1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KARIES

Download aktif dan 72,3% penduduk Indonesia memiliki riwayat karies gigi. Rata-rata tingkat kerusakan gigi akibat karies pada penduduk Indonesia yan...

0 downloads 426 Views 175KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Karies merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang paling banyak ditemukan di Indonesia (Aas dkk., 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa 53,2% penduduk Indonesia menderita karies gigi aktif dan 72,3% penduduk Indonesia memiliki riwayat karies gigi. Rata-rata tingkat kerusakan gigi akibat karies pada penduduk Indonesia yang diukur dengan indeks DMFT adalah 4,6. Tingginya prevalensi karies pada penduduk Indonesia menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Karies gigi didefinisikan sebagai penyakit pada jaringan keras gigi yang dapat menyebabkan demineralisasi komponen anorganik dan kerusakan komponen organik gigi. Karies merupakan penyakit multifaktorial yang disebabkan oleh interaksi dari inang (host), bakteri, diet karbohidrat terutama sukrosa dan waktu (Garg dan Garg, 2013). Kerusakan jaringan keras gigi pada karies dimulai dari permukaan pit, fissure, atau daerah interproksimal hingga meluas ke arah pulpa (Wala, 2014). Faktor utama terjadinya karies adalah plak gigi. Plak gigi merupakan akumulasi material translusen lunak yang melekat erat pada permukaan gigi (Jeevarathan, 2007). Plak terbentuk akibat proses kolonisasi dan agregrasi bakteri yang terjadi terus-menerus. Proses awal pembentukan plak adalah perlekatan bakteri inisiator

1

2

pada permukaan gigi. Koloni bakteri sekunder akan menempel pada bakteri inisiator plak sehingga terjadi proses koagregasi (Razak dan Rahim, 2003). Bakteri plak gigi yang berperan dalam perkembangan karies antara lain Streptococcus mutans, Streptococcus sobrinus, Lactobacillus sp., dan Actinomyces sp. (Jeevarathan, 2007). Streptococcus mutans sebagai bakteri penyebab karies memiliki faktor-faktor virulensi yang berperan dalam pembentukan karies. Faktor virulensi pertama adalah kemampuannya menghasilkan produk fermentasi karbohidrat berupa asam laktat. Asam laktat ini yang akan menyebabkan pH biofilm turun dan memicu terjadinya dekalsifikasi komponen anorganik jaringan keras gigi apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama (Ajdic dkk., 2002; Prabu dkk., 2006). Kondisi pH rendah atau asam tidak akan mempengaruhi keberadaan S. mutans pada rongga mulut karena bakteri ini mampu bertahan hidup pada pH rendah atau disebut asidurik. Kemampuannya untuk melekat pada permukaan gigi juga merupakan faktor virulensi lain yang dimiliki S. mutans (Simon, 2007). Perlekatan awal S. mutans pada permukaan gigi terjadi secara non spesifik dan dilanjutkan dengan perlekatan secara spesifik. Perlekatan secara non spesifik bersifat reversible dan terjadi ketika bakteri bergerak mendekati gigi kemudian melekat melalui gaya fisik. Gerak Brown, gaya van der Waals, dan interaksi hidrofobik merupakan bentuk perlekatan bakteri secara non spesifik (Gottenbos dkk., 2000; Katsikogianni dan Missirlis, 2004). Salah satu mekanisme perlekatan non spesifik yang dimiliki S. mutans untuk melekat pada permukaan gigi adalah sifatnya yang hidrofob. Hidrofobisitas adalah hubungan molekul non polar pada

3

lingkungan cairan yang terjadi karena kecenderungan molekul air yang menjauhi molekul non polar (McNaught dan Wilkinson, 1997). Hidrofobisitas S. mutans didukung oleh adanya komponen dari permukaan luar dinding sel berupa fimbria yang menyebabkan bakteri tidak mudah terlepas dari permukaan gigi (Kuramitsu, 1993). Perlekatan S. mutans secara spesifik pada permukaan gigi terjadi secara sucrose-dependent dan sucrose-independent. Perlekatan S. mutans secara sucroseindependent pada reseptor di pelikel gigi diperantarai oleh adhesin berupa antigen I/II. Proses selanjutnya terjadi secara sucrose-dependent, yang melibatkan aktivitas enzim glukosiltransferase (GTFs) yang akan mengubah sukrosa menjadi glukan. Perlekatan S. mutans yang terjadi secara sucrose-dependent difasilitasi oleh reseptor pada permukaan glukan yaitu glucan-binding protein (Ajdic dkk., 2002). Tanaman obat telah banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan dan pengobatan medis sejak zaman dahulu. Bahan alami yang berasal dari tanaman obat telah banyak digunakan sebagai alternatif pengganti bahan kimia sintetis. Dari sekitar 30.000 jenis tanaman yang ada di Indonesia, 940 jenis diantaranya merupakan tanaman obat yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Salah satu contoh tanaman obat yang sering dimanfaatkan masyarakat Indonesia adalah tanaman jambu biji (Psidium guava) (Allo dkk., 2013; Ravi dan Divyashree, 2014). Tanaman jambu biji diyakini masyarakat sebagai tanaman yang berkhasiat untuk pengobatan. Daun jambu biji dapat dimanfaatkan untuk mengobati sariawan dan luka, sedangkan bunga tanaman jambu biji memiliki khasiat untuk mengobati penyakit kulit (Allo, 2013). Khasiat lain dari tanaman jambu biji adalah sebagai

4

antidiare, antimikroba, antiparasit, antioksidan, antikanker, antiinflamasi pada membran mukosa dan laringitis (Ravi dan Divyashree, 2014). Komponen utama yang terdapat pada tanaman jambu biji adalah vitamin, tannin, komponen fenol, flavonoid, isoflavonoid, minyak esensial, dan asam triterpenoid. Daun jambu biji mengandung komponen fenol, isoflavonoid, catechin, epicatechin, rutin, naringenin, kaempferol sebagai antioksidan, antiinflamasi, antikanker, antimikroba, dan analgesik (Barbalho dkk., 2012). Dua kandungan flavonoid utama dalam daun jambu biji adalah guaijaverin yang berperan sebagai antibakteri dan quercetin yang berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba, serta antiinflamasi. Guaijaverin memiliki kemampuan untuk mengganggu ikatan hidrofobik perlekatan bakteri patogen pada permukaan gigi (Ravi dan Divyashree, 2014). Efek antiadhesi ekstrak air daun jambu biji (Psidium guajava) dan daun sirih (Piper betle) pada pembentukan awal plak sudah pernah diteliti oleh Razak dan Rahim tahun 2003. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa ekstrak air daun jambu biji dan daun sirih mampu mencegah perlekatan bakteri Streptococcus mitis, Streptococcus sanguinis dan Actinomyces sp. dengan cara mengganggu ikatan hidrofobik bakteri pada permukaan kaca yang dilapisi saliva. Prabu dkk. (2006) menyatakan bahwa ekstrak metanol daun jambu biji (Psidium guajava) memiliki efek antimikroba terhadap bakteri S. mutans. Komponen flavonoid dalam daun jambu biji yaitu guaijaverin menunjukkan efek antiplak dengan menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans. Ekstrak etil asetat daun jambu biji dilaporkan

5

memiliki minimum inhibitory concentration (MIC) sebesar 0,076 mg/ml terhadap bakteri S. mutans (Jebashree dkk., 2011). Pengolahan tanaman obat untuk mendapatkan khasiat suatu bahan tanaman dengan menggunakan metode ekstraksi sudah banyak dilakukan. Prosedur yang panjang dan alat-alat yang tidak semua dimiliki oleh masyarakat umum membuat metode ekstraksi sulit untuk diterapkan oleh masyarakat umum (Sirait dkk., 2001). Metode pengolahan tanaman obat yang dipilih dalam penelitian ini adalah perebusan daun jambu biji. Perebusan daun jambu biji lebih mudah diterapkan oleh masyarakat umum karena tidak memerlukan peralatan khusus dalam prosedurnya. Penelitian ini penting dilakukan agar masyarakat lebih mudah dalam memanfaatkan daun jambu biji sebagai tanaman obat.

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana hidrofobisitas bakteri S. mutans setelah dipapar rebusan daun jambu biji.

C. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu mengenai efek antiadhesi ekstrak air daun jambu biji (Psidium guajava) dan daun sirih (Piper betle) pada pembentukan awal plak telah dilakukan oleh Razak dan Rahim tahun 2003. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa ekstrak air daun jambu biji dan daun sirih mampu mencegah perlekatan bakteri Streptococcus mitis, Streptococcus sanguinis dan Actinomyces

6

sp. dengan cara mengganggu ikatan hidrofobik bakteri pada permukaan kaca yang dilapisi saliva. Prabu dkk. (2006) menyatakan bahwa ekstrak metanol daun jambu biji (Psidium guajava) memiliki efek antimikroba terhadap bakteri S. mutans. Komponen flavonoid dalam daun jambu biji yaitu guaijaverin menunjukkan efek antiplak dengan menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans. Sejauh peneliti ketahui, belum ada penelitian mengenai hidrofobisitas S. mutans setelah dipapar rebusan daun jambu biji secara in vitro.

D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hidrofobisitas S. mutans setelah dipapar rebusan daun jambu biji.

E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi potensi rebusan daun jambu biji untuk dapat dikembangkan sebagai bahan herbal antikaries gigi terkait dengan kemampuannya dalam menghambat perlekatan bakteri S. mutans. 2. Sebagai referensi bahan herbal alternatif untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut yang dapat secara mudah diproduksi oleh masyarakat. 3. Sebagai referensi informasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemanfaatan rebusan daun jambu biji.