VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul: Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap. Indikator Makroekonomi Indonesia adalah...

0 downloads 606 Views 2MB Size
VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI INDONESIA

ARINI HARDJANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul: Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Arini Hardjanto NIM H353110091

RINGKASAN ARINI HARDJANTO. Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan BONAR MARULITUA SINAGA. Pangan termasuk isu yang sensitif khususnya bagi negara miskin dan berkembang. Sensitivitas pangan salah satunya diperlihatkan melalui harganya. Apabila harga pangan meningkat akan menyebabkan fluktuasi harga dan inflasi. Fluktuasi harga pangan dunia yang terjadi pada tahun 2007 hingga 2010 menyebabkan volatilitas harga pangan. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini dikarenakan pangan merupakan kebutuhan pokok yang hingga saat ini sebagian masih diimpor, sehingga apabila harga pangan dunia meningkat akan berdampak terhadap harga dalam negeri. Jenis pangan pokok di Indonesia yang ketersediannya sebagian dipenuhi dari impor adalah beras, jagung dan kedelai. Volatilitas akan mempengaruhi perekonomian bukan hanya dari sisi mikro, melainkan juga dari sisi makro seperti inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok (beras, kedelai, dan jagung), (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan volatilitas harga pangan, dan (3) menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB sektor pertanian). Penelitian ini menggunakan data sekunder. Jenis data yang digunakan adalah deret waktu (time series) dari Januari 1985 hingga Desember 2011. Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH) dan Error Correction Model (ECM). Model ARCH-GARCH digunakan untuk mengestimasi volatilitas harga pangan dan faktor-faktor yng mempengaruhi volatilitas harga pangan. Sementara itu, pengaruh volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi akan dijawab menggunakan ECM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga ketiga komoditas pangan bersifat volatil. Ketiga harga pangan memperlihatkan volatilitas yang tinggi pada tahun 1997-1999 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Saat krisis ekonomi harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga pangan berfluktuasi tinggi dan akibatnya volatilitas menjadi tinggi. Volatilitas harga jagung juga tinggi pada saat tahun 2001-2002. Hal ini disebabkan tingginya permintaan dunia akan sumber energi terbarukan yang berasal dari jagung sejak tahun 2000-an. Tingginya permintaan terhadap energi terbarukan membuat harga jagung domestik meningkat. Sementara itu, kedelai juga mengalami volatilitas tinggi pada tahun 2008 selain pada tahun 1997. Pada tahun 2008 dunia sedang mengalami krisis pangan, sehingga harga kedelai dunia menjadi tinggi dan harga kedelai di Indonesia juga ikut naik karena kedelai adalah komoditas impor. Volatilitas harga beras dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, dan produksi beras domestik. Volatilitas harga jagung

dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil, produksi jagung dalam negeri, dan harga jagung dunia. Faktor yang berpengaruh terhadap volatilitas harga kedelai adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi kedelai domestik, harga kedelai dunia, dan curah hujan. Berdasarkan hasil analisis menggunakan model ECM, volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Nilai tukar riil, nilai tukar riil satu tahun sebelumnya, suku bunga riil dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Harga pangan yang tinggi akan menyebabkan inflasi menjadi tinggi. PDB sektor pertanian dipengaruhi oleh volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya dengan tanda negatif. Tingginya volatilitas harga pangan dapat menurunkan PDB sektor pertanian. Nilai tukar riil, suku bunga riil, dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga berpengaruh terhadap PDB sektor pertanian. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, ketiga harga pangan pokok bersifat volatil. Nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi dalam negeri ketiga komoditas pangan, harga dunia ketiga komoditas pangan dan curah hujan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap volatilitas harga pangan. Volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya mempengaruhi inflasi, sedangkan PDB sektor pertanian dipengaruhi oleh volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya. Tingginya volatilitas harga tiga komoditas pangan di Indonesia dan pengaruhnya terhadap indikator makroekonomi memerlukan kebijakan pengelolaan harga dan produksi agar harga dapat dikendalikan dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Kata kunci: harga pangan, inflasi, PDB, volatilitas

SUMMARY ARINI HARDJANTO. Food Price Volatility and Its Effect on Indonesia Macroeconomic Indicators. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and BONAR MARULITUA SINAGA. Food remains a sensitive issue to poor and developing countries. Food commodity sensitivity is shown by price. Increasing price may cause price fluctuation and inflation. The 2007-2010 price fluctuation caused significant food price volatility. Indonesia is a developing country vulnerable to food price volatility as some portions of basic foodstuffs to meet the people’s needs are still imported, so that instable global food price has significant impact to the domestic price. Rice, maize and soybean are three food commodities which still imported. Food price volatility have impacts on economy performance, not only on micro but also on macro. In the macroeconomic sense, fluctuating food price have impact on inflation and the agricultural sector of Gross Domestic Product (GDP). Based on the above description, the objectives of this research are: (1) to estimate the extend of food price volatility (rice, maize, and soybean), (2) to identify the determinants of food price volatility, and (3) to analyze effect of food price volatility on macroeconomic indicators (inflation and agricultural sector of GDP). This research applies secondary data. The data type is time series covering period of January 1985 to December 2011. ARCH-GARCH model are applied to estimate price volatility of the major staple food commodities (i.e. rice, maize and soybean) and to identify factors affecting food price volatility. Food price volatility effect on macroeconomic indicators are analysed using Error Correction Model (ECM). The results show that rice, maize and soybean prices have become volatile. Rice, maize and soybean volatility increase significantly in 1997-1999 because Indonesia was undergoing an economic crisis that led to price rise. Such an uncontrolled price rise during the period caused price volatility. In 2001-2002 the world maize price also increased. It started increasing after 2000, in line with global market’s maize price rise triggered by increase of demand of maize as raw material to non-fossil fuel/biofuel industries. This forced domestic maize price to follow the rise. Soybean price volatility rose quite significantly in 1997-1999 and 2008. In 2008 global food crisis broke out and price of soybean as one of global staple food commodities rose sharply. Indonesian soybean commodity is imported, thus the domestic soybean price is affected by global price. Variables that have significant impacts on rice price volatility are real exchange rate, world oil price, real interest rate, and rice production. Variables with significant impact on maize price volatility are real exchange rate, real interest rate, maize production, and world maize price. Variables significantly affecting soybean price volatility are real exchange rate, world oil price, real interest rate, world soybean price, domestic soybean production, and rainfall. Using ECM model, maize price volatility and maize price volatility one year previously have significant impact on inflation with positive value. This research also indicates that real exchange rate, real exchange rate one year previously, real interest rate, and real interest rate one year previously have significant impact on

inflation. High price leads to high inflation, so that it contributes to inflation in general. Meanwhile, soybean price volatility, soybean price volatility one year previously, and maize price volatility one year previously are significant and have negative value on agricultural sector of GDP. High food price volatility lowers the agriculture sector of GDP. Real exchange rate, real interest rate, and real interest rate one year previously also have significant effect on agricultural sector of GDP. Based on the research objectives and the analysis, price of the three food commodities (rice, maize and soybean) are volatile. The factor affecting food price volatility are real exchange rate, real interest rate, world oil price, food price production, world food price, and rainfall. Maize price volatility and maize price volatility one year previously significantly affects inflation in general. Meanwhile, agricultural sector of GDP are affected by soybean price volatility, soybean price volatility one year previously, and maize price volatility one year previously. The policy should be made to manage food price and to increase economic growth. Key words: food prices, GDP, inflation, volatility

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI INDONESIA

ARINI HARDJANTO

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat, hidayah serta nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc dan Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan tesis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku ketua dan sekretaris program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr Ir Harianto, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tesis dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis berkuliah di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua Ayahanda Hardjanto dan Ibunda Sri Sudaryanti yang selalu sabar dan mendoakan untuk keberhasilan penulis. Teman-teman EPN angkatan 2011 untuk kebersamaan dalam suka dan duka serta semangat selama perkuliahan. Seluruh staf di sekretariat program studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian. Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sebagai proses pembelajaran.

Bogor, Juli 2014

Arini Hardjanto

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

xiv xiv xv 1 1 2 6 6

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Volatilitas Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga Mengukur Dampak Volatilitas Harga Volatilitas dan Inflasi Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi Kebijakan Mengelola Volatilitas Kerangka Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis Penelitian

7 7 7 9 10 11 13 15 20 21

3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan Data

23 23 23

4 ANALISIS VOLATILITAS HARGA PANGAN Deskripsi Data Volatilitas Harga Pangan di Indonesia Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan Indikator Makroekonomi dan Volatilitas Harga Pangan

35 35 35 42 51

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan

61 61 62 63

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

65 71

DAFTAR TABEL 1 Statistik deskriptif variabel harga beras, jagung, dan kedelai 2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung, dan kedelai periode Januari 1985-Desember 2011 3 Model ARMA terbaik 4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan kedelai 5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung, dan kedelai 6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga beras, jagung, dan kedelai 7 Hasil uji ARCH-LM terhadap model ARCH-GARCH untuk variabel harga beras, jagung, dan kedelai 8 Model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya 9 Model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya 10 Model volatilitas harga kedelai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya 11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi 12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi 13 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap inflasi 14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian 15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian 16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor pertanian

35 36 36 37 37 38 38 43 46 48 52 53 53 55 56 57

DAFTAR GAMBAR 1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011 2 Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai Indonesia tahun 1985- 2010 3 Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012 4 Kurva pertumbuhan Solow 5 Kurva pertumbuhan Endogen 6 Kerangka pemikiran konseptual 7 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 1985-2011 8 Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985-2011 9 Volatilitas harga kedelai Indonesia tahun 1985-2011

1 3 5 16 17 22 39 40 41

DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil pengujian akar unit semua variabel 2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga pangan 3 Uji heteroskedastisitas 4 Model Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH) 5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor pertanian 6 Uji stasioneritas terhadap residual persamaan jangka panjang 7 Estimasi Error Correction Model (ECM) 8 Korelogram untuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan 9 Uji normalitas pada variabel harga pangan

71 79 80 82

88 89 90 92 93

1

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peran pangan yang begitu penting menjadikan pangan sebagai sektor yang strategis karena pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Meskipun permintaan maupun penawaran pangan cenderung bersifat inelastis, tetapi bagi negara miskin dan berkembang masalah pangan tetap merupakan masalah yang sensitif. Sensitivitas komoditas pangan salah satunya diperlihatkan oleh variabel pasar yaitu harga. Harga pangan dunia yang tinggi pada tahun 1970-an menyebabkan krisis pangan dan hal tersebut berulang kembali pada tahun 2007 setelah sebelumnya selama tiga dekade terakhir harga pangan dunia berada pada tingkat harga yang stabil. Harga yang terus meningkat dapat menimbulkan fluktuasi harga dan gejolak inflasi yang tinggi. Krisis pangan internasional pada tahun 2007 hingga 2010 (Timmer 2011; Jayasuriya et al. 2012; Minot 2012) membuat harga pangan dunia bergejolak. Harga meningkat di tahun 2007 dan turun pada tahun 2009 lalu meningkat kembali pada tahun 2010 (Braun dan Tadesse 2012). Fluktuasi harga yang terjadi selama tahun 2007 hingga 2010 menimbulkan volatilitas harga pangan yang cukup tinggi (Gilbert dan Morgan 2010). Beberapa komoditas pangan dunia yang mengalami peningkatan diantaranya adalah daging, susu, gula, gandum, kedelai, jagung, dan beberapa jenis serealia lainnya (Jayasuriya et al. 2012) seperti beras yang mengalami peningkatan harga di beberapa negara Asia-Pasifik (UN-ESCAP 2011). Berdasarkan Gambar 1 pada tahun 1974 harga ketiga komoditas pangan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelum dan sesudahnya. Pada kurun waktu tahun 1976 hingga 2006 harga beras, jagung, dan kedelai terlihat stabil dibandingkan tahun 2010. Tahun 1976 dan 2007, dunia mengalami krisis pangan yang menyebabkan harga pangan meningkat tajam dan hal ini menimbulkan volatilitas harga pangan. 800.00 Harga (US$/MT)

700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010

0.00

Tahun Beras

Jagung

Kedelai

Sumber: IMF, 2014 Gambar 1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011

2 Volatilitas merupakan isu komplek yang berdampak terhadap berbagai bidang diantaranya adalah ketahanan pangan, pasar finansial, dan aliran perdagangan (Miguez dan Michelena 2011). Volatilitas hampir terjadi di seluruh negara terutama negara berkembang dan miskin, sehingga persoalan ini menjadi isu internasional. Dalam lingkup internasional volatilitas harga terutama untuk sektor pangan merupakan salah satu masalah yang dibahas dalam konferensi G20 yang berlangsung di Cannes, Perancis pada tahun 2011 dan Los Cabos, Meksiko tahun 2012. Terjadinya volatilitas harga pangan yang berlebihan di banyak negara menyebabkan ketidakpastian yang semakin tinggi bagi pelaku ekonomi dan rusaknya stabilitas keuangan. Hal senada juga diungkapkan oleh FAO et al. (2011) yang menyatakan bahwa meningkatnya risiko dan ketidakpastian menyebabkan volatilitas yang semakin tinggi. Volatilitas tinggi juga menunjukkan situasi ketidakstabilan pangan dunia dan melemahkan sistem perdagangan pangan dunia. Volatilitas pada dasarnya adalah fenomena alamiah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini dikarenakan sebagian kebutuhan pangan pokok masih diimpor, sehingga jika harga pangan dunia tidak stabil akan berpengaruh terhadap kondisi harga dalam negeri, seperti yang diungkapkan oleh Bourdon (2011) bahwa harga pangan yang tidak stabil merupakan risiko bagi negara berkembang. Jika harga pangan meningkat, maka inflasi akan naik dan pertumbuhan ekonomi turun yang kemudian akan berdampak terhadap kondisi rumah tangga masyarakat terutama penduduk miskin. Penduduk miskin di negara berkembang seperti Indonesia relatif banyak jumlahnya dan bila terjadi fluktuasi harga pangan yang cenderung meningkat akan mengurangi kesejahteraan (Zheng et al. 2008). Hal ini dikarenakan sebagian besar pendapatan yang diperoleh penduduk miskin digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok. Apabila harga pangan naik maka pengeluaran terhadap pangan pokok akan semakin besar dan membuat pendapatan riil turun (Timmer 2004, 2011; Braun dan Tadesse 2012). Tingkat kesejahteraan penduduk ditentukan oleh kondisi perekonomian makro suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mempercepat proses pembangunan dan meningkatkan pendapatan sehingga kesejahteraan meningkat. Penelitian yang berkaitan dengan volatilitas harga pangan di Indonesia telah banyak dilakukan, salah satunya dilakukan oleh Dartanto (2010). Akan tetapi, penelitian mengenai volatilitas harga pangan di Indonesia yang dihubungkan dengan beberapa indikator makroekonomi belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan mengkaji pengaruh volatilitas harga tiga komoditas pangan pokok yaitu beras, jagung, dan kedelai terhadap indikator makroekonomi di Indonesia. Perumusan Masalah Komoditas pangan pokok di Indonesia adalah beras, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Beras, jagung, dan kedelai merupakan tiga jenis pangan yang akan diteliti lebih lanjut karena beberapa alasan. Pertama, selama ini ketiga jenis pangan tersebut menjadi perhatian utama dalam sektor tanaman pangan yang diwujudkan dalam program terbesar seperti, jagung

3

Harga Konsumen (Rp/kg)

termasuk kelompok palawija dengan produksi maupun konsumsi terbesar diantara lima jenis palawija; kedelai merupakan salah satu jenis dari 30 jenis dalam kelompok kacang-kacangan dan umbi-umbian dengan komsumsi dan impor yang cukup besar (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011). Kedua, beras merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang berdasarkan data Susenas tahun 1999, angka partisipasi konsumsi beras sebesar 97.07 persen. Ketiga, tiga jenis pangan tersebut termasuk dalam empat jenis pangan yang mendominasi perdagangan pangan internasional (Gilbert 2012) dan bagi Indonesia ketiga jenis pangan tersebut selama ini masih terus diimpor, sehingga berpotensi mengalami fluktuasi harga. Perkembangan harga ketiga komoditas pangan Indonesia sejak tahun 1985 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 2. Harga beras, jagung dan kedelai Indonesia pada rentang waktu 1985-1996 relatif stabil karena pemerintah menerapkan kebijakan stabilisasi harga. Pada saat krisis ekonomi melanda Asia tahun 1997, harga beras meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya karena peran Badan Urusan Logistik (BULOG) sebagai stabilisator harga dihapuskan dan harga diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pada awal pembentukannya tahun 1960-an, BULOG diberikan tiga mandat yaitu: stabilisasi harga, pengendalian stok ketahanan pangan nasional, dan distribusi beras ke pegawai militer dan sipil setiap bulan (Timmer 2004). Setelah terjadi krisis ekonomi tugas BULOG hanya menangani masalah distribusi beras. Harga jagung di Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 menurun yang diperlihatkan pada Gambar 2, hal ini diduga karena produksi jagung dalam negeri terus meningkat sejak tahun 2003, sedangkan konsumsi dan impor relatif tetap. Dalam periode yang sama hingga tahun 2007 harga kedelai di Indonesia juga mengalami penurunan karena produksi kedelai dunia meningkat berdasarkan data yang didapat dari FAOSTAT (2013), sehingga harga pasar dunia menurun yang berdampak kepada harga dalam negeri, yang merupakan salah satu negara pengimpor komoditi tersebut. 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

0

Tahun Jagung

Kedelai

Beras

Sumber: BULOG, 2012 Gambar 2. Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai Indonesia tahun 1985-2010

4 Berdasarkan Gambar 2 harga beras, jagung dan kedelai tahun 2007/2008 meningkat, namun pada tahun 2009 harga turun dan tahun 2010 harga kembali meningkat. Kenaikan harga pangan yang relatif tinggi pada tahun 2007/2008 tidak pernah terjadi setelah dua dekade sebelumnya harga pangan stabil bahkan cenderung menurun. Tingginya harga pangan pada tahun-tahun tersebut membuat krisis pangan dunia tidak dapat dihindari (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova 2011; Torero 2011; Braun dan Tadesse 2012). Harga kedelai meningkat sangat tajam dibandingkan dua komoditas lainnya, diduga berhubungan dengan produksi kedelai AS menurun sampai 18 persen (Naeve dan Orf 2007). Kenaikan harga pangan tersebut dipicu antara lain oleh meningkatnya volume produksi bahan bakar nabati dari padi-padian dan biji minyak (oilseed), melemahnya nilai dollar Amerika dan meningkatnya harga energi (Bank Dunia 2010). Kenaikan ketiga harga pangan tersebut terutama pada tahun 2007 hingga 2010 tidak pelak menyebabkan fluktuasi harga yang dapat menimbulkan volatilitas harga. Volatilitas adalah variasi nilai fluktuasi terhadap nilai rata-rata pada data (misal data variabel ekonomi) yang terjadi sepanjang waktu. Fluktuasi harga yang cepat mengakibatkan terjadinya volatilitas. Penyebab fluktuasi harga menurut Tangermann (2011) dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tradisional (cuaca, stok, harga energi, pembangunan ekonomi makro, dan pertumbuhan permintaan), dan faktor insidentil (bioenergi dan hambatan ekspor). Menurut Miguez dan Michelena (2011) harga pangan yang berfluktuasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu, inflasi, cadangan, nilai tukar, suku bunga, pendapatan per kapita, cuaca, spekulasi, dan aset finansial. Beberapa negara anggota G20 termasuk Indonesia dan Italia menyatakan bahwa faktor utama dan mendasar yang menjadi penyebab terjadinya volatilitas harga komoditas di pasar global adalah dampak likuiditas yang berlebihan. Pasar keuangan secara umum berfungsi sebagai penyedia likuiditas. Tetapi pada periode volatilitas yang tinggi, kemampuan transfer sumber daya dan hedging menjadi terbatas, sehingga volatilitas harga komoditas dipandang memberikan dampak negatif yang beragam terhadap perekonomian dalam beberapa dimensi (Mboeik dan Rakhmindyarto 2012). Volatilitas harga pangan akan mempengaruhi kinerja ekonomi bukan hanya dari sisi mikro namun juga makro. Secara mikro, harga yang tinggi memberikan dampak negatif bagi rumah tangga dalam pengambilan keputusan konsumsi pangan pokok (Timmer 2011). Secara makro, harga pangan yang berfluktuasi akan mempengaruhi inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Inflasi dan PDB sektor pertanian merupakan dua indikator makroekonomi yang akan dianalisis. Alasan pemilihan dua indikator makroekonomi tersebut, pertama inflasi sangat erat hubungannya dengan harga dan harga pangan saat ini menjadi penyebab utama terjadinya inflasi. Kedua, PDB merupakan indikator makroekonomi yang paling mudah menggambarkan pertumbuhan. Ketiga, PDB yang digunakan dalam penelitan ini adalah PDB sektor pertanian yang berkontribusi sebesar 12.51 persen terhadap PDB Indonesia pada tahun 2012. Sektor pertanian memberikan kontribusi ketiga terbesar setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi yang relatif besar terhadap PDB menjadikan sektor pertanian memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor pertanian memiliki lima sub sektor yaitu, kehutanan, peternakan, perikanan, tanaman perkebunan dan tanaman pangan. Sub sektor tanaman pangan memiliki

5 andil sebesar 48.45 persen dalam sektor pertanian atau setara dengan 6.06 persen terhadap PDB tahun 2012 (BPS 2013) dan merupakan penyumbang terbesar dalam sektor pertanian. Kontribusi tahunan setiap sektor terhadap PDB ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2010 hingga 2012 sebesar 3.01; 3.37 dan 3.97 persen (BPS 2013). Tingginya peran sektor pertanian terhadap laju pertumbuhan, diikuti dengan peningkatan laju pertumbuhan pada sub sektor tanaman pangan seperti yang terdapat pada Gambar 3. Laju pertumbuhan PDB untuk sub sektor tanaman pangan berfluktuasi seperti pada tahun 2008 dan 2009 memiliki laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan empat sektor lainnya, namun pada tahun tersebut laju pertumbuhannya memiliki trend yang menurun. Sebaliknya pada tahun 2010 hingga 2012 yang menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan yang meningkat walaupun besaran laju pertumbuhan pada rentang waktu tersebut lebih rendah bila dibandingkan pada rentang waktu 2008 dan 2009.

Laju Pertumbuhan (%)

8 6 4 2 0 -2

2004

2005

2006

2007

-4

2008

2009

2010

2011* 2012**

Tahun Tanaman Bahan Makanan

Tanaman Perkebunan

Peternakan

Kehutanan

Perikanan

Sumber: BPS (2013) Gambar 3. Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012 Pentingnya peran pangan bagi perekonomian membuat pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mengelola volatilitas. Terdapat berbagai macam instrumen untuk mengelola volatilitas agar tidak semakin tinggi, salah satunya dengan kebijakan stabilisasi harga. Terdapat tiga instrumen untuk stabilisasi harga pangan yaitu membuat cadangan pangan, mengontrol perdagangan dan mengatur pasar finansial khususnya untuk komoditas pertanian. Mengontrol perdagangan menurut Timmer (2011), merupakan cara yang paling efektif dalam menstabilkan harga. Berdasarkan hasil konferensi G20, mitigasi dampak negatif dari volatilitas harga pangan merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (G20 Agriculture Minister 2011). Berdasarkan uraian di atas, pangan merupakan kebutuhan primer dan peranannya sangat strategis sehingga apabila terjadi volatilitas harga pangan akan mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dampak

6 volatilitas harga pangan pokok terhadap indikator makroekonomi menjadi pertanyaan penelitian utama. Secara spesifik pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok (beras, jagung, dan kedelai), (2) apa saja yang mempengaruhi volatilitas harga pangan, dan (3) bagaimana pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok terhadap indikator makroekonomi. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis dampak volatilitas harga tiga komoditas pangan pokok terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok (beras, jagung, dan kedelai). 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan volatilitas harga pangan. 3. Menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB sektor pertanian). Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional. Objek dalam penelitian ini hanya mencakup tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung, dan kedelai. Jenis data yang digunakan adalah data deret waktu dengan rentang waktu dari Januari tahun 1985 hingga Desember 2011. Data PDB yang dianalisis merupakan data kuartalan yang dimulai dari kuartal 1 tahun 1985 sampai kuartal 4 tahun 2011. Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras medium 25% broken. Harga jagung yang digunakan adalah jenis jagung pipilan dan harga kedelai yang digunakan adalah harga rata-rata nasional. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan komoditas pangan menurut kualitas dan jenis, tetapi digunakan data jumlah komoditas yang diproduksi, diminta dan diperdagangkan termasuk impor berdasar data yang tersedia. Kebijakan perdagangan berupa tarif ekspor maupun impor tidak dijadikan sebagai variabel penjelas dalam model penelitian ini karena data yang tidak tersedia dalam periode bulanan. Indikator makroekonomi yang digunakan dalam penelitian ini hanya inflasi dan PDB sektor pertanian.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Volatilitas Volatilitas adalah variasi dari variabel ekonomi sepanjang waktu. Variasi harga menjadi masalah jika variasi tersebut besar dan tidak dapat diantisipasi sehingga dapat meningkatkan risiko bagi produsen, konsumen dan pemerintah (FAO et al. 2011). Volatilitas merupakan variasi harga pada nilai tengahnya (Bourdon 2011). Volatilitas digunakan untuk mengukur seberapa jauh sebaran nilai flukutasi terhadap nilai rata-rata pada data deret waktu (Asmara 2011). Menurut Tothova (2011) volatilitas dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) volatilitas historis, dan (2) volatilitas implisit. Volatilitas historis mengacu kepada pergerakan harga yang terjadi pada masa lalu dan menggambarkan volatilitas pada masa tersebut. Volatilitas implisit merupakan kebalikan dari volatilitas historis. Volatilitas implisit bertujuan untuk mengestimasi volatilitas yang terjadi di masa yang akan datang. Gilbert dan Morgan (2010) menyatakan volatilitas adalah ukuran yang digunakan untuk membahas variabilitas harga atau kuantitas, yang oleh para ekonom umumnya fokus pada standar deviasinya. Volatilitas merupakan sebuah isu yang sangat komplek karena dapat mempengaruhi banyak aspek seperti, ketahanan pangan, pasar finansial, dan perdagangan (Miguez dan Michelena 2011). Volatilitas dalam ekonomi berhubungan dengan harga suatu komoditas seperti komoditas pertanian. Volatilitas harga yang terjadi di pasar tidak terjadi dengan sendirinya tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga Volatilitas harga pangan pokok diduga dipengaruhi oleh hubungan antara pasar energi dan pasar komoditas pertanian (Gilbert dan Morgan 2010; Tangermann 2011; Hernandez 2012; Gilbert 2012;). Krisis pangan disebabkan oleh kebutuhan energi dari sumberdaya terbarukan. Energi sumberdaya terbarukan diperoleh melalui tanaman pangan seperti jagung dan kedelai. Tingginya permintaan terhadap jagung dan kedelai, sedangkan penawaran tidak bertambah menyebabkan terjadinya volatilitas harga pangan (Gilbert 2012). Harga minyak dunia yang tinggi memicu penggunaan lebih banyak sumber energi terbarukan yang berasal dari tanaman pangan. Harga minyak dunia yang tinggi juga mempengaruhi harga input pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung serta persaingan penggunaan lahan yang digunakan untuk konsumsi ataupun energi terbarukan (FAO et al. 2011). Peningkatan konsumsi beberapa komoditas pangan di negara yang permintaannya sedang tumbuh seperti China dan India menjadi penyebab lain terjadinya volatilitas harga pangan (Tangermann 2011; dan Hernandez 2012). Tumbuhnya konsumsi pangan di India dan China sebagai penyebab volatilitas harga pangan masih menjadi perdebatan. Hal ini karena tumbuhnya permintaan pangan di kedua negara tersebut terjadi sebelum krisis pangan tahun 2007 dan konsumsi pangan kedua negara tersebut relatif stabil selama krisis pangan. Namun terdapat dua pendekatan tidak langsung mengapa konsumsi pangan di kedua negara tersebut mempengaruhi volatilitas harga pangan. Pertama, karena

8 pertumbuhan besar-besaran sedang terjadi di kedua negara tersebut yang menjadi pemicu rendahnya stok pangan internasional. Kedua, adanya bencana kekeringan di India yang menyebabkan produksi gandum India berkurang sehingga mempengaruhi harga gandum internasional (Tangermann 2011). Harga pangan meningkat disebabkan oleh produksi dan konsumsi pangan yang bervariasi. Adanya guncangan produksi dan konsumsi pangan yang disebabkan oleh elastisitas permintaan dan penawaran mengakibatkan terjadinya volatilitas harga (Gilbert dan Morgan 2010; HLPE 2011; Torero 2011; Braun dan Tadesse 2012). Faktor lain yang menyebabkan volatilitas harga pangan adalah stok (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova 2011; FAO et al. 2011). Stok pangan dunia telah mengalami penurunan sejak sepuluh tahun lalu, namun stok bahan pangan pokok dunia relatif terhadap penggunaan mengalami penurunan terendah pada tahun 2006 hingga 2008. Penurunan stok pangan dunia disebabkan oleh beberapa faktor seperti, penurunan pertumbuhan komoditas pertanian akibat produktivitas dan harga yang rendah, selain itu perubahan kebijakan stok pertanian yang ditetapkan oleh Uni Eropa dan China juga mempengaruhi rendahnya stok pangan dunia (Tangermann 2011). Beberapa penelitian menyatakan bahwa selain masalah energi, faktor-faktor yang menyebabkan volatilitas harga pangan adalah perubahan iklim dan cuaca yang berdampak terhadap produksi dan pasar (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova 2011; Tangermann 2011). Perubahan iklim dan cuaca menyebabkan terjadinya beberapa bencana alam seperti kekeringan, banjir dan cuaca panas yang ekstrim, sehingga dapat menurunkan produksi pertanian (FAO et al. 2011). Volatilitas harga kedelai Amerika Serikat dipengaruhi oleh kebijakan energi, nilai tukar mata uang dollar Amerika Serikat terhadap tiga nilai mata uang negara lain yaitu Argentina; Brazil; dan China serta spekulasi kebijakan finansial (Hernandez 2012). Spekulasi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap volatilitas. Spekulasi dipicu oleh investasi pada pasar komoditas yang mengambil keuntungan pada saat harga berfluktuasi. Apabila keuntungan yang ditawarkan dari investasi semakin tinggi, maka akan meningkatkan likuiditas sehingga volatilitas akan meningkat (Gilbert dan Morgan 2010; HLPE 2011). Populasi dan pendapatan yang meningkat di negara berkembang serta kebijakan pertanian yang tidak sesuai di beberapa negara mengakibatkan volatilitas harga pangan (FAO et al. 2011). Populasi dan pendapatan yang meningkat menyebabkan peningkatan permintaan untuk pangan. Penduduk dunia pada tahun 2050 diramalkan akan mencapai jumlah 9 miliar orang. Tingginya jumlah permintaan pangan membuat harga pangan akan meningkat dan pada tahun 2019 harga pangan dunia akan lebih tinggi dibandingkan harga pangan pada tahun 2007/2008. Variabel makroekonomi seperti inflasi, suku bunga, dan penawaran uang mempengaruhi perkembangan makroekonomi dunia dan merupakan salah satu penyebab terjadinya volatilitas harga pangan (Tangermann 2011). Rendahnya suku bunga dan meningkatnya penawaran uang di Amerika Serikat menyebabkan perubahan investasi dari pasar finansial menjadi pasar aset fisik. Faktor-faktor yang diduga menyebabkan volatilitas dapat dijadikan sebagai indikasi untuk mengetahui apakah volatilitas terjadi atau tidak. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung besarnya volatilitas dan faktorfaktor yang mempengaruhi volatilitas menggunakan alat analisis yang sesuai.

9 Berbagai macam alat analisis yang ada sebagian besar menggunakan pendekatan ekonometrika untuk mengukurnya. Mengukur Dampak Volatilitas Harga Volatilitas harga pangan dan identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan volatilitas harga pangan dalam penelitian ini akan didekati menggunakan model yang sama yaitu Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH). Model ARCHGARCH merupakan salah satu model yang dapat digunakan pada data deret waktu apabila terdapat masalah heteroskedastisitas. Model ARCH maupun model GARCH sama-sama dapat digunakan untuk menghitung volatilitas. Beberapa penelitian tentang volatilitas harga pangan diukur menggunakan GARCH seperti yang telah dilakukan oleh Gilbert dan Morgan 2010; Shiferaw 2012. Dalam penelitian ini, model ARCH merupakan model yang digunakan untuk menghitung volatilitas harga ketiga komoditas pangan. Selain model ARCH-GARCH, alat analisis lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung volatilitas adalah distribusi normal dan distribusi student-t (Onour dan Sergi 2011) serta standard deviation of returns (Kose et al. 2005; Minot 2012). Penelitian menggunakan model GARCH dapat ditempuh dengan jenis model yang berbeda-beda. Shiferaw (2012) menggunakan model GARCH (1,1); GARCH (1,2); GARCH (2,1), sedangkan Gilbert dan Morgan (2010) hanya menggunakan GARCH (1,1). Shiferaw (2012) bertujuan untuk menganalisis volatilitas harga tiga komoditas pertanian di Ethiopia, yaitu kelompok sereal, kacang-kacangan dan minyak yang dihasilkan dari tanaman pangan. Hasil yang didapat yaitu volatilitas harga terjadi secara terus menerus pada ketiga komoditas tersebut. Hasil penelitian Gilbert dan Morgan (2010) menunjukkan bahwa volatilitas harga pertanian lebih rendah dibandingkan kenaikan harga pada tahun 1970-an dan 1980-an. Penelitian Onour dan Sergi (2011) bertujuan menganalisis volatilitas harga pangan dunia. Hasil analisis menyatakan bahwa distribusi student-t lebih baik dibandingkan distribusi normal. Model distribusi student-t digunakan untuk menganalisis enam komoditas pertanian yaitu gandum, beras, gula, daging sapi, kopi dan kacang tanah pada periode Oktober 1984 hingga September 2009. Penelitian Minot (2012) bertujuan untuk mempelajari model serta trend volatilitas harga yang terjadi di Afrika. Komoditas yang diteliti oleh Minot sebanyak sepuluh bahan pangan pokok yaitu, kacang-kacangan, roti, minyak goreng, jagung, beras, gandum, millet, sorghum, teff dan cowpeas. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa harga pangan pada rentang waktu 2007-2010 mengalami volatilitas yang tinggi, namun di wilayah Afrika volatilitas harga pangan tidak menunjukkan peningkatan. Volatilitas harga pangan atau komoditas yang diperdagangkan sangat erat kaitannya dengan kinerja makroekonomi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan antara volatilitas dengan kinerja makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi seperti pada penelitian Kargbo (2005); Apergis dan Rezitis (2011); dan Choi dan Kim (2012).

10 Harga pangan yang tinggi di Afrika khususnya wilayah Afrika barat selama lebih dari dua dekade menyebabkan volatilitas harga dan mempengaruhi kinerja ekonomi wilayah tersebut. Penelitian Kargbo (2005) melihat dampak meningkatnya harga pangan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja makroekonomi. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian Kargbo memperlihatkan bahwa guncangan harga pangan memiliki dampak yang signifikan terhadap produksi pangan domestik dan merupakan penyebab utama ketidakstabilan kondisi makroekonomi di wilayah Afrika barat. Apergis dan Rezitis (2011) menggunakan alat analisis berupa model GARCH dan GARCH-X untuk mengestimasi volatilitas harga pangan di Yunani, serta hubungannya dengan faktor makroekonomi dalam jangka pendek. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara volatilitas harga dan faktor ekonomi. Choi dan Kim (2012) menggunakan GARCH dan Vector Autoregressive (VAR) untuk mengetahui pengaruh volatilitas harga komoditi dengan kondisi ekonomi makro di negara-negara G20. Hubungan antara volatilitas harga pangan dengan indikator makroekonomi di sektor pangan merupakan hal yang ingin dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Salah satu indikator makroekonomi yang ingin diestimasi adalah inflasi. Volatilitas dan Inflasi Kenikan harga-harga secara umum atau biasa disebut dengan inflasi bisa disebabkan oleh berbagai faktor makroekonomi, pasar komoditas maupun pasar energi (yang akhirnya menyebabkan kenaikan barang-barang lain). Tingginya harga pangan seperti beras dan gandum yang menjadi makanan pokok bagi masyarakat di negara berkembang di Asia telah menyumbang kenaikan inflasi lebih kurang 10 persen pada Januari 2011 (ADB 2011). Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga pangan dunia harus terus menjadi perhatian utama pemerintah di berbagai negara khususnya negara berkembang dan miskin. Para ahli membedakan inflasi menjadi inflasi pangan dan non pangan (Walsh 2011; Hossain dan Rafiq 2012). Inflasi pangan menurut Walsh dapat menjadi besar jika guncangan harga pangan lebih volatil dibandingkan guncangan harga non pangan terutama pada saat terjadi krisis pangan. Inflasi makanan secara keseluruhan cenderung lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan inflasi non makanan khususnya pada negara-negara berkembang dan miskin. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain dan Rafiq di Bangladesh. Beras dan gandum sebagai pangan pokok bagi negara tersebut mengalami peningkatan karena harga internasional yang tinggi. Harga beras meningkat 61 persen dan gandum meningkat 30 persen pada tahun 2009-2010. Kenaikan harga pangan berimplikasi terhadap penurunan kesejahteraan penduduk terutama penduduk miskin karena sebagian besar pendapatan digunakan untuk konsumsi pangan. Harga pangan yang meningkat hingga 10 persen dapat mendorong kenaikan kemiskinan hingga 1.9 persen di negara berkembang di Asia (ADB 2011). Inflasi baik pangan maupun non pangan menurut penyebabnya dibedakan menjadi dua yaitu dari sisi permintaan maupun penawaran. Berdasarkan beberapa

11 kajian, inflasi cenderung berasal dari sisi penawaran. Penelitian di Tanzania yang dilakukan oleh Adam et al. (2012) mengemukakan bahwa inflasi makanan bersumber dari sisi penawaran baik yang disebabkan oleh ouput pertanian domestik maupun harga dunia untuk pangan dan energi. Transmisi inflasi yang berasal dari harga pangan dunia akan lebih berpengaruh jika harga dunia meningkat dibandingkan ketika harga dunia turun walaupun hubungan antara inflasi dan harga pangan dunia cenderung lemah. Hasil penelitian Irawan (2005) yang bertujuan untuk menganalisis gejolak harga input dan output pertanian serta kausalitas keduanya menunjukkan bahwa inflasi sektor pertanian berasal dari sisi penawaran (cost-push inflation) yaitu dari harga-harga material pertanian. Harga output pertanian hanya memiliki hubungan searah dengan harga material pertanian. Harga material pertanian memiliki hubungan dua arah dengan upah tenaga kerja. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah untuk menjaga kestabilan sektor pertanian khususnya harga input, pemerintah dituntut untuk menjaga kestabilan harga output pertanian terlebih dahulu. Kinerja makroekonomi, selain dapat didekati melalui inflasi juga dapat didekati melalui pertumbuhan ekonomi (PDB). Dampak yang ditimbulkan akibat inflasi atau pun pertumbuhan dapat berbeda. Volatilitas harga pangan cenderung memiliki pengaruh positif terhadap inflasi, namun pada pertumbuhan ekonomi hasil yang diperoleh dapat berbeda dengan inflasi. Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi memiliki pengertian yang berbeda-beda. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hubungan diantara keduanya bisa negatif maupun positif. Penelitian Kose et al. (2005) menunjukkan bahwa perdagangan dan integrasi finansial diduga mempengaruhi hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan. Negara yang menerapkan perdagangan bebas lebih mudah menghadapi trade-off antara pertumbuhan dan volatilitas. Integrasi finansial merupakan faktor yang dapat memperkuat hubungan negatif antara pertumbuhan dan volatilitas. Harga pangan yang selalu meningkat dapat menurunkan tingkat pertumbuhan di banyak negara (UNCTAD 2012). Negara yang menerima keuntungan dari terms of trade adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan dan investasi yang rendah. Proses pertumbuhan di negara-negara berkembang relatif rendah karena tidak ada keinginan untuk mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan itu sendiri. Negara miskin ataupun berkembang dapat dengan mudah memulai pertumbuhan, namun sulit untuk mempertahankannya. Pertumbuhan yang tidak stabil disebabkan oleh goncangan eksternal seperti harga komoditas. Volatilitas harga timbul karena harga komoditas termasuk komoditas pertanian mengalami peningkatan dan penurunan tajam. Cara yang ditawarkan untuk mengelola volatilitas dengan mengkombinasikan berbagai kebijakan. Kebijakan yang dapat dilakukan dengan transparansi pasar dan meminimalkan dampak buruk dari pertumbuhan makroekonomi akibat volatilitas harga komoditas. Varibel makroekonomi yang digunakan untuk mengukur pengaruh makroekonomi terhadap pertumbuhan adalah inflasi dan nilai tukar. Hubungan antara volatilitas dengan pertumbuhan adalah negatif seperti hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995);

12 Dabušinskas et al. (2012); Choi dan Kim (2012); Cavalcanti et al (2012); Safdar et al (2012). Volatilitas yang diteliti tidak terbatas hanya volatilitas harga, namun juga volatilitas makroekonomi dan volatilitas pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) memiliki tujuan untuk membuktikan bahwa volatilitas ekonomi berhubungan dengan pertumbuhan. Penelitian ini dilakukan di 92 negara yang termasuk dalam negaranegara OECD dengan menggunakan data deret waktu dari tahun 1962 sampai 1985. Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi menurut hasil penelitian Ramey G dan Ramey VA (1995) adalah negatif. Jika volatilitas di suatu negara tinggi, maka pertumbuhannya akan rendah, namun apabila diasumsikan tidak ada hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan, maka terdapat elemen yang hilang dalam lingkaran bisnis. Adanya hubungan yang kuat antara fluktuasi pengeluaran pemerintah dan volatilitas memperkuat bukti bahwa antara volatilitas dan pertumbuhan memiliki hubungan negatif. Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa tidak ada perubahan yang disebabkan oleh penambahan variabel investasi terhadap hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Dabušinskas et al. (2012) bertujuan untuk menghitung dampak volatilitas makroekonomi terhadap perkembangan ekonomi. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengestimasi volatilitas makroekonomi dan biaya yang harus ditanggung akibat penurunan pertumbuhan. Penelitian Dabušinskas et al ingin meneruskan sekaligus membuktikan kembali hasil peneltian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) apakah masih relevan dengan menggunakan data dari tahun 1980 hingga 2010 dan jumlah negara ditambah menjadi 121 negara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kenaikan volatilitas akan menurunkan pertumbuhan. Apabila volatilitas meningkat sebesar 50 persen maka pertumbuhan per kapita akan berkurang sebesar 0.4 persen. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa volatilitas memang berhubungan negatif dengan pertumbuhan sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995). Hasil penelitian lain yang membuktikan bahwa volatilitas berhubungan negatif dengan pertumbuhan adalah Choi dan Kim (2012). Penelitian Choi dan Kim dilakukan terhadap ekonomi negara-negara G20, menyimpulkan bahwa volatilitas harga komoditas energi dan non energi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak volatilitas harga komoditas terms of trade terhadap tiga sumber pertumbuhan ekonomi yaitu produktivitas faktor total, akumulasi kapital dan tenaga kerja dianalisis oleh Cavalcanti et al. (2012). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak volatilitas terhadap tiga sumber pertumbuhan dan mengetahui apakah volatilitas merupakan penyebab “kutukan sumberdaya”. Para ekonom mencoba untuk menganalisis hubungan antara sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomi. Periode data yang digunakan dari tahun 1970 sampai 2007 untuk 118 negara. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa volatilitas akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan yaitu menurunkan akumulasi modal dan tenaga kerja ketika pertumbuhan komoditas terms of trade meningkatkan output riil per kapita. Hasil yang menarik terjadi pada sumber pertumbuhan yaitu produktivitas faktor total yang tidak berpengaruh terhadap volatilitas. Dampak negatif dari volatilitas komoditas terms of trade dapat diimbangi dengan dampak positif dari ledakan komoditas dan ekspor bahan mentah dari negara yang kaya akan sumberdaya dapat meningkatkan pertumbuhan

13 ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab paradoks “kutukan sumberdaya” lebih mengarah kepada volatilitas dibandingkan dengan sumberdaya alam yang melimpah di suatu negara. Pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian di negara berkembang seperti Pakistan. Dampak volatilitas pertanian memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang diteliti oleh Safdar et al. (2012). Pertumbuhan ekonomi dilihat dari PDB yang diduga dipengaruhi oleh volatilitas, tenaga kerja dan produktivitas pertanian. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa volatilitas pertanian memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Volatilitas pertanian yang tinggi mengakibatkan risiko investasi di bidang pertanian relatif besar sehingga investasi menjadi lemah yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Produktivitas pertanian dan tenaga kerja memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan (PDB). Safdar et al. (2012) memberikan beberapa implikasi kebijakan untuk menghadapi tingginya volatilitas yaitu dengan cara mengendalikan volatilitas itu sendiri, meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan kepada para petani agar dapat mengadopsi teknologi baru dan membangun infrastruktur. Tingginya harga pangan menimbulkan berbagai masalah ekonomi baik dari sisi mikro maupun makro. Harga pangan dunia yang bervariasi menimbulkan dampak volatilitas harga. Berbagai kebijakan coba dirumuskan oleh para ahli untuk mengatasi volatilitas harga pangan khususnya setelah kejadian krisis pangan global. Kebijakan Mengelola Volatilitas Volatilitas harga pangan dunia tidak dapat dihindari setelah lebih dari tiga dekade tidak pernah terjadi. Krisis pangan tahun 2007/2008 dan 2010/2011 merupakan puncak dari kenaikan harga pangan. Volatilitas harga merupakan hal yang tidak dapat dihindari pada pasar pertanian. Volatilitas harga tidak dapat dihilangkan, namun dapat diminimalisir dampaknya melalui berbagai kebijakan baik lokal maupun internasional. Menurut Timmer (2011), terdapat beberapa kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi volatilitas harga pangan. Kebijakan stabilisasi harga dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi volatilitas, namun dalam pelaksanaannya sering mengalami kegagalan. Kegagalan dalam stabilisasi harga karena tidak dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Kebijakan stabilisasi harga merupakan jenis kebijakan yang paling banyak dipilih oleh negara-negara yang terkena dampak guncangan harga. Menurut Bank Dunia (2010) dari 56 negara yang disurvei, 23 negara memilih untuk menerapkan kebijakan stabilisasi harga untuk menanggulangi masalah ketidaksatbilan harga walaupun terbukti kebijakan tersebut tidak efisien. Mongolia dan Zimbabwe merupakan contoh dua negara yang menerapkan stabilisasi harga akan tetapi menimbulkan kerugian terhadap produsen karena produsen menjual produknya di bawah harga pasar. Kebijakan kedua yang dikemukakan oleh Timmer adalah kebijakan jaring pengaman sosial yang ditujukan untuk penduduk miskin. Kebijakan ini dapat dijalankan dengan baik asalkan memiliki rencana yang matang untuk diimplementasikan kepada masyarakat. Kebijakan jaring pengaman sosial ini juga memiliki kelemahan yaitu memerlukan banyak biaya untuk melaksanakannya.

14 Kebijakan alternatif ketiga yaitu dengan cara mengawasi perdagangan internasional dan pasar finansial untuk kelompok pangan. Gilbert (2012) mengemukakan cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi volatilitas harga beras yaitu dengan mendisiplinkan negara pengekspor beras dalam menetapkan kebijakan larangan perdagangan sesuai aturan yang ditetapkan WTO. Kebijakan untuk mengatasi volatilitas harga juga dapat dilakukan dengan memisahkan peran pemerintah dan swasta. Pemerintah berperan untuk menegakkan hukum dan institusi agar pihak swasta dapat mengurangi risiko ketidakpastian harga. Kebijakan penting lainnya untuk mengurangi volatilitas adalah keterbukaan informasi pasar dan kebijakan pembangunan pertanian yang mengutamakan peningkatan pendapatan khususnya di perdesaan (Tangermann 2011). Ketersediaan cadangan pangan bagi kebutuhan dalam negeri merupakan cara lain untuk mengatasi volatilitas harga (Timmer 2011; Tangermann 2011). Setiap negara baik eksportir maupun importir seharusnya memiliki cadangan pangan, sehingga dapat mencegah harga meningkat dengan tajam. Cadangan pangan dunia harus diwujudkan secara bersama-sama dan merupakan bagian dari kerjasama internasional (Timmer 2011). Terdapat tiga tipe cadangan pangan baik domestik maupun internasional, yaitu (1) cadangan pangan nasional yang berguna untuk negara pengimpor apabila harga pangan sangat tinggi dan tidak memungkinkan untuk membeli pangan, (2) cadangan pangan internasional yang dikelola oleh organisasi internasional dan terdapat di beberapa lokasi yang bertujuan untuk menyediakan cadangan pangan bagi negara berkembang yang tidak siap menghadapi krisis pangan ekstrim, dan (3) lembaga internasional seperti International Grain Clearing Arrangements (IGCA) harus dapat menjadi penyokong cadangan pangan bagi negara-negara eksportir apabila negara-negara tersebut gagal melakukan ekspor. Volatilitas harga yang terjadi di berbagai negara menimbulkan kerugian baik dari aspek perekonomian maupun aspek sosial politik karena pangan merupakan hal pokok bagi seluruh masyarakat, sehingga pemenuhannya harus dapat dijamin oleh negara. Indonesia juga tidak luput dari masalah volatilitas harga pangan, terdapat empat alternatif untuk mengurangi volatilitas harga pangan di Indonesia yang direkomendasikan oleh Bank Dunia (2010). Kebijakan pertama yaitu dengan sistem pemantauan harga yang efektif. Kedua adalah menilai dampak perubahan harga komoditas terhadap perekonomian. Ketiga adalah melakukan perhitungan analisis biaya dan manfaat untuk memberikan penilaian terhadap berbagai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Keempat adalah membentuk sistem pemantauan perubahan harga agar dapat mengamati tanggapan yang diberikan masyarakat terhadap perubahan haraga yang dilakukan dan apabila kebijakan yang diterapakan tidak cocok dapat segera mengganti instrumen kebijakan. Sistem pemantauan perubahan harga yang intensif dan komprehensif perlu dikembangkan dengan mencakup unsur-unsur seperti: (1) program jaring pengaman sosial yang lebih baik, (2) penerapan kebijakan perdagangan secara cerdas, (3) perbaikan infrastruktur, (4) perbaikan sistem hukum, (5) pengurangan atau penghapusan pembatasan perdagangan, (6) pertimbangan untuk mencabut subisidi bahan bakar minyak, dan (7) pengelolaan kebijakan fiskal.

15 Kerangka Teoritis Teori Pertumbuhan Neoklasik Model pertumbuhan neoklasik yang dikemukakan oleh Robert Solow merupakan model pertumbuhan yang banyak dipakai sebagai acuan hingga saat ini. Model pertumbuhan Solow dibangun untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan persediaan modal atau kapital, angkatan kerja atau tenaga kerja dan teknologi dalam perekonomian serta pengaruhnya terhadap barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw 2002). Model Solow mengasumsikan bahwa teknologi merupakan faktor eksogen dan digunakan untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, sehingga model Solow juga dapat disebut sebagai model pertumbuhan eksogen. Model Solow memiliki prinsip skala pengembalian yang terus berkurang (diminishing return to scale) apabila modal dan tenaga kerja dianalisis secara terpisah, namun apabila dianalisis secara bersamaan, maka asumsi yang digunakan adalah skala pengembalian konstan (constant return to scale) (Todaro dan Smith 2006). Penawaran barang dalam model Solow berasal dari fungsi produksi (Mankiw 2002). Fungsi produksi dipengaruhi oleh tenaga kerja dan modal yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = F(K,L) ................................................................................................ (2.1) Model Solow mengasumsikan skala pengembalian konstan, sehingga jika masing-masing input dinaikkan sebesar z yang bernilai positif, maka output akan meningkat dengan jumlah yang sama yaitu z. Oleh karena itu apabila z dimisalkan dengan z = 1/L, maka fungsi produksi dapat dianalisis dengan membandingkan seluruh variabel dengan jumlah angkatan kerja. Y/L = F(K/L, 1) ........................................................................................ (2.2) Berdasarkan persamaan (2.2) maka besarnya perekonomian tidak mempengaruhi hubungan antara output per pekerja dan modal per pekerja. Output per pekerja dapat disederhanakan menjadi y = Y/L dan modal per pekerja dapat disederhanakan menjadi k = K/L. y = f(k) ...................................................................................................... (2.3) Permintaan barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Sama seperti pada persamaan fungsi produksi untuk penawaran barang, pada permintaan barang output per pekerja dipengaruhi oleh konsumsi per pekerja dan investasi per pekerja. y = c + i .................................................................................................... (2.4) Dalam model Solow, setiap orang diasumsikan menabung s sebagian dan mengkonsumsi sebagian (1-s) dari pendapatannya. Berdasarkan persamaan (2.5) dapat dinyatakan bahwa tingkat tabungan merupakan bagian dari output yang menunjukkan investasi. y = (1-s)y + i ............................................................................................. (2.5) i = sy ......................................................................................................... (2.6) i = sf(k) ..................................................................................................... (2.7) Persediaan modal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu investasi dan depresiasi. Investasi menyebabkan persediaan modal bertambah karena digunakan untuk perluasan usaha dan peralatan baru. Depresiasi δ menyebabkan modal berkurang karena dipakai untuk membiayai modal. Dampak investasi dan depresiasi

16 terhadap persediaan modal dapat dinyatakan seperti pada persamaan (2.8) dan (2.9). ∆k = i – δk ................................................................................................. (2.8) ∆k = sf(k) – δk .......................................................................................... (2.9) Kondisi mapan k* merupakan kondisi pada saat investasi sama dengan depresiasi dan menunjukkan bahwa jumlah modal tidak akan berubah sepanjang waktu. Apabila investasi melebihi depresiasi maka persediaan modal akan tumbuh. Sebaliknya jika investasi lebih besar dibanding depresiasi maka persediaan modal menyusut. Teknologi merupakan faktor eksogen dalam model pertumbuhan Solow. Apabila teknologi dimasukkan kedalam model Solow maka dapat dilambangkan dengan E yang disebut efisiensi tenaga kerja. Bentuk kemajuan teknologi disebut pengoptimalan tenaga kerja. Dalam persamaan (2.10) notasi E dikalikan dengan tenaga kerja yang digunakan untuk mengukur jumlah para pekerja efektif sehingga persamannya menjadi: Y = F(K, L x E) ........................................................................................ (2.10) Persamaan (2.10) dapat disederhanakan seperti pada persamaan (2.3), dengan membagi Y, K dan L x E dengan L x E sehingga didapat hasil k yang menyatakan modal per pekerja efektif dan y sebagai output per pekerja efektif. Dampak perubahan modal per pekerja efektif tidak lagi hanya dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi, namun juga dipengaruhi oleh populasi n dan tingkat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja g. Persamaan dari perubahan modal per pekerja efektif dapat dilihat pada persamaan (2.11) yang dituliskan sebagai berikut: ∆k = sf(k) – (δ + n + g)k .......................................................................... (2.11) Kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g dapat mempengaruhi model pertumbuhan Solow. Apabila jumlah pekerja efektif meningkat akan menurunkan modal k. Pada kondisi mapan k* yang ditunjukkan pada Gambar 4, investasi dapat menutupi penurunan k yang berhubungan dengan depresiasi, populasi dan teknologi. Investasi pulang pokok , (δ + n +g )k

Investasi, Investasi Pulang pokok

k*

Modal per pekerja efektif k

Kondisi mapan

Sumber: Mankiw (2002) Gambar 4 Kurva pertumbuhan Solow

17 Teori Pertumbuhan Endogen Teori pertumbuhan endogen lahir karena terdapat ketidakpuasan pada teori pertumbuhan neoklasik (Dornbusch et al. 2008). Teori pertumbuhan neoklasik tidak dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan teknologi pada jangka panjang dan teknologi dianggap sebagai faktor eksogen. Dalam teori pertumbuhan endogen menekankan pada pertumbuhan yang berbeda antara modal fisik dan modal pengetahuan. Pada model pertumbuhan neoklasik mengasumsikan bahwa modal fisik memiliki skala hasil yang semakin menurun (diminishing marginal returns), namun pada model pertumbuhan endogen pandangan tersebut dirubah menjadi skala hasil konstan. Teori pertumbuhan endogen mengasumsikan bahwa modal pengetahuan termasuk salah satu jenis modal, maka dengan skala hasil konstan (constant return to scale), pengetahuan dan teknologi yang kian meningkat akan membuat pertumbuhan ekonomi semakin meningkat pula pada jangka panjang. Tabungan dan investasi pada pertumbuhan neoklasik jika dianalisis secara parsial memiliki skala hasil yang berkurang seperti pada Gambar 4, namun pada pertumbuhan endogen asumsi tersebut telah berubah yang ditunjukkan pada Gambar 5. Tabungan dan investasi memiliki kurva yang tidak lagi melengkung dan cenderung untuk menurun namun lurus dan berslope positif. Bentuk kurva seperti itu membuat tabungan selalu lebih besar dibandingkan investasi yang dibutuhkan. Semakin besar tabungan, maka kesenjangan antara tabungan dan investasi semakin besar yang membuat pertumbuhan akan semakin cepat. y

(a)

f(k)

sf(k) (n + d)k

k Modal per orang (b)

Sumber: Dornbusch et al. (2008) Gambar 5 Kurva pertumbuhan endogen Volatilitas dan Pertumbuhan Teori pertumbuhan modern ditandai dengan lahirnya teori pertumbuhan endogen yang memiliki fungsi Y = aK. Dalam persamaan tersebut, output Y berhubungan positif dengan modal (K) dan marginal product of capital (a). Apabila tabungan diasumsikan konstan, maka tingkat pertumbuhan akan berpengaruh positif terhadap tabungan. Tingkat tabungan dipengaruhi oleh volatilitas makroekonomi. Hubungan volatilitas makroekonomi dengan

18 pertumbuhan menghasilkan kesimpulan yang saling bertolak belakang (Aghion dan Banerjee 2005). Pertama, jika volatilitas makroekonomi meningkat maka masyarakat akan menyimpan lebih banyak uang untuk berjaga-jaga dalam bentuk tabungan, sehingga tingkat keseimbangan tabungan menjadi naik dan pertumbuhan meningkat. Kedua, jika volatilitas makroekonomi tinggi akan mengurangi konsumsi untuk pengeluaran investasi, sehingga mengurangi tabungan yang mengakibatkan pertumbuhan menurun. Kedua hubungan tersebut bergantung kepada elastisitas substitusi individu terhadap konsumsi setiap waktu. Teori ARCH-GARCH Volatilitas merupakan kondisi yang tidak stabil, bervariasi dan sulit diperkirakan. Volatilitas tinggi sering terjadi pada data deret waktu seperti, data indeks harga saham, tingkat bunga, nilai tukar, inflasi dan sebagainya. Model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) digunakan untuk mengestimasi data yang memiliki volatilitas tinggi. Penelitian menggunakan GARCH telah dilakukan oleh Gilbert dan Morgan (2010); Apergis dan Rezitis (2011); Shiferaw (2012). Dampak dari data yang memiliki volatilitas tinggi adalah variance dan error tidak konstan atau sering disebut heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas merupakan salah satu pelanggaran asumsi pada metode Ordinary Least Square (OLS). Apabila terjadi heteroskedastisitas dugaan parameter regresi tidak bias dan masih konsisten, namun standard error dan interval keyakinan menjadi terlalu besar sehingga pengambilan keputusan dapat menyesatkan (Juanda dan Junaidi, 2012). Model ARCH pertama kali diperkenalkan oleh Engle (1982) yang menganalisis adanya masalah ragam residual dalam data deret waktu. Ragam residual yang berubah-ubah terjadi karena ragam residual tidak hanya fungsi dari peubah bebas, tetapi juga tergantung pada residual di masa lalu. Proses pembentukan model ARCH misalnya dengan membangun model regresi linier dengan persamaan berikut: Yt = β0 + β1Xt + et .................................................................................... (2.12) Model ARCH digunakan untuk mengestimasi data yang memiliki volatilitas tinggi. Volatilitas tinggi artinya data pada suatu periode memiliki fluktuasi dan residual yang tinggi dan pada periode berikutnya fluktuasi serta residualnya rendah, sehingga ragam residual akan sangat bergantung pada ragam residual periode sebelumnya. Persamaan ragam residual dalam model ARCH adalah sebagai berikut: σ 2t = α0 + α1e2t-1 ....................................................................................... (2.13) Persamaan (2.13) terdiri dari ragam residual (σ 2t) yang memiliki unsur konstanta (α0) dan kuadrat residual periode yang lalu (e2t-1). Model dari residual et adalah conditional heteroscedasticity pada residual e2t-1. Persamaan (2.13) merupakan model ARCH (1) karena ragam dari residual et hanya dari fluktuasi residual kuadrat satu periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari fluktuasi residual kuadrat beberapa periode sebelumnya (lag p), maka model ARCH dapat disimbolkan dengan ARCH (p) yang persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut: σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p........................................(2.14)

19 Bollerslev (1986) merupakan orang yang pertama kali mengemukakan model GARCH. Menurut Bollerslev ragam residual tidak hanya tergantung dari residual periode yang lalu, tetapi juga tergantung dari ragam residual periode sebelumnya. Pembentukan model GARCH sama seperti pada model ARCH dengan membangun model regresi linier sederhana. Perbedaan kedua model terletak pada ragam residual periode lalu yang tidak terdapat pada model ARCH. Persamaan model GARCH dapat dituliskan sebagai berikut: Yt = β0 + β1Xt + et .................................................................................. (2.15) σ 2t = α0 + α1e2t-1 + λ1 σ 2t-1 ...................................................................... (2.16) Persamaan (2.16) disebut sebagai GARCH (1,1) karena ragam residual hanya dipengaruhi oleh residual satu periode sebelumnya dan ragam residual satu periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari fluktuasi residual kuadrat beberapa periode sebelumnya (lag p unsur ARCH) dan ragam residual beberapa periode sebelumnya (lag q unsur GARCH), maka model GARCH dapat disimbolkan dengan GARCH (p,q) seperti pada persamaan berikut: σ 2t = α0 + α1e2t-1 + ... + α1e2t-p + λ1 σ 2t-1 + ... + λq σ 2t-q ..........................(2.17) Model ARCH dan GARCH merupakan model non linear sehingga tidak dapat diestimasi menggunakan OLS. Persamaan-persamaan dari model ARCH dan GARCH hanya dapat diestimasi menggunakan metode Maximum Likelihood (ML). Metode ML diharapkan dapat menghasilkan nilai yang lebih efisien dibandingkan metode OLS. Teori Error Correction Model (ECM) Data deret waktu adalah data yang dikumpulkan berdasarkan periode waku tertentu seperti harian, mingguan, bulanan, kuartalan atau tahunan. Persoalan dalam data deret waktu adalah banyak yang tidak stasioner. Data yang tidak stasioner akan menimbulkan masalah heteroskedastisitas atau autokorelasi. Data deret waktu yang tidak stasioner juga dapat menimbulkan regresi semu (spurious regression). Akibat dari data deret waktu yang tidak stasioner adalah hasil regresi akan menyesatkan (Juanda dan Junaidi 2012). Regresi semu adalah regresi antar dua peubah, dependen dan independen, yang keduanya tidak memiliki keterkaitan secara teori, namun memiliki koefisien determinasi yang besar, sehingga seolah-olah kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang erat. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi regresi semu dan masalah non-stasioner pada data deret waktu dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) (Thomas 1997). ECM merupakan model yang memasukkan penyesuaian (adjusment) untuk mengoreksi keseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Penyesuaian timbul karena model biasanya seimbang pada jangka panjang, namun pada jangka pendek mungkin tidak mencapai keseimbangan, sehingga perlu suatu penyesuaian (Juanda dan Junaidi 2012). Suatu model data deret waktu dikatakan seimbang dalam jangka panjang jika terkointegrasi. Regresi yang terkointegrasi artinya bergerak dalam panjang gelombang yang sama. Berdasarkan Thomas (1997), model ECM dapat dibentuk dengan terlebih dahulu membuat persamaan pada saat terjadi disequilibrium yang mengakibatkan timbulnya lag seperti pada persamaan 2.18. , dimana 0 < µ < 1……..................…(2.18)

20 Persamaan 2.18 diduga tidak stasioner, sehingga digunakan cara klasik untuk menghapuskan regresi semu. Cara yang digunakan yaitu dengan mengurangi dengan yt-1 di setiap sisi persamaan. µ ...........................(2.19) Tambahkan dan kurangi pada bagian sebelah kanan, sehingga diperoleh: µ (2.20) jika disederhanakan , persamaan 2.20 menjadi: λ ..................................(2.21) Ketika λ = 1-μ, maka persamaan 2.21 dapat diparameterisasi menjadi persamaan 2.22. λ β ............................................ (2.22) Setelah persamaan 2.22 diparameterisasi lebih jauh, maka persamaan ECM adalah sebagai berikut: λ β β ,..……………….................(2.23) dimana: λ = 1-µ ; β = / λ ; β = ( /λ Model ECM merupakan model yang digunakan untuk mengoreksi kesalahan menuju keseimbangan jangka panjang. Berdasarkan persamaan 2.23, model ECM akan mencapai keseimbangan dalam jangka panjang dimana λ menunjukkan kecepatan dalam mencapai keseimbangan dan β β menunjukkan kombinasi linier. Kombinasi linier ini disebut error yang bersama λ membentuk mekanisme dalam mengoreksi kesalahan untuk mencapai kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang. Persamaan β β juga dapat disebut sebagai error correction. Mekanisme koreksi ini terjadi dengan syarat setiap variabel harus terintegrasi dalam tingkat diferensiasi yang sama. Jika kondisi ekuilibrium ditunjukkan oleh β β maka apabila: β β ; error < 0, dikoreksi oleh –λ sehingga naik ke arah ekuilibrium. β β ; error > 0, dikoreksi oleh –λ sehingga turun ke arah ekuilibrium. Kerangka Pemikiran Operasional Pangan merupakan bagian dari sektor pertanian dan berperan sebagai kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu harga pangan yang bergejolak akan menimbulkan fluktuasi harga. Fluktuasi harga yang terus menerus terjadi dapat memunculkan persoalan volatilitas. Beras, jagung dan kedelai termasuk kedalam kelompok pangan pokok di Indonesia dan harga ketiga komoditas tersebut berfluktuasi diduga karena faktor internal seperti perubahan arah kebijakan politik maupun faktor eksternal seperti krisis pangan. Krisis pangan membuat harga pangan menjadi tidak stabil terutama untuk komoditas yang diperdagangkan seperti beras, jagung dan kedelai. Jagung dan kedelai diperdagangkan secara internasional dalam jumlah yang besar, namun beras hanya diperdagangkan dalam jumlah yang relatif kecil sehingga pasar beras sering disebut pasar yang tipis (thin market). Hal ini disebabkan produsen dan konsumen beras terbesar berada di Asia, sehingga produksi beras dalam negeri lebih banyak digunakan untuk kebutuhan domestik. Walaupun beras relatif sedikit diperdagangkan di tingkat

21 internasional, namun harga beras juga sangat berfluktuasi tidak terkecuali di Indonesia. Harga beras mulai berfluktuasi secara tidak terkendali pada saat awal krisis moneter tahun 1997 dan perubahan situasi politik menuju era reformasi. Pada saat itu harga beras tidak lagi dikontrol oleh pemerintah melalui BULOG, melainkan diserahkan kepada mekanisme pasar. Jagung dan kedelai yang banyak diperdagangkan secara internasional besaran harga dalam negerinya akan lebih banyak dipengaruhi oleh harga dunia. Oleh karena itu dalam penelitian ini harga ketiga komoditas pangan akan dianalisis untuk mengidentifikasi apakah bersifat volatile atau tidak, dengan menggunakan model ARCH-GARCH. Perekonomian nasional maupun global mengalami berbagai kejadian yang dapat mengubah arah kebijakan sektor mikro maupun makro. Harga pangan dunia yang mengalami peningkatan pada periode 2007/2008 dan 2010, namun menurun pada tahun 2009 merupakan salah satu contoh kejadian yang merubah paradigma perekonomian. Harga pangan yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti, harga minyak dunia, stok, produksi, iklim, nilai tukar, dan suku bunga riil. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi variasi harga dalam penelitian ini dianalisis menggunakan model ARCH-GARCH. Analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui ada tidaknya fenomena volatilitas pada suatu pasar komoditas khususnya komoditas pangan pokok. Volatilitas harga pangan yang tinggi dapat mempengaruhi indikator makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, uang yang beredar, inflasi dan lain sebagainya. Apabila kinerja perekonomian berjalan dengan baik akan membuat kondisi harga khususnya pangan menjadi lebih stabil, sehingga volatilitas dapat ditekan. Indikator makroekonomi yang banyak digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian adalah inflasi dan PDB. Pengukuran hubungan antara volatilitas harga pangan dengan indikator makroekonomi diestimasi menggunakan model ECM. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat menjadi rekomendasi kebijakan bagi para pengambil keputusan di sektor pertanian dan perekonomian Indonesia. Hipotesis Penelitian Berdasarkan studi literatur dan penelitian terdahulu, maka hipotesis penelitian dapat dituliskan sebagai berikut: 1. Tingginya tingkat volatilitas harga pangan pokok menjadi isu penting di seluruh dunia khususnya bagi negara miskin dan berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang, berupaya untuk meminimalisir dampak volatilitas karena harga beras, jagung dan kedelai yang merupakan pangan pokok merupakan variabel ekonomi yang bersifat volatile. 2. Harga pangan pokok berkaitan dengan dinamika pasar komoditas, pasar energi, kebijakan stok, faktor produksi dan kondisi makroekonomi, sehingga volatilitas harga pangan pokok disebabkan oleh harga minyak dunia, stok pangan, produksi, iklim, nilai tukar dan tingkat suku bunga riil. 3. Volatilitas harga pangan yang tinggi akan mempengaruhi indikator makroekonomi khususnya inflasi dan PDB sektor pertanian. Volatilitas harga pangan diduga akan berpengaruh positif terhadap inflasi, sedangkan terhadap PDB sektor pertanian diduga akan berpengaruh negatif.

22 Sektor Pertanian

Sub sektor Perkebunan

Sub sektor Tanaman Pangan

Sub sektor Hortikultura

Metode Analisis: ARCH-GARCH

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga pangan

Harga Minyak Dunia

Harga Komoditas

Harga Komoditas Dunia

Uang Beredar

Produksi

Inflasi

Iklim/Cuaca

Trade Openness

Nilai Tukar

Volatilitas Harga Pangan

Pengaruh volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi

Rekomendasi Kebijakan untuk Sektor Pertanian dan Perekonomian Indonesia

Gambar 6 Kerangka pemikiran konseptual =

Tidak termasuk objek penelitian

Suku Bunga

Metode Analisis: ARCH-GARCH

23

3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah yang terkait. Jenis data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dengan periode waktu dari bulan Januari 1985 hingga Desember 2011. Dalam estimasi volatilitas harga yang merupakan tujuan pertama, data yang digunakan adalah harga komoditi beras, jagung dan kedelai di tingkat konsumen. Sumber ketiga data tersebut berasal dari BULOG. Sumber data untuk tujuan kedua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan berasal dari International Financial Statistics (IFS), Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Kementerian Pertanian, World Development Indicator (WDI), dan lembaga nasional maupun internasional lainya yang terkait. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volatilitas harga pangan adalah: harga minyak dunia, harga beras; jagung; dan kedelai dunia, produksi, iklim atau cuaca, nilai tukar dan suku bunga. Faktor iklim atau cuaca akan didekati dengan variabel curah hujan. Data yang digunakan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu analisis pengaruh volatilitas terhadap indikator makroekonomi dibagi menjadi dua yaitu untuk menganalisis inflasi dan PDB sektor pertanian. Data yang digunakan pada bagian inflasi adalah data inflasi, volatilitas harga ketiga komoditas, suku bunga, nilai tukar dengan jenis data bulanan. Khusus untuk analisis PDB sektor pertanian periode waktu yang dipakai berupa data kuartalan dikarenakan rentang waktu terkecil dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam bentuk kuartal dimulai dari kuartal satu tahun 1985 higga kuartal empat tahun 2011. Variabel yang digunakan untuk menganalisis dampak PDB pertanian adalah volatilitas harga ketiga komoditas, suku bunga, nilai tukar, investasi dalam negeri, dan investasi luar negeri sektor pertanian. Data tersebut bersumber dari BPS, BI dan IFS serta lembaga internasional dan nasional lainnya. Penentuan inflasi dan pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat merepresentasikan indikator makroekonomi khususnya di Indonesia. Metode Pengolahan Data Estimasi Volatilitas Harga Pangan Model ARCH-GARCH digunakan untuk menghitung besaran volatilitas harga pangan pokok yaitu beras, jagung, dan kedelai. Harga pangan pokok dinilai mengalami peningkatan dan penurunan tajam, sehingga perlu dilakukan perhitungan nilai volatilitas. Volatilitas terjadi karena varians residual tidak konstan sehingga homoskedastisitas tidak dapat dipenuhi. Model ARCH digunakan untuk mengestimasi data yang memiliki volatilitas tinggi. Volatilitas tinggi artinya data pada suatu periode memiliki fluktuasi dan residual yang tinggi dan pada periode berikutnya fluktuasi serta residualnya rendah, sehingga ragam residual akan sangat bergantung pada ragam residual periode sebelumnya. Model ARCH pertama kali diperkenalkan oleh Engle (1982) yang menganalisis adanya masalah ragam residual dalam data deret waktu. Ragam

24 residual yang berubah-ubah terjadi karena ragam residual tidak hanya fungsi dari peubah bebas, tetapi juga tergantung pada residual di masa lalu. Persamaan dalam model ARCH adalah sebagai berikut: σ 2t = α0 + α1e2t-1 ....................................................................................... (3.1) Persamaan (3.1) terdiri dari ragam residual (σ 2t) yang memiliki unsur konstanta (α0) dan kuadrat residual periode yang lalu (e2t-1). Model dari residual et adalah conditional heteroscedasticity pada residual e2t-1. Persamaan (3.1) merupakan model ARCH (1) karena ragam dari residual et hanya dari fluktuasi residual kuadrat satu periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari fluktuasi residual kuadrat beberapa periode sebelumnya (lag p), maka model ARCH dapat disimbolkan dengan ARCH (p) yang persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut: σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p...........................................(3.2) Model ARCH mengalami perkembangan dengan adanya generalisasi model menjadi GARCH yang diperkenalkan oleh Bollerslev (1986). Model GARCH menyatakan bahwa ragam residual tidak hanya tergantung dari residual periode sebelumnya, namun juga tergantung pada ragam residual periode sebelumnya. Berdasarkan Bollerslev (1986) model GARCH dapat dirumuskan sebagai berikut: ................... (3.3) Analisis grafik dengan plot time series dilakukan terlebih dahulu yang bertujuan untuk melihat kecenderungan data variabel harga pangan. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menghitung volatilitas menggunakan model ARCH-GARCH: Tahap Identifikasi Identifikasi digunakan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis mengandung unsur heteroskedastisitas atau tidak. Langkah identifikasi yang harus dilakukan adalah membentuk model deret waktu dengan metode Box-Jenkin. Berdasarkan model Box-Jenkin yang telah dibangun, dapat dideteksi ada tidaknya efek ARCH pada residualnya. Dua metode yang digunakan untuk menguji efek ARCH ( Juanda dan Junaidi 2012) yaitu: (1) Pola Residual Kuadrat melalui Korelogram Ada atau tidaknya unsur ARCH dalam model dapat diketahui dari koefisien autokorelasi (ACF) dan autokorelasi parsial (PACF). Kedua koefisien tersebut memiliki unsur ARCH apabila keduanya signifikan secara statistik. Kedua koefisien tersebut didapat dari korelogram residual kuadrat dan perhitungan Ljung Box Q statistics sampai lag tertentu. (2) Uji ARCH-LM Terdapat beberapa tahapan dalam uji ARCH-LM, yaitu: a) Esimasi persamaan Yt = β0 + β1Xt + et menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk memperoleh nilai residual dan residual kuadrat. b) Regresikan residual kuadrat dengan lag residual kuadrat seperti pada persamaan σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p. c) Persamaan pada tahap (b) akan mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas p dengan syarat sampel yang digunakan adalah sampel besar

25 , jika χ2 hitung lebih besar dibandingkan nilai kritis χ2 pada selang kepercayaan tertentu, maka tolak H0. Tolak H0 menunjukkan bahwa model memiliki unsur ARCH. Tahap Estimasi Estimasi dan simulasi beberapa model persamaan ragam yang telah dibentuk dari persamaan awal. Pilih model terbaik dengan memperhatikan signifikansi parameter estimasi menggunakan goodness of fit karena menggunakan metode Maximum Likelihood (ML). Goodness of fit yang dilihat berdasarkan nilai Log Likelihood dan kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Criterion (SC) terkecil. (1) Akaike Information Criterion (AIC) AIC = ln (MSE) + 2 x K/N .................................................................... (3.4) (2) Schwartz Criterion (SC) SC = ln (MSE) + [K x log (N)/N] .......................................................... (3.5) dimana: MSE = Mean Square Error K = banyaknya parameter N = banyaknya data pengamatan Tahap Evaluasi Beberapa uji yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi model yang telah didapat dengan menggunakan beberapa pengujian, yaitu (1) pengujian normalitas error, (2) pengujian keacakan residual, dan (3) pengujian efek ARCH. Uji Jarque Bera (JB) digunakan untuk menguji normalitas residual baku model. Uji JB menguji antara kemenjuluran (skewness) dan keruncingan (kurtosis) data dari sebaran normal dan memasukkan ukuran keragaman. Hipotesis yang dibangun adalah: H0: residual baku menyebar normal H1: residual baku tidak menyebar normal Tolak H0 jika JB > χ22 (α) atau jika P (χ22 > JB) kurang dari α. Persamaan Uji JB sebagai berikut: ...................................................................... (3.6) dimana: S = kemenjuluran K = keruncingan k = banyaknya koefisien penduga N = banyaknya data pengamatan Model ARCH-GARCH dianggap baik jika dapat menghilangkan autokorelasi yaitu bila residual baku merupakan proses white noise. Cara yang digunakan untuk memeriksa koefisien autokorelasi residual baku dengan uji statistik Ljung-Box. Uji Ljung-Box (Q*) merupakan pengujian kebebasan residual baku. Persamaan Ljung-Box dengan menggunakan data deret waktu dapat dituliskan sebagai berikut: ......................................................................... (3.7)

26 dimana: r1 (εt) = autokorelasi contoh pada lag 1 k = maksimum lag yang diinginkan Jika nilai Q* lebih besar dibandingkan nilai χ22 (α) dengan derajat bebas k-p-q atau jika P (χ2(k-p-q) > Q*) lebih kecil dari taraf nyata maka model tersebut dianggap tidak layak. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan Faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan akan dianalisis menggunakan model ekonometrika. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volatilitas harga pangan adalah harga minyak dunia, harga dunia untuk ketiga komoditas pangan, produksi ketiga jenis pangan, nilai tukar, suku bunga dan iklim atau cuaca. Kenaikan harga minyak dunia berdampak terhadap produksi pertanian. Tingginya harga minyak dunia menyebabkan harga input pertanian juga meningkat seperti pupuk. Meningkatnya harga minyak dunia menyebabkan permintaan energi terbarukan (bio-energi) yang berasal dari komoditas pertanian meningkat (Tangermann 2011). Meningkatnya harga minyak dunia diduga akan meningkatkan volatilitas harga pangan. Harga dunia untuk ketiga komoditas pangan diduga memiliki pengaruh positif terhadap volatilitas harga pangan. Apabila harga pangan dunia meningkat, maka volatilitas harga pangan akan ikut naik. Harga pangan dunia akan berdampak terhadap harga domestik. Tingginya harga pangan dunia akan membuat harga pangan dalam negeri juga meningkat. Hal ini diperkuat apabila sebagian besar kebutuhan pangan domestik diimpor. Produksi pangan yang bervariasi disebabkan oleh variasi lahan yang digunakan untuk menanam dan perbedaan hasil panen karena pengaruh cuaca. Guncangan terhadap produksi yang mengakibatkan volatilitas harga disebabkan oleh elastisitas permintaan dan penawaran. Elastisitas penawaran dan permintaan memperlihatkan respon dari produsen maupun konsumen terhadap perubahan harga (Gilbert dan Morgan 2010). Produksi pangan yang tinggi diharapkan dapat menurunkan volatilitas harga beras. Nilai tukar dan suku bunga riil merupakan variabel makroekonomi yang dapat mempengaruhi harga pangan. Rendahnya suku bunga menyebabkan investasi bergeser dari investasi di bidang aset keuangan menjadi investasi di bidang aset fisik (Tangermann 2011). Nilai tukar mata uang suatu negara banyak bergantung terhadap dollar Amerika, sehigga harga komoditas dipengaruhi oleh nilai tukar terhadap dollar Amerika (Helbling et al. 2008). Apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika rendah diduga akan meningkatkan volatilitas harga pangan. Apabila suku bunga riil meningkat diduga akan menurunkan volatilitas harga pangan. Cuaca adalah faktor yang paling sering mempengaruhi kenaikan harga pangan terutama pada tahun 2006 hingga 2008. Pada tahun 2008, Australia sebagai eksportir utama gandum di dunia mengalami musim kemarau panjang. Pada tahun 2006 dan 2007, Kanada yang juga berperan sebagai eksportir gandum dunia mengalami penurunan produksi yang disebabkan oleh faktor cuaca (Tangermann 2011). Cuaca yang ekstrim membuat produksi output menjadi bervariasi sehingga harga juga bervariasi yang menyebabkan volatilitas.

27 Banyaknya bencana alam seperti kemarau panjang dan banjir akibat cuaca yang ekstrim diduga akan meningkatkan volatilitas harga pangan. Model ekonometrika yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan adalah ARCH-GARCH. Model ini digunakan untuk menghilangkan permasalahan asumsi klasik dalam model regresi yaitu heteroskedastisitas. Model ARCH-GARCH selain berguna untuk menghilangkan heteroskedastisitas, juga dapat digunakan untuk menghilangkan masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi dapat dihilangkan dengan menambahkan variabel auto regressive pada variabel bebasnya atau mendiferensiasikan variabel terikat dan variabel bebasnya. Suatu persamaan dalam model ARCH-GARCH dikatakan telah terbebas dari autokorelasi dengan melihat hasil korelogram atau melalui uji akar unit. Model ARCH-GARCH telah dituliskan dalam persamaan 3.1 sampai 3.3. Dalam perkembangannya, model ini memiliki banyak variasi diantaranya model ARCH in mean (ARCH-M), Treshold ARCH (TARCH), Eksponensial ARCH/GARCH (EGARCH), Simple asymmetric (SAARCH) dan masih banyak lagi. Pada penelitian ini, selain model ARCH-GARCH secara umum yang sudah dituliskan dalam bentuk persamaan, model lainnya yang akan dibahas adalah TARCH. Persamaan model TARCH sebagai berikut (Nachrowi dan Usman 2006):

Setelah mendapatkan model ARCH-GARCH yang sesuai, model harus diuji dahulu menggunakan uji-F maupun uji-t, uji akar unit (unit root) untuk memeriksa kestasioneran data, dan uji asumsi klasik. Uji-F Uji-F bertujuan untuk menguji model secara keseluruhan. Tahapan dalam uji-F adalah sebagai berikut (Juanda 2007): Hipotesis statistik: Ho: = (atau ≤ ) atau (β2= β3=0) H1: > (atau / >1) atau (β2 atau β3≠0) Statistik uji yang digunakan adalah Fhit = KTR/KTS ~ F(dbr, dbe), secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: F(K-1, N-K) =

................................................................................ (3.9)

dbr = banyaknya peubah bebas X = (k-1) dbe = n-k Kriteria keputusan dalam uji-F adalah: Jika Fhit > F α(dbr,dbe) maka terima H1 Jika Fhit < F α(dbr,dbe) maka terima H0 Uji-t Uji-t berfungsi untuk menguji apakah koefisien slope βk nyata secara statistik (βk≠0). Hipotesis yang digunakan untuk melakukan uji-t yaitu (Juanda 2007): Ho: βj = 0 H1: βj ≠ 0

28 Secara matematis, uji-t dapat dituliskan sebagai berikut: thit =

............................................... (3.10)

Kriteria penarikan kesimpulan untuk uji-t adalah: Jika thit > tα/2,dbe=n-k atau P-value < α maka tolak H0 Jika thit < tα/2,dbe=n-k atau P-value > α maka terima H0 Uji Stasioneritas Data Data deret waktu dikatakan stasioner jika nilai tengah dan ragamnya konstan dari waktu ke waktu dan peragam (covariance) antara dua data deret waktu hanya tergantung dari lag antara dua periode waktu terebut. Cara yang dilakukan untuk mengatasi data yang tidak stasioner pada nilai tengah menggunakan proses diferensiasi terhadap deret data asli. Data yang tidak stasioner pada ragamnya dapat diatasi dengan mengubah bentuk data asli menjadi bentuk logaritma natural (ln). Apabila data tidak stasioner pada ragam dan nilai tengah dapat dilakukan proses diferensiasi dan transformasi ln atau akar kuadrat. Pengujian stasioneritas data dilakukan dengan menguji akar-akar unit. Pengujian akar unit dapat dilakukan dengan dua metode yaitu: (a) Dickey Fuller Test (DF) dan (b) Augmented Dickey Fuller Test (ADF). a. Dickey Fuller Test (DF) Dickey dan Fuller membangun tiga persamaan regresi yang dapat digunakan untuk menguji akar unit (Enders 1995) yaitu: Model Random Walk: ..................................................... (3.11) Model Random Walk dengan intersep: ................. (3.12) Model Random Walk dengan intersep dan trend: .................................................................. (3.13) Uji Dickey Fuller dilakukan dengan menghitung nilai τ statistik dengan rumus: ................................................................................................ (3.14) Hipotesis yang dibangun untuk pengujian Dickey Fuller adalah: H0: γ = 0 (yt tidak stasioner) H1: γ < 0 (yt stasioner) Nilai τ statistik yang diperoleh dari hasil perhitungan dibandingkan dengan τ McKinnon Critical Values. Data dikatakan stasioner jika τ statistik > τ McKinnon Critical Values, sehingga tolak H0. b. Augmented Dickey Fuller Test (ADF) Pengujian Augmented Dickey Fuller dapat dilakukan dengan menambahkan trend dan intersep. Kriteria penerimaan hipotesis sama seperti pengujian DF dengan membandingkan antara τ statistik dengan τ McKinnon Critical Values. Persamaan Augmented Dickey Fuller Test menurut Enders (1995) dapat dituliskan sebagai berikut:

29 Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran dalam model yang dibangun. Terdapat empat macam uji asumsi klasik yaitu, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Masing-masing dari setiap uji akan dijelaskan sebgai berikut: a. Uji terhadap Multikolinearitas Multikolinearitas adalah salah satu pelanggaran asumsi klasik dalam analisis regresi. Semakin tinggi korelasi antar dua atau lebih variabel-variabel independen dalam sebuah model yang benar, semakin sulit memperkirakan secara akurat koefisien-koefisien pada model yang benar Sarwoko (2005). Ada tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dengan memeriksa koefisien-koefisien korelasi sederhana antar variabel-variabel penjelas. Apabila r adalah tinggi nilai absolutnya, maka diketahui bahwa ada dua variabel penjelas tertentu berkorelasi dan masalah multikolinearitas ada di dalam persamaan tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh untuk mendeteksi adanya multikolinearitas menurut Sarwoko (2005) dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF). VIF merupakan cara untuk mendeteksi multikolinearitas dengan melihat sejauh mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas lainnya. Semakin tinggi VIF suatu variabel tertentu, semakin tinggi varian koefisien estimasi pada variabel tersebut. Pada umumnya multikolinearitas dikatakan berat apabila angka VIF dari suatu variabel melebihi 10. b. Uji terhadap Autokorelasi Pelanggaran asumsi klasik lainnya adalah autokorelasi. Autokorelasi dapat terjadi jika dalam pengamatan-pengamatan yang berbeda tidak terdapat korelasi antar error term. Uji d Durbin-Watson merupakan salah satu cara untuk mendeteksi adanya autokorelasi. Beberapa tahapan untuk melakukan uji DurbinWatson adalah sebagai berikut (Sarwoko 2005): i. Cari nilai residu dengan OLS dari persamaan yang akan diuji dan hitung statistik d dengan menggunakan persamaan: d =

.................. (3.16)

ii. Tentukan ukuran sampel dan jumlah variabel independen, kemudian lihat tabel statistik Durbin-Watson untuk mendapatkan nilai kritis d yaitu nilai DurbinWatson Upper dU dan nilai Durbin-Watson Lower dL. iii. Susun hipotesis Ho dan H1 seperti: Ho : ρ ≤ 0 (tidak ada autokorelasi positif) H1 : ρ > 0 (ada autokorelasi positif) Kriteria keputusan dalam autokorelasi: Tolak Ho, jika d < dL Terima H1, jika d > dU Tidak disimpulkan, jika dL ≤ d ≤ dU Pada keadaan tertentu untuk menguji persamaan beda pertama, uji d dua sisi akan lebih tepat. Langkah-langkah 1 dan 2 tetap dilakukan, sedangkan langkah 3 adalah menyusun hipotesis nol bahwa tidak ada autokorelasi. Ho : ρ = 0 H1 : ρ ≠ 0 Kriteria keputusan dalam autokorelasi:

30 Tolak Ho, jika d < dL Tolak H0, jika d > 4 – dL Terima H1, jika 4 – dU > d > dU Selain tiga hal diatas maka tidak ada kesimpulan c. Uji terhadap Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah pelanggaran asumsi klasik lainnya dalam analisis regresi. Pada analisis regresi seharusnya varian residual bersifat homoskedastik atau bersifat konstan, namun apabila terjadi pelanggaran asumsi klasik, maka varian residual tidak lagi bersifat konstan atau disebut heteroskedastisitas. Terdapat banyak cara untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model menurut Sarwoko (2005) diantaranya adalah, metode grafik nilai residu, uji Goldfeld-Quandt, Uji Glestjer dan uji Park. Pada output komputer dapat menggunakan berbagai macam pilihan uji-uji yang ada sesuai dengan kebutuhan penelitian. d. Uji Normalitas Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah suatu data yang dianalisis menyebar normal atau tidak. Asumsi distribusi normal merupakan asumsi tambahan yang bersifat pilihan bagi variabel disturbance. Pelanggaran asumsi kenormalan terjadi ketika galat (εi) tidak menyebar normal dengan nilai tengah nol dan ragam σ2. Hal ini dapat dilihat dari plot (εt) dengan yang masih berpola. Menurut Sarwoko (2005) untuk menguji hipotesis atau untuk menghitung probabilitas distribusi diperlukan standar distribusi normal. Standar distribusi normal suatu variabel random, Z memiliki nilai rata-rata, u = 0 dan standar deviasi, σ = 1, dapat ditulis Z ~ N(0,12). Analisis Pengaruh Volatilitas Harga Pangan terhadap Indikator Makroekonomi Dampak volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi dianalisis menggunakan error correction model (ECM). ECM adalah model alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah non stasioner dari data deret waktu dan spurious correlation (Thomas 1997). Selain itu, tujuan umum digunakan model ECM untuk mengoreksi perbedaan hasil antara jangka panjang dengan jangka pendek. Manfaat menggunakan ECM adalah informasi yang diperoleh sempurna karena menggabungkan informasi dari jangka pendek maupun jangka panjang. Model ECM dapat digunakan apabila salah satu variabelnya tidak stasioner, tetapi jika semua variabel stasioner maka cukup menggunakan model regresi biasa. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan ECM, semua variabel harus diuji kestasioneran datanya terlebih dahulu. Uji stasioneritas data dapat menggunakan uji DF ataupun ADF seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Setelah melakukan uji stasioneritas data, selanjutnya dilakukan uji kointegrasi. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menunjukkan bahwa persamaan yang dibangun bukan merupakan regresi semu (spurious regression). Apabila model

31 yang dibangun terkointegrasi, maka model dikatakan memiliki hubungan jangka panjang. Menurut Thomas (1997), apabila dua peubah dalam data deret waktu tidak stasioner namun kombinasi linier keduanya stasioner, maka kedua peubah tersebut adalah terkointegrasi. Jika bentuk kombinasi tersebut adalah persamaan, maka dapat dikatakan bahwa persamaan tersebut terkointegrasi dan peubahpeubahnya mencerminkan hubungan jangka panjang. Uji kointegrasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode seperti, Engle-Granger Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test. Metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah metode EngleGranger Cointegration Test. Metode ini dikerjakan melalui dua tahap yaitu, pertama menguji kestasioneran data masing-masing peubah yang ada pada model. Kedua adalah meregresikan peubah dependen dengan peubah penjelas dan kemudian melakukan pengujian terhadap residual dari persamaan regresi tersebut yang dituliskan sebagai berikut: 

u t   1u t 1   c j u t    et …………………………………………...... (3.17) j 1

dimana : ui = residual  = lag optimal dari peubah dependen et = error term Setelah didapatkan hasil pengujian terhadap residual dari persamaan regresi kemudian hasil uji residual tersebut dibandingkan dengan nilai kritis τ McKinnon dengan hipotesis yang dipakai adalah H0 apabila tidak terkointegrasi dan H1 apabila terkointegrasi. Jika hasil uji yang didapat adalah tolak H0 maka ui stasioner dan peubah yang ada pada model terkointegrasi dan regresi antara peubah dependen dan peubah penjelas disebut sebagai regesi yang terkointegrasi. Terdapat dua syarat dalam regresi yang terkointegrasi yaitu syarat perlu dan syarat cukup. Syarat perlu dalam hubungan tersebut adalah peubah yang ada dalam model minimal satu peubah stasioner pada ordo satu (first difference) dan syarat cukup pada hubungan regresi adalah residual harus stasioner (Juanda dan Junaidi 2012). Oleh karena itu peubah-peubah yang ada dalam moodel memiliki hubungan jangka panjang dan dapat dikatakan dalam keadaan long run equilibrium. Persamaan jangka panjang dapat dituliskan sebagai berikut: Y = α + β1X1t+ β2X2t + β3X3t+ ... + βnXnt + et........................................ (3.18) dimana: α β Y X e

= konstanta = koefisien = peubah dependen = peubah penjelas = residual

Model jangka panjang yang diestimasi dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu model inflasi dan model PDB sektor pertanian. Model inflasi dalam jangka panjang adalah: INFt = α + β1VOLTBt + β2VOLTJt + β3VOLTKt + β4EXCt + β5INTt + et....................................................................................................... (3.19)

32 dengan β1> 0, β2> 0, β3> 0, β4 < 0 dan β5 > 0 dimana: INF = inflasi α = konstanta β1-5 = koefisien VOLTBt = volatilitas harga beras pada periode t VOLTJt = volatilitas harga jagung pada periode t VOLTKt = volatilitas harga kedelai pada periode t EXCt = nilai tukar riil pada periode t INTt = suku bunga riil pada periode t et = residual Model PDB sektor pertanian dalam jangka panjang dapat dituliskan sebagai berikut: PDB_Pt = α + β1VOLTBt + β2VOLTJt + β3VOLTKt + β4INV_DNt + β5INV_LNt + β6INTt + β7EXCt + et..................................................................... (3.20) dengan β1>0, β2<0, β3<0, β4<0, β5<0, β6<0, β7>0 dimana: PDB_P = PDB sektor pertanian α = konstanta β 1-7 = koefisien VOLTBt = volatilitas harga beras pada periode t VOLTJt = volatilitas harga jagung pada periode t VOLTKt = volatilitas harga kedelai pada periode t INV_DNt = investasi dalam negeri sektor pertanian pada periode t INV_LNt = investasi luar negeri sektor pertanian pada periode t INTt = suku bunga riil pada periode t EXCt = nilai tukar riil pada periode t et = residual Error Correction Model (ECM) Model ECM memiliki kelebihan yaitu dapat menggabungkan antara jangka panjang dan jangka pendek, sehingga model ini banyak digunakan dalam penelitian-penelitian. Model ECM dapat dibangun dari pembentukan fungsi awal sebagai berikut: Y = f(X1, X2, X3).......................................................................................(3.21) Apabila persamaan 3.21 dirubah ke dalam model linier, maka persamaan baru dapat ditulis sebagai berikut : Y = b0+ b1X1+ b2X2 + b3X3 + u ................................................................(3.22) Persamaan 3.22 akan dibentuk persamaannya menjadi persamaan dinamis yang mengikutsertakan lag atau kelambanan. Persamaan tersebut sering disebut sebagai Error Correction Model yang dijabarkan sebagai berikut: DY= b0+ b1DX1+ b2DX2 + b3DX3+ b4BX1 + b5BX2 + b6BX3 + b7ECT..............................................................................................(3.23) dimana : D = First Difference B = Kelambanan kebelakang (backward lag operator)

33 ECT

= Error Correction Term

Persamann 3.23 dapat dijabarkan sebagai berikut: DYt = b0+ b1DX1t+ b2DX2t + b3DX3t+ b4X1t-1 + b5X2t-1 + b6X3t-1 + b7ECT...........................................................................................(3.24) Indikator makroekonomi yang digunakan adalah inflasi dan PDB sektor pertanian, sehingga model ECM yang dibentuk dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu model ECM untuk inflasi dan model ECM untuk PDB sektor pertanian. Masing-masing model ECM untuk dua indikator makroekonomi yaitu inflasi dan PDB sektor pertanian akan dijelaskan pada bagian berikut. a. Model Inflasi Inflasi berhubungan sangat dekat dengan harga. Apabila harga naik, maka akan terjadi inflasi. Begitu pula halnya dengan komoditas pangan yang hargamya relatif cepat berubah-ubah tergantung pada situasi politik, kebijakan yang diambil pemerintah atau pun situasi perekonomian dunia. Faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan dampak terhadap inflasi adalah volatilitas harga ketiga komoditas pangan, nilai tukar dan suku bunga. Mekanisme hubungan antara inflasi dan volatilitas harga tiga komoditas pangan yaitu volatilitas harga beras, jagung dan kedelai diduga akan berpengaruh positif terhadap inflasi. Hal ini disebabkan harga komoditas yang tinggi akan membuat semakin volatil dan inflasi akan semakin tinggi. Sementara itu, nilai tukar riil diduga akan berpengaruh positif. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang tinggi artinya rupiah terdepresiasi. Rupiah yang terdeprisiasi menyebabkan harga barang-barang semakin tinggi. Tingginya harga barang mengakibatkan inflasi meningkat. Suku bunga riil diduga berpengaruh positif terhadap inflasi. Suku bunga tinggi akan memicu terjadinya inflasi yang tinggi pula. Model ECM secara keseluruhan untuk indikator makroekomi bagian inflasi ditunjukkan pada persamaan 3.25. Sebelum diestimasi menggunakan model ECM, semua variabel independen dalam model ini telah dirubah ke dalam bentuk logaritma natural. INFt = α + β1DVOLTBt + β2DVOLTJt + β3DVOLTKt + β4DEXCt + β5DINTt + β6VOLTBt-1 + β7VOLTJt-1 + β8VOLTKt-1 + β9EXCt-1 + β10INTt-1 ......................................................................................... (3.25) dengan β1>0, β2>0, β3>0, β4>0, β5<0, β6>0, β7>0, β8>0, β9>0 dan β10<0 dimana: α β1-10 D INF VOLTB VOLTJ VOLTK EXC INT

= konstanta = koefisien = perbedaan pertama (first difference) = inflasi pada periode t = volatilitas harga beras pada periode t = volatilitas harga jagung pada periode t = volatilitas harga kedelai pada periode t = nilai tukar riil pada periode t = suku bunga riil pada periode t

34 b. Model PDB sektor pertanian Pertumbuhan ekonomi tercermin dari PDB. Berdasarkan tujuan penelitian ini sektor pertanian merupakan sektor utama yang digunakan, sehingga PDB sektor pertanian merupakan variabel yang dipakai untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi. Variabel yang diduga akan berdampak terhadap PDB sektor pertanian adalah volatilitas harga komoditas, investasi dalam dan luar negeri, suku bunga serta nilai tukar. Volatilitas harga beras, jagung dan kedelai diduga berpengaruh negatif terhadap PDB sektor pertanian. Harga komoditas pangan yang tinggi menyebabkan konsumsi masyarakat berkurang sehingga PDB sektor pertanian akan turun. Investasi dalam dan luar negeri diduga berpengaruh positif terhadap PDB sektor pertanian. Hubungan ini didasari teori makroekonomi yang menyatakan bahwa pertumbuhan atau PDB dipengaruhi oleh investasi, konsumsi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih dengan hubungan yang searah. Suku bunga diduga berpengaruh negatif terhadap PDB sektor pertanian karena suku bunga tinggi menyebabkan investasi relatif rendah, sehingga PDB sektor pertanian akan ikut turun. Nilai tukar rupiah terhadap dollar diduga berpengaruh negatif terhadap PDB sektor pertanian. Nilai tukar rupiah yang tinggi terhadap dollar berarti rupiah terdepresiasi yang menyebabkan harga barang-barang menjadi tinggi. Harga barang tinggi membuat masyarakt mengurangi konsumsi, sehingga PDB sektor pertanian menurun. Semua variabel yang diduga akan berdampak terhadap PDB sektor pertanian telah dirubah ke dalam bentuk logaritma natural. Model ECM secara keseluruhan untuk PDB sektor pertanian diperlihatkan melalui persamaan di bawah ini: PDB_Pt = α + β1DVOLTBt + β2DVOLTJt + β3DVOLTKt + β4DINV_DNt + β5DINV_LNt + β6DINTt + β7DEXCt + β8VOLTBt-1 + β9VOLTJt-1 + β10VOLTKt-1 + β11INV_DNt-1 + β12INV_LNt-1 + β13INTt-1 + β14EXCt-1..................................................................................... (3.26) dengan β1>0, β2<0, β3<0, β4<0, β5<0, β6<0, β7>0, β8>0, β9<0, β10<0, β11<0, β12>0, β13<0, dan β14>0 dimana: α β 1-14 D PDB_P VOLTB VOLTJ VOLTK INV_DN INV_LN INT EXC

= konstanta = koefisien = perbedaan pertama (first difference) = PDB sektor pertanian pada periode t = volatilitas harga beras pada periode t = volatilitas harga jagung pada periode t = volatilitas harga kedelai pada periode t = investasi dalam negeri sektor pertanian pada periode t = investasi luar negeri sektor pertanian pada periode t = suku bunga riil pada periode t = nilai tukar riil pada periode t

35

4 ANALISIS VOLATILITAS HARGA PANGAN Deskripsi Data Data yang dianalisis dalam volatilitas harga pangan adalah data harga beras, jagung, dan kedelai. Perkembangan data harga ketiga komoditas pangan tersebut dijelaskan secara deskriptif melalui Tabel 1 berikut. Data harga pangan memiliki variasi yang cukup beragam seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Statistik deskriptif variabel harga beras, jagung, dan kedelai Variabel Mean Std. Skewness Kurtosis Max Min Deviasi Harga Beras 0.010094 0.029084 2.213539 13.82839 0.203988 -0.0992 Harga Jagung 0.009221 0.029895 1.366879 12.46960 0.196433 -0.1415 Harga Kedelai 0.008503 0.026186 3.101195 19.13294 0.187251 -0.0596 Berdasarkan Tabel 1, nilai kurtosis untuk ketiga variabel bernilai lebih dari tiga. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa data yang dianalisis memiliki masalah heteroskedastisitas. Nilai kurtosis lebih dari tiga berarti bahwa distribusi variabel ekonomi yang dianalisis memiliki ekor yang lebih padat dibandingkan distribusi normal. Nilai kemenjuluran (skewness) dari semua data harga pangan adalah lebih besar dari nol. Hal tersebut bermakna bahwa distribusi data yang ada memiliki distribusi data yang miring ke kanan yang berarti data cenderung menumpuk pada nilai yang rendah. Nilai maksimum yang terbesar terdapat pada harga beras dan nilai minimum yang terkecil terdapat pada harga kedelai. Data harga pangan yang diestimasi merupakan data return karena dihitung berdasarkan rasio harga saat ini dan masa lalu menggunakan logaritma natural. Volatilitas Harga Pangan di Indonesia Model ARCH-GARCH Model ARCH-GARCH dapat dibangun setelah melalui beberapa tahapan estimasi. Pertama adalah melakukan uji stasioneritas terhadap data yang akan dianalisis. Kedua melakukan identifikasi model Box-Jenkins (AR, MA, ARMA dan ARIMA) dengan memperhatikan hasil uji stasioneritas. Ketiga adalah melakukan uji efek ARCH dari model Box-Jenkins yang telah dipilih. Uji efek ARCH akan menentukan apakah model yang dipilih dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan model ARCH-GARCH. Keempat adalah estimasi model ARCHGARCH dengan memilih model terbaik. Terakhir adalah evaluasi model menggunakan uji normalitas dan melakukan uji ARCH-LM untuk mengetahui model ARCH-GARCH yang dipilih sudah terbebas dari efek ARCH. Apabila diinginkan dapat dilakukan peramalan terhadap model ARCH-GARCH agar dapat menentukan kebijakan yang akan diambil untuk langkah selanjutnya.

36 Data harga pangan yang akan diestimasi nilai volatilitasnya terlebih dahulu diuji kestasioneran datanya. Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan melihat grafik, korelogram ataupun melakukan uji akar unit. Uji akar unit dapat menggunakan banyak alat uji, salah satunya adalah Augmented Dickey Fuller Test (ADF). Uji stasioneritas penting dilakukan pada data runtut waktu agar data yang dihasilkan mudah diduga dan tidak bias. Uji stasioneritas dapat dilakukan pada tingkat level, first difference dan second difference. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa variabel harga beras, jagung, dan kedelai stasioner pada level. Hal ini dikarenakan nilai t-statistik ADF lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon pada tingkat 5 persen. Hasil uji ADF Test secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung dan kedelai periode Januari 1985-Desember 2011 Variabel ADF t-statistic Nilai Kritis MacKinnon Harga Beras -11.44791 -2.870302 Harga Jagung -12.42866 -1.941811 Harga Kedelai -8.663466 -1.941811 Sumber: Lampiran 1 Model Box-Jenkins ditentukan setelah dilakukan uji stasioneritas. Beberapa model Box-Jenkins yaitu Auto Regressive (AR), Moving Average (MA), Auto Regressive Moving Average (ARMA) dan Auto Regressive Integrated Moving Average (ARIMA). Apabila data stasioner pada level, maka pendugaan model menggunakan ARMA, akan tetapi jika data stasioner pada first difference menggunakan ARIMA. Hasil pendugaan model ARMA terbaik untuk data harga beras, jagung dan kedelai dapat dilihat pada Tabel 3. Model terbaik dipilih setelah melakukan beberapa simulasi model ARMA. Kriteria pemilihan model ARMA berdasarkan pada koefisien estimasi yang signifikan, memiliki R-Squared dan adjusted R-Squared terbesar, nilai AIC dan SIC terkecil, serta nilai Standard Error of Regression dan Sum Square Residual yang relatif kecil. Tabel 3 Model ARMA terbaik Variabel Model ARMA Terbaik Harga Beras ARMA (1,2) Harga Jagung MA (4) Harga Kedelai ARMA (1,1) Sumber: Lampiran 2 Model ARCH-GARCH dapat digunakan untuk menghitung volatilitas jika terdapat efek ARCH pada model ARMA yang telah dipilih. Pengujian efek ARCH dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya masalah heteroskedastisitas pada ketiga variabel harga. Hasil pengujian efek ARCH pada Tabel 4 menunjukkan bahwa semua variabel harga komoditas pangan memiliki masalah heteroskedastisitas karena efek ARCH ditemukan pada setiap model. Efek ARCH yang ditemukan pada setiap model terbaik mengindikasikan bahwa volatilitas yang dihitung bervariasi antar waktu. Ada atau tidaknya efek ARCH ditunjukkan dari nilai probabilitas pada setiap variabel harga pangan. Probabilitas setiap harga

37 pangan bernilai kurang dari taraf nyata 5 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas pada setiap variabel harga pangan. Masalah heteroskedastisitas dapat diselesaikan menggunakan model ARCHGARCH. Tabel 4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan kedelai Variabel Model ARIMA F-Statistik Probabilitas Terbaik Harga Beras ARMA (1,2) 7.510126 0.0065 Harga Jagung MA (4) 46.24538 0.0000 Harga Kedelai ARMA (1,1) 31.95259 0.0000 Sumber: Lampiran 3 Ada tidaknya efek ARCH dalam model ARMA akan menentukan model tersebut untuk analisis selanjutnya menggunakan ARCH-GARCH. Berdasarkan Tabel 4, semua harga komoditas pangan memiliki efek ARCH, sehingga dapat dilakukan analisis volatilitas menggunakan ARCH-GARCH. Model ARCHGARCH terbaik dipilih berdasarkan kriteria yaitu, semua koefisien signifikan dalam persamaan ragam, memiliki nilai Log-Likelihood terbesar, nilai AIC serta SIC terkecil, dan memiliki nilai yang positif untuk semua koefisien pada persamaan ragam. Berdasarkan kriteria yang ada, maka model ARCH-GARCH yang dipilih untuk masing-masing variabel harga pangan diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung, dan kedelai Variabel Model ARCH/GARCH Terbaik Harga Beras ARCH (1) Harga Jagung ARCH (2) Harga Kedelai ARCH (2) Sumber: Lampiran 4 Berdasarkan Tabel 5, model ARCH merupakan model terbaik bagi ketiga komoditas pangan yang diteliti. Setelah memilih model ARCH-GARCH terbaik, hal selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap model tersebut. Evaluasi model dapat dilakukan melalui uji normalitas dengan memperhatikan nilai statistik Jarque-Bera. Hasil uji statistik Jarque-Bera dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai Jarque-Bera signifikan secara statistik yang berarti error model terdistribusi tidak normal. Semua model ARCH-GARCH pada masing-masing variabel diuji normalitasnya dan menunjukkan bahwa error pada semua model ARCH-GARCH terdistribusi tidak normal, sehingga model ARCH-GARCH yang ditampilkan pada Tabel 5 masih menjadi model terbaik. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidaknormalan error dengan menggunakan metode Heteroscedasticity Consistant Covariance Boolerslev-Wooldrige.

38 Tabel 6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga beras, jagung, dan kedelai Variabel Jarque Bera Probabilitas Harga Beras 352.658 0.000000 Harga Jagung 1157.433 0.000000 Harga Kedelai 1219.849 0.000000 Sumber: Lampiran 9 Langkah selanjutnya yang dilakukan untuk mengevaluasi model ARCHGARCH yang didapatkan dengan melakukan uji ARCH-LM. Uji ARCH-LM bertujuan untuk mengetahui bahwa model yang dipilih sudah terbebas dari efek ARCH. Tabel 7 memperlihatkan hasil dari uji ARCH-LM. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa nilai probabilitas lebih besar dari tingkat kepercayaan (α) 5 persen, sehingga model sudah terbebas dari efek ARCH. Tabel 7 Hasil uji ARCH-LM terhadap model ARCH-GARCH untuk variabel harga beras, jagung, dan kedelai Variabel Probabilitas F Harga Beras 0.2595 Harga Jagung 0.2532 Harga Kedelai 0.3741 Sumber: Lampiran 3 Volatilitas Harga Berdasarkan hasil estimasi model ARCH-GARCH yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ketiga komoditas pangan dapat dianalisis volatilitasnya. Hal ini dikarenakan ketiga model ARCH-GARCH yang dibangun memiliki efek ARCH. Nilai volatilitas yang didapatkan dari ketiga komoditas tersebut bervariasi. Penyajian hasil estimasi nilai volatilitas harga pangan ditampilkan dalam bentuk grafis. Volatilitas Harga Beras Volatilitas harga beras pada Gambar 7 dimulai pada Januari 1985 hingga Desember 2011. Volatilitas harga beras selalu bergerak di atas rataannya kecuali pada tahun 1989 hingga 1994, tahun 2001 serta tahun 2003 hingga 2004. Volatilitas harga beras Indonesia mencapai puncaknya antara tahun 1998 hingga 1999. Pada rentang waktu tersebut volatilitas harga beras mencapai lebih dari empat standar deviasi. Setelah periode tersebut, volatilitas mulai menurun hingga akhir tahun 2001. Pada tahun 2002, volatilitas kembali meningkat dengan nilai mencapai dua standar deviasi, namun kembali turun sampai tahun 2004. Volatilitas mencapai empat standar deviasi terjadi pada tahun 2005. Pada tahun berikutnya volatilitas kembali turun dengan nilai kurang dari dua standar deviasi walaupun berada tetap diatas nilai rataannya. Volatilitas harga beras tertinggi terjadi pada tahun 1998 hingga 1999, hal ini karena Indonesia mengalami krisis perekonomian yang menyebabkan kenaikan harga terutama pada bahan pangan meningkat signifikan. Peningkatan harga yang

39 tidak terkendali pada periode tersebut disebabkan adanya risiko dan ketidakpastian, sehingga baik konsumen maupun produsen berusaha untuk menyimpan stok bahan pangan yang mengakibatkan kelangkaan barang di pasaran. Kelangkaan tersebut menyebabkan harga menjadi tidak terkendali, sehingga timbul volatilitas harga. Krisis ekonomi menyebabkan harga pangan diserahkan pada pasar, sehingga selalu terjadi volatilitas harga. Krisis pangan dunia terjadi antara tahun 2007 hingga 2008 dan menimbulkan volatilitas harga pangan internasional, namun komoditas beras relatif tidak berpengaruh. Hal ini disebabkan konsumsi dan produksi beras terbesar terdapat di Asia, sehingga perdagangan beras internasioanl hanya terjadi dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan bahan pangan lainnya seperti gandum. Indonesia merupakan negara yang tidak menerima pengaruh krisis pangan untuk komoditas beras, hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya volatilitas harga beras Indonesia yang kurang dari dua standar deviasi seperti yang terdapat pada Gambar 7. 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 1985M01 1986M01 1987M01 1988M01 1989M01 1990M01 1991M01 1992M01 1993M01 1994M01 1995M01 1996M01 1997M01 1998M01 1999M01 2000M01 2001M01 2002M01 2003M01 2004M01 2005M01 2006M01 2007M01 2008M01 2009M01 2010M01 2011M01

0

Volatilitas

Mean

(+) 2Stdev

(+) 4Stdev

Gambar 7 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 1985-2011 Volatilitas Harga Jagung Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985 hingga 2011 ditunjukkan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, nilai volatilitas harga jagung bergerak dibawah nilai rataannya kecuali pada tahun 1987 hingga 1989, 1997 hingga 1999, dan 2002. Beberapa periode berikutnya yaitu Januari 1990 hingga Desember 2011, nilai volatilitas berada dibawah dua standar deviasi kecuali pada Januari 1997 hingga 1999 dan Januari 2002. Pada tahun 2002, volatilitas harga jagung mencapai puncaknya dengan nilai melebihi empat standar deviasi. Dua periode sebelumnya yaitu tahun 1997 hingga 1999, nilai volatilitas relatif tinggi yaitu melebihi dua standar deviasi, bahkan pada Januari 1999 nilai volatilitas jagung lebih dari empat standar deviasi. Volatilitas harga jagung mengalami dua kali peningkatan yang signifikan pada tahun 1997 hingga 1999 dan tahun 2002. Kondisi ini sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan yang terjadi pada volatilitas harga beras yang mengalami

40 peningkatan relatif tinggi hanya pada saat krisis ekonomi tahun 1998 hingga 1999. Volatilitas harga jagung juga meningkat saat krisis ekonomi tahun 1997 hingga 1999. Kondisi ini terjadi karena ketidakstabilan ekonomi dan politik, sehingga pasar memberikan respon negatif yang menyebabkan harga berfluktuasi tinggi. Pada tahun 2001 hingga 2002 harga internasional komoditas jagung mengalami peningkatan, harga jagung mulai meningkat setelah tahun 2000, sejalan dengan peningkatan harga jagung di pasar dunia yang dipacu oleh peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku untuk industri bahan bakar nonmigas atau nabati (Kasryno et al. 2010) sehingga harga jagung domestik juga ikut meningkat yang menyebabkan permintaan jagung turun. Pada tahun 2001-2002, ekspor jagung dari Amerika Serikat turun, sehingga mempengaruhi harga dunia, dan impor jagung Indonesia berasal dari Amerika Serikat (USDA 2013). 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005

1985M01 1986M01 1987M01 1988M01 1989M01 1990M01 1991M01 1992M01 1993M01 1994M01 1995M01 1996M01 1997M01 1998M01 1999M01 2000M01 2001M01 2002M01 2003M01 2004M01 2005M01 2006M01 2007M01 2008M01 2009M01 2010M01 2011M01

0

Volatilitas

Mean

(+) 2Stdev

(+) 4Stdev

Gambar 8 Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985-2011 Volatilitas Harga Kedelai Pergerakan volatilitas harga kedelai ditunjukkan pada Gambar 9. Volatilitas harga kedelai mengalami peningkatan yang cukup siginifikan pada tahun 1998 hingga 1999 dan tahun 2008. Pada awal tahun 1985 hingga 1997, volatilitas harga kedelai relatif kecil dan cenderung stabil, walaupun pada periode tersebut volatilitas bergerak pada nilai rataannya. Volatilitas yang cenderung stabil disebabkan semua harga komoditas pangan dikendalikan oleh pemerintah. Nilai volatilitas pada tahun 1985 sampai 1997 kurang dari dua standar deviasi, namun pada tahun 1998 hingga 1999 dan 2008 nilai volatilitas melebihi empat standar deviasi. Pada periode setelah tahun 1999 dan 2008 nilai volatilitas kembali berada di bawah dua standar deviasi. Pada Gambar 9, nilai volatilitas yang relatif tinggi terjadi pada dua periode yaitu tahun 1998 dan tahun 2008. Pada tahun 1998 Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi dan sebagian besar komoditas pangan mengalami volatilitas harga yang relatif tinggi pada tahun tersebut. Pada tahun 2008 dunia internasional sedang mengalami krisis pangan dan kedelai sebagai salah satu pangan pokok dunia mengalami peningkatan harga yang tinggi. Krisis pangan internasional juga

41 berdampak terhadap harga dalam negeri yang ikut mengalami kenaikan. Komoditas kedelai di Indonesia merupakan komoditas impor, sehingga harga dalam negeri dipengaruhi oleh harga internasional. Produksi kedelai Indonesia yang relatif sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri yang tinggi, sehingga kedelai harus diimpor dari luar negeri dengan negara eksportir utama adalah Amerika Serikat. Konsumsi kedelai di Indonesia dalam setahun mencapai 2,25 juta ton, sementara jumlah produksi nasional mampu memasok kebutuhan kedelai hanya sekitar 779 ribu ton. Kekurangan pasokan sekitar 1,4 juta ton, ditutup dengan kedelai impor dari Amerika Serikat (Nugrayasa 2013). Produksi kedelai dalam negeri ternyata belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan domestik dalam setahun, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai dari Amerika Serikat (AS) dan Brazil yang mencapai 70-80% dari total kebutuhan. 0.016 0.014 0.012 0.01 0.008 0.006 0.004 0.002 1985M01 1986M02 1987M03 1988M04 1989M05 1990M06 1991M07 1992M08 1993M09 1994M10 1995M11 1996M12 1998M01 1999M02 2000M03 2001M04 2002M05 2003M06 2004M07 2005M08 2006M09 2007M10 2008M11 2009M12 2011M01

0

Volatilitas

Mean

(+) 2Stdev

(+) 4Stdev

Gambar 9 Volatilitas harga kedelai Indonesia tahun 1985-2011 Ketiga harga komoditas memiliki volatilitas yang beragam, hal ini berarti mengindikasikan bahwa harga ketiga bahan pangan pokok tersebut memiliki risiko serta ketidakpastian yang relatif tinggi baik bagi produsen maupun konsumen. Dalam dunia internasional, volatilitas harga pangan telah terjadi sejak beberapa tahun dan berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa harga pangan pokok di Indonesia juga mengalami volatilitas. Volatilitas harga yang cukup tinggi terjadi pada saat krisis ekonomi untuk ketiga komoditas pangan pokok. Hal ini wajar karena inflasi yang tinggi, nilai tukar rupiah terhadap dollar yang rendah dan timbulnya kondisi politik yang tidak stabil membuat harga pangan pokok menjadi tidak terkendali. Volatilitas harga pangan pokok yang tinggi juga terjadi pada saat krisis pangan internasional terutama pada komoditas kedelai. Perbandingan Volatilitas Tiga Komoditas Pangan Volatilitas harga beras, jagung dan kedelai dihitung menggunakan model ARCH-GARCH dengan ukuran yang dipakai adalah standar deviasi. Ukuran

42 volatilitas yang semakin tinggi menunjukkan bahwa komoditas tersebut lebih tidak stabil harganya. Ketidak stabilan harga komoditas dipengaruhi oleh permintaan dan penawarannya serta kebijakan yang diterapkan. Ketiga komoditas dalam penelitian ini merupakan kelompok makanan pokok, sehingga sangat penting untuk diketahui perbandingan volitilitas ketiganya. Hasil perhitungan volatilitas dari ketiga komoditas pangan ini akan dibandingkan berdasarkan periode waktu. Periode waktu yang digunakan dibedakan menjadi dua yaitu masa sebelum krisis dan setelah krisis ekonomi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan situasi ekonomi dan politik yang menyebabkan perubahan arah kebijakan. Periode sebelum krisis dimulai dari tahun 1985 hingga 1997, sedangkan periode setelah krisis dimulai dari tahun 1998 sampai 2011. Pada periode sebelum krisis, volatilitas harga ketiga komoditas berada di bawah dua standar deviasi hingga tahun 1997, kecuali volatilitas harga jagung yang nilainya melebihi dua standar deviasi (Gambar 7, 8 dan 9). Volatilitas harga ketiga komoditas dalam periode sebelum krisis relatif rendah hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan stabilisasi harga untuk beras (Timmer 2009), kondisi harga jagung yang stabil (Kasryno et al. 2010), dan harga kedelai yang juga stabil karena masih dalam kendali BULOG (Amang et al. 1996). Volatilitas yang relatif tinggi terjadi pada periode setelah krisis ekonomi. Krisis ekonomi di Indonesia dimulai pada tahun 1998 sehingga pada periode ini harga-harga pangan melonjak dan menjadi tidak terkendali. Harga pangan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar karena pemerintah sudah tidak mampu untuk mengelola pasar. Akibat yang ditimbulkan dari pengelolaan harga oleh pasar adalah harga pangan yang berfluktuasi yang dapat menimbulkan volatilitas. Volatilitas ketiga harga pangan pada tahun 1998-1999 melebihi empat standar deviasi, namun beras merupakan komoditas yang memiliki volatilitas harga tertinggi. Pada tahun 2002, volatilitas harga jagung melebihi empat standar deviasi dan menjadi komoditas dengan volatilitas tertinggi pada tahun tersebut dibanding dua komoditas lainnya. Pada tahun 2008, volatilitas harga kedelai merupakan yang tertinggi karena nilainya berada di atas empat standar deviasi, sedangkan dua komoditas lainnya yaitu beras dan jagung memiliki nilai di bawah dua standar deviasi (Gambar7, 8 dan 9). Berdasarkan keterangan di atas, maka volatilitas harga komoditas yang tertinggi pada masa sebelum krisis adalah jagung, sedangkan masa setelah krisis berbeda-beda untuk tiga tahun yang berbeda. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan Volatilitas Harga Beras Hasil perhitungan untuk volatilitas harga beras terhadap nilai tukar riil, harga minyak dunia, suku bunga riil, produksi beras domestik, harga beras dunia dan iklim ditunjukkan pada Tabel 8. Variabel iklim didekati menggunakan variabel curah hujan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan curah hujan dapat menggambarkan perubahan iklim yang terjadi saat ini. Dua unsur utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia sebagai daerah tropis ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujannya cukup besar. Oleh karena itu curah hujan merupakan unsur iklim yang paling

43 sering diamati dibandingkan dengan suhu (Hermawan 2010). Beberapa peneliti yang mengkaji iklim Indonesia berdasarkan curuh hujan rata-rata bulanan wilayah Indonesia menurut Aldrian (2000) adalah Braak (1921); Depperman (1941); Preedy (1966). Model ARCH-GARCH yang dipilih untuk menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras adalah GARCH (1,2). Model ini telah terbebas dari multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Model volatilitas harga beras dan faktor-faktornya memiliki nilai R-Square sebesar 0.19 yang artinya model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga minyak dunia (OIL), suku bunga riil (INT), produksi beras (PRODB) dan curah hujan (WTH) sebesar 19 persen dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Berdasarkan Tabel 8, variabel yang berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 5 persen adalah variabel nilai tukar riil, harga minyak dunia, suku bunga riil, dan produksi beras. Koefisien nilai tukar riil bertanda positif yang berarti apabila nilai tukar riil naik sebesar 1 persen maka volatilitas harga beras akan naik sebesar 0.51 persen. Nilai tukar riil memiliki elastisitas yang bernilai kurang dari satu, sehingga nilai tukar riil bersifat inelastis dalam merespon adanya perubahan dari volatilitas harga beras. Tabel 8

Model volatilitas mempengaruhinya Variabel

harga

C EXC OIL INT WORLDB PRODB WTH R-Squared = 0.194538 Adjusted R-Squared = 0.168639 Sumber: Lampiran 4

beras

Koefisien 1.972619 0.516912 0.601176 -0.020255 0.223926 -0.978705 -0.032853

dengan

faktor-faktor

yang

Probabilitas 0.7073 0.0061 0.0001 0.0026 0.3833 0.0140 0.1874

Hubungan antara nilai tukar riil dan volatilitas harga beras adalah positif berdasarkan penelitian ini dan sejalan dengan penelitian Roache (2010); Wilson (2012); Braun dan Tadesse (2012). Roache menyatakan bahwa kenaikan volatilitas nilai tukar dollar Amerika Serikat berdampak positif terhadap variasi harga pangan. Menurut Wilson, nilai tukar berjalan menunjukkan pengaruh positif terhadap harga pangan, tetapi berpengaruh negatif untuk nilai tukar yang lalu. Hubungan positif hanya terjadi pada jangka pendek menurut Braun dan Tadesse. Berdasarkan Braun dan Tadesse, nilai tukar memiliki peran penting dalam perdagangan internasional negara-negara berkembang. Alasan yang mendasari hal ini karena melalui perdagangan komoditas pertanian, negara-negara berkembang akan mendapatkan sumber devisa yang besar. Oleh karena itu dalam jangka pendek, nilai tukar berpengaruh positif terhadap harga komoditas karena harga komoditas dunia yang tinggi akan meningkatkan devisa negara. Kenaikan harga komoditas pada jangka pendek tidak akan memberikan hasil yang lebih baik lagi

44 jika berlangsung dalam waktu lama karena dapat menimbulkan spekulasi. Spekulasi mengakibatkan harga menjadi berfluktuasi begitu pula dengan investasi pada produk pertanian, sehingga pada jangka panjang nilai tukar dapat mengalami volatilitas. Sebagian besar perdagangan internasional komoditas pertanian menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Nilai mata uang dollar AS mengalami depresiasi terutama pada tahun 2006 hingga 2008. Depresiasi mata uang dollar AS tersebut mengakibatkan harga produk pertanian meningkat )Abbot et al. 2008; Mitchell 2008; Timmer 2009; Gilbert 2010; Tangermann 2011). Menurut Abbot et al. (2008), pada kurun waktu 2002-2007, dollar AS terdepresiasi 22 persen, sehingga ekspor biji-bijian meningkat dengan nilai ekspor meningkat sebesar 54 persen, dan harga komoditas di AS meningkat. Menurut Timmer (2009), terdepresiasinya mata uang dollar AS, mengakibatkan terjadinya kenaikan spekulasi keuangan di pasar komoditas. Hal ini langsung terkait dengan harga komoditas, sehingga harga berpotensi menjadi lebih volatil, namun untuk kasus beras menurut Timmer, dalam jangka pendek sulit dijelaskan. Berbagai hasil penelitian tentang hubungan nilai tukar dan volatilitas harga tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan nilai tukar dan volatilitas harga pangan bersifat kasus per kasus dimana masing-masing dalam kondisi yang spesifik, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan yang berlaku umum. Miguez dan Michelena (2011) menjelaskan bahwa volatilitas enam komoditi pangan di Argentina yang diteliti tidak dapat dijelaskan dengan faktor yang sama. Selain itu, volatilitas harga adalah suatu fenomena komplek yang penyebabnya tidak dapat ditentukan oleh satu variabel. Pasar beras dunia merupakan pasar yang “tipis” sehingga transaksi beras di pasar dunia lebih bersifat kontrak, bukan pasar bebas, Gilbert dan Morgan (2010) menyebutnya sebagai pasar yang terpisah dengan jenis pangan lainnya, artinya perubahan harga beras dangan jenis pangan lain relatif kecil ditransmisikan, vice versa. Atas dasar sifat beras tersebut, maka bagi negara konsumen beras utama, beras lebih menjadi isu politik dibanding isu ekonomi, sehingga bagaimanapun volatilitas harga beras terus diupayakan kestabilannya (Timmer 2009). Harga minyak dunia bertanda positif dengan nilai koefisien sebesar 0.60 yang berarti jika harga minyak dunia meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga beras akan naik 0.60 persen. Elastisitas harga minyak dunia kurang dari satu, sehingga harga minyak dunia tidak elastis dalam merespon adanya perubahan dari volatilitas harga beras. Minyak merupakan sumber energi terbanyak yang digunakan oleh seluruh negara. Peningkatan harga minyak dunia merupakan penyebab utama krisis pangan yang terjadi pada tahun 1970-an dan 2006-2008. Hal ini disebabkan oleh dua faktor (Tangerman 2011) yaitu, pertama minyak dunia berhubungan erat dengan biaya produksi pertanian. Minyak dunia merupakan bahan baku pembuatan pupuk, sehingga jika harga minyak dunia meningkat maka harga pupuk akan ikut meningkat dan mengakibatkan biaya produksi untuk pertanian ikut meningkat. Biaya produksi pertanian yang tinggi menyebabkan harga produk pertanian menjadi tinggi pula, sehingga volatilitas harga pangan tidak dapat dihindarkan. Kedua, harga minyak dunia yang semakin tinggi membuat para pelaku kebijakan beralih menggunakan energi terbarukan (bio-energi) yang berasal dari

45 tanaman pangan (Harri et al. 2009). Permintaan yang meningkat terhadap bioenergi menjadikan tanaman pangan diproduksi untuk menyediakan kebutuhan bagi energi terbarukan tersebut dibandingkan konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, penawaran terhadap tanaman pangan untuk konsumsi berkurang sedangkan permintaan tetap, sehingga harga pangan meningkat dan membuat harga berfluktuasi. Suku bunga memiliki tanda negatif dengan koefisien bernilai 0.02. Koefisien yang negatif berarti memiliki hubungan terbalik antara variabel dependen dan independen. Jika suku bunga turun sebesar 1 persen, maka volatilitas harga beras akan naik sebesar 0.02 persen. Elastisitas suku bunga cenderung tidak elastis karena memiliki nilai kurang dari satu. Suku bunga memiliki pengaruh negatif terhadap volatilitas berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roache (2010). Suku bunga rendah menjadikan investor beralih untuk menginvestasikan dananya kedalam bentuk investasi fisik dibandingkan bentuk liquid (Tangermann 2011; Miguez dan Michelena 2011) seperti investasi di bidang pertanian. Investasi ini menyebabkan produksi pertanian meningkat, sehingga dari sisi penawaran harga produk pertanian akan meningkat. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Irawan (2005) yang menyatakan bahwa investasi dalam jangka panjang akan meningkatkan harga output. Produksi beras memiliki tanda koefisien yang berbeda dibandingkan dengan nilai tukar riil dan harga minyak dunia. Koefisien produksi beras bertanda negatif dengan nilai 0.97 yang menunjukkan bahwa jika produksi beras naik 1 persen, maka volatilitas harga beras akan turun sebesar 0.97 persen. Nilai elastisitas produksi beras adalah kurang dari satu yang berarti produksi beras bersifat inelastis dalam merespon perubahan volatilitas harga beras. Produksi beras yang tinggi menyebabkan ketersediaan beras cukup banyak di pasaran. Melimpahnya persediaan beras membuat harga beras akan turun jika tambahan produksi lebih besar dibandingkan tambahan permintaan, sehingga volatilitas relatif kecil. Produksi beras yang cenderung stabil akan membuat harga beras stabil, sehingga pada musim paceklik pemerintah mengupayakan impor beras untuk menjaga kestabilan produksi beras agar harga beras tetap stabil. Sebaliknya pada musim panen pemerintah akan menyimpan beras agar dapat digunakan saat musim paceklik. Oleh karena itu untuk mengelola volatilitas harga beras, peranan manajemen stok sangat penting, seperti yang dikemukakan oleh Timmer (1996). Volatilitas Harga Jagung Jagung adalah salah satu bahan pangan pokok alternatif selain beras bagi masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Madura dan Indonesia Timur. Kebutuhan jagung di Indonesia sebagian masih bergantung pada impor dan sisanya merupakan produksi dalam negeri. Jagung selain digunakan untuk konsumsi juga untuk makanan ternak serta biofuel. Model volatilitas harga jagung dengan menggunakan model ARCHGARCH terdapat pada Tabel 9. Model ARCH-GARCH yang dipilih untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga jagung adalah model TARCH dengan memasukkan logaritma GARCH sebagai variabel bebas

46 dan menambahkan harga jagung dunia kedalam model varian error-nya. Model TARCH yang dipilih sudah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, autokorelasi dan, multikolinearitas. Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.59 yang artinya model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga minyak dunia (OIL), suku bunga riil (INT), harga jagung dunia (WORLDJ) produksi jagung domestik (PRODJ) dan curah hujan (WTH) sebesar 59 persen dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga jagung pada taraf nyata 5 persen yaitu nilai tukar riil, suku bunga riil dan produksi jagung. Variabel yang memiliki pengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen adalah harga jagung dunia. Nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Nilai tukar riil memiliki koefisien sebesar 0.42 dengan parameter bertanda positif. Apabila nilai tukar riil meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung meningkat sebesar 0.42 persen. Koefisien dalam persamaan jangka panjang menjelaskan tentang elastisitas. Elastisitas nilai tukar rupiah bernilai kurang dari satu, artinya nilai tukar riil bersifat inelastis dalam merespon adanya perubahan dari volatilitas harga jagung. Tabel 9

Model volatilitas harga jagung mempengaruhinya Variabel Koefisien LOG(GARCH) 0.723448 C -5.314110 EXC 0.421632 OIL 0.096857 INT -0.019169 WORLDJ 0.943353 PRODJ -0.337454 WTH -0.030831 R-Squared = 0.592381 Adjusted R-Squared = 0.576602 Sumber: Lampiran 4

dengan

faktor-faktor

yang

Probabilitas 0.0000 0.0011 0.0052 0.5185 0.0000 0.0582 0.0048 0.2303

Mata uang dollar Amerika Serikat merupakan alat utama yang banyak digunakan dalam transaksi perdagangan internasional termasuk pertanian. Nilai mata uang dollar Amerika Serikat terhadap beberapa mata uang domestik seperti rupiah mengalami depresiasi pada tahun 2006. Depresiasi dollar Amerika Serikat menyebabkan harga meningkat bagi produsen maupun konsumen di Amerika, namun penurunan harga untuk pelaku ekonomi diluar pengguna mata uang dollar Amerika Serikat. Depresiasi suatu mata uang juga menyebabkan perubahan daya beli konsumen (Gilbert dan Morgan 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai tukar riil berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga jagung dengan tanda positif. Nilai tukar rupiah yang tinggi terhadap dollar Amerika menyebabkan harga jagung di dalam negeri ikut meningkat karena sebagian besar jagung untuk konsumsi dalam negeri masih impor. Hasil penelitian ini senada dengan Kariyasa dan Sinaga (2004) yang

47 menyatakan bahwa nilai tukar rupiah merupakan peubah utama yang berpengaruh terhadap volume impor jagung Indonesia. Atas dasar hal tersebut secara teoritis jika rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika, maka permintaan impor jagung akan berkurang, dan sebaliknya. Hal ini berarti fluktuasi harga jagung yang menggambarkan volatilitas harganya dipengaruhi oleh nilai tukar. Suku bunga riil berpengaruh negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar 0.01. Arti dari koefisien yang bertanda negatif yaitu jika suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung akan turun sebesar 0.01 persen. Elastisitas yang dimiliki oleh suku bunga riil adalah inelastis karena bernilai kurang dari satu. Suku bunga tinggi mengakibatkan peningkatan penawaran atau menurunkan permintaan barang yang dapat disimpan. Berdasarkan Frankel (2006) adanya kontraksi moneter menyebabkan meningkatnya suku bunga. Harga riil komoditas turun hingga dinyatakan tidak mempunyai nilai kembali. Arti dari tidak bernilainya suatu barang apabila terjadi apresiasi nilai suatu barang di masa depan yang dapat mengimbangi turunnya suku bunga. Harga jagung dunia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas harga jagung pada tingkat kepercayaan sebesar 10 persen. Koefisien harga jagung dunia bertanda positif dengan nilai sebesar 0.94. Arti dari koefisien sebesar 0.94 adalah jika harga jagung dunia meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung dunia meningkat sebesar 0.94 persen. Nilai koefisien harga jagung dunia yang bernilai kurang dari satu menunjukkan bahwa harga jagung dunia bersifat inelastis dalam merespon adanya perubahan pada volatilitas harga jagung. Harga jagung dunia yang meningkat terutama pada saat terjadinya krisis pangan menyebabkan harga jagung dalam negeri ikut terpengaruh. Harga jagung domestik juga meningkat karena sebagian besar kebutuhan jagung dalam negeri masih dipenuhi dari impor, sehingga volatilitas relatif tinggi. Koefisien produksi jagung sebesar 0.33 dan bertanda negatif yang artinya jika produksi jagung meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung akan turun sebesar 0.33 persen. Elastisitas yang dihasilkan menunjukkan bahwa produksi jagung tidak elastis terhadap perubahan volatilitas haga jagung karena elastisitas yang bernilai kurang dari satu. Produksi jagung yang tinggi membuat jagung banyak tersedia di pasaran sehingga harga jagung akan turun. Turunnya harga jagung menyebabkan volatilitas harga jagung menjadi kecil. Kebutuhan jagung Indonesia sebagian besar diperoleh dari impor dibandingkan dengan produksi domestik. Hal ini disebabkan keadaan iklim di Indonesia yang tidak cocok untuk menanam jagung kecuali untuk daerah-daerah tertentu, sehingga bila produksi domestik dapat meningkat akan berdampak pada menurunnya harga jagung domestik. Menurut Kasryno et al. (2010) diperkirakan lebih dari 55 persen kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30 persen, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan. Permintaan jagung untuk industri, terutama industri pakan, telah mendorong peningkatan harga jagung di dalam negeri maupun di pasar internasional. Harga jagung di pasar dunia pada tahun 2004 -2007 terus berfluktuasi. Harga jagung diperkirakan akan terus meningkat karena meningkatnya permintaan untuk industri ethanol sebagai bahan

48 bakar nabati (BBN). Pergeseran jagung menjadi bahan baku industri menjadikan kebijakan untuk mengelola volatilitas harganya harus memperhitungkan banyak faktor, antara lain kebijakan di sektor pakan (ternak) dan biofuel. Volatilitas Harga Kedelai Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia tetapi ketergantungan terhadap impor cukup besar. Oleh karena itu berpotensi menyebabkan ketidakstabilan harga kedelai di pasar domestik. Dengan demikian diperlukan kebijakan ekonomi yang tepat guna menjaga kestabilan harga dan ekonomi kedelai secara keseluruhan di Indonesia. Model volatilitas harga kedelai dan faktor-faktor yang mempengaruhi terdapat pada Tabel 10. Model tersebut diestimasi menggunakan model ARCHGARCH. Model ARCH-GARCH yang dipilih adalah GARCH (1,1) dengan menambahkan unsur AR(1) pada variabel bebasnya dan variabel produksi kedelai di persamaan error-nya. Penambahan kedua variabel tersebut berguna untuk menghilangkan efek heteroskedastisitas dan autokorelasi. Model yang dipilih sudah terbebas dari efek heteroskedastisitas berdasarkan uji ARCH-LM dan terbebas dari autokorelasi berdasarkan korelogram dan nilai statistik Durbin Watson. Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.49 yang artinya model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga minyak dunia (OIL), suku bunga riil (INT), harga kedelai dunia (WORLDK), produksi kedelai domestik (PRODK) dan curah hujan (WTH) sebesar 49 persen dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap volatilitas harga kedelai pada taraf nyata 5 persen adalah adalah variabel nilai tukar riil, harga minyak dunia, dan suku bunga riil, sedangkan variabel harga kedelai dunia dan produksi kedelai domestik signifikan pada taraf nyata 10 persen. Curah hujan signifikan pada taraf nyata 15 persen. Tabel 10 Model volatilitas harga kedelai mempengaruhinya Variabel Koefisien C -19.05459 EXC 0.607132 OIL 0.478212 INT -0.019674 WORLDK -0.935678 PRODK 0.463191 WTH 0.057833 AR(1) 0.491788 R-Squared = 0.495938 Adjusted R-Squared = 0.477994 Sumber: Lampiran 4

dengan

faktor-faktor

yang

Probabilitas 0.0000 0.0028 0.0323 0.0040 0.0805 0.0813 0.1376 0.0000

Variabel nilai tukar riil memiliki pengaruh positif terhadap volatilitas harga kedelai. Koefisien nilai tukar riil sebesar 0.60 yang bermakna jika nilai tukar riil

49 meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai akan naik sebesar 0.60 persen. Elastisitas yang dimiliki oleh nilai tukar riil ditunjukkan melalui nilai koefisiennya. Elastisitas nilai tukar riil bernilai kurang dari satu yang berarti bersifat inelastis terhadap volatilitas harga kedelai. Indonesia adalah negara pengimpor kedelai yang cukup besar relatif terhadap kebutuhannya, yaitu lebih kurang sebesar 70 persen. Ketergantungan terhadap impor yang cukup besar menunjukkan rawannya perubahan harga kedelai di dalam negeri akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Jika nilai tukar dollar terhadap rupiah semakin tinggi (artinya rupiah terdepresiasi) maka akan meningkatkan harga kedelai dan sebaliknya, hal ini berarti volatilitas harga kedelai berkorelasi positif dengan perubahan nilai tukar. Kerawanan ini tidak hanya ditinjau secara ekonomi, tetapi juga berpotensi menjadi isu sosial-politik, karena kedelai merupakan bahan baku konsumsi makanan seperti, tahu, tempe dan jenis makanan lainnya. Oleh karena itu upaya untuk menstabilkan harga kedelai penting untuk dilakukan. Dalam jangka pendek, impor diharapkan mampu menjaga stabilitas harga kedelai dan membatasi munculnya spekulan. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui Perum Bulog melakukan impor kedelai dengan mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 2013. Harga minyak dunia mempunyai tanda koefisien positif dengan nilai sebesar 0.47 yang bermakna bila harga minyak naik 1 persen, maka volatilitas harga kedelai akan meningkat sebesar 0.47 persen. Nilai koefisien yang kurang dari satu membuat elastisitas harga minyak dunia menjadi tidak elastis, sehingga tidak dapat merespon perubahan volatilitas harga kedelai. Pengaruh volatilitas harga minyak dunia terhadap volatitilitas harga pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu, Guidry (2006); Braun dan Torero (2008); Harri et al. (2009); Roache (2010). Dengan demikian penelitian ini sejalan dengan beberapa peneliti tersebut. Suku bunga riil bertanda negatif dan memiliki nilai koefisien 0.01 yang berarti apabila suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai akan turun sebesar 0.01 persen. Elastisitas suku bunga kurang dari satu yang menandakan bahwa suku bunga riil tidak elastis sehingga tidak dapat merespon adanya perubahan pada volatilitas harga kedelai. Pengaruh suku bunga terhadap volatilitas harga pangan seperti kedelai dapat dihubungkan melalui investasi. Secara teori, suku bunga berkorelasi negatif dengan investasi, artinya jika suku bunga rendah, investasi cenderung meningkat. Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai, untuk keperluan tersebut maka diperlukan investasi, baik untuk keperluan intensifikasi maupun ekstensifikasi. Dengan demikian bila suku bunga naik atau turun maka investasi cenderung menurun atau meningkat, berarti akan mempengaruhi produksi, dan selanjutnya akan mempengaruhi pasar kedelai yang pada akhirnya akan mempengaruhi volatilitas harga kedelai. Suku bunga juga dapat mempengaruhi spekulasi finansial di pasar komoditas, yang akan mempengaruhi harga dan volatilitas harga komoditas. Variabel harga kedelai dunia diduga berpengaruh terhadap volatilitas harga kedelai. Berdasarkan Tabel 10, harga kedelai dunia berpengaruh pada taraf nyata 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.93 dengan tanda negatif. Arti dari tanda negatif adalah jika harga kedelai dunia meningkat sebesar 1 persen, maka

50 volatilitas harga kedelai turun sebesar 0.93 persen. Elastisitas harga kedelai dunia yang tercermin dari nilai koefisien mempunyai nilai kurang dari satu, sehingga bersifat inelastis dalam merespon perubahan volatilitas harga kedelai. Harga kedelai dunia yang meningkat menyebabkan harga impor kedelai naik. Naiknya harga impor membuat pemerintah giat untuk meningkatkan produksi kedelai domestik sehingga harga kedelai domestik tidak akan terganggu dengan naiknya harga dunia. Stabilnya harga kedelai domestik menyebabkan volatilitas harga pangan dapat ditekan. Hal tersebut dapat terjadi jika kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah swasembada pangan, namun apabila kebijakan yang diambil tetap berorientasi impor maka akan menyebabkan fluktuasi harga kedelai dalam negeri yang membuat volatilitas harga kedelai tidak dapat dihindari. Nilai koefisien produksi kedelai sebesar 0.46 dan bertanda positif yang bermakna jika produksi kedelai meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai akan naik sebesar 0.46 persen. Elastisitas produksi kedelai bernilai kurang dari satu sehingga produksi kedelai tidak elastis dalam merespon perubahan volatilitas harga kedelai. Hingga saat ini kedelai yang ada di pasaran sebagian besar merupakan kedelai impor, sehingga terdapat keinginan untuk mengembangkan produksi kedelai dalam negeri, namun menurut Amang et al. (1996) laju produksi dan produktivitas kedelai Indonesia masih rendah. Hal ini juga ditunjukkan dengan jenis kedelai yang ditanam adalah kedelai konvensional, produktivitasnya masih rendah, yaitu kedelai Non GMO (genetic modified organism). Atas dasar kondisi tersebut maka peningkatan jumlah produksi dalam negeri nampaknya tidak mempengaruhi pasar kedelai domestik. Pasar kedelai masih dominan ditentukan kedelai impor dengan struktur pasar oligopoli. Variabel cuaca yang didekati dengan curah hujan berpengaruh positif dengan nilai koefisien sebesar 0.05 yang berarti apabila curah hujan meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai meningkat sebesar 0.05 persen. Elastisitas curah hujan yaitu inelastis karena nilai koefisien yang kurang dari satu. Semua variabel yang berpengaruh signifikan memiliki elastisitas yang inelastis, sehingga semua variabel tidak dapat merespon adanya perubahan pada volatilitas harga kedelai. Cuaca ekstrim yang banyak terjadi di dunia seperti El Nino dan La Nina menyebabkan perubahan pada produksi pangan (Roache 2010). Cuaca ekstrim juga dapat merubah pola panen beberapa komoditas, sehingga ketersediaan pangan di pasaran domestik maupun internasional dapat terganggu. Perubahan ketersediaan pangan di pasaran membuat harga pangan berfluktuasi sehingga volatilitas harga pangan tidak dapat dihindarkan. Akibat adanya cuaca ekstrim membuat produksi pangan dapat melimpah maupun sebaliknya. Cuaca yang didekati dengan variabel curah hujan pada penelitian ini bertanda positif yang berarti jika curah hujan tinggi, maka volatilitas harga kedelai akan tinggi. Kedelai merupakan tanaman pangan yang sebagian besar ketersediannya masih diimpor dan hanya sedikit daerah di Indonesia yang dapat ditanami kedelai. Kedelai menurut Aak (2002) adalah tanaman yang hidup di daerah kering, apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan produksi kedelai karena terjadi gagal panen. Produksi kedelai yang turun menyebabkan harga kedelai melonjak naik. Harga kedelai yang meningkat dapat menimbulkan volatilitas.

51 Indikator Makroekonomi dan Volatilitas Harga Pangan Inflasi dan produk domestik bruto (PDB) merupakan bagian dari indikator makroekonomi. Inflasi dipilih menjadi salah satu variabel untuk kinerja makroekonomi karena inflasi merupakan salah satu masalah perekonomian yang dapat mempengaruhi sektor riil maupun moneter (Glahe 1977). Pada sektor riil, inflasi mempengaruhi belanja pemerintah dan pajak. Pada sektor moneter inflasi dapat mempengaruhi suku bunga dan jumlah uang beredar. Sektor riil dan moneter merupakan dua sektor utama dalam perekonomian dan bila terjadi inflasi dampak yang ditimbulkan akan menyebar pada berbagai pelaku ekonomi seperti pemerintah, rumah tangga dan perusahaan. Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi harga umum. Output nasional atau PDB adalah alat yang biasa digunakan untuk mengukur aktivitas makroekonomi (Glahe 1977). PDB merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara selama satu tahun. Nilai barang dan jasa PDB merupakan nilai final produk tersebut. Barang dan jasa dihitung secara menyeluruh baik yang digunakan oleh konsumen dan produsen, sehingga PDB dapat dijadikan sebagai salah satu indikator makroekonomi. Dalam output nasional terdapat sembilan sektor yang dihitung yaitu, sektor pertanian dalam arti luas, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik; gas; dan air bersih, konstruksi, perdagangan; hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan; real estat; dan jasa perusahaan, terakhir adalah jasa-jasa. PDB yang dibahas dalam penelitian ini merupakan PDB sektor pertanian secara umum. Pemilihan PDB sektor pertanian dikarenakan volatilitas harga yang diestimasi adalah harga komoditas pangan. Pengaruh Volatilitas Harga Pangan terhadap Inflasi Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi. Inflasi adalah kenaikan harga rata-rata secara umum. Kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2008 menyebabkan inflasi cukup tinggi bagi negara-negara berkembang (Hossain dan Rafiq 2012). Inflasi pangan lebih berpengaruh terhadap keseluruhan perekonomian pada jangka panjang dibandingkan inflasi non pangan jika nilai rata-rata inflasi pangan lebih besar dibandingkan non pangan. Inflasi juga akan berpengaruh apabila guncangan harga pangan lebih volatil dibandingkan harga non pangan (Walsh 2011). Pada kasus Indonesia, inflasi di sektor pertanian dipengaruhi oleh harga material. Harga material itu sendiri dipengaruhi oleh harga output, sehingga untuk mengatasi inflasi di sektor pertanian dapat dilakukan dengan menstabilkan harga komoditas pertanian (Irawan 2005). Berdasarkan hal tersebut, volatilitas harga komoditas akan diuji untuk menjelaskan hubungan antara inflasi dan harga komoditas. Uji Stasioneritas Data Uji akar unit digunakan untuk mengetahui kestasioneran data rentet waktu. Data dikatakan stasioner apabila nilai t-statistik ADF lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon. Nilai kritis MacKinnon dibedakan menjadi tiga yaitu pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen, namun pada penelitian ini digunakan nilai kritis

52 MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Data dapat stasioner pada tingkat level, first difference maupun second difference. Berdasarkan Tabel 11, semua data stasioner pada level kecuali data nilai tukar. Hal ini dikarenakan nilai tukar stasioner pada first difference. Nilai tukar memiliki nilai ADF t-statistik lebih besar dibandingkan nilai kritis MacKinnon sehingga data memiliki akar unit pada tingkat level, maka dari itu data nilai tukar tidak stasioner pada level. Hasil uji akar unit yang ditunjukkan pada Tabel 11 telah memenuhi kriteria untuk diestimasi menggunakan metode ECM. Hal ini dikarenakan terdapat satu variabel yaitu nila tukar tidak stasioner pada level. ECM dapat dipakai jika minimal terdapat satu variabel dalam model yang tidak stasioner pada level. Taraf nyata yang digunakan pada penelitian ini tercermin dari nilai kritis MacKinnon. Nilai kritis MacKinnon yang dipilih sebesar 5 persen baik pada tingkat level maupun first difference. Tabel 11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi Level First Difference Variabel t-statistic Nilai Kritis t-statistic Nilai Kritis MacKinnon MacKinnon INF -9.361856 -2.870359 -14.04963 -2.870473 VOLTB -8.661589 -2.870387 -14.21619 -2.870473 VOLTJ -6.221011 -2.870416 -13.19029 -2.870473 VOLTK -7.954252 -2.870359 -13.69309 -2.870473 EXC -2.618243 -3.424155 -6.48831 -3.424155 INT -3.946736 -2.870359 -16.80786 -2.870387 Sumber: Lampiran 1 Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka panjang antar variabel. Variabel terkointegrasi jika kombinasi linier diantara variabel-variabelnya dan residual dari kombinasi linier tersebut stasioner. Uji kointegrasi pada penelitian ini menggunakan uji kointegrasi Engle-Granger. Uji kointegrasi Engle-Granger dilakukan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang antara inflasi dengan volatilitas harga beras (VOLTB), volatilitas harga jagung (VOLTJ), volatilitas harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), dan nilai tukar riil (EXC). Uji kointegrasi Engle-Granger dilakukan dengan meregresikan persamaan antara variabel dependen dan variabel independen. Setelah meregresikan persamaan tersebut didapatkan residual yang kemudian diuji kestasioneran datanya. Apabila residual statsioner pada level atau I(0), maka persamaan dikatakan terkointegrasi dan memiliki hubungan jangka panjang. Metode ECM untuk model inflasi terkointegrasi pada jangka panjang seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Pada Tabel 12 diketahui bahwa nilai ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen, sehingga residual dari persamaan regresi stasioner pada tingkat level. Jika nilai ADF t-statistik lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, maka residual tidak stasioner dan tidak dapat menggunakan model ECM.

53 Tabel 12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Prob Keterangan t-statistics 5% 10 % UT -11.74569 -2.870359 -2.571538 0.0000 Stasioner Sumber: Lampiran 6 Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) Dampak volatilitas harga pangan terhadap inflasi ditunjukkan pada Tabel 13. Variabel yang berpengaruh signifikan berdasarkan Tabel 13 adalah volatilitas harga jagung (VOLTB), volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya (VOLTB(-1)), nilai tukar riil (EXC), nilai tukar riil periode satu tahun sebelumnya (EXC(-1)), suku bunga riil (INT) dan suku bunga riil periode satu tahun sebelumnya (INT(-1)). Nilai koefisien determinasi pada model tersebut adalah 0.34 yang artinya sebesar 34 persen model dampak inflasi terhadap volatilitas harga pangan dapat dijelaskan oleh variabel volatilitas harga beras, volatilitas harga beras periode satu tahun sebelumnya, volatilitas harga jagung, volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya, volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai periode satu tahun sebelumnya, nilai tukar riil, nilai tukar riil periode satu tahun sebelumnya, suku bunga riil, dan suku bunga riil periode satu tahun sebelumnya sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Nilai koefisien determinasi yang relatif kecil menjelaskan bahwa banyak variabel lain yang masih dapat menjelaskan tentang inflasi selain lima variabel yang digunakan. Tabel 13 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap inflasi Variabel Koefisien Probabilitas C -0.187908 0.9479 D(VOLTB) 0.066052 0.4320 D(VOLTJ) 0.603552 0.0000 D(VOLTK) 0.167156 0.1627 D(EXC) 3.797230 0.0010 D(INT) -0.060305 0.0004 VOLTB(-1) -0.069175 0.5383 VOLTJ(-1) 0.382587 0.0003 VOLTK(-1) 0.112292 0.3407 EXC(-1) 0.508051 0.0598 INT(-1) -0.049144 0.0000 R-Squared = 0.341952 Adjusted R-Squared = 0.320656 Sumber: Lampiran 7 Volatilitas harga jagung berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen dan mempunyai tanda positif. Nilai koefisien yang dimiliki oleh volatilitas harga jagung adalah 0.6 yang berarti jika volatilitas harga jagung meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 0.6 persen ceteris paribus. Jagung bukan lagi menjadi komoditas pangan untuk konsumsi, melainkan sudah beralih

54 menjadi komoditas industri pakan (ternak) serta bahan bakar nabati. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan. Tingginya permintaan terhadap jagung untuk kebutuhan industri pakan dan bahan bakar nabati membuat harga jagung dunia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2000-an. Laju pertumbuhan produksi jagung selama ini sekitar 3 persen per tahun,sementara laju permintaan jagung untuk industri pakan sekitar 5 persen per tahun, maka Indonesia akan tetap mengimpor jagung sebesar 1.2-2.0 MT per tahun. (Kasryno et al. 2010). Kebutuhan jagung untuk industri pakan tiap tahun terus meningkat sejalan dengan perkembangan industri peternakan. Berdasarkan analisis proyeksi, pada tahun 2020 diprediksi kebutuhan jagung pada pabrik pakan sekitar 28.52 persen diatas kebutuhan sesuai pendekatan populasi (Swastika et al. 2011). Volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen dan mempunyai tanda positif pada jangka pendek. Nilai koefisien yang dimiliki oleh volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya adalah 0.38 yang berarti jika volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 0.38 persen ceteris paribus. Harga jagung dunia yang mengalami kenaikan tajam sejak tahun 2005 menyebabkan harga jagung dalam negeri juga meningkat. Hal ini disebabkan Indonesia menjadi net importer jagung sejak tahun 1992 (Kasryno et al. 2010). Harga yang tinggi membuat inflasi menjadi tinggi sehingga memiliki andil terhadap inflasi secara umum. Disamping itu kenaikan harga jagung akan mempengaruhi inflasi sektor lain yang menggunakan jagung sebagai bahan baku khususnya industri pakan (ternak) dan industri lainnya. Variabel nilai tukar riil memiliki tanda positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 3.79. Tanda koefisien positif berarti kedua variabel baik variabel dependen dan independen memiliki hubungan yang searah. Apabila dikaitkan dengan nilai tukar riil dapat diartikan bahwa apabila nilai tukar riil meningkat 1 persen, inflasi akan naik sebesar 3.79 persen ceteris paribus. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang meningkat menyebabkan hargaharga komoditas meningkat terutama komoditas impor, sehingga inflasi menjadi tinggi. Ketiga jenis komoditas pangan dalam penelitian ini belum dapat bebas dari impor, dengan demikian nilai tukar akan mempengaruhi inflasi melalui mekanisme harga ketiga komoditas tersebut. Variabel nilai tukar riil periode satu tahun sebelumnya signifikan pada taraf nyata 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.5 dan bertanda positif yang berarti jika variabel nilai tukar riil periode satu tahun sebelumnya naik sebesar 1 persen, maka inflasi akan naik sebesar 0.5 persen. Suku bunga riil mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi dengan tanda yang berbeda dari variabel volatilitas harga jagung serta nilai tukar riil yaitu bertanda negatif. Koefisien suku bunga riil memiliki nilai sebesar 0.06 yang bermakna bila suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan turun sebanyak 0.06 persen ceteris paribus. Suku bunga periode satu tahun sebelumnya signifikan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien 0.04 dan bertanda negatif sama seperti suku bunga riil. Artinya jika suku bunga riil periode satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan turun sebesar 0.04 persen ceteris paribus. Suku bunga tinggi membuat para

55 investor tidak berminat untuk berinvestasi, sehingga produksi agregat yang dapat disediakan (Aggregate Supply) tetap, padahal permintaan (Aggregat Demand) terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, maka dari itu menyebabkan inflasi dari sisi permintaan. Inflasi secara umum dapat didekati dari sisi permintaan dan penawaran. Demand pull inflation adalah jenis inflasi yang terjadi dari sisi permintaan. Cost push inflation adalah inflasi dari sisi penawaran yang dapat disebabkan naiknya biaya produksi sehingga penawaran menjadi terbatas dan mengakibatkan terjadi inflasi. Pengaruh Volatilitas Harga Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian Pada tahun 2010 hingga 2011 laju pertumbuhan PDB pertanian meningkat dari 3.01 menjadi 3.37 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap total PDB pada tahun 2012 sebesar 12.51 persen. Hal ini membuktikan bahwa sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor pertanian berada di urutan ketiga terbesar dalam menyumbang terhadap PDB secara keseluruhan. Oleh karena itu variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi terhadap pertumbuhan sektor pertanian penting untuk diketahui. Kinerja makroekonomi melalui PDB sektor pertanian yang dipengaruhi oleh volatilitas harga pangan dan faktor lain ditunjukkan pada Tabel 16. PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB sektor pertanian secara umum termasuk didalamnya adalah sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Uji Stasioneritas Data Salah satu syarat untuk menggunakan metode ECM adalah data harus stasioner pada ordo tertentu. Uji akar unit merupakan cara untuk mengetahui kestasioneran data. ADF test merupakan alat yang dapat digunakan untuk memeriksa ada tidaknya akar unit pada suatu data sehingga dapat diketahui kestasioneran datanya. Hasil uji akar unit untuk model pertumbuhan diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian Level First Difference Variabel t-statistic Nilai Kritis t-statistic Nilai Kritis MacKinnon MacKinnon PDB_P -1.747594 -3.453601 -47.10709 -3.453601 VOLTB -7.536695 -2.888669 -11.66113 -2.889200 VOLTJ -6.379636 -2.888669 -13.64912 -2.888932 VOLTK -6.105862 -2.888669 -11.42455 -2.889200 EXC -2.160003 -3.453601 -6.42611 -3.453601 INT -4.638954 -2.888932 -9.25535 -2.889753 INV_DN -9.692637 -2.890327 -11.56788 -2.892536 INV_LN -5.952357 -2.892536 -8.71175 -2.896346 Sumber: Lampiran 1

56 Berdasarkan Tabel 14, variabel volatilitas harga beras; jagung dan kedelai, suku bunga riil, investasi dalam negeri, investasi luar negeri stasioner pada level karena nilai ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Variabel nilai tukar riil dan PDB sektor pertanian stasioner pada first difference karena nilai ADF t-statistik lebih besar dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon pada tingkat level. Nilai kritis MacKinnon yang digunakan berada pada taraf nyata 5 persen. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diteliti. Terdapat berbagai macam uji kointegrasi diantaranya adalah Engle-Granger Cointegration. Penelitian ini akan menggunakan Engle-Granger Cointegration untuk menguji kointegrasi variabelvariabel yang diamati. Uji kointegrasi merupakan uji residual dari persamaan yang telah diregresi. Uji kointegrasi digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang diantara variabel PDB sektor pertanian (PDB_P) dengan volatilitas harga beras (VOLTB), volatilitas harga jagung (VOLTJ), volatilitas harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), dan nilai tukar riil (EXC), investasi dalam negeri (INV_DN), dan investasi luar negeri (INV_LN). Hasil dari uji kointegrasi diperlihatkan pada Tabel 15. Nilai residual yaitu UT memiliki nilai ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen pada level. Hal ini diartikan bahwa diantara variabel-variabel yang diteliti terdapat kointegrasi, sehingga terdapat hubungan jangka panjang. Tabel 15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Prob Keterangan t-statistics 5% 10 % UT -6.545941 -1.944364 -1.614441 0.0000 Stasioner Sumber: Lampiran 6 Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) Berdasarkan Tabel 16, empat belas variabel diduga berpengaruh terhadap PDB sektor pertanian, namun hanya enam variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Keenam variabel tersebut adalah, volatilitas harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), nilai tukar riil (EXC), volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya (VOLTJ(-1)), volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya (VOLTK(-1)), dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya (INT(-1)). Suku bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya signifikan pada tingkat kepercayaan 5 persen. Volatilitas harga kedelai dan nilai tukar riil signifikan pada tingkat kepercayaan 10 persen. Volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya signifikan pada taraf nyata 15 persen. Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.43 yang berarti sebanyak 43 persen model dampak pertumbuhan ekonomi terhadap volatilitas harga pangan dapat dijelaskan oleh variabel volatilitas harga beras, volatilitas harga beras satu tahun sebelumnya, volatilitas harga jagung, volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya, volatilitas harga kedelai, volatilitas harga

57 kedelai satu tahun sebelumnya, investasi dalam negeri sektor pertanian, investasi dalam negeri sektor pertanian satu tahun sebelumnya, investasi luar negeri sektor pertanian, investasi luar negeri sektor pertanian satu tahun sebelumnya, suku bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, nilai tukar riil, nilai tukar riil satu tahun sebelumnya dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Tabel 16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor pertanian Variabel C D(VOLTB) D(VOLTJ) D(VOLTK) D(INT) D(EXC) D(INV_DN) D(INV_LN) VOLTB(-1) VOLTJ(-1) VOLTK(-1) INT(-1) EXC(-1) INV_DN(-1) INV_LN(-1) R-Squared = 0.437976 Adjusted R-Squared = 0.335790 Sumber: Lampiran 7

Koefisien 9.101386 0.029107 -0.049156 -0.057204 -0.010603 -0.375456 -0.008282 0.006492 0.038797 -0.184376 -0.066778 -0.015391 0.035120 -0.004836 0.013526

Probabilitas 0.0000 0.3058 0.1889 0.0878 0.0028 0.0928 0.6100 0.5345 0.3308 0.0000 0.1097 0.0000 0.7126 0.8190 0.2198

Volatilitas harga kedelai memiliki tanda negatif dengan nilai koefisien sebesar 0.05. Nilai koefisien tersebut memiliki arti jika volatilitas harga kedelai meningkat 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan menurun sebesar 0.05 persen ceteris paribus. Tanda yang sama juga berlaku pada variabel volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya yang signifikan dengan nilai koefisien sebesar 0.06. Arti dari nilai koefisien tersebut adalah jika volatilitas harga kedelai naik sebesar 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan turun sebesar 0.06 persen ceteris paribus. Kedelai merupakan komoditas impor pangan dengan jumlah yang cukup tinggi. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang besar terhadap kedelai membuat pemerintah terus melakukan impor bahkan pada tahun 2012 (Peraturan Menteri Keuangan nomor 011 tahun 2012) membebaskan tarif impor. Harga kedelai impor yang relatif murah bila dibandingkan dengan kedelai dalam negeri, membuat harga kedelai domestik menjadi berfluktuasi (Purwanti dan Hayati 2008), sehingga volatilitas harga kedelai dalam negeri tidak dapat dihindarkan. Persoalan krisis pangan yang melanda dunia pada tahun 2008 ikut mempengaruhi harga kedelai dalam negeri. Setelah krisis pangan usai harga turun, namun meningkat kembali pada tahun 2010 (ADB 2011). Perubahan harga yang cepat menyebabkan terjadi fluktuasi harga yang berakibat harga kedelai menjadi volatil. Volatilitas harga komoditas terhadap pertumbuhan memiliki hubungan

58 negatif menurut UNCTAD (2012). Tingginya harga komoditas menyebabkan pertumbuhan suatu negara menjadi rendah karena pangan merupakan sumber pengeluaran terbesar bagi negara miskin dan berkembang. Harga pangan yang tinggi menyebabkan semakin banyak penduduk yang tidak dapat mengakses pangan sehingga jumlah penduduk miskin semakin banyak yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi turun. Berdasarkan teori makroekonomi melalui pendekatan pengeluaran untuk mengukur PDB, volatilitas harga berdampak secara tidak langsung terhadap pertumbuhan melalui konsumsi. Pendekatan pengeluaran dinyatakan sebagai output agregat dipengaruhi oleh konsumsi, pengeluaran pemerintah, net ekspor dan investasi dengan arah yang positif (Mankiw 2002). Semakin tinggi harga pangan, masyarakat cenderung akan mengurangi daya beli yang berdampak pada penurunan konsumsi terhadap komoditas tersebut sehingga pertumbuhan akan turun. Volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya signifikan dengan tanda negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar 0.18. Nilai koefisien sebesar 0.18 mencerminkan bahwa jika nilai volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka nilai PDB sektor pertanian akan turun sebesar 0.18 persen ceteris paribus. Dengan demikian dibutuhkan lag waktu satu tahun untuk PDB sektor pertanian merespon terjadinya perubahan pada volatilitas harga jagung. Jagung merupakan salah satu pangan pokok sama seperti kedelai dan beras, namun saat ini penggunaan jagung telah mengalami pergeseran menjadi sumber pakan ternak dan kebutuhan untuk industri. Penggunaan jagung sebagai makanan pokok telah mengalami penurunan. Tingginya permintaan jagung untuk pakan dan industri menyebabkan peningkatan harga jagung. Harga jagung yang tinggi rentan terhadap volatilitas. Apabila volatilitas harga jagung tinggi akan menyebabkan konsumsi jagung turun sehingga PDB sektor pertanian menjadi turun. Hal ini dikarenakan hubungan positif antara konsumsi dengan PDB, sehingga jika konsumsi turun maka PDB akan ikut turun. Variabel suku bunga bertanda negatif dengan nilai koefisien sebesar 0.01 pada jangka pendek. Koefisien dengan tanda negatif menunjukkan bahwa antara suku bunga dan PDB sektor pertanian memiliki hubungan terbalik yaitu bila suku bunga meningkat 1 persen, maka PDB sektor pertanian berkurang sebesar 0.01 persen ceteris paribus. Suku bunga berhubungan dengan investasi yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan. Apabila suku bunga meningkat, maka investasi akan menurun karena rendahnya minat investor untuk menanamkan modalnya, sehingga produksi akan turun yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan. Variabel suku bunga riil satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap PDB sektor pertanian dengan nilai koefisien sebesar 0.01. Tanda koefisien pada suku bunga riil satu tahun sebelumnya adalah negatif yang berarti jika suku bunga riil satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka nilai PDB sektor pertanian akan turun sebesar 0.01 persen ceteris paribus. Tanda variabel suku bunga riil satu tahun sebelumnya sama dengan variabel suku bunga yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan salah satu peubah bebas yang signifikan dan berpengaruh nyata dengan tanda koefisien negatif pada jangka pendek. Arti koefisien nilai tukar sebesar 0.37 yaitu jika nilai

59 tukar naik sebesar 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan naik sebesar 0.37 persen ceteris paribus. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang meningkat artinya rupiah terdepresiasi. Rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar menyebabkan harga barang meningkat. Harga barang yang meningkat membuat daya beli konsumen terhadap produk pertanian menjadi berkurang. Berkurangnya daya beli berarti konsumsi akan turun dan mengakibatkan PDB sektor pertanian juga turun karena hubungan searah diantara konsumsi dan PDB. Dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan merupakan dampak tidak langsung karena melalui variabel konsumsi.

61

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.

2.

3.

4.

5.

6.

Ketiga harga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan kedelai bersifat volatil. Umumnya volatilitas ketiga harga komoditas tersebut tinggi pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997 hingga 1999. Saat krisis ekonomi terjadi kebijakan harga pangan mengalami perubahan dari harga yang dikendalikan oleh pemerintah menjadi harga diserahkan sepenuhnya pada pasar. Hal ini membuat harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga menjadi berfluktuasi relatif tinggi dan akibatnya volatilitas juga tinggi. Volatilitas harga beras hanya mengalami peningkatan tajam pada saat terjadi krisis ekonomi. Periode setelahnya harga beras lebih stabil dan terjaga. Hal ini disebabkan komoditas beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia dan menjadi komoditas yang bersifat politis, sehingga kestabilan harga beras relatif lebih terjaga dibandingkan komoditas pangan lain. Volatilitas harga jagung dan kedelai lebih bervariasi dibandingkan beras. Volatilitas harga jagung kembali meningkat pada tahun 2002 dengan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pada saat krisis ekonomi. Harga jagung Indonesia dipengaruhi oleh harga dunia karena jagung adalah komoditas impor. Maka dari itu jika harga jagung dunia meningkat, harga jagung dalam negeri akan meningkat pula. Tahun 2002 pemerintah Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung menggalakkan kebijakan bahan bakar nabati, sehingga harga jagung dunia meningkat karena jagung merupakan sumber utama bahan bakar nabati. Volatilitas harga kedelai juga mengalami peningkatan setelah periode krisis ekonomi yaitu tahun 2008. Volatilitas yang terjadi tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan tahun 1998-1999. Sama seperti jagung, kedelai juga salah satu komoditas impor pangan utama Indonesia. Pada tahun 2008 dunia mengalami krisis pangan internasional dan kedelai yang merupakan salah satu komoditas pangan utama dunia mengalami peningkatan harga yang tajam, sehingga berpengaruh terhadap harga kedelai domestik. Terdapat empat faktor yang signifikan dan nyata mempengaruhi volatilitas harga beras yaitu, nilai tukar riil, harga minyak dunia, suku bunga riil, dan produksi beras domestik. Produksi beras domestik signifikan dan bertanda negatif yang berarti jika produksi beras dalam negeri melimpah maka harga beras akan turun karena tingginya penawaran. Tiga faktor lainnya yang juga signifikan merupakan faktor yang banyak berlaku di berbagai negara. Faktor yang berpengaruh nyata dan signifikan terhadap volatilitas harga jagung adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga jagung dunia, dan produksi jagung dalam negeri. Nilai tukar dan suku bunga adalah faktor umum penyebab volatilitas harga, sedangkan produksi jagung dan harga jagung dunia merupakan dua faktor yang saling berkaitan. Jika produksi dalam negeri meningkat, maka volatilitas harga jagung akan turun karena keduanya memiliki hubungan negatif. Sebaliknya harga jagung dunia berpengaruh positif terhadap volatilitas harga jagung. Maka dari itu jika harga jagung dunia meningkat dapat diatasi dengan meningkatkan produksi dalam negeri.

62 7.

8.

9.

Volatilitas harga kedelai signifikan terhadap keenam faktor yang diduga berpengaruh terhadap volatilitas harga kedelai. Arti dari signifikannya semua faktor adalah harga kedelai rawan terhadap perubahan faktor-faktor tersebut. Kerawanan tersebut tidak hanya ditinjau dari sisi ekonomi melainkan dari sisi politik juga karena kedelai merupakan bahan baku makanan seperti tahu, tempe dan jenis makanan lainnya. Volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap inflasi umum dengan tanda positif, akan tetapi dua komoditas lainnya tidak berpengaruh. Kenaikan harga pangan yang tinggi dapat menjadi penyebab utama terjadinya inflasi, maka perlu mendapatkan perhatian karena pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Selain dua faktor diatas, nilai tukar riil, nilai tukar riil satu tahun sebelumnya, suku bunga riil, dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga berpengaruh terhadap inflasi. Pertumbuhan sektor pertanian dipengaruhi oleh volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya dengan tanda negatif. Jika volatilitas harga jagung dan kedelai tinggi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Oleh sebab itu, harga kedua komoditas tersebut perlu dikelola agar dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan (PDB) sektor pertanian. Suku bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, dan nilai tukar riil juga berpengaruh terhadap PDB sektor pertanian. Implikasi Kebijakan

1.

2.

3.

4.

Kebijakan untuk mengelola harga pangan agar volatilitas harga dapat diminimalisir harus terus dilakukan. Akan tetapi kebijakan yang diterapkan harus berpihak kepada produsen maupun konsumen, karena keduanya merupakan pelaku konsumsi disamping sebagai pihak yang menghasilkan komoditas. Kebijakan perberasan sebelum krisis dan setelah krisis cukup berbeda, namun hingga saat ini harga beras relatif lebih stabil dibandingkan harga pangan lainnya. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Stabilnya harga beras juga diperlihatkan dari hasil analisis grafik volatilitas. Beras hanya mengalami peningkatan harga pada saat krisis ekonomi, selebihnya relatif terjaga. Kebijakan pengelolaan harga beras juga perlu memperhatikan petani yang bertindak selain sebagai produsen juga sebagai konsumen. Jagung sebagai salah satu komoditas pangan telah mengalami pergeseran fungsi bukan lagi sebagai bahan konsumsi pangan utama bagi manusia, namun penggunaannya lebih banyak untuk sektor industri pakan dan bahan bakar nabati (biofuel). Bergesernya pemanfaatan jagung menyebabkan kebijakan pada sektor ini tidak lagi hanya pada sektor pertanian, melainkan pada sektor lainnya. Kedelai merupakan bahan pangan yang tidak saja penting, tetapi sudah menjadi budaya karena makanan olahannya seperti tahu dan tempe sudah menjadi lauk wajib bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu kebijakan

63

5.

untuk kedelai tidak hanya sebatas kepada pengelolaan harga, melainkan kebijakan di bidang produksi menjadi sangat penting. Intervensi pemerintah untuk mengelola ketiga komoditas pangan ini masih diperlukan terutama dalam bidang perdagangan dan produksi. Kebijakan yang diambil sebaiknya tetap berpihak kepada petani tanpa meninggalkan keadilan terhadap konsumen. Pemerintah dapat mengurangi perannya dalam mengelola kebijakan pangan apabila petani telah mencapai keunggulan komparatif dan konsumen dapat menikmati hasil dari keunggulan tersebut. Saran Penelitian Lanjutan

1. Komoditas pangan yang dianalisis dalam penelitian ini hanya tiga jenis, sesungguhnya masih banyak komoditas pangan lainnya menurut Kementerian Pertanian. 2. Variabel yang digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan masih dapat ditambahkan seperti stok pangan dan variabel makroekonomi lainnya. 3. Kebijakan dalam mengelola harga pangan belum dianalisis secara lebih mendalam, pada penelitian selanjutnya dapat dikaji mengenai kebijakan yang cocok diterapkan untuk mengelola volatilitas harga pangan.

65

DAFTAR PUSTAKA Abbot PC, Hurt C, Tyner WE. 2008. What’s Driving Food Prices?. Farm Foundation Issue Report. Aak. 2002. Kedelai. Cetakan ke limabelas. Yogyakarta (ID): Kanisius. Adam C, Kwimbere D, Mbowe W, O’Connell S . 2012. Food Prices and Inflation in Tanzania. Working Paper 12/0459. International Growth Centre. [ADB] Asian Development Bank. 2011. Global Food Price Inflation and Developing Asia. Manila (PH): ADB. Aghion P, Banerjee A. 2005. Volatility and Growth. New York (US): Oxford University Press. Aldrian E. 2000. Pola Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah Indonesia: Tinjauan Hasil Kontur Data Penakar Dengan Resolusi Echam T-42. J Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 1(2):113-123. Amang B, Sawit M.H, Rachman A.1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID): IPB Pr. Apergis N, Rezitis A. 2011. Food Price Volatility and Macroeconomic Factors: Evidence from GARCH and GARCH-X Estimates. JAAE. 43(1): 95–110. Asmara A. 2011. Dampak Volatilitas Variabel Ekonomi terhadap Kinerja Sektor Industri Pengolahan dan Makroekonomi Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen), 20042012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Bank Dunia. 2010. Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia. Laporan Pengembangan Sektor Perdagangan. Jakarta (ID): Bank Dunia. Bollerslev T. 1986. Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity. J of Econometrics. 31: 307-327. Bourdon MH. 2011. Agricultural Commodity Price Volatility. OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers No. 52. Braun J von, Torero M. 2008. Physical and Virtual Global Food Reserves to Protect The Poor and Prevent Market Failure. Policy Briefs 4. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI).

66 Braun J von, Tadesse G. 2012. Global Food Price Volatility and Spikes: An Overview of Costs, Causes, and Solutions. ZEF-Discussion Papers on Development Policy No. 161. Cavalcanti T VdeV, Mohaddes K, Raissi M. 2012. Commodity Price Volatility and the Sources of Growth. Working Paper. International Monetary Fund (IMF) Middle East and Central Asia Department. Choi K, Kim DH. 2012. The Analysis on the Effect of Commodity Price Volatility on G-20 Economies. Paper dipresentasikan pada Seminar International Monetary System, Energy and Sustainable Development. Dabušinskas A, Kulikov D, Randveer M. 2012. The Impact of Volatility on Economic Growth. Working Paper Series 7/2012. Dartanto T. 2010. Volatility of World Rice Price, Import Tariff and Poverty in Indonesia: a CGE Microsimulation Analysis. International Conference On Applied Economics (ICOAE). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Dornbusch R, Fishcer S, Startz R. 2008. Macroeconomics. New York (US): McGraw-Hill Companies Inc. Enders W. 1995. Applied Econometrics Time Series. New York (US): John Wiley and Sons. Engle RF. 1982. Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with Estimates of the Variance of United Kingdom Inflation. Econometrica. 50: 987-1007. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2013. FAOSTAT [Internet]. [diunduh 2013 April 29]. Tersedia pada http://www.fao.org. FAO, IFAD, IMF,OECD, UNCTAD, WFP, the World Bank, the WTO, IFPRI, the UN HLTF. 2011. Price Volatility in Food and Agricultural Markets: Policy Responses. Frankel JA. 2006. The Effect of Monetary Policy on Real Commodity Prices. NBER Working Paper No. 12713. G-20 Agriculture Ministers. 2011. Action Plan on Food Price Volatility and Agriculture. Paris (FR): Ministerial Declaration. Gilbert CL. 2010. Speculative Influences on Commodity Futures Prices 2006– 2008. Discussion Papers. UNCTAD/OSG/DP/2010/1.

67 Gilbert CL. 2012. International Agreements to Manage Food Price Volatility. Global Food Security. 134–142. Gilbert CL, Morgan CW. 2010. Food Price Volatility. Philosophical Transactions of The Royal. Society.B 365. 3023–3034. doi:10.1098/rstb.2010.0139. Glahe. 1977. Macroeconomics Theory and Policy. 2nd ed. Colorado (US): Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Guidry KM. Fall 2006. Prospects for Profitability in Louisiana’s Feed Grain Industry. Louisianna Agriculture. 49 (4). Harri A. Nalley L, Hudson D, 2009. The Relationship between Oil, Exchange Rates, and Commodity Prices. JAAE. 41(2):501–510. Helbling T, Mercer‐Blackman V, Cheng K. 2008. Commodities Boom: Riding a Wave. Finance and Development. 45(1): 10–15. Hermawan E. 2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang Terjadi di Beberapa Kawasan Pulau Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik Spektral. J Meteorologi dan Geofisika. 11(2): 75 – 84. Hernandez DJG. 2012. Factors Influencing Price Volatility on Soybeans Futures Prices [tesis]. Louisiana (US): Louisiana State University. [HLPE] High Level Panel of Expert. 2011. Price Volatility and Food Security. Roma (IT): High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition of the Committee on World Food Security. Hossain M, Rafiq F. 2012. Global Commodity Price Volatility and Domestic Inflation: Impact on the Performance of the Financial Sector in Bangladesh. MPRA Paper No. 52167. Irawan A. 2005. Analisis Keterkaitan Ekonomi Makro, Perdagangan Internasional dan Pertanian di Indonesia: Aplikasi Vector Error Correction Model [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jayasuriya S, Mudbhary P, Broca SS. 2012. Food Price Spikes, Increasing Volatility and Global Economic Shocks: Coping with Challenges to Food Security in Asia: A Comparative Regional Study of the Experiences of Ten Asian Economies. Bangkok (TH): Food and Agricultural Organization (FAO) of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific (RAP). Juanda B. 2007. Modul Kuliah Ekonometrika I. Bogor (ID): Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

68 Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor (ID): IPB Pr. Kargbo. 2005. Impacts of Monetary and Macroeconomic Factors on Food Prices in West Africa. Agrekon. 44 (2): 205-224. Kariyasa K, Sinaga BM. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pasar Jagung Indonesia. J Agro Ekonomi. 22(3):167-194. Kasryno F, Pasandaran E, Suyamto, Adnyana MO. 2010. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia dalam Litbang Pertanian. 2010. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 474-496. Kose AS, Prasad ES, Terrones ME. 2005. Growth and Volatility in an Era of Globalization. IMF Staff Papers Vol. 52 Special Issue. Mankiw NG. 2002. Macroeconomics. 5th ed. Manhattan (US): Worth Publisher. Mboeik RP, Rakhmindyarto. 2012. Pengaruh Kebijakan Makroekoomi terhadap Volatilitas Harga Komoditas dalam Perspektif G20. Miguez ID, Michelena G. 2011. Commodity Price Volatility: The Case of Agricultural Products. CEI Journal: Foreign Trade and Integration. Minot N. 2012. Food Price Volatility in Africa Has It Really Increased. International Food Policy Research (IFPRI) Discussion Papers 01239. Mitchell D. 2008. A Note on Rising Food Prices. The World Bank. Policy Research Working Paper. 4682 Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Naeve SL, Orf JH. 2007. Quality of the United States Soybean Crop. Nugrayasa O. 2013. Problematika Harga Kedelai di Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 Des 5]. Tersedia pada setkab.go.id/artikel-10045-.html‎. Onour I, Sergi B. 2011. Global Food and Energy Markets: Volatility Transmission and Impulse Response Effects. MPRA Paper No. 34079. Purwanti, Hayati. 2008. Analisis Struktur Pasar Kedelai sebagai Alternatif Peningkatan Posisi Tawar Petani. Dinamika Pembangunan. 5 (2): 57-72. Ramey G, Ramey VA.1995. Link Between Volatility and Growth. The American Economic Review. 85 (5): 1138-1151.

69 Roache SK. 2010. What Explains the Rise in Food Price Volatility. International Monetary Fund Working Paper. Safdar H, Maqsood S, Ullah S. 2012. Impact of Agriculture Volatility on Economic Growth: A Case Study of Pakistan. J Asian Dev Stud. 1 (2): 2434. Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Yogyakarta (ID): ANDI. Shiferaw YA. 2012. Modeling Volatility of Price of Some Selected Agricultural Products in Ethiopia: ARIMA-GARCH Applications [Internet]. [diunduh 2013 April 4]. Tersedia pada http://ssrn.com/abstract=2125712. Swastika DKS, Agsutian A, Sudaryanto T. 2011. Analisis Senjang Penawaran dan Permintaan Jagung Pakan dengan Pendekatan Sinkronisasi Sentra Produksi, Pabrik Pakan dan Populasi Ternak di Indonesia. Informatika Pertanian. 20 (2): 65-75 Tangermann S. 2011. Policy Solutions to Agricultural Market Volatility: A Synthesis. International Centre for Trade and Sustainable Development. Issue Paper No.33. Thomas RL. 1997. Modern Econometrics. Harlow (GB): Addison Wesley. Timmer CP. 1996. Does BULOG Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should It Try?. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(2):45-74. Timmer CP. 2004. Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long Run Outlook. Working Paper No. 48. Center for Global Development. Timmer CP. 2009. Rice Price Formation in the Short Run and the Long Run: The Role of Market Structure in Explaining Volatility. The Center for Global Development Working Paper Number 172. Timmer CP. 2011. Managing Price Volatility: Approaches at the Global, National, and Household Levels. Stanford Symposium Series on Global Food Policy and Food Security in the 21st Century. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed Ke-9. Munandar H, penerjemah; Barnadi D, Saat S, Hardani W, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. 9th Edition. Torero M. 2011. Alternative Mechanisms to Reduce Food Price Volatility and Price Spikes. Science review: SR 21. Foresight Project on Global Food and Farming Futures.

70 Tothova M. 2011. Methods to Analyse Agricultural Commodity Price Volatility: Main Challenges of Price Volatility in Agricultural Commodity Markets. I. Piot-Lepetit, R. M’Barek (eds.): 13-29. [UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 2012. Excessive Commodity Price Volatility: Macroeconomic Effects on Growth and Policy Options. Contribution from the UNCTAD to the G20 Commodity Markets Working Group. [UN-ESCAP] United Nations Economic and Social Comission for Asia and the Pacific. 2011. Rising Food Prices and Inflation in the Asia Pacific Region: Causes, Impact and Policy Response. Macroeconomic Policy and Development Division No.7 Policy Briefs. [USDA] United States Department of Agriculture. 2013. Foreign Agricultural Service, Production, Supply and Distribution (PS&D) Database. Walsh JP. 2011. Reconsidering the Role of Food Prices in Inflation. International Monetary Fund Working Paper. Wilson N. 2012. Discussion: Causes of Agricultural and Food Price Inflation and Volatility. JAAE. 44(3):423–425. Zheng Y, Kinnucan HW, Thompson H. 2008. News and Volatility of Food Prices. Applied Economics. 40(13-15): 1629-1635.

LAMPIRAN

71 Lampiran 1 Hasil pengujian akar unit semua variabel 1 Harga beras Null Hypothesis: LN_BERASNOM has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-11.44791 -3.450474 -2.870302 -2.571508

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-12.42866 -2.572163 -1.941811 -1.616040

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-8.663466 -2.572163 -1.941811 -1.616040

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

2 Harga jagung Null Hypothesis: LN_JAGUNGNOM has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

3 Harga kedelai Null Hypothesis: LN_KEDELENOM has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

72 4 Nilai tukar bulanan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: EXC has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-2.618243 -3.987460 -3.424155 -3.135099

0.2725

t-Statistic

Prob.*

-6.488318 -3.987460 -3.424155 -3.135099

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-3.946736 -3.450617 -2.870359 -2.571538

0.0019

t-Statistic

Prob.*

-16.80786 -3.450682 -2.870387 -2.571554

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(EXC) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5 Suku bunga bulanan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: INT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(INT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

73 6 Volatilitas harga beras bulanan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: VOLTB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-8.661589 -3.450682 -2.870387 -2.571554

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-14.21619 -3.450878 -2.870473 -2.571600

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-6.221011 -3.450747 -2.870416 -2.571569

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-13.19029 -3.450878 -2.870473 -2.571600

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(VOLTB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

7 Volatilitas harga jagung bulanan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: VOLTJ has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(VOLTJ) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

74 8 Volatilitas harga kedelai bulanan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: VOLTK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-7.954252 -3.450617 -2.870359 -2.571538

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-13.69309 -3.450878 -2.870473 -2.571600

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-9.361856 -3.450617 -2.870359 -2.571538

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-14.04963 -3.450878 -2.870473 -2.571600

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(VOLTK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

9 Inflasi a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(INF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

75 10 PDB pertanian a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: PDB_P has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-1.747594 -4.048682 -3.453601 -3.152400

0.7228

t-Statistic

Prob.*

-47.10709 -4.048682 -3.453601 -3.152400

0.0001

t-Statistic

Prob.*

-4.638954 -3.493129 -2.888932 -2.581453

0.0002

t-Statistic

Prob.*

-9.255356 -3.495021 -2.889753 -2.581890

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(PDB_P) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

11 Suku bunga kuartalan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: INT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(INT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

76 12 Nilai tukar kuartalan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: EXC has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-2.160003 -4.048682 -3.453601 -3.152400

0.5063

t-Statistic

Prob.*

-6.426110 -4.048682 -3.453601 -3.152400

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-9.692637 -3.496346 -2.890327 -2.582196

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-11.56788 -3.501445 -2.892536 -2.583371

0.0001

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(EXC) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

13 Investasi dalam negeri a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: INV_DN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(INV_DN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

77 14 Investasi luar negeri a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: INV_LN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-5.952357 -3.501445 -2.892536 -2.583371

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-8.711750 -3.510259 -2.896346 -2.585396

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-7.536695 -3.492523 -2.888669 -2.581313

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-11.66113 -3.493747 -2.889200 -2.581596

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(INV_LN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

15 Volatilitas harga beras kuartalan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: VOLTB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(VOLTB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

78 16 Volatilitas harga jagung kuartalan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: VOLTJ has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-6.379636 -3.492523 -2.888669 -2.581313

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-13.64912 -3.493129 -2.888932 -2.581453

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-6.105862 -3.492523 -2.888669 -2.581313

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-11.42455 -3.493747 -2.889200 -2.581596

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(VOLTJ) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

17 Volatilitas harga kedelai kuartalan a) Uji akar unit pada level Null Hypothesis: VOLTK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference Null Hypothesis: D(VOLTK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

79 Lampiran 2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga pangan 1 Harga beras Dependent Variable: LN_BERASNOM Method: Least Squares Date: 08/21/13 Time: 17:23 Sample (adjusted): 1985M03 2011M12 Included observations: 322 after adjustments Convergence achieved after 12 iterations MA Backcast: 1985M01 1985M02 Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C AR(1) MA(1) MA(2)

0.010580 0.799961 -0.334801 -0.281032

0.002846 0.173382 0.189337 0.110688

3.718016 4.613854 -1.768281 -2.538963

0.0002 0.0000 0.0780 0.0116

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots Inverted MA Roots

0.192120 0.184499 0.026263 0.219344 717.0602 25.20767 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

.80 .72

0.010185 0.029083 -4.428945 -4.382057 -4.410226 2.026761

-.39

2 Harga jagung Dependent Variable: LN_JAGUNGNOM Method: Least Squares Date: 08/22/13 Time: 11:09 Sample (adjusted): 1985M02 2011M12 Included observations: 323 after adjustments Convergence achieved after 6 iterations MA Backcast: 1984M12 1985M01 Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C MA(1) MA(2)

0.009201 0.279426 0.123756

0.002236 0.055450 0.055464

4.115269 5.039211 2.231308

0.0000 0.0000 0.0264

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Inverted MA Roots

0.086307 0.080597 0.028665 0.262932 690.5152 15.11361 0.000001 -.14+.32i

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-.14-.32i

0.009221 0.029895 -4.257060 -4.221974 -4.243054 1.996156

80 3 Harga kedelai Dependent Variable: LN_KEDELENOM Method: Least Squares Date: 08/22/13 Time: 14:56 Sample (adjusted): 1985M03 2011M12 Included observations: 322 after adjustments Convergence achieved after 6 iterations MA Backcast: 1985M02 Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C AR(1) MA(1)

0.008532 0.685664 -0.159512

0.003179 0.069018 0.093630

2.683982 9.934633 -1.703629

0.0077 0.0000 0.0894

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots Inverted MA Roots

0.343161 0.339042 0.021321 0.145010 783.6875 83.32952 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.008518 0.026225 -4.848991 -4.813824 -4.834951 2.001486

.69 .16

Lampiran 3 Uji heteroskedastisitas 1 Uji heteroskedastisitas untuk data harga beras Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

7.510126 7.383387

Prob. F(1,319) Prob. Chi-Square(1)

0.0065 0.0066

2 Uji heteroskedastisitas untuk data harga jagung Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

46.24538 40.65857

Prob. F(1,320) Prob. Chi-Square(1)

0.0000 0.0000

3 Uji heteroskedastisitas untuk data harga kedelai Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

31.95259 29.22554

Prob. F(1,319) Prob. Chi-Square(1)

0.0000 0.0000

81 4 Uji heteroskedastisitas untuk model faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS

2.077380 49.83162 120.7241

Prob. F(26,295) Prob. Chi-Square(26) Prob. Chi-Square(26)

0.0020 0.0033 0.0000

5 Uji heteroskedastisitas untuk model faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga jagung Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS

2.824549 66.34894 255.3718

Prob. F(27,295) Prob. Chi-Square(27) Prob. Chi-Square(27)

0.0000 0.0000 0.0000

6 Uji heteroskedastisitas untuk model faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga kedelai Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS

4.509025 94.29238 405.3599

Prob. F(27,294) Prob. Chi-Square(27) Prob. Chi-Square(27)

0.0000 0.0000 0.0000

7 Uji heteroskedastisitas (uji ARCH-LM) terhadap model ARCH-GARCH untuk harga beras Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

1.275788 1.278673

Prob. F(1,319) Prob. Chi-Square(1)

0.2595 0.2581

8 Uji heteroskedastisitas (uji ARCH-LM) terhadap model ARCH-GARCH untuk harga jagung Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

1.310362 1.313174

Prob. F(1,320) Prob. Chi-Square(1)

0.2532 0.2518

9 Uji heteroskedastisitas (uji ARCH-LM) terhadap model ARCH-GARCH untuk harga kedelai Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

0.792350 0.795342

Prob. F(1,319) Prob. Chi-Square(1)

0.3741 0.3725

82 Lampiran 4 Model Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH) 1 Model ARCH-GARCH untuk data harga beras Dependent Variable: LN_BERASNOM Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 08/21/13 Time: 17:37 Sample (adjusted): 1985M03 2011M12 Included observations: 322 after adjustments Convergence achieved after 52 iterations MA Backcast: 1985M01 1985M02 Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(5) + C(6)*RESID(-1)^2 Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C AR(1) MA(1) MA(2)

0.004209 0.607224 -0.332983 -0.119489

0.001774 0.275792 0.266842 0.111829

2.372577 2.201749 -1.247865 -1.068498

0.0177 0.0277 0.2121 0.2853

15.85404 7.750194

0.0000 0.0000

Variance Equation C RESID(-1)^2

0.000291 0.980646

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.137938 0.124297 0.027215 0.234055 759.7552 10.11256 0.000000

Inverted AR Roots Inverted MA Roots

.61 .55

1.83E-05 0.126532

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-.22

0.010185 0.029083 -4.681709 -4.611376 -4.653630 1.614125

83 2 Model ARCH-GARCH untuk data harga jagung Dependent Variable: LN_JAGUNGNOM Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 08/22/13 Time: 11:41 Sample (adjusted): 1985M02 2011M12 Included observations: 323 after adjustments Convergence achieved after 56 iterations MA Backcast: 1984M12 1985M01 Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*RESID(-2)^2 Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C MA(1) MA(2)

0.008370 0.317118 0.151339

0.001825 0.065229 0.064002

4.586940 4.861593 2.364595

0.0000 0.0000 0.0180

9.533540 4.133076 4.752412

0.0000 0.0000 0.0000

Variance Equation C RESID(-1)^2 RESID(-2)^2

0.000307 0.282488 0.444197

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.084226 0.069781 0.028833 0.263531 749.2663 5.831028 0.000036

Inverted MA Roots

-.16+.36i

3.22E-05 0.068348 0.093468

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-.16-.36i

0.009221 0.029895 -4.602268 -4.532095 -4.574256 2.070861

84 3 Model ARCH-GARCH untuk data harga kedelai Dependent Variable: LN_KEDELENOM Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 08/22/13 Time: 15:19 Sample (adjusted): 1985M03 2011M12 Included observations: 322 after adjustments Convergence achieved after 63 iterations MA Backcast: 1985M02 Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*RESID(-2)^2 Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C AR(1) MA(1)

0.005242 0.560864 -0.352217

0.001307 0.163852 0.205257

4.011968 3.422980 -1.715985

0.0001 0.0006 0.0862

25.23285 5.555486 1.773039

0.0000 0.0000 0.0762

Variance Equation C RESID(-1)^2 RESID(-2)^2

0.000173 0.537462 0.090786

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.235719 0.223626 0.023107 0.168730 849.5780 19.49209 0.000000

Inverted AR Roots Inverted MA Roots

.56 .35

6.87E-06 0.096744 0.051204

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.008518 0.026225 -5.239615 -5.169282 -5.211536 1.281840

85 4 Model ARCH-GARCH untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Dependent Variable: VOLTB Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 01/25/14 Time: 14:04 Sample (adjusted): 1985M03 2011M12 Included observations: 322 after adjustments Convergence achieved after 134 iterations Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(8) + C(9)*RESID(-1)^2 + C(10)*GARCH(-1) + C(11)*GARCH(-2) Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C EXC OIL INT WORLDB PRODB WTH

1.972619 0.516912 0.601176 -0.020255 0.223926 -0.978705 -0.032853

5.252958 0.188558 0.154991 0.006724 0.256824 0.398236 0.024918

0.375525 2.741394 3.878769 -3.012399 0.871903 -2.457600 -1.318432

0.7073 0.0061 0.0001 0.0026 0.3833 0.0140 0.1874

8.811241 2.807149 63.64576 -33.06243

0.0000 0.0050 0.0000 0.0000

Variance Equation C RESID(-1)^2 GARCH(-1) GARCH(-2)

0.010446 0.009919 1.888506 -0.917502

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.194538 0.168639 0.750043 174.9576 -341.0700 7.511403 0.000000

0.001186 0.003533 0.029672 0.027751

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-7.556859 0.822605 2.186770 2.315714 2.238249 1.736655

86 5 Model ARCH-GARCH untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga jagung Dependent Variable: VOLTJ Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 01/26/14 Time: 12:16 Sample (adjusted): 1985M02 2011M12 Included observations: 323 after adjustments Convergence achieved after 115 iterations Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(9) + C(10)*RESID(-1)^2 + C(11)*RESID(-1)^2*(RESID(-1)<0) + C(12)*GARCH(-1) + C(13)*WORLDJ Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

LOG(GARCH) C EXC OIL INT WORLDJ PRODJ WTH

0.723448 -5.314110 0.421632 0.096857 -0.019169 0.943353 -0.337454 -0.030831

0.127530 1.632376 0.150817 0.150020 0.003601 0.498036 0.119723 0.025701

5.672756 -3.255445 2.795647 0.645626 -5.323043 1.894147 -2.818620 -1.199596

0.0000 0.0011 0.0052 0.5185 0.0000 0.0582 0.0048 0.2303

12.98601 3.506664 -3.673366 4.437962 -3.995704

0.0000 0.0005 0.0002 0.0000 0.0001

Variance Equation C RESID(-1)^2 RESID(-1)^2*(RESID(-1)<0) GARCH(-1) WORLDJ R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.121711 0.776167 -0.848346 0.174093 -0.135849 0.592381 0.576602 0.463977 66.73510 -171.2226 37.54286 0.000000

0.009372 0.221341 0.230945 0.039228 0.033999

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-7.477282 0.713053 1.140697 1.292739 1.201390 1.766166

87 6 Model ARCH-GARCH untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga kedelai Dependent Variable: VOLTK Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 01/26/14 Time: 22:52 Sample (adjusted): 1985M04 2011M12 Included observations: 321 after adjustments Convergence achieved after 80 iterations Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(9) + C(10)*RESID(-1)^2 + C(11)*GARCH(-1) + C(12)*PRODK Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C EXC OIL INT WORLDK PRODK WTH AR(1)

-19.05459 0.607132 0.478212 -0.019674 -0.935678 0.463191 0.057833 0.491788

3.990355 0.203085 0.223414 0.006835 0.535410 0.265735 0.038947 0.068455

-4.775161 2.989548 2.140474 -2.878580 -1.747592 1.743059 1.484926 7.184124

0.0000 0.0028 0.0323 0.0040 0.0805 0.0813 0.1376 0.0000

2.159124 2.106364 10.72191 -2.053008

0.0308 0.0352 0.0000 0.0401

Variance Equation C RESID(-1)^2 GARCH(-1) PRODK

0.372923 0.059677 0.792059 -0.029307

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.495938 0.477994 0.516062 82.29303 -225.6442 27.63820 0.000000

Inverted AR Roots

.49

0.172720 0.028332 0.073873 0.014275

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-8.114688 0.714274 1.480649 1.621637 1.536942 1.828115

88 Lampiran 5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor pertanian 1 Model inflasi Dependent Variable: INF Method: Least Squares Date: 07/10/14 Time: 07:02 Sample (adjusted): 1985M03 2011M11 Included observations: 321 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C VOLTB VOLTJ VOLTK EXC INT

0.817597 0.035284 0.405110 0.113879 0.502216 -0.044852

2.841391 0.085209 0.095534 0.104135 0.271102 0.009166

0.287745 0.414082 4.240470 1.093571 1.852500 -4.893195

0.7737 0.6791 0.0000 0.2750 0.0649 0.0000

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.291716 0.280474 1.098333 379.9957 -482.5586 25.94740 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.801931 1.294824 3.043979 3.114473 3.072126 1.181137

2 Model PDB sektor pertanian Dependent Variable: PDB_P Method: Least Squares Date: 03/17/14 Time: 14:06 Sample: 1985Q1 2011Q4 Included observations: 100 Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

VOLTB VOLTJ VOLTK EXC INT INV_DN INV_LN C

0.029769 -0.132078 -0.058297 0.141567 -0.010873 -0.006801 0.013890 8.522149

0.028605 0.032554 0.033161 0.084806 0.002987 0.013527 0.009399 0.939592

1.040699 -4.057157 -1.758005 1.669307 -3.640034 -0.502824 1.477810 9.070049

0.3007 0.0001 0.0821 0.0985 0.0005 0.6163 0.1429 0.0000

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.336580 0.286102 0.175306 2.827352 36.39763 6.667902 0.000002

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

10.92566 0.207481 -0.567953 -0.359539 -0.483604 1.169156

89 Lampiran 6 Uji stasioneritas terhadap residual persamaan jangka panjang 1 Model inflasi Null Hypothesis: UT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-11.74569 -3.450617 -2.870359 -2.571538

0.0000

t-Statistic

Prob.*

-6.545941 -2.590340 -1.944364 -1.614441

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

2 Model PDB sektor pertanian Null Hypothesis: UT has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

90 Lampiran 7 Estimasi Error Correction Model (ECM) 1 Model inflasi Dependent Variable: INF Method: Least Squares Date: 07/10/14 Time: 07:12 Sample (adjusted): 1985M04 2011M11 Included observations: 320 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C D(VOLTB) D(VOLTJ) D(VOLTK) D(EXC) D(INT) VOLTB(-1) VOLTJ(-1) VOLTK(-1) INT(-1) EXC(-1)

-0.187908 0.066052 0.603552 0.167156 3.797230 -0.060305 -0.069175 0.382587 0.112292 -0.049144 0.508051

2.875641 0.083948 0.122316 0.119457 1.144428 0.016909 0.112290 0.104090 0.117678 0.009528 0.268948

-0.065345 0.786819 4.934364 1.399302 3.318017 -3.566543 -0.616037 3.675525 0.954228 -5.157996 1.889027

0.9479 0.4320 0.0000 0.1627 0.0010 0.0004 0.5383 0.0003 0.3407 0.0000 0.0598

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.341952 0.320656 1.066010 351.1408 -468.9189 16.05705 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.796625 1.293351 2.999493 3.129029 3.051220 1.356477

91 2 Model PDB sektor pertanian Dependent Variable: PDB_P Method: Least Squares Date: 03/17/14 Time: 14:20 Sample (adjusted): 1986Q1 2011Q4 Included observations: 92 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C D(VOLTB) D(VOLTJ) D(VOLTK) D(INT) D(EXC) D(INV_DN) D(INV_LN) VOLTB(-1) VOLTJ(-1) VOLTK(-1) INT(-1) EXC(-1) INV_DN(-1) INV_LN(-1)

9.101386 0.029107 -0.049156 -0.057204 -0.010603 -0.375456 -0.008282 0.006492 0.038797 -0.184376 -0.066778 -0.015391 0.035120 -0.004836 0.013526

1.125175 0.028234 0.037083 0.033081 0.003431 0.220611 0.016170 0.010406 0.039639 0.037304 0.041266 0.003445 0.094987 0.021061 0.010933

8.088865 1.030919 -1.325576 -1.729193 -3.090189 -1.701894 -0.512200 0.623898 0.978752 -4.942476 -1.618234 -4.467771 0.369736 -0.229623 1.237126

0.0000 0.3058 0.1889 0.0878 0.0028 0.0928 0.6100 0.5345 0.3308 0.0000 0.1097 0.0000 0.7126 0.8190 0.2198

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.437976 0.335790 0.159479 1.958380 46.54252 4.286061 0.000015

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

10.94378 0.195682 -0.685707 -0.274546 -0.519759 1.306335

92 Lampiran 8 Korelogram untuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan 1 Volatilitas harga beras

2 Volatilitas harga jagung

93 3 Volatilitas harga kedelai

Lampiran 9 Uji normalitas pada variabel harga pangan 1 Harga beras

70

Series: Standardized Residuals Sample 1985M03 2011M12 Observations 322

60 50 40 30 20 10 0 -2.50

-1.25

0.00

1.25

2.50

3.75

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

0.175181 0.049191 4.744584 -3.434079 0.986072 1.206162 7.523911

Jarque-Bera Probability

352.6581 0.000000

94 2 Harga jagung

100

Series: Standardized Residuals Sample 1985M02 2011M12 Observations 323

80

60

40

20

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

0.015741 -0.100126 7.129202 -2.844599 1.001420 1.614311 11.69352

Jarque-Bera Probability

1157.433 0.000000

0 -2

0

2

4

6

3 Harga kedelai

90

Series: Standardized Residuals Sample 1985M03 2011M12 Observations 322

80 70 60 50 40 30

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

0.059378 -0.050375 7.299033 -2.967327 0.999764 1.581062 11.99563

Jarque-Bera Probability

1219.849 0.000000

20 10 0 -2

0

2

4

6

95 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1988 dari pasangan Hardjanto dan Sri Sudaryanti. Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Fakultas Ekonomi dan Manajemen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan sebagai program studi yang dijalankan. Pada tahun 2010 penulis menyelesaikan program pendidikan sarjana. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi Pascasarjana di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Bakrie Centre Foundation (BCF). Karya ilmiah yang berjudul Volatility of Food Prices and Its Influencing Factors in Indonesia telah disajikan pada Malaysia-Indonesia International Conference on Economics, Management and Accounting (MIICEMA) pada bulan Oktober 2013. Sebuah artikel akan diterbitkan pada Asean Journal of Economics, Management and Accounting pada tahun 2014.