5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 ACTINOMYCETES ACTINOMYCETES

Download BAB II. KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Actinomycetes. Actinomycetes adalah bakteri Gram positif yang bersifat aerob. Bakteri ini memiliki morfologi ya...

0 downloads 396 Views 124KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Actinomycetes Actinomycetes adalah bakteri Gram positif yang bersifat aerob. Bakteri ini memiliki morfologi yang mirip dengan fungi yaitu memiliki miselium. Actinomycetes memiliki kadar GC (Guanin dan Sitosin) yang tinggi (Dilip et al., 2013). Actinomycetes menjadi kelompok terbesar sebagai sumber daya mikroba yang menghasilkan antibiotika dan juga memproduksi berbagai metabolit bioaktif nonantibiotika, seperti enzim, inhibitor enzim, regulator imunologi, antioksidasi reagen (Ratnakomala et al., 2011). Metabolit sekunder bioaktif yang dihasilkan oleh Actinomycetes termasuk antibiotika, agen antitumor. Metabolit ini diketahui memiliki antibakteri, antijamur, antioksidan, neuritogenik, anti kanker, anti malaria dan anti inflamasi (Deepa et al., 2013). Actinomycetes memiliki potensi besar untuk mensintesis metabolit sekunder bioaktif (Dilip et al., 2013). Berikut merupakan bakteri yang termasuk kelas Actinomycetes yang tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Bakteri yang Termasuk Kelas Actinomycetes (Dilip et al., 2013). Kelompok

Karakteristik

Actinomycetes Nocardioform

Aerobik, tahan asam atau tidak tahan asam; berbentuk batang, kokus dan filamen bercabang atau bentuk

substrat;

dinding

mengandung asam mycolic.

5

chemotype

IV;

6

Lanjutan Tabel 2.1 Actinomycetes

dengan

sporangia Aerobik

multilokular

atau

fakultatif

anaerob;

terdapat miselium, tidak ada hifa udara, dinding chemotype I.

Actinoplanetes

Actinomycetes

aerobik,

nonmotile,

spora tertutup dalam vesikula; ada miselium udara; dinding chemotype II; dapat menghidrolisis arabinosa dan xilosa. Streptomycetes dan genera terkait

Actinomycetes

aerobik,

memiliki

substrat luas bercabang dan memiliki miselium udara. Thermomonospora dan genera terkait

Bersifat aerobik, memiliki substrat luas bercabang dan miselium udara, yang keduanya dapat membawa satu rantai spora; spora motil atau non-motil; dinding chemotype III.

Thermo Actinomycetes

Menghasilkan

pertumbuhan

spora

udara. Spora tunggal terbentuk pada miselium udara dan vegetatif. Semua spesies bersifat termofilik. Dinding sel mengandung meso-DAP tapi tidak ada karakteristik asam amino atau gula.

2.2 Habitat dan keberadaan Actinomycetes Bakteri golongan Actinomycetes dapat hidup pada beberapa tempat yaitu: 1. Tanah, Actinomycetes merupakan komponen penting dari populasi mikroba disebagian besar tanah. Isolat Actinomycetes memiliki kisaran pertumbuhan dari pH 5,0-9,0 dan pH optimum sekitar 7,0 (Agustine et al., 2004). Faktor lingkungan yaitu pH merupakan faktor utama yang

7

menentukan distribusi Actinomycetes. Actinomycetes berperan penting dalam dekomposisi tanaman dan bahan lainnya terutama dalam degradasi polimer kompleks (Ratnakomala et al., 2011). Actinomycetes yang ada pada bagian rizosfer mampu menekan pertumbuhan patogen (Bouizgarne, 2013). Beberapa isolat Actinomycetes dari bagian rizosfer dapat mensintesis zat seperti giberelin dan asam indole asetat (Shahab et al, 2009). Actinomycetes, terutama Streptomyces berperan utama dalam interaksi antagonis dalam tanah (Bouizgarne, 2013). 2. Kompos, Actinomycetes mesofilik aktif dalam kompos pada tahap awal dekomposisi. Actinomycetes termofilik tumbuh dengan baik pada kotoran hewan dan jerami (Dilip et al., 2013). 3. Habitat di wilayah laut, Actinomycetes dari sumber laut mampu mendekomposisi alginat, selulosa, kitin, minyak dan hidrokarbon lainnya (Sharma, 2014; Ikhimiukor and Lotanna, 2013). Actinomyctes yang termasuk genus Arthrobacter, Brevibacterium, Corynebacterium dan Nocardia

merupakan

mikroorganisme

penting

dalam

degradasi

hidrokarbon minyak bumi di habitat perairan (Dobos, 2010).

2.3 Struktur Actinomycetes Karakteristik Actinomycetes secara mikroskopis ditandai dengan bentuk filamen bercabang atau batang dan memiliki hifa tidak bersekat. Miselium dapat bercabang atau tidak bercabang, lurus atau berbentuk spiral. Spora berbentuk bola, silinder atau oval (Chaundary et al., 2013). Actinomycetes menghasilkan koloni terdiri dari sistem percabangan filamen setelah inkubasi 24-48 jam (Lechevalier

8

and Waksman, 1940; Dilip et al., 2013). Dinding sel Actinomycetes memiliki struktur kaku yang berperan dalam mempertahankan bentuk sel dan mencegah pecahnya sel karena tekanan osmotik tinggi (Davenport et al., 2000). Dinding sel terdiri dari berbagai macam senyawa kompleks termasuk peptidoglikan, asam teikoat, asam teichuronat dan polisakarida. Peptidoglikan terdiri dari glycan (polisakarida) rantai N-asetil-d-glukosamin (NAG), N-asetil-d-muramic acid (NAM) dan Asam diaminopimelic atau DAP (Dilip et al., 2013). Menurut Chaundary et al. (2013), Actinomycetes dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan penyusun dinding sel utama seperti tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kelompok Dinding Sel Actinomycetes Berdasarkan Penyusun Dinding Sel Utama Tipe Pola Gula Dinding Sel Tidak ada karakteristik pola gula I II

Araginosa,Xylose

Genera Streptomyces, Streptoverticillicum. Actinoplanes, Micromonospora.

III

Tidak ada gula

Dermatophilus, Planomonospora.

IV

Galaktosa, Arabinosa

Mycobacterium, Nocardia .

2.4 Pentingnya Actinomycetes Peran utama Actinomycetes dalam aplikasi bioteknologi adalah produksi metabolisme sekunder yang memiliki sifat sebagai zat antimikroba, inhibitor enzim, immunomodifiers, enzim dan zat memacu pertumbuhan bagi tanaman (Dilip et al., 2013; Raja dan Prabakarana, 2011; Chaudhary et al., 2013). Beberapa metabolit sekunder yang dihasilkan yaitu:

9

1. Antibiotika: Actinomycetes telah dikenal sebagai sumber terbesar dari antibiotika. Antibiotika penting dari Actinomycetes adalah anthracyclines, aminoglikosida,

-laktam,

kloramfenikol,

makrolida,

tetrasiklin,

nukleosida, peptida dan polieter, quinolon, oligomisin, rifampin, kanamisin, myomisin (Khanna et al., 2011). Sampai tahun 1974 antibiotikaa yang disintesis dari Actinomycetes hampir terbatas pada Streptomyces. mengeksplorasi

Saat

ini

beberapa

Actinomycetes

upaya langka

telah seperti

dilakukan

untuk

Actinomadura,

Actinoplanes, Ampullariella, Actinosynnema dan Dactylosporangium untuk mencari antibiotika baru (Dilip et al., 2013; Chaudhary et al., 2013). 2. Transformasi Xenobiotik: Transformasi xenobiotik didefinisikan sebagai modifikasi struktural suatu komponen kimia untuk metabolisme suatu organisme (Dilip et al., 2013). Anggota dari genus Nocardia dan Streptomyces

memiliki

kemampuan

untuk

melakukan

modifikasi

komponen kimia yang berasal dari alam dan sintetis (Bhatta, 2013). Strain Nocardia telah ditemukan mampu mendegradasi herbisida jenis dalapon. 3. Immunomodifiers: Merupakan senyawa dengan berat molekul rendah yang diisolasi telah dari kultur filtrat Actinomycetes, yang dapat meningkatkan

respon

imun

(Umezawa,

1986).

Beberapa

agen

imunomodifiers yaitu Bestatin, amastatin, phenicine yang diisolasi dari genus Streptomyces mampu meningkatkan respon imun pada tikus (Dilip et al., 2013). 4. Biosurfaktan: Biosurfaktan didefinisikan sebagai molekul permukaan aktif yang diproduksi oleh sel-sel hidup terutama oleh mikroorganisme

10

(Khopade et al., 2012). Biosurfaktan memiliki banyak keunggulan dibandingkan bahan lain yang disintesis secara kimia. Biosurfaktan sangat spesifik, tidak beracun dan biodegradable. Biosurfaktan efektif pada kondisi ekstrim dari suhu, pH dan salinitas (Chandraja et al., 2014). 5. Enzyme Inhibitor: Actinomycetes mensintesis enzim inhibitor dengan berat molekul rendah (Raja dan Prabakarana, 2011). Enzim inhibitor ini digunakan dalam pengobatan kanker. Beberapa enzim yang telah disintesis dari genus Streptomyces yaitu revistin, streptonigrin dan retrostatin (Dilip et al., 2013).

2.5 Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok seperti buah anggur dan berbentuk sferis dengan diameter sekitar 1,0 µm (Plata et al., 2009). Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam. Staphylococcus

aureus

merupakan

mikroflora

normal

manusia.

Staphylococcus aureus dapat menyebabkan beberapa sindrom seperti bakterimia, infeksi saluran pernafasan, endokarditis, infeksi saluran urin, dan infeksi pada kulit. Selain itu infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S.

11

aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan (Bradley, 2002). Berikut klasifikasi S. aureus menurut Domrachev et al., (2008): Kingdom

: Bacteria

Phylum

: Firmicutes

Class

: Cocci

Order

: Bacillales

Family

: Staphylococcaceae

Genus

: Staphylococcus

Species

: Staphylococcus aureus

Faktor Virulensi Staphylococcus aureus Faktor virulensi Staphylococcus aureus yaitu: Koagulase Staphylococcus aureus yang memproduksi enzim koagulase yang berfungsi untuk menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat sehingga S. aureus terlindung dari fagositosis dan respon imun lain dari inang (Plata et al., 2009). Protein A Letak protein A ada pada dinding sel S. aureus dan dapat mengganggu sistem imun inang dengan mengikat antibodi immunoglobulin G (IgG) (Gordon and Lowy, 2008). Eksotoksin sitolitik Beberapa eksotoksin sitotolik yaitu α-toksin, β-toksin, dan γ-toksin yang menyerang membran sel mamalia. α-toksin dan β-toksin dapat menyebabkan kerusakan sel. Sementara itu, γ-toksin menyebabkan terbunuhnya sel inang (Bien et al., 2011).

12

Enterotoksin Enterotoksin merupakan protein yang tahan terhadap suhu panas. Enterotoksin yang dihasilkan S. aureus merupakan penyebabkan keracunan makanan yang dapat menginduksi diare, muntah dan shock (Langley et al., 2003). Leukocidin Toksin ini merusak leukosit sel inang yaitu neutrofil. Toksin ini mempunyai 2 komponen yang bekerja secara sinergis pada membran neutrofil bersama gamma toxin (Gordon and Lowy, 2008). Exfoliatin Exfoliatin termasuk dalam superantigen yang menyebabkan sindrom kulit melepuh pada anak-anak (Farroha et al., 2012). Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) muncul akibat adanya gen yang disebut Staphylococcal cassette chromossome, mec (SCCmec). MRSA muncul setelah ditemukannya spesies Staphylococcus aureus yang resisten antibiotika golongan -laktam seperti penisilin. Sampai saat ini MRSA merupakan penyebab infeksi dan mudah menyebar di rumah sakit (Plata et al., 2009). MRSA adalah spesies Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika -laktam, termasuk penisilin dan turunannya yaitu Metisilin, Oxacilin, dicloxacilin, Nafcilin dan Sephalosporin (Rybak et al., 2005). Metisilin adalah antibiotika golongan -laktam dengan spektrum sempit. Metisilin ini mulai diperkenalkan tahun 1959 untuk menanggulangi S. aureus yang merupakan bakteri Gram positif penghasil betalaktamase (Hardacker, 2010). Antibiotika metisilin bekerja dengan cara menghambat pembentukan akhir peptidoglikan

13

dinding sel bakteri yang difasilitasi transpeptidase yang dikenal sebagai Penicillin Binding Protein (PBP). Antibiotika metisilin akan berikatan dengan PBP2 sehingga menghambat terbentuknya peptidoglikan dan akhirnya lisis. MRSA terjadi karena adanya perubahan PBP2 menjadi PBP2a yang dikode oleh gen mecA yang menyebabkan afinitas antibiotika metisilin ini rendah sehingga pembentukan tahap akhir peptidoglikan tidak terganggu dan bakteri menjadi resisten (Satari, 2013; Plata et al., 2009).

2.6 Antibiotika Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Utami, 2012). Pemberian antibiotika sangat penting dalam menanggulangi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Secara garis besar antibiotika dapat diklasifikasikan ke dalam lima kelompok yaitu: 1. Golongan -laktam diantaranya penisilin ; 2. Golongan Aminoglikosida diantaranya streptomisin ; 3. Golongan makrolida misalnya eritromisin ; 4. Golongan glikopeptida misalnya vankomisin ; 5. Golongan antibiotikaa lain diantaranya trimetropim, klindamisin, fluorokuinolon, tetrasiklin (Villalabos et al, 1998). Berdasarkan spektrum kerja antibiotika dapat dibagi menjadi:1. Spektrum luas (aktivitas luas) yaitu antibiotika yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Contoh antibiotika dalam kelompok ini adalah sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin ; 2. Spektrum sempit (aktivitas sempit): yaitu

14

antibiotika yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba. Contohnya eritromisin, klindamisin, kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba Gram positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap bakteri Gram negatif (Bobone et al., 2013).

2.7 Mekanisme Kerja Antimikroba terhadap Bakteri Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksisitas selektif. Antimikroba menganggu bagian-bagian mikroba yang penting seperti dinding sel, selaput sel, sintesis protein, dan asam nukleat (Jawetz and Adelberg, 1995). Senyawa antibiotika memiliki cara kerja seperti bakterisidal yaitu kemampuan membunuh bakteri secara langsung, bakteriostatik yaitu kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, dan bakteriolitik yaitu kemampuan untuk melisiskan bakteri (French, 2006; Bromley, 2010; Byarugaba, 2009). Mekanisme kerja antimikroba dapat melalui beberapa cara yaitu: a. Penghambatan Dinding Sel Bakteri memiliki lapisan luar yang kaku yaitu dinding sel. Dinding sel ini mempertahankan bentuk bakteri. Peptidoglikan merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel bakteri. Sintesis peptidoglikan terjadi melalui beberapa tahapan yaitu sintesis prekursor pada sitoplasma, pemindahan prekursor pada molekul pembawa lemak dengan cara memindahkan molekul tersebut melewati membaran plasma dan penyisipan unit gylican ke dalam dinding sel, penempelan dengan transpeptida (Typas et al., 2012). Gangguan terhadap sintesis peptidoglikan akan menyebabkan bakteri mati. Beberapa antibiotikaa yang menghambat sintesis dinding sel yaitu golongan -laktam, basitrasin, sefalosporin,

15

sikloserin, penisilin, vankomisin (Jawetz and Adelberg, 1995; Dzidic et al., 2008; Bromley, 2010). b. Penghambatan Fungsi Selaput Sel Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh selaput sitoplasma yang bekerja sebagai penghalang dengan permeabilitas selektif, melakukan pengangkutan aktif, dengan demikian mengendalikan susunan dari dalam sel. Bila integritas fungsi selaput sitoplasma terganggu, makromolekul dan ion akan lolos dari sel. Sehingga menyebabkan kerusakan atau kematian sel bakteri (Cheol Park, 2011). Beberapa antibiotikaa yang menghambat fungsi selaput sel yaitu amfoterisin B, kolistin, imidazol, polien, polimiksin (Jawetz and Adelberg, 1995). c. Penghambatan Sintesis Protein Bakteri memiliki ribosom 70S sedangkan mamalia memiliki ribosom 80S. Ribosom 70S bakteri tersusun atas unit 50S dan 30S (Trylska, 2009). Antibiotika yang bekerja pada unit 50S adalah kloramfenikol dan linkomisin dengan cara menghambat perpanjangan rantai polipetida dan eritromisin yang bekerja dengan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida (Bromley, 2010). Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru. Antibiotikaa yang bekerja pada unit 30S adalah streptomisin yang menyebabkan kesalahan tRNA dalam membaca kode pada mRNA pada sintesis protein sehingga akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba (Kohanski et al., 2007). Serta tetrasiklin yang bekerja dengan cara menganggu perlekatan tRNA pada kompleks mRNA (Dzidic et al., 2008).

16

d. Penghambatan Sintesis Asam Nukleat Mekanisme beberapa antibiotikaa ini menghambat sintesis asam nukleat. Beberapa antibiotika tersebut adalah rifamycin dan streptovaricin dengan cara menyerang sub unit  dari RNA polymerase pada pita DNA yang akan dicetak. Antibiotikaa quinolones yaitu asam nalikdisat norfloxacin, eprofloxacin, cinoxaci, dan oflaxacin, menghambat enzim girase dari DNA (Dzidic et al., 2008; Kohanski et al., 2007).

2.8 Mekanisme Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotika Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut : 1. Bakteri menghasilkan suatu enzim inaktivator yang menyebabkan rusaknya antibiotikaa. Misalnya Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut (Madhavan dan Murali, 2011). 2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat yang diberikan tersebut. Misalnya tetrasiklin, terdapat dalam bakteri yang peka tetapi tidak pada bakteri yang resisten (Corona and Martinez, 2013). 3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi terhadap aminoglikosida berhubungan dengan perubahan protein pada subunit 30S ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang peka terhadap aminoglikosida (Nikaido, 2009).

17

4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid

tidak

membutuhkan

PABA

(Asam

p-amino-benzoat)

ekstraseluler tetapi menggunakan asam folat yang telah dibentuk (Jawetz and Adelberg, 1995). 5. Bakteri membentuk suatu enzim yang telah mengalami perubahan tetapi enzim tersebut tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya (Jawetz and Adelberg, 1995; Dzidic et al., 2008). Penyebab timbulnya resistensi terhadap antibiotika dapat bersifat genetik atau bukan genetik (Jawetz and Adelberg, 1995; Fitrah et al., 2013). Penyebab Bukan Genetik Sebagian besar antibiotika bekerja pada masa aktif pembelahan bakteri. Bakteri yang metabolismenya tidak aktif mungkin saja secara fenotipik resisten terhadap obat atau antibiotika, akan tetapi turunannya pasti peka. Selain itu bakteri dapat kehilangan bentuk sasaran khusus untuk suatu antibiotika selama beberapa generasi dan menjadi resisten (Jawetz and Adelberg, 1995). Penyebab Genetik Sebagian besar bakteri yang resisten terhadap antibiotika muncul akibat perubahan genetik dan proses seleksi. Penyebab resistensi terhadap antibiotika yang berasal dari genetik yaitu: 1. Resistensi Kromosom resistensi bakteri terhadap antibiotika yang mempunyai sebab genetik kromosom terjadi akibat mutasi spontan pada lokus yang mengendalikan

kepekaan

(Sjahrurachman, 2011).

terhadap

antibiotika

yang

diberikan.

18

2. Resistensi Ekstrakromosom Bakteri sering mengandung unsur-unsur genetik ekstrakromosom yang dinamakan plasmid. Faktor- faktor R merupakan kelas plasmid yang membawa gen resisten terhadap satu atau beberapa antibiotika dan logam berat. Gen plasmid untuk resistensi antibiotika berfungsi dalam membentuk enzim-enzim yang mampu merusak antibiotika (Bhaskara et al., 2012).

2.9 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Minimum Inhibitory Concentration (MIC) atau konsentrasi hambat minimum adalah konsentrasi terendah antimikroba yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Wahi et al., 2011; Andrews, 2006). Konsentrasi hambat minimum ini digunakan sebagai standar untuk menentukan sensitivitas mikroorganisme terhadap suatu antimikroba yang dapat dilakukan dengan metode sumur difusi, kertas cakram, dan pengenceran (Andrews, 2006).