BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia didefinisikan sebagai penyakit mental dengan gangguan otak yang kompleks. Eugene Bleuler adalah ahli psikiatri pertama yang mendefinisikan skizofrenia sebagai schizos yang berarti terbelah atau terpecah dan phrein yang berarti otak. Menurut Nevid dkk, (2002:110) skizofrenia adalah penyakit pervasif yang mempengaruhi lingkup yang luas dari proses psikologis mencakup kognisi, afek, dan perilaku. Mereka kehilangan jati diri dan mengalami kegagalan dalam menjalankan peran dan fungsinya di dalam masyarakat. Pikiran dan perasaan yang tidak seimbang menyebabkan penderita skizofrenia terputus dari realitas. Penyakit ini menjadi persoalan serius di beberapa negara seperti di Inggris, Amerika dan Belanda. Royal College of Psychiatris di Inggris melaporkan bahwa satu diantara seratus orang mengembangkan skizofrenia pada suatu saat dalam hidupnya (Cumming 2010: 201). Wu dkk (2006) melaporkan bahwa pada tahun 2002 prevalensi dua belas bulan skizofrenia yang terdiagnosis diperkirakan sebesar 5,1 per seribu jiwa dimana angka kejadiannya jauh lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan yaitu (1:4). Di Indonesia ada sebanyak 80 persen penderita skizofrenia yang tidak diobati. Seperti yang dinyatakan dalam situs www.kompas.com tanggal 15 September 2013, Berdasarkan survey Kementrian Sosial tahun 2008, penderita skizofrenia di Indonesia ada 650.000 orang. Sekitar 30.000 orang dipasung dengan alasan agar tidak membahayakan orang lain atau menutupi aib keluarga,”
1
Hal yang sama disampaikan oleh Direktur RSJ Menur Surabaya Adi Wirachjanto, awal tahun 2011 dilaporkan ada 761 kasus skizofrenia dengan 500 penderita diantaranya dipasung di Jawa Timur dan menurut beliau ada 28.000 penderita gangguan jiwa berat yang tersebar di 28 Kabupaten/kota di Jawa Timur. (Kompas, 4 November 2013) Sementara masyarakat yang masih awam dengan penyakit ini, tidak mengenali fase-fase yang terdapat pada penderita skizofrenia. Pada fase awal atau prodormal penderita akan terlihat murung, menarik diri dari lingkungannya, sedikit bicara, dan malas dalam beraktifitas. Dari sini akan terjadi penurunan peran dan fungsi dalam sosial kemasyarakatan. Fase ini sering tidak disadari oleh keluarga, teman dekat atau bahkan penderita skizofrenia sendiri. Secara tidak sadar penderita akan memasuki fase berikutnya yaitu fase akut dimana mereka akan mengalami waham dan halusinasi.
Waham dan
halusinasi ini merupakan gejala positif pada penderita skizofrenia. Waham adalah suatu keyakinan yang salah atau ‘false belief’ yang sifatnya tidak rasional. Misalnya penderita merasa dirinya sebagai seorang utusan, nabi, messiah, merasa dikendalikan oleh makhluk dari luar angkasa, atau merasa bahwa semua teman sekelasnya membenci dan ingin menyakiti dirinya, sedangkan halusinasi adalah penangkapan panca indera yang keliru, misalnya dia merasa mendengar orang berbicara atau memanggil namanya padahal di ruangan tersebut tidak ada siapa pun selain dirinya. Selain gejala positif, penderita skizofrenia juga memiliki gejala negatif. Salah satu gejala negatifnya adalah gangguan berbahasa. Menurut Burne,
3
penderita skizofrenia memiliki hendaya kognitif sosial yang didefinisikan sebagai Theory of Mind (TOM).
Dalam hal ini TOM berperan penting dalam
menentukan bagaimana seseorang tersebut berbicara, menggunakan bahasa, mempersepsikan emosi dan dan bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. TOM
pada penderita skiozfrenia sangat lemah sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk mempersepsikan emosi dan pembicaraan orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan memahami perspektif pihak ketiga dan tidak memahami perilaku dan ucapan mereka sebagai hal yang tidak sesuai secara sosial pada situasi tertentu (Carini &Nevid, 1992). Penderita skizofrenia mengalami ketidaknormalan dalam pemroduksian bahasa. Ketidaknormalan pemroduksian bahasa tersebut tidak hanya dari segi fonologi saja, tetapi juga dari perubahan grammar dan sintaksis.
Sehingga
menyebabkan kata-katanya sangat sulit untuk dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Chaika membuktikan bahwa tingkattingkat gangguan berbahasa mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Chaika meneliti beberapa penderita skizofrenia dengan gangguan kronis. Ia menemukan bahwa terdapat kesalahan pada klausa gabungan dan klausa sematan. Dalam hal ini mereka mengalami gangguan dalam semantik leksikal dan neologisme dalam tuturan. Salah satu contoh bentuk gangguan berbahasa pada penderita skizofrenia adalah kata - kata yang mereka ucapkan atau tuliskan tidak beraturan. Seperti contoh tulisan penderita skizofrenia hebefrenik berikut ini. “Akhirnya kami yakin 100% bahwa perintah Rasul pasti banyak yang menjalankan dan pasti terwujud berdasarkan sabda Rasullulah lewat”
4
1. Demokrasi manusia Internasional SEHAT JIWA di SWEDIA Newyork/RSA, bahwa kepemimpinan Indonesia-Indonesisich mensfeeld akan muncul th. 2015 Demokrasi manusia sehat jiwa diantaranya a. Prof.Dr.Dr. I. Magnis Soeseno dari Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Etika Griya R. RARA Jakarta b. Prof. Dr. Bapang Nasution, SH, MH c. Tokoh-tokoh Media Cetak + televise yang menolak produk d. eksekutif, yudikatif, dan legislative NKRI PREMANISME 1965-2014. Penderita skizofrenia ini mengirim surat yang tidak jelas ditujukan kepada siapa dengan kop surat bertuliskan RASULULLAH Tulisan ini ditulis oleh penderita skizofrenia hebefrenik. Penderita menulis surat yang dimasukkan ke dalam amplop kemudian diserahkan kepada dokter yang merawatnya di poli RSUD Dr. Sutomo. Contoh data lain adalah percakapan peneliti dengan salah satu penderita skizofrenia di facebook. Peneliti adalah (M) sedangkan penderita adalah (T). T : Maaf …. Untuk berikutnya… saya hanya akan berinteraksi kepada hal-hal yang betul-betul ‘CARE’ bila hanya ingin menuntut prestise pribadi atau kepentingan-kepentingan profit/ egosentris, maka dengan ini saya mengundurkan diri dari aktifitas KPSI dan pertemanan yang KITA jalin selama ini.
The Wall post :*) Miza Rahmatika Aini (October 5, 2013). Alhamdulillah .. perjalanan yang menyenangkan, mengharukan, dan banyak hal yang harus dipelajari. Terimakasih atas pertemuan, interaksi, dan diskusi yang menghangatkan hati… semoga ada kesempatan untuk bertemu lagi. M : Maaf Saya ndak ngerti maksudnya gimana ya? Saya tidak mengerti masalahnya. T : No. comment… tunggu statement terbuka saya yang akan saya sebar di internet M : Astaghfirullah T : Sekedar bocoran..mereka yang tergabung di KPSI (sebagian besar ) tendensinya hanya pada prestise dan keutungan/profit pribadi dengan memanfaatkan komunitas.. itu saja statement dari saya. Maaf anda termasuk yang akan saya hapus dari pertemanan di FB. Terimakasih atas doanya
5
Percakapan ini berlangsung di media sosial facebook dalam kotak pesan. Penderita (T) tiba-tiba memberikan komplain kepada peneliti (M) yang selama ini bekerja sebagai sukarelawan di KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia). Dia menganggap (M) dan pegiat KPSI lainnya hanya mementingkan profit dan eksistensi.
Dia menunjukkan bukti “wall post” yang diposting oleh M pada
tanggal 5 Oktober 2013 dan mengartikan wall post*) tersebut sebagai suatu wacana yang membahayakan dan mengganggu kehormatan dirinya. Dalam hal ini T tidak mampu memahami secara jelas bahwa wall post *) tersebut ditujukan untuk menjalin persahabatan. T cenderung mengartikannya sebagai sesuatu hal yang membahayakan dan berupa pernyataan buruk sangka bahwa KPSI hanya mementingkan prestise. Alih-alih dalam kenyataannya KPSI bergerak di bidang sosial kemasyarakatan tanpa menarik biaya. Kemudian kata ‘astaghfirullah’ Yng diucapkan oleh M diartikan sebagai ‘doa’. Padahal makna astaghfirullah disini M merasa marah dan jengkel terhadap T. Data berikut ini juga menggambarkan kerancuan bahasa yang digunakan oleh penderita skizofrenia. Tulisan ini dibuat oleh HK pada masa recovery atau menuju kesembuhan, Assalamualaikum wr.wb. Salam bahagia dan sejahtera selalu pada saat pada sahabatsahabatku,keluargaku khususnya ayah, bunda, adik-adikku, serta para pembaca semua. Karya tulis saya ini saya persembahkan hasil dari inspirasi perjalanan dan cerita waylife pribadi yang saya alami dalam pandang dunia dan dunia realiti sejak dari masa lalu dan masa kini. Sejarah jaman dan peradaban masa
6
lalu turut memperkaya permasalah, motivator, dan wawasan saya, begitu juga problematika dan dilema, serta realiti dari keputusan yang harus aku lakukan untuk menentukan sikap realita perjalanan hidup (waylife of chnaged). Sebuah perubahan
dalam
kehidupan
realita
pribadi
aku
yang
cenderung
progresive/revolusioner. Dari data tersebut bisa dijelaskan bahwa penderita bernama (T) membuat sebuah tulisan untuk kata pengantar, namun bahasanya bercampur sehingga tidak bisa dikenali fungsi dan maknanya. Dia bahkan memenggabungkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia secara tidak tepat (waylife pribadi) seharusnya kata waylife tersebut bisa diganti dengan ‘kehidupan’. Perubahan yang begitu relatif cepat yang aku rasakan bahkan melampaui batas ruang dan waktu antar peradaban dalam kehidupan realita pribadi antar peradaban atau time futuristik decade moment. Kalimat diatas sangat sulit untuk dipahami maknanya. Karena penggunaan kata yang berulang-ulang seperti peradaban, dan kata yang tidak patut untuk digunakan ‘ yaitu ‘futuristik’, mungkin yang dimaksud adalah masa depan. Dari ketiga jenis data tersebut dapat terlihat kekacauan bahasanya dan ketidakmampuan dalam memahami konteks tuturan. Orang di luar skizofrenia mengatakan bahwa penderita skizofrenia berperilaku aneh dan kata-kata yang mereka ucapkan seringkali sulit dipahami maknanya. Ketidakmampuan dalam berkomunikasi tersebut menjadi salah satu sebab masyarakat memberikan stigma negatif.
7
Fenomena-fenomena kekacauan berbahasa yang terjadi pada penderita skiozfrenia
membuat peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisa pola
bahasa tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya membahas tentang gangguan berbahasa pada tataran fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik namun belum menjelaskan secara detail bentuk gangguannya. Salah satu penelitian dilakukan oleh Michael A Covington dalam jurnalnya yang berjudul Skizofrenia and The Structure of Language menemukan bahwa penderita skizofrenia mengalami kesalahan berbahasa pada level semantik dan pragmatik. Namun pada jurnal ini tidak dideskripsikan dengan jelas dimana letak kesalahannya. Melihat fenomena bahwa gangguan berbahasa antara penderita skizofrenia berbeda satu sama lain maka peneliti berusaha untuk melihat pola bahasa penderita semua jenis skizofrenia yang berada pada fase akut dan residual. Karena dengan meneliti dan meganalisis pola bahasanya tipe data yang diperoleh akan lebih banyak dan bervariasi. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk melihat tingkat keparahan penderita skizofrenia. Sejauh mana tingkat keparahan bahasa penderita skizofrenia Dalam hal ini teori yang digunakan untuk menganalisis data tersebut adalah psikolinguistik. Psikolinguistik merupakan kerjasama secara langsung antara disiplin linguistik dan psikologi (Chaer Abdul, 2009:16). Sebagai disiplin ilmu mandiri psikolinguistik membahas tentang bagaimana lahirnya satu ucapan yang bukan merupakan serentetan respon dari luar melainkan merupakan satu kejadian akal, dan struktur sintaksis secara tidak langsung dihubungkan dengan otak manusia. Dalam Psikolinguistik, grammar tidak bisa dipisahkan dari aspek
8
kognisi manusia karena bahasa yang diproduksi manusia merupakan cerminan dari aspek psikologi pada manusia itu sendiri. Untuk proses analisis yang lebih dalam peneliti akan membahas tentang pola bahasa skizofrenia yang dibedakan menjadi pola bahasa skizofrenia akut, pola bahasa skizofrenia residual, dan proses produksi bahasa pada penderita skizofrenia
1.2 Masalah dan ruang lingkup 1.2.1 Masalah Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang terdapat tiga rumusan masaalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana proses produksi bahasa pada penderita skizofrenia? 2. Bagaimana pola bahasa penderita skizofrenia akut? 3. Bagaimana pola bahasa pada penderita skizofrenia residual? 1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian ini berada dalam ruang lingkup semua jenis skizofrenia yang berada pada fase akut dan fase residual yang berada di RSJ Radjiman Wedyodiningrat Lawang. 1.2.3
Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan proses produksi bahasa pada penderita skizofrenia 2) Mendeskripsikan pola bahasa penderita skizofrenia akut 3) Mendeskripsikan pola bahasa penderita skizofrenia residual
9
1.2.4
Manfaat Penelitian
1.2.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian dalam bidang ilmu linguistik, khususnya psikolonguistik belum banyak di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi referensi dan acuan bagi para peneliti yang tertarik dalam penelitian psikolinguistik
khususnya mengkaji gangguan berbahasa pada
penderita gangguan kejiwaan seperti skizofrenia, bipolar atau retardasi mental 1.2.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu psikoterapi dan social skill training dalam dunia kedokteran. Karena selama ini dunia kedokteran belum bisa
memahami secara utuh dan menyeluruh pola berbahasa dan
komunikasi penderita skizofrenia. Selain itu penelitian ini bermanfaat bagi orang di luar skizofrenia agar bisa memahami bahasa penderita skizofrenia.
Bagi penderita skizofrenia sendiri
penelitian ini dapat membantu mereka untuk bisa memahami diri mereka sendiri dan memahami pola komunikasi orang lain. Sehingga pada perkembangannya stigma negatif bahwa penderita penyakit ini bisa berkurang dan penderita bisa kembali ke masyarakat.
10
1.3 Tinjuaun Pustaka Pada awal tahun 1990, banyak ahli bahasa yang mulai tertarik untuk mengkaji bahasa penderita skizofrenia. Cummings dalam bukunya Pragmatik Klinis mengumpulkan berbagai jurnal, artikel, dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli bahasa. Diantaranya adalah; a.
Chaika Dalam jurnalnya Understanding Psychotic Speech: beyond Freud
and
Chomsky (1990) menyebutkan bahwa semua tingkat bahasa menjadi terganggu pada skizofrenia tingkat-tingkat ini mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kesalahan sintaksis relatif umum terjadi pada skizofrenia. Pada penderita skizofrenia kesalahan sintaksis relative umum dan kebanyakan mereka menggunakan frase-frase kata depan dan kata kerja yang tidak lengkap. b. Delisi Penelitian lain dilakukan oleh Delisi (2001) menemukan bahwa kompleksitas kalimat berkurang pada penderita skizofrenia. Semantik Leksikal dalam skizofrenia menjadi terganggu. Neologisme seringkali terjadi dalam tuturan skizofrenia, seperti dalam penggunaan kata geshinker dalam kutipan berikut dari Thomas. ‘I got So Angry I picked up a dish and threw it at the geshinker (1997:38). c.
Corcoran dan Firth Corcoran dan Firth (1996) meneliti kesantunan dan apresiasi terhadap
maksim kuantitas, maksim kualitas dan maksim hubungan Grice dalam
11
hubungannya dengan para penderita skizofrenia dengan berbagai profil gejala yang berbeda.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa, para subjek
skizofrenia dengan gejala-gejala yang negatif mematuhi maksim hubungan. Grice dalam hubungannya dengan para penderita skizofrenia dengan berbagai profil gejala yang berbeda. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya peneliti menemukan belum jelasnya tipe data yang diambil oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Seperti misalnya penelitian Chaika yang menyebutkan adanya gangguan berbahasa pada level fonologi sampai pragmatik tidak dijelaskan jenis dan tipe penderita skizofrenia. Ketidak jelasan tipe data tersebut juga ditemukan pada penelitian Delisi, Corcoran, dan Firth. Sehingga
peneliti tertarik untuk
mengambil objek semua tipe skizofrenia yang berada dalam fase akut dan residual. Dari tipe skizofrenia tersebut peneliti akan menganalisis pola kohesi, koherensi, kalimat, dan bentukan kata. Alasan lain dilakukannya penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu mengambil objek dari luar negeri. Pada hakikatnya struktur sintaksis, semantik, fonologi, dan konteks pragmatik yang dipakai tidak bisa dijadikan acuan sepenuhnya untuk penderita di Indonesia. Karena konsep kompetensi dan performansi bahasa Indonesia tentunya berbeda dengan konsep di Amerika, Inggris, Belanda dan negara-negara yang lainnya. Melihat fenomena tersebut, maka peneliti memfokuskan pada penelitian pada pasien rumah sakit jiwa di Indonesia dengan menggunakan dasar teori psikolinguistik.
12
1.4 Landasan Teori 1.4.1
Psikolinguistik
Psikolinguistik, sebagaimana tertera pada istilah ini adalah ilmu hibrida, yakni, ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu: psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke 20 tatkala psikolog Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess,1992). Pada
waktu itu telaah
bahasa mulai mengalami perubahan dari sifatnya yang estetik dan cultural ke suatu pendekatan yang “ilmiah”. Sementara itu, di benua Amerika kaitan antara bahasa dan ilmu jiwa juga mulai tumbuh. Perkembangan ini bisa dibagi menjadi empat tahap (Kess, 1992):a tahap formatif, b) tahap linguistic, c) tahap kognitif, dan d) tahap teori psikolinguistik, realita psikologis dan ilmu kogntif. Pada tahap akhir psikolinguistik tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu ilmu lain karena pemerolahan dan penggunaan bahasa manusia menyangkut cabang ilmu
pengetahuan yang lain. Psikolinguistik tidak lagi
terdiri dari psiko dan linguistik saja tetapi juga menyangkut ilmu ilmu lain seperti neurologi, filsafat, primatologi dan genetika. Aitchinson(1998:1) mendefinisikan psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran Harley (2001:1) menyebutnya sebagai suatu studi tentang proses proses mental dalam pemakaian bahasa. Sementara itu, Clark dan Clark (1977:4) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama yaitu komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Dari definisi-definisi ini
13
dapatlah disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa. Menurut Dardjowijojo, Secara rinci, psikolinguistik mempelajari empat topik utama : a) komprehensi yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, b) produksi, yakni proses-proses mental dalam diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bias berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka. Pateda (1990: 18 ) menyatakan bahwa pendekatan bahasa dari segi-segi yang bersifat psikologis merupakan kajian psikolinguistik. Di sini bahasa tidak dilihat sebagai bahasa, tetapi bahasa yang terdapat dalam proses, terutama proses yang berada dalam pikiran kita. Sementara itu objek kajian psikolinguistik adalah bahasa yang merupakan cerminan proses dalam jiwa manusia. Bahasa orang yang sedang marah akan lain perwujudan bahasa yang digunakan dengan orang yang sedang sedih atau bergembira. Titik berat psikolinguistik yang telah dikemukakan selalu ditonjolkan proses bahasa yang terjadi di otak pembicara maupun proses yang terjadi di otak pendengar. Hasil pekerjaan seorang psikolinguis adalah deskripsi bahasa yang berproses dalam diri manusia. Sehingga yang diteliti dan dianalisa adalah bahasa yang berhubungan dengan pikiran manusia.
14
1.4.2
Skizofrenia
Definisi penyakit skizofrenia dalam hal ini mengalami perubahan dari satu definisi yang lebih sempit menjadi definisi yang lebih kompleks. Pada masa Krappelin (1856-1926) Skizofrenia didefinisikan sebagai “dementia preacocks” yang artinya mengacu pada hendaya premature (premature impairment) dari kemampuan mental. Krappelin meyakini bahwa gejala skxizofrenia berasal dari sebuah patologi yang tidak didefinisikan. Kemudian pengkajian dan penelitian penyakit ini berkembang sehingga seorang prikiater yang hidup pada tahun (1857-1939) yang bernama Eugene Bleuler mendefinisikan penyakit ini sebagai penyakit ‘skizofrenia’ yang berasal dari kata ‘schizos’ yang berarti terpotong atau terbelah dan ‘’phren, berarti ‘otak’. Bleuler melihat gejala skizofrenia sebagai sebuah gejala tumpulnya afek dan ketidaksesuaian antara pikiran dan perasaan penderitanya. Misalnya penderita skizofrenia yang mengalami kesedihan justru dia akan tertawa terbahak-bahak. Namun ketika bersedih dia justru menangis tersedu-sedu. Istilah skizofrenia dipertahankan hingga saat ini dan definisi gejalanya mulai diperluas. Pada fase awal penderita akan mengalami fase prodormal yaitu dimana terjadi penurunan yang berangsur-angsur dalam fungsi individu. Periode ini disebut periode kemunduran dimana penderita terlihat murung, menarik diri dari aktifitas sosial, berkurangnya minat, dan sulit berkonsentrasi terhadap suatu hal, serta mengalami gangguan tidur dan penurunan nafsu makan. Setelah fase ini berjalan selama beberapa episode, dalam hal ini bisa beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun, penderita akan mengalami fase akut. Pada fase ini penderita
15
skizofrenia akan cenderung lupa pada dirinya sendiri, mengalami waham, delusi, dan halusinasi dan simtom-simtom psikotik lainnya seperti perilaku aneh, menimbun makanan, sampah atau berbicara sendiri di jalan . Jika mendapatkan
pengobatan
dan
perawatan
intensif penderita
skizofrenia akan berangsur-angsur sembuh dengan mengalami fase residual dimana gejela-gejala psikotik sudah menurun namun penderita masih terganggu oleh perasaan apatis yang dalam. Penderita tersebut mengalami akan kesulitan dalam berpikir, berbicara dengan jelas, dan menympan ide yang tidak biasa, seperti keyakinan tentang telepati atau pandangan masa depan. Dalam hal ini ada beberapa kasus yang bisa sembuh total tanpa ada gejala namun mengalami penurunan kognsi dan afektif, ada pula yang terjebak dalam fase akut dan residual sehingga tidak dapat menjalankan fungsi dan peranan sebagai anggota masyarakat. Gejala-gejala yang menjadi cirri khusus penderita skizofrenia adalah sebagai berikut; Dalam buku Schizophrenia and Overview and Practical Book disebutkan ada dua gejala, yaitu gejala positive dan gejala negative yang akan dijelaskan sebagai berikut; 1) Gejala Positif Seseorang dikatakan menderita skizofrenia jika dia mengalami gejala halusinasi. Penderita skizofrenia mendengar suara-suara yang berupa ejekan, cemoohan, atau suruhan untuk melakukan sesuatu. Halusinasi tersebut bisa berupa halusinasi auditory, halusinasi visual, dan halusinasi penciuman
16
Penderita juga mencium bau aneh yang tidak dirasakan oleh orang lain seperti bau wangi bunga, bau busuk, asap, dan sebagainya. Selain halusinasi, gejala positif yang lainnya adalah delusi atau disebut waham. Delusi atau waham adala keyakinan yang salah dan cara berpikir yang keliru yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Misalnya, dia yakin bahwa temanteman sekelasnya membenci dirinya dan orang-orang sekitarnya mengejek dirinya. Dia juga meyakini bahwa dirinya sangat buruk dan tidak ada orang yang menyayanginya. Ketika orang lain menceritakan sesuatu maka ia menganggap cerita itu merupakan sindiran dan cemoohan. Pada fase akut, waham yang berkembang adalah waham kebesaran, waham curiga, waham kejar, waham kenabian, dan lain sebagainya. 2) Gejala Negatif Gejala negatif pada penderita skizofrenia meliputi gangguan isi peikiran, emosi tidak terarah atau emosi datar, gangguan wicara dan bahasa seperti lambat dalam berbicara, tidak teraturnya topik pembicaraan, dan kurang motivasi. Gejala lain yang paling menonjol adalah penarikan diri dari lingkungan sosial. Terdapat beberapa spekulasi para ahli psikiatri tentang penyebab penyakit ini. Sampai saat ini penelitian, seminar dan kongres masih terus diadakan untuk membahas penyakit ini. Dari perkembangan terakhir ilmu psikiatri terdapat beberapa penyebab terjadinya penyakit skizofrenia. Diantaranya adalah;
17
1) Faktor Perspektif Psikodinamika Teori ini dicetuskan oleh Sigmeund Freud yang menyatakan bahwa skizofrenia merupakan kegagalan dari ego untuk mengendalikan diri manusia. Dalam diri manusia terdapat id, ego, dan superego dimana ego berfungsi sebagai tindak eksekutif yang berkaitan dengan pengambilan sikap dan keputusan. Pada penderita skizofrenia, id berkembang lebih pesat dan tidak bisa dikendalikan meski orang tersebut sudah menjalani proses kedewasaan. Sehingga manusia akan kembali seperti bayi dengan fantasi-fanatsi di luar realitas. 2) Faktor Genetis Pendapat lain yang menyebutkan faktor penyebab skizofrenia adalah faktor genetis. Dalam hal ini ada banyak gen yang bertanggung jawab terhadap kemunculan penyakit ini. (Buchsba dkkdalam Psikologi Abnormal 2003:122) Menurut penelitian semakin dekat hubungan genetis antara orang yang didiagnosis skizofrenia
dan anggota keluarga mereka maka semakin besar
kecenderungan skizofrenia. Meador-Woodorf (1997) menyatakan bahwa dari keseluruhan bukti menunjukkan bahwa penderita skizofrenia mengalami ketidakteraturan dalam jalur syaraf di otak yang memanfaatkan dopamine. Satu kemungkinan adalah reaktivitas berlebihan dari reseptor dopamine terlibat untuk menghasilkan pola prilaku simtom positif namun tidak simtom negative. Neurotransmitter lain yang berpengaruh pada skizofrenia adalah norepinefrin, serotonin, dan GABA.
18
3) Infeksi Virus Menurut Mortensen (1999) skizofrenia disebabkan oleh virus yang ditunjukkan oleh data bahwa penderita skizofrenia banyak dilahirkan di musim dingin. Namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci virus apa yang menjadi faktor penyebab skizofrenia. Teori ini hanya terjadi pada beberapa kasus. 4) Ketidaknormalan otak Dari penelitian yang dilakukan oleh Coursey, Alford, &Safarjan, 1997) Ventrikel yang membesar merupakan tanda-tanda hilangnya jaringan otak (hilangnya sel-sel). Para peneliti juga menemukan bahwa otak penderita skizofrenia rata-rata sekitar 5% lebih kecil, dari volume total dibandingkan indiidu yang normal. Dengan pengurangan volume terbesar pada korteks serebral (Cowan & Kandel, 2001). Korteks prefrontalis adalah bagian otak yang mengendalikan berbagai fungsi kognitif dan emosional. Sehingga fungsi ini tergenggu pada penderita skizofrenia yang disebut sebagai hendaya. Cassanova, 1997 dalam Psikologi Abnormal
menyatakan
bahwa
penderita
skizofrenia
kesulitan
dalam
mengorganisasikan pikiran-pikiran dan perilaku mereka dan menampilkan tugas-tugas kognitif pada tingkat yang lebih tinggi, seperti memformulasikan konsep, memformulasikan informasi, dan memformulasikan tujuan dan rencana. Selain itu bagian otak ini juga bertanggungjawab dalam pengaturan perhatian sehingga terdapat defisit perhatian pada penderita penyakit ini.
19
5) Teori-teori Keluarga Pendapat lain yang menjelaskan penyebab skziofrenia adalah teori keluarga yang menyatakan bahwa pola pengasuhan Ibu yang skizofronogenik yaitu ibu yang dingin, angkuh, overprotektif, dan sangat mendominasi membuat anaknya kehilangan kemandirian dan percaya diri. Jika figur ayah tidak bisa menjembatani dan memberikan peran positif maka anak akan cenderung terhadap penyakit skizofrenia. Skizofrenia memiliki beberapa jenis. Dalam Panduan Diagnosa Gangguan Jiwa disebutkan jenis-jenis Skizofrenia adalah sebagai berikut: 1) Skizofrenia Paranoid Skizofrenia jenis ini didominasi oleh waham-waham yang tidak stabil, seringkali bersifat aranoid yang biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Waham yang dimiliki adalah waham kejar, rujukan, misi khusus, perubahan tubuh,atau kecemburuan. Pasien mendengarkan suara-suara yang berupa perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing). Halusinasi lain adalah halusinasi pembauan atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tapi jarang menonjol. 2) Skizofrenia simplex: Skizofrenia jenis ini sering timbul pada masa pubertas. Gejala Utama pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
20
proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat pada skizofrenia jenis ini. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan kemudian semakin lama semakin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menajdi penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur atau penjahat. 3) Jensi hebefrenik Skizofrenia hebefrenik atau hebefrenia permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berpikir gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi
atau
double
personality.
Gangguan
psikomotor
seperti
mannerism, neologism, atau perilaku kekanak kanakan sering terdapat pada hebefrenia. Waham dan halusinasi haya sekali. 4) Jenis Katatonik (skizofrenia katatonik atau katatonia) timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik. 5) Skizofrenia tak terinci Skizofrenia jenis ini tidak mempunyai criteria diagnostic hampir mirip dengan subtype lainnya namun tidak sesuai dengan satu pun subtype tersebut. Skizofrenia yang tak terinci
tidak memenuhi criteria untuk skizofrnia
paranoid, hebefrenik, dan katatonik, namun tetap terdapat gejala.
21
6)
Depresi Pasca-Skizofrenia Skizofrenia jenis ini merupakan suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia Dalam hal ini masih terdapat beberapa gejala skizofrenik namun tidak mendominasi.
7)
Skizofrenia residual Pada skizofrenia jenis ini terdapat satu stadium kronis dalam perkembangan
suatu gangguan skizofrenia dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal. Gejala negative yang muncul adalah perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas dan isi pembicaraan, komunikasi verbal yang buruk seperti dalam kuantitas isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. 1.4.3 Gangguan Berbahasa Pada Penderita Skizofrenia Skizofrenia merupakan penyakit gangguan mental yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan kadar dopamin dan serotonin pada otak. Ketika kadar dopamin tetap, sedangkan kadar serotonin menurun maka penderita skizofrenia bisa mengalami gangguan depresi, waham, delusi, halusinasi dan berbagai gejala negatif lainnya. Karena ketidakseimbangan neurokimia di dalam otak tersebut maka penderita skizofrenia mengalami gangguan berpikir, atau di dalam bahasa Inggris disebut “Formal Thought Disorder”. Penderita akan memiliki keyakinan yang
22
salah tentang dirinya. Pemikirannya cenderung acak dan bizare. Formal Thought Disorder atau yang disebut dengan FTD memiliki gejala-gejala yang berhubungan dengan penyimpangan dalam proses berpikir, berbahasa, dan masalah dalam komunikasi. Gejala-gejala tersebut merupakan permasalahan terbesar yang dialami penderita skizofrenia. Seperti dalam contoh berikut, penderita skizofrenia mengaku sebagai satrio pininggit. Logika berpikirnya bahwa ia menafsirkan bahwa ia adalah ksatria yang disembunyikan (hidden knight) atau dalam bahasa sansekerta disebut pinandita(dipilih). Ia meyakini hal ini sesuai dengan konsep besar ramalan Jayabaya yang meramalkan akan adanya satrio pininggit di Nusantara dengan pertanda munculnya bintang pari dari arah selatan. Gangguan berpikir tersebut menyebabkan adanya gangguan berbahasa dan kesulitan dalam berkomunikasi. Chaika, menyebutnya dengan “speech disorder”. Gangguan berbahasa tersebut meliputi “poverty of speech”,dan “pressure of speech”, “loss of goal,” “ derailment (loose associations), illogicality (non sequitur)
dan
“incoherence”.
(Radanovic
Marcia
et
l,
Arq.
Neuro-
Psiquiatr.Vol71, 2013). Sebagai contoh gangguan berbahasa ditunjukkan oleh penderita skizofrenia bernama MM (“ Hari ini hari Jumat saatnya membunuh Kafir ). Kemudian ada lagi penderita skizofrenia yang merasa bahwa dirinya diikuti oleh syetan namun dia mengungkapkannya dengan bahasa yang bizare. “Saya pecahkan kaca, saya marah-marah. Ada di ambil hati saya ada juga setan yang mengambil hati saya disumpahi Al Quran dia nggak mau. Kan repot. Kamu yang mau menggilakan saya? Ndak..ndak... Orang ustadz apa megang-megang
23
saya. Orang saya dikayak giniin. Saya kan janda juga, 5 tahun nggak nikahnikah.” Dalam perspektif ilmu neurolinguistik, penderita skizofrenia mengalami defisit pada kognisiya. Mereka mengalami gangguan pada pembentukan kata maupun kalimat dalam proses semantik. Lebih dari itu, dalam level pragmatik mereka kehelingan sensing untuk mengerti pembicaraan yang dilakukan dengan mitra tutur. Sehingga menyebabkan “loss communication.” Untuk lebih jelasnya gangguan berbahasa pada penderita skizofrenia akan dijelaskan lebih dalam dalam BAB II Proses Produksi Bahasa Pada Penderita Skizofrenia dan Bab III Pola Bahasa Pada Penderita Skizofrenia 1.5 Hipotesis Berdasarkan
latar belakang permasalahan dan landasan teori di atas,
maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut Berdasarkan latar belakang permasalahan dan landasan teori di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1.
Proses produksi bahasa penderita skizofrenia berbeda dengan orang normal
2.
Penderita Skizofrenia Episode akut memiliki Pola Bahasa yang berbeda dibandingkan orang normal
3.
Penderita Skizofrenia Episode Residual juga memiliki Pola Bahasa tertentu berbeda dari orang normal namun sebagian masih bisa dimingerti
24
1.6 Metode Dalam penelitian ini terdapat metode yang digunakan untuk penyediaan data dan analisis data. Peneliti menggunakan lebih dari satu metode penelitian, yaitu sebagai berikut:
1.6.1 Pengumpulan data Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang bertujuan
untuk
mendeskripsikan pola bahasa penderita skizofrenia. Sumber data berupa hasil wawancara dan tulisan penderita skizofrenia. Peneliti mengambil sample di RSJ Lawang yang berada di empat ruangan yaitu ruangan perkutut,, anyelir, seruni, dan kakaktua. Perkutut dan anyelir adalah ruang untuk penderita skizofrenia dan gangguan jiwa lain pada fase akut, sdangkan seruni dan kakaktua adalah ruangan untuk penderita skizofrenia yang berada pada fase residual. Pada ruangan perkutut dan anyelir,
peneliti mengambil sebanyak 12 orang penderita skizofrenia yang
berada pada fase akut. Pada ruangan kakaktua dan seruni penulis mengambil sampel 20 orang penderita skizofrenia. Selain itu penulis juga menggunakan metode kajian pustaka untuk menambah data dan penjelasan tentang proses produksi bahasa pada penderita skiozfrenia. 1.6.2 Metode Penyediaan data Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan dua metode yaitu metode cakap dengan teknik wawancara. Menurut Mahsun (2005:95) metode cakap dilakukan karena cara yang ditempuh peneliti data itu berupa percakapan antara peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara
25
peneliti dan informan mengandung arti terdapat kontak antar mereka. Peneliti melakukan wawancara dengan pasien di salah satu rumah sakit jiwa di Indonesia yaitu RSJ Radjiman Wedyodiningrat (Lawang) Metode cakap yang digunakan adalah jenis metode cakap semuka dimana peneliti melakukan kontak langsung dan interaksi langsung dengan informan yang diwawancara. Metode lain yang digunakan adalah metode simak.. Metode ini diwujudkan dengan penyadapan. Dimana peneliti menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan. Mahsun (2005:92 ) menyatakan bahwa penyadapan yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan bahasa lisan, tetapi digunakan juga untuk menyadap teks-teks dan naskah tertulis. Dalam hal ini peneliti menyadap tulisan yang ditulis oleh penderita yang berada di Rumah Sakit Jiwa Lawang. Selain itu peneliti juga menggunakan metode catat. Peneliti mencatat semua tulisan yang ditulis oleh penderita skizofrenia. Dengan pertimbangan tidak semua penderita skizofrenia mau melakukan wawancara. Sehingga untuk mengetahui pola bahasanya maka harus menggunakan teks tertulis. 1.6.3 Metode analisis data Dalam penanganan tahapan analisis data diperlukan metode dan teknik-teknik yang sesuai. Untuk menganalisis data tersebut peneliti merekam dan mencatat semua tuturan dan tulisan penderita skizofrenia yang diambil dari RSJ Lawang. Kemudian peneliti mentranskripsi dan memilah data. Sehingga data dapat dianalisis menggunakan teori sebagai alat analisa.
26
1.6.4 Metode Penyajian hasil analisis data Mahsun (2005:123) menyebutkan dua cara dalam tahap akhir ini, yaitu dengan cara (1) perumusan hasil tersebut dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis data dan (2) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambing. Senada dengan hal tersebut Sudaryanto (1993) menyatakan metode penyajian data bisa dilakuakn dengan (1) metode formal, yaitu gambar dan tabel serta (2) metode informal, yaitu menggunakan kalimat. Metode informal bisa membantu menjelaskan analisis formal, sehingga penelitian ini menggunakan baik gambar, table serta kata-kata biasa dalam menjelaskan data. Dalam hal ini peneliti menggunakan kedua metode tersebut yaitu dengan menggunakan tabel dan gambar serta dengan menggunakan kata-kata biasa.