16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. KONSEP PENGEMBANGAN

Download yaitu Konsep Pembangunan dari atas (Development from Above), Konsep ... baik sumberdaya alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan, ... l...

0 downloads 444 Views 588KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal Secara garis besar dikenal tiga konsep utama dalam pengembangan wilayah, yaitu Konsep Pembangunan dari atas (Development from Above), Konsep Pembangunan dari Bawah (Development from Bellow) dan Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development). Konsep pertama dan kedua ternyata belum mampu menjawab seluruh dampak yang terjadi, khususnya dampak negatif berupa terjadinya disparitas wilayah. Konsep pertama cenderung menguntungkan wilayah yang lebih besar. Wilayah dengan potensi sumberdaya lebih kaya akan menghisap sumberdaya wilayah dibelakangnya (backwash effect) sehingga mengakibatkan terjadinya disparitas wilayah. Konsep Pembangunan dari Bawah secara konsepsi memungkinkan wilayah yang lebih kecil membangun dirinya sendiri karena terpisah dari wilayah lainnya. Namun pada kenyataannya, pembangunan lebih mengarah pada sistem pasar. Akibatnya hubungan antara wilayah menjadi tidak ada batas, yang kemudian dikenal dengan istilah globalisasi. Ini berarti Konsep Pembangunan dari Bawah sulit sekali diterapkan. Kondisi tersebut diatas mendorong timbulnya Konsep Pengembangan Wilayah dengan pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Konsep ini telah dikembangkan pada konteks Eropa Barat, namun semakin dirasakan relevansinya untuk negara berkembang seperti Indonesia (Firman,1996). Fenomena yang terjadi di Indonesia bahwa beberapa wilayah masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat dan belum dapat secara optimal memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki sebagai pendorong pengembangan wilayahnya. Pengembangan Ekonomi Lokal diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki, baik sumberdaya alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan, pendidikan tinggi, asosiasi profesi dan lain-lain. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala komunitas). Titik sentralnya adalah mengorganisir serta mentransformasi potensi-potensi tersebut menjadi penggerak bagi pengembangan ekonomi lokal (Firman, 1999). Blakely (1989) menambahkan bahwa pengembangan ekonomi lokal adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan atau kelompok masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan mengambil bagian dalam susunan persekutuan (partnership) dengan sektor 16

swasta atau yang lainnya, menciptakan lapangan kerja dan merangsang kegiatan ekonomi dalam zona perekonomian yang telah ditetapkan dengan baik. Ciri utama dari pengembangan ekonomi lokal ini didasarkan pada kebijakan pengembangan endogen (endogenous development) yang menggunakan kekuatan lokal sumberdaya manusia, kelembagaan dan fisik. Selanjutnya Blakely menambahkan bahwa pemerintah daerah, lembaga kemasyarakatan dan sektor swasta merupakan partner penting dalam proses pengembangan perekonomian lokal. Selanjutnya Coffey dan Polese (1984) dalam Taufik 2005 memberikan pengertian PEL sebagai peningkatan peran elemen-elemen endogenous dalam kehidupan sosial ekonomi suatu lokalitas dengan tetap melihat keterkaitan serta integrasinya secara fungsional dan spatial dengan wilayah yang lebih luas. Pada intinya PEL diartikan sebagai tumbuhnya kewirausahaan lokal serta berkembangnya perusahaan lokal. Sejalan dengan pernyataan diatas, Schumpeter (1961) dalam Coffey dan Polese (1984), menambahkan bahwa konsep PEL yang dibangun atas dasar semangat jiwa kewirausahaan dapat dijadikan penggerak utama ekonomi masyarakat. Peningkatan ekonomi masyarakat merupakan salah satu indikasi didalam pengembangan wilayah. Empat tahapan dari proses pengembangan lokal menurut Coffey dan Polese (1984) adalah sebagai berikut : 1. Tumbuh kembangnya kewiraswastaan lokal, yaitu masyarakat lokal mulai membuka bisnis kecil-kecilan, mulai mengambil resiko keuangan dengan menginvestasikan modalnya dalam kegiatan bisnis baru. 2. Pertumbuhan dan perluasan perusahaan-perusahaan lokal, yaitu lebih banyak perusahaan yang mulai beroperasi dan perusahaan-perusahaan yang sudah ada semakin bertambah besar dalam hal penjualan, tenaga kerja dan keuntungannya (lepas landasnya perusahaan lokal) 3. Berkembangnya perusahaan-perusahaan lokal keluar lokalitas 4. Terbentuknya suatu perekonomian wilayah yang bertumpu pada kegiatan dan inisiatif lokal serta keunggulan komparatif aktivitas ekonomi lokal tersebut.

Dengan demikian pengembangan perekonomian lokal umumnya merujuk pada pengembangan lokal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai landasannya, atau dengan kata lain pengembangan lokal adalah pertumbuhan ekonomi yang dimulai pada tingkat lokal dan terjadi dalam kondisi lokal yang sudah ada (sistem pasar bebas yang sudah ada). Dengan istilah sederhana, pengembangan ekonomi lokal menunjuk pada suatu 17

bentuk khusus dari pengembangan lokal dimana faktor-faktor internal atau lokal memainkan peran utama atau dapat juga menggunakan istilah pengembangan yang didasarkan pada lokalitas (locally based development). Aplikasi dari Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal dapat dilakukan melalui pengembangan industri, terutama melalui industri kecil. Peranan industri dalam pertumbuhan wilayah salah satunya dikemukakan oleh Yeates and Gardner (dalam Tambunan dkk, 2002) bahwa kegiatan industri merupakan salah satu faktor penting dalam mekanisme perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Kaitan perkembangan wilayah dengan kegiatan industri merupakan proses yang simultan. Hal ini disebabkan oleh adanya efek multiplier dan inovasi yang ditimbulkan oleh kegiatan industri berinteraksi dengan potensi dan kendala yang dimiliki wilayah.

II.2. Peranan Industri Kecil Kerajinan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Konsep pembangunan seringkali dikaitkan sebagai suatu proses. Proses industrialisasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Industrialisasi juga tidak lepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal. Soepono (2000) dalam Wibowo menyatakan bahwa peranan industri kecil di Indonesia adalah karena persebarannya yang merata diseluruh tanah air, membentuk suatu saluran pemasaran barang dan jasa yang efektif, memanfaatkan bahan baku lokal dalam proses produksinya, menyediakan peluang kerja, sarana mengembangkan kewirausahaan, memperkuat struktur ekonomi dengan kemampuannya untuk mengaitkan dengan industri menengah dan besar. Industri kecil atau industri kerajinan mempunyai peranan yang strategis, baik dalam aspek pemerataan kesempatan berusaha yang menumbuhkan banyak wiraswasta dalam sektor industri; pemerataan penyebaran lokasi industri yang mendorong pembangunan daerah; pemerataan kesempatan kerja; maupun dalam menunjang program ekspor non migas dan melestarikan seni budaya bangsa. II.2.1. Pengertian Industri Kecil Diberbagai Negara dan lembaga terdapat berbagai pengertian yang berbeda mengenai industri kecil yang dianut. Di Indonesia terdapat berbagai pengertian, masingmasing dengan kriteria yang berbeda. Industri kecil adalah kegiatan manufaktur dengan jumlah tenaga kerja 5 – 19 orang (Biro Pusat Statistik), dengan modal kurang dari Rp. 20 18

juta dan modal maksimum untuk satu siklus produksi Rp. 25 juta (Bank Indonesia). Secara lebih lengkap, Deperindag mendefinisikan industri kecil adalah industri dengan teknologi madya (tradisional), merupakan organisasi padat karya dengan kekayaan keseluruhan tidak lebih dari Rp. 600 juta, investasi per pekerja tidak lebih dari Rp. 625 ribu dan investasi peralatan (tidak termasuk tanah, gedung dan pembangkit listrik) tidak lebih dari Rp. 300 juta. Industri kecil tergolong dalam batasan Usaha Kecil menurut Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka batasan Industri kecil didefinisikan sebagai berikut : “ Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, dan mempunyai nilai penjualan pertahun sebesar Rp. 1 milyar atau kurang”. Berdasarkan karakteristik faktor produksinya yaitu bahan baku, tenaga kerja, permodalan, teknologi, pemasaran, misi, pengelolaan dan keterkaitannya, industri kecil dibedakan ke dalam 3 jenis (Rosyidie, 1987 ; Wie, 1996) yaitu : a. Industri Kecil Modern (IKM) meliputi industri kecil dengan ciri-ciri menggunakan teknologi madya; skala produksi yang terbatas; tergantung pada dukungan litbang dan industri-industri rekayasa (industri besar); dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah melalui sistem subkontrak, menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya; kualitas produk relatif baik dengan kemampuan bersaing dan jangkauan pasar relatif luas; dengan sistem pemasaran domestik dan eksport; lebih berorientasi profit dibandingkan perluasan lapangan kerja; sistem pengelolaan industri formal dengan pembagian kerja yang jelas. b. Industri Kecil Tradisional (IKT) dengan ciri – ciri : menggunakan teknologi proses sederhana; teknologi pada bantuan unit pelayanan teknis (UPT) yang disediakan pemerintah sebagai bagian dari program bantuan teknis; mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal relatif sederhana; tenaga kerja tidak berkeahlian khusus; bahan baku dan modal industri terbatas; produk dengan jumlah dan kualitas terbatas; akses untuk menjangkau pasar diluar lingkungan langsungnya yang berdekatan terbatas; lokasinya di daerah perdesaan dan memiliki kaitan dengan sektor lain (pertanian, perdagangan, tenaga kerja) c. Industri Kecil Kerajinan (IKK) yang meliputi berbagai industri kecil yang sangat beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi sederhana, teknologi 19

madya dan bahkan teknologi tinggi; tenaga kerja dengan ketrampilan khusus; produk barang kerajinan dan khas dengan jangkauan pasar lokal hingga eksport. Berdasarkan kriteria diatas maka dapat dikatakan bahwa industri kecil kerajinan adalah bagian dari industri kecil yang dalam proses produksinya membutuhkan ketrampilan khusus dari tenaga kerjanya. Hasil produksi industri kerajinan ini memiliki nilai seni yang tinggi dan membutuhkan kreatifitas dari pengrajin.

Industri kecil

kerajinan ini sebagian besar masih berskala industri rumah tangga, maka oleh sebab itu industri kecil kerajinan dikelompokkan kedalam industri kecil kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan ini dalam proses produksinya dibedakan atas dua yaitu industri kerajinan tangan yang lebih dikenal dengan handycraft dan industri kerajinan (menggunakan mesin).

II.2.2. Pengembangan Industri Kecil Kerajinan untuk menunjang Pengembangan Ekonomi Lokal Industri kecil, khususnya industri kecil kerajinan seringkali dipandang sebagai sektor marginal dengan berbagai kelemahan yang antara lain sebagai berikut : 

Tidak mempunyai perencanaan tertulis baik perencanaan produksi, perencanaan pasokan barang, perencanaan tenaga kerja dan sebagainya



Kurang berorientasi pada masa depan



Kurang memperhatikan administrasi dan sumberdaya manusia



Standarisasi dan spesialisasi produk kurang terjaga



Kapasitas peralatan dan mesin yang terbatas sehingga hanya mampu mengerjakan pekerjaan yang sederhana, akibatnya pada ukuran-ukuran dan kapasitas tertentu akan lebih mahal



Perancangan (disain), riset dan pengembangan produk kurang diperhatikan.



Memiliki posisi tawar yang lemah dalam pasar



Akses kepermodalan yang lemah Namun demikian, industri kecil kerajinan juga memiliki kekuatan yang perlu

diperhatikan antara lain : 

Hubungan antara aspek fisik dan rekayasa Faktor ini ditandai dengan adanya keselarasan hubungan antara aspek fisik dan rekayasa dalam proses produksi. Hubungan ini menyebabkan produk-produk tertentu hanya menguntungkan apabila dibuat oleh industri kecil, akibat sifat 20

produknya yang ringan dan kecil, membutuhkan tingkat ketelitian sedang, dapat dikerjakan dengan mesin-mesin ringan dalam proses perakitan yang sederhana dengan tingkat pulang pokok yang dapat dicapai dalam kuantitas yang rendah. 

Produk yang membutuhkan tenaga kerja yang sangat terampil dan ketelitian yang tinggi.



Produk yang hanya dibuat dalam jumlah kecil dan tidak baku, dibuat bervariasi sesuai dengan permintaan konsumen



Produk dengan keunggulan khusus dalam aspek desain ataupun produk khusus yang memerlukan inovasi dan kreatifitas dalam pembuatannya



Hubungan antara pekerja dan pimpinan erat, maupun antar pekerja sendiri. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas dan langkanya pemutusan hubungan kerja



Pelayanan penjualan yang lebih baik



Cepat memanfaatkan kesempatan yang sedang berkembang. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa keberadaan industri kecil

kerajinan memiliki potensi untuk mewujudkan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) di suatu wilayah. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal berupaya memberdayakan potensi-potensi lokal dengan cara meningkatkan kewirausahaan lokal untuk mencapai pertumbuhan dan kemandirian lokalitas. Konsep ini selaras dengan karakteristik industri kecil kerajinan yang umumnya berbasiskan pada sumberdaya lokal. Dalam hal ini industri kecil kerajinan dapat menjadi pemicu bagi pengimplementasian pengembangan ekonomi lokal suatu wilayah. Namun demikian, untuk mewujudkan PEL disuatu wilayah memerlukan prasyarat tertentu, baik dari industri kecil kerajinan itu sendiri (sebagai komponen pemicu), kondisi pengembangan wilayah suatu daerah, dan pemerintah daerah setempat (Firman, 1999). Prasyarat yang dimaksud adalah bagaimana ketiga komponen diatas dapat mendorong timbulnya kewirausahaan lokal sebagai indikasi berjalannya konsep PEL di suatu wilayah. Keberadaan

industri

kecil

kerajinan

dapat

memberikan

peran

dalam

pengembangan wilayah karena industri tersebut dapat membentuk jaringan (linkage) di wilayah tersebut. Keterkaitan jaringan pada sentra industri kecil kerajinan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

21

1. Jaringan/keterkaitan industri dengan pelaku usaha lainnya yang terkait dengan input-output dalam proses produksi, misalnya hubungan industri kecil kerajinan dengan penghasil faktor produksi dan penerima hasil produksi. 2. Jaringan/keterkaitan industri kecil kerajinan dalam sentra industri dengan sesama industri kecil lainnya dalam semua jenis kegiatan yang dapat dilakukan bersama. 3. Jaringan/keterkaitan industri dengan berbagai institusi/lembaga terkait. Jaringan inilah yang menjadi kunci eksistensi industri kecil dalam mewujudkan PEL suatu wilayah. Adanya jaringan diatas pada satu sisi akan dapat mengembangkan usaha industri kecil, disisi lain akan dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi lokal berupa : -

Pertumbuhan : penambahan jumlah aktivitas ekonomi di wilayah tersebut

-

Pemerataan

: kesempatan masyarakat lokal untuk ikut serta dalam kegiatan

ekonomi baik pada industri kerajinan tersebut maupun kegiatan ikutannya -

Pemberdayaan : peningkatan kesejahteraan yang dialami penduduk lokal.

Sementara itu, disisi pemerintah yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan apa yang telah dikeluarkan untuk mendorong tumbuhnya kewirausahaan lokal. Kebijakan ini dapat berupa kebijakan sektoral maupun spasial. Kebijakan dan regulasi pemerintah tidak selalu kondusif bagi perkembangan industri kecil. Kebijakan pemerintah untuk menciptakan

kondisi

persaingan

domestik,

struktur

industri

dan

strategi

pengembangannya akan kondusif bagi perkembangan industri. II.2.3. Kebijakan Pembinaan Industri Kecil Sejak lama Pemerintah sudah melakukan pembinaan terhadap Industri kecil. Berdasarkan Program Pembangunan Nasional ditetapkan program pokok pembinaan industri kecil, sebagai berikut: 1. Program penciptaan Iklim Industri yang Kondusif. Program ini bertujuan untuk membuka kesempatan berindustri seluas-luasnya, serta menjamin kepastian industri dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat untuk berkembangnya industri kecil. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala industri kecil dalam kegiatan ekonomi. 2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif. Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan industri kecil dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber 22

daya lokal yang tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya lembaga pendukung untuk meningkatkan akses industri kecil terhadap sumber daya produktif, seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi. 3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan industri kecil berkeunggulan kompetitif. Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing industri kecil. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap wirausahawan dan meningkatnya produktivitas industri kecil. Sebelum dilaksanakannya kebijakan Otonomi Daerah pembinaan terhadap industri kecil, ditangani langsung oleh jajaran Departemen Perindustrian yang berada di daerah. Sedangkan pemerintah daerah hanya sekedar memfasilitasi, kalau tidak boleh dikatakan hanya sebagai penonton. Semua kebijakan dan pedoman pelaksanaannya merupakan kebijakan yang telah ditetapkan dari pusat, sementara aparat di lapangan hanya sebagai pelaksana. Pembinaan yang diberikan tersebut cenderung dilakukan secara seragam terhadap seluruh daerah dan lebih bersifat mobilisasi dibandingkan pemberdayaan terhadap industri kecil. Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap industri kecil perlu dirumuskan dalam suatu pola pembinaan yang dapat memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas industri kecil tersebut. Pola pembinaan tersebut harus memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi perkembangan global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap industri kecil yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu strategi pemberdayaan industri kecil adalah melalui kemitraan

II.3. Kemitraan Usaha Kemitraan usaha bukanlah suatu konsep baru. Kemitraan usaha mengandung pengertian adanya hubungan kerja sama usaha diantara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela, dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Prinsip kerja sama seperti itu dapat mengatasi pembatas potensi usaha yang melekat pada satu unit usaha. Kemitraan ada yang bersifat vertikal (antar skala usaha), yaitu antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dan ada pula yang bersifat horisontal pada skala usaha yang sama. Namun, yang pada umumnya dimaksud dengan kemitraan adalah antar skala usaha. Ditinjau dari aspek bentuk usaha para pelakunya, kemitraan dapat terjalin antara koperasi, usaha swasta, dan BUMN. 23

Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun1997 terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa : “Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”. Dalam Kepmenkeu RI No. 316/KMK.016/1994 sebagaimana telah dirubah dengan Kepmenkeu RI No. 60/KMK.016/1996 tentang “Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN”, mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana pembinaan sebesar 1 % - 3 % dari keuntungan bersih, sistem keterkaitan Bapak Angkat Mitra Usaha, penjualan saham perusahaan besar yang sehat kepada koperasi dan lain sebagainya. Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra. Selain dapat memberikan kelenturan dan kelincahan bagi usaha besar, kemitraan usaha juga dapat menjawab masalah diseconomies of scale yang sering dihadapi oleh usaha besar. Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil. II.3.1. Unsur-Unsur Kemitraan Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan berbagai macam bentuk kerjasama dalam menghidupi dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu :

24

1. Kerjasama Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengeksploitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya. 2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan. 3. Pembinaan dan Pengembangan Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi, teknologi, pemasaran serta menyangkut pula pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi. Berdasarkan uraian diatas bahwa kemitraan dapat didefinisikan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan, hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing - masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masingmasing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya.

25

II.3.2. Pola Kemitraan Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan. Pola kemitraan yang umumnya telah banyak dilaksanakan mengacu pada pola kemitraan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang dijelaskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan adalah sebagai berikut : -

Pola Bapak Angkat

-

Kredit Bunga Lunak

-

Pola Subkontrak

-

Pola Dagang Umum

-

Pola Keagenan

-

Pola Waralaba

-

Bentuk - bentuk Lain

Pola kemitraan yang dimaksud adalah bentuk atau sistem kerjasama antara dua pihak yang pelaksanaannya sesuai kesepakatan bersama. Pola kemitraan tersebut dapat dijelaskan dibawah ini. 1. Pola Bapak Angkat Pola hubungan ini dapat dibagi menjadi “keterkaitan langsung” (direct economic linkages) dalam bentuk “subkontrak”. Pola lain adalah hubungan “keterkaitan tidak langsung” (indirect economic linkages) di mana industri besar membantu industri kecil yang produknya diluar “bisnis utama” (line of business) industri besar. Dalam hal ini berupa hubungan dagang (pemasaran, pengadaan kebutuhan operasional) dan pembinaan. Dalam pola bapak angkat ini pihak perusahaan besar atau BUMN membina usaha kecil yang menjadi mitranya dalam bimbingan teknis produksi, manajemen, membantu memasarkan produk mitra binaan atau dengan pemberian bantuan fasilitas promosi pemasaran. Bapak angkat juga memfasilitasi mitra binaannya dalam bantuan modal usaha. Pola hubungan “bapak-anak angkat” yang murni, didasari oleh semangat kemitraan yang tinggi. 2. Kredit Bunga Lunak Kredit bunga lunak diberikan oleh BUMN kepada usaha kecil sebagai bantuan modal usaha. Kredit bunga lunak ini sebagai bagian dari pola kemitraan bapak angkat dimana BUMN menyalurkan kredit dengan bunga lunak untuk membantu permodalan usaha bagi usaha kecil. Bantuan kredit ini ada yang dengan persyaratan jaminan dan ada 26

juga yang tanpa jaminan. Usaha kecil dapat mengakses kredit ini dengan penilaian kelayakan usaha dari BUMN. 3. Pola Subkontrak Subkontrak adalah keadaan dimana sebuah perusahaan induk, dari pada melakukan pekerjaan sendiri, memesan pada sebuah perusahaan independen lainya untuk melakukan seluruh atau sebagian dari sebuah order yang telah diterima, dengan tetap bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut terhadap sipembeli” (Watanabe, 1972 dalam Julissar, 2007). Hubungan subkontrak terdapat di mana sebuah perusahaan (pihak prinsipal) memberi pesanan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menghasilkan bagian-bagian, komponen-komponen, subassemblies atau assemblies untuk diintegrasikan ke dalam suatu produk yang akan dipasarkan oleh pihak prinsipal” (UNIDO, 1974 dalam Julissar, 2007). Pola subkontrak adalah pola hubungan kemitraan yang dibangun oleh perusahaan dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan sebagai bagian dari proses produksinya. Ciri khas dari bentuk subkontrak ini adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu penyelesaian/penyerahan produk kepada pemesan. Pola ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal dan ketrampilan serta menjamin pemasaran produk kelompok mitra usahanya. Di Jepang subkontrak merupakan salah satu kebanggaan atas sumber-sumber kemajuan ekonomi mereka. Subkontrak memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang ideal dari berbagai pelaku usaha. Subkontrak juga merupakan faktor penting dalam mencapai efisiensi ekonomi. Disamping itu subkontrak juga menyediakan kesempatan berusaha yang lebih luas bagi masyarakat. Dalam implementasinya, subkontrak bisa dibeda-bedakan menurut jenisnya (Dicken, 1986 dalam Julissar, 2007) : - Subkontrak Industrial : mengerjakan proses-proses tertentu, atau menghasilkan komponen-komponen tertentu (tetapi bukan barang jadi) yang akan diolah lebih lanjut oleh pihak pemesan. Dalam hal ini bisa berupa subkontrak komponen dan subkontrak proses. - Subkontrak Komersial : mengerjakan/menghasilkan barang jadi yang tinggal dipasarkan oleh pihak pemesan. Dalam hal ini umumnya pihak prinsipal bukanlah suatu industri manufaktur, tapi lebih merupakan perusahaan dagang. 27

4. Pola Dagang Umum Pola hubungan dagang umum tidak terlalu kompleks untuk diterapkan karena hanya merupakan wujud yang lebih formal dari transaksi dagang sepanjang saling ada kebutuhan. Dalam kemitraan dagang umum, kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra atau perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra. Pola kemitraan dagang umum ini memiliki kelemahan antara lain kurangnya jaminan pemasaran, kelompok mitra sangat tergantung pada order dari perusahaan mitra. Disamping itu praktek pemasaran konsinyasi yang sering merugikan kelompok mitra, dimana berdampak langsung pada perputaran modal kelompok mitra yang umumnya terbatas dalam hal permodalan. 5. Pola Keagenan Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan dimana industri kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya yang bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan, sedangkan industri kecil diberi kewajiban untuk memasarkan barang dan jasa tersebut, bahkan disertai dengan target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang disepakati. 6. Pola Waralaba Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan pemberi hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan manajemen. Pemilik waralaba bertanggungjawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran, merek dagang dan hal lainnya kepada mitra pemegang usaha waralaba. Pemegang waralaba hanya mengikuti pola yang ditetapkan pemilik serta memberikan sebagian pendapatan berupa royalty dan biaya yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut. 7. Bentuk-bentuk lainnya

Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas, seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis) dimungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan. Pada studi ini pola kemitraan yang digunakan sebagai indikator untuk mengidentifikasi kemitraan yang terjadi antar stakeholders adalah pola kemitraan yang sudah biasa dilaksanakan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP Nomor 44 28

Tahun 1997 tentang Kemitraan dan bentuk kemitraan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pembinaan bagi industri kecil. Pembinaan bagi usaha kecil dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan dasar yang dihadapi usaha kecil terutama dalam lemahnya struktur permodalan dan keterbatasan untuk mengakses sumber-sumber permodalan, kelemahan dalam menangkap peluang pasar, kelemahan dalam akses terhadap teknologi, sulitnya mendapatkan bahan baku dan bahan penolong yang disebabkan ketatnya persaingan usaha, masalah perbaikan kualitas produk, lemahnya sumberdaya manusia (Kuncoro, 2000). Menurut Kuncoro, pembinaan bagi usaha kecil ini dapat dilakukan melalui program pembinaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendukung usaha kecil antara lain dapat dilihat pada tabel II.1 berikut :

Tabel II.1. Program Lembaga-lembaga pendukung pengembangan usaha kecil No. 1.

Lembaga Pendukung

Program

Pemerintah (Deperin)

- Pendidikan dan pelatihan - Penelitian dan pengembangan teknologi produksi melalui riset & development - Pelayanan teknis melalui unit pelayanan teknis (UPT) - Pelayanan informasi dan konsultasi - Perantara usaha kecil dengan bapak angkat 2. Swasta - Peningkatan SDM melalui pendidikan dan latihan - Program keterkaitan usaha besar dan usaha kecil melalui kemitraan 3. LSM - Pelatihan teknis produksi dan pengelolaan administrasi - Penelitian dan konsultasi 4. Lembaga penelitian di - Penelitian dan pengembangan teknologi Perguruan Tinggi produksi, sumberdaya manusia - Pelatihan dan teknis manajemen - Konsultasi dan pembinaan Sumber : Mudrajat Kuncoro, 2000

Berdasarkan pola kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil serta program pembinaan usaha kecil oleh lembaga-lembaga pendukung usaha kecil tersebut dijadikan sebagai indikator dalam mengidentifikasi kemitraan antar stakeholders dalam pengembangan industri kecil kerajinan. Penetapan indikator ini disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing stakeholders dalam menjalin kerjasama melalui kemitraan.

29

II.3.3. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Kemitraan Bila disarikan dari berbagai tulisan mengenai kemitraan usaha, maka faktorfaktor yang menentukan keberhasilan kemitraan dapat dilihat pada tabel II.2 sebagai berikut. Tabel II.2. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan Penulis/Tahun 1. Marrioti (1993)

2. Ratcheva and Vyakarnam (2001)

Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan Hubungan kemitraan harus didasarkan atas etika bisnis yaitu : 1. Karakter, integritas dan kejujuran 2. Kepercayaan 3. Komunikasi yang terbuka 4. Adil 5. Keinginan pribadi dari pihak yang bermitra (motivasi/minat) 6. Keseimbangan antara insentif dan resiko Hubungan kemitraan biasanya dimulai antara dua pihak yang saling mengenal sehingga kredibilitas masing-masing tidak diragukan. Hubungan kemitraan tersebut harus didasarkan atas : 1. Kepercayaan, sehingga akan terjadi komunikasi dan saling berbagi informasi 2. Kemitraan tersebut dijalin bukan hanya atas hubungan komplementer namun pengertian adanya keuntungan jika terjalin kerjasama 3. Hubungan kerjasama harus dilegalkan

Keberhasilan hubungan kemitraan sangat tergantung pada hubungan yang melibatkan interaksi pihak-pihak yang bermitra. Keeratan hubungan antar pelaku sedikit banyak berpengaruh pada pelaksanaan kemitraan antara kelompok mitra dan perusahaan mitra baik di sisi produksi ataupun di sisi pemasaran. Hubungan tersebut antara lain : 1. Hubungan saling mengenal. Banyak hubungan kemitraan yang dimulai atas dasar koneksitas, artinya pihak yang ingin menjalin kemitraan telah mengenal sebelumnya karakter dari calon mitranya. Alasan utama biasanya karena bemitra dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya karakter orang tersebut sudah diketahui terutama kejujuran. 2. Saling percaya Kepercayaan merupakan landasan utama dalam bermitra, kepercayaan bisa tumbuh karena telah saling mengenal sebelumnya atau tumbuh karena jangka waktu pelaksanaan kemitraan. Bila telah ada saling percaya satu sama lain maka hubungan bermitra pun berjalan lebih baik. Hal tersebut karena tidak timbulnya rasa curiga dan 30

disisi lainpun antara pihak bermitra lebih transparan dalam hal-hal yang terkait langsung dengan usaha mereka. Kegagalan dalam membangun kemitraan biasanya bermula dari rasa curiga dan akhirnya sikap saling tidak percaya. Oleh karena itu sangat penting bila di antara pihak yang bermitra saling percaya sehingga memudahkan dalam melaksanakan kesepakatan yang telah disusun bersama. 3. Komunikasi Komunikasi merupakan hal penting dalam kerjasama. Melalui komunikasi maka setiap kendala, informasi dan gagasan bisa saling dipertukarkan. Komunikasi yang terbuka bisa berdampak pada kemajuan usaha. 4. Keinginan dari pihak yang bermitra Sebelum menjalin kemitraan, masing-masing pihak pasti memiliki keinginan untuk meningkatkan nilai tambah. Nilai tambah ini baik dari sisi ekonomi seperti penanaman modal, peningkatan keuntungan dan perluasan pasar. Dari sisi non ekonomi adalah penguasaan manajemen, penguasaan teknologi dan sebagainya.

Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan. Kemitraan yang dilandasi motif belas kasihan cenderung mengarah kepada inefisiensi sehingga tidak akan berkembang secara sinambung. Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi peluang kemitraan dan bantuan teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan negosiasi bisnis. Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan saranaprasarana dan memperkuat kelembagaan pendukung kemitraan antara lain dengan mengembangkan sistem dan lembaga keuangan yang efektif bagi usaha kecil. Pemerintah juga dapat berperan dalam memberikan pedoman dan rambu-rambu tentang kemitraan melalui peraturan perundangan, misalnya bagaimana kemitraan itu dapat dijalankan secara saling menguntungkan, apa saja kriteria yang menjamin penanggungan resiko dan pembagian keuntungan secara adil, serta bagaimana mengatasi perselisihan yang terjadi diantara pihak-pihak yang bermitra.

31

II.4.

Kajian Pengumpulan Data, Stakeholders dan Analisis Data Pada subbab ini terdapat beberapa bagian yang membahas tentang teori

pengumpulan data, analisis stakeholders dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. II.4.1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam studi berhubungan dengan tujuan dan keluaran yang diharapkan. Dalam penelitian kualitatif ada 3 macam teknik pengumpulan data (M.Q. Patton, 1990) yaitu : 1. Observasi langsung yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran detail tentang aktivitas, prilaku serta tindakan orang-orang dan rentang menyeluruh dari interaksi antarpersonal serta proses-proses keorganisasian yang menjadi bagian pengalaman manusia yang dapat diobservasi. 2. Wawancara mendalam yang terdiri dari 3 bentuk yaitu : a. Wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan secara spontan dalam alur interaksi yang alami. b. Wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara yang mencakup tampilan serangkaian isu yang akan dieksplor kepada setiap responden yang biasa disebut dengan checklist wawancara. c. Wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang terdiri dari serangkaian pertanyaan yang disusun dan diatur dengan hati-hati dengan tujuan untuk mengarahkan tiap responden melalui pertanyaan yang sama dengan kata-kata yang sama secara mendasar, 3. Dokumen tertulis, yaitu pengumpulan data kualitatif dalam bentuk petikan, kutipan atau keseluruhan bagian rekaman program, klinis, atau keorganisasian, memorandum dan korespondensi, laporan resmi, catatan harian personal dan respon terbuka yang tertulis berdasarkan survey dan kuesioner.

Wawancara yang dilakukan dalam studi ini adalah wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini dipilih karena dengan begitu responden dapat menjawab secara bebas dan lengkap tanpa adanya batasan tertentu. Meskipun begitu, serangkaian pertanyaan ditetapkan untuk menjaga agar wawancara tetap berada di dalam lingkup materi penelitian. Observasi langsung dan pengumpulan dokumen tertulis juga dilakukan untuk melengkapi data hasil wawancara. 32

II.4.2. Definisi Stakeholders Stakeholders didefinisikan sebagai individu, grup atau institusi yang memiliki kepentingan terhadap suatu proyek atau program. Secara lebih rinci, UN HABITAT (2000) mendefinisikan stakeholderss sebagai individu atau grup yang : -

memiliki kepentingan, baik dalam mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas/kegiatan yang menjadi isu utama

-

memiliki informasi, sumber daya dan keahlian yang dibutuhkan untuk penyusunan dan implementasi dari strategi

-

memiliki kontrol terhadap alat atau implementasi yang relevan

Definisi stakeholders lainnya adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freedman,1982 dalam Ramizes, 1999). Sedangkan definisi stakeholders menurut Bank Dunia (1998), yaitu masyarakat, kelompok atau lembaga yang kemungkinannya dipengaruhi oleh intervensi yang diajukan (secara positif atau negatif), atau yang dapat mempengaruhi hasil intervensi. Definisi stakeholders menurut McCracken, 1998 dalam Sayuti, 2003 adalah orang, kelompok atau institusi yang dikenai dampak dari sebuah intervensi program (baik posistif maupun negatif) atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi hasil intervensi tersebut. Untuk pengelompokan stakeholders, UNDP (1999) telah membagi dalam tiga kelompok yaitu pemerintah (state), masyarakat (society) dan swasta (privat sector). Dalam penelitian ini, stakeholders didefinisikan sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan, baik dalam mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas/kegiatan yang menjadi isu utama. Berdasarkan definisi tersebut, stakeholders dalam pengembangan industri kecil kerajinan dapat dikelompokkan dalam : 1. Kelompok regulator (pemerintah). Pemerintah dalam hal ini dinas teknis terkait dalam

pengembangan

industri

kecil

yaitu

Dinas

Perindagkop

DIY,

Disperindagkop Gunungkidul, UPT Balai Bisnis DIY, Dekranasda 2. Industri kecil dalam hal ini industri kecil kerajinan sebagai anggota masyarakat yang menjadi sasaran proses perubahan dan diharapkan keterlibatannya dalam proses pemberdayaan. 3. Pihak swasta (pedagang/eksportir, BUMN, Asosiasi/yayasan), berfungsi sebagai mitra usaha industri kecil kerajinan

33

4. Lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai pakar, penyedia informasi IPTEK dan dukungan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi II.4.3. Metode Analisi Data Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Bogdan dalam Sugiyono, 2007). Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain. Metode penelitian kualitatif dibedakan dengan metode penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik. Bahan untuk analisis kualitatif adalah pembicaraan yang sebenarnya, isyarat dan tanda sosial lainnya (Mulyana, 2000). Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Secara umum terdapat 3 tahap yang perlu dilakukan dalam analisis kualitatif, yaitu : 1. Reduksi data Merupakan

proses

pemilihan,

pemusatan

perhatian,

penyederhanaan,

pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data bukanlah sesuatu yang terpisah dari analisis. Pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, bagian mana yang dibuang, pola-pola mana saja yang meringkas bagian yang tersebar, cerita yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan analisis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang mengarahkan, membuang yang tidak perlu, mengorganisasikan data, dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan final bisa ditarik dan diverifikasi. 34

2. Tampilan/penyajian data (data display) Penyajian data adalah penyusunan informasi untuk memungkinkan proses penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif dapat berupa teks naratif, bagan, matriks atau grafik. Semuanya dirancang untuk menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah dicerna. Dalam proses penyajian data, yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan memberikan gambaran dan rangkaian wawancara yang disajikan secara sistematis kemudian diperkuat oleh cuplikan atau penggalan kalimat dari responden yang diwawancarai. Penggalan kalimat tersebut untuk mempertegas pernyataan yang sudah dikemukakan oleh peneliti. 3. Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan adalah mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola, kejelasan, konfigurasi yang mungkin dan alur sebab akibat dengan menguji kebenaran, kekokohan dan kecocokan makna-makna yang muncul dari data. Tipe analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan dalam menganalisis data berupa dokumen-dokumen (literatur) dan hasil wawancara. Dalam metode analisis kualitatif, prosedur penelitian akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Tailor dalam Moleong, 2001).

35