BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan masalah kesehatan dunia karena memiliki prevalensi yang tinggi dan berkaitan dengan terjadinya peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler (Khatib dan El-Guindy, 2005). Secara global, kematian akibat penyakit kardiovaskuler mencapai 17 juta per tahun, mendekati sepertiga dari total kasus. Sebanyak 9,4 juta kematian setiap tahunnya disebabkan karena komplikasi dari hipertensi. Pada tahun 2008, tercatat 40% dari usia di bawah 25 tahun terdiagnosa hipertensi (Anonim, 2013). Di Indonesia, prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah adalah 32,2%, sedangkan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan atau riwayat minum obat hanya 7,8%. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya 24,2% kasus hipertensi di Indonesia yang sudah terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Peningkatan prevalensi hipertensi disebabkan karena adanya pertumbuhan populasi, pertambahan usia, dan gaya hidup dengan faktor resiko tinggi seperti diet yang tidak sehat, konsumsi alkohol, kurangnya aktivitas fisik, berat badan berlebih, dan stres yang persisten (Anonim, 2013). Berdasarkan algoritma terapi Joint National Committee 7 (JNC 7), obat-obat antihipertensi sintetik seperti Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs), Angiotensin Receptor Blockers (ARBs), beta-blockers (BBs), Calcium Channel Blockers (CCBs), dan diuretik golongan tiazid digunakan sebagai lini pertama
1
2
untuk terapi hipertensi (Anonim, 2003). Namun demikian, penggunaan obat antihipertensi sintetik sering dihubungkan dengan munculnya berbagai efek samping seperti hipotensi dan hipokalemia, sehingga saat ini penggunaan tanaman sebagai alternatif terapi lebih dipilih terutama di negara-negara berkembang (Tabassum dan Ahmad, 2011; Syarif dkk., 2007). Selama tiga dekade terakhir, penelitian banyak dilakukan untuk menemukan tanaman lokal yang memiliki nilai terapetik untuk menurunkan tekanan darah (Tabassum dan Ahmad, 2011). Tanaman-tanaman tersebut biasanya sudah digunakan secara empiris oleh masyarakat. Beberapa tanaman lokal yang banyak diteliti karena diduga memiliki pengaruh terhadap tekanan darah adalah seledri, kumis kucing, dan mengkudu. Seledri (Apium graviolens L.) merupakan tanaman herba yang memiliki berbagai manfaat kesehatan antara lain untuk mengobati reumatik, hipertensi, dan mencegah kanker (Murray dkk., 2005). Kandungan seledri yang memiliki efek antihipertensi adalah 3-n-butyl phthalide dan apigenin yang memiliki mekanisme aksi seperti ACEIs dan ARBs (Mohler dan Townsend, 2006). Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) merupakan tanaman yang memiliki manfaat kesehatan sebagai diuretik untuk mengobati gangguan saluran kemih dan ginjal, diabetes, dan hipertensi (Evans, 2009). Daun kumis kucing mengandung flavonoid dengan kandungan utama sinensetin, eupatorin, scutellarein, tetrametil eter, salvigenin, rhamnazin, dan glikosida flavonoid (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Mengkudu (Morinda citrifolia L.) merupakan salah satu tanaman herbal yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan antara lain sebagai antiradang,
3
antihipertensi, dan obat cacing (Hariana, 2008). Kandungan skopoletin pada buah mengkudu memiliki aktivitas spasmolitik yang diduga menyebabkan terjadinya efek penurunan tekanan darah (Bone dan Mills, 2013). Aktivitas spasmolitik dihubungkan dengan penghambatan spasme dari otot polos termasuk otot polos pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (Dorland, 2011; Syarif dkk, 2007). Uraian di atas menunjukkan bahwa herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu memiliki efek penurunan tekanan darah dengan mekanisme yang berbeda-beda. Masing-masing ekstrak tersebut sering dikombinasikan untuk mendapatkan efek yang lebih poten melalui mekanisme potensiasi yaitu timbulnya efek yang lebih besar dari suatu senyawa dengan penambahan senyawa lainnya yang memiliki mekanisme berbeda (Duffus dkk., 2009). Salah satu contoh kombinasi yang sudah beredar di Indonesia adalah Tensigard®, yaitu suatu produk fitofarmaka yang memiliki komposisi Ekstrak Apii Herba 92 mg dan ekstrak Orthosiphon Folium 28 mg (Yeo, 2014). Alternatif kombinasi lainnya yang bisa digunakan adalah kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu (kombinasi ekstrak SKM). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kombinasi ekstrak SKM memiliki efektivitas penurunan tekanan darah tikus terinduksi fenilefrin yang sebanding dengan kaptopril. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak SKM dapat menurunkan tekanan darah tikus dalam kondisi hipertensi (Septia, 2015). Hal ini mendorong perlunya dilakukan penelitian untuk mengetahui efek kombinasi ekstrak SKM pada tikus dengan kondisi tekanan darah yang normal. Dari hasil penelitian ini nantinya
4
dapat diketahui apakah efek yang ditimbulkan dari pemberian kombinasi ekstrak SKM terhadap tekanan darah tikus normal sampai menyebabkan hipotensi atau tidak.
B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Apakah kombinasi ekstrak SKM memiliki efek terhadap tekanan darah tikus normal?
2.
Berapa besar perubahan tekanan darah yang dihasilkan setelah pemberian kombinasi ekstrak SKM pada tikus normal?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengetahui efek kombinasi ekstrak SKM terhadap tekanan darah pada tikus normal.
2.
Mengetahui besarnya perubahan tekanan darah yang dihasilkan setelah pemberian kombinasi ekstrak SKM pada tikus normal.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dari hasil penelitian dapat diperoleh informasi mengenai pengaruh kombinasi ekstrak SKM pada tekanan darah tikus normal. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian-penelitian selanjutnya,
5
sehingga kombinasi ekstrak SKM diharapkan bisa dikembangkan menjadi obat herbal terstandar atau fitofarmaka. 2.
Bagi Masyarakat Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah mengenai efek kombinasi ekstrak SKM terhadap tekanan darah dalam kondisi normal.
3.
Bagi Penulis Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pembanding untuk penelitian berikutnya serta menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Tekanan darah Tekanan darah merupakan tekanan darah pada dinding setiap pembuluh
darah. Pengertian lainnya adalah tekanan darah pada dinding arteri, yang bergantung pada kekuatan kerja jantung, kelenturan dinding arteri, serta volume dan viskositas darah (Dorland, 2011). Tekanan darah diukur baik pada saat kondisi sistol maupun diastol (Nugroho, 2012). Tekanan darah sistol merupakan tekanan darah yang terukur pada saat ventrikel kiri jantung berkontraksi. Darah mengalir dari jantung ke pembuluh darah sehingga pembuluh darah teregang maksimal. Pada pemeriksaan fisik, bunyi “lup” pertama yang terdengar adalah tekanan darah sistol. Tekanan darah purata sistol pada orang normal adalah 120 mmHg (Ronny dkk., 2008). Tekanan darah diastol merupakan tekanan darah yang terjadi pada saat jantung berelaksasi. Pada saat diastol, tidak ada darah yang mengalir dari jantung
6
ke pembuluh darah sehingga pembuluh darah dapat kembali ke ukuran normalnya sementara darah didorong ke bagian arteri yang lebih distal. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah diastol dapat ditentukan melalui bunyi “dup” terakhir yang terdengar. Tekanan darah purata diastol pada orang normal adalah 80 mmHg (Ronny dkk., 2008). Faktor-faktor yang mempertahankan tekanan darah tetap konstan antara lain kekuatan pompa jantung, banyaknya darah yang beredar, kekentalan darah, elastisitas dinding pembuluh darah, dan ketahanan perifer (Pearce, 2006). Mekanisme regulasi tekanan darah pada tubuh manusia untuk menjaga tekanan darah tetap dalam keadaan konstan adalah sebagai berikut : a.
Sistem pengaturan tekanan darah jangka pendek Pengaturan jangka pendek dikendalikan oleh sistem saraf yang biasanya berlangsung dalam hitungan detik sampai menit. Mekanisme utama dalam proses pengontrolan tekanan darah berjalan sesuai dengan mekanisme umpan-balik negatif yaitu mekanisme perangsangan yang akan menyebabkan pengurangan impuls respon tubuh. Mekanisme pengaturan ini membutuhkan sensor/reseptor, neuron aferen, sistem saraf pusat, neuron eferen, dan efektor (Ronny dkk., 2008). Beberapa sensor yang mendeteksi perubahan tekanan darah adalah sebagai berikut : 1). Refleks baroreseptor Baroreseptor terutama mengatur refleks tekanan arteri karena sensitif terhadap perubahan tekanan dan regangan arteri. Saat tekanan darah arteri meningkat dan arteri meregang, baroreseptor menghambat pusat
7
vasomotor. Hal ini menyebabkan vasodilatasi pada arteriol dan vena sehingga tekanan darah menurun. Saat tekanan darah arteri menurun, terjadi vasokonstriksi dan peningkatan curah jantung sehingga tekanan darah meningkat (Muttaqin, 2009). 2). Osmoreseptor hipotalamus Osmoreseptor pada hipotalamus peka terhadap perubahan osmolaritas darah yang dipengaruhi oleh kesimbangan cairan tubuh. Osmoreseptor akan mempengaruhi perubahan tekanan darah dengan cara menyimpan atau mengekskresikan cairan dan elektrolit (Ronny dkk., 2008). 3). Kemoreseptor pada arteri Kemoreseptor yang terdapat di arteri sangat peka terhadap perubahan kandungan oksigen, karbon dioksida, dan peningkatan asam dalam darah (PO2, PCO2, pH). Impuls dari kemoreseptor akan meningkatkan tekanan darah dengan merangsang pusat kardiovaskuler (Ronny dkk., 2008). 4). Sistem saraf pusat Sistem saraf pusat akan mempengaruhi tekanan darah melalui sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Kondisi yang akan meningkatkan kerja sistem simpatis seperti stres atau perubahan emosi, akan mempengaruhi sistem kardiovaskuler (Ronny dkk., 2008).
8
b.
Pengaturan tekanan darah intermediet dan jangka panjang 1). Pengaturan secara vasoaktif (endokrin dan parakrin) a). Biogenic amines Efinefrin berasal dari medula adrenal. Efinefrin berikatan dengan reseptor α1 (vasokonstriksi), reseptor β2 (vasodilatasi), dan reseptor β1 (meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi). Serotonin 5-hidroksitriptamin menyebabkan kontraksi dan biasanya terdapat di saraf terminal, trombosit, dan sel mast. Histamin dapat menyebabkan pembuluh darah di otot polos mengalami vasodilatasi, namun juga menyebabkan otot polos visceral berkontraksi (Ronny dkk., 2008). b). Peptida Angiotensin II merupakan bagian dari kerja sistem renin angiotensin
aldosteron.
Angiotensin
II
bekerja
sebagai
vasokonstriktor kuat. Ginjal mengeluarkan enzim renin ke dalam darah yang akan mengubah angiotensinogen yang disekresikan oleh hati menjadi dekapeptida angiotensin I. Angiotensin I ini akan diubah
oleh
Angiotensin
Converting
Enzyime
(ACE)
yang
disekresikan oleh sel endotelial di paru-paru menjadi oktapeptida angiotensin II. Aminopeptida akan mengubah angiotensin II menjadi angiotensin III yang tidak terlalu aktif Angiotensin II akan berikatan dengan pasangan G protein AT 1a reseptor di otot polos pembuluh darah, mengaktivasi fosfolipase C yang meningkatkan influks Ca2+ yang akan menyebabkan vasokonstriksi. (Ronny dkk., 2008).
9
Gambaran sistem renin-angiotensin-aldosteron ditunjukkan pada gambar 1 (Muttaqin, 2009). Substrat renin (Angiotensinogen)
Renin inaktif
Renin Angiotensin I
Aktivasi peptida natriuetik artrial
Angiotensin Converting Enzyme Angiotensin II
Peningkatan aktivitas simpatis
Vasokonstriksi perifer
Vasokonstriksi kapiler dan tubulus ginjal
Sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone)
Sekresi aldosteron
Retensi garam dan air
Peningkatan volume plasma
Aktivasi vagal meningkat
Peningkatan tekanan darah
Gambar 1.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron dalam mengontrol tekanan darah (Muttaqin, 2009)
c). Prostaglandin PGI2 (prostasiklin) dan prostaglandin (PGE2) berperan sebagai vasodilator, tetapi pada vena dan beberapa arteri dapat menyebabkan terjadinya kontraksi. Hal ini diduga karena sel endotelial pada vena
10
memetabolisme prostaglandin menjadi tromboksan A2 yang merangsang terjadinya kontraksi (Ronny dkk., 2008). d). Nitrogen oksida Nitrogen oksida berasal dari arginin di sel endotelial yang berperan sebagai vasodilator (Ronny dkk., 2008). 2). Pengaturan nonvasoaktif Pengaturan nonvasoaktif berkaitan dengan jumlah volume cairan ekstraseluler. Tekanan darah pada umumnya tidak selalu konstan, tetapi berubah dan dipengaruhi oleh beberapa kondisi misalnya kesehatan, aktivitas fisik, dan jumlah asupan cairan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi jumlah isi sekuncup. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh daya regang pembuluh darah. Kemampuan daya regang pembuluh darah dapat menurun seiring faktor usia atau karena penyakit seperti aterosklerosis (Ronny dkk., 2008).
2.
Herba Seledri Herba seledri merupakan herba Apium graviolens L. yang mengandung
flavonoid total tidak kurang dari 0,6 % dihitung sebagai apiin (Anonim, 2010). Klasifikasi seledri (Apium graviolens L.) adalah sebagai berikut (Subrahmanyam, 2009) : kingdom
: Plantae
divisi
: Magnoliophyta
kelas
: Mangnoliopsida
11
subkelas
: Rosidae
ordo
: Apiales
famili
: Apiaceae
genus
: Apium L.
spesies
: Apium graviolens L.
Seledri adalah tanaman bionomikal herba yang tumbuh dengan ketinggian 6090 cm. Sistem akarnya dangkal, batang bercabang dan bergerigi. Daunnya berbentuk oval sampai sub orbicular dengan 3 lobus yang panjangnya 2-4,5 cm. Seledri dapat dibudidayakan di semua jenis tanah kecuali tanah yang mengandung garam, alkali, dan kandungan air tinggi. Seledri sangat sensitif terhadap reaksi tanah, sehingga pH tanah optimal untuk pertumbuhan seledri adalah sekitar 5-7. Seledri berasal dari dataran rendah di Italia dan menyebar ke Swedia, Mesir, Aljazair, Ethiopia, dan India (Fazal dan Singla, 2012). Seledri banyak mengandung minyak esensial seperti d-limonen dan seskuiterpen. Kandungan air pada seledri mencapai 95% (Fazal dan Singla, 2012). Sumber lain menyebutkan bahwa seledri mengandung minyak atsiri (1,5-3%), flavonoid (glikosida apiin), kumarin, furanokumarin, isokuersetin, saponin, asparagin, dan apialkali. Akarnya mengandung minyak atsiri, asparagin, tirosin, glutamin, pentosan, dan manit (Wijayakususma, 2008). Berdasarkan teori China, seledri efektif untuk menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Perbedaan tekanan darah pada manusia sebelum dan sesudah terapi ditemukan signifikan yang mengindikasikan bahwa seledri dapat digunakan sebagai pilihan yang aman dan efektif untuk terapi tekanan darah tinggi
12
(Joshi dkk., 2012). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ekstrak air dan etanol herba seledri yang diberikan secara injeksi intravena pada kelinci yang dianestesi dapat menurunkan tekanan darah purata yang tergantung dosis. Efek hipotensif singkat dan tekanan darah mencapai nilai basal sekitar 3-4 menit. Pada dosis tinggi, durasi respon hipotensif lebih panjang. Hasil evaluasi mengenai mekanisme kerja seledri dalam menurunkan tekanan darah berhubungan dengan blokade parsial komponen kolinergik (Branković dkk., 2010). Hasil analisis fitokimia menyebutkan bahwa seledri mengandung flavonoid apigenin, luteolin, dan kuersetin (Branković dkk., 2010). Kandungan apigenin dalam herba seledri
telah terbukti
memiliki
efek antihipertensi
yang
mekanismenya sejenis dengan Calcium Channel Blocker (CCB) (Supari, 2002). Selain itu, apigenin juga diketahui memiliki aktivitas vasorelaksasi yang dapat mempengaruhi tekanan darah (Jorge dkk., 2013; Jin dkk., 2009). Apigenin atau 5,7,4’,-trihidroksiflavon termasuk senyawa golongan flavon yang merupakan salah satu subkelas utama dari flavonoid selain flavonol, flavanon, flavanol, antosianidin, dan isoflavon. Struktur senyawa apigenin ditunjukkan pada gambar 2 (Grotewold, 2006).
Gambar 2. Struktur senyawa apigenin (Grotewold, 2006)
13
3.
Daun Kumis Kucing Daun kumis kucing merupakan daun Orthosiphon stamineus Benth. yang
mengandung sinensetin tidak kurang dari 0,1 % (Anonim, 2008). Klasifikasi tanaman kumis kucing adalah sebagai berikut (Subrahmanyam, 2009): kingdom
: Plantae
divisi
: Magnoliophyta
kelas
: Magnoliopsida
subkelas
: Asteridae
ordo
: Lamiales
famili
: Lamiaceae
genus
: Orthosiphon Benth.
spesies
: Orthosiphon stamineus Benth.
Tanaman kumis kucing biasanya tumbuh di sepanjang anak sungai atau selokan. Kumis kucing biasanya juga ditanam di pekarangan rumah dengan cara menebar biji atau stek batang untuk digunakan sebagai tanaman obat keluarga. Tanaman ini dapat ditemukan di dataran rendah pada ketinggian kurang lebih 700 m di atas permukaan laut. Tanaman kumis kucing tumbuh tegak dengan tinggi antara 50-150 cm. Batang berkayu, segiempat agak beralur, beruas, bercabang, berambut pendek atau gundul, dan berakar kuat. Daun berwarna hijau, berbentuk bulat telur, elips atau memanjang, berambut halus, tunggal, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis, panjang 2-10 cm, dan lebar 1-5 cm. Bunga berwarna ungu pucat atau putih, majemuk dalam tandan yang keluar di ujung percabangan, dan benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berupa nuah kotak dan
14
berbentuk bulat telur. Saat masih muda, buah berwarna hijau dan setelah tua berwana coklat. Biji kecil, saat masih muda berwarna hijau, dan setelah tua berwarna hitam (Dalimartha, 2000). Kandungan kimia kumis kucing beberapa senyawa kimia yaitu minyak atsiri 0,1% yang terdiri dari seskuiterpen dan senyawa fenolik. Daun kumis kucing mengandung
flavonoid
dengan
kandungan
utama
sinensetin,
eupatorin,
scutellarein, tetrametil eter, salvigenin, rhamnazin, dan glikosida flavonoid. Senyawa lain yang bermanfaat adalah glikosida, alkaloid, zat samak, minyak lemak, saponin, dan myoinositol (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Daun kumis kucing sering digunakan dalam campuran minuman jamu di Jawa untuk pengobatan hipertensi. Penelitian mengenai efek antihipertensi daun kumis kucing sudah dilakukan sejak tahun 1997 oleh Lestari Handayani dan Didik Budijanto. Hasil penelitian terhadap 43 penderita hipertensi yang dipublikasikan pada Cermin Dunia Kedokteran menunjukkan hasil bahwa pemberian ramuan daun kumis kucing dan buah mengkudu dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa ekstrak etanol 30% tanaman kumis kucing, pegagan, sambiloto, dan tempuyung menghasilkan potensi aktivitas antihipertensi dalam penghambatannya terhadap enzim ACE secara in vitro. Semua ekstrak tunggal kecuali ekstrak tempuyung dapat menghambat aktivitas enzim ACE secara in vitro secara signifikan bila dibandingkan dengan kaptopril, dengan ekstrak kumis kucing 50 ppm mempunyai daya inhibisi tertinggi sebesar 76,98 %. Ekstrak
15
kombinasi dari pegagan-kumis kucing-sambiloto memiliki daya inhibisi yang sangat tinggi yakni mencapai 86,99 % (Pradono dkk., 2010). Efek penurunan tekanan darah dari daun kumis kucing disebabkan karena beberapa
kandungan
senyawa
yang dimilikinya.
Penelitian
sebelumnya
menyebutkan bahwa kandungan neoorthosiphol A dan B, sinensetin, dan tetrametil scutellarein dalam daun kumis kucing menyebabkan relaksasi pada kontraksi yang diinduksi oleh 60 mM K+ atau 1-fenilefrin. Senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan volume urin setelah pemberian oral. Peningkatan volume urin tergantung dari dosis dan ekskresi urin yang mengandung elektrolit (Na+, K+, dan Cl-) meningkat hingga mencapai dua sampai tiga kali (Adnyana dkk., 2013). Penelitian preklinis pada tikus mengindikasikan bahwa sinensetin dan 3’-hidroksi-5,6,7,4’-tetrametilflavon dari kumis kucing menunjukkan adanya aktivitas diuretik (Schut dan Zwaving, 1993). Aktivitas diuretik inilah yang diduga menjadi mekanisme aksi dari efek penurunan tekanan darah daun kumis kucing. Sinensetin atau 3’,4’,5,6,7- pentametoksiflavon bersifat nonpolar karena termasuk dalam golongan flavon yang termetoksilasi. Struktur senyawa dari sinensetin ditunjukkan pada gambar 3 (Markham, 1988; Zhou dkk., 2011).
Gambar 3. Struktur senyawa sinensetin (Zhou dkk., 2011)
16
4.
Buah Mengkudu Buah mengkudu merupakan buah Morinda citrifolia L. yang mengandung
skopoletin tidak kurang dari 0,02% (Anonim, 2008). Klasifikasi tanaman mengkudu adalah sebagai berikut (Subrahmanyam, 2009) : kingdom
: Plantae
divisi
: Magnoliophyta
kelas
: Magnoliopsida
subkelas
: Asteridae
ordo
: Rubiales
famili
: Rubiaceae
genus
: Morinda L.
spesies
: Morinda citrifolia L.
Mengkudu termasuk jenis kopi-kopian yang dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai pada ketinggian tanah 1500 meter di atas permukaan laut. Mengkudu yang tersebar luas di Kepulauan Pasifik dan India ternyata merupakan tanaman asli dari Indonesia. Tanaman ini mempunyai batang yang tidak terlalu besar dengan tinggi pohon tinggi 4-8 m. Daunnya bersusun berhadapan dengan panjang 20-40 cm dan lebar 7-15 cm. Bunganya berbentuk bunga bongkol kecilkecil dan berwarna putih. Buahnya berwarna hijau mengkilap dan berwujud buah buni berbentuk lonjong dengan variasi trotol-trotol. Bijinya banyak, kecil, dan terdapat dalam daging buah (Thomas, 1989). Bagian tanaman dari mengkudu yang banyak digunakan sebagai obat adalah buah yang telah matang tetapi belum lunak. Buah mengkudu mengandung
17
xeronin, skopoletin, proxeronin, proxeronase, asam amino, vitamin, enzim alkaloid, serta mineral seperti magnesium, besi, dan fosfat. Selain itu, buah mengkudu juga mengandung beberapa zat antibakteri seperti acubin, alizarin, dan beberapa zat antrakuinon (Herliana, 2013). Beberapa studi menunjukkan bahwa mengkudu dapat digunakan untuk mengobati radang sendi, penyakit jantung, kanker, gangguan peredaran darah, hipertensi, penyakit jantung, diabetes, konstipasi, dan infeksi (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Aktivitas penurunan tekanan darah dari buah mengkudu telah dibuktikan dari hasil
penelitian
sebelumnya
yang
menyebutkan
bahwa
jus
mengkudu
menunjukkan aktivitas penghambatan Agiotensin Converting Enzyme yang kuat. Efek penghambatan jus dari buah yang masak lebih kuat daripada buah yang masih hijau. Penggunaan oral tunggal dari jus mengurangi takanan darah sistol secara spontan pada tikus jantan yang hipertensi (Kumar dkk., 2010b). Skopoletin merupakan senyawa fenolik yang paling penting dalam jus mengkudu (Kumar dkk., 2010b). Skopoletin berfungsi memperlebar seluruh pembuluh darah yang mengalami penyempitan sehingga peredaran darah kembali lancar (Herliana, 2013). Skopoletin yang diklaim dapat menurunkan tekanan darah karena memiliki efek vasodilator juga diduga memiliki efek penghambatan ACE (Kumar dkk., 2010b). Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ekstrak metanolik buah mengkudu mengandung skopoletin dan rutin hidrat yang menyebabkan penghambatan kontraksi yang dipicu oleh noradrenalin secara signifikan. Penghambatan kontraksi ini tergantung dari konsentrasi skopoletin dan rutin hidrat (Pandy dkk., 2014). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa skopoletin
18
memiliki aktivitas vasorelaksasi pada cincin aorta tikus kondisi normal maupun diinduksi oleh efinefrin (Lin dkk., 2014; Kwon dkk., 2002). Skopoletin atau 7-hidroksi-6-metoksikumarin termasuk dalam golongan kumarin sederhana dan merupakan aglikon dari skopolin (Kar, 2007). Struktur molekul dari skopoletin ditunjukkan pada gambar 4 (Blanco dkk., 2006).
Gambar 4. Struktur senyawa skopoletin (Blanco dkk., 2006)
5.
Kaptopril Kaptopril merupakan Angiotensin Converting Enzyme – inhibitor (ACE-
inhibitor) yang pertama ditemukan dan banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung (Syarif dkk., 2007). Kaptopril mengandung gugus SH yang dapat berinteraksi membentuk kelat dengan ion Zn dalam tempat aktif ACE (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Struktur senyawa kaptopril ditunjukkan pada gambar 5 (Kumar dkk., 2010a).
Gambar 5. Struktur senyawa kaptopril (Kumar dkk., 2010a)
19
ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi yang kemudian menurunkan resistensi vaskular sehingga terjadi penurunan tekanan darah. ACE-inhibitor juga memberikan efek penurunan sekresi aldosteron yang kemudian menurunkan volume darah sehingga terjadi penurunan beban akhir jantung (afterload) (Nugroho, 2012). Berkurangnya aldosteron akan menyebabkan eksresi air dan natrium dan retensi kalium. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor (Syarif dkk., 2007). Kaptopril diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavailabilitas 70-75 %. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorbsi sekitar 30% sehingga obat diberikan 1 jam sebelum makan. Metabolisme kaptopril terjadi di hati dan eliminasi melalui ginjal (Syarif dkk., 2007). Secara klinik, ACE-inhibitor digunakan dalam penangan hipertensi, gagal jantung, infark miokardial, pasien dengan resiko iskemia jantung, diabetes nefropati, dan gangguan ginjal progresif (Nugroho, 2012). Obat ini juga menunjukkan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Efek samping yang bisa terjadi antara lain hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, ruam dan gangguan pengecapan, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria, dan efek teratogenik (Syarif dkk., 2007).
20
6.
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar yang
fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Pada analisis KLT, fase gerak yang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik, atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun. Fase gerak bisa diperoleh dari pustaka atau melalui orientasi awal dengan mencoba berbagai macam sistem fase gerak yang mampu memisahkan komponen senyawa yang dimaksud (Gandjar dan Rohman, 2007). Dua sifat penting fase diam dalam analisis KLT adalah besar partikel dan homogenitasnya karena keduanya mempengaruhi adhesi terhadap lapisan pendukung (Sastrohamidjojo, 2007). Fase diam yang banyak digunakan adalah silika gel. Mekanisme pemisahan terutama terjadi karena ikatan hidrogen atau interaksi dipol antara permukaan grup silanol dengan fase gerak yang bersifat lipofilik dan analit akan terpisah berdasarkan perbedaan polaritas (Sherma dan Fried, 2003). Identifikasi senyawa secara kualitatif didasarkan pada kombinasi karakteristik warna yang dihasilkan oleh selektif reagen pendeteksi dan nilai Rf (Sherma dan Fried, 2003). Bilangan Rf (Retardation factor ) didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pengembang (diukur dari garis awal) (Markham, 1988). Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih
21
dari satu fase gerak dan jenis pereaksi semprot. Teknik spiking dengan menggunakan senyawa baku yang sudah diketahui sangat dianjurkan untuk lebih memantapkan pengambilan keputusan identifikasi senyawa (Gandjar dan Rohman, 2007).
F. Landasan Teori Seledri, kumis kucing, dan mengkudu merupakan contoh tanaman yang digunakan secara empiris untuk menurunkan tekanan darah. Penelitian-penelitian dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah kebenaran data empiris tersebut. Selain itu, penelitian mengenai kandungan senyawa yang memiliki efek penurunan tekanan darah serta mekanisme aksinya juga banyak dilakukan. Ekstrak air dan etanol herba seledri yang diberikan secara injeksi intravena pada kelinci yang dianestesi dapat menurunkan tekanan darah purata yang tergantung dosis. Efek hipotensif singkat dan tekanan darah mencapai nilai basal sekitar 3-4 menit. Pada dosis tinggi, durasi respon hipotensif lebih panjang. Hasil evaluasi mengenai mekanisme kerja seledri dalam menurunkan tekanan darah berhubungan dengan blokade parsial komponen kolinergik. Hasil analisis fitokimia menyebutkan bahwa seledri mengandung flavonoid apigenin, luteolin, dan kuersetin. Senyawa apigenin seledri sudah dipelajari untuk efeknya pada pembuluh darah, yaitu menyebabkan efek vasodilatasi (Branković dkk., 2010). Selain itu, kandungan apigenin pada seledri telah terbukti memiliki efek antihipertensi yang mekanismenya sejenis dengan Calcium Channel Blocker (CCB) (Supari, 2002).
22
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol 30% tanaman kumis kucing, pegagan, sambiloto, dan tempuyung menghasilkan potensi aktivitas antihipertensi dalam penghambatannya terhadap enzim ACE secara in vitro. Semua ekstrak tunggal kecuali ekstrak tempuyung dapat menghambat aktivitas enzim ACE secara in vitro secara signifikan bila dibandingkan dengan kaptopril, dengan ekstrak kumis kucing 50 ppm mempunyai daya inhibisi tertinggi sebesar 76,98 %. Ekstrak kombinasi dari pegagan-kumis kucing-sambiloto memiliki daya inhibisi yang sangat tinggi yakni mencapai 86,99 % (Pradono dkk., 2010). Daun kumis kucing mengandung methylripariochromene p (MRC) yang memiliki efek vasodilatasi dan menurunkan curah jantung. Mekanisme ini mirip dengan mekanisme kerja beta blocker (Supari, 2002). Selain itu daun kumis kucing juga mengandung neoorthosiphol A dan B, sinensetin, dan tetrametil scutellarein yang menyebabkan relaksasi pada kontraksi yang diinduksi oleh 60 mM K+ atau 1-fenilefrin. Senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan volume urin setelah pemberian oral. Peningkatan volume urin tergantung dari dosis dan ekskresi urin yang mengandung elektrolit (Na+, K+, dan Cl-) meningkat hingga mencapai dua sampai tiga kali (Adnyana dkk., 2013). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak metanolik buah mengkudu mengandung skopoletin dan rutin hidrat yang menyebabkan penghambatan kontraksi yang dipicu oleh noradrenalin secara signifikan. Penghambatan kontraksi ini tergantung dari konsentrasi skopoletin dan rutin hidrat (Pandy dkk., 2014). Sumber lain menyebutkan bahwa jus mengkudu menunjukkan aktivitas penghambatan Agiotensin Converting Enzyme yang kuat.
23
Efek penghambatan jus dari buah yang masak lebih kuat daripada buah yang masih hijau. Penggunaan oral tunggal dari jus mengurangi takanan darah sistol secara spontan pada tikus jantan yang hipertensi. Skopoletin merupakan senyawa fenolik yang paling penting dalam jus mengkudu. Skopoletin yang diklaim dapat menurunkan tekanan darah karena memiliki efek vasodilator juga diduga memiliki efek penghambatan ACE (Kumar dkk., 2010b). Berdasarkan uraian hasil penelitian-penelitian sebelumnya di atas, herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu memiliki mekanisme yang berbeda dalam menurunkan tekanan darah. Herba seledri dan buah mengkudu memiliki efek vasodilator, sedangkan daun kumis kucing memiliki efek diuretik. Oleh karena itu, kombinasi ekstrak SKM diduga dapat menurunkan tekanan darah pada tikus normal melalui mekanisme-mekanisme tersebut.
G. Hipotesis 1.
Kombinasi ekstrak SKM memiliki efek terhadap tekanan darah pada tikus normal.
2.
Perubahan tekanan darah yang terjadi setelah pemberian kombinasi ekstrak SKM berupa penurunan tekanan darah.