27 VARIASI DIALEK BAHASA JAWA DI WILAYAH

Download VARIASI DIALEK BAHASA JAWA DI WILAYAH KABUPATEN NGAWI: KAJIAN DIALEKTOLOGI. Ika Mamik Rahayu. Variation of dialect in the language can be ...

0 downloads 671 Views 3MB Size
Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

VARIASI DIALEK BAHASA JAWA DI WILAYAH KABUPATEN NGAWI: KAJIAN DIALEKTOLOGI Ika Mamik Rahayu Variation of dialect in the language can be seen clearly in a research carried out in dialectology. This research has the objective of the study to describe and explain dialect variation in the Javanese language that occurs at the interaction of people in the district of Ngawi. It can be seen from phonological and lexical variation and then presented in the form of a dialect map. The method that is used in this research is descriptive qualitative, with SLBC and SLC technique which refers to the 250 basic vocabulary (lexicon). There are many variation of phonological and lexical that refer to the Central Java dialect, although the Ngawi district is included in East Java province. Indonesian language is also found in the observation area. Thus, Indonesian language has been developed and used by community in the district of Ngawi. Keywords: dialect, phonology, lexicon Pendahuluan Bahasa Jawa merupakan bahasa yang hingga saat ini masih terus dipakai oleh sebagian masyarakat sebagai sarana komunikasi. Wilayah pemakaian bahasa Jawa sangat luas, meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Cirebon, dan sebagainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Jawa ini pada akhirnya memunculkan berbagai varian yang berupa dialek bahasa Jawa, seperti dialek Yogya Solo (yang dianggap sebagai dialek bahasa Jawa Baku), dialek Surabaya, dialek Cirebon, dan dialek Banyumas. Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis termasuk wilayah propinsi Jawa Timur yang letaknya berada paling ujung barat dan berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Tengah. Oleh karena itu, memungkinkan terjadinya kontak bahasa antar penutur bahasa Jawa di wilayah Kabupaten Ngawi. Bahasa Jawa yang dipakai oleh masyarakat Kabupaten Ngawi merupakan salah satu bentuk varian bahasa Jawa. Sejauh pengamatan peneliti, sampai saat ini penelitian yang mengkaji dialek bahasa Jawa yang dipakai oleh masyarakat Kabupaten Ngawi secara fonologis dan leksikal, serta membandingkan dialek yang ada dengan dialek Jawa Timur belum pernah dilakukan. Mengingat perbedaan yang muncul dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan latar belakang sosial budaya masyarakat dan situasi kebahasaan di wilayah Kabupaten Ngawi. Munculnya perubahan atau variasi bahasa dalam bahasa yang dilatarbelakangi oleh perubahan budaya penuturnya (Hymes, 1983: 67). Komunikasi antar pengguna bahasa yang berbeda ini sangat sering terjadi, meskipun mereka tinggal dalam satu wilayah yang sama, tetapi letaknya yang tidak berdekatan dan saling berbatasan dengan wilayah lain di luar Kabupaten Ngawi memunculkan variasi dialek bahasa Jawa. Perlu dipahami bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari manusia berkomunikasi satu sama lain, proses komunikasi ini sendiri menggunakan bahasa. Keberadaan sebuah bahasa dapat membantu masyarakat dalam segala aktifitas

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

27

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

yang dijalani. Kenyataan yang ada ini sangat menarik untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai variasi dialek bahasa Jawa di wilayah Kabupaten Ngawi dengan melihat pada aspek fonologis dan leksikal serta pemetaan variasi dialek yang muncul. Penelitian ini diadakan dengan tujuan sebagai berikut, (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk variasi dialek bahasa Jawa yang muncul dalam interaksi masyarakat di wilayah Kabupaten Ngawi dilihat dari variasi fonologis dan leksikal; (2) Menganalisis dan menggambarkan pola pemetaan dialek di wilayah Kabupaten Ngawi dengan melihat pada variasi fonologis dan leksikalnya. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang mengkaji mengenai varasi dialek yang muncul di sebuah wilayah, dalam hal ini adalah di wilayah Kabupaten Ngawi. Istilah dialek sendiri berasal dari bahasa Yunani “dialektos” yang pada mulanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa Yunani pada waktu itu. Dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda-beda menurut variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu atau oleh golongan tertentu dari suatu kelompok bahasawan, atau oleh kelompok bahasawan yang hidup dalam kurun waktu tertentu (Kridalaksana, 1984: 38). Dialek-dialek bahasa pada kenyataannya memiliki beberapa tingkatan, seperti yang dijelaskan Guiraud dalam Aryatrohadi (1983:3—5), ada lima macam perbedaan atau variasi yakni: a. Perbedaan fonetik, polimorfisme, atau alofonik: perbedaan ini berada di bidang fonologi. Biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Perbedaan fonetik itu dapat terjadi pada vokal maupun konsonan. b. Perbedaan semantik: perbedaan ini mengacu pada terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologi dan pergeseran bentuk. c. Perbedaan onomasiologis: mengacu pada penyebutan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat berbeda. d. Perbedaan semasiologis: mengacu pada pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. e. Perbedaan morfologis: perbedaan ini dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan, oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasa, dan oleh sejumlah faktor lainnya. Ayatrohadi (1983: 13) juga membagi ragam-ragam dialek dalam tiga golongan antara lain: a. Dialek 1 : dialek ini di dalam kepustakaan dialektologi Roman, dialek ini disebut dalecte 1, yaitu dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialek tersebut digunakan sepanjang perkembangan. Dialek itu dihasilkan karena adanya dua faktor yang saling melengkapi, yaitu faktor waktu dan faktor tempat. b. Dialek 2 : dialek ini di dalam kepustakaan dialektologi Roman disebut dialecte 2, regiolecte, atau dialecte regional, yaitu bahasa yang dipergunakan di luar daerah pemakainya. c. Dialek Sosial : dialek sosial atau sosiolacte ialah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu yang membedakan dari kelompok masyarakat lainnya.

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

28

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

Penelitian ini memfokuskan pada variasi fonologis dan leksikal, hal ini mengingat kedua variasi tersebut banyak muncul pada daerah pengamatan. Keberadaan variasi fonologis dan leksikal ini saling mendukung satu sama lain. Variasi fonologis mengacu pada bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya untuk membedakan makna. Proses fonologis dalam penelitian bahasa Jawa di wilayah Kabupaten Ngawi ini terdiri dari proses perubahan fonem, proses penambahan fonem, dan proses hilangnya fonem. Perubahan fonem, seperti pada kata ‘cokelat’ yang berbunyi /soklat/ dengan /coklat/. Dalam hal ini terjadi perubahan fonem /s/ menjadi /c/ pada konsonan awal. Penghilangan fonem dalam variasi fonologis dapat dilihat dari contoh kata ‘telanjang’ dalam bahasa Jawa di Kabupaten Ngawi menjadi [wudƆ] dengan [udƆ]. Variasi leksikal merupakan variasi bahasa yang terdapat dalam bidang leksikon. Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa, sedangkan leksikal adalah unit bahasa yang berkaitan dengan leksem dan kata (Kridalaksana, 1993: 126). Dalam hal ini, leksikon yang ada diteliti dan dilakukan perbandingan antara satu wilayah dengan wilayah lain dalam pengamatan. Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan melibatkan metode simak bebas libat cakap (SBLC) dan sekaligus juga simak libat cakap (SLC) pada pengumpulan datanya. Setelah diperoleh data, analisis datanya diolah dengan menggunakan metode padan, untuk selanjutnya disajikan dengan menggunakan bahasa yang apa adanya dan mudah dipahami. Metode penyajian seperti ini sering disebut dengan metode informal. Untuk lebih memperjelas semua variasi yang muncul, baik variasi fonologis dan leksikal maka dibuat peta dialek. Gambaran umum mengenai sejumlah dialek dalam suatu wilayah akan tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang dikumpulkan dipetakan sehingga dapat diketahui perbedaan dan persamaan yang terdapat antara dialek yang diteliti (Ayatrohaedi, 1983: 31). Peta dasar penelitian ini diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Ngawi. Variasi Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi Kajian dialektologi dalam penelitian ini ditujukan kepada bahasa Jawa Ngoko atau berian Ngoko. Berian Ngoko pada daerah pengamatan merupakan berian yang ditemukan adanya perbedaan atau variasi dalam penyebutan sesuatu yang merujuk pada makna yang sama. Untuk itu, berian Ngoko digunakan sebagai dasar untuk mencari dan menemukan variasi leksikal dan fonologis di wilayah pengamatan. Dari 19 kecamatan yang ada di wialayh Kabupaten Ngawi, diambil 4 kecamatan sebagai daerah pengamatan. Berikut akan disajikan peta titik daerah pengamatan.

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

29

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

NOMER I II III IV

DAERAH KARANGJATI KEDUNGGALAR PANGKUR BRINGIN

Pada masing-masing daerah diambil beberapa informan untuk dilakukan penelitian bahasanya. Pengambilan informan ini secara acak, namun informan yang dipilih harus tetap memenuhi kriteria dalam penelitian dialek. Dari penelitian yang dilakukan pada semua daerah pengamatan diperoleh hasil yakni, 1. Variasi Fonologis Variasi fonologis yang muncul dalam pengamatan terdiri dari proses perubahan fonem, penambahan dan penghilangan atau pemendekan fonem baik konsonan maupun vokal. Penentuan makna kata dasar dalam bahasa Jawa ini mengacu pada Kamus Bahasa Jawa. Pada pengamatan ditemukan 23 variasi fonologis yang meliputi, a. Variasi Fonologis pada Konsonan Hilangnya konsonan /w/ di awal kata, proses hilangnya konsonan atau vokal di awal kata disebut juga dengan proses aferesis. Proses seperti itu terjadi pada berian: i. [ndƐ? wiŋi][ndƐ? iŋi] yang bermakna ‘kemarin’ ii. [wetan][etan] yang bermakna ‘timur’ iii. [wəәrUh][əәrUh] yang bermakna ‘tahu’ iv. [wudƆ][udƆ] yang bermakna ‘telanjang’ Proses penghilangan konsonan /w/ ini sering dijumpai dalam bahasa Jawa pada umumnya. Hal ini dapat diakibatkan dari kebiasaan masyarakat dalam pengucapan, yang pada akhirnya dipahami dan digunakan secara terus menerus dalam komunikasi. Proses perubahan konsonan terjadi pada berian [sǝdʰilu?] dan [sǝdʰilut] yang bermakna ‘sebentar’ terjadi proses perubahan fonem konsonan /?/ menjadi /t/ di akhir kata. Gloss ‘sisir’ memiliki dua berian yang muncul dalam daerah pengamatan, yakni berian [jUŋkas] dan [jUŋkat]. Antara berian [jUŋkas] dan [jUŋkat] terjadi perubahan fonem konsonan di akhir kata, konsonan /s/ berkorespondensi dengan konsonan /t/. Pada berian

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

30

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

[sƆklat] dan [cƆklat] yang bermakna ‘cokelat’, terjadi perubahan fonem konsonan di awal kata yakni konsonan /s/ menjadi /c/. b. Variasi Fonologis pada Vokal Variasi itu meliputi perubahan itu terjadi antara vokal /I/ dengan /i/ pada berian [sa? kIntal] dan [sa? kintal] yang bermakna ‘satu kwintal’. Perubahan vokal /e/ dengan /i/ di awal kata dan /U/ dengan /u/ di tengah kata pada berian [esU?] dan [isu?] yang memiliki makna ‘pagi’. Perubahan vokal /Ɛ/ dengan /I/ pada berian [gǝtƐh] dan [gǝtIh] yang bermakna ‘darah’. Perubahan /I/ dengan /Ɛ/ pada berian [putIh] dengan [putƐh] yang memiliki makna ‘putih’ dan pada berian [perih] dan [pəәrƐh] yang bermakna ‘perih’ terjadi perubahan vokal /i/ menjadi /Ɛ. Perubahan seperti ini juga terjadi pada berian [tekƆ?] dan [takƆ?] yang bermakna ‘tanya’, terjadi proses perubahan atau adanya korespondensi antara fonem vokal /e/ dan /a/. Untuk kata yang bermakna ‘turun’ juga ditemukan adanya variasi fonologis yakni terjadi perubahan vokal /əә/ dengan /u/ pada berian [məәdʰUn] dan [mudʰUn]. Pada daerah pengamatan juga terjadi proses dimana satu kata mengalami perubahan konsonan dan vokal sekaligus. Proses seperti ini terjadi pada gloss ‘pertama’ yang memiliki berian [dʰisI? dʰewe], [sI? dʰewe], dan [ke? dʰewe]. Terlihat adanya proses aferesis pada berian [dʰisI? dʰewe] dengan [sI? dʰewe] pada kata pertama. Dan perubahan pada berian [sI? dʰewe] dan [ke? dʰewe], terjadi perubahan konsonan /s/ menjadi /?/ dan vokal /I/ menjadi /e/ pada kata pertama juga. Hal serupa juga terjadi pada gloss ‘enam’ memiliki variasi [nǝnǝm], [ǝnǝm], dan [nǝm] dari ketiga berian yang ada terlihat adanya proses aferesis yang berupa konsonan /n/ antara berian [nǝnǝm] dengan [ǝnǝm], dan vokal /ǝ/ antara berian [ǝnǝm] dengan [nǝm]. Gloss ‘dukun bayi’ pada daerah pengamatan ditemukan beberapa varian yang muncul yakni [dʰukUn bayi], [dʰukUn bayƐ?], dan [dʰadah]. Sekilas, ketiga berian yang muncul ini terlihat sebagai variasi leksikal, akan tetapi jika dianalisis lebih lanjut ketiga berian tersebut merupakan variasi fonologis. Pada berian [dʰukUn bayi] dan [dʰukUn bayƐ?] terjadi perubahan bunyi pada kata kedua yakni [bayi] menjadi [bayƐ?] yang keduanya memiliki makna yang sama yakni menyatakan ‘bayi’. Untuk berian [dʰadah] ini mengacu pada aktifitas yang dilakukan oleh seorang dukun bayi yakni memijat sang bayi. Aktifitas memijat ini dalam bahasa Jawa sering disebut dengan [dʰadah]. Hilangnya vokal /əә/, proses hilangnya vokal di tengah kata ini biasa disebut dengan proses sinkop. Prose ini terjadi pada berian [səәlawe][slawe] yang bermakna ‘dua puluh lima’. 2. Variasi Leksikal Dari seluruh data pada daerah pengamatan diperoleh 47 variasi leksikal yang muncul. Variasi leksikal yang ditemukan ini setidaknya minimal memiliki dua buah berian pada setiap gloss. Adanya variasi pada setiap daerah pengamatan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah letak geografis daerah pengamatan. Semua variasi

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

31

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

leksikal yang ada ini diasumsikan dapat mewakili situasi kebahasaan di wilayah Kabupaten Ngawi, dan variasi dialek yang ada ini mengacu pada dialek Jawa Tengah. Variasi leksikal itu, misalnya terjadi pada gloss /sejengkal/ terdiri atas berian [sa? kilan] dan [sa? jǝŋkal], bentuk [sa? kilan] digunakan pada daerah pengamatan I, II, dan IV, sedangkan bentuk [sa? jǝŋkal] ditemukan pada daerah pengamatan II. Kedua berian yang muncul ini merupakan variasi leksikal, karena [kilan] dan [jǝŋkal] adalah dua leksem yang berbeda, bukan berasal dari kata atau leksem yang sama. Gloss /lima hari/ juga ditemukan memiliki dua buah berian pada daerah pengamatan, yakni [limaŋ dinƆ] dan [sǝpasar]. Berian [limaŋ dinƆ] mendominasi pada daerah pengamatan karena banyak ditemukan di daerah pengamatan I, II, dan III. Sedangkan untuk berian [sǝpasar] hanya ditemukan pada daerah pengamatan IV. Kedua berian [limaŋ dinƆ] dan [sǝpasar] ini merupakan dua leksem yang berbeda. Penyebutan [limaŋ dinƆ] ini berasal dari angka /lima/ yang dalam bahasa Jawa disebut [limƆ] dan kata [dinƆ] ini merupakan bahasa Jawa dari /hari/, sehingga jika kedua kata tersebut digabung untuk menyebutkan /lima hari/ atau [limaŋ dinƆ]. Pada berian [sǝpasar] ini juga biasa dipakai oleh masyarakat dalam penyebutan /lima hari/, karena dipengaruhi oleh hari pasaran Jawa yang terdiri atas lima hari pasaran. Jadi setiap lima hari, hari pasaran Jawa tersebut akan berulang, sehingga masyarakat biasa menyebutnya dengan [sǝpasar]. Oleh sebab itu, kedua berian tersebut merupakan variasi leksikal dari leksem “lima hari”. Gloss /teman/ pada daerah pengamatan muncul dua berian yakni [batUr], [kƆncƆ], dan [rewaŋ]. Berian [batUr] terdapat pada daerah pengamatan I dan III, sedangkan berian [kƆncƆ] terdapat pada daerah pengamatan II, dan berian [rewaŋ] muncul pada daerah pengamatan IV. Berian [batUr] ini mengacu pada bahasa Jawa Baku dari kata /teman/, untuk berian [rewaŋ] ini juga mengacu pada bahasa Jawa Baku yakni [rencaŋ] yang berarti seseorang yang membantu orang lain atau orang terdekatnya, hal ini mengacu dari fungsi /teman/. Hal semacam ini juga terjadi pada gloss yang lain yang ditemukan pada daerah pengamatan. 3. Bunyi Kluster dan Nasalisasi Bunyi kluster mengacu pada perangkapan bunyi konsonan yang terjadi pada sebuah kata. Bunyi kluster yang ditemukan pada daerah pengamatan terjadi pada gloss ‘sendal’ yang memiliki berian [srandʰal], [sǝndʰal], dan [sandʰal] di sini juga terjadi dua proses sekaligus, yakni perangkapan bunyi konsonan dan perubahan vokal. Pada berian [sandʰal] dengan [srandʰal] dalam hal ini asal katanya [sandʰal] kemudian muncul [sr] merupakan sebuah bunyi kluster atau konsonan rangkap (dua atau lebih), sedangkan pada berian [sandʰal] dan [sǝndʰal] terjadi perubahan fonem vokal /a/ dengan /ǝ/. Gloss /kerja keras/ ditemukan tiga berian yakni [məәmpəәŋ], [srəәmpəәŋ], dan [səәŋkUt]. Berian [məәmpəәŋ] muncul pada daerah pengamatan II dan III, [srəәmpəәŋ] muncul pada daerah pengamatan I, dan berian [səәŋkUt] muncul pada daerah pengamatan IV. Berian [məәmpəәŋ] dan [srəәmpəәŋ] ini merupakan satu leksem, karena berasal dari bahasa Jawa [srəәmpəәŋ], munculnya bunyi [sr] pada berian [srəәmpəәŋ] merupakan bunyi kluster. Bunyi nasalisasi merupakan bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan kesempatan arus udara melalui rongga hidung sebelum atau sesaat artikulasi bunyi utama diucapkan. Pada penelitian ini, bunyi nasalisasi yang ditemukan berupa bunyi [ͫ

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

32

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

b] dan bunyi [ⁿg]. Misalnya pada gloss /bohong/ dalam pengamatan juga memiliki variasi berian yang muncul, ditemukan berian [ͫ blitU?] dan [ŋapusi].

4. Kemunculan Berian Bahasa Indonesia Pada penelitian juga ditemukan berian-berian yang muncul dari sebuah gloss yang mengandung bahasa Indonesia. Misalnya, berian [sayUr], [tƆpi], dan [kamar], ketiga berian tersebut merupakan kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa pada masyarakat di wilayah Kabupaten Ngawi telah berkembang bahasa Indonesia. 5. Dialek Khas di Wilayah Kabupaten Ngawi Kabupaten Ngawi juga memiliki kekhasan nada yang muncul dalam pengucapan masyarakat ketika melakukan komunikasi antar penutur. Umumnya, masyarakat Ngawi menambahi pengucapan setiap katanya dengan akhiran [-lƐh], misalnya [gəәniyƆ lƐh], [ñapƆ lƐh], dan sebagainya. Penggunaan akhiran [-lƐh] ini berfungsi sebagai penekanan atas apa yang diucapkan. Berian [-lƐh] ini juga muncul pada daerah Bojonegoro dan memang wilayah Ngawi sendiri berbatasan dengan Bojonegoro, namun yang perlu dicermati adalah fungsi daripada berian [-lƐh]. Jika di wilayah Ngawi berian [-lƐh] berfungsi sebagai penekananan atas apa yang diucapkan, sedangkan di wilayah Bojonegoro berian [-lƐh] berfungsi sebagai penghalus kata perintah yang diucapkan. Pada daerah pengamatan ditemukan penggunaan [hǝ ǝh], [hƐ?Ɛ], dan [hǝ ǝm] dalam menyatakan makna ‘iya’, yang biasanya dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur [iyƆ] atau [yƆ] dan [hƆ?Ɔ]. Meskipun terkadang kata [iyƆ] juga digunakan dalam komunikasi, akan tetapi pemakaian [hǝ ǝh], [hƐ?Ɛ], dan [hǝ ǝm] lebih sering mendominasi dalam komunikasi masyarakat di daerah pengamatan dalam menyatakan makna ‘iya’. Pemakaian ketiga berian itu diasumsikan mengacu pada dialek masyarakat di wilayah Jawa Tengah, mengingat bentuk-bentuk ketiga berian itu juga sering ditemui pada dialek Jawa Tengah. Simpulan Penelitian ini menggunakan 250 leksikon dalam pemerolehan datanya, daftar tanyaan yang berupa leksikon ini mengacu pada daftar tanyaan Swadesh. Dari 250 leksikon diperoleh 23 variasi fonologis dan 47 variasi leksikal. Pada kedua variasi ditemukan adanya berian yang mengalami proses aferesis dan sinkop. Selain itu, juga terdapat bunyi kluster dan bunyi sertaan atau nasalisasi pada beberapa berian. Semua variasi yang muncul kemudian disajikan pula dalam bentuk peta dialek untuk semakin memperjelas situasi kebahasaan pada daerah pengamatan. Variasi dialek yang muncul di wilayah Kabupaten Ngawi bukan merupakan sebuah dialek tersendiri, melainkan sebuah varian dari Bahasa Jawa. Dialek Kabupaten Ngawi cenderung mengacu pada dialek Jawa Tengah. Pada seluruh daerah pengamatan muncul beberapa berian yang mengacu pada Bahasa Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa Bahasa Indonesia telah mulai berkembang dan digunakan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Ngawi.

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

33

Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi

Referensi Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Ayatrohaedi, 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Kisyani-Laksono. 2004. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologis. Jakarta: Pusat Bahasa. Marsono. 1986. Fonetik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nadra dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Purwadi. 2004. Kamus Jawa-Indonesia Populer. Yogyakarta: Media Abadi.

Skriptorium, Vol. 1, No. 2

34