten melalui petugas inseminator, pemeriksa kebuntingan, ATR. Program Satu Saka ini berlaku bagi semua ternak pemilik sapi betina produktif baik yang dikawinkan melalui inseminasi buatan maupun kawin alam. Program ini bisa diharapkan memperpendek jarak kelahiran sapi menjadi 12 bulan (melahirkan satu tahun satu kali). Kondisi ini sangat menguntungkan bagi peternak karena dalam 5 tahun 1 ekor induk bisa berkembang menjadi 5 ekor bahkan 8 ekor sapi. Disamping dapat meningkatkan pendapatan peternak.
Desa Wisata Budaya Sapi Sonok Kelembagaan (budaya) yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat di sentra sapi sonok adalah kegemaran terhadap kontes sapi sonok dan sapi pajangan dalam bentuk kolom taccek (perkumpulan sapi pajangan). Keduanya sebagai pertunjukan yang menarik untuk ditonton (Kutsiyah, 2012a). Dengan adanya desa wisata budaya sapi sonok akan menjadi pengungkit ekonomi kreatif. Sebagai penjelasan UNDP mendefinisikan ekonomi kreatif merupakan bagian integratif dari pengetahuan yang bersifat inovatif, pemanfaatan teknologi secara kreatif, dan budaya. Menumbuhkembangkan desa wisata budaya sapi sonok adalah cara patas karena sekaligus lima keuntungan yang bisa diraih. Pertama, pemicu hadirnya ekonomi kreatif di sentra sapi sonok. Kedua, optimalisasi budaya sapi sonok, ini berarti semakin melanggengkan ketersediaan sapi madura unggul. Ketiga, village breeding centre mudah diterapkan, sebab setiap dusun memiliki koordinator wilayah dalam penaungan paguyuban sonok. Keempat, pertanian terpadu (agrotechnopark) akan lebih berhasil karena adanya pendampingan untuk terwujudnya desa wisata yang mengharuskan desa sapi sonok dibuat menarik, indah dan memberi kenangan bagi wisatawan. Kelima, corporate farming “ala Madura” insya Allah mudah diterapkan, karena menggunakan konsep taneyan lanjang (Kutsiyah, 2015).
Corporate Farming Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kawasan dapat terlaksana, apabila ada organisasi petani yang kuat, yang dapat mengayomi kepentingan petani dalam upaya peningkatan produktivitas usaha, sehingga pada akhirnya mereka memiliki ketahanan pangan yang baik. Corporate Farming (CF) merupakan salah satu alternative kelembagaan yang cocok untuk itu. Dalam hal ini, petani serta usaha agribisnis dan agroindustri berskala kecil membutuhkan organisasi yang dapat memperjuangkan nasib mereka dalam konteks pemikiran dan konsep agribisnis. Organisasi petani tersebut perlu dibangun dalam dimensi integrasi vertikal sistem agribisnis serta mampu memberikan layanan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pelaku usaha agribisnis dalam hal manajemen dan kewirausahaan, modal, dan teknologi, melalui penciptaan mekanisme hubungan antara pelaku (dan calon pelaku) usaha agribisnis dengan berbagai kelembagaan penunjang lain (Sudaryanto dan Jamal, 2000). Kelebihan dari upaya ini adalah adanya kesatuan manajemen sebagai pengelola, sehingga variasi antar petani dalam mengelola usahanya dapat diperkecil, dan memacu petani untuk lebih optimal memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya. Corporate Farming dimaknai sebagai bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan
38 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat dicapai (Sudaryanto dan Jamal, 2000). Evaluator, Identifikator & Fasilitator Disini perlunya Bappeda (a) mengoptimalkan dukungan dan Koordinasi yang solid diantara institusi pemerintah (b) konsistensi perencanaan pembangunan ekonomi yang berbasis masyarakat dan dengan pelaksanaannya bertahap (c) identifikasi permasalahan pengembangan OVOP pada masing-masing desa target (d) mengidentifikasi potensi sumberdaya alam yang mendukung munculnya produk unggulan dan turunannya (e) terintegrasinya semua lembaga terkait, masing-masing dengan kapasitasnya kedalam suatu perencanaan terfokus. Koperasi Peternak Manfaat pembentukan koperasi peternak sapi bibit Madura sebagai berikut: 1. Pengelolaan dan pengembangan Village Breeding Centre (VBC) menjadi usaha pembibitan sapi Madura 2. Unit Pengelolaan Pupuk Organik menjadi pabrik pupuk organik skala kecil 3. Pengembangan HMT (hijauan makanan ternak) menjadi usaha penyediaan bibit HMT 4. Mini Feed Mill menjadi pabrik complete feed skala kecil
KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Salah satu alternatif pengembangan agribisnis sapi bibit madura bisa melalui pendekatan OTOP (one tambon one product), yang intinya terintegrasinya semua lembaga terkait, masing-masing dengan kapasitasnya (huluhilir) kedalam suatu perencanaan terfokus untuk pengembangan sapi bibit Madura. 2. Strategi pengembangan Agribisnis sapi bibit Madura melalui pendekatan OTOP meliputi Village Breeding Centre, Penyuluhan, pendampingan, Pertanian Terpadu, Pengembangan Budidaya Mengkudu, Inovasi teknologi merujuk kelembagaan peternak, Corporate Farming ala madura, kerajinan & inovasinya terkait dengan sapi sonok, Complete Feed, Home Industri jamu sapi, Koperasi peternak, Penguatan kelembagaan
sapi sonok, Plot 10 peternak unggulan, Pemasaran, Evaluator, Identifikator & fasilitator, Pengolahan mengkudu, Rekording & Pendataan Surat keterangan layak bibit/SKLB, Pasar Tradisional, desa wisata budaya sapi sonokdan Penguatan kelembagaan petani 3. Desa yang bisa diplot untuk target OTOP tahap pertama untuk wilayah sentra sapi sonok sebaiknya di Desa Dempo barat Kecamatan Pasean karena cukup unik, khas dan memiliki potensi besar untuk dijadikan wilayah pengembangan agribisnis sapi bibit Madura. DAFTAR PUSTAKA Bakorwil Pamekasan. 2014. Hasil Rapat Koordinasi Konsepsi Pulau Madura sebagai Pulau Sapi. Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan IV. Pamekasan. Burhanuddin. 2008. Pemanfaatan Konsep Kawasan Komoditas Unggulan Pada Koperasi Pertanian. Infokop Volume 16: 143-154 Cahyani RS. 2013. Pendekatan One Village One Product (OVOP) Untuk Meningkatkan Kreativitas Umkm Dan Kesejahteraan Masyarakat Heryadi, AY. 2008. Exizting condition keragaan agribisnis sapi potong di Kabupaten Pamekasan Kutsiyah, Farahdilla. 2012a. Kelembagaan dan Pembibitan Sapi Potong di Pulau Madura. Karya Putra Darwati, Bandung. Kutsiyah, Farahdilla. 2012b. Analisis Pembibitan Sapi Potong di Pulau Madura. Volume 22 nomor 3. Wartazoa. 113-126. Kutsiyah, Farahdilla. 2014a. Pembibitan sapi Potong di Kabupaten Pamekasan. Paparan Rapat Koordinasi Pelestarian Sapi Lokal Madura. Bakorwil Pemerintahan dan Pembangunan Pamekasan. 25 November 2014. Kutsiyah, Farahdilla. 2014b.Sapi Madura: Pembibitan, Budaya, & Ekonomi Kreatif. Makalah seminar regional Sapi Madura: pembibitan dan Ekonomi Kreatif. Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas Madura. 15 Oktober 2014 Kutsiyah, Farahdilla. 2015. Sapi Sonok dan Karapan Sapi: Budaya Ekonomi Kreatif Masyarakat Madura. Plantaxia, Yogyakarta.
Kutsiyah, Pengembangan Agribisnis Sapi Bibit….39
Matsushima K. 2012. One Village one Product movement. Ministry of industrialization. JICA. Nurlaila, Selvi dan Farahdilla Kutsiyah. 2012. Potret Selintas Sapi Sonok di Eks Kawedanan Waru Kabupaten Pamekasan. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati. 9:23-32. Pasaribu, Sahat. 2011. Pengembangan Agro Industri Perdesaan dengan pendekatan One Village One Product (OVOP). Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 29 No. 1: 1-11
Sudaryanto, Tahlim dan Erizal Jamal. 2000. Pengembangan Agribisnis Peternakan Melalui Pendekatan Corporate Farming untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor. Triharini, Meirina, Dwinita Larasati, dan R. Susanto. (2012). “Pendekatan One Village One Product (OVOP) untuk Mengembangkan Potensi Kerajinan Daerah: Studi Kasus Kerajinan Gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta“, ITB J. Vis. Art &Des, Vol. 6, No. 1:28-41.
40 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016
41
MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU PROPINSI SULAWESI SELATAN Yudi Adinata, L. Affandhy, dan A. Rasyid Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan e-mail :
[email protected],
[email protected] Abstrak Makalah ini berupa suatu gagasan pada kegiatan model pembibitan Sapi Bali di Instalasi Pembibitan Rakyat di Dusun Langkap, Desa Pau-Pau Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru dalam rangka rencana pembuatan rancang bangun pembibitan Sapi Bali di usaha pembibitan sapi potong rakyat sebagai penyedia bakalan sapi potong, khususnya di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Sapi Bali merupakan salah satu aset nasional dibidang peternakan yang mempunyai potensi yang besar sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dan populasi serta produktivitasnya perlu ditingkatkan serta mempunyai peranan sosial ekonomi yang penting bagi masyarakat peternak maupun pemerintah Kabupaten Barru. Namun dalam usaha pembibitan Sapi Bali terutama di wilayah Sulawesi Selatan mengalami permasalahan, yaitu Sapi Bali telah mengalami penurunan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang diduga disebabkan oleh seleksi negatif, dan inbreeding sehingga menimbulkan masalah seperti biaya produksi dapat meningkat, menimbulkan keadaan tidak efisien dari sistem produksi Sapi Bali secara keseluruhan. Diperlukan suatu pola pembibitan Sapi Bali yang sesuai dengan kondisi agroekosistem di Kabupaten Barru, dengan harapan dapat diperoleh setelah pelaksanaan model pembibitan Sapi Bali di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan berupa a) pejantan unggul untuk memperbaiki mutu Sapi Bali di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan, b) sapi dara bibit unggul untuk replacement (pengganti) Sapi Bali di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan, dan c) peningkatan populasi dan produktivitas Sapi Bali secara umum di masa mendatang. Kegiatan model pembibitan Sapi Bali dapat dilakukan melalui a) mempelajari karakteristik Sapi Bali, b) meningkatkan mutu genetik populasi sapi melalui program seleksi dan sapi bibit harus memenuhi standar ukuran statistik vital tertentu, c) perlu mempelajari teori dasar peningkatan mutu genetik d) pola teknis pembibitan dengan menggunakan sistem Open Nucleus Breeding Scheme dan e) rekording dan manajemen pemeliharaan sapi. Disimpulkan bahwa kualitas bibit ternak yang baik dapat dihasilkan melalui prosedur seleksi dan pengaturan perkawinan yang mengikuti prosedur Ilmu Pemuliaan Ternak. Kata Kunci: Sapi Bali, Model Pembibitan Rakyat, Sulawesi Selatan
PENDAHULUAN Kondisi Alam di Kabupaten Barru Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang mempunyai wilayah yang terbentang dipesisir selat Makassar, membujur dari arah selatan ke utara sepanjang kurang lebih 78 Km. Kabupaten Barru secara geografis terletak pada Koordinat 4’0,5’49” sampai 4’47’35” Lintang selatan dan 119’35’0” sampai 119’49’16” Bujur Timur yang mempunyai luas wilayah ± 1.174,72 km2 (117.427 Ha), dengan batas wilayah sebagai berikut : sebelah selatan dengan Kabupaten Pangkep; sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar; sebelah utara berbatasan dengan Kota Pare-Pare; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng. Topografis Kabupaten Barru mempunyai wilayah yang cukup bervariasi, terdiri dari daerah laut, dataran rendah dan daerah pegunungan, dengan ketinggian antara 100 sampai 500 m
diatas permukaan laut (mdpl). Wilayah tersebut berada disepanjang timur Kabupaten sedangkan toppgrafi wilayah bagian barat dengan ketinggian 0 sampai 20 mdpl berhadapan dengan selat makassar. Berdasarkan tipe iklim dengan metode zone agroklimatologi yang berdasarkan pada bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan), di Kabupaten Barru terdapat seluas 71,79 % wilayah (84.340 Ha) dengan tipe iklim C yakni mempunyai bulan basah berturutturut kurang dari 2 bulan (April sampai dengan September). Total hujan selama setahun sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm. Curah hujan berdasarkan hari hujan terbanyak pada pada bulan Desember-Januari dengan jumlah curah hujan masing- masing 104 mm dan 17 mm. Jenis tanah di Kabupaten Barru didominasi oleh jenis regosol seluas 41.254 Ha (38,20%);
42 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 Mediteran seluas 32.516 Ha (27,68%); Lisotol seluas 29.043 Ha (24,72%); Alluvial seluas 4.659 ha (12,48%). Berdasarkan karakteristik sumber daya alam yang ada, kabupaten Barru mempunyai 4 wilayah, yaitu : 1. Wilayah pegunungan yang berada disebelah timur, pada umumnya berada di kecamatan Pujananting dan kecamatan Tanete Riaja. Wilayah ini merupakan daerah pertanian, pertambangan dan daerah kawasan peternakan. 2. Wilayah selatan adalah Kecamatan Tanete Rilau yang merupakan pintu gerbang dari Kabupaten Pangkep dengan Potensi Perikanan yang cukup luas seperti tambak dan perikanan laut. 3. Wilayah tengah sebagai Ibu Kota Kabupaten Barru yang merupakan Pusat Agropolitan yang terletak di Kecamatan Barru. 4. Wilayah utara yang terdiri dari Kecamatan Balusu, Soppeng Riaja dan Kecamatan Mallusetasi yang merupakan pintu keluar ke Kota Pare-pare, wilayah ini disamping sebagai Daerah Pertanian dan Perikanan, juga adalah Daerah Wisata khususnya Wisata laut yang terletak di Kecamatan Mallusetasi. Sapi Bali Sapi Bali berasal dari Banteng (Bibos banteng) yang telah dijinakkan berabad-berabad yang lalu. Sapi Bali mempunyai beberapa sinonim, yaitu Bos javanicus, Bos sondaicus. Sekarang yang lazim dipakai adalah Bibos sondaicus. Ditinjau dari sistematika ternak, Sapi Bali masuk familia Bovidae, Genus Bos dan Subgenus bibovine, yang termasuk ke dalam Subgenus tersebut adalah : Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Sapi Bali dikenal sebagai sapi yang mempunyai reproduksi cukup tinggi dan persentase karkas yang tinggi. Hasil silangan dari Sapi Bali biasanya yang jantan majir; ada dugaan kemajiran disebabkan oleh tidak sempurnanya pembelahan reduksi dalam proses spermatogenesis. Sapi Bali di Kabupaten Barru Populasi Sapi Bali di Kabupaten Barru pada tahun 2011 ini berdasarkan sensus ternak pada bulan juni 2011 sejumlah 52.833 ekor. Berdasarkan informasi teknis yang ada di lapangan untuk tinggi gumba dari Sapi Bali
jantan yang dewasa sekitar 102 cm dan untuk Sapi Bali betina dewasa sekitar 100 cm. Sapi Bali merupakan salah satu aset nasional dibidang peternakan yang mempunyai potensi yang besar sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dan populasi serta produktivitasnya perlu ditingkatkan serta mempunyai peranan sosial ekonomi yang penting bagi masyarakat peternak maupun pemerintah kabupaten Barru. Oleh karena itu potensi Sapi Bali di Kabupaten Barru dapat digali dan dikembangkan supaya dapat meningkatkan lapangan kerja, produksi daging nasional, pendapatan dan kesejahteraan petani peternak, serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu secara nasional juga akan mengurangi ketergantungan impor daging dan sapi bakalan sehingga akan menghemat devisa negara serta mempercepat tercapainya swasembada daging sapi dan kerbau tahun 2014. Pelestarian, pengembangan populasi dan peningkatan produktivitas Sapi Bali di kabupaten Barru dapat dilakukan secara terintegrasi dengan peningkatan mutu genetik, yaitu dengan cara melakukan seleksi dan pengaturan perkawinan serta membuat managemen pemeliharaan yang standar atau sesuai kebutuhan sapi. Selanjutnya untuk membuat kebijakan peningkatan produktivitas Sapi Bali di Kabuaten Barru, maka diperlukan suatu “Model Pembibitan di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan”, untuk menghasilkan bibit unggul Sapi Bali yang dapat digunakan memperbaiki mutu Sapi Bali di Kabupaten Barru khususnya dan Propinsi Sulawesi Selatan Umumnya. PERMASALAHAN Sapi Bali telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Namun Sapi Bali telah mengalami penurunan bobot badan dan ukuranukuran tubuh yang diduga disebabkan oleh seleksi negatif, dan inbreeding sehingga menimbulkan masalah seperti biaya produksi dapat meningkat, menimbulkan keadaan tidak efisien dari sistem produksi Sapi Bali secara keseluruhan. TUJUAN Meningkatkan produktivitas Sapi Bali melalui peningkatan mutu genetiknya dengan cara melakukan seleksi dan pengaturan
Adinata, Model Pembibitan Sapi ….43 perkawinan di Kabupaten Sulawesi Selatan.
Barru
Propinsi
KELUARAN Keluaran yang diharapkan setelah pelaksanaan model pembibitan Sapi Bali di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan adalah menghasilkan: a. Pejantan unggul untuk memperbaiki mutu Sapi Bali di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan. b. Sapi dara bibit unggul untuk replacement (pengganti) Sapi Bali di Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan. c. Peningkatan populasi dan produktivitas Sapi Bali secara umum di masa mendatang. MODEL PEMBIBITAN Karakteristik Sapi Bali Warna bulu pada Sapi Bali adalah merah bata, tetapi pada yang jantan dewasa warna ini berubah menjadi hitam. Ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai Sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas dan pada kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku. Bulu pada ujung ekor hitam. Bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung. Di antara tanda-tanda di atas, ada beberapa kelainan, misalnya Sapi Injin yaitu warna bulu tubuh hitam sejak kecil, sampai warna bulu pada telinga bagian dalam juga hitam. Sapi Mores yaitu adanya warna hitam atau merah pada bagian bawah yang semestinya berwarna putih. Sapi Tutul dengan bulu bertutul-tutul putih ditubuhnya. Sapi Bang, kaki berwarna merah keseluruhannya. Sapi Panjut dengan ujung ekornya berwarna putih. Sapi Cundang yaitu warna putih pada dahi. Bentuk tanduk yang paling ideal pada sapi jantan adalah yang disebut bentuk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar, lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit manggul gangsa, yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam. Tanduk ini berwana hitam. Gumba pada Sapi Bali nampak jelas dan mempunyai bentuk yang khas.
Karakteristik Sapi Bali betina secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1) Warna bulu merah; 2) Lutut ke bawah berwarna putih; 3) Pantat warna putih berbentuk setengah bulan; 4) Ujung ekor berwarna hitam; 5) Garis belut warna hitam di punggung; 6) Tanduk pendek dan kecil; 7) Bentuk kepala panjang dan sempit; 8) Leher ramping. Karakteristik Sapi Bali jantan secara kualitatif adalah sebagai berikut :1) Warna bulu hitam; 2) Lutut ke bawah berwarna putih; 3) Pantat putih berbentuk setengah bulan; 4) Ujung ekor hitam; 5) Tanduk tumbuh baik warna hitam; 6) Bentuk kepala lebar; 7) Leher kompak dan kuat. Ukuran kuantitatif Sapi Bali betina untuk bibit umur 18-24 bulan adalah sebagai berikut: 1) Tinggi gumba: kelas I minimal 105 cm; kelas II minimal 97 cm; kelas III minimal 94 cm; 2) Panjang Badan: kelas I minimal 104 cm; kelas II minimal 93 cm; kelas III minimal 89 cm. Ukuran kuantitatif Sapi Bali jantan untuk bibit umur 24-36 bulan adalah sebagai berikut: 1) Tinggi gumba: kelas I minimal 119 cm; kelas II minimal 111 cm; kelas III minimal 108 cm; 2) Panjang badan: kelas I minimal 121 cm; kelas II minimal 110 cm; kelas III minimal 106 cm. Gambaran Model Pembibitan Pembibitan sapi bertujuan menghasilkan sapi bibit yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan mutu genetik populasi sapi. Usaha untuk menjamin mutu genetik, sapi bibit yang dihasilkan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Sapi bibit harus dihasilkan melalui program seleksi. b. Sapi bibit harus memenuhi standar ukuran statistik vital tertentu. Dasar pelaksanaan seleksi untuk pembibitan adalah mengadakan pencatatan (recording) terhadap sapi-sapi milik rakyat di berbagai lokasi. Berdasarkan hasil pencatatan tersebut dapat diperoleh sapi-sapi betina yang memiliki potensi genetik yang baik untuk dipilih sebagai bibit. Sapi betina dianggap memiliki potensi genetik baik apabila pedet yang dihasilkan memiliki bobot badan lebih tinggi dari rata-rata pada saat berumur 205 hari. Selain itu, induk dapat menghasilkan pedet setiap tahunnya (11-12 bulan) yang artinya induk menyusui pedetnya tidak lebih dari 7 bulan dan dalam waktu maksimal 3 bulan setelah beranak, induk
44 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 sudah dikawinkan kembali dengan target maksimal selam 2 kali siklus estrus, induk sudah bunting. Sapi betina yang dianggap mempunyai potensi genetik yang baik diberi identifikasi untuk memudahkan dalam pelaksanaan pencatatan (misalnya ear tag). Sapi-sapi tersebut dikawinkan dengan pejantan-pejantan terseleksi (terpilih) atau dengan kawin suntik (inseminasi buatan/IB) sehingga diharapkan diperoleh anakanak sapi (pedet) yang bermutu genetik baik pula. Sapi-sapi betina tersebut selanjutnya dinyatakan sebagai penghasil bibit, baik bibit jantan maupun betina. Setiap tahun dilakukan perbaikan mutu genetik sapi betina dan sapi jantan sehingga di suatu lokasi diharapkan terjadi perbaikan mutu genetik secara terus-menerus. Pedet jantan yang dilahirkan oleh sapi betina bermutu genetik baik selanjutnya dipilih untuk menghasilkan pejantan muda. Pemilihan anak jantan tersebut dilakukan melalui seleksi dengan kriteria seleksi sebagai berikut: a. Bobot lahir b. Bobot sapih (dikoreksi terhadap bobot umur 205 hari) c. Bobot badan umur setahun (bobot badan umur 365 hari) d. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi mulai umur satu tahun (12 bulan) sampai 1,5 tahun (18 bulan) e. Libido dan kualitas sperma f. Kemurnian bangsa g. Bobot badan sapi pada umur 2 tahun (24 bulan). Teori Dasar Peningkatan Mutu Genetik Berdasarkan pengertian bahwa peningkatan mutu genetik Sapi Bali diperoleh dari perkawinan antara sapi betina bermutu genetik baik dengan pejantan bermutu genetik baik, maka dua metoda yang ditempuh adalah: a. Pemilihan induk yang memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif di antara sapi-sapi milik rakyat untuk dijadikan Populasi Dasar. Induk dipilih berdasarkan performans anaknya maupun diri sendiri serta keteraturannya dalam beranak. Sapi betina dinyatakan sebagai induk yang baik apabila memiliki anak-anak jantan dan betina dengan bobot sapih lebih tinggi daripada rata-rata bobot sapih populasi dan mampu beranak setiap tahun (11-14 bulan).
b.
Pemilihan pedet jantan dan betina keturunan induk bermutu genetik baik untuk dijadikan calon pejantan dan induk pengganti (replacement stock) serta sebagai sumber bibit untuk wilayah lain. Pedet jantan yang diseleksi merupakan pedet keturunan induk yang dinyatakan memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif. Seleksi dilakukan berdasarkan performans dirinya sendiri artinya seleksi dilakukan berdasarkan beberapa macam kriteria namun dilakukan secara bertahap. Pemilihan pedet betina dilakukan berdasarkan performansnya sendiri yaitu BS (205) dan BB umur 1 tahun. Bobot sapih dianalisis dengan menimbang setiap 3 bulan sekali. Performans pedet tersebut digunakan untuk menilai induknya. Calon bibit betina yang diseleksi adalah pedet betina yang memiliki BS (205) di atas rata-rata. Calon bibit betina dipilih berdasarkan BB (365). Pedet betina yang tidak terseleksi tidak disingkirkan agar tidak terjadi penurunan jumlah populasi. Betina muda terseleksi atau tidak terseleksi harus dikawinkan dengan pejantan unggul atau terseleksi. Perkembangan, perkawinan, bobot sapih anak dari calon bibit betina yang dipelihara terus dicatat untuk membentuk induk unggul.
Pola Teknis Pembibitan Pola teknis pembibitan adalah dengan menggunakan sistem Open Nucleus Breeding Scheme yaitu suatu sistem pengembangan pembibitan sapi yang cocok diterapkan pada kondisi keterbatasan ketersediaan pejantan, pada usaha pembibitan skala kecil sampai dengan menengah yang kualitas genetik sapinya belum mantap, atau pada usaha pembibitan yang mengarah pada enghasil sapi bakalan untuk dipotong. Sistem Open Nucleus Breeding Scheme ini sangat sederhana sehingga dapat diterapkan pada usaha pembibitan yang dilakukan pada peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan induk dengan jumlah kurang dari 10 ekor, indukinduk sapi yang ada dikawinkan dengan pejantan yang berganti-ganti sesuai dengan keinginan peternak. Penerapan sistem ini tetap bertujuan meningkatkan mutu genetik sapi yang ada supaya dapat dihasilkan sapi dengan produktivitas yang semakin meningkat. Ketersediaan mutu dan
Adinata, Model Pembibitan Sapi ….45 jumlah sapi bibit di peternak yang umumnya terbatas, maka peningkatan mutu genetik yang diperoleh tidak akan terlalu besar atau membutuhkan waktu yang lama. Perkawinan sapi dilakukan secara alam (menggunakan pejantan) atau menggunakan kawin suntik (inseminasi buatan), sapi bibit sumber induk masih dapat digunakan selama masih dapat beranak, sapi sumber bibit pejantan dapat menggunakan sapi yang lama (yang telah ada) atau sapi baru dan dapat berasal dari mana saja namun diupayakan yang memiliki kriteria kualitatif dan kuantitatif yang terbaik di suatu populasi setempat dan tidak ada hubungan keluarga dengan pejantan atau indukan. Apabila pejantan pengganti berasal dari hasil anakan sapi-
sapi sebelumnya maka untuk menghindari terjadinya perkawinan keluarga (inbreeding), pejantan baru tersebut tidak boleh mengawini induknya atau sapi saudara kandung maupun keluarga tiri. Pola Operasional Pembibitan Pola operasional pembibitan ini bertujuan untuk meberikan gambaran kerja mengenai kegiatan pembibitan untuk seleksi pejantan yang akan dilaksanakan dari tingkat kelompok ternak sampai dengan stasiun uji performan dan sentra inseminasi buatan. Tabel berikut adalah seleksi calon pejantan. .
Tabel 1. Alur Seleksi Calon Pejantan Umur Sapih 12 bulan
Macam seleksi Bobot sapih 205 Eksterior Bobot badan 365 hari
Dasar seleksi Berat badan Kemurnian bangsa Bobot badan
16 bulan
Bobot badan akhir Eksterior
Kecepatan pertumbuhan Kemurnian bangsa
SUP
24 bulan
Warna Libido Kualitas sperma
Hormonal Hormonal, tingkah laku Abnormalitas % sperma hidup/mati gerak maju Penyakit reproduksi
SUP
Kesehatan
Gambar berikut adalah kegiatan operasional pengeluaran dan pemasukan pejantan
Gambar 1. Bagan Operasional Pemasukan dan Pengeluaran Pejantan Pengertian: a. Lokasi Lokasi adalah unit operasional terkecil yang meliputi wilayah dimana Sapi Bali akan diamati untuk dikembangkan dan dijadikan sumber bibit. Satu lokasi dapat terdiri dari satu desa atau kecamatan (meliputi 500 sampai 1.000 ternak betina dewasa).
b.
Tempat Peternak Peternak
Kegunaan Kriteria pemilihan induk Pemilihan pedet jantan yang akan dikirim ke SUP Pemilihan calon pejantan Tes akhir sebagai pejantan
Stasiun uji performans adalah tempat yang berfungsi sebagai: 1) tempat test fisik bagi sapi jantan muda hasil seleksi pada masingmasing lokasi untuk memilih calon pejantan, 2) tempat pengumpul dan penyimpan data untuk dianalisis.
PENUTUP Kualitas bibit ternak yang baik dapat dihasilkan melalui prosedur seleksi dan pengaturan perkawinan yang mengikuti prosedur Ilmu Pemuliaan Ternak. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2010. Laporan Rapat Pimpinan Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta. Aryogi dan D. B. Wiyono. 2007. Petunjuk Ternis Sistem Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan
46 MADURANCH Vol. 1 No. 1, Agustus 2016 Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian. Bogor. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana. Jakarta. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana. Jakarta. Payne, W.J.A. 1970. Cattle Production in The Tropics. Longman. London.
Permentan, 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). Kementan. Jakarta. Sumadi, 2011. Model Pembibitan Sapi Aceh di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Indrapuri Nanggroe Aceh Darussalam. Fakulltas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Warwick, E.J., J. M. Astuti, dan W. Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
PETUNJUK BAGI PENULIS
1.
2. 3.
4.
5.
6.
Jurnal MADURANCH terbit 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus, bertujuan mempublikasikan hasil-hasil penelitian di bidang Ilmu Peternakan serta konsep-konsep pemikiran sebagai hasil tinjauan pustaka di bidang tersebut. Naskah yang dimuat adalah hasil seleksi yang telah disetujui oleh Ketua Redaksi dan belum pernah diterbitkan pada jurnal manapun. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, disusun secara sistematis dengan urutan sebagai berikut : Judul dengan huruf kapital Times New Roman (TNR) 11, cetak tebal, maksimal 3 baris Nama penulis ditulis di bawah judul, terdiri dari nama kecil diikuti dengan nama keluarga, tanpa gelar, diikuti dengan alamat institusi, dicetak miring/italic. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, maksimal berjumlah 250 kata, menggunakan TNR 10. Pendahuluan yang memuat latar belakang, tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian. Metode penelitian yang berisi desain atau jenis penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, instrument penelitian, pengumpulan data, deskripsi atau analisa data. Pada artikel tinjauan pustaka maka metode penelitian tidak ada, sehingga langsung pada Pembahasan (yang bisa terdiri dari sub Pembahasan) menyangkut konsep-konsep pemikiran hasil tinjauan pustaka. Hasil dan Pembahasan yang meliputi hasil penelitian yang dikemukakan secara jelas dalam bentuk tabel, grafik, diagram atau foto. Setiap data yang penting dari hasil penelitian diterangkan artinya, dibandingkan apakah ada perbedaan atau persamaan dengan hasil penelitian sejenis terdahulu, atau apakah terdapat kemungkinan pengembangannya. Kesimpulan dengan/tanpa saran memuat kesimpulan dari hasil kongkrit ataupun keputusan dari penelitian, dengan/tanpa saran tindak lanjut berdasarkan kesimpulan hasil penelitian atau bahan untuk pengembangan penelitian berikutnya. Acuan kepustakaan pada bagian Pendahuluan sampai Hasil Penelitian ditulis dengan mencantumkan nama keluarga dari penulis dan tahun penerbitan yang dipisahkan oleh tanda koma, misalnya: ……….. (Dunn, 1997). Jika nama penulis terdiri dari 2 orang maka keduanya dipisahkan dengan “dan”, misalnya: ………….(Klipel dan Diepe, 1994). Jika nama penulis terdiri dari 3 orang atau lebih maka yang ditulis hanyalah penulis utama/pertama dan ditambah dengan “dkk” atau “et al” (jika artikel dalam Bahasa Inggris, misalnya: ………..(Chang dkk, 2001) atau (Buckle et al, 1985). Jika dua atau lebih acuan pustaka, maka masing-masing acuan dipisahkan dengan tanda “koma”, misalnya: …………(Kaplan, 1994; Chang dkk, 2001; Dunn, 1994). Kepustakaan ditulis dengan menggunakan sistem Harvard (urutan berdasarkan abjad). Diketik rapih pada kertas ukuran A4 (21 x 29,5 cm) dengan batas atas 2,5 cm, batas bawah 2,5 cm, batas kiri 3,5 cm, dan batas kanan 2,5 cm, pada program komputer MS Word, disertai dengan CD yang berisi file tulisan tersebut (atau kiriman naskah melalui e-mail). Diketik dengan jarak 1.15 spasi, kecuali abstrak 1 spasi, dengan panjang keseluruhan berjumlah 8 -11 halaman. Bila diperlukan, naskah akan diedit redaksi tanpa mengubah isi untuk disesuaikan dengan format penulisan dan dikirimkan kembali kepada penulis untuk dikoreksi dan dilakukan pembetulan, kemudian penulis mengirim kembali naskah yang telah dibetulkan disertai dengan naskah dalam CD. Penulis naskah yang dimuat akan menerima terbitan sebanyak satu eksemplar.