Document not found! Please try again

144 PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN

Download nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/ sekularisme ... tujuan pembangunan ekonomi dan...

0 downloads 741 Views 387KB Size
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (Economic Growth And Sosial Welfare) Suradi Puslitbang Kesejahteraan Sosial Jln Dewi Sartika No 200 Cawang - Jakarta Timur E-mail : [email protected]

Abstrak Pembangunan kesejahteraan sosial perlu dipahami sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Oleh karena itu, pembangunan kesejahteraan sosial turut memberi kontribusi nyata dalam mencapai program pembangunan nasional, yakni pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial dan kelestarian lingkungan. Polemik tentang "kebohongan pemerintah" atau "kegagalan pemerintah" di media massa akhir 2010 dan awal 2011 yang disampaikan tokoh lintas agama, merupakan kritik dan koreksi publik atas kinerja pemerintah. Kritik dan koreksi yang dialamatkan kepada Presiden tersebut, sesungguhnya juga dialamatkan kepada Kementerian Sosial sebagai instansi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Sebagai respon atas kritik dan koreksi tersebut, maka Kementerian Sosial perlu melakukan reinventing pada program kesejahteraan sosial. Reinventing dilakukan mulai dari penataan desain dan manajemen program (terutama program penanggulangan kemiskinan), sumber daya manusia dan alokasi anggaran, serta pengendalian dari pusat hingga ke daerah. Kata kunci : pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, kebijakan sosial.

Abstract Social welfare development should be understood as an integral part of national development. Therefore, the social welfare development should contribute to the achievement of national development, economic growth, social stability and environmental sustainability. Polemics about "government lies" or "government failure" in the media late 2010 and early 2011 delivered of interfaith leaders are criticism and correction public toword the government's performance. Criticism and corrections are addressed to the President, actualy addressed to the Ministry of Social Affairs as the government agency that has the task and function of organize social welfare and poverty alleviation. In response to criticism and correction, the Ministry of Social Affairs need to reinventing the programs of social welfare development. Reinventing done from structuring the design and management of programs (especially poverty alleviation program), human resources and budget allocation, and control from the center to the regions. Keywords: economic growth, social welfare, social policy.

Pendahuluan Pembangunan dapat diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri

144

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh

akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/ sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional (D.T. Tikson dalam Zulkarnaen (2011). Kemudian dikemukakan oleh Todaro (Suharto, 2005), sedikitnya pembangunan harus memiliki tiga tujuan yang satu sama lain saling terkait, yaitu : 1. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan dasar, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan kepada seluruh anggota masyarakat. 2. Mencapai kualitas hidup yang bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan secara material, melainkan juga untuk mewujudkan kepercayaan diri dan kemandirian bangsa. Aspek ini meliputi peningkatan, penyediaan lapangan kerja, pendidikan dan budaya serta nilai kemanusiaan. 3. Memperluas kesempatan ekonomi dan sosial bagi individu dan bangsa melalui pembebasan dari perbudakan dan ketergantungan pada orang atau bangsa lain, serta pembebasan dari kebodohan dan penderitaan. Pembangunan tidak akan pernah berhenti pada waktu tertentu. Berdasar pada realitas, bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat terjadi silih berganti, dan tidak pernah selesai, bahkan cenderung semakin kompleks. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan secara terus menerus secara berkesinambungan dari fase ke fase, dan bahkan dari rezim ke rezim,

sebagaimana roda berjalan. Di dalam prinsip administrasi pembangunan, tercapainya tujuan pembangunan pada kurun waktu tertentu, menjadi awal dari pembangunan berikutnya, dan begitu seterusnya. Pada praktiknya, pembangunan di Indonesia dibagi ke dalam sektor-sektor yang masingmasing sektor menjadi tugas dan wewenang kementerian dan atau lembaga negara. Sektorsektor tersebut merupakan bagian atau subsistem dari sistem pembangunan nasional. Oleh karena itu, satu sektor dengan sektor lain saling mempengaruhi dan menentukan capaian tujuan pembangunan nasional. Hal ini berarti, bahwa keberhasilan atau kegagalan pembangunan kesejahteraan sosial, akan membawa implikasi terhadap capaian tujuan pembangunan nasional, dan begitu sebaliknya. Sehubungan dengan itu, maka kegagalan penyelenggaraan pembangun nasional tidak semata-mata kegagalan Presiden, akan tetapi juga kegagalan pimpinan di kementerian dan atau lembaga negara lain. Selain diarahkan kepada kementerian dan lembaga negara lain di tingkat Pusat, kegagalan dan keberhasilan pembangunan mestinya diarahkan juga kepada pemerintah provinsi dan kabupten/kota. Hal ini sesuai dengan UndangUndang RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomorm 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bahwa pemerintah provinsi dan kabupten/ kota memiliki tugas dan kewenangan untuk menyelenggarakan sebagian besar tugas-tugas pembangunan, baik anggaran yang ditransfer dari Pusat, maupun bersumber dari APBD. Sebagaimana telah terpublikasikan secara luas di berbagai media massa (Media Indonesia, 2011), bahwa pemerintah mengklaim telah berhasil dalam penyelenggaraan pembangunan. Keberhasilan dimaksud indikatornya, yaitu terjadi pertumbuhan ekonomi, tambahan cadangan devisa, pengurangan penduduk miskin dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

145

yang dicapai pemerintah tersebut langsung mendapat reaksi keras dari kalangan politisi, akademisi, praktisi maupun tokoh lintas agama. Mereka menyebut pemerintah telah melakukan ”kebohongan publik” atas laporan yang disampaikan Presiden tentang kinerja pemerintah selama tahun 2010. ”Kebohongan publik” dua kata yang terus bergulir seperti bola salju, dan cukup menguras tenaga dan pikiran banyak pihak untuk memperdebatkannya. Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan sosial. Seperti dikatakan berbagai pakar, bahwa meskipun kebijakan ekonomi yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan yang tepat dan modernisasi ekonomi, namun ternyata masalah-masalah kemiskinan dan ketertinggalan yang sangat besar tidak dapat dipecahkan dengan pertumbuhan ekonomi. Meskipun tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi, namun kemiskinan tetap menjadi masalah yang sangat besar (Midgley dan Conley, 2010). Lebih lanjut dikemukakan Van Roy, F (1997), bahwa pembangunan tidaklah sesederhana persoalan pertumbuhan, tapi merupakan perwujudan keseluruhan faktor-faktor sosial ekonomi yang kompleks. Jika pembangunan akan mencapai tujuan dan berkelanjutan, faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ditinjau dari sudut pandang kemanusiaan, menjadi jelas bahwa pembangunan sosial adalah penting bagi pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keserasian sosial. Pada saat sekarang, adalah tepat untuk mengambil jalan tengah dan mempertimbangkan pembangunan sosial dan ekonomi sebagai satu rangkaian sebab akibat yang saling terkait secara sinergis. Di sisi lain, pembangunan sosial merupakan bagian (sub-sistem) dari sistem pembangunan nasional. Artinya, pembangunan sosial ikut menyumbang data dan informasi

146

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

berkaitan dengan capaian tujuan pembangunan nasional. Sehubungan dengan itu, menurut Midgley dan Conley (2010), kebijakan pembangunan ekonomi perlu dikombinasikan dengan intervensi sosial dan bahwa tujuantujuan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial diberi titik berat yang setara dalam proses pembangunan. Pembangunan ekonomi wajib memberi manfaat kepada penduduk secara keseluruhan. Intervensi kesejahteraan sosial juga wajib memberi kontribusi positif pada pembangunan ekonomi. Sejalan dengan itu, pembangunan sosial memberi prioritas pada intervensi yang berorientasi investasi dan senafas dengan tujuan-tujuan pembangunan secara luas. Titik berat pada investasi sosial disebut juga pendekatan produktivitas dari kesejahteraan sosial. Mengukur Pembangunan Negara memiliki tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan. Menurut Adam Smith (Simarmata, 2008), tugas negara dimaksud, yaitu pertama, negara berkewajiban memberi rasa aman dari segala macam dalam bentuk apa pun bagi semua warganya. Situasi yang tidak stabil, baik secara sosial maupun politik, akan menyulitkan upaya mewujudkan kesejahteraan. Kedua, negara juga harus mendorong dan menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi semua warga. Pemikiran Adam Smith tersebut menegaskan, bahwa pembangunan diselenggarakan tidak semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi secara simultan juga berorientasi pada penciptaan kondisi sosial. Artinya, dimensi ekonomi dan sosial merupakan dua dimensi utama yang dapat digunakan sebagai titik masuk (entry point) untuk mengukur pembangunan. Selanjutnya, dikemukakan oleh Budiman (1996), ada lima cara untuk mengukur pembangunan, yaitu :

1. Kekayaan Rata-rata Pembangunan dipakai dalam arti pertumbuhan ekonomi. Masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan, apabila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Pada pendekatan ini yang diukur produktivitas masyarakat atau poduktiviats negara setiap tahun. 2. Pemerataan Kekayaan keseluruhan yang diproduksi oleh suatu bangsa, tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya. Oleh karena itu, timbul keinginan untuk memasukkan aspek pemerataan dalam ukuran pembangunan. Pemerataan diukur dengan melihat berapa persen dari PNB diraih oleh 40 persen penduduk miskin, berapa persen oleh 40 persen penduduk golongan menengah, dan berapa persen oleh 20 persen penduduk terkaya. Dalam ilmu ekonomi, apabila 40 persen penduduk miskin menerima kurang dari 12 persen, ketimpangan yang ada dianggap mencolok. Kalau 40 persen penduduk miskin menerima antara 12 – 17 persen, ketimpangan dianggap sedang. Apabila penerimaan golongan ini lebih dari 17 persen, ketimpangan dianggap kecil. Cara lain untuk mengukur ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat, yaitu dengan perhitungan Indeks Gini. Indeks Gini diukur dalam angka antara 0 dan 1. Apabila Indeks Gini sama dengan 1, terjadi ketimpangan yang maksimal, apabila 0, ketimpangan tidak ada. 3. Kualitas Kehidupan Untuk mengetahui kesejahteraan penduduk, digunakan tolok ukur Psyical Quality of Life Index (PQLI), yang mengukur tiga indikator, yaitu (1) rata-rata harapan hidup sesuadah umur satu tahun (2) rata-rata jumlah kematian bayi dan (3) rata-rata persentase buta dan melek huruf. Pada kenyataannya, terjadi ketidaksesuaian antara prestasi pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas kehidupan penduduk. Oleh karena itu, PQLI ini mengundang banyak kritik, karena

dinilai masih mengandung kelemahan dalam mengukur kesejahteraan penduduk. 4. Kerusakan Lingkungan Tingginya produktivitas, dan meratanya pendapatan penduduk, pada kenyataannya belum menjamin kemakmuran suatu negara. Hal ini disebabkan, bahwa pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi tersebut, tidak mempedulikan dan bahkan merusak lingkungan. Misal, terjadinya kerusakan sumber daya alam, dan polusi yang terjadi akibat limbah industri. 5. Keadilan Sosial dan Kesinambungan Pemerataan pendapatan faktor keadilan sosial dan faktor lingkungan, berfungsi untuk melestarikan pembangunan, supaya bisa berlangsung terus secara berkesinambangan. Faktor keadilan dan faktor lingkungan saling berkaitan erat. Keadilan sosial, bukanlah faktor yang dimasukkan atas dasar pertimbangan moral, yaitu demi keadilan saja. Tetapi faktor ini berkaitan dengan pelestarian pembangunan juga. Selanjutnya menurut Budiman (1996), bahwa pembangunan yang berhasil mempunyai unsur-unsur: 1) pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan 2) berkesinambungan, dalam arti: a) tidak terjadi kerusakan atau gejolak sosial, dan b) tidak terjadi kerusakan lingkungan alam. Berdasar pada pemikiran tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa diikuti dengan keteraturan sosial dan kelestarian lingkungan alam, maka pembangunan dapat dikatakan gagal. Dari ketiga unsur tersebut, secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi atau kemajuan ekonomi tolok ukurnya adalah tingkat ekspansi atau pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Konsep tersebut menuai kritik, bahkan ada pendapat yang menolak, karena menurut pendapat itu pembangunan ekonomi mengacu ke suatu Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

147

yang lebih sekedar pertumbuhan pendapatan per kapita nasional. Kemudian ada yang mencoba memasukkan lebih banyak indikator kesejahteraan ke dalam konsep pertumbuhan ekonomi tersebut. Todaro yang dikutip Nawawi (2009) mengemukakan, bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses multi-dimensional yang melibatkan perubahan besar-besaran atas struktur sosial, sikap masyarakat, institusi-institusi nasional, serta akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanggulangan ketimpangan pendapatan, serta penghapusan kemiskinan absolut. Kemudian dikemukakan oleh Albert Lauterbach yang dikutip oleh Nawawi (2009), bahwa definisi pembangunan ekonomi adalah suatu upaya menciptakan kondisi yang lebih baik bagi rakyat suatu negara secara keseluruhan, sesuai dengan kebutuhan mereka yang sesungguhnya, tanpa mengganggu sistem nilai dan caracara hidup mereka. Selanjutnya dikemukakan Munir (2008), bahwa pertumbuhan ekonomi disamping untuk peningkatan output, barang dan jasa untuk memenuhi keperluan hidup yang semakin bertambah, juga sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup maupun kualitas hidup masyarakat. Permasalahannya, pertumbuhan membawa dampak negatif pada kehidupan sosial budaya masyarakat. Usaha peningkatan output selalu disertai pula peningkatan polusi, baik polusi air, pembuangan limbah pabrik yang tidak terkontrol, polusi udara karena asap pabrik, knalpot mobil dan berbagai akibat proses produksi modern, perusakan tanah karena penebangan pohon-pohon yang tidak mengingat kondisi lingkungan, erosi karena pertambangan maupun polusi-polusi lain yang secara sendiri-sendiri maupun bersamasama menyebabkan turunnya kualitas hidup. Berjangkitnya penyakit-penyakit baru akibat polusi, penggunaan zat-zat kimia yang tidak 148

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

terkontrol, dan kurang diketahui pengaruhnya pada manusia, meningkatnya kebisingan, rusaknya penglihatan dan sejenisnya adalah akibat langsung dari pertumbuhan ekonomi. Disamping itu, urbanisasi, perubahan nilai kehidupan yang lebih mementingkan diri sendiri, perubahan sikap dan kelembagaan sosial seperti terhadap keluarga, upacara spiritual, tenggang rasa, persahabatan yang tulus, pengabdian dan sebagainya merupakan akibat tidak langsung dari pertumbuhan ekonomi. Semua itu adalah aspek negatif pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan realita tersebut, maka menurut Munir (2008) pertumbuhan ekonomi tidak sama dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mencakup pertumbuhan ekonomi juga mengandung arti terjadinya pertumbuhan dalam struktur output maupun input, perubahan dalam teknik produksi, dan perubahan dalam sikap dan perilaku sosial serta kerangka kelembagaan menuju keadaan dan taraf hidup yang secara menyeluruh lebih baik. Karena itu, pembangunan ekonomi merupakan proses yang berdimensi banyak dan bersifat menyeluruh. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka sesuangguhnya pertumbuhan ekonomi tidak mengejar angka-angka pertumbuhan atau PDB semata. Akan tetapi lebih menekankan pada kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak memiliki arti apapun, apabila pertumbuhan tersebut tidak berkualitas, yaitu pertumbuhan yang tidak memberikan dampak positif bagi terwujdunya kesejahteraan sosial. 2. Kesejahteraan Sosial Masalah kemiskinan dan ketidak merataan merupakan perhatian terpenting dari kebijakan kesejahteraan sosial pada dewasa ini. Untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan penduduk miskin yang semakin meningkat, pemerintah dan sektor-sektor yang menyediakan pelayanan sosial bermaksud untuk tidak hanya memberikan dukungan penghasilan pada perorangan tapi juga menggerakkan pemulihan ekonomi masyarakat luas secara keseluruhan (Chow, 2011). Kemudian dikemukakan oleh Zastrow (2009), bahwa tujuan kesejahteraan sosial menurutnya adalah memenuhi kebutuhankebutuhan sosial, keuangan, kesehatan dan rekreasional dan semua orang dimasyarakat. Kesejahteraan sosial berupaya untuk meningkatkan keberfungsian sosial semua kelompok usia, baik kaya maupun miskin. Apabila institusi-institusi lain di masyarkat (seperti keluarga dan ekonomi pasar) suatu waktu tidak dapat memenuhi kebutuhankebutuhan dasar dari perorangan atau kelompok-kelompok orang, maka pelayanan sosial dibutuhkan dan dituntut untuk memberikan pelayanan.

ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan).

Kesejahteraan sosial dalam pengertian yang luas mencakup dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan (Ife dan Tesoriero, 2008). Berbagai definisi kesejahteraan sosial dikemukakan oleh ahli pekerjaan sosial, dimana salah satunya menekankan kesejahteraan sosial sebagai kondisi sejahtera (Soetarso, 1980). Kesejahteaan sosial didefinisikan sebagai suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan (Suharto, 2005). Selanjutnya dikemukakan oleh Medgley (Adi, 2008), kesejahteraan sosial sebagai : a state or condition of human well-being that exists when sosial problems are managed, when human needs are met, and when social opportunities are maxminized (suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat kelola dengan baik, ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan

Midgley (2010) menegaskan, bahwa pembangunan ekonomi wajib menghasilkan perbaikan dalam wujud nyata dari kesejahteraan orang, dan sebaliknya kebijakan sosial harus berkontribusi pada pembangunan ekonomi. Perbaikan dalam kesejahteraan materil perlu menjadi titik berat pada kebijakan sosial yaitu berupa peningkatan standar kehidupan, pendidikan dan kesehatan serta sejalan dengan itu penguranagan kemiskinan, gizi buruk dan tuna aksara.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bahwa ”kesejahteraan sosial sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pengertian tersebut menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari suatu kegiatan pembangunan. Berdasarkan definisi dan pengertian kesejahteraan sosial tersebut, maka setiap kegiatan pembangunan di dalamnya meliputi dua dimensi utama, yaitu; 1) dimensi ekonomi yang berkaitan dengan aspek material; dan 2) kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan aspek spiritual dan sosial. Hal ini berarti, bahwa antara dimensi ekonomi dan dimensi kesejahteraan sosial tidak dapat dipisahkan dalam konsepsi pembangunan.

Kemudian dikemukakan oleh Kartasasmita (1996), bahwa dalam pembangunan ada akhlak yang mesti dipatuhi, guna mengetahui tujuan yang benar dari pembangunan tersebut, yaitu : 1. Pembangunan tidak menguntungkan satu kelompok dan mengorbankan kelompok yang lain. 2. Pembangunan tidak hanya menguntungkan sebagian orang, tetapi bermanfaat bagi banyak orang.

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

149

3. Pembangunan dilaksanakan dengan cara yang benar, baik dan tidak menghalalkan segala cara. 4. Pembangunan yang menjangkau aspek lahiriah sekaligus rohaniah manusia. 5. Pembangunan yang tidak merusak alam dan lingkungan. 6. Pembangunan yang dijalankan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan pada umumnya. Berdasar pemikiran tersebut, maka pertumbuhan ekononomi nasional yang tinggi tanpa diikuti dengan : pemerataan, kualitas kehidupan masyarakat, pemeliharaan sumber daya alam dan keadilan sosial, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak bisa diklaim sebagai keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, maka program-program kesejahteraan sosial lebih dibutuhkan pada saat ini dibandingkan dengan pernah dilakukan sebelumnya, karena adanya kecenderungan ketidak merataan penghasilan yang semakin meningkat, upah yang tidak naik, lapangan kerja yang tidak stabil, melemahnya kekuatan serikat pekerja, semakin meningkatnya jumlah warga Negara yang tidak memperoleh jaminan kesehatan dan meningkatanya jumlah pekerjaan yang berupa rendah (Karger and Kindle, 2008). Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Kesejahteraan Sosial Pembangun melalui berbagai sektor telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sumodiningrat (2007) mencacat programprogram pembangunan yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial, khususnya dalam pengurangan penduduk miskin di Indonesaia; yaitu; 1) Proyek Pendapatan Petani dan Nelayan, 2) Kelompok Usaha Bersama; 3) Tempat Pelayanan Simpan-Pinjam Koperasi Unit Desa; 4) Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam; 5) Pengembangan Kawasan terpadu; 6) Inpres 150

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

Desa tertinggal; 7) Program Pengembangan Kecamatan; 8) Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal; 9) Program penanggulangan Kemiskinan Perkotaan; 10) Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi; 11) Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah; dan 12) Program Pembangunan Sektoral. Program-program yang diselenggarakan pemerintah tersebut menunjukkan gambaran yang optimis, bahwa angka kemiskinan akan cepat diturunkan, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dapat diwujudkan. Akan tetapi pada kenyataannya, program-program tersebut belum menunjukkan kinerjanya sebagaimana yang diharapan. Angka kemiskinan di Indonesia masih cukup signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik, sampai dengan tahun 2010 populasi penduduk miskin di Indonesia berjumlah 31 juta jiwa sebesar 13,3 persen. Hal tersebut terjadi tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pendekatan pembangunan yang dipilih oleh pemerintah yang lebih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Pada rezim Orde Baru pendekatan tersebut dengn gigih diterapkan dengan asumsi, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan memberikan dampak positif secara langsung terhadap kesejahteraan rakyat dengan konsep trcikl-down effet. Pendekatan dengan sistem top-dwon tersebut diakui memang telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi, model pembangunan tersebut tidak berpihak pada permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan, menyebabkan jutaan penduduk hidup dalam batas kehidupan yang tidak layak, tanpa jaminan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri dan ideologi neoliberalisme tidak mampu mengatasi kemiskinan. Cara ini ternyata

hanya efektif menggelembungkan “ekonomi balon permen karet” (bubble gum economic) sambil menyuburkan kongklomerasi rapuh dan KKN, ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang tajam. Oleh karena itu, kritik dan koreksi atas pendekatan tersebut dilakukan oleh praktisi maupun akademisi tanpa henti, karena pada kenyataannya tidak memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat (Dewanta dkk, 1995; Suradi, 2006; Chamsyah, 2008). Kekeliruan memilih pendekatan pembangunan tersebut kenyataannya terjadi lagi pada rezim-rezim berikutnya. Pada tahun 2011, pemerintah amat yakin, bahwa ekonomi nasional akan tumbuh lebih dari 6 persen. Bahkan, mengklaim pertumbuhan ekonomi nasional sudah efektif meningatkan kesejahteraan rakyat. Pengangguran diprediksi akan susut menjadi 7,14 persen, padahal tahun-tahun sebelumnya double digit. Penduduk miskin yang dientaskan dari 2009 ke 2010 berjumlah 1.5 juta jiwa, atau dari 14,1 persen menjadi 13,3 persen (Media Indonesia 7/1- 2011). Di atas kertas, ekonomi nasional dilaporkan memang tumbuh. Tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Ironis, ketika pemerintah menyampaikan kinerja pembangunan, di Jepara Jawa Tengah terjadi tragedi, yaitu enam orang anak bersaudara kandung mati setelah makan tiwul karena tidak dapat membeli beras. Di daerah ini, tercatat 235 ribu jiwa warga atau 11 persen dari total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tragedi ini merupakan potret buram tentang kesejahteraan sosial di Indonesia (Media Indonesia, 7/1- 2011). Selain angka kemiskinan masih cukup signifikan, tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tercermin dari rasio Gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh. Data Indef menunjukkan

dalam lima tahun terakhir rasio Gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio Gini membentang dari nol sampai satu. Nol menunjukkan pemerataan, satu melambangkan ketimpangan. Gambaran ketimpangan tersebut makin nyata apabila dilihat dari jumlah dana pihak ketiga di perbankan. Data pada November 2010 menunjukkan rekening orang kaya, dengan nominal di atas Rp. 5 miliar, menguasai 39,52 persen total dana pihak ketiga di bank, berjumlah Rp. 2,2 triliun. Padahal, jumlah mereka hanya 0,04 persen. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat total dana masyarakat di bawah Rp. 100 juta yang hanya menguasai 17,38 persen. Padahal, jumlah rekening di bawah Rp. 100 juta mencapai 97,7 persen. Untuk menyelelenggarakan pembangunan, pada tahun 2011 pemerintah mengalokasikan anggaran dari APBN mencapai Rp. 1.229.5 triliun. Kenaikan belanja yang lebih dari dua kali lipat dalam kurun 12 tahun ini belum mendorong ekonomi secara signifikan. Belanja barang dan modal yang diharapkan menjadi pendorong ekonomi hanya mendapat porsi Rp 254 triliun atau sekitar 20 persen. Di sisi lain, APBN yang besar tersebut belum diikuti dengan penyerapan anggaran secara maksimal. Hal ini dapat dicermati dari penyerapan anggaran yang terus menerus bermasalah, tidak pernah tuntas. Sistem anggaran dibuat defisit, tetapi sisa anggaran sudah mencapai Rp 90 triliun. Hampir separuh anggaran diserap di dua bulan terakhir setiap tahun. Selama pola anggaran masih seperti itu, maka akan sulit mendekatkan pertumbuhan dengan kesejahteraan (Media Indonesia, 7/1- 2011). Isu ketimpangan atau kesenjangan ini bukan sesuatu yang baru terjadi. Ketimpangan yang tidak dapat dilepaskan dengan kemiskinan, lebih intensif menjadi pembicarakan di kalangan praktisi maupun akademisi pada awal tahun 90an. Para praktisi dan akademisi memberikan koreksi dengan keras, karena penyelenggaraan

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

151

pembangunan tidak sesuai dengan cita-cita semula. Indikasinya, yaitu masih tingginya angka kemiskinan dan terjadinya ketimpangan atau kesenjangan pembangunan baik pola ekspresi secara struktural maupun kultural (Sudibyo, 1995). Kemudian ditambahkan oleh Pamungkas (1995), bahwa ketidakmerataan hasil pembagunan sangat terkait dengan model pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan dan mengabaikan pemerataan. Hal itu terjadi sebagai akibat inefisiensi dari sektor industri yang terlampau proteksionis. Meskipun pemerintah telah menyampaikan hasil kerjanya berdasarkan data yang dihimpun dari instansi yang kompeten, laporan kinerja pemerintah mengundang protes keras dari para praktisi, akademisi dan tokoh lintas agama. Pemerintah (yang dialamatkan ke Presiden) dinilai telah melakukan “kebohongan publik”, karena apa yang dilaporkan pemerintah tidak menggambarkan kondisi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Masih banyak kekurangan-keberhasilan pemerintah (“18 dosa pemerintah”), pada bidang atau sektor ekonomi, hukum, politik dan sosial (Media Indonesia, 7/1-2011). Meskipun pemerintah mengklaim, bahwa angka kemiskinan menurun dari 2009 ke 2010 berjumlah 1.5 juta jiwa, atau dari 14,1 persen menjadi 13,3 persen, tetapi menurut para praktisi, akademisi maupun tokoh lintas agama, yang terjadi malah sebaliknya. Harga-harga kebutuhan pokok tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah, sehingga daya beli masyarakat atas kebutuhan pokok tersebut semakin menurun. Meskipun bersifat kasuistis, tragedi kelaparan dan gizi buruk masih terjadi di beberapa wilayah sebagai gambaran terjadinya kemiskinan di Indonesia (lihat Pramudiarja, 2010; http://www. surya.co.id, Okt 2010). Kemudian data yang memerlukan perhatian pemerintah secara serius, bahwa data terakhir FAO mencatat terdapat sebanyak 150 juta orang Indonesia kelaparan

152

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

hingga akhir tahun 2009 (http://www.surya. co.id). Reinventing Pembangunan Kesejahteraan Sosial Pembangunan nasional meliputi berbagai sektor, yaitu: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan atau Ipoleksosbudhankam. Atas dasar itu, maka pembangunan sosial, yang termasuk di dalamnya sektor kesejahteraan sosial - sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Hal ini berarti, bahwa sektor kesejahteraan sosial memiliki kontribusi dalam menentukan kinerja pembangunan nasional. Di dalam kerangka pikir itu, maka sangat relevan membahas reinventing pembangunan kesejahteraan sosial. Perlu kiranya dipahami terlebih dahulu pemikiran Chow (2011), bahwa pembangunan sosial/kesejahteran sosial memiliki ciri-ciri penting yaitu upaya untuk menyerasikan kebijakan sosial dengan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan pembangunan ekonomi secara spesifik ada empat ciri dari pembangunan sosial : 1. M e n g i n t e g r a s i k a n / m e n y e r a s i k a n kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi, yang mempersyaratkan pengaturan secara formal keterkaitan secara efektif kebijakan dan program sosial dengan ekonomi. Kebijakan sosial dan ekonomi adalah dua unsur penting dari suatu proses pembangunan transformatif dan berkelanjutan. 2. Pembangunan sosial memanfaatkan kebijakan ekonomi untuk mencapati tujuantujuan sosial. Pembangunan ekonomi wajib meningkatkan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. 3. Kebijakan dan program-program sosial memberikan kontribusi secara positif pada pembangunan ekonomi. Strategi peningkatan investasi sosial yang menggerakkan partisipasi dalam ekonomi produktif wajib

memberikan manfaat pada seluruh penduduk sama halnya dengan penerima pelayanan kesejahteraan sosial. 4. Pada dasarnya pendekatan pembangunan sosial berupaya untuk menyerasikan kebijakan sosial dan ekonomi untuk memperoleh hasil yang bercirikan memaksimalkan penghasilan, pembentukan asset, merata dan inklusif. Kemudian Sumodiningrat (2009), dalam Bukunya ”Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa: Menanggulangi Kemiskinan dan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat”, mencatat berbagai keunggulan yang ditemukan pada program kesejahteraan sosial, terutama pada program pemberdayaan fakir miskin. Keunggulan dimaksud, yaitu kekuatan pada konsep dengan prinsip Kerja - Untung - Nabung atau KUTABUNG. Konsep yang kental dengan pendekatan ekonomis tersebut, memang bagus di atas kertas. Tetapi pada praktiknya masih jauh dari tujuan yang diharapkan. Artinya, masih banyak titik-titik lemah dari impelementasi program pemberdayaan fakir miskin tersebut (Suradi dan Mudjiyadi, 2009). Implementasi kebijakan sosial ke dalam program dan kegiatan, pada kenyataannya juga masih dihadapkan dengan komitmen penanggung jawab dan pelaksana program, baik di Pusat maupun di Daerah. Padahal, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan jelas dan tegas memberikan kewenangan kepada Daerah (provinsi dan kabupatean/kota) untuk menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial. Tetapi amanat undang-undang tersebut belum dipahami dengan baik oleh Daerah, sehingga program kesejahteraan sosial belum menjadi prioritas. Anggaran pembangunan kesejahteraan sosial di daerah, menyerap anggaran dari APBN yang sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan Daerah dari APBD. Dengan kata

lain, tingkat ketergantungan Daerah terhadap Pusat masih sangat kuat (Siahaan, 2008). Kondisi tersebut cukup menggambarkan, bahwa komitmen Daerah dalam penyelenggaraan pembangunan sosial masih rendah. Pada umumnya Daerah lebih berkomitmen untuk program-program yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur. Pembangunan kesejahteraan sosial belum dipahami sebagai investasi sosial, dan sebaliknya masih dipahami sebagai program pemborosan atau konsumtif. Oleh karena itu, tentu sulit mengharapkan kinerja pembangunan kesejahteraan sosial, selama tidak ada komitmen yang kuat, mulai dari Pusat hingga ke Daerah. Berkaitan dengan reinventing program kesejahteraan sosial, Chamsyah (2008) mengajukan pemikiran tentang kebijakan pembangunan sosial yang perlu ditempuh, yaitu: 1. Penetapan legislasi berupa perundangundangan dan kebijakan bagi penyelenggaraan program jaminan sosial. 2. Mengembangkan kebijakan dan strategi pelayanan perlindungan sosial, khususnya terhadap hak-hak dasar warga masyarakat yang rentan dan tidak mampu untuk mendapatkan akses pelayanan sistem jaminan sosial. 3. Mengembangkan model kelembagaan yang berbentuk kearifan lokal. 4. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat dan lingkungan dalam upaya penyelesaian timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, anak dan lanjut usia. 5. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat secara partisipatif melalui upaya penghindaran dan antisipasi sedini mungkin terhadap timbulnya bencana sosial. 6. Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi terjadinya bencana alam yang meliputi aspek penguasaan teknologi dan kemampuan petugas dan Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

153

masyarakat dalam penanggulangan bencana alam. 7. Peningkatan kesiapsiagaan bantuan dan peralatan penanggulangan bencana alam. 8. Pengembangan sistem dan mekanisme penanggulangan bencana alam yang sesuai dengan kondisi daerah rawan bencana alam. 9. Pendampingan sosial dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi sosial psikologis korban bencana alam dan sosial. Ketika kebijakan tersebut dioperasionalkan ke dalam program dan kegiatan, maka diperlukan dukungan SDM yang profesional (knowledge, skill, attitute), penelitian dan pengembangan, pengendalian (supervisi, monitoring, evaluasi) dan pengawaan. Komponen-komponen tersebut meskipun fungsinya sebagai penunjang kegiatan substantif, tetapi ikut menentukan keberhasilan dan kesinambungan program pembangunan kesejahteraan sosial. Kemudian di dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, Presiden memberi mandat kepada Kementerian dan Lembaga Negara Pusat maupun Daerah, untuk melakukan langkahlangkah strategis dan konkrit, meliputi: 1) program pro rakyat; 2) keadilan untuk semua; dan 3) pencapaian tujuan pembangunan Milenium (MDG’s). Program pro rakyat memfokuskan pada : 1. Program penanggulangan berbasis keluarga.

kemiskinan

2. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. 3. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha kecil dan mikro. Program keadilan memfokuskan pada :

untuk

semua,

1. Program keadilan bagi anak. 2. Program keadilan begi perempuan. 3. Program keadilan bidang ketenaga-kerjaan. 154

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

4. Program keadilan di bidang hukum. 5. Program keadilan di bidang reformasi hukum dan peradilan. 6. Program keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan. Program pencapaian tujuan pembangunan Milenium (MDG’.s), memfokuskan pada : 1. Program pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. 2. Program pendidikan dasar untuk semua. 3. Program pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 4. Program penurunan angka kematian anak. 5. Program kesehatan ibu. 6. Program pengendalian HIV/ADIS, malaria dan penyakit menular lainnya. 7. Program penjaminan kelestarian lingkungan hidup. 8. Program pendukung percepatan pencapaian tujuan pembangunan Milenium (MDG.s). Dari sejumlah program yang menjadi fokus kebijakan nasional tersebut, program penanggulangan kemiskinan (berbasis keluarga dan berbasis masyarakat), program keadilan bagi anak dan perempuan, dan program pemberantasan kemiskinan dan kelaparan; merupakan program-program yang menjadi tugas dan fungsi (tusi) dari Kementerian Sosial RI. Dua program yang dirancang untuk menanggulangi kemiskinan dikembangkan oleh Kementerian Sosial RI, yaitu Program Pemberdayaan Fakir Miskin Perdesaan dan Pemberdayaan Fakir Miskin Perkotaan. Program tersebut dibagi ke dalam tiga herarki, yaitu; 1) penumbuhan usaha; 2) pengembangan usaha; dan 3) kemitraan usaha dengan Swasta dan LKM dengan menggunakan pendekatan kelompok (KUBE). Chamsyah ketika menjadi Menteri Sosial RI, menyampaikan keunggulan-keungulan dari program penanggulangan kemiskinan dalam bukunya “Reinventing Pembangunan Sosial

untuk Kesejahteraan Mayarakat” (Chamsyah, 2009). Terlepas dari keunggulan-keunggulan secara konseptual menurut Chamsyah tersebut, sampai saat ini Kementerian Sosial RI belum memiliki data, berapa jumlah atau persentase orang dari jumlah penerima program sudah tidak miskin lagi. Atau seberapa besar dampak program penanggulangan kemiskinan terhadap pengurangan penduduk miskin secara nasional. Hasil penelitian Suradi (2009) di Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa impelemetnasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (P2FM-BLPS) memberikan pengaruh positif atau terjadi peningkatan taraf kehidupan lebih baik hanya kepada 32,33 persen warga miskin (penerima program). Angka ini tentu masih jauh dari tujuan yang diharapkan dalam pengurangai penduduk miskin secara nasional. Belum optimalnya kinerja program tersebut, disebabkan oleh lemahnya desain program, pendampingan, manajemen, sistem pengendalian pada semua jenjang. Sehubungan dengan itu, maka reinventing pembangunan kesejahteraan sosial saat ini menjadi keharusan. Hal ini didasarkan pada asumsi, bahwa : 1. Pembangunan kesejahteraan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Sehubungan dengan itu, maka kebijakan teknis pembangunan kesejahteraan sosial hendaknya berada pada track kebijakan pembangunan nasional. Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial akan memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional. Begitu sebaliknya, apabila penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial mengalamai kegagalan (capaian tidak optimal), maka capaian tujuan

pembangunan nasional juga tidak optimal. Bahkan dapat menyumbang rapor merah terhadap kinerja pemerintah. 2. Pembangunan kesejahteraan sosial berhubungan langsung dengan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran program pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok rentan dan tidak beruntung atau dikenal dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial, tentu akan dapat menekan jumlah dan kompleksitas permasalahan sosial, termasuk penduduk miskin. Begitu sebaliknya, apabila penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial tidak optimal, yang akan terjadi adalah makin banyak dan kompleksnya permasalahan sosial. Kondisi ini tentu membawa implikasi yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menyangkut aspek sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum. Reinventing pembangunan kesejahteraan sosial tidak hanya menitikberatkan pada kebijakan dan program. Tetapi dilakukan secara menyeluruh, yang dimulai dari konsep, penataan organisasi, SDM, infrastruktur, program, manajemen dan pengalokasian anggaran, baik pada tingkat Pusat maupun Daerah. Visi Kementerian Sosial RI ”Mewujudkan Kesejahteraan Sosial”, merupakan rujukan sekaligus tujuan yang hendak dicapai dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial. Visi tersebut di dalamnya mencakup misi yang kemudian diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan teknis, baik sifatnya pencegahan, pelayanan, rehabilitasi, perlindunan dan pengembangan. Reinventing juga mencakup trademark, kata kunci dan fokus perhatian kebijakan, program dan kegiatan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pada dasa warsa terakhir ini, Kementerian Sosial RI seperti kehilangan jati diri dan melupakan core bisnisnya, yaitu

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

155

”kesejahteraan sosial” dan ”keberfungsian sosial”. Di dalam pedoman kerja dan diskusidiskusi tentang pembangunan kesejahteraan sosial, mahal sekali untuk mendengar kata ”keberfungsian sosial”. Oleh karena itu, perlu ada satu pemahaman, bahwa ”kesejahteraan sosial” dan ”keberfungsian sosial”, hendaknya menjadi ideologi dan spirit bagi penyelenggaraan kesejahteraan sosial, mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah. Kesimpulan Pertumbuhan ekonomi tidak serta merta meningkatkan taraf kesejahteraan sosial, apabila tidak diikuti dengan pemerataan pendapatan, atau peniadaan kesenjangan sosial. Sehubungan dengan itu, pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, dan dirancang secara khusus untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ambil bagian dalam peniadaan kesenjangan sosial. Program-program kesejahteraan sosial, khususnya program pemberdayaan masyarakat miskin yang selama ini dilaksanakan Kementerian Sosial, perlu dilakukan evaluasi secara serius, sehingga dapat diperoleh informasi titik-titik lemah pada program tersebut. Reinventing program pembangunan kesejahteraan sosial merupakan tuntutan, yang dimulai dari penguatan komitmen pada jajaran Kementerian Sosial dan instansi sosial di daerah. Aspek-aspek terkait dengan itu, yaitu regulasi berkenaan dengan rekuitmen SDM, penataan personal dalam struktur organisasi, review konsep dan desain program, manajemen penyelenggaraan program dan pengendalian. Semua itu menunjukkan adanya political will Menteri Sosial RI yang memperoleh mandat dari Presiden untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ***

156

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

Daftar Pustaka Adi, Isbandi Rukminto, (2008). Intervensi Komunitas : Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta : CV Rajawali Press. Anonim, Badan Pusat Statistik, (2010). “Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi”. Budiman, Arif, (1996). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : Gramedia. Chamsyah, Bachtiar, (2008). Reinventing Pembangunan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Indonesia. Jakarta : Trisakti University Press. Chow, Chun-Chung, J, (2011). “Strengthening Sosial Welfare Policy and Sosial Work Profession for Poverty Alleviation: Challenges for ASEAN Countries”. Paper presented at International Confernce on Sosial Welfare Issues in the ASEAN Region, Jakarta : Indonesia. Dewanta, Awan, dkk, (1995). Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Ife, Jim dan Frank Tesoriero, (2008). Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi (Community Development). Yogyakarta : Tiara Wacana. Kartasasmita, Ginanjar, (1996). Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : CIDES. Karger, H. and Kindle, PA, (2008). “Social Welfare and Economics: Redifining the Welfare State in a Global Economy”, in Sowers, K.M. and Dulmus,C.N.(Eds.) Comprehensive:Social Policy and Policy

Practice. New Yersey : John Wiley and Sons, Inc. Anonim, (2011). ”Korban Tiwul Potret Kemiskinan”, Media Indonesia, Januari 2011. Anonim, ”Tersihir Pertumbuhan Semu”. Media Indonesia, (Editorial) Januari 2011. Midgley, J. and Conley, A, (Eds.), (2010). Social Work and Social Development: Theories and Skills for Developmental Social Work. Oxford :University Press. Munir, S. (2008). Pengantar Ilmu ekonomi Makro: Pertumbuhan Ekonomi (Modul 4). Jakarta : Fakultas Ekonomi Klas Karyawan Universitas Mercu Buana. Nawawi, Imam, (2009). Pembangunan dan Problema Masyarakat : Kajian Konsep, Model, Teori dari Aspek ekonomi dan Sosiologi. Surabaya : ITS Press. Pramudiarja, U, (2010). Kelaparan Hambat Aktiviats Belajar Anak Indonesia. Jakarta: http://www.detikhealth.com Siahaan, Rondang M. (2008). Tangggung Jawab Sosial Inatansi Sosial dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Biro Perencanaan Departemen Sosial RI

Soetarso, (1980). Kesejahteraan Sosial, Pelayanan Sosial dan Kebijakan Sosial. Bandung. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Suharto, Edi, (2005). Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung : Alfabeta. Sumodiningrat, Gunawan, (2007). Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa : Menanggulangi Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta : PT Alex Gramedia Komputindo. Suradi (Editor), (2006). Kemiskinan dan Politik Pembangunan Sosial. Yogyakarta: Citra Media. Van Roy, E, (1997). “Towards a Comprehensive Strategy for Poverty Alleviation in Asia and the Pacific.Papaer”, (presented at the 27th Asia And Pasific Regional Conference of ICSW, Jakarta, Indonesia). Zastrow, Charles, (2009). Social Work with Group: A Comprehensive Work Book (7th ed), Belmont, CA : Brooks/Cole. Zulkarnaen, Fanny, Pembangunan”. Andalas.

(2011). “Pengertian Padang: Universitas

Simarmata, H. T, (2008). Negara Kesejahteraan dan Globalisasi : Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. Jakarta : Universitas Paramadina.

Informasi, Vol. 17, No. 03

Tahun 2012

157