BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Penamaan satuan stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah pada penelitian ini menggunakan penamaan yang dipublikasikan oleh Mertosono dan Nayoan (1974)...

75 downloads 1115 Views 6MB Size
1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lapangan Sukowati terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara yang merupakan salah satu lapangan yang menghasilkan minyak bumi. Daerah ini termasuk ke dalam Cekungan Sumatra Tengah yang sudah dikenal sebagai salah satu cekungan penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Sukowati merupakan lapangan yang ditemukan pada tahun 1984 oleh P.T Caltex Pasific Indonesia (CPI) dan merupakan lapangan yang belum dikembangkan. Pada tahun 2002 lapangan ini termasuk daerah yang dikembalikan oleh P.T CPI ke pemerintah dan sekarang dikelola oleh P.T Energi Mega Persada, Tbk. Sampai saat ini telah dilakukan pengeboran sebanyak tiga belas sumur eksplorasi, dan terdapat empat sumur yang telah produksi (PT. Energi Mega Persada, 2007). Ilmu geokimia minyak dan gas bumi merupakan ilmu yang menerapkan prinsip kimia untuk mempelajari asal mula, migrasi, akumulasi dan alterasi minyak bumi (Hunt, 1996). Lapangan Sukowati merupakan sebuah lapangan lama yang pernah ditinggalkan karena dianggap tidak ekonomis, sehingga perlu dilakukan penelitian salah satunya tentang analisis geokimia untuk evaluasi ulang potensi Lapangan Sukowati, berdasarkan data geokimia yang sudah tersedia sebelumnya oleh Core Laboratorium International Ltd. (1985), PT. Caltex Pacific Indonesia.

Data

geokimia

tersebut

digunakan

untuk

menentukan

dan

mengevaluasi batuan induk yang terdapat di Lapangan Sukowati serta melakukan korelasi batuan induk-minyak bumi yang sudah diproduksi. Analisis batuan induk

2

penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan batuan induk menghasilkan hidrokarbon, sedangkan korelasi batuan induk – minyak bumi penting dilakukan untuk mengetahui kecocokan senyawa kimia pada batuan induk dengan minyak bumi yang dihasilkan. Apabila terjadi ketidakcocokan, maka akan menjadi tantangan bagi perusahaan untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut untuk mengetahui sumber minyak bumi yang dihasilkan. I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan analisis geokimia guna mengetahui hubungan karakteristik batuan induk dengan minyak bumi di daerah penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi formasi batuan yang terekam pada sumur pemboran untuk menentukan formasi yang menjadi batuan induk. Kegiatan pokok evaluasi batuan induk ini meliputi kuantitas, kualitas, dan kematangan kerogen. Selain itu juga dilakukan analisis data biomarker untuk mengetahui lingkungan pengendapan dan jenis material organiknya. 2. Menentukan karakteristik minyak bumi berdasarkan komposisi whole oil dan analisis biomarker untuk mengetahui sumber material organik, tipe lingkungan batuan induk penghasil minyak bumi, dan tingkat kematangan. 3. Korelasi batuan induk – minyak bumi menggunakan data biomarker untuk mengetahui kecocokan batuan induk dan minyak bumi secara kimiawi. 4. Korelasi geokimia dengan kondisi geologi menggunakan data stratigrafi, proses tektonik dan lingkungan pengendapan yang di interpretasikan dengan hasil penelitian. Selain itu juga menggunakan peta top basement dan posisi

3

sumur di daerah penelitian untuk mengetahui perkiraan pola penyebaran oil window berdasarkan nilai reflektansi vitrinit dan arah migrasi. I.3. Lokasi dan Waktu Penelitian Objek penelitian merupakan Lapangan Sukowati, yang terletak disebelah tepi barat laut Cekungan Sumatera Tengah. Lapangan tersebut merupakan daerah operasi dari EMP-Tonga Ltd. Secara administratif Lapangan Sukowati terletak di Padang Lawas, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara, sekitar 13 km sebelah utara Kota Binanga. Secara geografis pada longitude 990 26’ 00”–990 33’ 00”, latitude 10 23’ 00”–10 28’ 00” dalam sistem koordinat lintang-bujur atau lat-long (latitude-longitude).

Gambar 1.1. Lokasi objek penelitian

4

Pelaksanaan penelitian di Lapangan Sukowati dilaksanakan mulai 6 Februari 2014 - 27 April 2014 atau kurang lebih tiga bulan dan bertempat di PT. Energi Mega Persada, Tbk – Kuningan – Jakarta Selatan - Jakarta. Rancangan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Waktu pelaksanaan penilitian

I.4. Batasan Masalah 1. Melakukan karakteristik hanya dilakukan pada Formasi Pematang, Sihapas dan Telisa untuk menentukan formasi yang menjadi batuan induk di Lapangan Sukowati berdasarkan data geokimia yang tersedia. 2. Karakterisasi minyak bumi dilakukan hanya pada sumur yang mempunyai data sampel minyak bumi, yaitu pada sumur SS-1 dan SS-5. 3. Penentuan korelasi batuan induk – minyak bumi menggunakan data biomarker. 4. Korelasi geokimia - kondisi geologi hanya berdasarkan data geologi regional hasil peneliti terdahulu yang diinterpretasikan dengan hasil penelitian.

5

I.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan eksplorasi lanjutan bagi PT. Energi Mega Persada, Tbk yang dilakukan pada daerah penelitian yang berguna untuk mengembangkan Lapangan Sukowati, khusunya dengan korelasi batuan induk dengan minyak bumi. Dengan korelasi akan dapat diketahui asal minyak bumi, memperkirakan pola persebaran oil window berdasarkan nilai reflektansi vitrinit , dan mengetahui arah migrasi minyak bumi. I.6. Peneliti Terdahulu -

Menurut William, et al (1985), terdapat dua fasies sumber organik utama pada Formasi Pematang Cekungan Sumatera Tengah yaitu fasies algalamorphous dan fasies carbonaceous. Fasies algal-amorphous cenderung menghasilkan minyak (oil prone) dan terdapat pada Formasi Brown Shale pada

Cekungan

Balam,

Aman,

dan

Rangau.

Fasies

carbonaceous

menghasilkan gas dan kondensat atau light oil prone dan terdapat pada Formasi Coal Zone di Cekungan Kiri. -

Katz dan Mertani (1989) dalam penelitian menyebutkan bahwa minyak bumi Cekungan Sumatera Tengah mempunyai komposisi dan karakteristik antara lain: mempunyai nilai API gravity berkisar 16,50-47,00, kandungan hidrokarbon jenuh pada minyak mentah berkisar 40%-80%, nilai CPI umumnya > 1, rasio pristan/fitana umumnya lebih dari 2 bahkan hingga 6,9. Mempunyai rasio sterana/hopana yang rendah (<0,1) dan indek gamaserana yang rendah (<1,0).

6

-

Mazied, et al (2008) dalam penelitiannya pada Blok Kampar Barat yang terletak di sebelah tenggara daerah peneltian, membagi blok tersebut menjadi dua yaitu bagian utara dan selatan. Hasil evaluasi minyak bumi Blok Kampar Barat pada bagian utara mempunyai karakteristik nilai API gravity 36,2 – 42,70, dominansi sterana C29 atas sterana C27 dan C28, dan rasio pristan/fitana tinggi (9.17-12.88) yang menunjukkan tingginya input material organik dari daratan atau terendapkan pada lingkungan yang oksidatif. Pada bagian selatan mempunyai nilai API gravity sedang (30-330), dominansi sterana C27 atas sterana C28 dan C29, rasio tm/ts yang rendah (<0,6), rasio pristan/fitana sedang (<2,7), dan mempunyai distribusi n-alkena bimodal dengan puncak C15 - C19 dan C22 - C27 yang menunjukkan adanya kontribusi alga non laut. Evalusi Batuan Induk pada Formasi Brown Shale Blok Kampar Barat bagian utara menunjukkan karakteristik serpih mempunyai TOC rerata 2,7%, merupakan kerogen tipe II, potential yield rerata 6 mgHC/gr , HI rerata 188, semua sampel belum matang dengan nilai Ro berkisar 0,47-0,49. Pada bagian selatan berdasarkan analisis fasiesnya dibagi menjadi dua tipe genetik, yaitu fasies rawa (swamp) dan fasies lacustrine. a. Fasies rawa mempunyai karakteristik TOC berkisar 1,7-10,2% dengan potential yield 51 mgHC/gr, merupakan kerogen tipe II, dan mempunyai tingkat kematangan immature – early mature (Ro berkisar 0,46-0,62). b. Fasies lacustrine mempunyai karakteristik TOC rerata 3,2%, merupakan kerogen tipe II-III, dan mempunyai tingkat kematangan early mature-late mature (Ro berkisar 0,53-1,23).

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Geologi Regional II.1.1. Konfigurasi dan Fisiografi Cekungan Sumatera Tengah Pulau Sumatera memiliki tiga cekungan belakang busur yang besar, yaitu Cekungan Sumatera Selatan, Cekungan Sumatera Tengah dan Cekungan Sumatera Utara. Ketiganya merupakan cekungan tersier yang terbentuk akibat produk dari proses subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia dan terletak di sebelah barat daya sundaland (Eubank dan Makki, 1981). Secara fisiografis (Gambar 2.1), Cekungan Sumatera Tengah memiliki bentuk asimetri dengan luas kurang lebih 100.000 km2 (Whibbley, 1992) dan dibatasi di bagian utara oleh Tinggian Asahan, di bagian timur oleh Semenanjung Malaya dan Sundaland, di bagian barat oleh Pegunungan Bukit Barisan, di bagian tenggara oleh Tinggian Tiga puluh (Heidrick dan Aulia, 1993).

Gambar 2.1. Konfigurasi dan fisiografis Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993)

8

Secara umum Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari satu deposenter utama, yaitu tempat deposisi sedimen Eosen hingga Resen dengan beberapa horst dan graben yang terbentuk lokal. Cekungan Sumatra Tengah mulai mengalami rifting sejak Paleogen dengan orientasi arah relatif utara-selatan. Proses rifting tersebut terjadi akibat penipisan lapisan kerak yang memicu naiknya mantel dan terjadi diapirisme magma. Hal tersebut menyebabkan Cekungan Sumatra Tengah memiliki heat flow yang tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 6,80C/100 m atau 3,3 HFU (heat flow units) (Gambar 2.2). Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia yang bersifat oblique

(N6°E)

pada

Miosen

menghasilkan

gaya

kompresional

yang

menyebabkan cekungan mengalami inversi. Proses subduksi ini juga yang menyebabkan terbentuknya busur kepulauan, prisma akresi, dan cekungan depan busur Sumatera (fore-arc basin) serta Pegunungan Bukit Barisan yang berada di sebelah barat Cekungan Sumatera Tengah (Whibley, 1992).

Gambar 2.2. Diapirisme magma yang menyebabkan tingginya heat flow (after Carvalho et al, 1980., Kay 1980 dan Ringwood, 1977 dalam Eubank dan Makki, 1981)

9

II.1.2. Tektonik Cekungan Sumatera Tengah Dari data yang ada menunjukkan bahwa perkembangan struktural Lapangan Sukowati secara garis besar sama dengan tektonik Cekungan Sumatera Tengah. Berikut merupakan uraian tahapan evolusi struktural utama yang terjadi daerah penelitian dan sekitarnya (PT. Energi Mega Persada, 2007) : - Eosen Tengah – Akhir Awal perkembangan graben berarah utara-selatan, merupakan respon terhadap tegasan tensional di belakang busur. Pengendapan Formasi Pematang diperkirakan terjadi disekitar 46 juta tahun yang lalu. Kecepatan penurunan graben awal diperkirakan berjalan lambat. Sedimentasi rawa, sungai, dan danau dangkal merupakan penciri pengendapan Formasi Pematang paling awal. - Eosen Akhir – Oligosen Akhir Peningkatan kecepatan penurunan graben yang melebihi kecepatan sedimentasi kemungkinan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan danau semakin dalam. Pada tahap ini beberapa sub cekungan di Sumatera tengah berkembang fasies danau anoxic. - Peristiwa Tektonik Oligosen Akhir Peristiwa ini merupakan suatu periode pengangkatan, perlipatan, dan erosi tinggi-tinggian yang lebih tua dan daerah-daerah dimana endapan klastik Formasi Pematang tersingkap. Kejadian tektonik 29 juta tahun yang lalu, bersamaan dengan penurunan muka air laut paling besar pada Masa Kenozoik yang menyebabkan erosi besar pada tahap ini.

10

- Oligosen Akhir – Miosen Tengah Suatu tahap tektonik yang secara umum tenang, yang meliputi suatu siklus regresi atau transgresi dimulai dengan pengisian graben Formasi Pematang bagian atas berlanjut hingga pengendapan Formasi Telisa pada lingkungan laut yang lebih dalam. Ketidakselarasan lokal dalam Formasi Pematang bagian atas merupakan bukti adanya kemenerusan pengaruh tektonik hingga Miosen Awal. Kearah Pegunungan Proto Barisan ditemukan vulkanik dalam Formasi Telisa. - Miosen Tengah Pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan aktivitas magmatis yang diikuti oleh erosi terekam sebagai tektonik besar di Cekungan Sumatera Tengah. Periode pembentukan struktur Miosen Tengah dianggap penting dari sudut ekonomi sebagaimana diyakini bahwa tahap utama pembentukan perangkap dan ekspulsi hidrokarbon terjadi pada fase ini. - Miosen Tengah – Resen Pengangkatan Bukit Barisan dimulai pada Kala Miosen Tengah sebagai respon terhadap adanya peningkatan gaya geser menganan pada batas lempeng. Peristiwa utama yang berhubungan dengan Sesar Sumatra kemungkinan terjadi pada awal dan akhir Pliosen. Gaya geser menganan dan kompresi menghasilkan model struktur tektonik sesar mendatar merencong yang terdiri dari sesar bersudut besar, sesar sungkup, dan sumbu-sumbu lipatan orde pertama yang menyudut terhadap jurus sesar mendatar merencong tersebut.

11

II.1.3. Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah Penamaan satuan stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah pada penelitian ini menggunakan penamaan yang dipublikasikan oleh Mertosono dan Nayoan (1974). Hal ini disesuaikan dengan terminologi yang digunakan oleh PT. Energi Mega Persada, Tbk. Penamaan ini berbeda dengan penamaan yang digunakan oleh De Coster (1974) yang digunakan pada Cekungan Sumatra Tengah bagian selatan daerah penelitian. Lapangan Sukowati terletak pada graben mandian. Berikut ini adalah satuan stratigrafi utama penyusun Cekungan Sumatra Tengah dari paling tua hingga paling muda : II.1.3.1. Batuan Dasar Menurut Pulunggono dan Cameron dalam BP Migas (2008) menyebutkan bahwa batuan-batuan dasar pra-tersier Cekungan Sumatra Tengah dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok litologi, yaitu : a. Lempeng Mikro Mergui yang berumur Permian – Karbon tersusun oleh batuan terdiri dari greywacke, kuarsit dan argillit, serta intrusi granit. b. Lempeng Mikro Malaka yang berumur Paleozoikum tersusun oleh kuarsit, granit, dan batugamping. c. Mutus Assemblage yang berumur Trias-Jura tersusun oleh argillit, serpih merah, tufa dan basalt. III.1.3.2. Kelompok Pematang Kelompok Pematang diendapkan langsung diatas batuan dasar di Cekungan Sumatera Tengah dan terdiri dari dominasi dua fasies kontinental, yaitu a) batulempung berbintik beraneka warna dan batupasir berbutir halus dengan

12

sisipan serpih danau yang kaya material organik dan b) sekuen konglomerat dengan fragmen batupasir berbutir kasar dan batulempung beraneka ragam (Yarmanto, et al., 1995) dan berumur Eosen-Oligosen berkisar 50-24 jtl (William et al., 1985). Warna batulempung yang beraneka ragam kemungkinan besar merepresentasikan lingkungan pengendapan danau air tawar dengan pelamparan sub-aerial yang luas. Serpih organik dianggap berasal dari kondisi lingkungan yang tergenang air, seperti rawa-rawa yang merupakan lingkungan reduksi yang khas (Mertosono dan Nayoan, 1974). Williams, et al (1985) dalam publikasinya membagi Kelompok Pematang menjadi lima formasi, yaitu : a. Formasi Lower Red Bed Formasi Lower Red Bed terdiri dari batulumpur berbintik beraneka warna, batulanau, batupasir, dan sedikit konglomerat. Warna yang sering dijumpai antara lain abu-abu, hijau, ungu dan merah. Distribusi fasies pada formasi ini kurang dapat dibedakan dengan baik akibat data sumur yang terbatas, karena kontrol cekungan yang lebih dalam. b. Formasi Brown Shale Formasi Brown Shale menindih selaras diatas Formasi Lower Red Bed, bahkan di beberapa area mempunyai fasies lateral yang sama. Litologi batuan formasi ini adalah laminasi batuserpih dan batulanau yang mempunyai warna coklat-hitam. Batuserpih dan batulanau pada formasi ini kaya akan kandungan material organik dan menandakan batuan tersebut diendapkan pada kondisi air yang cukup tenang. Berdasarkan hasil pemboran, ketebalan maksimum formasi ini adalah 1900 kaki.

13

c. Formasi Coal Zone Formasi Coal Zone adalah formasi yang sebagian secara lateral setara dengan Formasi Brown Shale dan sebagian sedikit lebih muda, terjadi terutama di Cekungan Kiri. Mempunyai litologi terdiri dari laminasi batuserpih endapan danau dangkal dengan batubara dan sedikit batupasir. Formasi ini mencapai ketebalan lebih dari 2.000 kaki, namun beberapa penebalan terjadi akibat pengaruh tektonik. d. Formasi Lake Fill Formasi

Lake

Fill

mempunyai

litologi

batupasir fluvial-delta,

konglomerat, dan batuserpih danau yang dangkal. Batuan terendapkan pada sistem fluvio-lacustrine delta dengan input sedimen bervariasi secara melintang, akibatnya hubungan fasies menjadi komplek dan sangat bervariasi. Ketebalan formasi umumnya lebih dari 2000 kaki. Pada area cekungan yang lebih dalam Formasi Lake Fill menindih selaras diatas Formasi Brown Shale dan Coal Zone. e. Formasi Fanglomerat Formasi Fanglomerat mempunyai litologi batupasir, konglomerat dan minor batulumpur merah-hijau. Terendapkan terutama disepanjang lembah yang membatasi fault scarps dan berhubungan dengan kipas aluvial. Formasi Fanglomerat mempunyai ketebalan lebih dari 6000 kaki.

14

II.1.3.3. Kelompok Sihapas Menurut Yarmanto, et al (1995) berdasarkan dari umur tua ke muda, Kelompok Sihapas terbagi menjadi Formasi Menggala, Bangko, Bekasap, Duri dan Telisa a. Formasi Menggala Formasi Menggala diendapkan tidak selaras dengan Formasi Pematang. Secara regional formasi ini tersusun oleh kombinasi dari fluvial non-marine, klastika sungai teranyam, dan bergradasi menjadi lingkungan open marine (Yarmanto, et al., 1995). Formasi Menggala tersusun atas perselingan batupasir, batupasir konglomeratan dan konglomerat yang terendapkan pada lingkungan sungai teranyam (PT. Energi Mega Persada, 2007). b. Formasi Bangko Formasi Bangko tersusun atas perselingan batupasir, batulanau, dan batulempung dengan

sedikit

batupasir konglomeratan dan

batubara.

Pengendapan Formasi Bangko diperkirakan pada lingkungan delta bagian bawah hingga laut dangkal, dengan bukti ditemukannya bioturbasi dan fauna laut dangkal ke arah bagian atas formasi (PT.Energi Mega Persada, 2007). c. Formasi Bekasap Formasi Bekasap diendapkan secara selaras diatas Formasi Bangko, terdiri dari batupasir halus-kasar, bersifat masif, dan berseling dengan serpih tipis. Dijumpai juga lapisan batubara dan batugamping tipis, dicirikan dengan pola progradasi dan mengkasar ke atas pada batupasir yang merupakan hasil dari proses deltaic didekatnya (Yarmanto, et al., 1995).

15

d. Formasi Duri Formasi Duri diendapkan selaras diatas Formasi Bekasap, dimana pada beberapa tempat mempunyai umur yang sama dengan Formasi Bekasap. Terdiri atas suatu seri batupasir halus-sedang dan berselingan dengan serpih dengan ketebalan mencapai lebih dari 300 kaki, terbentuk pada lingkungan inner neritic deltaic di bagian utara dan tengah cekungan. Seri tersebut secara lateral menjadi batupasir laut dalam dari Formasi Telisa. e. Formasi Telisa Formasi Telisa mempunyai hubungan menjemari dengan Kelompok Sihapas bagian bawah dan dibeberapa tempat mempunyai hubungan sejajar. Litologi

Formasi Telisa tersusun atas serpih gampingan,

batupasir

glaukonitan, perselingan batulempung lanauan dan batupasir gampingan dengan sisipan batugamping serta serpih gampingan. Formasi ini banyak mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan bahwa formasi ini diendapkan pada lingkungan sub-litoral luar hingga batial atas. Formasi ini secara tidak selaras ditutupi oleh endapan vulkanik Kota Alam, Formasi Petani dan Formasi Minas (PT. Energi Mega Persada, 2007). II.1.3.4. Formasi Petani Menurut Mertosono dan Nayoan (1974) Formasi Petani merupakan tahap regresif dari siklus pengendapan tersier. Sedimen yang awalnya diendapkan di laut, ke atas berubah lingkungan non-laut. Terdapat foram yang melimpah di bagian bawah tetapi semakin berkurang ke atas. Formasi ini tersusun atas batulempung gampingan abu-abu keputihan dan batulanau dengan sedikit

16

perselingan batubara dan tuf. Fosil foraminifera plangtonik dan bentonik menunjukkan lingkungan pengendapan neritik dalam hingga neritik tengah. II.1.3.5. Endapan Kuarter Menurut Mertosono dan Nayoan (1974) Endapan Kuarter diwakili oleh Formasi Minas / Aluvium. Formasi ini terdiri dari lapisan tipis gravel, pasir kuarsa, lempung serta limonit yang berwarna kuning. Diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Petani pada Pliosen-Pleistosen sekitar 2,8 jtl (Yarmanto, et al., 1995). Selain itu pada Lapangan Sukowati terdapat batuan vulkanik dan vulkanik-klastik penyusun seri Vulkanik Kota Alam yang tersingkap di seluruh sub-cekungan Tibawan, Pendalian, dan Kota Mesjid. Seri vulkanik ini mempunyai komposisi intermediet hingga basa dan diperkirakan seumur dengan Formasi Minas (PT. Energi Mega Persada, 2007).

Gambar 2.3. Peta geologi daerah penelitian (Aspden,. et al, 1982)

17

Gambar 2.4. Kolom Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah (PT. Energi Mega Persada, 2007 modified from Heidrick dan Aulia, 1993)

II.1.4. Struktur Geologi Cekungan Sumatera Tengah Secara umum terdapat lima struktur utama di daerah penelitian dengan arah trend barat laut-tenggara. Berikut ini merupakan elemen-elemen struktural utama di Lapangan Sukowati dan sekitarnya (PT. Energi Mega Persada, 2007) : - Tinggian Ujung Padang-Dalu Dalu Tinggian Ujung Padang - Dalu Dalu merupakan tinggian struktur Formasi Pre-Pematang, yang berarah timur laut tenggara, dimana sedimen-sediman pematang tererosi sepanjang sumbunya.

18

- Tinggian Pulau Gadang Tinggian Pulau Gadang adalah tinggian struktural yang dibatasi oleh sesar yang berarah barat laut-tenggara sepanjang batuan dasar yang tersingkap. Tinggian Plio-Pleistosen inilah yang memisahkan Cekungan Kampar dengan Cekungan Sumatera Tengah. - Antiform Basar Antiform Basar merupakan suatu tinggian Plio-Pleistosen yang dibatasi oleh sesar berarah baratlaut-tenggara yang memisahkan Sub cekungan Pendalian, Kota Mesjid dan Pendalian-Tibawan. - Tinggian Pendalian Tinggian pendalian merupakan tinggian batuan dasar yang berarah utaraselatan yang memisahkan graben Linggai dan Sligi dimana sedimen-sedimen Formasi Pematang tererosi. - Antiklin Rokan Antiklin Rokan merupakan suatu antiklin yang dapat diketahui dari data permukaan dan seismik, dibatasi oleh sesar naik dengan sudut besar. Antiklin ini merupakan lanjutan dari antiklin Linggai kearah barat laut yang mempunyai sumbu lipatan berbentuk “S” dan berubah menjadi simetri searah jurus.

19

Gambar 2.5. Peta kerangka struktural Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993)

II.1.5. Sistem Minyak dan Gas Bumi Daerah Penelitian Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai sistem minyak dan gas bumi pada Lapangan Sukowati oleh PT. Energi Mega Persada (2007) adalah sebagai berikut : II.1.5.1. Batuan Induk Batuan induk yang dapat menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon di Lapangan Sukowati adalah batuan induk regional, yaitu Formasi Pematang. Batuan induk potensial lainnya pada area ini adalah Formasi Telisa yang terendapkan selama Miosen Awal-Tengah. Berdasarkan model burial history (Gambar 2.6), diperkirakan pembentukan minyak bumi di Formasi Telisa terjadi pada Miosen Akhir yang berhubungan dengan pembentukan struktur utama.

20

Gambar 2.6. Model burial history pada daerah penelitian berdasarkan data sumur SS-1 (PT. Energi Mega Persada, 2007)

II.1.5.2. Reservoar Terdapat satu satuan batuan yang dikenal sebagai penghasil hidrokarbon utama di Lapangan Sukowati, yaitu unit reservoar pada Kelompok Sihapas. Ketebalan lapisan batuan reservoar berkisar antara 2-42 kaki (Sumur SS-1) dan 231 kaki (Sumur SS-2). Porositas batuan reservoar tersebut bervariasi dari 1632,5% dengan rata-rata 19,3% dan permeabilitas berkisar antara 0,7-3031 mD dengan rata-rata 477,4 mD. II.1.5.3. Batuan Tudung Batuan tudung pada seluruh akumulasi hidrokarbon di Lapangan Sukowati, terdiri dari batuan tudung regional yaitu Formasi Telisa dan batuan tudung intraformational pada Kelompok Sihapas. Formasi Telisa dapat berperan baik sebagai batuan tudung hidrokarbon efektif dan juga menjadi batuan pelindung terhadap invasi air meteorik permukaan. Batulempung penyusun Kelompok Sihapas juga dapat berperan sebagai batuan tudung saat menutupi batupasir.

21

II.1.5.4. Pemerangkapan, Ekspulsi, dan Migrasi Pembentukan perangkap struktur di Lapangan Sukowati dikontrol oleh peristiwa tektonik Plio-Pleistosen. Tahap tektonik ini menghasilkan ciri-ciri struktur yang diketahui sebagai trend Sumatera berarah barat laut-tenggara. Kondisi tektonik tersebut menghasilkan perangkap-perangkap di Lapangan Sukowati, yaitu sebagai berikut : 1. Antiklin Tersesarkan, peragkap antiklin ini dapat dengan mudah dikenali di permukaan yang dibentuk oleh deformasi tahap akhir (Gambar 2.8A). 2. Perangkap Ketidakselarasan, yang berkaitan dengan pengendapan batupasir Kelompok Sihapas yang tidak selaras di atas batuan dasar (Gambar 2.8B). 3. Perangkap Stratigrafi, perangkap ini berkaitan dengan perubahan fasies lateral antara batupasir fluvio-deltaik dan batulempung Kelompok Sihapas.

Gambar 2.7. Perangkap antiklin tersesarkan (A) dan ketidakselarasan (B) di Lapangan Sukowati (PT. Energi Mega Persada, 2007)

22

Migrasi hidrokarbon dari batuan induk menuju batuan reservoar pada dasarnya terjadi secara vertikal dan lateral. Migrasi vertikal menuju batuan reservoar yang lebih dangkal terjadi melalui zona-zona kekar dan sesar secara langsung dari batuan induk ke batuan reservoar (Gambar 2.8A), sedangkan migrasi lateral terjadi melalui permeabilitas matrik (Gambar 2.8B).

Gambar 2.8. Diagram skematis yang memperlihatkan migrasi vertikal (A) dan migrasi lateral (B) di Lapangan Sukowati (PT. Energi Mega Persada, 2007

II.2. Dasar Teori II.2.1. Batuan Induk Batuan induk adalah semua batuan yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon dalam jumlah yang cukup untuk membentuk suatu akumulasi minyak dan gas bumi (Hunt, 1996). Batuan induk dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu (Hunt, 1996):

23

a. Batuan induk potensial, yaitu batuan induk yang masih belum matang (immature) untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dalam kondisi alamiahnya, namun dapat menghasilkan minyak atau gas bumi dalam jumlah signifikan bila dipanaskan pada laboratorium atau secara proses alamiahnya. b. Batuan induk efektif, yaitu batuan induk yang telah menghasilkan dan mengeluarkan minyak atau gas bumi menuju reservoar, dapat bersifat aktif (masih mengeluarkan) dan inaktif. Kemampuan batuan induk untuk menghasilkan minyak dan gas bumi tergantung beberapa faktor, yaitu : 1. Kuantitas Material Organik Pada prinsipnya kuantitas (banyaknya) material organik yang terdapat pada batuan induk dapat diketahui dari hasil analisis Total Organic Carbon (TOC) yang didapat dari analisa pemanasan conto batuan. Nilai TOC yang didapatkan kemudian di klasifikasikan berdasarkan klasifikasi (Tabel 2.1.). Semakin tinggi kandungan TOC pada batuan menunjukkan semakin baik kuantitasnya sebagai batuan induk. Tabel 2.1. Klasifikasi kandungan TOC (Peters dan Cassa, 1994)

Potensial (Kuantitas)

TOC ( wt.%)

Poor

< 0,5

Fair

0,5 – 1

Good

1–2

Very Good

2–4

Excellent

>4

24

2. Kualitas Material Organik Kualitas material organik yang terdapat pada batuan induk dapat diketahui dari kandungan hidrogen (H) pada sampel. Semakin tinggi kandungan H, maka jumlah hidrokarbon yang terbentuk akan semakin banyak. Jumlah kandungan hidrogen akan berpengaruh dalam menentukan tipe kerogen, sehingga kita dapat mengetahui produk utama dari batuan induk tersebut. Tabel 2.2. Klasifikasi kandungan hidrogen beserta produk utamanya (Waples, 1985 dalam Subroto, 1993)

Indek Hidrogen

Produk Utama

Kuantitas Relatif

<150

Gas

Kecil

150-300

Minyak dan Gas

300-450

Minyak

450-600

Minyak

> 600

Minyak

Kecil Sedang Banyak Sangat Banyak

3. Kematangan Material Organik Kematangan material organik perlu diketahui untuk mengetahui apakah batuan induk telah menghasilkan hidrokarbon. Kematangan batuan induk dapat diketahui dari dua parameter: pertama, analisis pemantulan vitrinit (vitrinite reflectance) yang didapat dari pengamatan maseral vitrinit dalam bentuk sayatan poles dibawah mikroskop; kedua, berdasarkan data Tmax hasil analisis Rock Eval Pyrolisis (REP).

25

Tabel 2.3. Klasifikasi berbagai analisis kematangan kerogen (Peters & Cassa, 1994)

Tingkat Kematangan

Parameter Ro (%) 0,2 – 0,6

Tmax (°C) < 435

TAI 1,5 – 2,6

Awal

0,6 – 0,65

435 - 445

2,6 – 2,7

Puncak

0,65 – 0,9

445 - 450

2,6 – 2,7

Akhir

0,9 – 1,35

450 - 470

2,9 – 3,3

> 1,35

> 470

> 3,3

Belum Matang Matang

Sangat Matang

II.2.2. Material Organik Material organik yang terendapkan pada sedimen terutama terdiri dari biopolimer makhluk hidup, yaitu: karbohidrat, protein, lipid, lignin, dan subkelompok seperti: kitin, lilin, resin, pigmen, glikosida, lemak, dan minyak esensial. Phytoplankton (tumbuhan) dan zooplankton (hewan) merupakan contoh organisme laut yang dapat membentuk material organic, sedangkan spora, polen, organik debris, kayu, dan material organik daur ulang merupakan organisme darat yang dapat membentuk material organik. Pada dasarnya tidak semua material organik dapat menghasilkan hidrokarbon, karena material tersebut mungkin sebagian akan dimakan organisme dan dapat juga bereaksi dengan zat mineral (Hunt, 1996). Terdapat beberapa kondisi untuk mendukung pembentukan sedimen yang kaya akan material organik (Killops dan Killops, 2005). Pertama, diperlukan suplai material organik dalam jumlah yang cukup banyak. Kedua, dibutuhkan lingkungan pengendapan yang mempunyai energi rendah (kecepatan arus air rendah dan pengaruh gelombang yang terbatas). Hal ini penting untuk mengendapkan material organik yang sebagian besar mempunyai ukuran kecil

26

dan

agar terhindar dari proses erosi. Ketiga, input material anorganik yang

terbatas, sehingga tidak menutupi material organik secara signifikan. Keempat, kondisi dimana harus mendukung terjadinya preservasi material organik dalam sedimen dari ancaman degradasi oleh detritivor dan dekomposer.

Gambar 2.9. Lingkungan pengendapan tempat terbentuknya deposit kaya material organik (Brooks et al., 1987 dalam Killops dan Killops, 2005)

II.2.3. Kerogen Kerogen awalnya didefinisikan sebagai material organik pada batuan yang mampu menghasilkan minyak atau gas (oil shale) bila mengalami pemanasan. Setelah itu, istilah kerogen didefinisikan sebagai semua material organik pada batuan sedimen yang tidak terlarut oleh pelarut asam, basa, dan organik non oksidan. Kerogen dalam batuan dapat berasal dari empat sumber utama, yaitu: marine, lacustrine, terrestrial, dan recycled. Sebagian besar minyak bumi yang terbentuk di dunia berasal dari kerogen marine dan lacustrine, sedangkan sebagian besar batubara berasal dari tumbuhan darat dan kerogen daur ulang yang umumnya sebagian besar inert.

27

Bitumen adalah zat alami berbentuk padat dan cair yang terbentuk dari pematangan kerogen, mempunyai variasi warna, kekerasan, volatilitas, dan terutama tersusun oleh unsur karbon dan hidrogen. Bitumen dapat berasosiasi dengan mineral, sedangkan komponen penyusun nonmineral sebagian besar larut pada karbon disulfida (Hunt, 1996). II.2.3.1. Pembentukan Kerogen Kerogen terbentuk dari biopolimer makhluk hidup (protein dan karbohidrat) yang mengalami proses diagenesis seiring dengan meningkatnya deposisi dan temperatur. Selama diagenesis awal pada lingkungan air, bahan organik dipecah oleh mikroba ke dalam konstituen yang lebih kecil dan melalui reaksi kondensasi meningkatkan kandungan zat humik. Pembentukan kerogen bersaing dengan perusakan material organik akibat proses oksidasi oleh mikroba, sehingga terjadi preservasi selektif dari biomakromolekuler yang resisten (dengan kemungkinan alterasi mikroba kecil). Potensi alur pembentukan kerogen dapat dilihat pada Gambar 2.10 dimana terlihat bahwa kerogen tidak hanya terbentuk dari biomakromolekul yang resisten tapi juga terbentuk dari geomakromolekul, makromolekul yang kaya sulfur, gabungan biomolekul LMW dan preservasi unsur lipid. Geomakromolekul dapat terbentuk langsung dari hasil alterasi pada biomakromolekul. Proses vulkanisasi pada biomolekul LMW dapat membentuk makromolekul yang kaya sulfur pada kerogen, sedangkan preservasi lipid pada kerogen terjadi pada akhir proses diagenesis (Killops and Killops, 2005).

28

Gambar 2.10. Model pembentukan kerogen (Killops dan Killops, 2005)

II.2.3.2. Komposisi Kerogen Kerogen tersebar pada batuan sedimen dalam bentuk yang sangat halus sehingga

untuk

mengetahui

komposisinya

harus

melalui

pemeriksaan

mikroskopik, salah satunya menggunakan petrografi batubara. Karbon dan hidrogen merupakan unsur utama pada kerogen, selain itu kandungan oksigen juga penting pada struktur kerogen. Kandungan alifatik pada kerogen umumnya lebih tinggi dibandingkan batubara. Kerogen juga mengandung cincin aromatik yang dapat mengandung nitrogen, sulfur dan oksigen (Killops dan Killops, 2005)

29

Tabel 2.4. Perubahan komposisi pada tiga tipe kerogen utama akibat penambahan kematangan (after Behar dan Vandenbroucke, 1987 dalam Killops dan Killops, 2005)

II.2.3.3. Klasifikasi Kerogen Kerogen berdasarkan kandungan unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O) dapat diklasifikan menjadi empat, yaitu kerogen tipe I, II, III dan IV. Berikut merupakan uraian dari keempat tipe tersebut (Killops dan Killops, 2005): a. Kerogen Tipe I Kerogen tipe I relatif jarang, dan awalnya memiliki rasio atom H/C yang tinggi (>1,5) dan rasio atom O/C rendah (<0,1). Mengandung material lipid yang signifikan, terutama alifatik rantai panjang. Lipid ini terutama berasal dari material organik yang berasal dari laut, seperti phytoplankton (alga, diatome) dan zooplankton, meskipun material bakteri amorf dapat berkontribusi. Dibandingkan dengan jenis kerogen lain, tipe I mengandung sedikit unsur aromatik dan heteroatom b. Kerogen Tipe II Kerogen tipe II lebih sering dijumpai dibanding tipe I, mempunyai rasio atom H/C relatif tinggi (0,8-1,5) dan rasio O/C yang rendah (0,1 – 0,2). Struktur alifatik yang penting dan terdiri dari rantai yang cukup panjang

30

(sampai C25) dan sistem cincin (naftena). Tipe kerogen ini berasal dari material organik darat dan laut, seperti spora dan alga. c. Kerogen Tipe III Kerogen tipe III memiliki rasio atom H/C yang rendah (<1,0) dan O/C yang tinggi (hingga 0,3) pada awalnya. Mempunyai kandungan yang tinggi dari unsur oksigen dan kelompok alifatik hadir dalam jumlah kecil, didominasi oleh metil dan rantai pendek lainnya, serta sering berikatan dengan kelompok yang mengandung oksigen. Tipe Kerogen III terbentuk dari tumbuhan vaskular dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin terutama senyawa aromatik, sehingga didominasi maseral vitrinit. d. Kerogen Tipe IV Kerogen tipe IV terdiri dari terutama opak debris, sebagian besar inertinit dengan kandungan vitrinit yang minor. Tipe kerogen ini tidak mempunyai potensi menghasilkan hidrokarbon. Terbentuk kemungkinan dari material tumbuhan tingkat tinggi yang telah mengalami tingkat oksidasi yang tinggi di daratan, kemudian tertransportasi dan terendapkan. Tabel 2.5. Klasifikasi dan komposisi kerogen (Waples, 1985 dalam Subroto, 1993)

Maseral

Tipe Kerogen

Material Organik Asal

Alginit

I

Alga air tawar

Eksinit

II

Polen dan spora

Kutinit

II

Lapisan lilin tanaman

Resinit

II

Resin tanaman

Liptinit

II

Lemak tanaman, alga laut

Vitrinit

III

material tumbuhan tinggi (kayu, selulosa)

Inertinit

IV

Arang, material yang tersusun ulang yang teroksidasi

31

II.2.4. Asal dan Pematangan Minyak dan Gas Bumi Asal usul minyak dan gas bumi mempunyai dua jalur utama (Gambar 2.11) yaitu dimana sekitar 10-20% minyak dan gas bumi terbentuk langsung dari sintesis hidrokarbon oleh organisme hidup yang dapat dengan mudah berubah menjadi hidrokarbon (terletak di sebelah kiri Gambar 2.11). Jalur kedua melibatkan konversi lipid, protein, dan hidrokarbon dari material organik pada batuan sedimen. Dimana ketika kerogen terkubur dalam dengan temperatur tinggi akan terjadi cracking untuk membentuk bitumen dan lebih lanjut menjadi minyak dan gas bumi. Minyak dan gas bumi yang terkubur dengan temperatur tinggi dapat berubah mengikuti dua jalur, yaitu didominasi oleh peningkatan molekul hidrogen berukuran kecil dan didominasi oleh molekul hidrogen berukuran besar. Hasil akhir produk dari keduanya adalah metana dan grafit (Hunt, 1996).

Gambar 2.11. Skema asal dan proses pembentukan minyak dan gas bumi (Hunt, 1996)

32

II.2.4.1. Diagenesis Mempunyai interval kedalaman kurang dari 100 m dan temperatur sampai 500C. Dalam tahap diagenesis, suhu dan tekanan mempunyai peranan kecil dan transformasi terjadi dalam kondisi sederhana. Selama awal diagenesis, agen utama yang berperan sebagai pengurai adalah aktivitas mikroba. Pada diagenesis awal biopolimer (protein, karbohidrat) dihancurkan oleh aktivitas mikroba, kemudian terkondensasi membentuk struktur geopolimer baru. Hidrokarbon penting yang terbentuk dalam proses diagenesis adalah metana, selain itu juga dihasilkan CO2, H2O dan beberapa senyawa heteroatomik berat (Tissot dan Welte, 1984). II.2.4.2. Katagenesis Katagenesis merupakan proses dimana deposisi sedimen mengalami pendalaman akibat subsidence cekungan maupun tektonik, hal tersebut mengakibatkan peningkatan suhu dan tekanan. Suhu dapat berkisar dari sekitar 50-2000 C dan tekanan geostatik karena overburden dapat bervariasi 300-1000 atau 1.500 bar. Akibatnya material organik mengalami perubahan besar melalui evolusi kerogen dan menghasilkan hidrokarbon (Tissot dan Welte, 1984). Kerogen  bitumen  minyak + gas + residu Pada tahap ini dikenal istilah oil window, yaitu interval kedalaman dimana batuan induk menghasilkan dan mengeluarkan sebagian besar minyak (Hunt, 1996). Akhir katagenesis mencapai di kisaran mana hilangnya dari rantai karbon alifatik dalam kerogen.

33

II.2.4.3. Metagenesis Metagenesis adalah tahap akhir dari evolusi sedimen terjadi karena penambahan temperatur dan kedalaman dimana interval kedalaman mencapai ± 10000 m. Semua fluida yang telah terbentuk berubah menjadi dry gas (over mature) akibat semakin meningkatnya temperatur (200–2500C). Sejumlah kecil gas metana masih terbentuk dan material organik yang tersisa berubah menjadi residu grafitik. Akhir metagenesis merupakan awal terjadinya metamorfisme (Tissot dan Welte, 1984). II.2.5. Komposisi Kimia Minyak dan Gas Bumi Minyak dan gas bumi atau petroleum merupakan salah satu bentuk bitumen yang terutama terdiri dari hidrokarbon yang ada dalam bentuk cair atau gas dalam reservoir alaminya. Kata petroleum berasal dari bahasa latin “petra” yang berarti batuan dan “oleum” yang berarti minyak. Minyak dan Gas Bumi tersusun hampir seluruhnya oleh unsur hidrogen dan karbon, yang dalam rasio sekitar 1,85 atom hidrogen dibanding 1 atom karbon dalam minyak mentah (crude oil). Densitas atau berat jenis minyak bumi berdasarkan klasifikasi API (Hunt, 1996) dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Klasifikasi minyak bumi berdasarkan API/American Petroleum Institute (Hunt, 1996)

Densitas Minyak Bumi Light Oil Medium Oil Heavy Oil Extra Heavy Oil

°API >31,1 22,3 – 31,3 10 – 22,3 <10

34

Minyak dan gas bumi juga tersusun oleh unsur minor, diantaranya: nitrogen, sulfur, dan oksigen (NSO) yaitu sekitar 3%, selain itu dapat dijumpai kehadiran logam berat seperti vanadium dan nikel. Unsur karbon dan hidrogen yang bergabung membentuk hidrokarbon mempunyai ukuran dan jenis molekul yang bervariasi pada minyak mentah. Perbedaan sifat fisik dan kimia hidrokarbon disebabkan karena perbedaan distribusi ukuran dan jenis dari hidrokarbon dan kehadiran senyawa NSO yang bervariasi (Hunt, 1996). II.2.5.1. Variasi Ukuran Molekul Molekul paling kecil pada petroleum adalah metane, sedangkan molekul paling besar adalah aspaltene. Akibat peningkatan ukuran molekul akan mengubah bentuk gas menjadi cair hingga padat. Pada seri parafin nilai C 1-C4 menunjukkan gas, C5-C16 untuk cairan, dan diatas C16 untuk padatan (Hunt, 1996). II.2.5.2. Variasi Jenis Molekul Molekul hidrokarbon mempunyai bentuk struktural yang berbeda dengan nama-nama sebagai berikut: alkana adalah molekul rantai terbuka dengan ikatan tunggal antara atom karbon; sikloalkana merupakan alkana yang berbentuk cincin; alkena mengandung satu atau lebih ikatan rangkap antara atom karbon; dan arena merupakan hidrokarbon dengan satu atau lebih cincin benzena. Namun sebagian besar sering mendengar istilah parafin untuk alkana, naftena atau sikloparafin untuk sikloalkana, olefin untuk alkena, dan aromatik untuk arena (Hunt, 1996) :

35

a. Parafin (CnH2n+2) Tipe hidrokarbon parafin merupakan penyusun minyak mentah terbesar kedua setelah naftena. Parafin didominasi oleh fraksi gasolin dan merupakan hidrokarbon utama pada reservoar tua (yang telah terkubur dalam). Istilah lain yang sering digunakan untuk menggantikan parafin adalah alifatik dan hidrokarbon jenuh. Dapat membentuk struktur rantai normal (n-parafin) atau bercabang. b. Naftena atau Sikloparafin (CnH2n) Naftena merupakan struktur molekul penyusun minyak mentah terbanyak (rata-rata ± 50%), akan bertambah jumlahnya pada fraksi yang lebih berat dan menurun pada fraksi ringan. Naftena yang sering muncul pada minyak mentah adalah metal siklopentana dan metal sikloheksana, dimana keduanya hadir 2% atau lebih dalam minyak mentah. Naftena dan parafin juga disebut sebagai hidrokarbon jenuh karena semua ikatan karbon yang tersedia terisi penuh oleh hidrogen. c. Olefin (CnH2n-2) Olefin merupakan struktur hidrokarbon dengan ikatan rangkap antara dua atom karbon atau lebih, hal tersebut menyebabkan unsur ini menjadi sangat reaktif dibanding jenis hidrokarbon lainnya. Sangat jarang ditemukan dalam minyak mentah dan mudah tereduksi menjadi parafin atau thiol oleh hidrogen sulfida pada sedimen. Contoh paling umum yang ditemukan adalah isoprena yang merupakan struktur dasar yang penting di alam.

36

d. Aromatik (CnH2n-6) Aromatik

merupakan

hidrokarbon

tak

jenuh

dimana

dapat

menambahkan hidrogen atau unsur lainnya pada struktur cincin. Semua aromatik setidaknya mengandung satu cincin benzena. Terkonsentrasi dalam bentuk fraksi berat seperti pelumas dan residu, dimana prosentasenya lebih dari 50%. Keterdapatannya jarang mencapai lebih dari 15% dalam minyak mentah keseluruhan. Toluena dan metasilena tipe hidrokarbon aromatik yang paling sering ditemukan. e. Senyawa Nitrogen, Sulfur, dan Oksigen (Aspaltik) Nonhidrokarbon merupakan senyawa yang mengandung atom nitrogen, sulfur, atau oksigen dalam molekul. Meskipun unsur ini hadir dalam jumlah kecil, mereka dapat meningkatkan fraksi nonhidrokarbon dalam minyak mentah dengan bergabung dalam molekul. Sebagian besar residu minyak mentah mengandung senyawa nonhidrokarbon yang tinggi. II.2.6. Analisis Batuan Induk Analisis batuan induk digunakan untuk mengetahui potensi atau kemampuan batuan induk menghasilkan hidrokarbon perlu dilakukan evaluasi terhadap batuan induk meliputi kuantitas, kualitas dan kematangan termal material organik. Metode-metode analisis untuk mengetahui ketiga parameter tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

37

II.2.6.1. Analisis Total Organic Carbon (TOC) Analisis TOC biasanya dilakukan menggunakan alat penganalisis karbon Leco. Teknik yang dilakukan cukup sederhana, yaitu dengan membakar sampel berbentuk bubuk yang bebas mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan bantuan oksigen (Gambar 2.12). Semua karbon organik akan berubah menjadi CO2, diperangkap dan kemudian dilepaskan ke detektor, jumlah CO2 yang dilepaskan proporsional dengan jumlah karbon organik dalam sampel batuan. Jumlah karbon dioksida yang di dapat proporsional dengan jumlah karbon organik di dalam batuan (Subroto, 1993).

Gambar 2.12. Diagram skematik penganalisis karbon Leco (Subroto, 1993)

II.2.6.2. Rock Eval Pyrolysis (REP) Pada tahun 1977, Espitalié, dkk menerbitkan paper pertama tentang pengembangan dan penggunaan dari Rock-Eval pyrolyzer. Prinsipnya adalah analisis komponen hidrokarbon dalam batuan yang dioksidasi dengan cara melakukan pirolisis pada kondisi atmosfer inert (mis. dengan Helium) dengan temperatur yang terprogram (Hunt, 1996).

38

Gambar 2.13. Diagram skematik Rock-Eval (Subroro, 1993)

Problem yang muncul pada Rock-Eval Pyrolysis adalah adanya matrik mineral lempung seperti smektit dan illite yang menyebabkan pengurangan HI dan penambahan OI. Untuk menghilangkan kandungan matrik mineral tersebut digunakan larutan HCl dan HF. Dari analisa Rock-Eval Pyrolysis akan diperoleh parameter-parameter sebagai berikut (Hunt, 1996): a. S1 yaitu mengukur kandungan free hydrocarbon yang tervolatilisasi dari batuan pada temperatur < 3000C, yang dihasilkan dari kerogen selama proses pengendapan. b. S2 yaitu menunjukkan jumlah hidrokarbon hasil proses cracking, yang terjadi akibat kerogen pada batuan induk mengalami peningkatan temperatur 3505500C secara alamiah. c. S3 yaitu menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang terbentuk dari pirolisis material organik, terbentuk pada temperatur 300 – 3900C.

39

d. Tmax yaitu menunjukkan temperatur pada saat pembentukan hidrokarbon melalui cracking (S2) mencapai intensitas maksimal. Nilai Tmax yang menunjukkan oil window berkisar antara 435-4700C. e. Hydrogen Index (HI) atau (S2/TOC) x 100 dan Oxygen Index (OI) atau (S3/TOC) x 100. Nilai HI yang semakin tinggi menunjukkan oil prone, sedangkan nilai OI yang tinggi menunjukkan gas prone. Nilai HI dan OI dapat digunakan untuk mengetahui kualitas (tipe) kerogen yang dihasilkan, yaitu dengan menggunakan diagram Pseudo Van Krevelen. Selain itu nilai HI vs Tmax juga dapat digunakan untuk mengetahui kualitas kerogen.

Gambar 2.14. (A) Diagram Pseudo Van Krevelen (dari Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981) dan (B) Diagram HI vs Tmax (Hunt, 1996)

f. Production Index (PI) atau S1/(S1+S2), umumnya mempunyai nilai 0,1-0,4 dari awal sampai akhir saat oil window. Nilai PI yang tinggi menunjukkan migrasi minyak, terutama jika nilai Tmax menurun dan TOC meningkat pada saat yang sama.

40

II.2.6.3. Pemantulan Vitrinit (%Ro) Pemantulan vitrinit merupakan merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk indikator kematangan, karena memiliki range kematangan yang lebih panjang dibandingkan teknik atau indikator lainnya. Maseral lain seperti liptinite yang mengandung hidrogen tinggi mempunyai nilai pemantulan yang rendah, sedangkan fusinit (inertinit) yang mengandung hidrogen rendah mempunyai nilai pemantulan yang tinggi (Gambar 2.15.).

Gambar 2.15. Perubahan pemantulan pada minyak (Ro) untuk A. Inertinit; B. Vitrinit; dan C. Liptinit (Murchison, 1969 dalam Hunt, 1996)

Pemantulan cahaya pada permukaan sayatan poles vitrinit akan meningkat seiring tingkat kematangan yang tinggi, karena adanya perubahan struktur molekul pada maseral. Vitrinit mengandung klaster cincin aromatik yang saling berhubungan dengan penambahan kematangan, klaster tersebut bergabung menjadi struktur cincin aromatik yang lebih besar dengan orientasi yang lebih teratur sehingga menyebabkan pemantulan cahaya yang lebih besar.

41

Gambar 2.16. Perubahan struktur molekul kerogen tipe I; A) awal diagenesis dan B) akhir katagenesis (Behar dan Vendenbroucke, 1987 dalam Hunt, 1996)

Menurut Dow dan O’Connor (1982) terdapat beberapa problem untuk memperoleh nilai Ro yang sebenarnya, antara lain (Hunt, 1996): -

Vitrinit dapat terbentuk dari beberapa sumber, yaitu primer, daur ulang, caving dan mud additives. Vitrinit primer yang dapat digunakan untuk analisis kematangan.

-

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran Ro, antara lain tekstur vitrinit yang kasar, oksidasi, dan inklusi oleh pirit ataupun bitumen.

-

Material yang terlihat seperti vitrinit, seperti bitumen padat (beberapa tipe), pseudovitrinit, dan semifusinit.

II.2.6.4. Kromatografi Gas Kromatografi gas atau gas chromatography (GC) adalah oven yang berisi sebuah kolom gelas atau logam panjang, kecil, dan melingkar (Gambar 2.17) dimana salah satu ujung kolom dihubungkan dengan tempat sampel diinjeksikan ke dalam kolom. Ujung yang lain dihubungkan dengan suatu detektor yang dapat memantau lewatnya senyawa-senyawa yang keluar dari kolom setelah mereka dipisahkan. Laju aliran suatu molekul tergantung dengan berat molekul dan

42

polaritasnya. Molekul yang berat bergerak lebih lambat daripada yang ringan dan molekul polar bergerak lebih lambat daripada molekul non polar (Subroto, 1993). Komponen yang keluar dari kolom dicatat proporsi konsentrasinya oleh detektor. Grafik respon detektor (kelimpahan) vs waktu (kapan senyawa keluar dari kolom) disebut kromatogram. Setiap puncak kromatogram menunjukkan komponen tertentu. Pengenalan terhadap senyawa yang ditunjukkan oleh puncak kromatogram dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar yang autentik. Waktu retensi adalah waktu yang diperlukan suatu komponen untuk melewati kolom komatografi. Kromatografi gas hidrokarbon jenuh pada prinsipnya untuk melihat distribusi n-parafin dan isoprenoid (Subroto, 1993).

Gambar 2.17. Diagram skematik kromatografi gas (Subroto, 1993)

II.2.6.5. Kromatografi Gas – Spektometri Massa (GC-MS) Kombinasi antara kromatografi gas dan spektometri massa memerlukan suatu alat penghubung antarfase. Dalam sistem ini fungsi kromatografi gas hanyalah untuk memisahkan komponen sebelum mereka memasuki spektometri massa. Spektometri massa dirancang untuk mengamati karakter dan mengenali

43

senyawa kimia dengan cara memustuskan senyawa tersebut menjadi fragmen (ion) bermuatan listrik. Fragmentasi molekul dimulai dengan menembak molekul tersebut dengan energi yang besar, sehingga elektronnya keluar dari molekul dan menghasilkan ion-ion molekular (Subroto, 1993). Ion-ion molekular dan fragmen yang bermacam tersebut dipercepat lajunya didalam suatu tempat oleh medan magnet di dalam spektometri massa. Radius tempat tersebut tergantung pada dua hal, yaitu rasio massa/muatan (m/z atau m/e) ion dan kekuatan medan magnet. Senyawa dengan struktur kimia sama memiliki spektra massa sama, dimana sterana mempunyai puncak m/z 217, sedangkan triterpana memiliki puncak m/z 191 yang tinggi. Grafik yang didapat dengan memantau suatu m/z tertentu sepanjang analisis kromatografi gas disebut fragmentogram massa (Subroto, 1993).

Gambar 2.18. Diagram skematik kombinasi kromatografi gas-spektrometri massa (Subroto, 1993)

44

II.2.7. Biomarker Biomarker adalah senyawa organik tersusun atas struktur karbon atau skeleton yang terbentuk dari organisme hidup dan cukup stabil untuk bertahan pada minyak mentah atau material organik. Terdapat dua blok dasar pembentukan biomarker, yaitu: pertama, 2-struktur karbon asam asetat yang bergabung untuk membentuk rantai karbon panjang dan kedua, 5-struktur karbon isoprena yang bergabung untuk membentuk seluruh isoprenoid dan terpenoid serta prekursor untuk steroid. Biomarker mempunyai struktur komplek yang tahan terhadap proses sekunder, seperti biodegradasi dan kematangan termal yang tinggi sehingga dapat memberikan banyak informasi, antara lain : identifikasi material sumber, lingkungan pengendapan, kematangan termal, korelasi minyak bumi dengan batuan induk, dan tingkat biodegradasi (Hunt, 1996). II.2.7.1. n- Parafin Normal Parafin dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, n- parafin bernomor ganjil terdiri dari C25-C37 di berbagai tumbuhan. C27, C29, dan C31 terbentuk dari lilin tumbuhan darat, sedangkan hidrokarbon C15, C17, dan C19 terbentuk dari plankton. Kedua, n-parafin bernomor genap yang terbentuk pada karbonat anoksik atau sedimen evaporit, karena pada lingkungan yang sangat reduktif, oksigen pada asam atau alkohol melepas H2O tanpa kehilangan atom karbon (Hunt, 1996). Data n-parafin dapat digunakan untuk mengetahui nilai CPI (Carbon Preference Index), salah satunya menggunakan rumus perhitungan Bray & Evans (1961):

45

Nilai CPI dapat digunakan sebagai indikator kematangan batuan induk. Nilai CPI pada batuan induk yang belum matang umumnya >> 1,0, namun nilainya mendekati 1.0 seiring peningkatan kematangan. Hal tersebut diakibatkan pecahnya rantai alkil pada matrik kerogen menghasilkan n-parafin dan hilangnya komponen OEP selama proses ekspulsi hidrokarbon (Killops dan Killops, 2005). Selain itu, bentuk pola kromatogram dapat digunakan untuk menentukan tipe batuan induk yang menghasilkan minyak bumi (Gambar 2.19.) dengan cara membandingan pola kromatogram sampel minyak bumi dengan pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ (Robinson, 1987).

Gambar 2.19. Pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ penciri tipe karakteristik crude oil di Indonesia (Robinson, 1987)

46

II.2.7.2. Isoprenoid asiklik (C5 – C20) Hidrokarbon isoprenoid asiklik yang banyak digunakan dalam studi korelasi minyak mentah dan batuan induk adalah pristana (C19) dan fitana (C20). Isoprenoid yang lebih kecil seperti norpristana (C18) dan farnesana (C15) hadir dalam konsentrasi yang lebih rendah daripada pristana dan fitana, sehingga keduanya jarang digunakan dalam korelasi. a. Pristana dan Fitana ( C19 dan C20) Rasio Pr / Ph cenderung tinggi (>1) dalam lingkungan oksidasi, seperti rawa gambut karena transformasi fitol menjadi asam fitanoat dilanjutkan dekarbonisasi menjadi pristana. Pada lingkungan reduksi memiliki rasio yang rendah (<1), karena transformasi fitol menjadi dehidrofitol dan mengurangi pristana. Minyak low wax yang berasal dari batuan induk marine memiliki rasio Pr/Ph 1-3. Minyak high wax dan kondensat berasal dari batuan induk non marine memiliki rasio Pr/Ph 5-11 menunjukkan material organik berasal dari darat (Powell and McKirdy, 1973 dalam Peters, et al, 2005). Selain itu rasio Pr/nC17 < 0.5 menunjukkan minyak berasal dari marine source rock, sedangkan jika Pr/nC17 > 1 menunjukkan minyak berasal dari batuan induk terendapkan di daerah nonmarine (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al, 2005). b. Isoprenoid asiklik lainnya dan Anteisoprenoid Berbagai hidrokarbon isoprenoid asiklik telah diidentifikasi dalam minyak bumi dengan nomor karbon dari C5-C40 (Albaiges, 1980 dalam Hunt, 1996). Empat jenis isoprenoid asiklik telah teridentifikasi, tergantung dari bagaimana unit isoprena saling berhubungan bersama. Reguler anteisoprenoid

47

memiliki struktur yang sama dengan pristana dan fitana, tetapi gugus metil berada pada posisi nomor karbon ganjil. II.2.7.3. Triterpana atau Isoprenoid Siklik Triterpana

bersumber

dari

organisme

bakteri

(triterpenoid)

yang

mengandung grup –OH dan ikatan ganda yang berasal dari membran bakteri (Waples dan Machihara, 1991). Triterpana terbagi menjadi tiga famili berdasarkan jumlah cincinnya, yaitu: a. Trisiklik Triterpana (C19 – C45) Trisiklik terpana dianggap sebagai produk diagenesis membran prokariotik. Seri homolog dari trisiklik terpana berkisar dari C19-C30 (Aquineto et al., 1983 dalam Hunt, 1996). Moldowan et al. (1983) mengidentifikasi homolog trisiklik hingga C45 di beberapa minyak mentah dan batuan induk. Konsentrasi trisiklik terpana dalam minyak mentah meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan, karena putusnya gugus trisiklik triterpana dalam aspaltena dan kerogen (Hunt, 1996). b. Tetrasiklik Triterpana (C24-C27) Tetrasiklik triterpana masih sangat jarang dipelajari sehingga masih sangat jarang digunakan. Umumnya mengandung tetrasiklik terpana pada rentang C24-C27 dan terbentuk dari berbagai fraksi minyak mentah, seperti aspaltena dan resin (Hunt, 1996).

48

c. Pentasiklik Triterpana 1. Hopanoid (C27-C40) Hopanoid terdapat hopana 17α(H), 21β(H) disebut hopana dan hopana 17β(H), 21α(H) disebut moretana. Rasio moretana/hopana dapat digunakan sebagai indikator kematangan dimana nilai rasio moretane/hopana yang rendah menunjukkan minyak yang sudah matang, untuk minyak bumi dengan sumber berumur tersier memiliki rasio 0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991). Hopana terbentuk oleh membran prokariotik pada bakteri, cyanobacteri (alga biru-hijau), dan organisme primitif lainnya dengan sel prokariotik, selain itu juga terdapat pada pakis, lumut dan beberapa tumbuhan tingkat tinggi (Hunt, 1996). Sepasang hopana C27 sering dijumpai adalah 17α(H)-22,29,30trisnorhopana atau Tm dan 18α(H)-22,28,30-trisnorneohopana atau Ts. Tm diperkirakan berupa struktur hasil biologis, sedangkan Ts berasal dari sedimen dan batuan hasil diagenesis atau proses termal. Rasio Tm/Ts dapat digunakan untuk mengetahui sumber batuan induk maupun minyak bumi. Rasio Tm/Ts yang tinggi menunjukkan sumbernya berasal dari darat, sebaliknya jika rasio Tm/Ts rendah menunjukkan sumber dari laut (Waples dan Machihara, 1991). Selain itu rasio Tm/Ts juga dapat digunakan sebagai indikator kematangan dengan klasifikasi (Peters dan Moldowan, 1993) sebagai berikut jika rasio Tm/Ts 2,0-20,0 (immature), 1,0-2,0 (early mature), 0,5-1,0 (peak mature) dan 0,1-0,5 (post mature).

49

2. Nonhopanoid Nonhopana yang digunakan dalam geokimia antara lain adalah gamaserana, oleanana, dan lupana (Hunt, 1996). -

Gamaserana sangat resisten terhadap biodegradasi, sehingga cenderung bervariasi pada minyak dan batuan induk. Gamaserana digunakan sebagai penciri lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi.

- Oleanana dan lupana berasal dari angiosperma dan tumbuhan tingkat tinggi, selain itu juga ditemukan di batubara (lignit). Kehadiran keduanya mencirikan sumber berasal dari darat (terestrial). II.2.7.4. Sterana (C19-C30) Sterana terbentuk dari sterol yang berasal dari sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi dan juga algae, namun tidak dijumpai pada organisme prokariotik. Sterol berubah menjadi menjadi stanol, sterena, dan akhirnya sterana melalui aktivitas mikroba dan reaksi diagenesis temperatur rendah. Konsentrasi sterana meningkat seiring kedalaman penimbunan sedimen. Sterana yang umum digunakan dalam korelasi geokimia minyak dan gas bumi mengandung C27, C28, dan C29. Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterol C29 yang dominan. Sebaliknya sterol C27 cenderung dominan pada plangton, umumnya terkonsentrasi pada alga merah dan zooplankton (Hunt, 1996). II.2.8. Korelasi Geokimia Batuan Induk dan Minyak Bumi Korelasi dipisahkan menjadi dua, yaitu minyak mentah dengan minyak lainya atau dengan ekstrak dari batuan induknya. Korelasi merupakan alat penting untuk menjawab pertanyaan produksi dan eksplorasi, serta memperluas dan

50

memperjelas tren eksplorasi yang ada. Korelasi minyak bumi – bataun induk lebih sulit dibanding dengan korelasi antara minyak bumi, karena banyak permasalahan yang melibatkan kedua jenis sampel dan interpretasi data (Hunt, 1996). Parameter bulk correlation tidak terlalu berguna dalam korelasi minyakbatuan induk, karena beberapa alasan. Pertama, beberapa sampel batuan induk tidak cukup mewakili minyak yang dihasilkan dari interval batuan sumber yang tebal dengan komposisi yang bervariasi. Kedua, batuan induk tidak akan menghasilkan minyak dengan komposisi yang sama sepanjang sejarah generasinya. Ketiga, komposisi bitumen yang diekstrak dari batuan dengan prosedur berbeda akan menghasilkan komposisi yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut maka, perbandingan biomarker adalah metode yang paling cocok untuk korelasi minyak-batuan induk. (Price dan Clayton, 1992 dalam Hunt, 1996). Beberapa rasio biomarker yang umum digunakan antara lain : a. Indek Homohopana Seri homohopana (C31-C35) merupakan hopana dengan tambahan kelompok CH2 pada rantai samping yang dipercaya berasal dari hopanoid C35 pada mikroorganisme prokariotik. Indek homohopana adalah rasio C35/(C31C35), dengan konfigurasi 17α(H), 21β(H), 22S dan 22R. Rasio yang tinggi menunjukkan kondisi reduksi yang kuat, seperti lingkungan karbonat dan evaporit laut, karena dianggap lingkungan tersebut mempreservasi C35. Indek rendah, dimana C31 dan C32 lebih dominan, menunjukkan lingkungan suboxic. Indek homohopana menurun seiring peningkatan kematangan.

51

b. Indek Oleanana Oleanana dapat berasal dari angiosperma dan tumbuhan tingkat tinggi. Indek

oleanana

adalah

rasio

18α(H)+18β(H)-oleanana/17α(H)-hopane.

Minyak dengan indek oleanana tinggi (>30%) mengindikasikan input berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedangkan jika nilai indek rendah (<10%) mengindikasikan sumber dari laut dengan input terestrial yan terbatas. Rasio oleanana umumnya meningkat seiring dengan peningkatan kematangan dan mencapai

maksimal

pada

oil-generation

window,

sehingga

korelasi

membutuhkan sampel dengan kematangan yang sama. c. Indek Gamaserana Gamaserana berasosiasi dengan lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi, termasuk danau (lacustrine) dan laut (marine). Indek gamaserana adalah rasio gamaserana/17α,21β(H)-hopane x 100. Indek gamaserana yang tinggi mengindikasikan lingkungan dengan salinitas tinggi, sedangkan indek gamaserana yang rendah menunjukkan kebalikannya. d. Trisiklik Terpana Dibandingkan

sterana

dan

terpana,

trisiklik

terpana

(C19-C29)

memberikan kelebihan untuk korelasi yang dipengaruhi kematangan dan biodegradasi karena lebih resisten. Minyak dan batuan induk terbagi dalam dua kelompok, yaitu dengan puncak maksimum trisiklik terpana C23 dan puncak maksimum tetrasiklik terpana C24. Rasio trisiklik/17α(H)-hopana pada dasarnya sebagai indikator perbandingan sumber dari lipid alga (trisiklik) dengan hopana yang berasal dari prokariotik primitif.

52

e. Indek C30-Sterana (24-n-propilkolestana) Moldowan et al (1985) dalam analisisnya menyebutkan bahwa 24-npropilkolestana hanya terdapat pada minyak yang berasal dari batuan induk laut, sehingga tidak terdapat pada batuan induk non laut. Indek C30 sterana adalah rasio C30/(C27-C30) sterana. Minyak bumi yang berasal dari batuan induk laut berkisar antara 0-0,88, sedangkan minyak non laut tidak mengandung C30 sterana. f. Diasterana/Reguler Sterana Rasio yang rendah ditambah keberadaan pregnana, squalana, C 24 tetrasiklik terpana, dan aryl isoprenoid yang melimpah menunjukkan lingkungan dengan salinitas tinggi. Rasio disterana/sterana yang tinggi cenderung karena tingkat biodegradasi atau pematangan termal yang tinggi, dibandingkan faktor batuan induknya. Dibawah biodegradasi yang berat, sterana secara selektif hancur dibandingkan diasterana. g. Sidik Jari Biomarker Kromatografi massa telah banyak digunakan untuk korelasi minyak dan batuan induk sejak 1977 oleh Seifert. Korelasi dilakukan dengan mencocokan pola fragmentogram minyak bumi dengan batuan induk yang diperkirakan. h. Diagram Segitiga Sterana Distribusi homolog sterol C27, C28, dan C29 pada diagram segitiga sebagai indikator sumber dikemukakan pertama kali oleh Huang dan Meinshein (1979).

53

Gambar 2.20. Diagram segitiga regular sterana (Hunt, 1996)

i. Rasio Isoprenoid/n-parafin Isoprenoid/n-parafin yang digunakan adalah Pr/nC17 vs Ph/nC18. Nilai kedua rasio akan menurun seiring dengan meningkatnya kematangan termal, karena peningkatan n-parafin. Namun, nilai kedua rasio akan meningkat seiring dengan peningkatan biodegradasi karena bakteri cenderung menyerang n-parafin (Peters et al, 2005). Selain itu juga dapat menggunakan rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998)

Gambar 2.21. A. Grafik Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al, 2005) dan B. Grafik Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998)

54

II.9. Hipotesis Penelitian a. Formasi batuan yang berperan sebagai batuan induk pada Lapangan Sukowati adalah Formasi Pematang. b. Minyak bumi yang dihasilkan pada Lapangan Sukowati berasal dari batuan induk lingkungan transisi, tersusun atas material organik berasal dari darat dan laut, serta belum mengalami proses biodegradasi. c. Batuan induk pada Formasi Pematang berkorelasi dengan minyak bumi yang dihasilkan pada sumur pemboran di Lapangan Sukowati. d. Variasi data geokimia pada daerah penelitian dikontrol oleh kondisi geologi regional.

55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Ketersediaan Data Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai objek penelitian adalah data geokimia yang dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada Tbk. Data geokimia yang tersedia merupakan data lama (tahun 1983-1985), yang terdapat pada enam sumur, yaitu sumur SS-1, SS-2, SS-3, SS-4, SS-5, dan SS-6. Data geokimia yang digunakan terdiri dari data geokimia sampel batuan induk dan minyak bumi. III.1.1. Data Geokimia Batuan Induk Data ini berasal dari analisis laboratorium terhadap sampel batuan hasil pengeboran yang berupa core (batu inti) dan side wall core. Data geokimia batuan induk meliputi kandungan karbon (TOC), hasil pirolisis (S1, S2, S3, dan Tmax), reflektansi vitrinit, dan data kromatografi yaitu Gas Chromatography (GC) dan Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS). Tidak semua data tersebut terdapat lengkap di keenam sumur, artinya setiap sumur memiliki kelengkapan data geokimia yang berbeda-beda. III.1.2. Data Geokimia Minyak Bumi Data diperoleh dari analisis laboratorium terhadap sampel minyak bumi hasil pengeboran pada suatu formasi tertentu. Data geokimia minyak meliputi sifat fisik (API, kandungan sulfur, wax, asphaltene), data biomarker dari Gas Chromatography (GC) dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Untuk sampel minyak bumi hanya tersedia pada sumur SS-1 dan SS-5.

56

Gambar 3.1. Peta persebaran lokasi sumur

III.2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan terhadap kedua sampel, yaitu : batuan induk dan minyak bumi. Sampel batuan induk dilakukan evaluasi meliputi kuantitas, kualitas, dan kematangan termal material organik. Analisis pada sampel minyak bumi dilakukan karakteristik minyak bumi berdasarkan data gravitas API dan komposisi molekul minyak mentah. Sampel batuan induk dan minyak bumi juga dilakukan analisis biomarker yang akhirnya dijadikan parameter korelasi antara batuan induk dan minyak bumi.

57

III.2.1. Karakteristik Sampel Batuan Induk Kemampuan batuan induk menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari evaluasi potensi batuan induk, yaitu meliputi analisis kuantitas, kualitas, dan kematangan termal material organik. Evaluasi dilakukan pada semua formasi batuan, meliputi Formasi Pematang, Sihapas, dan Telisa. Hasil analisis tersebut dapat ditentukan formasi mana yang berperan sebagai batuan induk. Selain itu juga diperlukan analisis biomarker untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan pengendapan material organik. III.2.1.1. Kuantitas Material Organik Kuantitas material organik ditentukan menggunakan klasifikasi kandungan TOC merujuk pada klasifikasi dari Peters dan Cassa (1994). III.2.1.2. Kualitas Material Organik Kualitas Material Organik atau banyaknya hidrokarbon yang terbentuk dapat diketahui berdasarkan tipe kerogen batuan induk tersebut. Untuk mengetahui tipe kerogen dilakukan beberapa ploting pada suatu diagram sesuai dengan data yang tersedia pada setiap sumur, dimana dari ketiga diagram atau grafik tersebut mengandung satu parameter yang sama yaitu hidrogen. Ketiga grafik tersebut antara lain yaitu: a. Diagram Pseudo Van Krevelen, menggunakan ploting data Hydrogen Index dan Oxygen Index (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981). b. Ploting menggunakan data Tmax dan Hydrogen Index (Hunt, 1996). c. Menggunakan klasifikasi kandungan HI (McCarthy, et al., 2011)

58

III.2.1.3. Kematangan Material Organik Tingkat kematangan material organik dapat diketahui menggunakan beberapa parameter untuk membandingkan hasilnya, karena setiap parameter mempunyai kekurangan masing-masing. Parameter yang digunakan yaitu reflektansi vitrinit (% Ro), production index (PI) dan Tmax. Ketiga parameter tersebut kemudian di tentukan tingkat kematangannya berdasarkan klasifikasi Peters & Cassa (1994). III.2.1.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan Analisis biomarker dapat digunakan untuk menentukan sumber atau jenis material organik dan lingkungan pengendapan. Analisis tersebut adalah : a. Ploting Pr/nC17 vs Ph/Ph (Hwang et al., 1998) untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan pengendapan. b. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005) untuk mengetahui sumber material organik. III.2.2. Karakterisasi Sampel Minyak Bumi III.2.2.1. Analisis Komposisi Whole Oil Analisis komposisi whole oil dilakukan untuk mengetahui kualitas dari minyak bumi, salah satunya berupa nilai densitas atau berat jenis minyak bumi berdasarkan klasifikasi API (Hunt, 1996). Kandungan fraksi jenuh (saturates), aromatik, dan aspaltik yang berguna untuk mengetahui tingkat biodegradasi pada sampel minyak bumi (Lampiran 2). Selain itu, kandungan sulfur dapat digunakan untuk menentukan jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi (BP, 1991 dalam Satyana dan Purwaningsih, 2003).

59

III.2.2.2. Analisis Kromatografi Gas Analisis kromatografi gas menggunakan data, yaitu normal parafin dan isoprenoid, serta pola kromatogram hasil GC. Analisis kromatografi gas pada minyak bumi digunakan untuk mengetahui jenis batuan induk, sumber material organik penghasil minyak bumi dan lingkungan terbentuknya minyak bumi. Parameter yang digunakan untuk analisis tersebut antara lain: a. Rasio Pr/Ph (Powell and Mc Kirdy, 1973 dalam Peters et al., 2005) untuk mengetahui jenis batuan induk penghasil minyak bumi. b. Rasio Pr/nC17 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005) untuk mengetahui jenis batuan induk penghasil minyak bumi. c. Ploting Pr/nC17 vs Ph/Ph (Hwang et al., 1998) untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan pengendapan. d. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005) untuk mengetahui sumber material organik. e. Menggunakan perbandingan pola kromatogram sampel minyak bumi dengan pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ (Robinson, 1987) untuk menentukan tipe batuan induk yang menghasilkan minyak bumi. III.2.2.3. Analisis Kromatografi Gas – Spektometri Massa Analisis kromatografi gas spektrometri massa menggunakan dua data utama, yaitu terpana dan sterana. Analisis kromatografi gas - spektometri massa pada minyak bumi digunakan untuk mengetahui kematangan minyak bumi, sumber material organik penghasil minyak bumi dan kondisi lingkungan terbentuknya minyak bumi. Parameter yang digunakan untuk analisis tersebut antara lain:

60

a. Rasio Tm/Ts untuk mengetahui kematangan minyak bumi, dimana menurut Peters dan Moldowan (1993) dan untuk mengetahui sumber dan lingkungan pengendapannya (Waples dan Machihara, 1991). b. Rasio moretana/hopana oleh Grantham (1986) dalam Waples dan Machihara (1991) yang digunakan sebagai indikator kematangan. c. Presentase C27, C28, dan C29 sterana (Hunt, 1996) untuk mengetahui asal sumber material organik. III.2.3. Korelasi Batuan Induk – Minyak Bumi Korelasi geokimia antara batuan induk dengan minyak didasarkan atas kesamaan komposisinya, yaitu dengan perbandingan ataupun ploting suatu parameter geokimia yang disebut sebagai biomarker yang didapat dari normal parafin dan isoprenoid (GC) atau sterana dan terpana (GC-MS) baik pada batuan induk dan minyak bumi. Parameter yang digunakan antara lain: a. Ploting Pr/nC17 vs Ph/Ph (Hwang et al., 1998). b. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). III.2.4. Korelasi Geokimia dan Kondisi Geologi Korelasi geokimia dan kondisi geologi dimaksudkan untuk mencari hubungan keadaan geologi dengan hasil analisis geokimia yang dihasilkan secara vertikal maupun lateral. Analisis secara vertikal dilakukan dengan menggunakan data stratigrafi regional, tektonik dan lingkungan pengendapan yang di dapat dari studi peneliti terdahulu, kemudian dilakukan interpretasi terkait dengan hasil penelitian. Analisis secara lateral menggunakan peta top basement dan posisi

61

sumur di daerah penelitian untuk mengetahui perkiraan pola penyebaran oil window berdasarkan nilai reflektansi vitrinit dan arah migrasi. III.3. Tahapan Penelitian Untuk mencapai tujuan dari penelitian, diperlukan beberapa tahapan-tahapan sebagai berikut : III.3.1. Tahap Pendahuluan Tahap pendahuluan dilakukan diawali dengan latar belakang permasalahan, sehingga dari hal tersebut dapat ditentukan tema dan judul penelitian serta maksud dan tujuan penelitian. Setelah itu, melakukan studi literatur yang berhubungan dengan penelitian, yaitu: Pertama, mengenai kondisi geologi regional daerah penelitian, baik kondisi struktur geologi, tektonik, dan stratigrafinya. Kedua, melakukan studi mengenai penelitian terdahulu yang telah dilakukan di daerah penelitian dari buku internal milik PT. Energi Mega Persada terkait lokasi penelitian, sejarah lapangan, petroleum system, serta membaca studi pustaka mengenai teori-teori dasar yang berkaitan dengan topik penelitian melalui textbook yang berguna untuk memperluas pengetahuan dasar. III.3.2. Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data adalah mempelajari data-data yang ada, kemudian memilih dan menyalin data yang dibutuhkan untuk penelitian agar dapat dilakukan analisis untuk mencapai tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan adalah :

62

a. Data geokimia batuan induk dan data geokimia minyak bumi Data geokimia batuan induk dan minyak bumi, dimana kedua jenis data tersebut tersedia dalam bentuk data digital (pdf), kemudian untuk memperjelas dan membantu pelaksanaan penelitian dan pembuatan laporan, data dibuat dalam bentuk tabel terlebih dahulu menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. b. Peta dasar lapangan Peta dasar lapangan terdiri dari peta persebaran lokasi sumur pemboran yang berguna untuk menunjukkan persebaran sumur secara spasial dan peta top basement daerah penelitian. III.3.3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data Tahap pengolahan dan analisis data dilakukan analisis dan pengolahan data di ruang kerja kantor PT Energi Mega Persada, Tbk. serta diskusi dengan pembimbing baik mentor yang disediakan perusahaan atau dosen pembimbing. a. Pengolahan dan Analisis Data Geokimia Batuan Induk Pengolahan data geokimia batuan induk menjadi langkah awal, yaitu dengan menggunakan Microsoft Excel untuk membuat grafik-grafik, seperti: kedalaman vs TOC, kedalaman vs Ro, kedalaman vs Tmax, kedalaman vs HI, dan kedalaman vs OI pada masing-masing sumur. Kemudian, grafik-grafik yang dihasilkan tersebut disatukan untuk membuat log geokimia yang digunakan untuk analisis dan interpretasi meliputi nilai TOC, kematangan, produk hidrokarbon utama dan perkiraan kedalaman oil window.

63

b. Pengolahan dan Analisis Data Geokimia Minyak Bumi Pengolahan data geokimia minyak bumi antara lain : pertama, memasukkan (ploting) data pada grafik biodegradasi untuk analisis tingkat biodegradasi; kedua, menggunakan nilai ataupun perbandingan data biomarker yang ada untuk analisis tingkat kematangan, jenis material asal, dan karakteristik tipe lingkungan pengendapan. c. Korelasi Batuan Induk – Minyak Bumi Analisis untuk melakukan korelasi batuan induk – minyak bumi adalah melakukan ploting ataupun membandingkan data biomarker tertentu yang sama-sama terdapat pada sampel batuan induk dan minyak bumi. d. Korelasi Geokimia – Kondisi Geologi Analisis untuk korelasi geokimia dan kondisi geologi dilakukan dengan menggunakan data stratigrafi regional, proses tektonik dan lingkungan pengendapan yang di dapat dari studi peneliti terdahulu yang dibandingkan dengan hasil penelitian. Selain itu menggunakan peta top basement yang di overlay dengan posisi sumur di daerah penelitian untuk mengetahui distribusi letak daerah dalaman, perkiraan pola penyebaran oil window berdasarkan nilai reflektansi vitrinit, dan arah migrasi. III.3.4. Tahap Penyusunan Laporan Pada tahap ini dilakukan penulisan laporan sebagai bagian akhir dari alur kegiatan penelitian. Pada laporan ini akan berisi mengenai sintesis dari semua analisis dan interpretasi data yang telah dilakukan.

64

Gambar 3.2. Bagan alir penelitian

65

BAB IV ANALISIS DATA IV.1. Sumur SS-1 Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-1 meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), rasio atom H/C dan O/C, serta reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada interval kedalaman 3284 – 7076 kaki dan terbagi atas Formasi Telisa (3284-5151 kaki) yang tersusun atas serpih, batulanau, serta batugamping lanauan dan Formasi Pematang (6415-7076 kaki) tersusun atas serpih dan batulempung. Interval kedalaman 2974-3284 kaki diperkirakan ekuivalen dengan Formasi Petani dan tidak masuk dalam pembahasan (Lampiran 1 A). IV.1.1. Hasil Analisis Nilai TOC Hasil analisis TOC (Total Organic Carbon) yang dilakukan pada sumur SS1 (Lampiran 1 A) berkisar antara 0,23 – 1,56 wt-% dengan rerata 0,91 wt-% pada Formasi Telisa dan 0,13 – 0,52 wt-% dengan rerata 0,25 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, nilai TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan sampel yang memiliki kandungan TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Pada sumur SS-1 terdapat enam sampel yang tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, yaitu sampel pada kedalaman 4458, 4714, 5035, 6415, 6934, dan 7076 kaki. Terdapat empat sampel yang memiliki kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon,

66

sedangkan pada Formasi Telisa terdapat lima sampel dengan kandungan TOC berkisar antara 1,0 – 2,0 wt-% yang berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon. IV.1.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis) Analisis REP digunakan untuk mengetahui kualitas dan tingkat kematangan material organik menggunakan parameter Tmax. Sampel dikatakan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and Cassa, 1994). Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-1 (Lampiran 1 A) didapatkan nilai Tmax memiliki kisaran antara 422 – 432 oC pada Formasi Telisa yang menunjukkan sampel belum matang. Pada Formasi Pematang hanya terdapat satu sampel, yaitu pada kedalaman 6548 kaki dengan nilai Tmax 440 0C yang menunjukkan sampel mature. Nilai PI (Production Index) juga digunakan untuk menentukan kematangan batuan induk. Sampel dikatakan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI pada Formasi Telisa berkisar antara 0,005 – 0,038 yang menunjukkan hidrokarbon belum terekspulsi, karena nilai PI < 0.1 (Gambar 4.1.). Nilai PY (Potential Yield) pada Formasi Telisa dari hasil analisis menunjukkan kisaran antara 0,58 - 4,07 mg HC/g TOC. Nilai HI (Hydrogen Index) dan OI (Oxygen Index) digunakan untuk menentukan kualitas batuan induk (tipe kerogen). Berdasarkan hasil analisis, didapatkan nilai HI pada Formasi Telisa antara 52 - 357 mg HC/g TOC dengan rerata 176.2 mg HC/g TOC, sementara pada Formasi Pematang hanya terdapat satu sampel dengan nilai HI 17

67

mg HC/g TOC (Gambar 4.1.). Nilai OI kedua formasi tidak dapat dihitung, karena tidak mempunyai nilai parameter S3. IV.1.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro) Nilai reflektansi vitrinit dapat digunakan untuk evaluasi tingkat kematangan material organik di dalam batuan induk. Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, dianggap matang jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan dianggap sangat matang jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Berdasarkan pengukuran reflektansi vitrinit (Lampiran 1 A) pada Formasi Telisa didapatkan nilai Ro antara 0,27-0,37%, sedangkan pada Formasi Pematang memiliki nilai Ro 0.42%. Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-1 sampel pada Formasi Telisa dan Pematang belum matang. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window dengan cara menarik garis linier terhadap nilai data Ro (Gambar 4.1.). Pada sumur SS-1 diperkirakan terjadi top oil window pada kedalaman 7550 kaki. Berdasarkan overlay peta top basement dan posisi sumur SS-1 (Lampiran 5) dapat menunjukkan bahwa sumur SS-1 memiliki kedalaman basement hingga 9000 kaki, sehingga top oil window tersebut dapat diperkirakan masih terjadi pada Formasi Pematang.

68

Gambar 4.1. Log geokimia Sumur SS-1 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega Persada

IV.1.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti Hasil analisis n-parafin dan isoprenoid batu inti sumur SS-1 hanya terdapat pada Formasi Telisa yaitu pada kedalaman 630-720 dan 1263 kaki. Data n-parafin terdiri dari nC15-nC34. Data n-parafin (Tabel 4.1.) dapat digunakan untuk menentukan nilai CPI (Carbon Preference Index) dengan menggunakan rumus dari Bray & Evans (1961). Nilai CPI digunakan untuk mengetahui kematangan batuan induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada Formasi Telisa dari sampel sumur SS-1 berkisar antara 1,21 – 1,39 yang menunjukkan belum matang. Data isoprenoid (Tabel 4.2.) yang penting adalah pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana dapat digunakan untuk mengetahui sumber

69

material organik dan lingkungan pengendapan, antara lain rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.A) menunjukkan material organik Formasi Telisa sumur SS-1 berasal dari tumbuhan tinggi dan mixed. Lingkungan pengendapan Formasi Telisa sumur SS-1 highly anoxic – anoxic to suboxic lacustrine or marine. Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.A) menunjukkan material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga. Tabel 4.1. Data n-parafin batu inti pada sumur SS-1 n-Parafin

Kedalaman (kaki) 3678

3809

4009

4383

4458

4814

5046

5151

7

8.4

9.8

4.3

5.2

6.2

6.4

nC15

9

nC16

7.4

6.8

8

8.1

5.7

6.2

6.3

5.8

nC17

8.1

9.9

10.1

9.4

10.4

8.9

8.1

7.1

nC18

8.1

10.8

10.6

10.5

12.6

9

7.8

6.4

nC19

9.4

11.7

6.5

11.1

10.4

8.7

7

6.3

nC20

4.5

5.1

4.6

7.5

9.1

6.4

5.2

4.1

nC21

3.9

4.7

3.3

5.9

6.8

6

4.4

3.7

nC22

3.3

2.7

3.8

5

6.2

6.4

5.5

3.4

nC23

3.5

3

3.9

4.4

5.8

5.4

4.9

3.5

nC24

3.3

2.5

2.6

3.6

4.6

4.8

3.8

3.3

nC25

8.7

5.8

3.4

4.9

6.5

5.3

3.8

4.5

nC26

1.5

1.6

3.5

2.6

3.4

4.2

3.4

3.3

nC27

2.3

1.9

5.2

3.3

2.8

4.7

4.2

5

nC28

3.3

4.1

1.6

1.5

1.9

1.8

3.4

4.1

nC29

3.4

4.2

4.9

1.9

2.8

3.3

4.7

5.6

nC30

1.8

2.2

10.2

4.6

3.2

5

4

4.6

nC31

7.3

7.6

4.4

2.2

1.5

3

6.7

7.4

nC32

2.2

1.9

1.8

1.8

0.8

2.8

3.7

5.2

nC33

8.2

5.7

2.4

1.2

0.8

1.8

4.1

7.3

nC34

0.8

0.8

0.8

0.7

0.4

1.1

2.8

3

CPI

2.79

2.21

1.08

1.07

1.26

1.02

1.32

1.47

70

Tabel 4.2. Data isoprenoid batu inti pada sumur SS-1 Isoprenoid

Kedalaman (kaki) 3678

3809

4009

4383

4458

4814

5046

5151

Ip13

1.4

0.2

1.3

2.5

0.9

0.4

1.1

2.2

Ip14

2.5

0.6

1.7

3.1

0.7

0.7

1.6

2.4

Ip15

4.6

3.1

5

6.4

2.3

3.4

4.8

5.5

Ip16

13.8

10.4

8.4

10.2

5.2

6

6.9

8.5

Ip18

10.6

8.5

10

10.1

13.6

13.6

12.5

12.6

Pristane

39.3

39.7

45.3

47.9

49.2

51.6

55.5

55.1

Phytane

27.8

37.5

28.3

19.8

28.1

24.3

17.6

13.7

Pris/Phy

1.41

1.06

1.6

2.43

1.75

2.13

3.15

4.03

Pris/nC17

4.58

4.01

4.48

5.09

4.7

5.8

6.85

7.76

Phy/nC18

3.43

3.47

2.67

1.89

2.23

2.7

2.3

2.14

IV. 1.5. Hasil Analisis Minyak Bumi Hasil analisis minyak bumi pada sumur SS-1 terdiri dari tiga sampel yang terdapat pada Formasi Sihapas. Data hasil analisis (Tabel 4.3.) berupa API gravity yang mempunyai nilai antara 42,20 – 42,70 yang menunjukkan termasuk light oil. Data fraksi hidrokarbon dapat berguna untuk mengetahui tingkat biodegradasi pada sampel minyak bumi. Hasil ploting kandungan fraksi hidrokarbon saturates, aromatics, dan asphaltics (Lampiran 2) menunjukkan sampel minyak bumi belum mengalami proses biodegradasi, sehingga dapat digunakan untuk korelasi dengan batuan induk. Tabel 4.3. Sifat fisik minyak bumi pada sumur SS-1

71

IV.1.5.1. Hasil Analisis Biomarker Minyak Bumi Analisis biomarker menggunakan dua parameter data, yaitu n parafin dan isoprenoid yang didapat dari analisis GC serta terpana dan sterana yang didapat dari analisis GC-MS. Hasil analisis GC pada sumur SS-1 (Tabel 4.4.) terdiri dari data n-parafin nC15-nC34 dan data isoprenoid, seperti pristana (Pr) dan fitana (Ph). Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy, 1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph berkisar antara 9,17 – 10,76 yang menunjukkan jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan induk non marine. Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/nC17 berkisar antara 5,82 – 7,24 yang berarti bahwa berasal dari batuan induk non marine.

72

Tabel 4.4. Data hasil analisis GC minyak bumi pada sumur SS-1 Kedalaman (kaki)

nparafin

5238-77

5246-48

5266-81

nC15

8.3

7.1

8.2

nC16

7.6

6.7

nC17

6.9

nC18

Isoprenoid

Kedalaman (kaki) 5238-77

5246-48

5266-81

Ip13

7.5

6.8

8

7.6

Ip14

12

12.2

13

6.2

7.3

Ip15

7.8

7.8

7.7

7.3

6.3

6.9

Ip16

13.7

14.4

14.8

nC19

7.7

6.8

7.7

Ip18

8.4

9.2

9.4

nC20

6.8

6

6.8

Pristane

46.3

44.9

42.5

nC21

6.7

6.1

6.9

Phytane

4.3

4.7

4.6

nC22

6.5

6

6.6

Pris/Phy

10.76

9.6

9.24

nC23

6.3

5.8

6.4

Pris/nC17

6.71

7.24

5.82

nC24

6.2

5.8

6.4

Phy/nC18

0.58

0.74

0.67

nC25 nC26 nC27 nC28

5.8 5.1 4.8 3.7

5.9 5.4 5.6 4.8

6 5.2 4.8 3.6

nC29

3.5

4.9

3.2

nC30

2.3

3.5

2.1

nC31 nC32

2.1 1.1

3.3 1.7

2 1

nC33

0.9

1.5

0.8

nC34

0.4

0.6

0.5

CPI

1.14

1.16

1.16

Analisis GC-MS berdasarkan data terpana (Tabel 4.5.) rasio Tm/Ts berkisar antara 1,84 – 2,13 menunjukkan tingkat kematangan early mature, karena menurut Peters dan Moldowan (1993) rasio 1,0-2,0 mempunyai tingkat kematangan early mature. Rasio moretana/hopana juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kematangan, dimana dikatakan matang jika memiliki rasio 0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991). Rasio C30 moretana/C30 hopana bernilai 0,11 menunjukkan tingkat kematangan awal (early

73

mature). Indek gamaserana yang tinggi menunjukkan kondisi lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi (Hunt, 1996). Indek gamaserana berkisar antara 2,56 – 3,33 menunjukkan kondisi lingkungan pengendapan yang relatif tidak saline. Sumber material organik dapat diketahui dari data sterana, dimana sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterana C29 yang dominan, sebaliknya sterana C27 cenderung dominan pada alga (Hunt, 1996). Berdasarkan data sterana (Tabel 4.6.) nilai sterana C29 lebih tinggi dibandingkan C27 dan C28, membuktikan adanya input material tumbuhan tingkat tinggi yang dominan. Waples dan Machihara (1991) menggunakan rasio epimer 20S/20R untuk mengetahui tingkat kematangan, dimana minyak bumi semakin matang akan meningkatkan proporsi 20S dan mengurangi proporsi 20R. Berdasarkan data rasio 20S/20R 5α C29 berkisar antara 0,64 – 0,74, menunjukkan sampel matang awal. Tabel 4.5. Data terpana minyak bumi pada sumur SS-1

* hop = hopana; mor = moretana; OL= oleanana; GM= gamaserana Tabel 4.6. Data sterana minyak bumi pada sumur SS-1

* ster = sterana

74

IV.2. Sumur SS-2 Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-2 hanya pada Formasi Telisa, yaitu meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang diterdapat pada interval kedalaman 2260 – 3769

kaki.

Formasi Telisa tersusun atas batulanau, batulempung, dan napal (Lampiran 1 B). IV.2.1. Analisis Nilai TOC Analisis TOC digunakan untuk mengetahui kuantitas batuan induk, dimana sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Terdapat enam sampel Formasi Telisa pada sumur SS-2 (Lampiran 1 B) mempunyai kandungan TOC berkisar antara 0,66 – 1,21 wt-% dengan rerata 0,93 wt-%, dimana empat sampel yang memiliki kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan dua sampel yang memiliki kandungan TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% yang terdapat pada berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon. IV.2.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis) Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-2 (Lampiran 1 B) didapatkan nilai Tmax pada Formasi Telisa memiliki kisaran antara 427 – 433 oC yang menunjukkan sampel belum matang. Sampel dikategorikan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI juga digunakan untuk menentukan kematangan batuan induk, dimana sampel dikatakan

75

matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI Formasi Telisa berkisar antara 0,057 – 0,085 yang menunjukkan hidrokarbon belum terekspulsi dari batuan, karena nilai PI < 0,1 (Gambar 4.2.). Nilai PY pada Formasi Telisa dari hasil analisis menunjukkan kisaran antara 0,58 - 4,07 mg HC/g TOC. Nilai HI dan OI digunakan untuk menentukan kualitas batuan induk (tipe kerogen). Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai HI antara 45 - 268 mg HC/g TOC dengan rerata 156,8 mg HC/g TOC, sedangkan nilai OI tidak dapat dihitung karena tidak terdapat nilai parameter S3. IV.2.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro) Berdasarkan pengukuran reflektansi vitrinit (Lampiran 1 B) pada Formasi Telisa didapatkan nilai Ro antara 0,38-0,4% dan dianggap belum matang. Sampel yang memiliki nilai Ro < 0,6% dianggap belum matang (Peter dan Cassa, 1994). Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.2.). Pada sumur SS-2 diperkirakan terjadi top oil window pada kedalaman 7200 kaki. Berdasarkan overlay peta top basement dan posisi sumur SS-2 (Lampiran 5) dapat menunjukkan bahwa sumur SS-2 memiliki kedalaman basement antara 5000-7000 kaki, sehingga top oil window tersebut dapat diperkirakan terjadi pada basement dan itu menunjukkan bahwa Formasi Pematang pada sumur SS-2 belum matang.

76

Gambar 4.2. Log geokimia sumur SS-2 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega Persada

IV.2.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti Data n-parafin terdiri dari nC15-nC34 dan berguna untuk menghitung nilai CPI yang berfungsi mengetahui kematangan batuan induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada sampel 1,08 yang menunjukkan sampel matang. Data isoprenoid yang penting adalah pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana dapat digunakan untuk mengetahui asal material organik dan lingkungan pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.B) menunjukkan material organik Formasi Telisa sumur SS-2 dari tumbuhan tinggi, sedangkan lingkungan pengendapan Formasi Telisa sumur SS-2 anoxic to suboxic lacustrine or marine. Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.B) menunjukkan material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga.

77

Tabel 4.7. Data hasil analisis GC batu inti pada sumur SS-2 n-Parafin

Kedalaman (kaki) 3708-3768

Isoprenoid

Kedalaman (kaki) 3708-3768

nC15

3.8

Ip 13

0.2

nC16 nC17

5.2 6.2

Ip 14 Ip 15

0.2 2.1

nC18 nC19

6.5 6.4

Ip 16 Ip 18

5.4 17.1

nC20 nC21

5.5 4.4

Pristane Phytane

49.3 25.7

nC22

4.5

Pris/Phy

1.92

nC23

4.6

Pris/nC17

7.95

nC24

3.9

Phy/nC18

3.95

nC25 nC26

4.3 3.7

nC27 nC28 nC29 nC30 nC31

5.8 5.1 6.6 7 5.7

nC32 nC33

4.4 3.3

nC34 CPI

3.1 1,08

IV.3. Sumur SS-3 Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-3 meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada interval kedalaman 190 – 7173 kaki dan terbagi atas tiga formasi batuan, yaitu Formasi Telisa (190-730 kaki) yang tersusun atas serpih dan batulanau. Formasi Sihapas (820-4580 kaki) tersusun atas batupasir, serpih, batulanau, dan batulumpur. Formasi Pematang (4670-7173 kaki) yang tersusun atas serpih, batupasir, dan batulumpur (Lampiran 1 C).

78

IV.3.1. Hasil Analisis Nilai TOC Hasil analisis TOC yang dilakukan pada sumur SS-3 (Lampiran 1 C), berkisar antara 0,31 – 1,08 dengan rerata 0,67 wt-% pada Formasi Telisa, antara 0,06 – 0,96 dengan rerata 0,22 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,09 – 2,59 dengan rerata 0,62 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Sampel pada Formasi Sihapas dominan mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% yang berarti tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Sampel Formasi Telisa dominan memiliki kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon. Nilai TOC sampel Formasi Pematang sangat bervariasi dari berpotensi tidak menghasilkan hidrokarbon hingga sangat baik menghasilkan hidrokarbon. IV.3.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis) Hasil analisis REP pada sumur SS-3 (Lampiran 1 C) didapatkan nilai Tmax memiliki kisaran antara 411 – 423 oC pada Formasi Telisa dan Formasi Sihapas memiliki nilai Tmax berkisar antara 414 – 4200C yang menunjukkan sampel belum matang, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Tmax berkisar antara 433 – 4450C yang menunjukkan sampel telah mature. Menurut Peters and Cassa (1994) sampel dikatakan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435-470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC.

79

Nilai PI dapat digunakan untuk menentukan kematangan batuan induk. Sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI Formasi Sihapas berkisar antara 0,02 – 0,05 menunjukkan hidrokarbon belum terekspulsi, sedangan Formasi Pematang memiliki nilai PI berkisar antara 0,06 – 0,36 menunjukkan hidrokarbon sudah terekspulsi (Gambar 4.3.). Nilai PY Formasi Sihapas hanya terdapat pada empat sampel, yaitu berkisar antara 0,25 – 1,73 mg HC/g TOC, sedangkan nilai PY Formasi Pematang berkisar antara 0,44 – 5,17 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, Formasi Telisa memiliki nilai HI antara 207 - 415 dengan rerata 279,3 mg HC/g TOC dan OI antara 52,8 – 211,9 dengan rerata 100,3 mg CO2/g TOC. Formasi Sihapas memiliki nilai HI antara 16 - 254 dengan rerata 239,5 mg HC/g TOC dan OI antara 34,4 – 131,8 dengan rerata 57 mg CO2/g TOC. Formasi Pematang memiliki nilai HI antara 54 – 186 dengan rerata 145.7 mg HC/g TOC dan OI antara 31,1 – 128,8 dengan rerata 59,7 mg CO2/g TOC. Nilai HI dan OI digunakan untuk menentukan tipe kerogen batuan induk. IV.3.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro) Hasil analisis reflektansi vitrinit (Lampiran 1 C) pada Formasi Telisa hanya terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,35 % dan Formasi Sihapas juga hanya terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,36 %, keduanya dianggap belum matang. Formasi Pematang memiliki nilai Ro berkisar antara 0,57 – 0,79 yang menunjukkan sudah matang (mature). Menurut Peter dan Cassa (1994), batuan dikategorikan belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, dikategorikan matang jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan dikategorikan sangat matang jika

80

memiliki nilai Ro > 1,35%. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.3.). Pada sumur SS-3 kedalaman terjadi top oil window pada kedalaman 5000 kaki yaitu pada Formasi Pematang, sehingga menunjukkan bahwa Formasi Pematang telah matang.

Gambar 4.3. Log geokimia sumur SS-3 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega Persada

IV.3.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti Analisis biomarker pada sumur SS-3 hanya menggunakan data n-parafin dan isoprenoid yang terdapat pada tiga formasi, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan Pematang. Data n-parafin (Tabel 4.8.) terdiri dari nC15-nC34 berguna untuk menentukan nilai CPI. Batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada sampel semakin kecil

81

seiring bertambahnya kedalaman yaitu dari 1,59 – 1,05 yang menunjukkan sampel semakin matang. Data isoprenoid (Tabel 4.9.) terdiri dari pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana digunakan untuk mengetahui asal material organik dan lingkungan pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.C) menunjukkan bahwa material organik Formasi Telisa, Sihapas, dan Pematang sumur SS-3 berasal dari tumbuhan tinggi. Lingkungan pengendapan Formasi Telisa dan Sihapas anoxic to suboxic lacustrine or marine, sedangkan Formasi Pematang pada sumur SS-3 oxic terrestrial. Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.C) menunjukkan material organik berasal dari Formasi Telisa dan Sihapas mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sedangkan Formasi Pematang dari tumbuhan tingkat tinggi. Tabel 4.8. Data n-parafin batu inti pada sumur SS-3 Kedalaman (kaki) nParafin

Telisa

Sihapas

640

2060

2600

nC15

6

8.5

nC16

5.2

nC17

3836

Pematang 4470

5030

5480

5660

5930

6206

5.1

3.3

3.5

4.8

8

2.4

9.1

4.9

3.3

3.6

4.8

8.8

2.9

5.7

9.5

5

3.5

3.8

4.7

8.8

4.3

nC18

5.3

7.9

5.7

0.7

1.6

3.5

3.8

4.6

7.8

7

nC19

4.7

7.5

6

1

3

4.4

4.4

4.9

5.8

6.5

nC20

3

5.9

4.4

1.4

3.6

3.8

4.2

4.4

5.3

6

nC21

2.6

5.2

3.9

1.8

4.4

4

4.4

4.4

4.8

5.6

nC22

2.3

4.6

3.5

2.1

4.9

4.4

4.7

4.5

4.4

5.1

nC23

2.2

4.1

3.2

2.6

5.4

4.7

5.1

4.6

4.1

5

nC24

2

3.3

2.2

3.6

6.7

4.9

5.4

4.6

3.7

5.4

nC25

1.9

2.8

2

4.9

7.6

5.5

5.7

4.9

3.6

5.4

nC26

1.3

2.2

1.9

6.2

8.2

5.2

5.8

5

3.7

5.2

nC27

1.7

1.9

2.2

8.6

9.2

6

6

5.1

3.6

4.8

82

Tabel 4.8 (Lanjutan) 640

2060

2600

3836

4470

5030

5480

5660

5930

6206

nC28

1.7

1.5

2

9.6

8.9

6

5.7

4.9

3.2

4.6

nC29

2.3

1.4

2.5

12.3

9.6

6.1

5.9

5.1

3.1

4.5

nC30

1.8

1

1.9

10.9

7

4.4

4.2

3.6

2.3

3.5

nC31

2.9

1.2

2.8

12.4

6.7

4.4

4.1

3.6

2.2

2.8

nC32

1.2

8.1

3.1

2.5

2.3

2

1.2

1.9

nC33

2.1

7.6

2.3

2.6

2.3

1.9

1.1

1.4

3.9

0.6

0.9

0.7

0.7

0.3

0.7

1.19

1.16

1.18

1.15

1.15

1.12

1.05

6206

nC34 CPI

1.59

1.23

1.41

Tabel 4.9. Data isoprenoid batu inti pada sumur SS-3 Kedalaman (kaki) Isoprenoid

Telisa 640

Sihapas 2060

2600

3836

Pematang 4470

1.2

5030

5480

5660

5930

3.5

5

7.1

6.1

Ip 13

1.5

Ip 14

2.5

1.5

2.4

4.6

7.9

11.6

12.9

12.7

1.6

Ip 15

4.5

3.4

4.6

2.3

5.9

6.2

6.8

5.2

2.9

Ip 16

10.2

12.4

10

6.6

13.9

14.7

14.7

14.3

7.8

Ip 18

8.1

12.8

8.7

7.6

4.3

11.9

10.4

8.9

12.2

13.7

Pristane

49.9

51.6

50.6

59.6

75.2

50.5

47

44.7

42.9

64.5

Phytane

23.3

18.3

22.5

19.3

20.5

6.4

5.1

4.9

6.6

9.5

Pris/Phy

2.14

2.81

2.25

3.09

3.67

7.94

9.21

9.03

6.57

6.89

Pris/nC17

8.7

5.4

10.2

14.4

12.4

9.5

4.8

15

Phy/nC18

4.4

2.3

3.95

1.8

3.6

1.06

0.8

1.4

27.6

12.8

IV.4. Sumur SS-4 Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-4 meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada interval kedalaman 180 – 7000 kaki dan terbagi atas tiga formasi batuan, yaitu Formasi Telisa (180-4140 kaki) yang tersusun atas batulanau dan serpih. Formasi Sihapas (4140-6120 kaki) tersusun atas batupasir dan serpih. Formasi Pematang

83

(6120-7000 kaki) yang tersusun atas serpih, batupasir, dan batubara (Lampiran 1 D). IV.4.1. Hasil Analisis Nilai TOC Analisis TOC digunakan untuk mengetahui kuantitas batuan induk, dimana sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan 2,0 – 4,0 wt-% berpotensi sangat baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Nilai TOC pada sumur SS-4 (Lampiran 1 D), berkisar antara 0,42 – 1,40 dengan rerata 0,93 wt-% pada Formasi Telisa, antara 0,14 – 1,21 dengan rerata 0,42 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,49 –8,58 dengan rerata 0,62 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel pada Formasi Sihapas dominan mempunyai kandungan TOC dominan < 0,5 wt-% yang berarti tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Sampel Formasi Telisa secara umum berpotensi cukup baik - baik menghasilkan hidrokarbon. Sampel Formasi Pematang memiliki nilai TOC bervariasi yang menunjukkan berpotensi cukup baik – sangat baik menghasilkan hidrokarbon hingga sangat baik menghasilkan hidrokarbon. Terdapat tiga sampel yang memiliki kandungan TOC sangat tinggi, yaitu pada kedalaman 5966, 6679, dan 6780 kaki yang menunjukkan sampel memiliki litologi batubara.

84

IV.4.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis) Analisis REP dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kematangan, dimana sampel dikategorikan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435-470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and Cassa, 1994). Hasil analisis pada sumur SS-4 (Lampiran 1 D) didapatkan nilai Tmax berkisar antara 415 – 433 oC pada Formasi Telisa dan Formasi Sihapas memiliki nilai Tmax berkisar antara 430 – 4320C yang menunjukkan sampel belum matang. Formasi Pematang memiliki nilai Tmax berkisar antara 432 – 4420C yang menunjukkan sampel mature. Menurut Peters dan Cassa (1994) sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4. Nilai PI Formasi Telisa berkisar antara 0,002 – 0,068 dan Formasi Sihapas mempunyai nilai PI 0,073 yang menunjukkan hidrokarbon belum terekspulsi. Formasi Pematang memiliki nilai PI berkisar antara 0,046 – 0,309 menunjukkan terdapat hidrokarbon yang sudah terekspulsi (Gambar 4.4.). Nilai PY pada Formasi Telisa berkisar antara 1,14 – 5,12 mg HC/g TOC, sedangkan nilai PY pada Formasi Pematang berkisar antara 0,55 – 5,21 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, pada Formasi Telisa memiliki nilai HI antara 52,5 – 495 dengan rerata 377,2 mg HC/g TOC dan OI antara 22,5 – 148,2 dengan rerata 47.3 mg CO2/g TOC. Pada Formasi Sihapas memiliki nilai HI antara 220 252 dengan rerata 227 mg HC/g TOC dan OI antara 1,2 – 65,3 dengan rerata 57 mg CO2/g TOC. Formasi Pematang memiliki nilai HI antara 66 - 255 dengan

85

rerata 201 mg HC/g TOC dan OI antara 9.8 – 56.5 dengan rerata 26.7 mg CO2/g TOC. IV.4.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro) Nilai reflektansi vitrinit (Lampiran 1 D) pada Formasi Telisa nilai Ro berkisar antara 0,27 – 0,34 %, Formasi Sihapas hanya terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,34 %, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Ro berkisar antara 0,47 – 0,49 %. Ketiga formasi dianggap belum matang (immature). Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, matang jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan sangat matang jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.4.). Pada sumur SS-4 diperkirakan terjadi top oil window pada kedalaman 7200 kaki. Berdasarkan overlay peta top basement dan posisi sumur SS-4 (Lampiran 5) menunjukkan bahwa sumur SS-4 memiliki lokasi diluar peta persebaran top basement, sehingga tidak dapat diperkirakan top oil window tersebut terjadi pada basement atau Formasi Pematang.

86

Gambar 4.4. Log geokimia sumur SS-4 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega Persada

IV.4.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti Analisis biomarker pada sumur SS-4 hanya menggunakan data n-parafin dan isoprenoid yang terdapat pada tiga formasi, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan Pematang. Data n-parafin (Tabel 4.10.) terdiri dari nC15-nC34 berguna untuk menentukan CPI. Nilai CPI digunakan untuk mengetahui kematangan batuan induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada ketiga formasi berkisar antara 1,31 – 2,29 yang menunjukkan sampel belum matang. Data isoprenoid terdiri dari pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana (Tabel 4.11.) dapat digunakan untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan pengendapan, antara lain rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17

87

vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.D) menunjukkan bahwa material organik Formasi Telisa sumur SS-4 berasal dari tumbuhan tinggi dan mixed, sedangkan lingkungan pengendapannya highly anoxic. Hasil ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Telisa (Lampiran 4.D) menunjukkan material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga. Tabel 4.10. Data n-parafin batu inti pada sumur SS-4 Kedalaman (kaki)

n-

Telisa

parafin

Sihapas

Pematang

450

900

1260

1620

2070

2250

2970

3510

3670

5400

6210

6300

nC15

1.3

1.5

1.7

1.3

1.8

2.3

3.3

3

4.1

2.2

1.4

1.9

nC16

1.7

2

2

1.6

1.6

2.2

2.8

3

3.9

1.9

1.3

1.4

nC17

1.9

1.9

1.4

1.3

1.6

Prystane

11

12.3

23.1

17.3

24.4

26.6

28.1

27.9

28.1

33.7

31.3

41.2

nC18

2.1

2.7

2.2

2

2.3

3

3.3

3.6

3.6

2.6

1.6

1.6

Phytane

8

9.9

21.7

15.4

20.3

20.8

18.2

14.1

10.5

14

3.8

4.1

nC19

1.5

1.4

1.3

1.1

1

1.8

2.2

3.2

3.6

1.7

1.8

1.7

nC20

1.6

1.7

1.4

1.2

1.2

1.9

2.2

3.2

3.4

2.2

2.1

2.1

nC21

2.3

3.6

4.3

3.9

5.1

4.4

2.4

3.7

4.3

3.8

2.4

2.2

nC22

1.6

0.7

1.7

1.3

1.8

2.2

2.6

3.4

3

2.1

2.5

2.3

nC23

2.2

2.1

1.1

1.8

1.3

1.6

1.7

2.1

2.6

1.8

2.7

2.4

nC24

1.6

1.6

1

2.2

1.8

2

2.4

2.8

3.9

2.7

3.5

3.2

nC25

2.3

2.2

1.2

1.2

1.3

1.3

1.6

2.5

2.8

1.8

3.7

3.2

nC26

1.2

2.4

1.4

1.3

1.5

1.4

1.6

2.7

2.3

2.1

4

3.3

nC27

2.1

1.9

1.5

3.3

6.8

5.1

3.7

3.8

3

1.4

4.8

3.9

nC28

7.6

5.4

4.5

4.5

4.4

4.7

3.9

4.6

3.7

4.7

5

4

nC29

8.3

8

4

4.3

3.4

3.2

3.6

3.8

4.3

5

7.6

6.3

nC30

7

7

3.9

5.9

3.6

3

3.2

3.5

2.8

3.6

5.1

3.9

nC31

13.6

17.5

11.8

16.7

9.7

8.2

8.3

5.3

4.4

7

6.4

4.8

nC32

3.6

2.8

1.8

2.2

0.8

0.7

0.8

1

1.7

1.3

3.3

2.4

nC33

16.6

10.7

6.4

9.5

3.8

3.1

3.6

2.2

3

3.9

4.3

3.2

nC34

0.9

0.7

0.6

0.7

0.5

0.5

0.5

0.6

1

0.5

1.4

0.9

CPI

2.08

2.15

2.01

2.29

2.19

1.9

1.91

1.31

1.37

1.45

1.35

1.37

88

Tabel 4.11. Data isoprenoid batu inti pada sumur SS-4 Kedalaman (kaki) Isoprenoid

Telisa 450

900

Ip13

1260

1620

2070

2250

2970

3510

0.6

0.1

1.5

1.2

0.2

Ip14

Sihapas 3670

5400

Pematang 6210

6300

2.2

1.8

1

0.8

0.9

1.6

0.8

2

1.7

1.1

1

4.7

3.9

Ip15

2.4

1.3

2.5

2.2

3.3

2.6

4.4

3.9

4.2

2.7

4.8

4.5

Ip16

10.2

9.6

6

7.7

7.1

6.5

7.8

7.8

8.2

7.1

10.6

9.9

Ip18

8.2

7.7

4.6

5.6

4.4

4.8

5.8

8.1

10.8

6.2

10.5

9.4

Pristane

46.1

44.6

44.2

44.3

45.2

47.8

47.7

51.3

55.1

58.5

60

64.1

Phytane

33.1

35.8

41.7

39.3

37.8

37.4

30.8

26

20.6

24.5

7.2

6.4

Pris/Phy

1.39

1.24

1.06

1.12

1.2

1.28

1.55

1.98

2.68

2.39

8.37

10.02

Pris/nC17

5.78

6.47

16.5

13.3

15.2

Phy/nC18

3.8

3.66

9.8

7.7

8.82

6.93

5.51

3.91

2.91

5.38

2.37

2.56

IV.5. Sumur SS-5 Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-5 meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada interval kedalaman 940 – 6920 kaki dan terbagi atas Formasi Telisa (3010-5225 kaki), Formasi Sihapas (5280-6750 kaki) dan Formasi Pematang (6768-6920 kaki). Interval kedalaman 940-3010 kaki diperkirakan ekuivalen dengan Formasi Petani dan tidak masuk dalam pembahasan (Lampiran 1 E). IV.5.1. Hasil Analisis Nilai TOC Hasil analisis TOC yang dilakukan pada sumur SS-5 (Lampiran 1 E), pada Formasi Telisa berkisar antara 0,05 – 1,53 dengan rerata 0,87 wt-%, pada Formasi Sihapas antara 0,02 – 1,09 dengan rerata 0,21 wt-%, dan pada Formasi Pematang antara 0,01 – 1,57 dengan rerata 0,52 wt-%. Menurut Peters and Cassa (1994) sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, nilai TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup

89

baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan sampel yang memiliki kandungan TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon. Seluruh sampel pada Formasi Sihapas tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Sampel pada Formasi Telisa dominan berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan nilai TOC sampel Formasi Pematang hanya ada satu sampel yang berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon, tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Terdapat satu sampel yang memiliki kandungan TOC sangat tinggi, yaitu pada kedalaman 6728 kaki karena memiliki litologi batubara. IV.5.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis) Analisis REP digunakan untuk mengetahui kualitas dan tingkat kematangan material organik menggunakan parameter Tmax. Sampel dikatakan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and Cassa, 1994). Hasil analisis ada sumur SS-5 (Lampiran 1 E) didapatkan nilai Tmax berkisar antara 424 – 437 oC pada Formasi Telisa, berkisar antara 428 – 5450C pada Formasi Sihapas, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Tmax berkisar antara 402 – 4820C. Data Tmax pada sumur SS-5 ini kemungkinan tidak akurat dan dapat diabaikan, karena hasil analisis REP lainnya, seperti S 1 dan S3 tidak tercatat. Akibat tidak lengkapnya data S1 dan S3, parameter lain seperti PY, PI, dan OI tidak bisa ditentukan. Berdasarkan hasil analisis pada Formasi Telisa memiliki nilai HI antara 52 – 377 dengan rerata 250 mg HC/g TOC, Formasi Sihapas memiliki nilai HI antara 76 - 400 dengan rerata 151,9 mg HC/g TOC,

90

sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai HI antara 19 - 527 dengan rerata 156,6 mg HC/g TOC. Pada sumur SS-5 keterdapatan data sangat terbatas sehingga banyak parameter yang kosong. Termasuk juga dengan data vitrinit reflektansi (%Ro) dan data biomarker, sehingga analisis terhadap nilai Ro dan biomarker pada sumur SS-5 tidak dapat dilakukan.

Gambar 4.5. Log geokimia sumur SS-5 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega Persada

IV.5.3. Hasil Analisis Minyak Bumi Hasil analisis minyak bumi pada sumur SS-5 terdiri dari satu sampel yang terdapat pada Formasi Sihapas. Data hasil analisis (Tabel 4.12.) berupa API gravity yang mempunyai nilai 36,20 yang menunjukkan termasuk light oil,

91

sedangkan data fraksi hidrokarbon dapat berguna untuk mengetahui tingkat biodegradasi pada sampel minyak bumi. Hasil ploting kandungan fraksi hidrokarbon saturates, aromatics, dan asphaltics (Lampiran 2) menunjukkan sampel minyak bumi belum mengalami proses biodegradasi. Kandungan sulfur yang rendah, yaitu 0,28 wt-% menunjukkan minyak bumi berasal dari terrestrial sourced. Tabel 4.12. Sifat fisik minyak bumi pada sumur SS-5

IV.5.4. Hasil Analisis Biomarker Minyak Bumi Analisis biomarker minyak bumi hanya menggunakan data hasil analisis GC yang hanya terdiri dari satu sampel, sedangkan data hasil analisis GC-MS tidak dijumpai. Hasil analisis GC pada sumur SS-5 (Tabel 4.13.) terdiri dari data n-parafin nC15-nC34 dan data isoprenoid, seperti pristana (Pr) dan fitana (Ph). Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy, 1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph adalah 12,6 yang berarti bahwa jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan induk non marine. Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0,

92

sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005). Mempunyai nilai rasio Pr/nC17 adalah 11,81 yang berarti bahwa minyak bumi berasal dari batuan induk non marine. Tabel 4.13. Data hasil analisis GC minyak bumi pada sumur SS-5 n-alkana

DST – 1B

Isoprenoid

DST - 1B

nC15

1.9

Ip13

3.8

nC16

1.8

Ip14

7.1

nC17

1.6

Ip15

5.2

Prystane

18.9

Ip16

10.5

nC18

1.9

Ip18

8.2

Phytane

1.5

Pristane

60.5

nC19

2.2

Phytane

4.7

nC20

2.4

Pris/Phy

12.6

nC21

2.7

Pris/nC17

11.81

nC22

3.2

Phy/nC18

0.78

nC23

3.8

nC24

4.6

nC25

5.5

nC26

6

nC27

7.5

nC28

6.6

nC29

8.2

nC30

5.2

nC31

6

nC32

3.3

nC33

4

nC34

1.2

CPI

1.3

93

IV.6. Sumur SS-6 Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-6 meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada 103 – 4527 kaki, yaitu meliputi Formasi Telisa (103-1350 kaki) yang tersusun atas batulempung dan serpih, Formasi Sihapas (1350-3510 kaki) yang tersusun atas batupasir dan batulempung, Formasi Pematang (3510-4410 kaki) yang tersusun atas serpih, batupasir, dan batulempung (Lampiran 1 F). IV.6.1. Hasil Analisis Nilai TOC Analisis TOC digunakan untuk mengetahui kuantitas batuan induk, dimana sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0.5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Nilai TOC pada sumur SS-6 (Lampiran 1 F), berkisar antara 0,67 – 1,3 dengan rerata 0,94 wt-% pada Formasi Telisa, antara 0,13 – 0,45 dengan rerata 0,23 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,06 – 0,58 dengan rerata 0,16 wt-% pada Formasi Pematang. Semua sampel pada Formasi Sihapas tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Pada sampel Formasi Telisa berpotensi cukup baik - baik untuk menghasilkan hidrokarbon. Pada Formasi Pematang memiliki

empat sampel

menghasilkan hidrokarbon.

yang menunjukkan

berpotensi

baik

94

IV.6.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis) Berdasarkan hasil analisis ini pada sumur SS-6 (Lampiran 1 F) didapatkan nilai Tmax dominan memiliki kisaran antara 417 – 425 oC pada Formasi Telisa yang menunjukkan sampel belum matang, sedangkan pada Formasi Sihapas dan Pematang tidak terdapat data nilai Tmax. Sampel dikategorikan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC (Peters and Cassa, 1994). Menurut Peters dan Cassa (1994) sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4. Nilai PI Formasi Telisa berkisar antara 0,005 – 0,016 yang menunjukkan hidrokarbon belum terekspulsi (Gambar 4.6.). Nilai PY Formasi Telisa berkisar antara 1,28 – 4,73 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, Formasi Telisa memiliki nilai HI antara 131,1 – 361,5 dengan rerata 260,8 mg HC/g TOC dan OI antara 25,4 – 103,8 dengan rerata 41,3 mg CO2/g TOC, sedangkan pada Formasi Sihapas dan Pematang tidak memiliki nilai PI, PY, maupun HI dan OI. Hal tersebut karena sampel pada Formasi Sihapas dan Pematang seluruhnya memiliki nilai TOC < 0,5 wt-% dan dianggap tidak berpotensi sebagai batuan induk, sehingga analisis pirolisis tidak dilakukan pada Formasi Sihapas dan Pematang. IV.6.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro) Nilai reflektansi vitrinit dapat digunakan untuk evaluasi tingkat kematangan material organik di dalam batuan induk. Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, matang jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan sangat matang jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Hasil analisis Ro pada sumur SS-6 (Lampiran 1 F) Formasi Telisa memiliki nilai Ro berkisar antara 0,28 – 0,3 % dan Formasi Sihapas hanya terdapat satu sampel dengan nilai

95

Ro 0,48 %. Kedua formasi dikategorikan belum matang. Formasi Pematang tidak memiliki data nilai Ro. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman, sehingga dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window. Pada sumur SS-6 diperkirakan terjadi top oil window pada kedalaman 4600 kaki yaitu ada basement

(Gambar 4.6.). Hal tersebut

menunjukkan bahwa Formasi Pematang pada sumur SS-6 masih belum matang.

Gambar 4.6. Log geokimia sumur SS-6 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega Persada

IV.6.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti Analisis biomarker pada sumur SS-6 hanya menggunakan data n-parafin dan isoprenoid (Tabel 4.14.) yang terdapat pada Formasi Telisa. Data n-alkana digunakan untuk menentukan CPI yang berfungsi untuk mengetahui tingkat kematangan batuan induk, dimana batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada ketiga formasi berkisar antara 1,21 – 1,39 menunjukkan sampel belum matang.

96

Data isoprenoid terdiri dari pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/nalkana digunakan untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.E) menunjukkan material organik Formasi Telisa sumur SS-6 berasal dari tumbuhan tinggi dan mixed, sedangkan lingkungan pengendapannya highly anoxic. Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.E) material organik berasal dari mixed. Tabel 4.14. Data hasil analisis GC batu inti pada sumur SS-6 n-Parafin

Kedalaman (kaki) 630-720

1263

nC15

4.4

4.4

nC16

3.7

nC17

Isoprenoid

Kedalaman (kaki) 630-720

1263

Ip13

1.3

1.3

4.1

Ip14

1.9

2.6

4.7

5.3

Ip15

4.1

4.5

nC18

5.8

7.3

Ip16

7.7

7.2

nC19

4

4.8

Ip18

6.8

8.9

nC20

3.3

2.9

Pristane

42.4

48.9

nC21

2.6

2.8

Phytane

35.8

26.6

nC22

2.6

2.3

Pris/Phy

1.18

1.83

nC23

1.9

1.8

Pris/nC17

9.02

9.22

nC24

2

2.1

Phy/nC18

6.17

3.64

nC25

2.2

2.8

nC26

1.4

1.6

nC27

1.5

1.8

nC28

1.8

1.2

nC29

2

2.1

nC30

2.3

2

nC31

2.1

2

nC32

0.9

0.9

nC33

1.3

0.8

nC34

0.4

0.4

CPI

1.21

1.39

97

97

BAB V PEMBAHASAN V.1. Karakteristik Batuan Induk V.1.1. Formasi Telisa Analisis batuan induk pada Formasi Telisa meliputi kumpulan data analisis geokimia, seperti: kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat pada enam sumur. Data biomarker berupa n-alkana dan isoprenoid terdapat di lima sumur, yaitu sumur SS-1, SS-2, SS-3, SS-4 dan SS-6. V.1.1.1. Kuantitas Material Organik Kuntitas atau jumlah kandungan material organik diperlukan untuk mengetahui potensi batuan untuk menjadi batuan induk. Kuantitas material organik dapat diketahui melalui analisis kandungan TOC (Total Organic Carbon). Kandungan TOC pada Formasi Telisa antara 0,52-1,56 wt-% dengan rerata 0,87 wt-% dan menurut klasifikasi Peters dan Cassa (1994) menunjukkan bahwa sampel cukup berpotensi-berpotensi baik sebagai batuan induk. Terdapat beberapa sampel yang menunjukkan nilai TOC <0,5 wt-%. Formasi Telisa tersusun atas litologi yang bervariasi, antara lain: serpih, batulanau, napal, dan batulempung, sehingga menyebabkan perbedaan kandungan TOC. Untuk memvisualisasikan kuantitas material organik dalam bentuk grafik, kita dapat melakukan ploting PY vs TOC. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah total hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang (McCarthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Telisa berkisar antara 0,59 – 5,12 mg HC/g Rock dengan rerata 2,40 mg

98

HC/g Rock. Jumlah hidrokarbon yang mungkin dihasilkan Formasi Telisa (Gambar 5.1) sebagian besar cukup (fair).

Gambar 5.1. Ploting PY vs TOC pada Formasi Telisa

V.1.1.2. Kualitas Material Organik Kualitas material organik dapat diketahui dari beberapa parameter yaitu: pertama, ploting nilai HI (Hydrogen Index) vs OI (Oxygen Index) yang diplot pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981) sehingga diketahui tipe kerogennya. Hasil pengeplotan nilai HI vs OI dari data pada sumur SS-3, SS-4, dan SS-6 menunjukkan bahwa Formasi Telisa merupakan tipe kerogen II-III (Gambar 5.2.). Kerogen tipe II memiliki kecenderungan mampu menghasilkan minyak+gas, sementara kerogen tipe III mampu menghasilkan gas (gas prone). Sumber material yang mampu menghasilkan tipe II biasanya berupa campuran alga dan material humik. Sementara material yang menyusun kerogen tipe III merupakan material berasal dari tumbuhan vaskular

99

dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin (Killops and Killops, 2005).

Gambar 5.2. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Telisa mempunyai tipe kerogen II dan III

Kedua,

menurut

Waples

(1985)

dalam

Subroto

(1993)

juga

mengklasifikasikan tipe produk hidrokarbon yang dihasilkan dari kerogen berdasarkan nilai HI. Semakin banyak kandungan hidrogen, akan terbentuk tipe hidrokarbon dengan rantai panjang yang membentuk minyak, sebaliknya jika kandungan hidrogen sedikit akan cenderung membentuk hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI <150 mg HC/g TOC akan menghasilkan gas, sementara antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak. Berdasarkan hasil analisis geokimia pada Formasi Telisa didapatkan nilai HI berkisar antara 16 - 495 mg HC/g TOC dengan rerata 250,1 mg HC/g TOC, sehingga Formasi Telisa dapat menghasilkan minyak dan gas.

100

Ketiga, penentuan jenis hidrokarbon menggunakan ploting data geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil pengeplotan nilai Tmax vs HI pada sumur SS-1 hingga SS-6 (Gambar 5.3.) menunjukkan bahwa Formasi Telisa mempunyai tipe kerogen II dan III. Kerogen tipe II dapat menghasilkan minyak dan gas, sedangkan kerogen tipe III cenderung menghasilkan gas (gas prone).

Gambar 5.3. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Telisa mempunyai tipe kerogen II dan III

V.1.1.3. Kematangan Material Organik Penentuan tingkat kematangan termal material organik dapat diketahui dengan menggunakan data geokimia PI (S1/(S1+S2)) yang dihasilkan dari analisis REP. Interpretasi kematangan termal menggunakan parameter geokimia PI menunjukkan bahwa Formasi Telisa masih belum matang dengan nilai PI antara 0,005 – 0,085, dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan dikatakan telah

101

mengasilkan hidrokarbon jika mempunyai PI antara 0,1 – 0,4. Pengeplotan nilai Tmax vs PI (Gambar 5.4.) menunjukkan bahwa Formasi Telisa belum dapat menghasilkan hidrokarbon, dimana pada grafik menunjukkan zona immature.

Gambar 5.4. Ploting Tmax vs PI Formasi Telisa menunjukkan pada zona immature

Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai reflektansi vitrinit (%Ro) yang didapatkan dari analisis petrografi. Nilai reflektansi vitrinit pada Formasi Telisa berkisar antara 0,27 – 0,40% yang menunjukkan bahwa belum matang (immature), dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro < 0.6 % dikategorikan belum matang. Tingkat kematangan termal dapat diketahui juga berdasarkan nilai data Tmax yang diperoleh dari analisis REP. Hasil analisis menunjukkan Formasi Telisa belum matang (immature), dengan nilai dominan berkisar antara 411 433oC. Menurut Peters dan Cassa (1994) sampel yang memiliki nilai Tmax <

102

435oC dikatakan belum matang, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435470 oC. Terdapat beberapa sampel yang mempunyai anomali nilai Tmax yang mencapai 435oC pada sumur SS-4 dan SS-5 yang menunjukkan tingkat kematangan early mature, sedangkan berdasarkan nilai PI dan reflektansi vitrinit menunjukkan tingkat kematangan immature. Peningkatan nilai Tmax pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah mengalami rombakan, dimana akan menghasilkan nilai Tmax yang lebih tinggi mencapai 100C (Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal material organik menggunakan hasil analisis REP memang memiliki kekurangan karena analisisnya yang cepat dan hanya menggunakan sampel yang kecil (100 mg) untuk mewakili sampel batu inti (Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil lebih akurat dan dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum dapat dikatakan bahwa Formasi Telisa memiliki tingkat kematangan immature. V.1.1.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan Penentuan sumber material organik dan lingkugan pengendapan dapat diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting (Gambar 5.5.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Telisa berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan mixed. Lingkungan pengendapan Formasi Telisa bersifat highly anoxic – anoxic to suboxic lacustrine or marine .

103

Gambar 5.5. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph pada Formasi Telisa

Penentuan sumber material organik dapat juga diketahui dari ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data semua sumur, kecuali sumur SS-5 (Gambar 5.6.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Telisa berasal dari campuran (mixed) darat-laut. Sumber material organik darat seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen. Sumber material organik laut dapat berupa alga dan plangton.

Gambar 5.6. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Telisa

104

V.1.2. Formasi Sihapas Analisis batuan induk pada Formasi Sihapas menggunakan data kandungan TOC, REP (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat dari empat sumur, yaitu SS-3, SS-4, SS-5 dan SS-6. Data biomarker berupa nalkana dan isoprenoid pada Formasi Sihapas hanya terdapat pada sumur SS-3 dan SS-4. V.1.2.1. Kuantitas Material Organik Kuntitas material organik dapat diketahui melalui analisis berdasarkan kandungan TOC pada sampel batuan. Nilai TOC pada Formasi Sihapas berkisar antara 0,02-1,21 wt-% dengan rerata 0,27 wt-% dan menurut klasifikasi oleh Peters dan Cassa (1994) secara keseluruhan menunjukkan bahwa sampel tidak berpotensi sebagai batuan induk. Beberapa sampel yang memiliki nilai TOC > 0,5 wt-%, karena Formasi Sihapas tersusun atas lapisan batupasir dan serpih, dimana sampel yang mempunyai nilai TOC > 0,5 wt-% terdapat pada litologi serpih. Pada sumur SS-4 dan SS-5 terdapat sampel yang memiliki TOC 32,96 dan 48,27 wt-% karena berlitologi batubara. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah total hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang (McCarthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Sihapas berkisar antara 1.51 – 1.73 mg HC/g Rock dengan rerata 1.61 mg HC/g Rock. Nilai PY vs TOC dapat diplot pada sebuah grafik. Hasil ploting (Gambar 5.7.) menunjukkan jumlah hidrokarbon yang mungkin dihasilkan rendah (poor).

105

Gambar 5.7. Ploting PY vs TOC pada Formasi Sihapas

V.1.2.2. Kualitas Material Organik Kualitas atau tipe material organik dapat diketahui dari beberapa cara, yaitu: pertama, berdasarkan nilai HI. Semakin banyak kandungan hidrogen, akan terbentuk tipe hidrokarbon dengan rantai panjang yang membentuk minyak, sebaliknya jika kandungan hidrogen sedikit akan cenderung membentuk hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI < 150 mg HC/g TOC akan menghasilkan gas, sementara antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak (Waples, 1985 dalam Subroto, 1993). Berdasarkan analisis geokimia pada Formasi Sihapas didapatkan nilai HI sebagian besar antara 76 - 254 mg HC/g TOC dengan rerata 206 mg HC/g TOC, namun nilai HI Formasi Sihapas ini didapat pada litologi serpih sehingga hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.

106

Kedua, menggunakan ploting nilai HI (Hydrogen Index) vs OI (Oxygen Index) yang diplot dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981) menunjukkan bahwa Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II (Gambar 5.8.), namun nilai HI dan OI Formasi Sihapas ini didapat pada litologi batulanau dan serpih sehingga hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.

Gambar 5.8. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II

Ketiga, penentuan jenis hidrokarbon juga dapat dilakukan dengan menggunakan ploting data geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil ploting pada sumur SS-3 dan SS-4 (Gambar 5.9.) menunjukkan bahwa Formasi Sihapas dominan mempunyai tipe kerogen II dan sedikit tipe III. Nilai HI dan Tmax Formasi Sihapas ini juga didapat pada litologi batulanau dan serpih sehingga hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.

107

Gambar 5.9. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II dan III

V.1.2.3. Kematangan Material Organik Penentuan tingkat kematangan termal material organik dapat diketahui dengan menggunakan parameter hasil analisis REP, yaitu PI (S1/(S1+S2)). Batuan dikatakan matang jika mempunyai PI antara 0,1 – 0,4 (Peters dan Cassa, 1994). Hasil analisis kematangan termal menggunakan nilai PI menunjukkan bahwa Formasi Sihapas masih belum matang (belum dapat menghasilkan hidrokarbon), dimana nilai PI berkisar antara 0,0073 – 0,05. Pengeplotan nilai Tmax vs PI (Gambar 5.10.) dari data pada sumur SS-3 juga menunjukkan bahwa Formasi Sihapas belum dapat menghasilkan hidrokarbon, karena terletak ada zona immature.

108

Gambar 5.10. Ploting Tmax vs PI Formasi Sihapas menunjukkan pada zona immature

Tingkat kematangan termal dapat diketahui berdasarkan analisis petrografi berupa reflektansi vitrinit. Menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro < 0,6 % dikategorikan belum matang. Hasil analisis data di sumur SS-3, SS-4, dan SS-6 pada Formasi Sihapas mempunyai nilai antara 0,34% – 0,48% yang berarti immature. Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data Tmax pada sumur SS- 3 dan SS-4 menunjukkan Formasi Sihapas masih immature. Sampel dikatakan belum matang jika memiliki Tmax < 435oC, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435-470 oC (Peters & Cassa, 1994). Nilai Tmax pada Formasi Sihapas dominan berkisar antara 414 – 432 oC yang termasuk dalam kategori belum matang. Terdapat anomali nilai Tmax pada sumur SS-5 sebagian besar > 435oC dan bahkan mencapai 497oC (post mature), sementara berdasarkan nilai PI dan

109

reflektansi vitrinit pada sumur lain menunjukkan tingkat kematangan immature. Peningkatan nilai Tmax pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah mengalami rombakan akan menghasilkan nilai Tmax yang tinggi mencapai 10 0C (Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil yang lebih akurat dan dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum dapat disimpulkan bahwa Formasi Sihapas memiliki tingkat kematangan immature. V.1.2.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan Penentuan sumber material organik dan lingkungan pengendapan dapat diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting (Gambar 5.11.) pada sumur SS-3 menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Sihapas berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Lingkungan pengendapan Formasi Telisa bersifat anoxic to suboxic lacustrine or marine .

Gambar 5.11. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph pada Formasi Sihapas

110

Penentuan sumber material organik dapat juga diketahui dari ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data pada sumur SS-3 (Gambar 5.12.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Sihapas berasal campuran (mixed) darat-laut. Sumber material organik darat seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen. Sumber material organik laut dapat berupa alga dan plangton.

Gambar 5.12. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Sihapas

V.1.3. Formasi Pematang Analisis batuan induk pada Formasi Pematang terdiri dari data kandungan TOC, REP (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat dari ima sumur, yaitu sumur SS-1, SS-3, SS-4, SS-5, dan SS-6. Data biomarker berupa n-alkana dan isoprenoid sangat terbatas dan hanya terdapat pada sumur SS-3 dan SS-4.

111

V.1.3.1. Kuantitas Material Organik Kuantitas material organik dapat diketahui melalui analisis kandungan TOC (Total Organic Carbon). Kandungan TOC pada Formasi Pematang berkisar antara 0,05-2,8 wt-% dengan rerata 0,61 wt-% dan menurut klasifikasi Peters dan Cassa (1994) secara keseluruhan menunjukkan bahwa sampel cukup berpotensi sebagai batuan induk. Meskipun banyak terdapat sampel yang menunjukkan nilai TOC <0,5 wt-%. Formasi Pematang tersusun atas litologi yang bervariasi, antara lain: serpih, batulempung, batulumpur, batupasir, dan batubara, dimana nilai TOC <0,5 wt-% terdapat pada litologi batupasir. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah total hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang (Mc Carthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Pematang berkisar antara 0,44 – 7,4 mg HC/g Rock dengan rerata 2,89 mg HC/g Rock. Hasil ploting (Gambar 5.13.) menunjukkan jumlah hidrokarbon yang mungkin dihasilkan Formasi Pematang sebagian besar cukup (fair).

Gambar 5.13. Ploting PY vs TOC pada Formasi Pematang

112

V.1.3.2. Kualitas Material Organik Kualitas material organik menunjukkan banyaknya hidrokarbon yang dihasikan, nilainya dapat diketahui dari beberapa parameter yaitu: pertama, ploting nilai HIvs OI yang diplot pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981) sehingga diketahui tipe kerogennya. Hasil ploting HI vs OI dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 menunjukkan bahwa Formasi Pematang merupakan tipe kerogen II-III, (Gambar 5.14.). Kerogen tipe II memiliki kecenderungan mampu menghasilkan minyak+gas, sementara kerogen tipe III mampu menghasilkan gas (gas prone). Sumber material yang mampu menghasilkan tipe II biasanya berupa campuran alga dan material humik, sementara material yang menyusun kerogen tipe III merupakan material berasal dari tumbuhan vaskular dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin (Killops and Killops, 2005).

Gambar 5.14. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Pematang mempunyai tipe kerogen II dan III

113

Kedua, penentuan tipe produk

hidrokarbon menggunakan ploting data

geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil ploting data pada sumur SS-1, SS-3, SS-4, dan SS-5 (Gambar 5.3.) menunjukkan bahwa Formasi Pematang mempunyai tipe kerogen II dan III. Kerogen tipe II dapat menghasilkan minyak dan gas, sedangkan kerogen tipe III cenderung menghasilkan gas (gas prone).

Gambar 5.15. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Pematang mempunyai tipe kerogen II dan III

Ketiga, tipe produk hidrokarbon berdasarkan nilai HI, semakin banyak kandungan hidrogen akan terbentuk tipe hidrokarbon dengan rantai panjang yang membentuk minyak, sebaliknya jika kandungan hidrogen sedikit akan cenderung membentuk hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI < 150 mg HC/g TOC menghasilkan gas, sementara antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak (Waples,

114

1985 dalam Subroto, 1993). Berdasarkan hasil analisis Formasi Pematang didapatkan nilai HI yang bervariasi antara 17 - 527 mg HC/g TOC dengan rerata 167 mg HC/g TOC, sehingga Formasi Pematang dapat menghasilkan minyak dan gas. V.1.3.3. Kematangan Material Organik Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data reflektansi vitrinit yang dihasilkan dari analisis petrografi organik. Hasil reflektansi vitrinit pada sumur SS-1, SS-3, dan SS-4 pada Formasi Pematang memiliki nilai berkisar antara 0,42 – 0,79%. menunjukkan ada yang telah mature (Ro > 0,6%), dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro < 0,6 % dikategorikan belum matang, sedangkan Ro antara 0,6 – 1,35 % dikategorikan matang. Penentuan tingkat kematangan termal material organik dapat diketahui dengan menggunakan nilai PI (S1/(S1+S2)). Sampel batuan dikatakan matang jika mempunyai PI antara 0,1 – 0,4 (Peters dan Cassa, 1994 dalam Peters,. et al., 2005). Hasil kematangan termal menggunakan parameter geokimia PI menunjukkan bahwa Formasi Pematang sudah ada yang telah menghasilkan hidrokarbon, dimana nilai PI antara 0,076 – 0,3. Pengeplotan nilai Tmax vs PI (Gambar 5.16.) dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 juga menunjukkan bahwa Formasi Pematang telah ada yang menghasilkan hidrokarbon (mature) dimana telah memasuki zona oil generative window.

115

Gambar 5.16. Ploting Tmax vs PI Formasi Pematang menunjukkan pada zona mature

Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data Tmax, dimana menurut Peters dan Cassa (1994) sampel yang memiliki nilai Tmax < 435oC dikatakan belum matang, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435-470 oC. Data Tmax sumur SS-1, SS-3, SS-4 dan SS-5 pada Formasi Pematang menunjukkan nilai berkisar antara 428 – 445 oC yang berarti ada yang telah matang (mature). Pada sumur SS-5, nilai Tmax dapat mencapai 480oC (post mature), anomali nilai Tmax pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah mengalami rombakan (Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil yang lebih dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum

116

dapat dikatakan bahwa Formasi Pematang memiliki tingkat kematangan yang telah memasuki mature. V.1.3.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan Penentuan sumber material organik dan lingkungan pengendapan dapat diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting data pada sumur SS-3 (Gambar 5.17.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Pematang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Sedangkan lingkungan pengendapan Formasi Pematang bersifat oxic terrestrial.

Gambar 5.17. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph pada Formasi Pematang

Penentuan sumber material organik dapat juga diketahui dari ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data sumur SS-3 (Gambar 5.18.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Pematang berasal dari darat, seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen.

117

Gambar 5.18. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Pematang

V.1.4. Penentuan Batuan Induk di Lapangan Sukowati Berdasarkan hasil analisis karakteristik batuan induk pada ketiga formasi batuan, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan Pematang dapat ditentukan bahwa Formasi yang berperan sebagai batuan induk di Lapangan Sukowati adalah Formasi Pematang. Formasi Pematang memiliki kandungan TOC berkisar fairvery good yang berarti cukup berpotensi – berpotensi baik sebagai batuan induk, mempunyai tipe kerogen II dan III, dan telah memiliki kematangan termal mature. Formasi Telisa yang mempunyai kandungan TOC berkisar fair – good, yang berarti cukup berpotensi – berpotensi sebagai batuan induk, mempunyai tipe kerogen II dan III, namun tingkat kematangan termal masih immature (belum matang) sehingga belum dapat menjadi batuan induk. Formasi Telisa dapat menjadi batuan induk jika telah mengalami proses pematangan termal atau disebut sebagai batuan induk potensial (potential source rock) dan dalam sistem minyak

118

dan gas bumi (petroleum system) Formasi Telisa dapat berperan sebagai batuan tudung (seal). Formasi Sihapas yang dominan mempunyai kandungan TOC poor yang berarti tidak berpotensi menjadi batuan induk didukung dengan tingkat kematangan termal yang masih belum matang, maka Formasi Sihapas tidak dapat menjadi batuan induk dan berperan sebagai reservoar pada Lapangan Sukowati. V.2. Karakterisasi Minyak Bumi Analisis karakteristik minyak bumi dilakukan hanya pada dua sumur, yaitu sumur SS-1 dan SS-5. Analisis yang dilakukan diantaranya mengenai sifat fisik, kromatografi gas, dan kromatografi gas – spektometri massa. Data analisis minyak bumi yang digunakan antara lain: data densitas minyak bumi, fraksi hidrokarbon, data n-alkana dan isoprenoid, serta data terpana dan sterana. V.2.1. Komposisi Whole Oil Sumur SS-1 terdapat tiga sampel dan sumur SS-5 satu sampel minyak bumi yang berada pada Formasi Sihapas (Tabel 5.1.). Sampel mempunyai nilai API gravity berkisar antara 36,2 – 42,70 yang termasuk pada jenis light oil. Berdasarkan kandungan fraksi saturates, aromatics, dan asphaltics menunjukkan minyak bumi pada Lapangan Sukowati yang belum mendapatkan proses biodegradasi (Lampiran 2). Kandungan sulfur yang rendah, yaitu 0,28 wt-% menunjukkan minyak bumi berasal dari terrestrial sourced (Lampiran 6). Nilai perbandingan saturates/aromatics adalah sebesar 2,46 – 8,25.

119

Tabel 5.1. Sifat fisik minyak bumi pada Lapangan Sukowati

V.2.2. Kromatografi Gas (GC) Dari analisis kromatogram gas, dapat diketahui jenis batuan induk, sumber material organik penghasil minyak bumi dan lingkungan terbentuknya minyak bumi. Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy, 1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph pada keempat sampel berkisar antara 9,24 – 12,6 yang berarti jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan induk non marine. Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/nC17 pada keempat sampel minyak berkisar antara 5,82 – 11,81 yang berarti berasal dari batuan induk non marine. Tabel 5.2. Data hasil analisis GC minyak bumi Sumur SS-1

SS-5

Kedalaman (kaki)

CPI

Pr/Ph

Pr/nC17

Ph/nC18

5238-5277

1.14

10.76

6.71

0.58

5246-5248

1.16

9.6

7.24

0.74

5266-5268

1.16

9.24

5.82

0.67

DST-1B

1.3

12.6

11.81

0.78

120

Analisis sumber material penghasil minyak bumi dapat dilihat dari konfigurasi kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ pada sumur SS-1. Menurut Hunt (1996) atom karbon ganjil C27, C29, dan C31 terbentuk dari lilin tumbuhan darat, sedangkan hidrokarbon C15, C17, dan C19 terbentuk dari plankton. Pada kromatogram (Gambar 5.19.) terlihat adanya predominasi atom karbon bernomor ganjil terhadap karbon bernomor genap terutama dari nC25-nC37 yang berarti menunjukkan adanya input dari tumbuhan darat yang signifikan. Selain itu, kromatogram whole oil C10+ dari minyak bumi Lapangan Sukowati menunjukkan pola yang sama dengan tipe kromatogram fluvio-deltaik dari Robinson (1987), dimana mempunyai nilai Pr/Ph > 6,51 dan Pr/nC17 > 1,79, sehingga dapat disimpulkan minyak bumi Lapangan Sukowati menunjukkan berasal dari batuan induk karakteristik fluvio-deltaik (Lampiran 7).

Gambar 5.19. Kromatogram gas fraksi hidrokarbon jenuh C10 + pada kedalaman 5238-5277 kaki pada sumur SS-1

121

Jenis material organik batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dan lingkungan terbentuknya minyak bumi dapat di ketahui juga dari ploting data Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998). Hasil ploting data minyak bumi di Lapangan Sukowati (Gambar 5.20.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari batuan induk penghasil minyak bumi berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedangkan kondisi lingkungan pengendapan batuan induk penghasil minyak bumi bersifat oxic terrestrial.

Gambar 5.20. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph dari sampel minyak bumi

Selain itu jenis material organik batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari ploting rasio Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada minyak bumi pada Lapangan Sukowati (Gambar 5.21.) menunjukkan bahwa jenis material organik penghasil dari batuan induk penghasil minyak bumi berasal dari darat.

122

Gambar 5.21. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 dari sampel minyak bumi

V.2.3. Kromatografi Gas – Spektometri Massa (GC-MS) Analisis data GC-MS hanya terdapat pada sumur SS-1. Dari analisis GCMS dapat diketahui tingkat kematangan minyak bumi, asal material organik penghasil minyak bumi dan kondisi lingkungan pengendapan terbentuknya minyak bumi. Berdasarkan data terpana menunjukkan rasio Tm/Ts berkisar antara 1,84 – 2,13. Menurut Peters dan Moldowan (1993) rasio 1,0-2,0 mempunyai tingkat

kematangan

early

mature.

Selain

itu

dapat

digunakan

rasio

moretana/hopana, dimana untuk minyak bumi dengan sumber berumur tersier memiliki rasio 0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991). Rasio C30 moretana/C30 hopana (Gambar 5.22.) adalah 0,11 menunjukkan tingkat kematangan awal (early mature). Waples dan Machihara (1991) menggunakan rasio epimer 20S/20R untuk mengetahui tingkat kematangan. 20R dianggap sebagai sterana hasil proses biologis, sedangkan 20S hasil proses geologis. Minyak bumi semakin matang akan meningkatkan proporsi 20S dan mengurangi

123

proporsi 20R. Berdasarkan data rasio 20S/20R 5α C29 berkisar antara 0,64 – 0,74, menunjukkan tingkat kematangan awal-puncak (early – peak mature). Sumber material organik dapat diketahui dari perbandingan data sterana antara C27, C28, dan C29. Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterana C29 yang dominan, sebaliknya sterana C27 cenderung dominan pada alga (Hunt, 1996). Predominasi sterana C29 lebih tinggi dibandingkan C27 dan C28 (Tabel 5.3.), membuktikan adanya input material tumbuhan tingkat tinggi yang dominan. Oleanana berasal dari angiosperma dan tumbuhan tingkat tinggi, kehadirannya mencirikan sumber berasal dari darat (Hunt, 1996). Kehadiran oleanana (OL) yang menunjukkan adanya input material organik yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi (Gambar 5.22.). Kondisi lingkungan pengendapan dapat dilihat dari data terpana, yaitu indek gamaserana. Nilai indek gamaserana yang semakin tinggi menunjukkan kondisi lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi (Hunt, 1996). Indek gamaserana pada sampel minyak bumi Lapangan Sukowati berkisar antara 2,56 – 3,33 (Gambar 5.22.) menunjukkan kondisi lingkungan pengendapan yang relatif tidak saline. Tabel 5.3. Rangkuman data biomarker minyak bumi sumur SS-1

124

Gambar 5.22. Fragmetogram Terpana pada kedalaman 5238-5277 kaki sumur SS-1

Gambar 5.23. Fragmetogram sterana pada kedalaman 5238-5277 kaki sumur SS-1

125

V.3. Korelasi Batuan Induk – Minyak Bumi Pada tahap sebelumya telah dilakukan analisis mengenai karakteristik batuan induk dan minyak bumi, khususnya berdasarkan data biomarker, yaitu menggunakan parameter n-alkana dan isoprenoid. Parameter n-alkana dan isoprenoid dapat digunakan karena berdasarkan analisis yang dilakukan sebelumnya sampel minyak bumi menunjukkan belum mengalami proses biodegradasi. Proses biodegradasi dapat mengakibatkan peningkatan rasio isoprenoid vs n-alkana, karena bakteri aerobik umumnya akan menyerang nalkana terlebih dahulu sebelum menyerang isoprenoid (Peters, 2005). Korelasi menggunakan rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998). Hasil ploting (Gambar. 5.24) menunjukkan bahwa batuan induk Formasi Pematang terbentuk dari material organik yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan terbentuk pada lingkungan dengan kondisi oxic terrestrial. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa minyak bumi pada Lapangan Sukowati berkorelasi dengan batuan induk Formasi Pematang.

Gambar 5.24. Korelasi batuan induk - minyak bumi menggunakan Pr/nC17 vs Ph/nC18

126

Selain itu korelasi batuan induk dan minyak bumi juga dapat menggunakan ploting rasio Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting (Gambar. 5.25) menunjukkan sampel batuan induk Formasi Pematang terbentuk dari material organik berasal dari darat atau tumbuhan tingkat tinggi dan pada sampel minyak bumi juga menunjukkan terbentuk dari batuan induk yang tersusun atas material organik berasal dari darat. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa minyak bumi pada Lapangan Sukowati berkorelasi dengan batuan induk Formasi Pematang.

Gambar 5.25. Korelasi batuan induk - minyak bumi menggunakan parameter Pr/nC17 vs Ph/nC18

V.4. Korelasi Geokimia dan Kondisi Geologi Lokasi penelitian termasuk ke dalam graben Mandian pada Cekungan Sumatera Tengah, berdasarkan studi didapatkan bahwa Formasi Pematang terbentuk selama Eosen Akhir - Oligosen merupakan batuan induk utama pada area ini (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai kuantitas, kualitas, dan kematangan juga menunjukkan

127

bahwa Formasi Pematang yang berperan sebagai batuan induk dan telah menghasilkan hidrokarbon, sedangkan Formasi Telisa masih belum matang sehingga dikategorikan sebagai batuan induk potensial. Berdasarkan studi regional, awal perkembangan graben berarah utaraselatan, merupakan respon terhadap tegasan tensional di belakang busur. Pengendapan Formasi Pematang diperkirakan terjadi disekitar 46 juta tahun yang lalu. Pada Eosen Tengah – Akhir kecepatan penurunan graben awal diperkirakan berjalan lambat. Sedimentasi sungai dan danau dangkal merupakan penciri lingkungan pengendapan Formasi Pematang awal, dengan litologi batulempung abu-abu pucat kehijauan dan batupasir (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, Lingkungan pengendapan Formasi Pematang berdasar data geokimia bersifat oxic terrestrial. Lingkungan oksik mempunyai kandungan oksigen dalam air antara 8,0-2,0 mL O2 / L H2O yang menunjukkan kedalaman yang dangkal (Tyson dan Pearson, 1991 dalam Peters dan Cassa, 1994). Selain itu, berdasarkan data geokimia minyak bumi yang telah terbukti berkorelasi dengan

Formasi Pematang menunjukkan bahwa lingkungan

pengendapan batuan induk berasal dari rawa (non marine). Lingkungan oksidasi mengakibatkan rasio Pr/Ph Formasi Pematang tinggi (6,57-9,21), karena terjadi transformasi fitol menjadi asam fitanoat dilanjutkan dekarbonisasi menjadi pristana. Di sisi lain tingkat oksidasi yang relatif tinggi dapat merusak material organik, namun diperkirakan terjadi proses sedimentasi yang cepat pada Formasi Pematang sehingga material organik cepat terkubur dan tidak mengalami proses oksidasi. Sumber material organik yang dominan pada lingkungan oksik atau

128

rawa ini berdasarkan data geokimia berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sehingga membentuk tipe kerogen II (berasal dari lapisan lilin tumbuhan, spora dan polen) dan III (berasal dari selulosa dan kayu). Berdasarkan hasil analisis reflektansi vitrinit, Formasi Pematang memiliki nilai Ro berkisar antara 0,42 – 0,79% yang menunjukkan ada yang telah mature (Ro > 0,6%). Selain itu, Formasi Pematang mempunyai nilai PI antara 0,076 – 0,3 yang menunjukkan telah menghasilkan hidrokarbon. Secara regional Formasi Pematang telah terbentuk sejak Eosen, hal tersebut yang mengakibatkan mempunyai kematangan termal yang cukup untuk menghasilkan minyak bumi, karena telah terkubur dalam. Selain itu, Cekungan Sumatera Tengah juga memiliki heat flow yang tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 6,80C/100 m atau 3,3 HFU (Whibley, 1992), sehingga gradien geotermal yang terbentuk tinggi. Pada Eosen Akhir – Miosen Tengah terjadi peningkatan kecepatan penurunan graben yang melebihi kecepatan sedimentasi dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan semakin dalam. Pada tahap ini beberapa sub cekungan di Sumatera tengah berkembang fasies danau anoxic. Formasi Telisa terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah, tersusun atas serpih gampingan, batupasir glaukonitan, perselingan batulempung lanauan dan batupasir gampingan dengan sisipan batugamping serta serpih gampingan. Berdasarkan fosil foraminifera yang menunjukkan bahwa formasi ini diendapkan pada lingkungan sub-litoral luar hingga batial atas (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Telisa berdasarkan data geokimia bersifat highly anoxic – anoxic to suboxic lacustrine or

129

marine. Lingkungan anoksik tidak mempunyai kandungan oksigen, sedangkan suboksik mempunyai kandungan oksigen antara 0,2-0,0 mL O2 / L H2O (Tyson dan Pearson, 1991 dalam Peters dan Cassa, 1994). Hal tersebut berbeda dengan Formasi Pematang, karena mempunyai lingkungan pengendapan yang lebih dalam yang mengakibatkan kandungan oksigen pada Formasi Telisa berkurang. Sumber material organik campuran dari alga yang berasal dari laut dan tumbuhan tingkat tinggi yang berasal dari darat, sehingga membentuk dominan tipe kerogen II dan dalam jumlah yang lebih kecil kerogen tipe III. Berdasarkan hasil analisis reflektansi vitrinit, Formasi Telisa memiliki nilai Ro berkisar antara 0,27 – 0,40 % yang menunjukkan immature (Ro < 0,6%). Selain itu, Formasi Telisa mempunyai nilai PI antara 0,005 – 0,085 yang menunjukkan belum menghasilkan hidrokarbon. Secara regional Formasi Telisa yang baru terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah mengakibatkan mempunyai kematangan termal yang belum cukup untuk menghasilkan minyak bumi, karena diperkirakan belum terkubur cukup dalam. Selain itu, Pada Miosen Tengah terjadi pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan aktivitas magmatis yang diikuti oleh erosi. Periode pembentukan struktur Miosen Tengah dianggap penting dari sudut ekonomi dan diyakini bahwa tahap utama pembentukan perangkap (PT. Energi Mega Persada, 2007). Formasi Sihapas terbentuk pada Miosen Awal, tersusun atas batupasir kongomeratan, batupasir, perselingan batupasir dan serpih, sisipan batugamping tipis (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan pengamatan data batuinti, Formasi Sihapas terbentuk pada lingkungan tide dominated estuary pada bagian

130

tidal sand bar, tidal sand flat, tidal mud flat dan tidal channel (Gambar 5.26) dengan ciri secara umum berlitologi batupasir berbutir kasar hingga halus dan struktur sedimen laminasi silang siur, burrowing dan flaser (Napitupulu, 2014). Lingkungan pengendapan ini tidak mendukung preservasi material organik, karena salah satu syarat terjadinya preservasi adalah lingkungan pengendapan dengan energi rendah (kecepatan arus air rendah dan pengaruh gelombang yang terbatas). Berdasarkan hasil penelitian, Formasi Sihapas memiliki kandungan TOC dominan < 0,5 wt-%, sehingga Formasi Sihapas tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon atau tidak dapat berperan sebagai batuan induk. Formasi Sihapas tersusun atas batupasir yang secara regional berperan sebagai reservoar, dimana sampel minyak bumi pada daerah penelitian diambil pada Formasi Sihapas.

Gambar 5.26. Lingkungan estuary terbentuknya Formasi Sihapas (Napitupulu, 2014)

131

Berdasarkan peta top basement (Gambar 5.27) yang di buat berdasarkan Lampiran 5, menunjukkan adanya perbedaan tingkat kedalaman yang bervariasi pada sumur pemboran di Lapangan Sukowati. Kedalaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gradien geotermal, dimana kedalaman merupakan faktor yang menunjukkan pembebanan dari batuan yang berada di atasnya, sehingga semakin dalam batuan akan mempunyai temperatur dan tekanan yang semakin tinggi. Hal tersebut dalam studi batuan induk akan memengaruhi tingkat kematangan batuan induk. Formasi Pematang secara stratigrafi berada menumpang diatas basement secara tidak selaras. Akibat keterbatasan data, maka persebaran lateral dari Formasi Pematang dapat diperkirakan mengikuti pola kedalaman dari peta top basement, yang dimana mempunyai distribusi kedalaman yang bervariasi. Daerah dalaman terletak pada bagian selatan lokasi penelitian yaitu pada sumur SS-1 dan SS-5, semakin ke utara timur, dan barat lokasi penelitian semakin berkurang kedalamannya. Berdasarkan peta basement vs posisi sumur, dimana sebelumnya telah diperkirakan kedalaman terjadinya top oil window (Ro=0,6%) pada masing masing sumur. Berdasarkan data perkiraan top oil window pada basement dengan menggunakan nilai reflektansi vitrinit = 0,6% tersebut, maka dapat diperkirakan pola persebaran batas top oil window pada daerah penelitian (Gambar 5.27). Batas perkiraan pola top oil window yang memotong garis kontur pada beberapa bagian (Gambar 5.27), yaitu di sebelah barat dan utara pada Lapangan Sukowati, dimana seharusnya pola batas perkiraan top oil window tersebut mengikuti garis kontur peta basement. Hal tersebut dapat terjadi akibat proses

132

tektonik yang mengontrol daerah penelitian. Berdasarkan nilai perubahan reflektansi vitrinit pada masing-masing sumur terhadap tingkat kedalaman menunjukkan pola yang teratur (linier) dan dapat dikatakan daerah penelitian tidak terpengaruh oleh aktivitas tektonik yang signifikan selama proses pembentukan Formasi Pematang hingga Telisa, yaitu pada fase tektonik synrift hingga sagging (Eosen – Miosen Tengah). Berdasarkan fakta diatas, dapat disimpulkan aktivitas tektonik setelah pembentukan Formasi Telisa merupakan fase tektonik yang mengontrol Lapangan Sukowati, fase tektonik tersebut adalah fase kompresi yang terjadi akibat proses subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia dan membentuk Pegunungan Bukit Barisan di sebelah Barat Cekungan Sumatera Tengah pada Miosen Tengah (Whibley, 1992), termasuk daerah penelitian. Gaya kompresi tersebut mengangkat seluruh formasi batuan yang telah terbentuk sebelumnya, yaitu

Formasi

Pematang,

Sihapas,

dan

Telisa.

Pengangkatan

tersebut

mengakibatkan perkiraan kedalaman top oil window pada sumur SS-3, SS-4, dan SS-6 menjadi lebih dangkal dari seharusnya. Sebaliknya pada sumur SS-1 dan SS5 akibat hukum isostasi mengalami proses pendalaman, akibatnya perkiraan kedalaman top oil window menjadi lebih dalam. Faktor tersebut yang menyebabkan batas perkiraan pola top oil window memotong garis kontur. Formasi Sihapas secara regional berperan sebagai reservoar, dimana secara stratigrafi terletak diatas Formasi Pematang yang berperan sebagai batuan induk. Berdasarkan perkirakan pola persebaran batas top oil window dapat diperkirakan arah migrasi minyak bumi yang dihasilkan dari batuan induk yang telah matang

133

tersebut, dimana migrasi terjadi dari daerah dalaman ke daerah yang lebih dangkal yaitu ke Formasi Sihapas yang dibuktikan dengan adanya data sampel minyak bumi pada sumur SS-1 dan SS-5. Pada sumur yang lain, yaitu sumur SS-2, SS-3, SS-4, dan SS-6 hanya menunjukkan oil show. Hal tersebut membuktikan bahwa adanya migrasi ke arah sumur tersebut, namun belum signifikan untuk membentuk akumulasi minyak bumi atau tidak adanya jebakan (trap) yang mengakibatkan minyak bumi terus bermigrasi dan tidak terakumulasi. Formasi Telisa secara lateral mempunyai kedalaman yang bervariasi, daerah paling dalam terletak pada sumur SS-1 dan SS-5 yang mencapai kedalaman 5225 kaki. Berdasarkan data geokimia seperti reflektansi vitrinit, Tmax, dan PI Formasi Telisa dikategorikan belum matang, namun berdasarkan analisis burial history pada sumur SS-1 yang dilakukan oleh PT. Energi Mega Persada menunjukkan bahwa Formasi Telisa telah matang. Perbedaan hasil analisis tersebut menjadi sebuah pertanyaan, namun berdasarkan hasil korelasi minyak bumi dan batuan induk membuktikan bahwa sampel minyak bumi yang terdapat pada Lapangan Sukowati berasal dari Formasi Pematang, bukan dari Formasi Telisa. Hal tersebut menunjukkan bahwa Formasi Telisa belum cukup matang menghasilkan minyak bumi atau jika sudah matang sesuai dengan hasil burial history maka kemungkinan minyak bumi yang dihasilkan belum cukup signifikan untuk mengisi reservoar dibandingkan minyak bumi yang dihasilkan oleh Formasi Pematang. Berdasarkan analisis dan interpretasi dengan kondisi geologi yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat digunakan sebagai acuan dalam

134

pengembangan selanjutnya dari Lapangan Sukowati. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumur pemboran yang terletak jauh dari daerah cekungan belum cukup untuk membentuk akumulasi minyak bumi, sehingga jika akan dilakukan pemboran untuk mendapatkan minyak bumi sebaiknya dilakukan di daerah cekungan, yaitu di sekitar sumur SS-1 dan SS-5 (oil well) yang dimana telah terbukti menghasilkan minyak bumi. Hal tersebut karena pada daerah cekungan merupakan area kitchen yang diperkirakan menghasikan minyak bumi lebih banyak dibandingkan area kitchen pada daerah yang lebih dangkal, sehingga jarak migrasi minyak bumi yang dihasilkan menuju reservoar tidak terlampau jauh.

Gambar 5.27. Peta basement (PT. Energi Mega Persada, 2007) vs persebaran sumur dan perkiraan pola penyebaran nilai Ro = 0,6% yang menunjukkan batas top oil window pada Lapangan Sukowati