25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Gambut 2.1.1 Karakteristik Air Gambut Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Kusnaedi, 2006) : •
Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan)
•
pH yang rendah
•
Kandungan zat organik yang tinggi
•
Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah
•
Kandungan kation yang rendah Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya
kandungan zat organik (bahan humus) terlarut
terutama dalam bentuk asam
humus dan turunannya. Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai dekomposisi yang stabil (Syarfi, 2007). Dalam berbagai kasus, warna akan semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut. Struktur gambut yang lembut dan mempunyai pori-pori menyebabkannya mudah untuk menahan air dan air pada lahan gambut tersebut dikenal dengan air gambut. Berdasarkan sumber airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu (Trckova, M., 2005) : 1. Bog Merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air hujan dan air permukaan. Karena air hujan mempunyai pH yang agak asam maka setelah bercampur dengan gambut akan bersifat asam dan warnanya coklat karena terdapat kandungan organik. 2. Fen Merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air tanah yang biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut tersebut memiliki pH netral dan basa.
Universitas Sumatera Utara
26
Berdasarkan kelarutannya dalam alkali dan asam, asam humus dibagi dalam tiga fraksi utama yaitu (Pansu, 2006) : 1. Asam humat Asam humat atau humus dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dekomposisi bahan organik oleh organisme secara aerobik. Ciri-ciri dari asam humus ini antara lain: •
Asam ini mempunyai berat molekul 10.000 hingga 100.000 g/mol (Collet, 2007).
•
Merupakan makromolekul aromatik komplek dengan asam amino, gula amino, peptide, serta komponen alifatik yang posisinya berada antara kelompok aromatik (Gambar 2.1).
•
Merupakan bagian dari humus yang bersifat tidak larut dalam air pada kondisi pH < 2 tetapi larut pada pH yang lebih tinggi.
•
Bisa diekstraksi dari tanah dengan bermacam reagen dan tidak larut dalam larutan asam.
•
Asam humat adalah bagian yang paling mudak diekstrak diantara komponen humus lainnya.
•
Mempunyai warna yang bervariasi mulai dari coklat pekat sampai abu-abu pekat.
•
Humus tanah gambut mengandung lebih banyak asam humat (Stevenson, 1982).
•
Asam humus merupakan senyawa organik yang sangat kompleks, yang secara umum memiliki ikatan aromatik yang panjang dan nonbiodegradable yang merupakan hasil oksidasi dari senyawa lignin (gugus fenolik).
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.1 Struktur model asam humat berdasarkan Stevenson (1982). 2. Asam fulvat Asam fulvat merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari humus, larut dalam air, sering ditemukan dalam air permukaan dengan berat molekul yang rendah yaitu antara rentang 1000 hingga 10.000 (Collet, 2007). Bersifat larut dalam air pada semua kondisi pH dan akan berada dalam larutan setelah proses penyisihan asam humat melalui proses asidifikasi. Warnanya bervariasi mulai dari kuning sampai kuning kecoklatan. Struktur model asam fulvik dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur model asam fulvik berdasarkan Buffle (1977) 3. Humin Kompleks humin dianggap sebagai molekul paling besar dari senyawa humus karena rentang berat molekulnya mencapai 100.000 hingga 10.000.000. Sedangkan sifat kimia dan fisika humin belum banyak diketahui (Tan, 1982). Tan
Universitas Sumatera Utara
28
juga menyatakan bahwa karakteristik humin adalah berwarna coklat gelap, tidak larut dalam asam dan basa, dan sangat resisten akan serangan mikroba. Tidak dapat diekstrak oleh asam maupun basa. Perbedaan antara asam humat, asam fulvat dan humin bisa dijelaskan melalui variasi berat molekul, keberadaan group fungsional seperti karboksil dan fenolik dengan tingkat polimerisasi (Gambar 2.3)
Humic Substances (pigmented polymers) Fulvic acid Light yellow
Humic acid
Yellow brown
Dark brown
Humin
Grey black
Black
Increase in intensity of colour Increase in degree of polymerization Increase in molecular weight Increase in carbon content Decrease in oxygen content Decrease in exchange acidity Decrease in degree of solubility
2 000 45 % 48 % 1 400
300 000 ? 62 % 30 % 500
Chemical properties of humic substances (Stevenson, 1982) Gambar 2.3 Komponen Kimia Humus Dari Gambar 2.3 diketahui bahwa kandungan karbon dan oksigen, asiditas dan derajat polimerisasi semuanya berubah secara sistematik dengan peningkatan berat molekul.
Asam fulvik dengan berat molekul yang rendah memiliki
kandungan oksigen yang lebih tinggi dan kandungan karbon yang rendah jika dibandingkan dengan asam humat dengan berat molekul yang tinggi. Warna juga akan semakin tinggi dengan semakin tingginya berat molekul. Bahan organik tanah dan tanamam berada dalam bentuk koloid. Dan berdasarkan kemudahan berikatan dengan air maka, bahan organik dapat dibedakan atas hidrofobik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air). Koloid hidrofobik dapat diflokulasi, sedangan koloid hidrofilik biasanya tidak. Koloid tanaman kebanyakan bersifat hidrofilik sehingga sulit untuk dikoagulasi secara konvensional (Tan, 1991).
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 2.1 No
Karakteristik Air Gambut dari Berbagai Lokasi di Sumatera & Kalimantan.
Parameter
1 2 3 4 5
Warna Kekeruhan DHL pH Zat Organik
6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kesadahan Kalsium Magnesium Besi Mangan Chlorida SO4 HCO3 CO2 agresif
Satuan
PtCo mg/L SiO2 µ mho/cm mg/L KMnO4 O D mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Air Gambut Kalsel
Kalbar
Kalteng
753 32 4.1
527 0 30 3.9
725 0.5 50 3.6
278 2.05 8.83 11.11 -
194 0.48 2.1 5.48 51.4 -
172 5.1 31
Riau
Syarat Air Minum Menkes
1315 5 78 5
1125 9 75 4
15 5 6.5-8.5
290 5.5 4.5 20.9 162 11.2 -
243 1.4 6.2 18 80.6
10 500 0.3 0.1 250 400 -
Sumsel
Sumber : Puslitbang Pemukiman (Irianto,1998). Karakteristik air gambut bersifat spesifik, bergantung pada lokasi, jenis vegetasi dan jenis tanah tempat air gambut tersebut berada, ketebalan gambut, usia gambut, dan cuaca. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 karakteristik air gambut dari sebagian wilayah Indonesia yang merupakan hasil penelitian Puslitbang Pemukiman bekerja sama dengan PAU ITB (Irianto, 1998).
2.1.2 Pengolahan Air Gambut Karakteristik air gambut seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air minum bagi masyarakat di daerah berawa. Namun karena jumlah air gambut tersebut sangat banyak dan dominan berada di daerah tersebut maka harus bisa menjadi alternatif sumber air minum masyarakat. Kondisi yang kurang menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai berikut : •
Kadar keasaman pH yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan sakit perut.
Universitas Sumatera Utara
30
•
Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi mikroorganisma dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila bahan organik tersebut terurai secara biologi, (Wagner, 2001).
•
Apabila dalam pengolahan air gambut tersebut digunakan klor sebagai desinfektan, akan terbentuk trihalometan (THM’S) seperti senyawa argonoklor yang dapat bersifat karsinogenik (kelarutan logam dalam air semakin tinggi bila pH semakin rendah), (Wagner, 2001).
•
Ikatannya yang kuat dengan logam (Besi dan Mangan) menyebabkan kandungan logam dalam air tinggi dan dapat menimbulkan kematian jika dikonsumsi secara terus menerus (Wagner, 2001). Metode pertukaran ion menggunakan resin MEIXR dapat menghilangkan
warna sejati air (asam humat dan fulvat) dari 109 Pt-Co menjadi 1 Pt-Co. Dengan mempertimbangkan sebagian besar pengolahan air di Indonesia masih menggunakan sistem konvensional. Cara pengolahan air secara konvensional / pengolahan lengkap (koagulasi – flokulasi – sedimentasi – filtrasi – netralisasi dan desinfektan) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama pembentuk warna semu sekitar
80 %, efisiensi penghilangan warna akan lebih efektif jika
dilakukan modifikasi dan tambahan proses seperti aplikasi karbon aktif, reaksi redoks, dan koagulan – flokulan aid, (Pararaja, 2007). Efektifitas proses elektrokoagulasi untuk memindahkan (removing) zat-zat organik dari limbah rumah potong hewan menggunakan sel-sel elektrolitik (electrolytic cells) monopolar dan bipolar. Hasil menunjukkan bahwa pencapaian (performance) terbaik diperoleh menggunakan sistem elektroda baja (mild steel) bipolar yang dioperasikan pada intensitas arus 0,3 A selama 60-90 menit. Berhasil menurunkan BOD sebesar 86 ± 1%, lemak dan minyak sebesar 99 ± 1%, COD sebesar 50 ± 4%, TSS (total suspended solid) sebesar 89 ± 4% dan Turbidity sebesar 90 ± 4%. Total biaya yang dibutuhkan 0,71 USD $ / m3 limbah rumah potong hewan, (Asselin, M., 2008). Menyelidiki efek pH awal untuk menurunkan unsur-unsur humus dari air limbah dengan proses elektrokoagulasi. Efek dari pH awal pada sistem elektrokoagulasi bisa duakali lipat, yaitu distribusi produk hidrolisis aluminium, transformasi unsur-unsur humus yang terkait ke pH awal dan akhirnya efek dari
Universitas Sumatera Utara
31
lapisan gel khususnya pada konsentrasi unsur-unsur humus yang tinggi dan pH awal yang tinggi yang dibentuk pada permukaan anoda. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi awal unsur-unsur humus dan pH awal sangat efektif pada efisiensi dan tingkat penurunan. pH awal air limbah telah disesuaikan 5,0 dan efisiensi penurunan yang tinggi telah diamati. Sehingga sistem elektrokoagulasi akan dioperasikan pada pH rendah yaitu 5,0 pada konsentrasi unsur-unsur humus yang tinggi, (Koparal, A.S., 2008). Pengolahan air gambut yang dilakukan dengan mengkombinasikan larutan tawas dan metode elektrokoagulasi yang kemudian di ujicoba ke model. Sebelum proses elektrokoagulasi berlangsung, air gambut terlebih dahulu dicampur dengan larutan tawas (tawas yang dikomersialkan dengan mutu 17 %) sebanyak 10 ml/l air gambut (kadar 1000 ppm). Proses elektrokoagulasi berlangsung optimum dengan waktu elektrokoagulasi 45 menit dengan memberikan tegangan pada elektroda aluminium sebesar 12 volt dan kecepatan alir 1 L/menit. Hasil uji coba ke model diperoleh persentase penurunan warna sebesar 91,79 % (dari 94,295 PtCo menjadi 7,746 Pt-Co), dan kekeruhan sebesar 98,68 % (dari 72,43 NTU menjadi 0,953 NTU) (Susilawati, et al., 2009).
2.1.3
Alternatif Proses Pengolahan Air Gambut Berdasarkan pada pengetahuan tentang penyebab dan kandungan warna
pada air gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang dapat diterapkan untuk mengolah jenis air berwarna alami adalah :
Proses
oksidasi,
Proses
Proses
adsorpsi,
Proses
Koagulasi
–
Flokulasi,
dan
elektrokoagulasi. 1. Proses Oksidasi Proses oksidasi untuk pengolahan air berwarna (yang mengandung senyawa organik) yang dapat dianjurkan adalah dengan ozon atau peroksida, karena tidak menghasilkan suatu ikatan atau senyawa yang berbahaya (dapat menguraikannya sehingga mudah terurai dan menguap). Ozon atau peroksida dikenal sebagai oksidator yang kuat yang dapat digunakan dalam pengolahan air sehingga ikatan polimer dan monomernya akan terputus dan akan membentuk
Universitas Sumatera Utara
32
CO2 dan H2O apabila oksidasinya sempurna. Namun dalam aplikasinya biaya operasi relatif mahal, dan perlu digunakan unit penghasil ozon.
2. Proses Adsorpsi Adsorbsi merupakan fenomena fisika dimana molekul-molekul bahan yang diadsorpsi tertarik pada permukaan bidang padat yang bertindak sebagai adsorban. Dengan demikian jelas bahwa adsorpsi merupakan fenomena bidang batas, yang efisiensinya makin tinggi apabila luas bidang permukaan adsorban makin besar (Schnitzer, 1992). Ditinjau dari segi derajat adsorpsi pada suatu jenis adsorban secara umum mengikuti aturan sebagai berikut (Cahyana, 2009) : •
Adsorpsi berlangsung sedikit terhadap semua senyawa organik, kecuali senyawa berhalogen (F, Br dan Cl).
•
Adsorpsi berlangsung baik pada semua senyawa berhalogen dan senyawa alifatik.
•
Adsorpsi berlangsung sangat baik terhadap semua senyawa aromatik, makin banyak kandungan inti benzennya makin baik adsorpsinya. Berdasarkan kriteria di atas maka, pengolahan air berwarna (air gambut) dapat
dilakukan dengan cara adsorpsi karena asam humus mempunyai gugus senyawa aromatik. Namun secara umum proses inipun masih mahal. Dalam pengolahan air gambut dengan proses adsorpsi pada perinsipnya adalah menarik molekul asam-asam humus ke permukaan suatu adsorben. Contoh adsorben yang biasa digunakan adalah karbon aktif (charcoal), zeolit, resin, dan tanah liat dari lokasi sumber air gambut. 3. Proses Koagulasi – Flokulasi Proses koagulasi yang diiringi dengan proses flokulasi merupakan salah satu proses pengolahan air yang sudah lama digunakan. Proses ini penting untuk penyisihan warna dan organik (Amirtarajah dan O’melia, 1999). Definisi koagulasi sebagai proses cukup banyak tapi dari laporan Fearing et al, (2004) dapat disimpulkan menjadi tiga : 1. Proses untuk menggabungkan partikel kecil menjadi agregat yang lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
33
2. Proses penambahan bahan kimia ke dalam air untuk menghasilkan spesies kimia yang berperan dalam destabilisasi kontaminan dan meningkatkan kemungkinan penyisihan. 3. Proses untuk menggabungkan partikel koloid dan partikel kecil menjadi agregat yang lebih besar dan dapat mengadsorb material organik terlarut ke permukaan agregat sehingga dapat mengendap. Partikel koloid yang terkandung dalam air alam umumnya mempunyai muatan negatif, sehingga koagulan yang diperlukan adalah yang bermuatan positif. Koagulan yang umum digunakan dalam pengolahan air adalah garam aluminium seperti alum. Flok-flok yang terbentuk pada umumnya juga mempunyai kemampuan adsorpsi yang cukup besar. Sehingga pada saat yang bersamaan dengan pembentukan dan penggabungan mikroflok akan terjadi proses adsorpsi dan pemerangkapan bahan-bahan terlarut dalam air, dan akan ikut tersisih dalam proses pengendapan dan penyaringan. Sedangkan pada air berwarna alami atau air gambut konsentrasi bahan koloid atau partikel tersuspensi lainnya umumnya sangat rendah. Sehingga ada pendapat mengatakan bahwa sesungguhnya proses koagulasi dan flokulasi yang dilaksanakan pada air berwarna tidak lain adalah melaksanakan proses adsorpsi dengan bantuan penambahan bahan kimia (Notodarmojo, 1994).
2.2 Proses Elektrokoagulasi Elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya alumunium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi elektrolisis berupa pelepasan gas Hidrogen (Holt et al., 2004). Menurut Mollah (2004), elektrokoagulasi adalah proses kompleks yang melibatkan fenomena kimia dan fisika dengan menggunakan elektroda untuk menghasilkan ion yang digunakan untuk mengolah air limbah.
Sedangkan elektrokoagulasi menurut
Ni’am (2007), adalah proses penggumpalan dan pengendapan partikel-partikel halus dalam air menggunakan energi listrik. Proses elektrokoagulasi dilakukan
Universitas Sumatera Utara
34
pada bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan elektrolit.
Gambar 2.4 Perinsip proses elektrokoagulasi (Ni’am, 2007)
Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang dioksidasi. Sehingga membentuk flok yang mampu mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah. Diidentifikasikan terdapat tiga proses mendasar yang terjadi dalam elektrokoagulasi, yaitu elektrokimia, koagulasi dan flotasi. Ketiga proses ini dapat digambarkan
dengan
diagram
Venn
dimana kombinasi
dari
ketiganya
menghasilkan teknologi elektrokoagulasi, sedangkan kombinasi yang lain menghasilkan teknologi yang berbeda (Gambar 2.5). Elektrokoagulasi bukan merupakan teknologi baru, dari literatur yang ada menunjukkan bahwa teknologi ini telah ditemukan lebih dari seratus tahun yang lalu. Contoh aplikasi yang ada misalnya adalah pada akhir abad ke -19, telah terdapat beberapa instalasi pengolahan air bersih yang cukup besar di London yang mempergunakan teknologi ini (Matteson et al, 1995 dalam Holt et al, 2004).
Universitas Sumatera Utara
35
Gambar 2.5 Diagram Venn (Holt et al, 2004)
Sementara instalasi pengolahan lumpur secara elektrolisis dioperasikan dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada awal tahun 1911 yang memiliki ukuran yang serupa dengan instalasi pengolahan air limbah pada masa tersebut (Vik et al., 1984 dalam Holt et al., 2004). Namun sejak tahun 1930-an semua instalasi tersebut tidak dioperasikan lagi dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan adanya alternatif lain berupa penggunaan bahan kimia sebagai koagulan (Holt et al., 2004). Pada massa sekarang penggunaan teknologi elektrokoagulasi mulai dikembangkan kembali untuk meningkatkan kualitas effluen air limbah. Elektrokoagulasi digunakan untuk mengolah effluen dari beberapa air limbah yang berasal dari industri makanan, limbah tekstil, limbah rumah makan, limbah yang mengandung senyawa arsenik, air yang mengandung flourida, dan air yang mengandung partikel yang sangat halus, bentonit dan kaolinit. Untuk pertimbangan penentuan penggunaan elektrokoagulasi maka Mollah (2001) telah memberikan gambaran tentang keuntungan dan kerugiannya. Keuntungan dari penggunaan elektrokoagulasi adalah sebagai berikut : 1. Elektrokoagulasi
membutuhkan
peralatan
yang
simpel
dan
mudah
dioperasikan.
Universitas Sumatera Utara
36
2. Air yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan effluen yang jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. 3. Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan flok yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang sedikit, lebih stabil dan mudah dipisahkan secara cepat dengan filtrasi. 4. Effluen yang dihasilkan elektrokoagulasi mengandung TDS (Total Dissolved Solid) dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengolahan kimiawi. 5. Proses elektrokoagulasi mempunyai keuntungan dalam mengolah partikelpartikel koloid yang berukuran sangat kecil, sebab diaplikasikan medan elektrik
dengan gerak yang lebih cepat, sehingga proses koagulasi lebih
mudah terjadi dan lebih cepat. 6. Proses elektrokoagulasi jauh dari penggunaan bahan kimia sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia, dan tidak ada polusi yang kedua yang disebabkan substansi-substansi kimia yang ditambahkan pada konsentrasi yang tinggi. 7. Produksi gelembung-gelembung gas selama elektrolisis dapat membawa polutan-polutan yang diolah untuk naik ke permukaan (flotasi) dimana flok tersebut dapat dengan mudah terkonsentrasi, dikumpulkan dan dipisahkan (removed). 8. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses elektrolisis yang terjadi cukup dikontrol dari pemakaian listrik tanpa perlu memindahkan bagian-bagian didalamnya. 9. Teknologi elektrokoagulasi dapat dengan mudah diaplikasikan di daerah yang tidak terjangkau layanan listrik yakni dengan menggunakan panel matahari yang cukup untuk terjadinya proses pengolahan. Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah : 1. Elektroda yang digunakan dalam proses pengolahan ini harus diganti secara teratur. 2. Terbentuknya lapisan di elektroda dapat mengurangi efisiensi pengolahan.
Universitas Sumatera Utara
37
3. Penggunaan listrik kadangkala lebih mahal pada beberapa daerah. 4. Teknologi ini membutuhkan konduktivitas yang tinggi pada air limbah yang diolah.
2.2.1 Mekanisme Dalam Elektrokoagulasi Reaktor elektrokimia merupakan sebuah sel elektrokimia dimana kutub anoda yang berupa logam (biasanya alumunium atau terkadang besi) dimana ion logam yang terlepas berfungsi sebagai agen koagulan. Dan secara simultan terjadi gelembung gas hidrogen di kutub katoda. Elektrokoagulasi mempunyai kemampuan untuk mengolah berbagai macam polutan termasuk padatan tersuspensi, logam berat, tinta, bahan organik, minyak dan lemak, ion dan radionuklida. Karakteristik fisika kimia dari polutan mempengaruhi mekanisme pengolahan misalnya polutan berbentuk ion akan diturunkan melalui proses presipitasi sedangkan padatan tersuspensi yang bermuatan akan diabsorbsi ke koagulan yang bermuatan. Kemampuan elektrokoagulasi untuk mengolah berbagai macam polutan menarik minat industri untuk menggunakannya. Gambar (2.6) memperlihatkan proses elektrokoagulasi yang sangat kompleks. Dimana koagulan dan produk hidrolisis saling berinteraksi dengan polutan atau dengan ion yang lain atau dengan gas hidrogen. Menurut Holt et al. (2006) ada berbagai kemungkinan mekanisme yang terjadi dalam elektrokoagulasi (interaksi dalam larutan) yaitu : 1. Migrasi ke muatan elektroda yang berlawanan (electrophoresis) dan agregatisasi netralisasi muatan. 2. Kation atau ion OH- membentuk suatu presipitasi dengan polutan 3. Interaksi kation logam dengan OH- untuk membentuk suatu hidroksida yang mempunyai sifat-sifat adsorpsi yang tinggi sekaligus mengikat polutan (jembatan koagulasi). 4. Hidroksida membentuk struktur seperti kisi yang lebih besar dan sweep coagulation. 5. Oksidasi polutan-polutan untuk jenis racun yang lebih sedikit 6. Pemindahan oleh elektroflotasi dan adhesi ke gelembung
Universitas Sumatera Utara
38
Gambar 2.6 Mekanisme dalam elektrokoagulasi (Holt, 2006)
Menurut Mollah (2004) mekanisme penyisihan yang umum terjadi di dalam elektrokoagulasi terbagi dalam tiga faktor utama yaitu : (a) terbentuknya koagulan akibat proses oksidasi elektrolisis pada elektroda, (b) destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi, dan pemecahan emulsi, dan (c) agregatisasi dari hasil destabilisasi untuk membentuk flok. Sedangkan proses destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi, dan pemecahan emulsi terjadi dalam tahapan sebagai berikut : • Kompresi dari lapisan ganda (double layer) difusi yang terjadi di sekeliling spesies bermuatan yang disebabkan interaksi dengan ion yang terbentuk dari oksidasi di elektroda. • Netralisasi ion kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan ion berlawanan yang dihasilkan dari elektroda. Dengan adanya ion tersebut menyebabkan berkurangnya gaya tolak menolak antar partikel dalam air limbah (gaya Van der Waals) sehingga proses koagulasi bisa berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
39
• Terbentuknya flok, dimana flok ini terbentuk akibat proses koagulasi sehingga terbentuk sludge blanket yang mampu menjebak dan menjembatani partikel koloid yang masih ada di air limbah.
2.2.2 Pelarutan Logam di Elektroda Pada percobaan elektrokoagulasi, elektroda yang digunakan selalu dihubungkan dengan sumber listrik DC. Jumlah logam yang larut tergantung pada jumlah arus listrik yang mengalir pada elektroda tersebut. Hukum Faraday membuat hubungan antara kuat arus (I) yang mengalir dengan jumlah massa yang terlepas ke larutan, hal ini merupakan pendekatan secara teoritis untuk menghitung jumlah alumunium yang terlepas ke larutan. Adapun rumus dari hukum Faraday adalah sebagai berikut : w= Dimana :
i.t.m z .F
(2.1)
w = Berat aluminium yang larut (g) i
= Kuat arus listrik yang digunakan (Ampere)
t = Lamanya arus mengalir (detik) m = berat molekul plat logam (aluminium) / berat atom z = valensi (aluminium = 3) F = Konstanta Faraday, (96500 C/mol) Dengan menggunakan persamaan (2-1) kita dapat membandingkan antara jumlah logam yang larut secara teoritis dengan percobaan di lapangan. Seringkali diperoleh hubungan yang cukup baik antara hasil percobaan dengan teori. Walaupun kadangkala terdapat perbedaan/erorr yang signifikan yang dapat terjadi karena tidak memperhatikan ukuran dan bentuk elektroda yang tepat serta pemasangan elektroda yang kurang baik.
2.2.3 Reaksi di Elektroda Seperti disebutkan di atas bahwa reaktor elektrokoagulasi merupakan sel elektrokimia, dimana dalam reaktor tersebut disusun elektroda-elektroda yang akan kontak dengan air yang akan diolah. Untuk menghasilkan koagulan
Universitas Sumatera Utara
40
diperlukan beda potensial diantara elektroda. Perbedaan potensial ini diperlukan untuk menimbulkan reaksi elektrokimia pada masing-masing elektroda. Dari berbagai penelitian yang ada telah didesain berbagai macam konfigurasi elektroda seperti pemakaian pellet aluminium dengan reaktor fluidized bed (Barkley et al., 1993), elektroda aluminium bipolar (Mameri et al., 1998), elektroda mesh (Matteson et al., 1995), baja bipolar berbentuk lingkaran (Ogutveren et al., 1992), dan juga elektroda sederhana berbentuk lempengan (Vik et al., 1984; Mameri et al., 1998 : Holt et al., 2001). Selain itu berbagai jenis elektroda telah dicoba seperti aluminium, besi, baja dan platinum. Bahan elektroda digunakan untuk mengetahui jenis koagulan yang timbul. Aluminium merupakan elektroda yang paling banyak digunakan, dimana pada proses elektrokogulasi reaksi yang terjadi adalah :
Reaksi Pada Katoda Reaksi pada katoda adalah reduksi terhadap kation, jadi yang diperhatikan hanya kation saja. 1. Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali, ion-ion logam alkalitana, ion Al3+ dan ion Mg2+, maka ion-ion logam ini tidak dapat direduksi dari larutan. Yang akan mengalami reduksi adalah pelarut (air), dan terbentuk gas hidrogen (H)2 pada katoda. Reaksi yang terjadi di katoda tergantung pada pH air yang diolah. Pada kondisi netral atau basa, gas hidrogen terjadi dengan reaksi : 2H2O + 2e → 2OH-
+ H2
Dari daftar E0 diketahui bahwa reduksi terhadap air lebih mudah berlangsung daripada reduksi terhadap ion-ion di atas. 2. Sedangkan pada kondisi asam, reaksi pembentukan gas hidrogen adalah sebagai berikut : 2H+ + 2e → H2 3.
Jika larutan mengandung ion-ion lain, maka ion-ion logam ini akan direduksi menjadi masing-masing logamnya dan logam yang terbentuk itu diendapkan pada permukaan batang katoda. Fe2+
+ 2e
Mn2+ + 2e
→ Fe → Mn
Reaksi Pada Anoda Elektroda pada anoda, elektrodanya dioksidasi diubah menjadi ionnya.
Universitas Sumatera Utara
41
Al
→
Al3+ + 3e
Reaktor yang mempergunakan aluminium pada kedua elektroda yaitu anoda dan katoda dilaporkan proses pelarutan aluminium melebihi 100% (Przhegorlinskii et al., 1987 ; Bozin and Mikhailov, 1990 ; Donini et al., 1994 ; Mameri et al., 1998 dalam Holt, 2002). Untuk penggunaan aluminium pada kedua elektroda, reaksinya adalah sebagai berikut:
Al3+ + 3 H2O
→ Al(OH)3
+ 1.5 H2
Sedangkan proses pelepasan aluminium pada kutub katoda adalah sebagai berikut Al3+ + 4 H2O + e →
Al(OH)-4 + 2 H2
Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi elektroda dapat dibagi dalam 5 variabel, yaitu : 1. Variabel elektroda (Jenis, luas permukaan, kondisi permukaan, jarak antar elektroda) 2. Variabel perpindahan massa (Cara perpindahan, konsentrasi permukaan, adsorbsi) 3. Variabel larutan (Konsentrasi spesi elektroaktif dalam bagian terbesar larutan, spesi-spesi lainnya, sifat pelarut). 4. Variabel listrik (Potensial, arus, jumlah muatan coulomb) 5. Variabel luar (Temperatur, tekanan, waktu)
2.2.4 Sel Elektrokimia Sel elektrokimia adalah sel yang menghasilkan transfer bentuk energi listrik menjadi energi kimia atau sebaliknya, melalui saling interaksi antara arus listrik dan reaksi redoks. Reaksi redoks merupakan akibat dari aliran arus listrik yang diberikan dan berlangsung pada bagian yang disebut elektroda. Pertemuan antara dua fase dengan komposisi yang berlainan akan menyebabkan perbedaan potensial antara kedua fase tersebut, sehingga terjadi pemisahan muatan listrik. Transfortasi muatan listrik antar fase dapat terjadi pada fase elektrolit dan fase elektroda. Elektroda adalah fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan elektron. Sedangkan elektrolit adalah fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan ion-ion. Secara umum sel elektrokimia didefinisikan sebagai 2 elektroda
Universitas Sumatera Utara
42
yang dipisahkan oleh paling sedikit satu fase
elektrolit. Elektroda tempat
terjadinya oksidasi disebut anoda dan elektroda tempat terjadinya reduksi disebut katoda. Oksidasi yaitu suatu perubahan kimia, jika (Hiskia, 1992) : •
Suatu zat memberikan atau melepaskan elektron
•
Suatu unsur mengalami pertambahan bilangan oksidasi atau tingkat oksidasi
•
Terjadi pada anoda atau elektroda positif suatu sel elektrokimia
Sedangkan reduksi ialah suatu perubahan kimia, jika : •
Suatu zat menangkap atau menerima elektron
•
Suatu unsur mengalami pengurangan bilangan oksidasi atau tingkat oksidasi
•
Terjadi pada katoda atau elektroda negatif suatu sel elektrokimia
2.2.5 Proses Koagulasi Proses koagulasi merupakan faktor kunci dalam elektrokoagulasi, proses ini menggambarkan interaksi antara koagulan dengan bahan polutan yang hendak diolah. Perinsip dari koagulasi adalah destabilisasi partikel koloid dengan cara mengurangi semua gaya yang mengikat, kemudian menurunkan energi penghalang dan membuat partikel menjadi bentuk flok. Koagulasi merupakan proses destabilisasi partikel-partikel koloid untuk memfasilitasi pertumbuhan partikel-partikel selama flokulasi. Koagulasi menurut Mackenzie L. Davis, adalah proses untuk membuat partikel-partikel kecil (koloid) dapat bergabung satu dengan yang lainnya sehingga membentuk flok yang lebih besar. Sedang menurut Reynold (1977), koagulasi adalah proses destabilisasi pada suatu sistem koloid yang berupa penggabungan dari partikel-partikel koloid akibat pembubuhan bahan kimia. Pada proses ini terjadi pengurangan besarnya gaya tolak menolak antara partikelpartikel koloid di dalam larutan. Fair et al (1978) menerangkan bahwa disamping gaya-gaya yang menyebabkan kestabilan partikel koloid, maka pada koloid juga bekerja gayagaya yang cenderung untuk menyebabkan koloid menjadi tidak stabil. Salah satu dari gaya itu adalah gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals ini sesungguhnya bekerja dalam dimensi atom (gaya antar atom). Bila partikel koloid bisa saling
Universitas Sumatera Utara
43
mendekat hingga jarak keduanya dapat mencapai jarak dalam dimensi atom, maka dalam keadaan seperti ini gaya Van der Waals akan berpengaruh pada kestabilan partikel koloid. Besarnya gaya tarik menarik Van der Waals berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua partikel koloid, sedangkan besarnya gaya tolak menolak elektrostatis akan berkurang secara eksponensial dengan makin besarnya jarak antar partikel. Kedua gaya tersebut dapat dilukiskan dalam suatu grafik, seperti pada Gambar 2.7. Kurva A menunjukkan gaya tarik menarik Van der Waals, sedangkan kurva R menunjukkan gaya tolak menolak elektrostatis. Resultan dari kedua gaya ini dilukiskan sebagai kurva S. Supaya terjadi kontak antar partikel gaya-gaya yang menyebabkan kestabilan partikel koloid harus dikurangi atau dihilangkan. Keadaan seperti ini ditunjukkan dengan terjadinya kesetimbangan antara gaya tarik menarik Van der Waals dengan gaya tolak menolak elektrostatis. Kesetimbangan dapat dicapai dengan cara membubuhkan suatu elektrolit pada sistem koloid tersebut seperti aluminium sulfat. Pembubuhan aluminium sulfat atau koagulan lainnya akan menyebabkan membesarnya konsentrasi ion-ion positif dalam larutan dan akibatnya kurva gaya tolak menolak R akan lebih curam.
Universitas Sumatera Utara
44
Double-Layer repulsion, R Repulsion
Resultan energy of Interaction, S
Energy Hill, Eb
Energy Particle distance
Van der Waals attraction, A Point of minimum energy, Pm Attraction
Gambar 2.7 Gaya-gaya yang terjadi pada interaksi antar partikel koloid (Fair, 1978)
Gambar 2.8 memperlihatkan bahwa makin besar konsentrasi ion-ion positif, maka besarnya gaya resultan maksimum akan mengecil sehingga pada akhirnya dapat mencapai nol. Hal ini menunjukkan telah terjadi kesetimbangan antara kedua gaya tersebut. Berkurangnya gaya tolak menolak ini ditunjukkan dengan berkurangnya harga potensial zeta. Pada suatu konsentrasi aluminium sulfat tertentu harga potensial zeta akan mencapai harga kritis seperti yang telah dikemukakan di atas. Maka selanjutnya gaya-gaya Van der Waals akan mulai bekerja untuk memperkuat ikatan antar partikel dan terjadilah penggabungan dari partikelpartikel koloid tersebut.
Universitas Sumatera Utara
45
Increasing charge or concentration of electrolyte
Repulsion
R1 R2
R3 S
Particle distance
A Attraction
Gambar 2.8 Pengurangan gaya tolak menolak oleh ion-ion aluminium (Fair et al, 1978)
2.2.6 Proses Flokulasi Flokulasi adalah proses kontak diantara partikel-partikel koloid yang telah mengalami destabilisasi sehingga ukuran partikel-partikel tersebut tumbuh menjadi partikel-partikel yang lebih besar (Kiely, 1998). Dalam hal ini proses koagulasi harus diikuti flokulasi yaitu penggumpalan koloid terkoagulasi sehingga membentuk flok yang mudah terendapkan atau transportasi partikel tidak stabil, sehingga kontak antar partikel dapat terjadi (Sutrisno, 1991). Koagulasi dan flokulasi diperlukan untuk menghilangkan material limbah berbentuk suspensi atau koloid. Koloid dihadirkan oleh partikel-partikel berdiameter sekitar 1 nm (10-7 cm) hingga 0.1 nm (10-8 cm). Partikel-partikel ini tidak dapat mengendap dalam periode waktu yang wajar dan tidak dapat dihilangkan dengan proses perlakuan fisika biasa. Koloid yang tidak stabil cenderung untuk menggumpal, walaupun kecepatan penggumpalannya sangat lambat. Kecepatan penggumpalan ini ditentukan oleh banyaknya kontak antar partikel koloid, dan efektifitas kontak yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
46
Penggabungan partikel-partikel koloid dapat terjadi karena : 1. Gerak Brown (perikinetik) 2. Gradien kecepatan dalam media suspensi (ortokinetik) yang bergantung pada temperatur, kecepatan aliran air, jumlah partikel koloid, konsentrasi dan ukuran partikel koloid.
2.2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Koagulasi dan Flokulasi Proses koagulasi-flokulasi optimum, dapat dicapai dengan pengaturan kondisi-kondisi yang saling berkaitan dan mempengaruhi proses tersebut, seperti :
a.
Pengaruh Temperatur Air Apabila temperatur menurun maka viskositas air akan meningkat sehingga
kecepatan mengendap flok akan menurun. Proses koagulasi – flokulasi lebih mudah dilakukan pada temperatur tinggi daripada temperatur rendah, karena viskositas air pada temperatur tinggi lebih rendah daripada viskositas air pada temperatur rendah. Hubungan antara temperatur dengan proses koagulasi – flokulasi adalah sebagai berikut : 1. pH optimum untuk proses koagulasi akan berubah-ubah karena pengaruh temperatur. 2. Dosis koagulan akan bertambah bila temperatur turun. 3. Untuk dosis koagulan tertentu, effluen dari proses koagulasi – flokulasi akan mempunyai kekeruhan yang lebih tinggi bila temperatur rendah.
b. Pengaruh derajat keasaman (pH) dan alkalinitas. Rentang pH dalam proses koagulasi dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi koagulan serta komposisi kimia air yang akan diolah. Koagulasi akan berjalan baik apabila berada pada rentang pH optimum. Di samping itu alkalinitas juga mempengaruhi koagulasi dalam proses pembentukan flok. Alkalinitas air, seperti HCO3- dapat
membantu
proses
pembentukan
flok
dengan
peranannya
memproduksi ion hidroksida pada reaksi hidrolisa koagulan. Alkalinitas dapat dibuat dengan cara menambahkan senyawa NaOH, Ca(OH)2, NaHCO3, dan CaO yang sekaligus sebagai pengatur pH sebelum koagulasi dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
47
c.
Pengaruh Jenis Koagulan Koagulan adalah bahan kimia yang ditambahkan untuk membantu proses
koagulasi. Pemilihan jenis koagulan pada pengolahan air seharusnya didasarkan kepada penelitian perbandingan performa koagulan dan setelah itu baru dilihat dari segi ekonomisnya. Jenis koagulan yang paling banyak dipakai di Indonesia adalah tawas atau alumunium sulfat.
d. Pengaruh Tingkat Kekeruhan Air Baku Pada tingkat kekeruhan yang rendah, proses destabilisasi akan sukar terjadi. sebaliknya pada tingkat kekeruhan yang tinggi proses destabilisasi akan dapat berlangsung dengan cepat, tetapi bila pada kondisi tersebut dipakai dosis koagulan yang rendah maka pembentukan flok kurang efektif. Hubungan dosis koagulan dan tingkat kekeruhan secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Umumnya dosis koagulan akan naik bersamaan dengan meningkatnya kekeruhan, akan tetapi kenaikan dosis koagulan ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kekeruhan.
2.
Apabila kekeruhan sangat tinggi akan diperlukan koagulan yang lebih sedikit karena besarnya tumbukan antar partikel-partikel koloid yang telah dikoagulasi. Dan bila kekeruhan rendah kemungkinan terjadinya tumbukan tidak terlalu besar sehingga sulit terkoagulasi.
3.
Bervariasinya distribusi ukuran partikel lebih memudahkan terjadinya koagulasi, dibanding dengan suspensi yang hanya terdiri dari satu jenis ukuran partikel saja.
e.
Pengaruh Jumlah Garam-Garam Terlarut Dalam Air Besarnya pengaruh garam-garam ini tergantung pada jenis dan
konsentrasinya. Biasanya pengaruh garam-garam ini berakibat langsung terhadap proses koagulasi itu sendiri. Dari hasil penyelidikan Back, Rice dan Bartow (1973), dapat diketahui pengaruh ion-ion sulfat terhadap koagulasi dengan koagulan alum berdasarkan kecepatan koagulasinya.
Universitas Sumatera Utara
48
Secara garis besarnya pengaruh garam-garam terlarut adalah sebagai berikut : 1.
Pengaruh anion lebih besar daripada kation, sehingga ion seperti Natrium, kalsium dan Magnesium tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap proses koagulasi.
2.
Ion-ion negatif memperbesar daerah pH optimum koagulasi untuk koagulasi ke arah bagian yang sama, yang tergantung juga pada valensi ion-ion tersebut. Dengan kata lain ion-ion monovalen seperti chlorida, nitrat dan sebagainya tidak memberikan pengaruh yang berarti dibandingkan dengan pengaruh yang diberikan oleh ion-ion sulfat, fosfat dan anion-anion bervalensi lainnya.
f.
Pengaruh Kondisi Pengadukan Pengaturan kondisi pengadukan sangat penting untuk mencapai proses
koagulasi-flokulasi yang baik. Pengaturan kondisi pengadukan dapat dilakukan dengan mengatur gradien kecepatan (G) dan lamanya waktu pengadukan (t). Pencampuran koagulan harus benar-benar merata, sehingga koagulan yang dibubuhkan akan bereaksi dengan partikel-partikel koloid atau ion-ion lain dalam suspensi.
Disamping
itu
kecepatan
pengadukan
sangat
mempengaruhi
pertumbuhan flok dan bila terlalu besar kecepatan pengadukannya akan mengakibatkan pecahnya flok. Karena kecepatan koagulasi-flokulasi berbanding langsung dengan besarnya gradien kecepatan (G), maka proses koagulasi – flokulasi yang baik dari G.t yang tepat.
2.3 Tinjauan Koloid Tinjauan koloid digunakan untuk menjelaskan suatu sistem dimana partikel-partikel padat baik organik maupun anorganik yang berukuran relatif kecil terdispersi di dalam suatu media yang homogen (Hartomo, 1994). Partikelpartikel koloid berada di suspensi karena ukurannya yang sangat kecil, keadaan hidrasi dan memiliki muatan listrik pada permukaannya.
Partikel koloid
mempunyai sifat-sifat antara lain : * Sifat Adsorpsi
Universitas Sumatera Utara
49
Partikel koloid terdispersi dalam air dan merupakan partikel yang sangat kecil (diameter 1m µ - 1
µ),
selalu dalam keadaan melayang dan tidak mudah
diendapkan. Partikel koloid akan bermuatan listrik apabila terjadi penyerapan ion pada permukaan partikel. Peristiwa penyerapan pada permukaan suatu zat disebut adsorpsi. Suatu koloid mempunyai kemampuan mengabsorpsi, sebab zat-zat dalam bentuk koloidal memiliki permukaan yang sangat luas sehingga terjadi gejala terikatnya atom, molekul atau ion pada permukaan zat padat dan bekerja suatu gaya tarik / gaya Van Der Waals (Chatterjee, 1979). * Bermuatan Listrik Pada permukaan partikel koloid terdapat muatan listrik sejenis yang menyebabkan keadaan stabil dimana muatan diantara partikel koloid saling tolak menolak sehingga tidak dapat membentuk partikel lebih besar. * Sifat Hidrasi Yaitu sifat koloid yang mempunyai gaya gabung yang besar terhadap media air. Berdasarkan sifat hidrasi, partikel koloid dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan koloid suka air (koloid hidrofil) dan golongan koloid tidak suka air (koloid hydropob).
2.3.1 Kestabilan Koloid Kestabilan sistem koloid hidrofil adalah karena adanya fenomena hidrasi yaitu suatu peristiwa di mana molekul-molekul air tertarik oleh permukaan partikel zat padat (koloid) dan berfungsi sebagai penghalang untuk terjadinya kontak dengan partikel koloid lainnya (Hammer, 1977). Contoh : sabun, detergen sintetik dan protein terlarut. Sedangkan kestabilan sistem koloid hidrofob terjadi karena partikel koloid ini bermuatan sejenis sehingga terjadi gaya tolak menolak antara partikel-partikel koloid tersebut, yang menyebabkan sistem koloid ini menjadi stabil. Koloid Hidrofob mempunyai kestabilan tertentu selama tidak terganggu oleh adanya elektrolit lain.
Universitas Sumatera Utara
50
2.3.2 Destabilisasi Partikel Koloid Perinsip dasar untuk mengendapkan partikel koloid adalah menurunkan stabilitasnya dengan cara netralisasi gaya tolak menolak akibat adanya muatan listrik pada permukaan koloid. Setelah itu dilanjutkan dengan pengadukan agar terjadi penggabungan antara partikel-partikel, membentuk partikel yang lebih besar dan dapat diendapkan. Agar partikel-partikel koloid dapat menggumpal, dua langkah harus terjadi yaitu : 2. Gaya tolak menolak harus dikurangi (destabilisasi) 3. Adanya transportasi partikel supaya terjadi kontak antara partikel (proses flokulasi), (Stum dan O’melia, 1968). Empat macam mekanisme untuk menerangkan proses destabilisasi koloid yaitu : b. Pemampatan lapisan ganda. c. Adsorbsi untuk menghasilkan netralisasi muatan. d. Penjaringan partikel dalam presipitat. e. Adsorbsi dan pengikatan antar partikel.
a. Pemampatan Lapisan Ganda Menurut Schulze-Hardy koagulasi disebabkan oleh ion-ion yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Kekuatan ion untuk mengkoagulasi ditentukan oleh valensi ion. Penambahan ion-ion yang berlawanan muatan dengan muatan partikel yang berasal dari koagulan akan menimbulkan destabilisasi partikel koloid sehingga lapisan difus akan mengecil (mampat) dan memungkinkan bekerjanya gaya tarik menarik antar partikel. Fenomena ini diterangkan dengan teori yang dikembangkan oleh Vervey dan Overbeek (1948). Efek dari pamampatan ini adalah berkurangnya potensial permukaan. Apabila dosis elektrolit dinaikkan akan semakin berkurang pula potensial permukaan, sehingga memungkinkan terjadinya penggabungan partikel oleh gaya tarik menarik Van der Waals.
b. Adsorbsi dan netralisasi muatan Destabilisasi adsorpsi berbeda dengan destabilisasi pemampatan lapisan ganda dalam tiga hal, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
51
1. Spesi yang teradsorpsi dapat mendestabilisasi koloid dengan dosis yang jauh lebih rendah dibanding dengan ion-ion pemampat lapisan ganda. 2. Destabilisasi adsorpsi adalah stoikiometris, yang berarti dosis koagulan bertambah
dengan
bertambahnya
konsentrasi
koloid.
Sedang
pada
pemampatan lapisan ganda jumlah elektrolit yang dibutuhkan tidak stoikiometris dan tidak tergantung pada konsentrasi koloid. 3. Efek yang timbul bila dosis spesi yang diadsorpsi berlebihan adalah terjadinya restabilisasi, hasil dari pembalikan muatan pada partikel koloid. Beberapa spesi kimia dapat diadsorpsi pada permukaan partikel koloid. Bila spesi yang diadsorpsi membawa muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid, maka adsorpsi tersebut menyebabkan terjadinya pengurangan potensial permukaan dan menghasilkan destabilisasi partikel koloid. Ion-ion yang di adsorpsi dapat melebihi batas netralisasi hingga mencapai titik pembalikan muatan. Ini menunjukan bahwa interaksi kimiawi dapat melebihi efek tolak menolak elektrostatik pada beberapa kasus (Stumm dan O’melia, 1968).
c. Penjaringan Partikel Dalam Presipitat Sejumlah garam yang berasal dari logam tertentu, seperti : Al2(SO4)2, FeCl3, dan MgCO3 dapat membentuk presipitat bila ditambahkan ke dalam dispersi koloid dalam jumlah yang cukup. Koloid dapat bertindak sebagai inti kondensasi bagi pembentukan presipitat tersebut, atau dapat juga terjaring sebagai endapan presipitat. Pengurangan koloid dengan cara demikian disebut ”sweepfloc”. Packham (1965) mengemukakan hubungan perbandingan terbalik antara dosis koagulan optimum dengan konsentrasi koloid, bahwa pada konsentrasi koloid yang rendah dibutuhkan dosis koagulan yang berlebihan untuk menghasilkan jumlah presipitat yang banyak yang akan menjaring partikelpartikel koloid, sedang pada konsentrasi koloid yang tinggi koagulasi akan terjadi bila ditambahkan dosis koagulan yang lebih rendah karena koloid bertindak sebagai inti bagi pembentukan presipitat. Sebagai ilustrasi dapat dilukiskan seperti Gambar 2.9.
Universitas Sumatera Utara
52
Gambar 2.9 Terjadinya proses ”Sweep-Floc” (Duan, 2003)
d. Adsorpsi dan pengikatan Antar Partikel Destabilisasi dengan cara ini terjadi bila ke dalam dispersi koloid dimasukkan polimer dengan struktur rantai panjang dan bersegmen. Molekul polimer akan melekat pada permukaan partikel koloid pada satu tempat atau lebih, seperti terlihat pada Gambar 2.10. Ujung segmen polimer akan meluas ke bagian terbesar larutan dan menempel pada bagian partikel koloid lainnya membentuk jembatan kimia.
Kekuatan ikatan ini menghasilkan partikel flok yang lebih
kompak dan lebih mudah diendapkan.
Gambar 2.10
Skema reaksi antar partikel koloid dengan poly elektrolit (Benefield, 1982)
Universitas Sumatera Utara
53
Dalam proses elektrokoagulasi hanya ada dua mekanisme destabilisasi yang mungkin terjadi yaitu penyaringan dalam presipitat dan netralisasi muatan. Dua mekanisme yang lain yaitu pemampatan lapisan ganda dan pengikatan antar partikel tidak mungkin terjadi karena pada mekanisme pemampatan lapisan ganda dibutuhkan dosis koagulan yang tinggi agar terjadi destabilisasi koloid sedangkan pada proses elektrokoagulasi aluminium yang dibutuhkan masih relatif rendah. Untuk mekanisme pengikatan antar partikel karena tidak adanya penambahan polimer dalam proses elektrokoagulasi, maka mekanisme ini juga tidak dapat terjadi.
2.3.3 Konsep Potensial Zeta Menurut Eckenfelder (1989), potensial listrik diantara bidang geser dan badan cairan dapat ditentukan dengan pengukuran elektroforesis (pengukuran laju partikel dalam suatu medan listrik) dan disebut potensial zeta. Konsep potensial zeta berasal dari teori lapisan rangkap listrik dan diterapkan untuk koloid hidrofob. Menurut kaedah Gouy, Champman dan Stern, partikel yang tersuspensi di dalam permukaan air mempunyai muatan listrik pada permukaannya. Muatan ini dapat meningkat jika terjadi ionisasi atom-atom pada permukaan partikel atau unsur-unsur yang berlawanan muatan dengan partikel dan adsorbsi ion-ion oleh partikel dalam air. Ion-ion tersebut mengelilingi permukaan partikel dengan rapat dan menarik ion-ion yang berlawanan muatan dari dalam larutan, sehingga sebagian partikel akan terimbangi. Lapisan muatan tersebut merupakan lapisan yang tidak bergerak (tetap) disebut lapisan rapat muatan (lapisan stern atau fixed layer). Fixed layer dilapisi lagi oleh lapisan dengan muatan berlawanan dengannya. Lapisan ini dapat bergerak dan disebut lapisan geser. Potensial zeta didefinisikan dalam persamaan Z=
4.π .q.d D
(2.2)
di mana : Z = Potensial zeta, q = Beda muatan antara partikel dan medium, d = Ketebalan lapisan perbedaan muatan masih efektif, D = Konstanta dielektrik medium.
Universitas Sumatera Utara
54
Kestabilan sistem koloid dapat dikurangi dengan memperkecil potensial zeta, dengan cara menambahkan ion yang berlawanan muatan sehingga perbedaan muatan pada permukaan dapat dikurangi. Dengan berkurangnya perbedaan muatan ini akan mengurangi ketebalan lapisan difus dan merenggangkan lapisan stern sehingga partikel yang berdekatan akan saling bergabung akibat gaya tarik Van Der Waals.
2.4 Tawas (Alum) Tawas (alum) adalah sejenis koagulan dengan rumus kimia Al2SO4 11 H2O atau 14 H2O atau 18 H2O, umumnya yang digunakan adalah 18 H2O. Tawas merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan, karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta mudah penyimpanannya. Bahan ini dapat berfungsi efektif pada pH antara 4 – 8. Jumlah pemakaian tawas tergantung kepada turbidity (kekeruhan) air baku. Semakin tinggi turbidity air baku semakin besar jumlah tawas yang dibutuhkan. Pemakaian tawas juga tidak terlepas dari sifat-sifat kimia yang dikandung oleh air baku tersebut. Semakin banyak dosis tawas yang ditambahkan maka pH akan semakin turun, karena dihasilkan asam sulfat sehingga perlu dicari dosis tawas yang efektif antara pH 5,8 – 7,4. Koagulan yang berbasis aluminium seperti aluminium sulfat digunakan pada pengolahan air minum untuk memperkuat penghilangan materi partikulat, koloidal dan bahan-bahan terlarut lainnya melalui proses koagulasi. Pemakaian alum sebagai koagulan dalam pengolahan air, sering menimbulkan konsentrasi aluminium yang lebih tinggi dalam air yang diolah daripada dalam air mentah itu sendiri.
2.5 pH pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan, melalui konsentrasi (sebetulnya aktivitas) ion hidrogen H+. Ion hidrogen merupakan faktor utama untuk mengetahui reaksi kimiawi dalam ilmu teknik penyehatan karena :
Universitas Sumatera Utara
55
•
H+ selalu ada dalam keseimbangan dinamis dengan air/H2O, yang membentuk suasana untuk semua reaksi kimiawi yang berkaitan dengan masalah pencemaran air dimana sumber ion hidrogen tidak pernah habis.
•
H+ tidak hanya merupakan unsur molekul H2O saja tetapi juga merupakan unsur banyak senyawa lain, hingga jumlah reaksi tanpa H+ dapat dikatakan hanya sedikit saja. Lewat aspek kimiawi, suasana air juga mempengaruhi beberapa hal lain,
misalnya kehidupan biologi dan mikrobiologi. Peranan ion hidrogen tidak penting kalau zat pelarut bukan air melainkan molekul organis seperti alkohol, bensin (hidrokarbon) dan lain-lain. Cara uji derajat keasaman pH dalam air dan air limbah dengan menggunakan alat pH meter. Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktivitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter (SNI 06-6989.11-2004).
2.6 Warna Dalam proses pengolahan air warna merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan sebagai persyaratan kualitas air baik untuk air bersih maupun untuk air minum. Perinsip yang berlaku dalam penentuan parameter warna adalah memisahkan terlebih dahulu zat atau bahan-bahan yang terlarut yang menyebabkan kekeruhan (Effendi, 2003). Warna air dapat diamati secara visual (langsung) ataupun diukur berdasarkan suatu skala warna dengan spektrofotometer. Skala warna air yang paling banyak digunakan saat ini adalah skala APHA (The American Public Health Association) dan skala Platina-Cobalt sering disingkat menjadi Pt-Co unit. Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara visuil warna dari sampel dengan larutan standar warna yang diketahui konsentrasinya. Kebanyakan metode yang dipakai pada pemeriksaan warna air di instalasi pengolahan air menggunakan metode standar warna Platina-Cobalt dengan satuan mg/l Pt-Co baik dilakukan dengan instrumen colorimetri maupun yang lebih sensitif yaitu sfektrofotometri (Pararaja, 2008).
Di dalam metode ini sebagai standar warna
digunakan larutan Platina-Kobalt dengan satuan mg/l Pt-Co. Warna pada air
Universitas Sumatera Utara
56
gambut disebabkan karena adanya partikel koloid organik yang merupakan dekomposisi dari tanaman. Konsentrasi warna air gambut diukur dengan metode platina-kobalt (Pt-Co), karena metode ini digunakan untuk mengukur warna air yang dapat diminum dan air berwarna yang disebabkan oleh bahan-bahan yang terbentuk secara alami seperti dekomposisi asam-asam organik dari daun-daunan, kulit kayu, akar, bahan-bahan humus dan tanah gambut (Standard Method 2120B). Pengukuran ini berdasarkan standar yang dikeluarkan oleh American Standards of Treatment and Method (ASTM) yaitu ASTM D1209, suatu metode standar untuk menguji cairan berwarna yang jernih (skala Pt-Co). Larutan yang diukur adalah larutan dengan warna yang mendekati warna larutan standar skala warna Pt-Co (SNI 06-6989.24-2005).
2.7 Turbidity (Kekeruhan) Kekeruhan di dalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi, seperti lumpur, zat organik, plankton dan zat-zat halus lainnya. Kekeruhan merupakan sifat optis dari suatu larutan, yaitu hamburan dan absorpsi cahaya yang melaluinya. Kekeruhan dengan kadar semua jenis zat suspensi tidak dapat dihubungkan secara langsung, karena tergantung juga kepada ukuran dan bentuk butiran. Ada tiga (3) metode pengukuran kekeruhan : a. Metode nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU b. Metode Hellige Turbidity (unit kekeruhan silika) c. Metode Visuil (unit kekeruhan Jackson) Metode visuil adalah cara kuno dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu lebih dari 25 unit. Sedangkan metode nefelometrik lebih sensitif dan dapat dipergunakan untuk segala tingkat kekeruhan. Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah metode nefelometrik. Perinsip metode nefelometrik adalah perbandingan antara intensiti cahaya yang dihamburkan dari suatu sampel air dengan intensiti cahaya yang dihamburkan oleh sesuatu larutan keruh standard pada kondisi yang sama. Makin tinggi intensitas cahaya yang dihamburkan, makin tinggi pula kekeruhannya. Sebagai standard kekeruhan dipergunakan suspensi polimer formazin.
Universitas Sumatera Utara
57
2.8 COD dan BOD COD (Chemical Oxygen Demand = Kebutuhan Oksigen Kimia) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam 1 L sampel air, dimana pengoksidasi K2 Cr2 O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air (Alaerts G., and Santika S.S., 1987). Pemeriksaan COD diperlukan untuk mengetahui kandungan bahan organik yang terdapat dalam air gambut. Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air (Alaerts, 1987). Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran yang terdapat dalam air gambut yang disebabkan oleh zat-zat organik. Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah, kalau sesuatu badan air dicemari oleh zat organik, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik yang dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Analisa COD berbeda dengan analisa BOD, berikut adalah keuntungan tes COD dibandingan dengan tes BOD : (1) Analisa COD hanya memakan waktu kurang lebih 3 jam, sedangkan analisa BOD5 membutuhkan waktu 5 hari, (2) Ketelitian dan ketepatan tes COD adalah 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari tes BOD, (3) Untuk menganalisa COD antara 50 sampai 800 mg/l, tidak dibutuhkan pengenceran sampel sedang pada umumnya analisa BOD selalu membutuhkan pengenceran, (4) Gangguan dari zat yang bersifat racun terhadap mikroorganisme pada tes BOD, tidak menjadi soal pada tes COD. Sedangkan kekurangannya, tes COD hanya merupakan suatu analisa yang menggunakan suatu reaksi oksidasi kimia yang menirukan oksidasi biologis (yang sebenarnya terjadi di alam), sehingga merupakan suatu pendekatan saja. Karena
Universitas Sumatera Utara
58
hal tersebut maka tes COD tidak dapat membedakan antara zat-zat yang sebenarnya tidak teroksidasi (inert) dan zat-zat yang teroksidasi secara biologis.
Perinsip Analisa COD COD adalah jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh uji. Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji oksidasi oleh Cr2O72- dalam refluks tertutup menghasilkan Cr3+. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/l) diukur secara spektrofotometri sinar tampak. Cr2O72kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 400 nm dan Cr3+ kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 600 nm. Untuk nilai COD 100 mg/l sampai dengan 900 mg/l ditentukan kenaikan Cr3+ pada panjang gelombang 600 nm. Pada contoh uji dengan nilai COD yang lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu sebelum pengujian. Untuk nilai COD lebih kecil dan sama 90 mg/l ditentukan pengurangan konsentrasi Cr2O72- pada panjang gelombang 420 nm (SNI 06-6989.15-2004).
Perinsip Analisa BOD Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen didalam air, dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbon dioksida, air dan amonik. Atas dasar reaksi tersebut, yang memerlukan kira-kira 2 hari di mana 50% reaksi telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari supaya 100% tercapai, maka pemeriksaan BOD dapat dipergunakan untuk menaksir beban pencemaran zat organis. Tentu saja, reaksi juga berlangsung pada badan air sungai, air danau maupun di instalasi pengolahan air buangan yang menerima air buangan yang mengandung zat organis tersebut. Dengan kata lain tes BOD berlaku sebagai simulasi (berbuat seolah-olah terjadi) sesuatu proses biologis secara alamiah (SNI 06-2503-1991).
2.9 Logam-Logam Dalam Air 2.9.1 Logam Al Aluminium merupakan salah satu logam anorganik yang dijumpai dalam air minum. Konsentrasi aluminium yang tinggi bisa mengendap sebagai
Universitas Sumatera Utara
59
aluminium hidroksida yang mempengaruhi kehidupan air. Perannya tidak bisa dihindari karena senyawa-senyawa aluminium ditambahkan bukan hanya ke suplai air tetapi juga kebanyak makanan dan obat yang diproses (Singh, 2006). Sifat-sifat kimia dan fisiknya membuatnya ideal untuk berbagai jenis pemakaian, misalnya dalam makanan (sebagai aditif), dalam obat-obatan (misalnya antacid), dalam produk-produk konsumen (alat-alat masak dan aluminium foil), dan dalam pengujian air minum (koagulan). Kebanyakan perusahaan penguji air permukaan menggunakan aluminium dalam bentuk alum (aluminium sulfat) untuk membantu menghilangkan mikroorganisme berbahaya yang dibawa oleh air dan partikel-partikel lain. Pemberian alum ini mengakibatkan partikel-partikel menggumpal menjadi partikel-partikel yang lebih besar yang kemudian lebih mudah dihilangkan dengan sedimentasi dan filtrasi. Cara uji kadar aluminium (Al) dilakukan dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Contoh uji air ditambahkan asam klorida kemudian dilanjutkan dengan pemanasan yang bertujuan untuk melarutkan analit aluminium dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah, selanjutnya diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas dinitrogen oksida (N2O) – asetilen (SNI 06-6989.34-2005).
2.9.2 Logam Zn Seng adalah unsur kimia dengan lambang Zn, no atom 30 dan massa atom relative 65,37. Seng tidak diperoleh dengan bebas di alam, melainkan dalam bentuk terikat. Mineral yang mengandung seng di alam bebas antara lain kalamin, franklinit, smithsonit, wilenit dan zinkit. Seng oleh tubuh manusia dibutuhkan untuk membentuk enzim dan hormon penting. Selain itu seng juga berfungsi sebagai pemelihara beberapa jenis enzim, hormon dan aktivitas indera pengecap (lidah). Perinsip pengujian seng dilakukan dengan penambahan asam nitrat yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Zn dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan
Universitas Sumatera Utara
60
pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.7-2004).
2.9.3 Logam Fe Besi adalah salah satu elemen kimiawi yang dapat ditemui pada hampir setiap tempat di bumi, pada semua lapisan geologis dan semua badan air. Pada umumnya besi yang ada dalam air dapat bersifat : •
Terlarut sebagai Fe2+ (fero) atau Fe3+ (feri)
•
Tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter < 1 µm) atau lebih besar.
•
Tergabung dengan zat organis atau zat padat yang inorganis (seperti tanah liat). Pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe lebih besar dari 1 mg/l, tetapi
di dalam air tanah kadar Fe dapat jauh lebih tinggi. Konsentrasi Fe yang tinggi ini dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan perkakas dapur. Dalam air minum Fe menimbulkan rasa, warna (kuning), pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan bakteri besi dan kekeruhan. Zat besi merupakan suatu komponen dari berbagai enzim yang mempengaruhi seluruh reaksi kimia yang penting di dalam tubuh. Besi juga merupakan komponen dari hemoglobin, yang memungkinkan sel darah merah membawa oksigen dan mengantarkannya ke jaringan tubuh. Pada penelitian ini penentuan kandungan Fe dalam air gambut menggunakan metode pengujian yang mengacu pada SNI 06-6989.4-2004. Perinsip utama dari metode pemeriksaan ini adalah dengan penambahan asam nitrat yang bertujuan untuk melarutkan analit logam dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam sampel dengan bantuan pemanas listrik, kemudian diukur dengan SSA menggunakan gas asetilen, C2H2.
2.9.4 Logam Mn Logam mangan adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Mn dan nomor atom 25, berwarna silver metalic, keras dan sangat rapuh. Logam mangan mampu menimbulkan keracunan kronis pada manusia hingga berdampak menimbulkan lemah pada kaki, muka kusam dan dampak lanjutan bagi manusia yang keracunan Mn adalah bicaranya lambat dan hyperrefleksi.
Universitas Sumatera Utara
61
Perinsip pengujian mangan dilakukan dengan penambahan asam nitrat yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Mn dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.5-2004).
2.9.5 Logam Cu Logam tembaga adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Cu dan nomor atom 29. Cara uji tembaga (Cu) dilakukan dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala. Metode ini digunakan untuk penentuan kadar logam tembaga, Cu dalam air dan air limbah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)- nyala pada kisaran kadar Cu 0.2 mg/l sampai dengan 4.0 mg/l dan panjang gelombang 324.8 nm. Perinsip pengujian tembaga dilakukan dengan penambahan asam nitrat yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Cu dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.6-2004).
2.9.6 Logam Cd Logam Kadmium adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Cd dan nomor atom 48. Cara uji kadmium (Cd) dilakukan dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala. Metode ini digunakan untuk penentuan kadar logam kadmium, Cd dalam air dan air limbah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala pada kisaran kadar Cd 0.05 mg/l sampai dengan 2.0 mg/l dan panjang gelombang 228.8 nm. Perinsip pengujian tembaga dilakukan dengan penambahan asam nitrat yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Cd dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.16-2004).
Universitas Sumatera Utara
62
2.10 Total Organik Dalam air alam ditemui dua kelompok zat, yaitu zat terlarut seperti garam dan molekul organis dan zat padat tersuspensi dan koloidal seperti tanah liat, kwarts. Perbedaan pokok antara kedua zat ini ditentukan melalui ukuran / diameter partikel-partikel tersebut. Perbedaan antara kedua kelompok zat yang ada dalam air alam cukup jelas dalam praktek namun kadang-kadang batasan itu tidak dapat dipastikan secara defenitif. Dalam kenyataan sesuatu molekul organis polimer tetap bersifat zat yang terlarut, walaupun panjangnya lebih dari 10 µm sedangkan beberapa jenis zat padat koloid mempunyai sifat dapat bereaksi seperti sifat zat-zat yang terlarut. Analisa zat padat dalam air sangat penting bagi penentuan komponenkomponen air secara lengkap, juga untuk perencanaan serta pengawasan prosesproses pengolahan dalam bidang air minum maupun dalam bidang air buangan. Seperti halnya ion-ion dan molekul-molekul (zat yang terlarut), zat padat koloidal dan zat padat tersuspensi dapat bersifat inorganis (tanah liat, kwarts) dan organis (protein, sisa tanaman dan ganggang, bakteri). Dalam metode analisa zat padat, pengertian zat padat total adalah semua zat-zat yang tersisa sebagai residu dalam suatu bejana, bila sampel air dalam bejana tersebut dikeringkan pada suhu tertentu. Zat padat total terdiri dari Zat Padat Terlarut dan Zat Padat Tersuspensi yang dapat bersifat organis dan inorganis. Zat padat tersuspensi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi antara lain zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap yang dapat bersifat organis dan inorganis (Alaert G and Santika S, 1987).
Universitas Sumatera Utara