1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG HIPERTENSI

Download Daun singkong di Indonesia umum dikonsumsi sebagai sayur (van Steenis,. 1975). Kandungan dominan dalam daun singkong segar adalah rutin (Sa...

0 downloads 409 Views 372KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hipertensi menjadi salah satu masalah kesehatan utama bagi masyarakat global. Jumlah kematian di dunia akibat hipertensi mencapai 9,4 juta kasus per tahun (WHO, 2013). Data riset kesehatan dasar tahun 2013 menyebutkan prevalensi hipertensi di Indonesia tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 25,8 %. Namun hasil riset tersebut diperoleh dengan jangkauan tenaga kesehatan 36,8 %, artinya lebih banyak kasus hipertensi di masyarakat yang tidak terdiagnosis yaitu sebesar 63,2 % (Kemenkes RI, 2013). Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya adalah genetik, lingkungan, usia serta pola makan (Chen et al., 2009). Kondisi hipertensi yang tidak tertangani dengan baik beresiko tinggi menimbulkan penyakit kardiovaskuler lain yang lebih parah (Guererro et al., 2012), sehingga diperlukan terapi secara farmakologis serta modifikasi gaya hidup untuk mengontrol tekanan darah (Chobanian et al., 2003). Hipertensi dapat diterapi antara lain menggunakan obat golongan angiotensin-I converting enzyme inhibitor (ACE-I) (Chen et al., 2009). ACE-I menghambat kerja ACE secara kompetitif (Sendón et al., 2004), sehingga menghambat pembentukan angiotensin II dalam tubuh (Sweitzer, 2003). Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang mempengaruhi penyempitan pembuluh darah dan pada akhirnya menyebabkan kenaikan tekanan darah (Chen et al., 2009).

1

2

Saat ini telah tersedia berbagai ACE-I sintetik, tetapi obat sintetik tersebut diketahui dapat menimbulkan efek samping baik ringan hingga berat, sehingga diperlukan alternatif antihipertensi lain yang lebih aman. Antihipertensi yang bersifat lebih aman dapat diperoleh dari produk alam, salah satunya adalah ACE-I yang diisolasi dari berbagai tanaman (Kumar et al., 2010). Beberapa bahan makanan dan obat tradisional diketahui mengandung senyawa yang mempunyai fungsi dan aksi sama dengan ACE-I. Bahan makanan yang memiliki kandungan fenolik dapat berkhasiat menurunkan tekanan darah melalui penghambatan dan penurunan ekspresi ACE (Chen et al., 2009). Salah satu golongan senyawa fenolik yang mempunyai aktivitas ACE-I adalah flavonoid (Al Shukor et al., 2013). Mekanisme penghambatan ACE oleh flavonoid dihasilkan melalui komponen fenolik yang berinteraksi dengan ACE (Al Shukor et al., 2013). Senyawa flavonoid banyak terkandung di dalam bahan konsumsi terutama buah dan sayur. Salah satu tanaman tropis yang memiliki kandungan flavonoid adalah daun singkong (Asif et al., 2013). Daun singkong di Indonesia umum dikonsumsi sebagai sayur (van Steenis, 1975). Kandungan dominan dalam daun singkong segar adalah rutin (Salawu et al., 2008). Rutin termasuk senyawa golongan flavonoid (Atanassova and Bagdassarian, 2009) pada kelas flavonol dan berada dalam bentuk terglikosidasi (Gupta, 2014). Berdasarkan kandungan rutin yang dimiliki, maka daun singkong berpeluang menjadi agen ACE-I alami. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aktivitas ACE-I oleh fraksi flavonoid fenolik infusa daun singkong serta mengetahui pola penghambatannya.

3

Pengujian aktivitas ACE-I dilakukan secara in vitro menggunakan metode Cushman and Cheung (1971) yang didasarkan pada hidrolisis Hippuryl-L-HistidylL-Leucine (HHL) oleh ACE menjadi asam hipurat/ hipuric acid (HA). Jumlah HA yang terbentuk berbanding lurus dengan aktivitas ACE. Penelitian ini penting dilakukan dalam rangka mengembangkan alternatif terapi antihipertensi yang lebih aman menggunakan agen ACE-I alami yaitu fraksi flavonoid fenolik dari infusa daun singkong (Manihot utilissima Pohl.). Diharapkan dari penelitian ini, pemanfaatan daun singkong akan semakin luas, tidak hanya terbatas sebagai bahan konsumsi tetapi juga sebagai obat antihipertensi.

B. Perumusan Masalah 1. Apakah infusa daun singkong (Manihot utilissima Pohl.) mengandung flavonoid fenolik dan berapakah kadar fenolik totalnya? 2. Apakah infusa daun singkong (Manihot utilissima Pohl.) yang mengandung flavonoid fenolik dapat berefek pada penghambatan ACE secara in vitro?

C. Tujuan Penelitian Mengetahui efek kandungan flavonoid fenolik dan kadar fenolik total dalam infusa daun singkong pada penghambatan ACE secara in vitro.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai upaya untuk memperkaya pengetahuan mengenai bahan alam yang dapat memiliki efek antihipertensi

4

2. Bagi masyarakat, memberikan alternatif baru dalam upaya pengobatan hipertensi menggunakan bahan alam

E. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis (Kemenkes RI, 2013). Hipertensi diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran berulang tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali atau lebih kunjungan (Chobanian et al., 2003). Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan etiologinya, hipertensi ada dua macam (DiPiro et al., 2005). Pertama adalah hipertensi primer atau hipertensi esensial, tercatat sekitar 90% hingga 95% dari total penderita hipertensi tergolong dalam hipertensi primer. Penyebab utama hipertensi primer adalah gangguan fungsi endotel akibat kekurangan nitrit oksida (Naidu et al., 2013), sedangkan penyebab pastinya sulit ditentukan karena banyak mekanisme yang terlibat dalam patogenesis hipertensi primer (DiPiro et al., 2005). Kedua adalah hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh gangguan kardiovaskuler terkait dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) (Atlas, 2007). Sistem RAA merupakan jalur koordinasi hormonal (Carey et al., 2003) yang terhubung melalui 2 komponen efektor, angiotensin II dan aldosteron (Laragh et al., 1972) yang mengatur fungsi kardiovaskuler, ginjal dan

5

adrenal melalui regulasi cairan tubuh, keseimbangan elektrolit serta pengaturan tekanan darah arteri (Carey et al., 2003).

Gambar 1. Diagram Sistem RAA (DiPiro, 2005)

RAA

diaktivasi

oleh

sekresi

renin,

yang

merupakan

katalisator

pembentukan angiotensin I dari hidrolisis angiotensinogen. Angiotensin I kemudian dihidrolisis oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II (Atlas, 2007). Angiotensin II dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan sintesis aldosteron, peningkatan absorbsi natrium, menaikkan

tahanan

perifer

serta

meningkatkan

curah

jantung sehingga

menyebabkan hipertensi (DiPiro et al., 2005). Hipertensi dapat diterapi menggunakan berbagai golongan obat, yaitu golongan diuretik, angiotensin I-converting enzyme inhibitor (ACE-I), angiotensin

6

II-receptor blockers (ARB), beta-blocker (BB), dan calcium channel blockers (CCB) (Chobanian et.al., 2003). Terapi hipertensi terkait dengan sistem RAA dapat dilakukan melalui pemberian agen ACE-I (kaptopril, lisinopril, fosinopril, dll); ARB (losartan, irbesartan, valsartan, dll); antagonis aldosteron (spironolakton, eplerenon); dan renin inhibitor (aliskiren) (DiPiro et al., 2009). 2. Angiotensin-I Converting Enzyme (ACE) ACE merupakan suatu glikoprotein yang mempunyai 2 gugus karboksi di bagian ujung dan berperan sebagai sisi aktif enzim (Carey et al., 2003). ACE adalah enzim non-spesifik yang banyak terlibat dalam metabolisme peptida. ACE berperan sebagai katalisator konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, dan juga menginaktivasi vasodilator, bradikinin. Angiotensin I merupakan dekapeptida inaktif, sedangkan angiotensin II adalah suatu oktapeptida yang merupakan vasokonstriktor poten (Guan-Hong et al., 2005). ACE secara strategis meregulasi kesetimbangan antara angiotensin II dan bradikinin (Brown et al., 1998). Gambaran sistem renin-angiotensin dan sistem kallikrein-kinin serta pengaruh ACE terhadap regulasi angiotensin II dan bradikinin secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Sistem Renin-Angiotensin dan Sistem Kallikrein-Kinin (Brown et al., 1998)

7

ACE merupakan enzim golongan eksopeptidase yang posisinya terlokalisasi pada membran plasma dalam berbagai sel, termasuk sel endotelial pembuluh darah. Letak ACE yang terlokalisasi di membran sel endotelial berperan penting pada sistem renin-angiotensin aldosteron dalam hal regulasi tekanan darah dan kesetimbangan elektrolit (Fuchs et al., 2008). Angiotensin-I Converting Enzyme juga terdapat dalam bentuk larut pada plasma, tetapi bentuk larut tersebut secara cepat berganti menjadi ACE yang terikat pada membran (Atlas, 2007). 3. Angiotensin-I Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) Angiotensin-I Converting Enzyme Inhibitor merupakan agen yang menghambat pembentukan angiotensin II. Pada banyak penyakit kardiovaskuler, ditemukan jumlah angiotensin II yang terlalu tinggi. Angiotensin II merupakan suatu hormon yang beredar dalam darah dan mempunyai berbagai pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler; terutama pada mekanisme hipertensi (Sweitzer, 2003). ACE-I dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan berdasarkan sisi aktif yang merupakan ligan atom zinc (Zn) yaitu golongan sulfihidril (kaptopril), karboksil (enalapril, lisinopril, benazepril, quinapril, ramipril, trandolapril, moexipril), dan fossofinil (fosinopril). Agen ACE-I juga dibedakan berdasarkan potensi, bioavailabilitas, t1/2 plasma, rute eliminasi serta distribusi dan afinitas terhadap ACE (Brown et al., 1998). ACE-I menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II oleh ACE secara kompetitif, sehingga mengurangi kadar angiotensin II baik lokal maupun sistemik. Penghambatan pembentukan angiotensin II akan mencegah

8

penyempitan pembuluh darah, penurunan tekanan darah, serta meringankan kerja jantung (Sweitzer, 2003). Selain angiotensin II, ACE-I juga menghambat enzim kininase secara kompetitif. Enzim kininase merupakan katalisator degradasi bradikinin dan vasodilator poten lainnya. Turunnya level kininase mengakibatkan jumlah bradikinin meningkat, sehingga bradikinin berikatan dengan reseptor B2 memicu pelepasan nitrit oksida, prostasiklin, dan prostaglandin E2 (Sendón et al., 2004). Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan meningkatkan sekresi mukus (Brown et al., 1998). Beberapa ekstrak bahan alam dengan kandungan senyawa golongan fenolik telah diteliti mempunyai aktivitas penghambatan ACE (Actis-Goretta et al., 2005). Ekstrak etanolik meniran (Phyllantus niruri L.) yang memiliki kandungan geraniin (senyawa golongan fenolik) terbukti dapat menghambat ACE dengan nilai IC50 4x10-4 mol/Liter (Ueno et al., 1988). Ekstrak heksan daun pegagan (Centella asiatica) memiliki nilai penghambatan ACE sebesar 48,45 % dan ekstrak diklorometan daun pepaya (Carica papaya) memiliki nilai penghambatan ACE 59,77 % (Loh et al., 2011). Bahan makanan yang kaya akan kandungan flovonol juga terbukti memiliki aktivitas penghambatan ACE. Beberapa bahan makanan tersebut antara lain adalah coklat, teh hitam dan teh hijau (Actis-Goretta et al., 2005).

9

4. Daun Singkong

Gambar 3. Penampang Daun Singkong

a. Deskripsi Tumbuhan singkong (Manihot utilissima Pohl.) memiliki daun berwarna kuning, kehijauan, hijau (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Daun tunggal terbagi 3-9 dengan panjang tangkai daun 6-35 cm (Backer and van den Brink, 1965). Bentuk daun singkong adalah berbagi menjari dengan ujung daun meruncing, tepi daun rata dan tulang daun menyirip. Daun singkong berukuran lebar 15-24 cm dan panjang 10-16 cm. Gambar 3 menunjukkan penampang daun singkong terbesar yang digunakan dalam penelitian ini. b. Kandungan kimia daun singkong Daun singkong memiliki manfaat sebagai sumber serat, vitamin dan mineral (Wobeto et al., 2006), daun yang muda dapat dikonsumsi sebagai lalab (van Steenis, 1975). Daun singkong memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tannin, antrakinon, saponin, antrosianosida, gula pereduksi dan glikosida sianogenik (Ebuehi et al., 2005). Kandungan kimia dalam daun singkong segar yaitu lotaustralin, linamarin, serta gikosida flavonoid yaitu kaempferol 3-O-rutenoside dan quercetin-3-rutenoside (Anam et al., 2009). Quercetin 3-O rutenoside disebut juga rutin (Gupta et al, 2014).

10

c. Khasiat yang telah diteliti Daun singkong berpotensi menjadi agen antihiperglikemi, antihipertensi, antimikroba, antioksidan dan antiradikal. Ekstrak n-heksan dan ekstrak diklorometan daun singkong (pucuk ubi) Manihot esculenta memiliki aktivitas penghambatan terhadap α-amylase, α-glucosidase dan ACE (Loh et al., 2011). Ekstrak air daun singkong memiliki kemampuan untuk mengurangi pembentukan oksidan Reactive Oxygen Species (ROS) (Tsumbu et al., 2011). Ekstrak etanolik daun singkong (Manihot utilissima) dengan kandungan polifenol yang didominasi oleh rutin memiliki aktivitas antimikroba (Salawu et al., 2011). 5. Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang dikarakterisasi mempunyai kerangka karbon 15 (C6-C3-C6) yang dihubungkan oleh cincin benzopiran (Pereira et al., 2009). Struktur dasarnya terdiri dari cincin benzena (A) yang terkondensasi dengan cincin heterosiklik golongan piran (C) di mana C posisi 2 atau 3 berikatan dengan substituen fenil (cincin B) (Asif et al., 2013). Flavonoid mempunyai spektrum khas yang terdiri atas 2 pita maksimal pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I) (Markham, 1988). 3'

A

1 O C

5

4

8 7 6

2' 2

1'

4'

B 5' 6'

3

Gambar 4. Struktur Dasar Flavonoid (Kumar et al., 2013)

Flavonoid dapat digolongkan ke dalam beberapa kelas berdasarkan substituen yang terikat pada cincin C. Masing-masing kelas mempunyai beberapa

11

senyawa anggota yang dibedakan berdasarkan substituen yang terikat pada cincin A dan B (Kumar et al., 2013). Flavanon

Flavon

R2

R2

R3

R3 R1

O

H

R1

OH O

OH O R1; R2; R3

(Senyawa)

OH; H; OH O-Nh; H; OH OH; OH; OMet Rut; OH; OMet

(Naringenin) (Naringin) (Hesperetin) (Hesperidin)

Isoflavon

R1

O

R1; R2; R3

(Senyawa)

OH; OH; OMet Rut;O H; OMet OH; H; OH O-Nh; H; OH OH; OH; OH

(Diosmetin) (Diosmin) (Apigenin) (Rhoifolin) (Luteolin)

Flavonol

R2

O

R3

R2 OH O

HO

O

R3

R1; R2; R3

(Senyawa)

OH; H; OH

(Genistein)

R1 OH O R1; R2; R3

(Senyawa)

OH; H; OH OH; OH; OH RGlu; OH; OH

(Kaempferol) (Quersetin) (Rutin)

Flavanol

R2

R2 R3

HO

O

R3 HO

O

OH OH R1; R2; R3

OH OH

(Senyawa)

OH; OH (Katekin) * RGlu: Rhamnoglucose OMet: Methyl ether

R1; R2; R3

(Senyawa)

OH; OH (Epikatekin) O-Nh: O-neohesperoside

Rut: Rutinose

Gambar 5. Struktur Kimia Senyawa Golongan Flavonoid (Guerrero et al., 2012)

12

Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksi atau suatu gula. Sesuai prinsip “like dissolve like” bahwa senyawa polar akan lebih larut pada pelarut polar dan senyawa non polar lebih larut pada pelarut nonpolar, maka flavonoid dapat diekstraksi menggunakan berbagai macam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, air, dimetilsulfoksida (DMSO), dan lain-lain (Markham, 1988). Senyawa flavonoid terdapat hampir pada semua spesies tumbuhan (Pereira et al., 2009) sebagai penyokong kelangsungan hidup tumbuhan, melindungi dari mikroorganisme patogen (fungi, bakteri) dan radiasi UV (Gupta et al, 2014). Flavonoid juga diketahui mempengaruhi kualitas dan stabilitas makanan melalui aktivitasnya sebagai pemberi rasa, pemberi warna dan antioksidan (Kumar et al., 2013). Flavonoid

telah

banyak

diolah

menjadi

sediaan

suplemen

yang

dimanfaatkan untuk membantu mengobati serta mencegah penyakit (Tapas et al., 2008). Banyak senyawa flavonoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, antiplatelet, antialergi, sitotoksik, menurunkan resiko penyakit jantung (Asif et al., 2013), dan terbukti mempunyai aktivitas penghambatan ACE (Guererro et al., 2012). 6. Rutin Rutin (quercetin 3-O rutenoside) merupakan glikosida flavonol yang terdiri dari aglikon quercetin (flavonol) dan gula rutinosa (disakarida) (Gupta et al., 2014).

13

OH OH HO

O O OH O

OH

O

OH HO

O

HO

O

OH

OH OH

Gambar 6. Struktur Kimia Rutin

Rutin merupakan salah satu senyawa flavonoid bioaktif yang mempunyai aksi fisiologis luas (Atanassova dan Bagdassarian, 2009). Rutin memiliki kemampuan antioksidan, menghambat kerusakan tulang serta menurunkan resiko penyakit jantung (Gupta et al., 2014). Rutin dapat membantu mengobati penyakit kronis seperti kanker, hipertensi, diabetes, dan hiperkolesterolemia (Sharma et al., 2013). 7. Infundasi Infundasi merupakan salah satu metode ekstraksi cara panas dengan menggunakan pelarut air. Hasil ekstraksi yang diperoleh melalui metode infundasi disebut infus. Alat yang digunakan pada metode infundasi adalah panci bertingkat, rangkaian alat dapat dilihat pada Gambar 7.

14

A

B

Gambar 7. Panci Infundasi

Panci bagian bawah (B) berfungsi sebagai penangas air, sedangkan panci bagian atas (A) sebagai bejana infus. Ekstraksi dengan metode infundasi dilakukan dengan pemanasan pada temperatur penangas air mendidih dan posisi bejana infus tercelup dalam penangas air. Dilakukan pemanasan selama 15 menit dengan kondisi temperatur bejana infus terukur 90 ºC (Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, 2000). 8. Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar yang memisahkan campuran analit berdasarkan distribusi komponen diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Prinsip kerja KLT adalah dengan menotolkan cuplikan atau sampel pada lempeng KLT, kemudian lempeng dimasukkan ke dalam wadah berisi fase gerak sehingga komponen-komponen dalam sampel dapat terpisah (Gritter et al., 1991). Pada KLT, pemisahan masing-masing komponen dinyatakan dengan faktor retardasi atau faktor perlambatan (nilai Rf). Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh analit terhadap jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Braithwaite and Smith, 1999).

15

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif pada KLT didukung dengan teknik densitometri. Densitometri dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit yang sebelumnya telah dipisahkan terlebih dahulu dengan KLT. Densitometer merupakan instrumen untuk mengukur bercak hasil elusi. Hasil pembacaan densitometri berupa gambaran puncak-puncak (Gritter et al., 1991). 9. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) Spektrofotometri UV-Vis merupakan metode pengukuran senyawa di daerah panjang gelombang ultraviolet-visibel (200-800 nm) menggunakan instrumen spektrofotometer. Spektrofotometer terdiri atas rangkaian sistem optik yang mampu menghasilkan cahaya monokromatik dengan alat yang sesuai untuk menetapkan serapan. Spektrofotometer bekerja dengan cara mengukur serapan radiasi elektromagnetik suatu senyawa pada daerah UV-Vis (Depkes RI, 1995). Serapan cahaya oleh senyawa dalam spektrum UV-Vis tergantung dari eksitasi elektron-elektron yang terlibat dalam ikatan-ikatan antara atom-atom pembentuk molekul senyawa (Khopkar, 2002). Data spektrofotometer dapat ditampilkan dalam bentuk gambar grafik atau tabel yang menunjukkan hubungan antara panjang gelombang serapan dengan intensitas serapan (transmitasi atau aborbansi) (Sastrohamidjojo, 1991).

16

F. Landasan Teori Flavonoid memiliki beragam aktivitas farmakologis bagi tubuh, salah satunya sebagai agen antihipertensi. Senyawa fenolik (termasuk flavonoid) yang diisolasi dari berbagai macam tumbuhan berefek pada aktivitas penghambatan ACE dan dapat menurunkan tekanan darah (Al Shukor et al., 2013). Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama flavonoid bagi manusia (Kumar et al., 2013). Daun singkong merupakan salah satu jenis sayur yang memiliki kandungan flavonoid, yaitu rutin (Salawu et al., 2008). Penelitian Oh et al. (2003) menunjukkan bahwa rutin memiliki aktivitas penghambatan ACE dan besarnya nilai aktivitas penghambatan ACE oleh rutin tergantung pada dosis yang diberikan. Berdasarkan flavonoid yang terkandung di dalamnya, maka daun singkong berpotensi memiliki efek antihipertensi, khususnya melalui mekanisme penghambatan ACE.

G. Hipotesis Infusa daun singkong yang mengandung senyawa fenolik (termasuk flavonoid fenolik) dapat berefek pada penghambatan ACE secara in vitro.